E-MODUL
BAGAIMANA MERANCANG DAN MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN UNTUK
MEMICU HIGHER ORDER THINKING SKILLS (HOTS) ANAK USIA DINI
MELALUI OPEN ENDED PLAY
Penulis:
I Wayan Sutama
Wuri Astuti
Pramono
Sumber Dana
PNBP FIP UM
Universitas Negeri Malang
Fakultas Ilmu Pendidikan
Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar dan Prasekolah
Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini
2020
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera
Pada kesempatan yang berharga ini, kami sangat bersyukur karena diberikan kesempatan untuk
menyusun modul dengan konsep e-modul yang nantinya diperuntukkan bagi para pendidik anak
usia dini yang ingin mempelajari lebih dalam lagi tentang Bagaimana menerapkan pembelajaran
yang dapat memicu munculnya Keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking
Skills) anak usia dini. Pada saat ini banyak guru dan orangtua yang beranggapan bahwa anak uia
dini belum dapat menguasai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Kenyataannya anak-anak sejak
sedini mungkin dapat diajarkan dan diarahkan untuk dapat memiliki kemampuan tersebut.
Buku ini dihadirkan untuk memberikan bantuan kepada para guru anak usia dini agar dapat
merancang pembelajaran yang dapat memicu HOTS pada anak didiknya. Buku ini dikemas
dalam bentuk e-modul sehingga nantinya dapat membantu mempermudah para guru dalam
memahami materi yang tersedia di dalam e-modul ini. Buku ini juga dapat dijadikan pengganti
kehadiran para fasilitator dalam memberikan materi tentang HOTS kepada para peserta pelatihan
tentang HOTS di tengah wabah pandemi covid 19 yang menuntut adanya social distancing. Buku
ini terdiri dari 4 modul dengan materi yang sesuai untuk mempelajari konsep penerapan
stimulasi HOTS di jenjang pendidikan anak usia dini
Kami sebagai tim penulis berharap sekali buku ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca
dan penggguna. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami nantikan
sebagai bahan untuk perbaikan penyusunan dan pengembangan e-modul ini dikemudian hari.
Malang, 30 Oktober 2020
Tim Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................1
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................2
MODUL 1 Tantangan PAUD Abad XXI.....................................................................................3
MODUL 2 Konsep Hihger Orther Thinking Skills dalam Perspektif PAUD ..............................13
MODUL 3 Strategi Pengembangan Higher Order Thinking Skills Pada Anak Usia Dini ...........27
MODUL 4 Langkah-langkah Pengembangan Strategi Pembelajaran Berbasis Open Ended
Play .........................................................................................................................39
DAFTAR RUJUKAN ..............................................................................................................45
2
MODUL 1 : TANTANGAN PAUD ABAD XXI
A. Pengantar
Esensi dan urgensi dari implementasi kurikulum tahun 2013 PAUD, diarahkan pada
pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Pembentukan sikap diarahkan untuk
membangun kemampuan fungsi eksekutif yang ditandai dengan (1) kemampuan memori kerja
otak dalam mengatur kemampuan mempertahankan dan mengelola informasi berbeda dalam
waktu singkat; (2) fleksibelitas mental yang membantu mempertahankan respon dari tuntutan
yang berbeda dalam waktu singkat; (3) Kontrol diri dalam hal menentukan prioritas dan menolak
tindakan/respons yang menarik. Pembentukan pengetahuan konseptual untuk membangun
kemampuan kreatif dengan menggunakan cara berpikir tinggi (higer order thinking).
Pengembangan keterampilan berpikir runut (procedural) yang diterapkan baik melalui
pembiasaan maupun pendekatan saintifik (Kemendikbud, 2015) Berdasarkan hasil observasi
terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, guru masih banyak mengalami kendala.
Dilihat dari kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran berbasis
pendekatan saintifik, diperoleh data penguasaan hanya 67,3 (Sutama,dkk., 2016). Padahal guru-
guru sudah memperoleh sosialisasi baik melalui pelatihan, bimbingan teknis, workshop, maupun
dengan membaca buku pedoman yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kemampuan anak untuk belajar melalui
pendekatan saintifik juga masih rendah. Hal ini tampak dari rendahnya kemampuan anak untuk
menanya, mengumpulkan informasi dan menalar. Setelah diadakan penelitian tindakan kelas
dengan menggunakan pendekatan saintifik, kemampuan anak untuk menanya menjadi meningkat
(Sutama,dkk., 2017). Pertanyaan yang muncul sebagian besar pada tataran mengetahui (fakta),
belum pada pertanyaan pada tingkat pemahaman, penerapan, analisis atau evaluasi.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan open ended play dapat
meningkatkan higher order thinking skills pada anak secara signifikan (Sutama,dkk., 2018).
Demikian pula setelah diberi pelatihan tentang bagaimana merancang permainan untuk memicu
3
higher order thinking skills bagi guru TK kecamatan Klojen Malang, peserta sangat antusias
mengikuti kegiatan dan dengan hasil yang sangat tinggi (Sutama,dkk., 2020).
Faktor yang menjadi kendala guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran
yang bermutu, berdasarkan kurikulum 2013 adalah kurang intensnya proses pelatihan, kurangnya
model pembelajaran yang kongkrit, yang mencerminkan penerapan pendekatan saintifik
sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya adalah anak kurang mendapat layanan yang
berkualitas, sehingga mereka kurang dapat mengembangkan dan menggunakan keterampilan
berpikir tingkat tinggi dalam belajar. Anak-anak cenderung belajar berdasarkan contoh yang
diberikan oleh guru. Pola pikir anak menjadi konvergen, dan hanya menuntut kecakapan berpikir
dilevel yang rendah yaitu mengingat dan mengungkapkan kembali (recalling).
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, peneliti berupaya mengembangkan model
pembelajaran yang dapat memicu berkembangnya kecakapan berpikir tingkat tinggi (higer order
thinking skills), dalam bentuk e-modul, sehingga batasan ruang dan waktu tidak lagi menjadi
kendala untuk mengembangkan diri. E-modul ini bisa dipelajari secara otodidak, karena di
dalamnya dikemas urutan kegiatan pembelajaran disertai dengan contoh-contoh audio-visual.
Ikutilah semua urutan kegiatan belajar berikut ini, sehingga secara akumulatif Anda akan
memiliki wawasan dan keterampilan dalam mengembangkan/merancang pembelajaran yang
dapat memicu berkembangnya higer order thinking skills pada anak usia dini. Rancangan
pembelajaran ini nantinya akan berbasis pada STEAM, Problem and Project based Learning,
melalui open ended play sebagai strategi utama dalam pembelajaran anak usia dini. Selamat
mengikuti dan semoga Anda sukses.
B. Petunjuk
Saudara peserta pelatihan yang terhormat, di era pandemic Covid 19 dan tantangan abad
ke 21, lebih banyak menuntut adanya pengembangan kompetensi tanpa tersekat oleh ruang dan
waktu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis berupaya untuk membantu peserta
mengembangkan kompetensi dalam mengembangkan open ended play untuk memicu 4 Cs
(critical thinking, creative thinking, collaboration and communication skills). Sehubungan
dengan hal tersebut, maka ikutilah kegiatan belajar 1 berikut ini dengan alur sebagai berikut.
4
a. Bacalah stimulan materi berikut dengan cermat, dan lakukan analisis terkait fenomena sehari-
hari.
b. Kerjakanlah tugas-tugas yang mengikuti sebagai bentuk implementasi dari penguasaan Anda
terhadap materi yang telah dibaca/pelajari, dan kirimkan ke alamat e-mail
[email protected]
c. Berlatihlah mengerjakan soal-soal latihan secara mandiri dan kirimkan melalui akun yang
telah disediakan. Pengerjaan soal-soal latihan dilakukan melalui google form dengan akses
yang disediakan oleh penulis.
C. Tujuan
Setelah mengikuti kegiatan belajar 1, peserta diharapkan memiliki kompetensi berikut ini.
a. Menjelaskan tantangan pembelajaran abad 21.
b. Menganalisis urgensi inovasi pembelajaran untuk anak usia dini di era digital pada abad
21.
c. Melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pembelajaran pada lembaga pendidikan anak
usia dini.
d. Menciptakan gagasan model inovasi pembelajaran berdasarkan refleksi dan evaluasi
terhadap pembelajaran yang sudah dilaksanakannya selama ini di PAUD.
D. Kegiatan Belajar 1: Pendalaman Materi
Memasuki abad 21, perubahan mendasar telah terjadi. Dampak perkembangan teknologi
informasi menyebabkan perubahan global dalam semua aspek kehidupan manusia, termasuk
bidang pendidikan. Kehidupan manusia tidak lagi tersekat-sekat oleh ruang dan waktu, tetapi
mengarah pada kehidupan global yang sangat dinamis. Eksistensi suatu bangsa akan ditentukan
oleh bagaimana bangsa tersebut dapat berkolaborasi untuk menghadapi tantangan kehidupan,
lebih dari sekedar persaingan. Terdapat beberapa tantangan dalam menghadapi Abad 21, di
antaranya munculnya generasi milenial dengan ciri tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama
internet dengan berbagai media sosial yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern
(Delina, 2018). Hal ini bisa menjadikan hidup nyaman, tetapi bisa juga menjadi masalah baru.
5
Dikatakan bisa menjadikan hidup nyaman, karena semua kebutuhan bisa diperoleh dengan
mudah melalui beragam aplikasi yang tersedia, tetapi bisa menjadi masalah manakala kita tidak
siap mental dan finansial untuk menghadapinya. Beragam aktivitas kehidupan seperti berbelanja,
bayar pajak, seminar dan lain sebagainya bisa dilakukan secara online, dan melalui e-money.
Bagaimana dengan dunia pendidikan? Perubahan mendasar juga terjadi pada dunia
pendidikan. Reorientasi pendidikan ikut berubah dari pola behavioristik, menuju ke
konstruktivis-humanistik. Proses belajar bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Perubahan
paradigma tersebut antara lain, dari (1) dari belajar terminal menuju ke belajar sepanjang hayat,
(2) dari belajar fokus ilmu pengetahuan menuju belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-
peserta didik bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari penekanan pada
pengetahuan skolastik menuju pendidikan nilai, (5) dari kampanye malawan buta aksara menuju
melawan buta teknologi, budaya dan computer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi menuju
team work, (7) dari konsentrasi ekslusif ke orientasi kerjasama (networking) (Darmadi, 2018).
Selain itu ke depan tidak perlu lagi membangun gedung-gedung yang megah untuk menunjang
pembelajaran, tetapi yang diperlukan adalah jaringan internet yang optimal dan menjangkau
pelosok negeri. Guru dan peserta didik tidak lagi terikat dengan ruang kelas, tetapi dilakukan
secara virtual. Jumlah peserta didik menjadi tidak terbatas, dan memerlukan guru-guru yang
profesional. Sebagaimana dikemukakan oleh Firman (dalam Delina, 2018) bahwa untuk
mempersiapkan diri pada era industri 4.0, dibutuhkan literasi dasar, dan kompetensi utama
peserta didik. Kompetensi utama peserta didik tersebut adalah peserta didik memiliki
kemampuan beradaptasi di lingkungan yang dinamis, religius, jujur, mandiri, bertanggung jawab,
demokratis, cinta tanah air, toleran, cinta damai, dan menghargai prestasi. Selain itu, kompetensi
utama peserta didik lainnya adalah literasi dasar, diantaranya seperti literasi baca tulis, literasi
numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan, serta
kemampuan memecahkan masalah kompleks, diperlukan 4 C (Berpikir kritis, Kreatif,
Komunikatif, dan Kolaboratif).
