tentang pengalaman purifikasi, iluminasi, unifikasi.
Bagaimana pikiran dan batin berjalan seiringan juga sa
ya alami. Semua pertanyaan saya terjawab dalam dialog
tanggal 3 September. Selanjutnya, apakah pengalaman
tanpa-diri yang saya alami itu bersifat sementara atau
permanen, perlu dilihat dalam berjalannya waktu.
Hari ini, saya mulai membaca pengalaman Ber
nadette Roberts tentang pengalaman tanpa-diri.
Sungguh sangat mengejutkan dan mengherankan saya
karena ada beberapa pengalaman yang sangat mirip
dengan apa yang terjadi pada diri saya. Saya masih
belum tuntas membacanya. Kalau sudah selesai, saya
akan memeriksa kembali seluruh pengalaman saya.
Terima kasih banyak kepada Romo Sudri atas
kesempatan yang diberikan dan bimbingan meditasinya
yang tulus. Terima kasih untuk Ibu Wiewie khususnya
sebagai tempat berbagi, serta panitia, dan seluruh
teman-teman peserta retret yang terkasih.
Sungguh retret ini telah mengubah hidup saya dan
mebuat siap untuk menjadi lentur di mana saja saya
berada.*
100 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
2. Menyadari Gerak Batin Jauh
Lebih Berharga
AWJ, 36 tahun, Katolik, Pekerja Lepas
Usai Misa pembukaan, Pastor Sudrijanta menjelaskan
tentang retret meditasi yang berlangsung selama 10
hari. Dari soal apa yang perlu dilakukan para retretan
hingga apa yang terlarang dibuat selama retret. Dari
perihal apa itu meditasi sampai bagaimana disposisi
hati yang hendaknya dibangun para peserta retret.
Melalui uraian tersebut saya mulai dapat melihat bahwa
olah batin yang sudah setiap hari saya lakukan sejak
pertengahan Januari 2008 termasuk ke dalam meditasi
dengan objek. Dalam waktu 10 hari retret ini, saya
diajak mengalami meditasi yang tanpa objek. Meditasi
yang menjadikan gerak batin yang ada sebagai ruang
gerak bagi kesadaran untuk bangun dan tumbuh.
Jika selama ini saya bermeditasi, berkontemplasi,
dan berulang kali membatinkan perikop-perikop Injil
serta membuat refleksi atasnya, maka kini saatnya bagi
saya untuk menyadari terus-menerus gerak batin yang
terjadi tanpa mengikuti atau pun menolak keinginan
untuk menambahkan atau menguranginya. Sebagai
contoh fakta saya menghirup aroma pepohonan.
Sebelum retret ini saya akan berfokus pada adanya
bau yang tercerap oleh indera saya sedangkan dalam
retret dengan peserta 20 orang ini saya tidak boleh
berhenti pada adanya harum pepohonan, suara-
suara, atau sentuhan-sentuhan halus pada indera
Meditasi Tanpa Objek - 101
pustaka-indo.blogspot.com
saya. Mulai kini saya harus menyadari adanya gerak
batin yang berlangsung ketika hal-hal di atas datang
menghampiri.
Posisi meditasi yang diperkenalkan oleh Pastor
Sudrijanta sebagai pendamping retret adalah posisi
duduk, posisi berjalan, dan posisi berbaring. Posisi
duduk (bersila dengan kaki kanan di atas paha kiri atau
sebaliknya) langsung memberi sensasi sakit pada kaki
saya. Luar biasa sensasi tersebut meskipun saya sudah
terbiasa (sekitar 40 menit setiap harinya) untuk duduk
setengah lotus seperti ini.
Lewat pendampingan, kesungguhan dan ketekunan
berk anjang dalam duduk berteman sakit membuat
saya akhirnya ngeh (mengerti) bahwa saya harus lebih
memperhatikan gerak batin yang muncul ketika sakit
pada kaki datang dan menguat. Timbul kesadaran
adanya keinginan untuk bisa duduk lebih lama agar
memperoleh sesuatu selama bermeditasi. Keinginan
ini menghadirkan rasa tidak suka pada sensasi berupa
rasa sakit di kaki. Rasa tidak suka melahirkan keinginan
untuk meluruskan kaki sekaligus keinginan untuk
terus bertahan. Datang juga pikiran tentang apa yang
ada setelah rasa sakit ini kutaklukkan. Kesemuanya
menimbulkan ketegangan, kebingungan, dan akhirn ya
pergumulan.
Saya terus menyadari semuanya sampai perlahan-
lahan terbit kesadaran tentang adanya si aku yang
menderita atas sakit dan peperangan batin yang ada.
102 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Terang kesadaran terus-menerus mulai meredakan
gerakan-gerakan batin tersebut. Tinggal rasa sakit yang
tersisa. Rasa sakit tanpa keinginan untuk begini-begitu.
Lalu mulailah rasa sakit mengurai dirinya. Tidak ada
lagi rasa sakit yang tunggal dan utuh. Nyatanya sakit di
kaki itu menghadirkan sensasi-sensasi yang berbeda di
dalamnya. Rasa sakit itu terbagi dalam titik-titik. Tiap
kali titik-titik itu ditangkap kesadaran, maka mereka
mulai sirna dan selalu ada titik rasa sakit yang terbesar
dan terkuat di antara mereka.