6
Gambar 1. Reorientasi PAUD
Kondisi seperti ini menjadi tantangan bagi guru. Guru ke depan harus benar-benar
profesional dalam merancang pembelajaran untuk anak usia dini. Pembelajaran yang disajikan
harus mengarah pada pembelajaran yang joyfull and inovatif learning, yakni pembelajaran yang
memadukan hands on and mind on, problem based leraning dan project based learning (Latip,
2018). Dengan pengemasan pembelajaran yang joyfull and inovatif learning akan menjadikan
peserta didik lebih terlatih dan terasah dalam semua kemampuannya, sehingga diharapkan lebih
siap dalam menghadapi perkembangan zaman.
Untuk memfasilitasi proses belajar anak, lima bagian penting dari perkembangan anak
yang perlu mendapatkan perhatian serius yaitu sebagai berikut. (1) Keterampilan sosial dan
emosional awal, seperti berbagi, memecahkan masalah sosial, dan mengekspresikan serta
mengelola perasaan mereka. (2) Keterampilan belajar seperti pemecahan masalah, pemikiran
imajinatif, dan ketekunan. (3) Keterampilan pra-membaca dan menulis, seperti memahami
bahwa huruf memiliki arti dan dapat digabungkan untuk membentuk kata-kata, dan bahwa
membaca dan menulis dapat digunakan untuk berbagi informasi dan ide. (4) Keterampilan
matematika awal, seperti belajar tentang angka, bentuk, menyortir dan pola. (5) Kekuatan fisik
dan keterampilan koordinasi, seperti berlari dan mampu menggunakan kuas cat dan krayon
(NYC, 2020). Hal ini berarti bahwa dalam pembelajaran tidak hanya menekankan pada academic
materials, tetapi juga soft and hard skills.
7
Bagaimana strategi pembelajaran yang efektif dan inovatif agar anak usia dini siap
menghadapi tantangan abad ke 21 ini? Strategi utama dalam pembelajaran anak usia dini adalah
melalui bermain (learning by playing). Anak usia dini belajar melalui bermain, pengalaman, dan
hubungan positif (NYC, 2020). Melalui bermain anak dapat berimajinasi, berpura-pura,
membuat, mengeksplorasi, menyelidiki, berkomunikasi, bertanya, berbicara, mendengarkan,
berpikir, merasa, sentuhan dan bau. Bermain melibatkan negosiasi, pemecahan masalah,
mengambil risiko, mencoba hal baru, melihat bagaimana segala sesuatu bekerja. Mereka akan
belajar tentang diri mereka sendiri dan orang lain belajar aturan bermain, berteman,
mengembangkan hubungan partnership dan mempercayai orang di sekitar mereka, para pendidik
dan anak lainnya. Bermain memberi anak kesempatan untuk merayakan, mencapai, gagal,
berhasil, membuat kesalahan, praktek, menguji informasi baru atau keterampilan, membentuk
opini dan menguasai keterampilan dan pengetahuan baru (Foundation, 2018).
Oleh karena itu, perlu reorientasi kegiatan bermain pada anak dari close ended play ke
open ended play. Close ended play cenderung mengarahkan anak pada satu jawaban benar
(contohnya maze), tetapi open ended play lebih memungkinkan anak untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis, kreatif, bekerjasama dan mengkomunikasikan (I.W. Sutama et al.,
2019). Seperti contoh pada gambar 2, maze diubah menjadi lebih inovatif.
Gambar 2. Contoh Implementasi Problem Based Learning
Anak akan memiliki konsep mana jalan yang aman dan mana yang berbahaya (berpikir
kritis), menemukan berbagai jalan untuk sampai tujuan (kreatif), membentuk kata dari
serangkaian kartu huruf (literacy), membandingkan mana jalan terdekat dan terjauh
(matematika), Secara berkolaborasi anak membuat grafik dan mengkomunikasikan temuannya.
Proses bermain/pembelajaran seperti ini termasuk permainan berbasis masalah, sekaligus project
8
based learning. Anak-anak dihadapkan pada masalah (anak bebek yang berpisah dari induknya
dan berupaya mencari jalan untuk kembali ke kandangnya; sementara banyak hambatan yang
harus dilewatinya, menemukan beberapa alternatif jalan (alternatif pemecahan masalah),
membandingkan mana jalan yang terpanjang dan terpendek, serta membuat grafik dan
membentuk kata dari kartu huruf yang diperolehnya.
Semoga salah satu contoh tersebut dapat menjadi starting point bagi Anda untuk
mengembangkan permainan berbasis masalah dan proyek, sehingga anak-anak memperoleh
pengalaman belajar yang dapat memicu berkembangnya higer order thinking skills. Semakin
banyak anak memperoleh pengalaman belajar seperti ini, maka anak-anak akan semakin
memperoleh pengalaman belajar yang bermakna (yang di dalamnya anak memperoleh
pengalaman belajar yang dapat mengembangkan soft and hard skills).
E. Kegiatan Belajar 2: Diskusi dan Penugasan
Saudara, untuk memperkuat pemahaman terhadap materi belajar tersebut, cobalah
diskusikan permasalahan berikut ini. Hasil diskusi Anda diunggah ke
[email protected].
1. Era revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan disegala aspek kehidupan manusia,
termasuk dalam bidang pendidikan anak usia dini. Coba lakukan analisis terhadap peluang
dan tantangan PAUD di era revolusi industri 4.0/era digital ini!
2. Sebagai guru/pendidik PAUD, kemukakan upaya apa saja yang dapat Anda lakukan untuk
menyiapkan anak usia dini agar dapat mengembangkan eksistensinya dalam menghadapi
tantangan di era digital ini!
3. Lakukan refleksi, jenis permainan yang Anda berikan kepada anak-anak saat ini lebih
mengarah pada close ended play atau open ended play? Jika masih bersifat close ended play,
cobalah ubah menjadi open ended play.
F. Kegiatan Belajar 3: Latihan Soal
Kerjakanlah soal-soal formatif berikut ini untuk mengukur pemahaman Anda terhadap
materi modul 1.
9
1. Seorang anak senang bermain gadget. Diantara aplikasi yang paling disenanginya adalah
permainan online. Salah satu contohnya adalah balapan mobil. Sikap guru dan orang tua
yang paling tepat adalah….
A. Memberi kesempatan kepada anak untuk bermain karena untuk memupuk bakatnya kelak
sebagai pembalap mobil.
B. Menghentikan permainan anak dengan melakukan blokir terhadap aplikasi tersebut.
C. Mendiskusikan dengan anak tentang strategi untuk menang dalam permainan tersebut.
D. Menganalisis dampak permainan tersebut bersama anak.
2. Di antara permainan berikut yang sesuai untuk mengembangkan higer order thinking skills
adalah…
A. Permainan engklek.
B. Permainan dakon.
C. Permainan mencampur warna.
D. Permainan menyusun balok sesuai kreasi anak.
3. Salah satu bentuk implementasi open ended play di bawah ini adalah….
A. Guru mengajak anak mengelompokkan binatang berdasarkan tempat hidupnya dengan
menggunakan diagram Venn.
B. Guru mengajak anak mengamati tanaman dan mewarnai gambar tanaman.
C. Anak-anak bermain tali dan secara bergiliran melompat tanpa menyentuh tali.
D. Anak dibagi ke dalam 3 kelompok untuk melakukan kegiatan menggunting, melipat dan
mewarna gambar binatang kesayangannya.
4. Salah satu kompetensi guru di era digital adalah literacy digital. Di antara pernyataan berikut
yang menunjukkan kompetensi tersebut adalah….
A. Guru terampil menggunakan gadget sebagai alat berkomunikasi dengan anak.
B. Guru terampil menggunakan masmedia untuk dijadikan sumber belajar.
C. Guru terampil mengolah data dengan menggunakan computer.
10
D. Guru terampil menggunakan android untuk mengadakan webmeeting dengan anak dan
orang tua anak.
5. Salah satu bentuk reorientasi pembelajaran dari teori behavioristik ke teori konstruktivistik-
humanistik adalah….
A. Guru menanamkan kebiasaan dengan memberikan hadiah/ganjaran bagi anak yang
berbuat baik.
B. Guru menjadi partner anak dalam belajar dan melakukan intervensi bila diperlukan.
C. Guru membagi tugas belajar secara berkelompok untuk mengerjakan tugas secara
bergiliran.
D. Guru menjadi model bagi perilaku belajar sepanjang hayat bagi anak.
6. Anak usia TK sebaiknya dihindarkan dari belajar berbantuan alat komunikasi sebab anak TK
masih dalam tahap bersosialisasi dan berkomunikasi secara langsung dengan orang dewasa.
Di antara pernyataan berikut ini yang paling benar adalah…
A. Pernyataan benar, alasan benar dan memiliki hubungan sebab akibat.
B. Pernyataan benar alasan benar tetapi tidak ada hubungan sebab akibat.
C. Pernyataan salah dan alasan salah dan keduanya menunjukkan hubungan sebab akaibat.
D. Pernyataan salah dan alasan benar.
7. Salah satu bentuk kegiatan yang mampu memicu keterampilan berpikir kritis berikut ini
adalah….
A. Guru menjelaskan faktor penyebab banjir dan membuktikannya melalui percobaan.
B. Anak mengamati kandang kelinci dan mencoba menyusun balok-balok untuk membuat
tiruan kandang kelinci.
C. Guru mengajak anak membuat beragam pola dari 3 warna primer.
D. Anak membedakan 2 atau lebih gambar untuk menemukan persamaan dan perbedaannya.
11
8. Konsep merdeka belajar sangat sesuai diterapkan pada pembelajaran untuk anak usia dini,
sebab anak memiliki masa peka yang berbeda dengan anak yang lainnya. Pernyataan berikut
ini yang sesuai dengan konsep tersebut adalah….
A. Pernyataan benar, alasan benar dan ada hubungan sebab akibat.
B. Pernyataan benar dan alasan benar tetapi tidak ada hubungan sebab akibat.
C. Pernyataan benar alasan salah.
D. Pernyataan salah alasan benar.
9. Di antara kegiatan berikut ini yang merupakan implementasi dari pembelajaran berbasis
masalah dan proyek adalah….
A. Guru menjelaskan tema tentang hujan dan mengajak anak melakukan percobaan
terjadinya hujan.
B. Guru mendesain pembelajaran “memperingati hari ulang tahun temannya” secara
kolaboratif.
C. Guru menyediakan gambar tanah yang tandus dan anak-anak memanfaatkan tanah tandus
tersebut menjadi tempat yang bermanfaat sesuai dengan imajinasi anak.
D. Guru mendemonstrasikan cara membuat lampion, dan digunakan untuk hiasan dalam
memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke 75.
10. Salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru di era revolusi industry 4.0 adalah literasi
dasar. Di antara pernyataan berikut ini yang menggambarkan literasi sains adalah….
A. Guru sering memberi contoh dan model bagi anak untuk melakukan eksperimen.
B. Guru menguasai konsep dasar sains dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-
hari.
C. Guru mampu mengajarkan sains kepada anak-anak, sehingga anak-anak memiliki rasa
ingin tahu yang kuat.
D. Guru rajin membuat media sederhana berbasis konsep sains, misalnya membuat
percobaan medan magnet untuk menunjukkan kutub utara dan selatan bumi.
12
MODUL 2 : KONSEP HIGER ORDER THINKING SKILLS DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
A. Pengantar
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 21 ini sangat pesat, dan
berdampak pada semua aspek kehidupan. Proses digitalisasi memunculkan kecerdasan buatan.
Sekat waktu dan ruang sudah bukan lagi menjadi halangan untuk menjalani kehidupan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Supriadi (http://teoribagus.com/paradigma-pendidikan-
indonesia-abad-21) bahwa dalam abad 21 terdapat berbagai kekhususan yang utama yaitu (1)
terwujudnya masyarakat global (2) perkembangan ilmu dan teknologi yang makin canggih dan
berpadu dengan ilmu sosial dan humaniora, serta perkembangannya. Oleh karena itu dituntut
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi: (1) kemampaun berpikir kritis dan pemecahan
masalah, (2) kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, (3) kemampuan mencipta dan
membaharui, (4) kemampuan literasi teknologi informasi dan komunikasi.
Kondisi seperti ini, menuntut semua jenjang pendidikan untuk mengubah mindset
pembelajaran, dari teori behavioristik menuju ke konstruktivistik-humanistik. Pembelajaran
bukan lagi menuntut linieritas konvergensi, tetapi menuju kepada pola holistik integratif, dengan
mengadakan intervensi melalui problem based learning dan project based learning.
Sebagaimana dikemukakan oleh ((Duch, B. J., Groh, S. E, & Allen, 2001),
Problem-Based Learning (PBL) is a teaching method in which complex real-
world problems are used as the vehicle to promote student learning of
concepts and principles as opposed to direct presentation of facts and
concepts. In addition to course content, PBL can promote the development of
critical thinking skills, problem-solving abilities, and communication skills. It
can also provide opportunities for working in groups, finding and evaluating
research materials, and life-long learning.
Anak-anak diintervensi dengan pemberian perrmasalahan yang nantinya dieksplorasi oleh
anak, sampai menemukan solusinya. Sementara pembelajaran berbasis proyek menekankan pada
proses pembelajaran yang bercirikan sebagai berikut. a) peserta didik membuat keputusan
tentang sebuah kerangka kerja, b)adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada
peserta didik, c) peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau
13
tantangan yang diajukan,d) peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses
dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan, e) proses evaluasi dijalankan secara
kontinyu, f) peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan,
g) produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif, h) situasi pembelajaran sangat
toleran terhadap kesalahan dan perubahan (Nurhayati dan Dwi Harianti,
https://sibatik.kemdikbud.go.id/inovatif/assets/file_upload/pengantar/pdf/pengantar_5.pdf,
diakses tgl. 23 September 2020).
Terkait dengan hal tersebut, pendidik di lembaga pendidikan anak usia dini berperan sangat
fundamental karena di lembaga PAUD merupakan dasar pembentukan karakter pada anak. Jika
anak sejak dini memiliki karakter memiliki rasa ingin tahu yang kuat, terbiasa berhadapan
dengan masalah dan kreatif menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya, maka ke
depan akan menjadi generasi yang unggul, adaptif dan kreatif.
B. Petunjuk
Saudara peserta pelatihan yang terhormat, di era pandemic Covid 19 dan tantangan abad ke
21, lebih banyak menuntut adanya pengembangan kompetensi tanpa tersekat oleh ruang dan
waktu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis berupaya untuk membantu peserta
mengkaji dan memahami konsep higer order thinking skills dan kompetensi abad ke 21.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka ikutilah kegiatan belajar 1 berikut ini dengan alur sebagai
berikut.
a. Bacalah stimulan materi berikut dengan cermat, dan lakukan analisis terkait fenomena sehari-
hari.
b. Kerjakanlah tugas-tugas yang mengikuti sebagai bentuk implementasi dari penguasaan Anda
terhadap materi yang telah dibaca/pelajari, dan kirimkan ke alamat e-mail
[email protected]
c. Berlatihlah mengerjakan soal-soal latihan secara mandiri dan kirimkan melalui akun yang
telah disediakan. Pengerjaan soal-soal latihan dilakukan melalui google form dengan akses
yang disediakan oleh penulis.
14
C. Tujuan
Setelah mengikuti kegiatan belajar pada modul 2 ini, peserta diharapkan memiliki
kompetensi berikut ini.
a. Menjelaskan hakikat order thinking skills.
b. Menjelaskan hakikat kompetensi abad ke 21.
c. Menganalisis urgensi penguasaan higer order thinking skills dan kompetensi abad ke 21
pada anak usia dini.
d. Melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pembelajaran pada lembaga pendidikan anak
usia dini ditinjau dari konsep HOTS dan Keterampilan abad ke 21.
e. Menciptakan gagasan konseptual peningkatan kualitas pembelajaran dengan menerapkan
open ended play berbasis problem and project based learning.
D. Kegiatan Belajar 1: Pendalaman Materi
1. Konsep Dasar High Order Thinking
a. Konsep Dasar Higher Order Thinking
Higher Order Thinking menurut (Lewis A, 1993)sebagai berikut.
Higher order thinking occurs when a person takes new information and
information stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends
this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing
situations
Higher Order Thinking terjadi ketika seseorang mencari informasi baru dengan cara
menggali informasi melalui pengalamannya yang tersimpan dalam memorinya sehingga
dapat mengatur ulang dan memperluas informasi baru untuk mencapai tujuan atau
menemukan kemungkinan jawaban dalam situasi yang membingungkan. Senada dengan
pendapat di atas, King mengungkapkan bahwa: 1) mengungkapkan bahwa Higher Order
Thinking meliputi pemikiran kritis, pemikiran logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir
kreatif. Pemikiran kritis, pemikiran logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif
diaktifkan saat individu menghadapi permasalah yang tidak biasa, terdapat
ketidakpastian, memunculkan berbagai pertanyaan, atau membuat dilema. Higher Order
15
Thinking menghasilkan suatu keputusan yang telah dihasilkan melalui pengetahuan yang
tersedia atau pengalaman yang dimilikinya. Urutan atau tingkatan paling rendah dalam
Higher Order Thinking yaitu: diskriminasi, penerapan sederhana dan analisis, serta
strategi kognitif yang dikaikan dengan pengetahuan sebelumnya tentang konten materi
pelajaran (King, Goodson, 2000).
Secara lebih lanjut, King, Goodson, (King, Goodson, 2000) juga berpendapat
sebagai berikut.
Several major concepts relevant to the higher order thinking processes are to
follow, based on three assumptions about thinking and learning. First, the
levels of thinking cannot be unmeshed from the levels of learning; they
involve interdependent, multiple components and levels. Second, whether or
not thinking can be learned without subject matter content is only a
theoretical point. In real life, students will learn content in both community
and school experiences, no matter what theorists conclude, and the concepts
and vocabulary they learn in the prior year will help them learn both higher
order thinking skills and new content in the coming year. Third, higher order
thinking involves a variety of thinking processes applied to complex
situations and having multiple variables.
Pendapat di atas menjelaskan terkait dengan beberapa konsep utama yang relevan
dengan proses Higher Order Thinking berdasarkan pada tiga asumsi tentang berpikir dan
belajar, yaitu: pertama, tingkat berpikir tidak bisa terlepas dari tingkat pembelajaran;
tingkat berpikir dan pembelajaran saling ketergantungan dan melibatkan beberapa
komponen; kedua, berpikir bisa dipelajari tanpa konten materi pelajaran hanya sebuah
titik teoritis yang dalam kehidupan nyata ditunjukkan saat anak akan belajar suatu konten
baik di masyarakat maupun pengalaman di sekolah, hal tersebut akan membantu anak
untuk mempelajari keterampilan Higher Order Thinking dan konten baru di masa
mendatang; ketiga, Higher Order Thinking melibatkan berbagai proses berpikir yang
diterapkan pada situasi yang kompleks dan memiliki banyak variabel.
The National Council of Teachers of Mathematics (NTCM, 1989) mengemukakan
bahwa proses Higher Order Thinking meliputi lima unsur, yaitu: keterampilan
memecahkan masalah (problem solving), keterampilan bertanya (inquiry skills),
kemampuan bernalar (reasoning skills), keterampilan berkomunikasi (communication
skills) dan keterampilan konseptualisasi (conseptualizing skills). Unsur-unsur tersebut
16
saling terkait satu sama lain sehingga merupakan cara mendasar dalam belajar
matematika. Berpikir dan menggunakan pengetahuan matematika dianggap penting
dalam pendidikan matematika. Akan tetapi banyak ditemukan permasalahan anak dalam
belajar matematika berasal dari kelemahan mereka dalam satu atau lebih keterampilan
tersebut. Anak-anak diharapkan dapat meningkatkan pengembangan keterampilan Higher
Order Thinking dan menggunakannya untuk membangun pengetahuan matematisnya
agar dapat dipergunakan dalam menjalani kehidupannya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Higher Order
Thinking merupakan suatu proses berpikir mendalam yang meliputi kelima komponen,
yaitu: keterampilan memecahkan masalah (problem solving), keterampilan bertanya
(inquiry skills), kemampuan bernalar (reasoning skills), keterampilan berkomunikasi
(communication skills) dan keterampilan konseptualisasi (conseptualizing skills) serta
melibatkan pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya saat individu menghadapi
permasalah.
b. Higher Order Thinking pada Anak Usia Dini
Pada anak usia dini Higher Order Thinking diwujudkan dengan kegiatan anak
berpikir secara mendalam terkait suatu disebut juga proses berpikir kritis. Terdapat 6
level atau tingkatan dalam Higher Order Thinking pada anak (Cinthya, 2016), yaitu
sebagai berikut.
1) Level 1- Knowledge- Remembering Information
Level pertama mengacu pada dasar, pengetahuan umum dan kemampuan anak
dapat mengingat informasi. Pada level ini anak-anak mulai mempertanyakan sesuatu hal
sehingga keterampilan bertanyanya berkembang. Anak akan mulai mengamati
lingkungan dan benda-benda yang ada di lingkungannya dan mulai melibatkan proses
berpikirnya melalui memorinya. Anak akan mengidentifikasi, memberi nama,
menghitung, ulangi, dll.
2) Level 2- Comprehension- Understanding Information
Level dua, seperti level satu adalah pembelajaran berbasis pengetahuan. anak akan
dapat menjawab pertanyaan yang memerlukan summarization of work. Anak akan
17
mengerti fakta dan gagasan serta dapat membandingkan, menjelaskan, dan
meringkasnya.
3) Level 3- Application- Applying personal knowledge/ information to
different scenarios
Level tiga dan empat adalah pembelajaran berbasis keterampilan. Misalnya. anak
harus menggunakan pengetahuannya tentang informasi dan keterampilan untuk
menemukan solusinya. Anak akan dapat menjawab pertanyaan tentang sebuah
cerita/kegiatan yang membutuhkan lebih banyak pemikiran tentang pilihan yang
berbeda. Anak akan menjelaskan mengapa, mengapa tidak, mendramatisir jawabannya,
mengidentifikasi atau berhubungan dengan karakter. Anak juga akan belajar
keterampilan baru untuk aplikasi di berbagai setting baru.
4) Level 4- Analysis- Analysis of information from data and experiences
Level keempat adalah pembelajaran berbasis keterampilan. Anak akan bisa
menjawab pertanyaan yang perlu diikutsertakan. Anak akan mengenali persamaan dan
perbedaan, mengenali perubahan dalam buku (karakter/setting, dll), bereksperimen
dengan skenario 'bagaimana jika', menyimpulkan, dan mengidentifikasi motif/sebab.
Anak juga akan belajar keterampilan baru untuk aplikasi di berbagai setting baru.
5) Level 5- Synthesis- Evaluation of Information
Level lima adalah pembelajaran berbasis afektif. Anak akan dapat menjawab
pertanyaan yang membutuhkan pendapat, menilai keputusan diri sendiri dan orang lain,
membela dan mengkritisi pilihan mereka dan pilihan orang lain. Anak harus bisa
mempertahankan keputusannya (mengapa atau mengapa tidak). Anak mungkin memiliki
pergeseran dalam cara berpikir mereka (bahwa nilai, sikap, minat dapat berubah-ubah).
6) Level 6- Evaluation- Creation
Seperti level 5, level 6 merupakan bagian dari pembelajaran berbasis afektif. Anak
akan dapat membangun/menghancurkan, merancang, dan menciptakan jawaban atas
masalah mereka sendiri. Anak akan hadir dan mempertahankan penilaian mereka
sendiri, dan tindakan orang lain.
Sementara berdasarkan taksonomi Bloom (edisi review) mengemukakan bahwa
terdapat tiga aspek perkembangan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (keterampilan),
dengan rentang mulai dari yang terendah sampai ke tingkat yang tertinggi. Pada level
18
kognitif meliputi aspek pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi dan
mencipta. Pada aspek sikap meliputi menerima, merespon, menilai, mengorganisasi,
karakterisasi dan aktualisasi. Sementara aspek keterampilan meliputi mengamati,
menanya, melakukan eksperimen, menalar dan mengkomunikasikan.
Sumber:https://www.google.com/search?q=taksonomi++ranah+sikap&tbm=isch&ved=2ahUKE
wjJseOk1__rAhUH23MBHRXWBpAQ2-
2. Kompetensi Abad ke 21
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ke 21 menuntut adanya
reorientasi dalam pelaksanaan pembelajaran mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini
sampai pada ranah perguruan tinggi. Beberapa kompetensi abad ke 21 yang hendaknya
dikembangkan pada peserta didik adalah sebagai berikut. 1) Kemampuan berpikir kritis, 2)
kreativitas dan inovasi, 3) kolaborasi dan 4) komunikasi.
a. Berpikir Kritis
Critical thinking refers to the ability to analyze information objectively and make a
reasoned judgment. It involves the evaluation of sources, such as data, facts, observable
phenomena, and research findings (Doyle: https://www.thoughtco.com/critical-thinking-
definition-with-examples-2063745, diakses 24 September 2020).
19
Dalam konteks ini, berpikir kritis mengacu pada kemampuan untuk menganalisis
informasi secara objektif dan membuat penilaian yang masuk akal (rasional). Hal ini
melibatkan evaluasi sumber, seperti data, fakta, fenomena yang dapat diamati, dan
temuan penelitian.
Berpikir kritis adalah proses disiplin intelektual untuk secara aktif dan terampil
membuat konsep, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan/atau mengevaluasi
informasi yang dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh, observasi, pengalaman, refleksi,
penalaran, atau komunikasi, sebagai panduan untuk keyakinan dan tindakan. kemampuan
berpikir kritis didasarkan pada nilai-nilai intelektual universal yang melampaui
pembagian materi pelajaran: kejelasan, akurasi, presisi, konsistensi, relevansi, bukti yang
kuat, alasan yang baik, kedalaman, keluasan, dan keadilan (Foundation, 2018)
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis meliputi kemampuan yang kompleks, karena dalam melihat sesuatu, anak
melakukan pembandingan, analisis, menilai, mengasosiasikan dan dari hal tersebut
mereka dapat mengambil sebuah keputusan. Anak dapat diarahkan ketika mengkritisi
sesuatu dapat berpedoman pada nilai-nilai intelektual universal yang melampaui sekat-
sekat disiplin ilmu (memandang sesuatu lintas disiplin). Kemampuan berpikir kritis
menekankan pada kejelasan, akurasi, presisi, konsistensi, relevansi, bukti yang kuat,
alasan yang baik, kedalaman, keluasan, dan keadilan.
Contoh:
20
Anak dihadapkan pada masalah, anak menganalisis masalah tersebut dengan
pertanyaan: apa, mengapa dan bagaimana. Apa yang dilihatnya, mengapa hal tersebut
bisa terjadi (analisis), bagaimana perasaannya (afektif), dan bagaimana mengatasinya?
b. Berpikir kreatif dan inovatif
Kemampuan kedua yang perlu dikembangkan pada anak adalah berpikir kreatif dan
inovatif. Kemampuan berpikir kreatif mengarah pada strategi kognitif untuk memikirkan
hal atau konsep baru atau strategi baru untuk mengatasi suatu permasalahan. Anak
memiliki imajinasi yang tinggi, membayangkan hal-hal di luar pemikiran yang sudah ada.
Berpikir kreatif atau creative thinking adalah sebuah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk berpikir secara terus-menerus dan konsisten dalam menghasilkan segala
sesuatu yang kreatif dan original. (https://www.equinix.sg/resources/analyst-
reports/diakses 24-09-2020).
Sementara berpikir inovatif mengarah pada proses mengubah pemikiran kreatif
menjadi sestau yang nyata dan memiliki nilai kebaruan.
c. Kolaborasi/ membangun jejaring
Di era abad ke 21, terjadi perubahan pola hubungan sosial masyarakat, dari
persaingan menuju kolaborasi. Di era digital seperti sekarang hubungan sosial terjadi
secara mengglobal, melampaui sekat dan batas ruang dan waktu. Orang dengan mudah
21
menjalin komunikasi dan berinteraksi melalui berbagai media sosial, seperti WhatsAp,
Instagram, Telegram, Facebook, TikTok dan sejenisnya. Hal ini tentu berdampak positif
dan juga negatif. Jaringan media sosial ini dapat dijadikan sarana untuk membangun
networking yang luas. Kemampuan kolaboratif merupakan kemampuan seseorang
bekerja sama di dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
dimanifestasikan dalam bentuk interaksi social.
(https://www.google.com/search?safe=strict&client=firefox-b-d&ei/diakses 24-09-2020
Terkait dengan hal tersebut, maka dalam pendidikan anak usia dini ditekankan pada
bagaimana anak mulai belajar berkolaborasi dan menjalin hubunggan/jaringan kolegial
dengan temannya. Dalam kelompok-kelompok kecil, anak belajar menyelesaikan suatu
proyek secara kolaboratif, sehingga semua anak akan mengalami pengalaman belajar
bersosialisasi dan bekerjasama untuk menyelesaikan suatu masalah/proyek. Kolaborasi
adalah kemampuan untuk bekerja sama, saling bersinergi, beradaptasi dalam berbagai
peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan yang lain, menempatkan
empati pada tempatnya, dan menghormati perspektif berbeda. Dengan berkolaborasi,
anak yang terlibat dapat saling mengisi kekurangan yang lain dengan kelebihan masing-
masing. Anak diarahkan agar mampu bekerja sama secara efektif dalam tim yang
beragam, fleksibel dan mampu berkompromi untuk mencapai tujuan bersama, memahami
tanggung jawabnya dalam tim, dan menghargai kinerja anggota tim lainnya.
d. Kemampuan berkomunikasi
Komunikasi merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, dalam
menyampaikan ide, gagasan, perasaan, pengetahuan dan lain sebagainya. Proses
komunikasi dapat dilakukan secara verbal maupun nonverbal (lisan maupun tulisan).
Melalui berkomunikasi, orang dapat menyampaikan maksud dan tujuan serta ide,
22
gagasan, perasaan dan pengetahuannya kepada orang lain, bukan hanya secara sepihak,
tetapi juga multi arah.
Di dalam pendidikan anak usia dini, anak-anak dibiasakan untuk menguasai
keterampilan berkomunikasi. Mengkomunikasikan apa yang dirasakan, apa yang
diinginkan, apa yang dikerjakan dan apa ide dan gagasannya merupakan satu kesatuan
dalam keseluruhan proses pembelajaran. Misalnya menceritakan pengetahuannya tentang
sesuatu, menjelaskan apa yang sudah dikerjakan, menjelaskan pendapat serta
perasaannya tentang sesuatu adalah sebagian dari bentuk kemampuan berkomunikasi
yang ditanamkan pada anak.
3. Model Pembelajaran berbasis Higher Order Thinking Skills
Strategi pengajaran dan lingkungan belajar dalam mengajarkan anak untuk dapat
berpikir Higher Order Thinking yang tepat untuk memfasilitasi pertumbuhan anak seperti
halnya menambah ketekunan dalam memonitor anak, membuka pikiran anak, serta fleksibel
dalam bertingkah laku (King, Goodson, 2000).
Pemahaman umum guru untuk mengembangkan HOT anak harus memperhatikan
keterlibatan anak dengan tugas belajar yang melebihi tingkat kedua 'pemahaman' untuk
mendorong kegiatan penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi dalam memproses informasi
(Zohar, 2004). Hal ini sejalan dengan anggapan bahwa HOT mencakup setiap kemampuan
berpikir yang membutuhkan lebih dari sekadar penarikan atau penghafalan informasi (Yen,
Tan Shin,& Halili, 2015).
23
Pelajaran yang melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi memerlukan kejelasan
komunikasi yang khusus sehingga akan mengurangi ambiguitas dan kebingungan serta dapat
memperbaiki sikap anak tentang tugas berpikir. Rencana pelajaran harus mencakup
pemodelan keterampilan berpikir, contoh pemikiran terapan, dan adaptasi untuk beragam
kebutuhan anak (memberi siswa dukungan di awal pelajaran dan secara bertahap
mengharuskan anak untuk beroperasi secara mandiri) membantu anak mengembangkan
tatanan yang lebih tinggi kemampuan belajar. Namun, terlalu banyak atau terlalu sedikit
dukungan bisa menghambat perkembangan.
Strategi pembelajaran yang berguna mencakup latihan, elaborasi, organisasi, dan
metakognisi. Pelajaran harus dirancang khusus untuk mengajarkan strategi pembelajaran
yang spesifik. Instruksi langsung (presentasi informasi yang berpusat pada guru) harus
digunakan dengan hemat. Presentasi harus singkat sampai lima menit) dan ditambah dengan
latihan terpandu untuk mengajarkan subskill dan pengetahuan. Pertanyaan yang diajukan
oleh guru dan/atau anak tentang dilema, masalah baru, dan pendekatan baru harus
menghasilkan jawaban yang belum pernah dipelajari. Umpan balik yang tulus yang
memberikan informasi segera, spesifik, dan korektif harus memberi tahu peserta didik
tentang kemajuan mereka. Kegiatan kelompok kecil seperti tanya jawab, bimbingan/tutor
sebaya, dan pembelajaran kooperatif dapat efektif dalam pengembangan keterampilan
berpikir.
Kegiatan harus melibatkan tugas yang menantang, dorongan guru untuk tetap pada
tugas, dan umpan balik yang berkelanjutan tentang kemajuan kelompok. Komunikasi dan
instruksi yang dimediasi komputer dapat memberikan akses ke sumber data jarak jauh dan
memungkinkan kolaborasi dengan anak di lokasi lain. Ini bisa efektif dalam membangun
keterampilan di bidang analogi verbal, pemikiran logis, dan penalaran induktif/deduktif.
E. Kegiatan Belajar 2: Diskusi dan Penugasan
Saudara, untuk memperkuat pemahaman terhadap materi belajar tersebut, cobalah
diskusikan permasalahan berikut ini. Hasil diskusi Anda diunggah ke
[email protected].
1. Amatilah video berikut ini di link berikut ini.
24
https://www.youtube.com/watch?v=vHa99yXJk2Y
a. Lakukan analisis terhadap video tersebut ditinjau dari implementasi pengembangan
higer order thinking skills.
b. Komponen keterampilan apa saja yang dikembangkan dalam video pembelajaran
tersebut?
c. Bagaimana pendapat saudara mengenai pembelajaran tersebut terkait dengan
pengembangan kompetensi abad ke 21?
2. Perhatikan gambar di bawah ini.
a. Hal-hal apakah yang dapat saudara kembangkan dari gambar tersebut? Analisis
sebaiknya dikaitkan dengan implementasi higer order thinking skills dan kompetensi
abad ke 21 (4 Cs) untuk anak usia dini.
b. Unduhlah sebuah RPPH dari internet, dan lakukan analisis apakah RPPH tersebut
sudah menekankan pada pengembangan higer order thinking skills (HOTS) atau
lower order thinking skills (LOTS)? Tunjukkan bagian mana yang masih LOTS dan
bagian mana yang sudah HOTS
c. Buatlah rancangan pembelajaran yang berorientasi pada gagasan yang ada serta hasil
analisis saudara pada gambar tersebut di atas.
25
F. Kegiatan Belajar 3: Latihan Soal
Untuk mengukur pemahaman saudara mengenai modul 3 ini, silakan jawab pertanyaan
berikut ini.
1. Jelaskan urgensi pengembangan higer order thinking skills sejak anak masih usia dini?
2. Berilah minimal 3 contoh tindakan guru yang melakukan intervensi pada anak agar dapat
memicu keterampilan berpikir kritis.
3. Berdasarkan gambar berikut ini, susunlah sebuah skenario pembelajaran sehingga dapat
memicu perkembangan dan penguasaan kompetensi abad ke 21 pada anak usia dini
(khususnya di TK).
===============Selamat Berkarya==============
26
MODUL 3 : STRATEGI PENGEMBANGAN HIGHER ORDER THINKING SKILLS
PADA ANAK USIA DINI
A. Pengantar
Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat memaksa setiap dari kita untuk terus
belajar dan cepat tanggap dengan perubahan tersebut agar tidak menjadi manusia yang tertinggal
di tengah arus perubahan zaman. Perubahan yang demikian cepat itu melanda diseluruh sektor
kehidupan manusia, termasuk juga dalam bidang pendidikan. Para pendidik dituntut untuk dapat
merancang pembelajaran yang dapat mempersiapkan anak didiknya menjadi generasi yang siap
menghadapi tantangan di abad XXI, salah satunya adalah menciptakan generasi bangsa yang
memiliki kemampuan 4C yaitu Critical Thinking Skill, Creative Thinking Skill, Collaboration
skill, dan Communication Skill atau dikenal juga dengan istilah Higher Order Thinking Skills.
Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa kemampuan berpikir peserta didik di Indonesia
masih berada pada kemampuan LOTS (Low Order Thinking Skills) berpikir tingkat rendah. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh PISA (Programme for
International Student Assesmen (PISA) pada tahun 2019 tentang kemampuan anak Indonesia
yaitu bahwa kemampuan membaca peserta didik Indonesia berada pada peringkat 74
(sebelumnya peringkat 64), kemampuan matematika peringkat 73 (sebelumnya 63), dan kinerja
sains ada di peringkat 71 (sebelumnya 62). Asesmen dalam PISA berbasis Higher Order
Thingking Skills (HOTS). Indonesia juga pernah mencoba memberikan soal kategori HOTS pada
saat pelaksanaan ujian nasional (UN) di tahun 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta didik
Indonesia masih kesulitan mengerjakan soal UN tahun 2018 karena peserta didik Indonesia
belum terbiasa dihadapkan pada aktivitas pembelajaran yang aplikatif dan mengasah HOTS
mereka. Konsep pembelajaran yang diberikan kepada anak-anak didik kita masih
menitikberatkan pada kemampuan menghafal, memahami, dan mengaplikasikan, sehingga baru
menstimulasi kemampuan LOTS (Low Order Thinking Skills) nya saja (Harsono, 2016)
Berkaca pada pengalaman tersebut, maka pendidik perlu merubah strategi mengajarnya
dari yang selama ini baru menstimulasi LOTS peserta didik berubah kepada pemberian aktivitas
mengajar yang mengarah kepada HOTS peserta didik. Penerapan strategi pembelajaran yang
27
dapat menstimulai HOTS anak tentu saja tidak hanya dilakukan oleh para pendidik di jenjang
pendidikan dasar dan menengah, namun pendidik anak usia dini juga harus merubah mindsetnya
agar dapat merancang pembelajaran yang menstimulasi HOTS anak. Mengapa demikian?
Tentunya kita harus ingat tentang teori neurosains bahwa perkembangan kecerdasan anak
berkembang mencapai 80% pada saat mereka berusia dini, oleh karena itu penting sekali bagi
kita untuk mengoptimalkan potensi kecerdasan anak sejak dini dengan cara memberikan
pembelajaran yang dapat menstimulasi 4C anak. Agar potensi tersebut muncul, pendidik perlu
merancang pembelajaran yang kreatif, pembelajaran yang dapat membuat anak mampu
mengeksplorasi lingkungan belajarnya secara aktif dan kreatif.
B. Petunjuk
Kondisi pandemi Covid 19 yang datang menimpa kita bukan berarti menjadikan kita
kehilangan akal untuk memberikan pembelajaran yang kreatif dan inovatif serta menyenangkan
untuk anak-anak didik kita. Kondisi ini justru menjadi momentum bagi pendidik untuk dapat
merancang pembelajaran yang implementatif namun tidak meninggalkan tujuan awal dalam
mengembangkan 6 bidang pengembangan anak. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ikutilah
kegiatan belajar yang tersaji pada modul 3 berikut ini dengan alur sebagai berikut.
a. Bacalah stimulan materi berikut dengan cermat, dan lakukan analisis terkait fenomena
sehari-hari.
b. Kerjakanlah tugas-tugas yang mengikuti sebagai bentuk implementasi dari penguasaan Anda
terhadap materi yang telah dibaca/pelajari, dan kirimkan ke alamat e-mail
[email protected]
c. Berlatihlah mengerjakan soal-soal latihan secara mandiri dan kirimkan melalui akun yang
telah disediakan. Pengerjaan soal-soal latihan dilakukan melalui google form dengan akses
yang disediakan oleh penulis.
C. Tujuan
Setelah mengikuti kegiatan belajar pada modul 3 ini, peserta diharapkan memiliki
kompetensi berikut ini.
a. Menjelaskan hakikat strategi pembelajaran.
28
b. Merumuskan pembelajaran yang dapat menstimulasi HOTS menggunakan beragam strategi
pembelajaran.
D. Kegiatan Belajar 1 Pendalaman Materi
1) Inovasi Pembelajaran PAUD
Penerapan pendekatan saintifik pada kurikulum 2013 PAUD bertujuan untuk melatih anak
usia dini agar mampu menghasilkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking
Skills/HOTS). Kreativitas guru diperlukan agar dapat menciptakan pembelajaran yang dapat
menstimulasi anak untuk memiliki HOTS. Pembelajaran akan dapat memunculkan HOTS
apabila guru mau merubah pola berpikirnya untuk HOTS dan merubah konsep pembelajarannya
yang konvensional menjadi pembelajaran yang berbasis pada pembelajaran STEAM (Sains,
Technology, Engineering, Arts, and Mathematic) melalui pendekatan saintifik.
Guru perlu memikirkan bagaimana memunculkan konsep STEAM pada pembelajaran. Hal
ini diperlukan karena penerapan STEAM pada pembelajaran menekankan pentingnya praktik
langsung. Konten pelajaran yang disajikan bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan anak secara bersamaan. Oleh karena itu, praktik penerapan STEAM pada
pembelajaran anak usia dini dapat menstimulasi anak untuk berpikir kritis, kreatif, fleksibel,
bertanggung jawab terhadap tugasnya serta kemampuan mereka bekerjasama dan menyampaikan
gagasan atau pendapat mereka. STEAM membantu anak untuk menghubungkan ilmu dan
keterampilan yang sudah mereka miliki dengan kehidupan nyata, sehingga hasil belajar yang
didapatkan oleh anak akan lebih berguna pada kehidupannya baik di masa sekarang maupun
yang akan datang.
Trend yang sedang berkembang saat ini adalah tentang penerapan pembelajaran yang juga
menyisipkan pemanfaatan teknologi atau yang lebih dikenal dengan konsep TPaCK dalam
pembelajaran. Pemenuhan TPaCK dalam pembelajaran harus diimbangi juga dengan
kemampuan guru dalam menerapkannya. Kunci keberhasilan pelaksanaan inovasi pembelajaran
pada anak usia dini adalah pentingnya kerjasama yang baik antara guru, orangtua, dan
masyarakat untuk dapat mewujudkan konsep pembelajaran berbasis STEAM dan TPaCK melalui
penerapan pembelajaran saintifik, agar dapat menstimulasi kemampuan HOTS setiap anak.
29
2) Strategi Pengembangan HOTS Anak
Guru selaku pelaku utama dalam pelaksanaan pembelajaran memegang peranan penting
dalam mempersiapkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat, dan karakteristik
anak usia dini. Pembelajaran yang dirancang oleh guru tentu saja juga harus disesuaikan dengan
perkembangan kurikulum yang berlaku dan perkembangan kemajuan penegtahuan, teknologi dan
informasi. Beracuan pada pemaparan tentang pentingnya inovasi pembelajaran pada jenjang
pendidikan anak usia dini, maka guru PAUD pun juga harus mau membuka dirinya dan mau
merubah pemikirannya untuk dapat merancang pembelajaran yang dapat menstimulasi HOTS
anak. Tentunya tidak semua strategi pembelajaran tepat untuk digunakan menstimulasi HOTS
anak, untuk itu guru harus benar-benar selektif dalam memilih strategi pembelajaran yang dapat
menstimulasi HOTS anak.
Strategi pembelajaran yang dapat menstimulasi HOTS anak sebaiknya dapat
mengoptimalkan kemampuan anak untuk dapat berpikir kritis dan analitis terhadap materi atau
kegiatan pembelajaran yang disajikan oleh guru, dari hasil analisis kritis tersebut diharapkan
anak-anak dapat menuangkan ide-ide atau pemikiran kreatif mereka sebagai bentuk solusi
terhadap tugas yang diberikan kepada mereka. Kemampuan lain yang diharapkan muncul yaitu
bagaimana pembelajaran yang diberikan oleh guru mampu melatih keberanian anak untuk dapat
mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat orang lain, tangguh dan bekerjasama dengan
teman-teman atau orang yang ada disekitarnya. Kemampuan-kemampuan tersebut akan dapat
terasah jika pembelajaran berawal dari sebuah permasalahan yang diberikan kepada anak-anak
dan mereka ditantang untuk berusaha mencari pemecahan masalah tersebut. Anak-anak dapat
diarahkan untuk membuat proyek sebagai cara untuk memecahkan permasalahan yang diberikan
oleh guru.
Bentuk strategi pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam membiasakan dan
membangun keterampilan anak untuk dapat berpikir tingkat tinggi adalah
a) Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat
diterapkan pada pembelajaran di PAUD. Konsep pembelajaran yang disajikan menggunakan
strategi pembelajaran jenis ini membantu anak berlatih untuk berpikir kreatif dalam memecahkan
sebuah permasalahan. Anak-anak distimulasi untuk dapat mengungkapkan kemampuan berpikir
30
tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) melalui melalui masalah yang diberikan pada
pembelajaran. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan karakteristik pembelajaran berbasis
masalah yaitu: 1) pelajaran difokuskan pada masalah, 2) anak didik bertanggung jawab untuk
memecahkan masalah, 3) guru mendukung proses saat anak didik bekerja atau berdiskusi
menyelesaikan masalah (Eggen, 2012).
Menurut Schmidt (dalam Amri 2013:27), ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh anak
didik melalui pembelajaran berbasis masalah yaitu:
1) Meningkatkan pemahaman anak terhadap materi yang telah dipelajari
2) Meningkatkan fokus anak terhadap pengetahuan lain yang berkaitan
3) Mendorong anak untuk aktif berpikir
4) Membangun kemampuan anak untuk bekerja dalam tim, bernegosiasi, keterampilan sosial
dan kemampuan untuk memimpin.
5) Membangun kecakapan belajar anak
6) Memotivasi anak untuk terlibat aktif dalam pembelajaran.
Adapun langkah-langkah penerapan strategi pembelajaran berbasis masalah menurut Arens
(dalam Warsono dan Hariyanto, 2012: 41) adalah sebagai berikut:
1) Guru menyampaikan orientasi masalah kepada Anak didik
2) Guru membantu anak didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan pembelajaran
agar relevan dengan penyelesaian masalah
3) Guru membimbing anak didik untuk mencari informasi yang sesuai, melakukan
eksperimen, dan mencari penjelasan serta pemecahan masalah.
4) Guru membantu anak didik dalam perencanaan dan perwujudan hasil yang sesuai dengan
tugas yang diberikan
5) Guru membantu anak didik untuk melakukan refleksi terhadap hasil penyelidikannya serta
proses-proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Pada pelaksanaan penerapan strategi pembelajaran berbasis masalah, guru memiliki peran
sebagai fasilitator, membuktikan asumsi, dan juga mendengarkan sudut pandang atau pendapat
anak didik, sehingaa pembelajaran ini lebih berfokus pada anak (student center).
b) Strategi Pembelajaran Proyek (Project Based Learning)
31
Penerapan teori konstruktivistik pada pembelajaran di lembaga PAUD dapat terlihat pada
proses pembelajaran proyek. Project Based learning merupakan salah satu jenis strategi
pembelajaran yang menekankan aktivitas anak didik dalam memecahkan berbagai masalah yang
bersifat open-ended dan mengaplikasikan pengetahuan anak didik dalam mengerjakan sebuah
proyek untuk menghasilkan sebuah produk tertentu yang otentik (Boss dan Kraus dalam Abidin,
2007:167). Menurut Titu (2015:179), ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh anak didik
ketika pembelajaran dilaksanakan menggunakan strategi pembelajaran proyek yaitu: 1) Motivasi
belajar anak dapat meningkat, 2) kemampuan anak dalam memecahkan masalah dapat
meningkat, 3) Pembelajaran proyek selain dapat dilakukan secara individual juga dapat
dilakukan secara berkelompok, sehingga dapat meningkatkan kemampuan anak berkolaborasi, 4)
Meningkatkan kemampuan anak dalam mengelola sumber belajar, karena saat menyelesaikan
sebuah proyek anak akan belajar bertanggung jawab memanfaatkan sumber belajar yang ada
disekitarnya dan diperlukan untuk penyelesaian proyek yang dibuatnya.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran proyek menurut The George Lucas
Educational Foundation (2005: 52) adalah :
1) Start With The Essential Question.
Guru memulai pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan penting kepada anak didik.
Pertanyaan yang diajukan tersebut merupakan pertanyaan yang dapat memberikan
penugasan kepada anak didik untuk melakukan suatu aktivitas. Contoh: “Coba Tebak, apa
ya yang akan terjadi jika warna merah dicampur dengan warna biru?”. Pertanyaan tersebut
mengandung penugasan untuk anak didik agar melakukan percobaan warna. Topik
penugasan yang diberikan guru disesuaikan dengan dunia nyata yang relevan dengan
kehidupan dan usia anak didik. Topik juga disesuaikan dengan tema pembelajaran. Setelah
guru memberikan pertanyaan, maka ajak anak didik untuk melakukan investigasi mendalam
tentang topik pertanyaannya.
2) Design a Plan For The Project.
Guru dan anak didik berkolaborasi untuk merencanakan kegiatan proyek yang akan
dilaksanakan. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat
mendukung dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penting, dengan cara menggabungkan
32
berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat digunakan untuk
membantu menyelesaikan proyek.
3) Create a Schedule.
Pada tahapan ini, guru bersama anak didik bersama-sama menyusun jadwal kegiatan
penyelesaian proyek, yang meliputi penentuan alokasi waktu penyelesaian proyek,
membimbing anak untuk dapat menemukan cara-cara baru dalam membuat proyeknya, dan
meminta anak untuk memberikan alasan atau penjelasan tentang cara yang dipilih anak
untuk menyelesaikan proyeknya.
4) Monitor The Students and The Progress of The Project.
Guru memiliki tanggung jawab untuk memonitor anak didiknya selama menyelesaikan
proyek. Cara yang dapat dilakukan guru dalam memonitor anak didiknya adalah dengan
menjadi mentor bagi setiap aktivitas yang dilakukan anak didiknya saat menyelesaikan
proyek. Guru memfasilitasi disetiap proses pelaksanaan proyek. Monitoring akan lebih
efektif apabila saat melakukan monitoring guru sudah membawa rubrik tentang hal apa saja
yang harus dimonitoring dari proses anak menyelesaikan proyeknya.
5) Assess The Outcome
Guru melakukan penilaian terhadap hasil belajar anak membuat sebuah proyek. Penilaian
yang dilakukan oleh guru digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran,
mengevaluasi kemajuan masing-masing kemampuan anak didik, dan memberikan umpan
balik terhadap pemahaman anak didik terhadap materi yang sudah dipelajari melalui
kegiatan proyek, dan dapat digunakan oleh guru untuk menyusun strategi pembelajaran
berikutnya.
6) Evaluate The Experience.
Pada tahapan akhir pembelajaran, guru dan anak didik bersama-sama merefleksi terhadap
pelaksanaan kegiatan proyek dan hasil proyek yang sudah dilaksanakan. Proses refleksi
dapat dilakukan secara individu maupun kelompok.
c) Strategi Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Strategi discovery learning ini mengacu pada strategi inquiry learning, keduanya sama-sama
menerapkan paham konstruktivistik pada proses pembelajarannya. Perbedaan discovery learning
33
dan inquiriy learning terletak pada proses penemuan pemecahan masalahnya. Pada strategi
discovery learning masalah yang harus ditemukan solusinya oleh anak merupakan hasil rekayasa
guru, sedangkan pada inquiry learning masalah yang harus ditemukan solusinya terjadi secara
alamiah. Sebagai contoh: saat bermain balok, guru memberikan tantangan kepada anak “Buatlah
jembatan dari 5 balok yang tersedia”, masalah yang harus dipecahkan oleh anak adalah
“Bagaimana cara membuat jembatan dengan hanya menggunakan 5 balok”. Maka strategi yang
digunakan oleh guru dalam hal ini adalah discovery learning. Mengapa demikian? Dikarenakan
masalah yang harus ditemukan solusinya oleh anak merupakan bentukan atau rekayasa dari guru.
Strategi discovery learning memiliki definisi memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui
proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada kesimpulan (Budiningsih, 2005). Bruner menyebut
istilah discovery learning sebagai strategi pembelajaran dimana anak didik mengorganisasi
sendiri bahan belajarnya hingga menjadi suatu bentuk akhir, anak didik tidak diberikan bahan
ajar yang sudah jadi (Kemendikbud, 2013:242). Jadi dalam hal ini, anak didik menggunakan
kemampuan yang dimilikinya untuk menghimpun beragam informasi terkait materi yang
dipelajarinya, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis informasi atau bahan ajar yang
diperoleh, mengintegrasikan, dan mereorganisasikan hingga pada akhirnya membuat
kesimpulan.
Adapun tahapan melaksanakan strategi pembelajaran discovery learning menurut Rosarina
(2016: 379) adalah sebagai berikut:
1) Observasi untuk menemukan masalah.
Pada tahap ini, guru memberikan kesempatan kepada anak untuk mencari dan
mengumpulkan sebanyak mungkin masalah yang berhubungan dengan tema yang akan
dipelajari.
2) Merumuskan masalah,
Pada tahap ini, guru membimbing anak untuk menyusun rumusan masalah dan menentukan
solusi yang berkaitan dengan tema yang harus diatasi
3) Mengajukan hipotesis
Guru membimbing anak untuk menyusun hipotesis terhadap solusi yang sudah dirumuskan.
4) Merencanakan pemecahan masalah melalui percobaan atau cara lain dan mengumpulkan
data
34
Guru membimbing anak untuk mengumpulkan data terkait masalah yang sudah dirumuskan
menggunakan solusi yang sudah ditentukan
5) Analisis data
Pada tahap ini, anak didik melakukan analisis data hasil temuannya, lalu mengembangkan
pertanyaan pendukung data. Setelah itu data diuji hipotesis dan disimpulkan.
6) Uji kesimpulan atas percobaan yang dilakukan (penemuan)
Uji kesimpulan dilakukan setelah kesimpulan ditemukan oleh anak didik. Jika terjadi
kesalahan maka perlu dilakukan revisi terhadap kesimpulan.
d) Strategi Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Strategi pembelajaran Kontekstual (CTL) merupakan suatu proses pembelajaran holistik dan
bertujuan memotivasi anak didik untuk memahami materi pelajaran yang dipelajarinya dan
mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari, baik itu tentang konteks
pribadi, sosial, maupun tentang budaya. Harapannya anak didik memiliki pengetahuan atau
keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan untuk memecahkan permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Johnson (2014: 67)
bahwa pembelajaran yang menggunakan konsep CTL bertujuan menolong anak didik untuk
melihat makna di dalam materi yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek
akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu kontkes pribadi, sosial, dan
budaya mereka. Strategi pembelajaran CTL merupakan jenis strategi pembelajaran yang
menganut teori konstruktivistik, sehingga pembelajaran yang disajikan menggunakan strategi
CTL ini menggunakan pendekatan yang berpusat pada anak didik (Student Center).
Adapun langkah-langkah pelaksanaan strtaegi pembelajaran Contextual Teaching Learning
(CTL) menurut Suparto (2004:6) adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan metode belajar mandiri
2) Melaksanakan penemuan mandiri (inquiry)
3) Menumbuhkan rasa ingintahu anak
4) Menciptakan masyarakat belajar
5) Menghadirkan “Model” dalam pembelajaran
6) Lakukan refleksi disetiap akhir pertemuan
35
7) Lakukan Otentik Asesmen
e) Strategi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Strategi pembelajaran kooperatif juga merupakan salah satu jenis strategi pembelajaran yang
menerapkan teori konstruktivistik dan pendekatan student center dalam pelaksanaannya.
Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara
bersama sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim.
Menurut Slavin dalam Isjoni (2011: 15), pembelajaran kooperatif memiliki pengertian sebagai
pembelajaran dimana anak didik belajar dan bekerja dalam kelompok-kelopok kecil secara
kolaboratif, yang umumnya beranggotakan 4-6 orang dengan struktur kelompok yang heterogen.
Sementara itu, Sunal dan Hans dalam Isjoni (2011:15), memberikan pengertian bahwa
pembelajaran kooperatif adalah sebuah strategi pembelajaran yang khusus dirancang untuk
memberi motivasi kepada anak didik agar dapat bekerja sama selama proses pembelajaran.
Walaupun pelaksanaan pembelajaran kooperatif dilaksanakan secara berkelompok, namun
penerapannya tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Tujuan dari pelaksanaan
pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan anak didik pengetahuan, konsep,
kemampuan, dan pemahaman yang dibutuhkan oleh anak didik supaya bisa menjadi anggota
masyarakat yang bahagia dan memberikan kontribusi (Slavin, 2005). Karakteristik yang khas
dari pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim, didasarkan pada manajemen
kooperatif, kemauan untuk bekerja sama, dan keterampilan bekerja sama (Sanjaya, 2007: 244).
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran kooperatif menurut Suprijono (2009) adalah
sebagai berikut:
1) Fase 1: Present Goals and Set
Pada tahap ini, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan anak didik
untuk siap belajar. Guru mengklasifikasi maksud pembelajaran kooperatif. Hal ini penting
untuk dilakukan karena anak harus memahami dengan jelas prosedur dan aturan dalam
pembelajaran.
2) Fase 2 : Present Information.
36
Pada tahap yang kedua ini, guru menyajikan informasi kepada anak didik secara verbal. Hal
ini perlu dilakukan sebab informasi ini merupakan isi akademik (materi yang akan dipelajari
oleh anak didik).
3) Fase 3 : Organize Students into Learning Teams.
Guru mengorganisir anak didik ke dalam tim-tim belajar Guru memberikan penjelasan
kepada anak tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan
transisi yang efisien. Guru harus menjelaskan bahwa anak harus saling bekerja sama di
dalam kelompok. Penyelesaian tugas kelompok harus merupakan tujuan kelompok. Tiap
anggota kelompok memiliki akuntabilitas individual untuk mendukung tercapainya tujuan
kelompok. Pada fase ketiga ini yang terpenting jangan sampai ada free-rider atau anggota
yang hanya menggantungkan tugas kelompok kepada individu lainnya.
4) Fase 4 : Assist Team Work and Studeny.
Guru membantu tim-tim belajar selama anak didik mengerjakan tugasnya. Guru perlu
mendampingi tim-tim belajar, mengingatkan tentang tugas-tugas yang dikerjakan anak didik
dan waktu yang dialokasikan. Pada fase ini bantuan yang diberikan guru dapat berupa
petunjuk, pengarahan, atau meminta beberapa anak mengulangi hal yang sudah ditunjukkan
5) Fase 5 : Test On The Materials.
Pada tahap ini guru melakukan evaluasi untuk menguji pengetahuan anak didik mengenai
berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Guru melakukan evaluasi dengan menggunakan strategi evaluasi yang konsisten dengan
tujuan pembelajaran
6) Fase 6 : Provide Recognition.
Guru pada tahap ini memberikan pengakuan atau penghargaan kepada individu atau
kelompok. Guru mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun
kelompok. Guru mempersiapkan struktur reward yang akan diberikan kepada anak didik.
Variasi struktur reward dapat dicapai tanpa tergantung pada apa yang dilakukan orang lain.
Struktur reward kompetitif adalah jika anak didik diakui usaha individualnya berdasarkan
perbandingan dengan orang lain. Struktur reward kooperatif diberikan kepada tim meskipun
anggota tim-timnya saling bersaing.
37
E. Kegiatan Belajar 2 Diskusi dan Penugasan
Saudara, untuk memperkuat pemahaman terhadap materi belajar tersebut, cobalah
diskusikan permasalahan berikut ini. Hasil diskusi Anda diunggah ke
[email protected].
1. Amatilah video berikut ini di link berikut ini:
https://www.youtube.com/watch?v=vHa99yXJk2Y
2. Lakukan analisis terhadap video tersebut ditinjau dari strategi pembelajaran yang dapat
menstimulasi higher order thinking skills, yaitu dalam beberapa hal: a) jenis strategi
pembelajaranya, b) langkah penerapan strategi pembelajaran tersebut oleh guru, c) poin poin
penting yang dapat diperoleh guru dan anak dari hasil penerapan strategi pembelajaran yang
demikian., d) kelebihan dan kelemahan penerapan strategi pembelajaran yang demikian.
F. Kegiatan Belajar 3 Latihan Soal
Untuk mengukur pemahaman Saudara mengenai modul 3 ini, silakan jawab pertanyaan
berikut ini.
1. Jelaskan mengapa strategi-strategi yang dipaparkan di modul 3 ini dianggap dapat
menstimulasi HOTS anak?
2. Buatlah sebuah contoh penerapan strategi pembelajaran yang dapat menstimulasi HOTS
anak !
3. Jawaban diunggah ke email [email protected]
==========Selamat Berkarya==========
38
MODUL 4 : LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN STRATEGI
PEMBELAJARAN BERBASIS OPEN ENDED PLAY
A. Pengantar
Saudara, implementasi dari kajian teoritik pada modul sebelumnya akan bermuara pada
modul 4, yaitu bagaimana merancang strategi pembelajaran berbasis open ended play. Modul ini
akan dikemas ke dalam 3 Kegiatan Belajar, yaitu penyajian konsep, forum diskusi dan
Workshop. Untuk memperoleh wawasan yang utuh bagaimana merancang pembelajaran berbasis
open ended play, pelajari dan ikutilah semua kegiatan belajar berikut ini.
B. Petunjuk
Saudara peserta pelatihan yang berbahagia, inovasi pembelajaran yang diberikan kepada
anak didik kita akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan berbagai kemampuan anak.
Jika kita kaitkan dengan tantangan abad 21, maka guru memiliki peran penting sekali dalam
memberikan aktivitas pembelajarn yang dapat menstimulasi HOTS anak, salah satunya adalah
penerapan open ended play. Pada kesempatan ini, mari kita pelajari kegiatan belajar di modul 4
ini dengan alur sebagai berikut.
a. Bacalah stimulan materi berikut dengan cermat, dan lakukan analisis terkait fenomena
sehari-hari.
b. Kerjakanlah tugas-tugas yang mengikuti sebagai bentuk implementasi dari penguasaan Anda
terhadap materi yang telah dibaca/pelajari, dan kirimkan ke alamat e-mail
[email protected]
c. Berlatihlah mengerjakan soal-soal latihan secara mandiri dan kirimkan melalui akun yang
telah disediakan. Pengerjaan soal-soal latihan dilakukan melalui google form dengan akses
yang disediakan oleh penulis.
C. Tujuan
Melalui modul ini Anda diharapkan memperoleh wawasan dan keterampilan dalam
merancang pembelajaran berbasis open ended play yang aplikatif untuk anak usia dini
(khususnya di tingkat Taman Kanak-Kanak).
39
D. Kegiatan Belajar 1: Pendalaman Materi
1. Konsep Dasar Problem dan project based learning
Reorientasi dan perubahan mindset pembelajaran untuk anak usia dini mutlak
diperlukan dalam menyiapkan anak agar memiliki kualitas perkembangan yang optimal
sesuai dengan tuntutan peradaban abad ke 21 dan seterusnya. Perubahan tersebut antara lain
dari implementasi teori behavioristik menuju ke konstruktivistik humanis, dari sparated
subject menuju thematic learning, dan dari pembelajaran berorientasi pada tujuan menuju
pada problem dan project based learning (PBL). Semuanya ini bertujuan agar anak usia dini
memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi lingkungan belajarnya menjadi sesuatu yang
memiliki kebermaknaan tinggi dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
PBL adalah pendekatan untuk belajar yang menekankan hubungan antara teori dan
praktek. PBL memberikan pengalaman belajar yang realistis dan memberdayakan (Susan
Edwards, 2007). Anak-anak akan terlibat secara langsung (a hands on experience) dalam
mengeksplorasi permasalahan yang dihadapinya. Ketika guru mengintervensi anak dengan
permasalahan, maka anak akan mencermati, mempertanyakan, menganalisis sampai
menemukan strategi pemecahannya. Pembiasaan anak dengan cara menghadapkannya pada
permasalahan (riil dan sesuai dengan tingkat perkembangannya), akan memicu
berkembangnya higer order thinking skills.
Pemecahan masalah adalah dasar dari pembelajaran anak kecil. Itu harus dihargai,
dipromosikan, disediakan untuk, dan berkelanjutan di kelas anak usia dini. Kesempatan
untuk memecahkan masalah terjadi dalam konteks sehari-hari kehidupan seorang anak.
Dengan mengamati anak secara dekat, guru dapat menggunakan pengalaman sosial, kognitif,
gerakan, dan emosional anak untuk memfasilitasi pemecahan masalah dan mempromosikan
strategi yang berguna dalam proses pembelajaran seumur hidup. Dengan mengeksplorasi
hubungan sosial, memanipulasi objek, dan berinteraksi dengan orang-orang, anak-anak dapat
merumuskan ide-ide, mencoba ide-ide ini, dan menerima atau menolak apa yang mereka
pelajari. Membangun pengetahuan dengan membuat kesalahan adalah bagian dari proses
alami pemecahan masalah. Melalui mengeksplorasi, kemudian bereksperimen, mencoba
hipotesis, dan akhirnya, memecahkan masalah, anak-anak membuat belajar pribadi dan
40
bermakna. (ERIC Identifier: ED355040, Publication Date: 1993-00-00, Author: Britz, Joan,
Source: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education Urbana IL.).
Sebagai sekuen dari pembelajaran berbasis masalah, maka anak-anak diarahkan untuk
melakukan proses belajar melalui proyek. Pembelajaran berbasis proyek (Project based
learning) merupakan pendekatan pedagogis di mana anak secara aktif membangun
pengetahuan mereka sendiri selama jangka waktu yang berkelanjutan, berkolaborasi dengan
rekan-rekan mereka untuk menyelesaikan produk yang digunakan untuk menjawab
pertanyaan atau memecahkan masalah yang menantang (Sara Lev, Amanda Clark, 2020).
PBL memberdayakan anak untuk belajar dan menemukan pelajaran mendasar tentang diri
mereka sendiri dan dunia. Anak-anak kecil memicu anak mengajukan pertanyaan, membuat
rencana, dan menindaklanjuti gagasan mereka. Melalui PBL, anak-anak tidak hanya belajar
konten akademik, tetapi yang lebih penting, mereka mulai lebih memahami diri mereka
sebagai manusia dan sebagai pebelajar.
PBL adalah metode pengajaran di mana anak belajar dengan secara aktif terlibat dalam
proyek-proyek dunia nyata dan bermakna secara pribadi. PBL melibatkan anak dalam
pembelajaran yang mendalam dan bertahan lama, dan menginspirasi bagi mereka kecintaan
belajar dan hubungan pribadi dengan pengalaman akademik mereka serta menguasai konten
akademik inti dan membangun pemikiran kritis, pemecahan masalah, kolaborasi,
komunikasi, dan keterampilan manajemen diri (https://www.pblworks.org/?
_ga=2.129302988.1182257930. 1601220298-837662895.1601220298)
Berdasarkan beberapa konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis
masalah menekankan pada proses belajar yang bermula dari permasalahan yang dihadapi
oleh anak. Anak mengeksplorasi permasalahan untuk anak usia dini permasalahan yang riil
dan bermakna bagi dirinya melalui pemikiran kritis, sampai menemukan alternatif
pemecahanya. Sementara pembelajaran berbasis proyek menghadapkan anak pada suatu
upaya memecahkan masalah dengan tindakan nyata. Antara pembelajaran berbasis masalah
dan proyek memiliki keterkaitan, yang menjadikan proses belajar menjadi menantang dan
bermakna yang mendalam bagi anak.
2. Konsep Dasar Open Ended Play
41
Bermain merupakan dunia anak. Dalam kesehariannya anak-anak mengisi
kehidupannya dengan bermain. Oleh karena itu strategi pembelajaran utama dalam
pendidikan anak usia dini adalah pembelajaran melalui bermain.
Tahapan bermain pada anak usia dini meliputi bermain bebas, bermain terbimbing dan
bermain terarah. Pada tahap bermain bebas, anak-anak secara leluasa memanipilasi obyek-
obyek bermainnya, tanpa ada target, intervensi maupun produk. Pada tahap bermain
terbimbing, guru/orang tua mulai melakukan intervensi pada anak. Anak digiring untuk
melakukan flatform permainan, sehingga alur dan hasilnya dapat dipantau dan harus sesuai
dengan intervensi guru/orang tua. Ada tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan bermain.
Sementara bermain terarah, guru/orang tua memberikan keleluasaan untuk bermain, tetapi
ada target atau tujuan yang hendak dicapai. Anak bebas menentukan strategi bermainnya,
asalkan dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai. Peran guru dan orang tua adalah
mengarahkan dari belakang (tut wuri handayani).
Konsep open ended play mengarah pada proses bermain yang memungkinkan
terjadinya proses dan hasil yang beragam. Bermain terbuka memungkinkan anak-anak untuk
mengekspresikan kreativitas mereka dengan bebas. Jenis bermain memungkinkan anak
mengeksplorasi obyek dan lingkungan bermainnya secara tidak terbatas selama waktu
bermain. Tidak ada instruksi, aturan, atau panduan berurutan yang telah ditetapkan untuk
diikuti anak-anak (https://www.bing.com/search?q=open%20ended%20pla).
Mungkin salah satu kualitas yang paling luar biasa dalam banyak anak-anak adalah
imajinasi dan kreativitas mereka. Selama waktu bermain, anak-anak berpartisipasi dalam
permainan dan kegiatan yang memprioritaskan kesenangan dan kreativitas. Kesempatan
sempurna untuk melibatkan imajinasi anak dan meningkatkan kecerdasan sosial dan
emosional serta intelektualnya (Brian Semling on Sep 13th 2018,
https://strictlybriks.com/blog/open-ended-play-what-it-is-and-how-it-benefits-your-child/
diakses tgl 27 September 2020).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa open ended play
memiliki ciri sebagai berikut. (1) Anak memiliki kebebasan dalam mengembangkan
imajinasinya dalam mengeksplorasi lingkungan dan obyek bermainnya. (2) Dalam bermain
anak memprioritaskan pada kesenangan dan kreativitas. (3) Open ended play berbasis pada
42
pertanyaan terbuka yang menuntut ragam jawaban yang benar. Artinya bahwa dalam bermain
sangat dan bahkan dianjurkan agar anak memiliki kebebasan berekspresi dan kreatif dalam
bermain.
3. Implementasi Problem dan Project Based Learning dalam Konteks Open Play untuk
Anak Usia Dini
Dalam mengimplementasikan pembelajaran berbasis masalah dan proyek, ada beberapa
hal yang sebaiknya diperhatikan. (1) Pembelajaran hendaknya bersifat terpadu (thematic and
Integrated Learning). (2) Guru menyediakan waktu, ruang, dan materi yang diperlukan untuk
pembelajaran mendalam. Anak memiliki waktu yang cukup untuk mengidentifikasi dan
memecahkan masalah, membuat pilihan, mendiskusikan keputusan dan mengevaluasi
kesalahan yang terjadi. Penataan ruang kelas harus fleksibel, dan mudah dikelola sesuai
dengan kebutuhan anak. Anak memerlukan bahan terbuka yang diperlukan untuk konstruksi
dan pemecahan masalah beton harus aman, tahan lama, dan bervariasi (ERIC Identifier:
ED355040 Publication Date: 1993-00-00Author: Britz, Joan Source: ERIC Clearinghouse
on Elementary and Early Childhood Education Urbana IL.).
Bagan Alur implementasi PBL dalam pembelajaran anak usia dini adalah sebagai
berikut.
43
E. Kegiatan Belajar 2: Forum Diskusi
Pada kegiatan ini, lakukanlah kegiatan berikut ini.
Ambillah contoh RPPH dari salah satu anggota kelompok Anda.
1. Analisis dampak kegiatan belajar terkait higer order thinking skills.
2. Sebarluaskan hasil analisis RPPH tersebut ke forum diskusi virtual untuk memperoleh
tanggapan dari peserta/kelompok lainnya.
3. Ubahlah RPPH tersebut sehingga memiliki karakteristik sebagai pembelajaran yang
berbasis open ended play, problem dan project based learning..
4. Unggah RPPH yang lama dan yang baru ke [email protected]
5. Lakukan refleksi pembelajaran hari ini.
F. Kegiatan Belajar 3: Workshop
Dalam kegiatan workshop ini, Anda akan diajak untuk mengembangkan strategi
pembelajaran untuk anak usia dini (khususnya di tingkat TK) yang efektif untuk
mengembangkan higer order thinking skills. Berikut ini langkah-langkah yang sebaiknya Anda
ikuti dan laksanakan.
1. Buatlah kelompok yang beranggotakan 2-4 peserta.
2. Identifikasi permasalahan nyata yang dapat memicu proses belajar anak.
3. Sediakan/minta disediakan bahan/alat/media (bila anak belajar di ruman/online) yang
diperlukan.
4. Ajaklah anak untuk melakukan analisis terhadap permasalahan tesebut dengan pertanyaan
“apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana refleksi anak terhadap permasalahan
tersebut, dan beri kesempatan untuk mendiskusikan proyek untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
5. Berilah kesempatan kepada anak untuk mengerjakan proyeknya.
6. Berilah kesempatan kepada anak untuk mengkomunikasikan hasil kerja proyeknya.
7. Lakukan asesmen mengenai proses dan hasil belajar anak.
8. Unggah portofolio anak ke [email protected].
==============Selamat Berkarya=============
44
DAFTAR RUJUKAN
Abidin, Yunus. 2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung:
PT Refika Aditama.
Amri, Sofan. 2013. Pengembangan & Model Pembelajaran Dalam Kurikulum 2013. Prestasi
Pustakarya. Jakarta
Brian Semling on Sep 13th 2018, (https://strictlybriks.com/blog/open-ended-play-what-it-is-and-
how-it-benefits-your-child/ diakses tgl 27 September 2020).
Britz, Joan. 1993. ERIC Identifier: ED355040, Source: ERIC Clearinghouse on Elementary and
Early Childhood Education Urbana IL.).
Budiningsih. 2005. Model Discovery Learning. Jakarta: Pustaka Mandiri.
Cinthya, Q. (2016). Higher Order Thinking in The Kindergarten Classroom. (Online),
ww.theelementaryhelper.com/about/#
Darmadi. (2018). Guru Abad 21. Guepedia. https://books.google.co.id/books?id=-
aFqDwAAQBAJ&pg=PA116&dq=tantangan+abad+21&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwj619
Ls16zrAhUEcCsKHQnPC8cQ6wEwBHoECAkQAQ#v=onepage&q=tantangan abad
21&f=false
Delina. (2018). Tantangan Menghadapi Abad 21. Sumber Berita Dari Dinas Pendidikan Jawa
Barat (Online). http://disdik.jabarprov.go.id/news/751/tantangan-menghadapi-abad-21
Doyle: https://www.thoughtco.com/critical-thinking-definition-with-examples-2063745,
Duch, B. J., Groh, S. E, & Allen, D. E. (2001). The Power of Problem-based learning. Stylus.
Eggen, Paul Don Kouchak. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: PT Indeks.
Foundation, T. L. (2018). Learning Trough Play. UNICEF Education Section, Programme
Division (Online). file:///C:/Users/USER/AppData/Local/Temp/UNICEF-Lego-Foundation-
Learning-through-Play.pdf
Gerlach, V.S. & Ely, D.P. 1980. Teaching and Media a Systematic Approach. New Jersey:
Prentice Hall.
Haryanto dan Warsono, 2012. Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
45
Harsono, F. 2016. Renald Khasali: Bangun Daya Kritis Anak (Online),
https://www.liputan6.com/health/read/4133642/rhenald-kasali-bangun-daya-kritis-anak-
sejak-usia-dini), diakses pada tanggal 10 Oktober 2020.
Isjoni. 2011. Cooperative learning: Mengembangkan kemampuan belajar berkelompok.
Bandung: Alfabeta
Johnson, E. B. 2014. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.
Kemendikbud. (2015). Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini, Apa, Mengapa dan Bagaimana.
Kemendikbud.
King, Goodson, R. 2000. (2000). Higher Order Thinking Skills (Definitions, Teaching, &
Assesment). In Assessment & Evaluation Educational Services Program. A publication of
the Educational Services Program, now known as the Center for Advancement of Learning
and Assessment (Online), www.cala.fsu.edu
Latip, A. (2018). 4 Kompetensi Guru di Era Revolusi Industri 4.0. (Online)
https://www.kompasiana.com/altip/5bfcab25aeebe161c772f98f/4-kompetensi-guru-di-era-
revolusi-industri-4-0?page=3, Diakses pada tanggal 10 Agustus 2020.
Lewis A, S. D. (1993). Defining Higher Order Thinking. Theory Into Practice, 32(Issue 3:
Teaching for Higher Order Thinkin).
NTCM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. National
Council of Teachers of Mathematics.
Nurhayati dan Dwi Harianti (2019). Model Pembelajaran Discovery learning (Online),
https://sibatik.kemdikbud.go.id/inovatif/assets/file_upload/pengantar/pdf/pengantar_5.pdf,
diakses tgl. 23 September 2020
NYC. (2020). Early Childhood Learning. NYC Departement of Education.
https://www.schools.nyc.gov/learning/student-journey/grade-by-grade/early-childhood-
learning
Rosarina, Gina; Sudin, Ali; Sujana, Atep. 2016.. “Penerapan Model Discovery Learning untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Perubahan Wujud Benda”. Jurnal Pena
Ilmiah: Vol.1, No.1. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sara Lev, Amanda Clark, E. S. (2020). Implementing Project Based Learning in Early
46
Childhood. Routledge.
Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Laerning. London: Allymand Bacon
Suparto. 2004. Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Semarang: Depdiknas.
Supriadi ((http://teoribagus.com/paradigma-pendidikan-indonesia-abad-21)
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning, Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Susan Edwards. (2007). Problem-based Learning in Early Childhood andcPrimary Pre-Service
Teacher Education:Identifying the Issues and Examining the Benefits. Journal of Teacher
Education, 32(2).
Sutama, I Wayan, dkk. (2017). No Title Peningkatan Keterampilan Bertanya Melalui Penerapan
Pendekatan Saintifik pada anak usia 3-4 Tahun di PAUD/TK Tunas Harapan Blitar.
Sutama, I Wayan, dkk. (2018). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Higer Order
Thinking Skills (HOTS) untuk Anak Usia 5-6 Tahun.
Sutama, I Wayan. (2016). Kemampuan Guru dalam Melaksanakan Pembelajaran Berbasis
Pendekatan Saintifik di TK se Kecamatan Tumpang, Malang.
Sutama, I.W., Gonadi, L., & Anisa, N. (2019). Developing learning models to increase higher
order thinking skills in early childhood. International Journal of Innovation, Creativity and
Change, 5(5).
The George Lucas Educational Foundation. 2005. Edutopia Modules. Dipetik April 7, 2013, dari
Instructional Module Project Based Learning: The George Lucas Educational Foundation.
http://www.edutopia.org/modules/PBL/whatpbl.php
Thomas, A., & Thorne, G. (2009). How to Increase Higher Order Thinking, Metairie, LA:
Center for Development and Learning.
Tim Pengembang. 2013. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Jakarta:
Kemendikbud
Titu, Maria Anita 2015. Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning (Pjbl) untuk
Meningkatkan Kreativitas Siswa Pada Materi Konsep Masalah Ekonomi. Prosiding
Seminar Nasional 9 Mei 2015
http://eprints.uny.ac.id/21708/1/18%20Maria%20Anita%20Titu.pdf
47
Yen, Tan Shin,& Halili, S. hajar. (2015). Effective Teaching Of Higher-Order Thinking (Hot) In
Education. The Online Journal of Distance Education and E-Learning, Volume 3(Issue 2).
Zohar, A. (2004). Two Possible Pedagogies for Teaching Higher Order Thinking: Transmission
of Information Versus Knowledge Construction. In Higher Order Thinking in Science
Classrooms: Students’ Learning and Teachers’ Professional Development (pp. 121–137).
Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-1-4020-1854-1_8
(https://www.bing.com/search?q=open%20ended%20pla).
(https://www.equinix.sg/resources/analyst-reports/diakses 24-09-2020)
(https://www.google.com/search?safe=strict&client=firefox-b-d&ei/diakses 24-09-2020
(https://www.pblworks.org/?ga=2.129302988.1182257930.1601220298-
837662895.1601220298)
https://www.google.com/search?q=taksonomi++ranah+sikap&tbm=isch&ved=2ahUKEwjJseOk
1__rAhUH23MBHRXWBpAQ2-
48