Ada semangat untuk menambah waktu duduk
demi mengetahui sesuatu yang saya pikir pastilah besar
dan berharga di balik rasa sakit itu. Setelah waktu yang
ditentukan oleh batin terlewati akhirnya saya sadar
bahwa yang ada di balik rasa sakit itu bukan sesuatu
yang lain yang tidak saya kenal, melainkan keinginan
untuk mengalahkan rasa sakit. Ada keinginan untuk
mengubah rasa sakit menjadi sesuatu yang lain dan ada
keinginan untuk mengalami pencerahan setelah rasa
sakit lewat. Kesadaran membuat rasa sakit pada kaki
saat bermeditasi duduk itu sudah tidak mengganggu
lagi dan sudah tidak menghasilkan gerakan-gerakan
batin bagai sebelumnya.
Selain sensasi sakit ternyata ada juga ingatan yang
tanpa bosan dan lelah hadir ke dalam batin. Objek itu
menunjukkan adanya luka lama yang ingin saya buang
tapi, toh, tetap ada. Luka yang menghadirkan fakta
bahwa saya sulit untuk memaafkan. Saya tidak suka
semua itu sebab ternyata saya belum sebaik yang saya
Meditasi Tanpa Objek - 103
pustaka-indo.blogspot.com
sangka. Meditasi yang saya lakukan terus menghadirkan
gerakan-gerakan batin setiap kali objek tersebut datang.
Keinginan untuk menolak ingatan tersebut membuat
keinginan untuk melenyapkannya turut muncul. Rasa
marah, rasa tidak berdaya, dan keinginan untuk lari
membuat si aku yang menderita muncul dan tertangkap
oleh kesadaran.
Saya merasa tidak tahan atas semua itu. Ada pikiran
untuk lari pada doa dan rokok. Akhirnya saya pilih
merokok saja namun sebatang pun tidak bisa habis.
Ada rasa malu karena menyerah pada objek tersebut.
Ada keinginan menaklukkan si objek yang perlahan
melemah menjadi sekadar menghadapinya saja, namun
saya tetap tidak tahu harus bagaimana. Kemudian saya
mengetuk pintu kamar Pastor Sudrijanta untuk ber-
sharing. Dialog tersebut menghadirkan disposisi hati
yang berbeda terhadap ingatan itu. Kini si ingatan saya
sikapi sebagai teman spiritual saya dalam mengisi hari-
hari retret. Meditasi pun saya bangun kembali dengan
kesungguhan dan ketekunan.
Pada sebuah sesi meditasi berjalan (walking
meditation) saya menyadari rasa dingin yang begitu
menyerap kesadaran. Rasa dingin yang menyentuh
tubuh tersebut membuat adanya gerakan pada batin,
tetapi kesadaran segera menangkapnya pada saat
kemunculan gerakan-gerakan itu. Ada keheningan yang
mampu menyadari apa yang terjadi di dalam batin dan
apa yang terjadi di luar batin. Rasa dingin pada tubuh
nyatanya menciptakan si aku yang menghadapi sensasi
104 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
tersebut. Si aku yang sedang berusaha menghilangkan
rasa dingin tersebut tertangkap kesadaran. Keinginan
untuk menolak dan mengubah sensasi dingin makin
membuat nyata si aku yang menderita karena berjuang
mewujudkan hasrat tersebut.
Saya terus berkanjang dengan gerak batin sebagai
jangkarnya. Batin mulai tenang lagi setelah gerakan-
gerakannya berpulang kembali pada objek yang berupa
rasa dingin. Kesadaran bahwa objek menciptakan
subjek menyengat saya. Ada tubuh yang bergerak, ada
sensasi dingin, ada objek-objek luar dan dalam batin,
dan kesadaran menangkap kehadiran semuanya itu di
tempatnya masing-masing.
Lalu ketika bermeditasi duduk hal tersebut, bahwa
objek menciptakan subjek, tertangkap kesadaran
kembali. Batin, tubuh, tenda, rerumputan, dan lainnya
saling menjalin. Ya, kesadaran menangkap keterjalinan
semua itu. Apa yang ada dalam batin jalin-menjalin
dengan apa yang ada di luar batin. Rasa damai
menggerakkan batin. Ada si aku yang ingin menetap di
sana. Ada rasa bahwa tidak mungkin lagi menghidupi
kehidupan seperti sebelum retret. Juga lantas timbul
rasa ngeri tentang hidup macam apa yang nanti bakal
dijalani. Semua gerakan batin tersebut tidak dapat lolos
dari terang kesadaran.
Saat sesi dialog bersama, saya mengerti bahwa
semua itu datang dan pergi. Apa yang dibutuhkan
adalah kesadaran terus-menerus dari saat ke saat akan
Meditasi Tanpa Objek - 105
pustaka-indo.blogspot.com
gerakan-gerakan batin pada waktu kemunculannya.
Saya pun diminta Pastor Sudrijanta untuk lebih
memperhatikan gerak batin yang berlangsung daripada
berfokus dan mengikuti atau menolak sensasi-sensasi
yang datang silih berganti.
Proses menyadari berlangsung tanpa daya upaya.
Bahkan dalam posisi berbaring pun kesadaran dapat
menangkap gerak batin yang ada. Sampai tiba saat ke
sadaran mendapati adanya kemelekatan yang ternyata
sudah menjadi motor sejarah hidup saya sejak masih
kanak-kanak. Pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan
dalam hidup saya nyatanya terjadi untuk mendapatkan
kemelekatan tersebut. Penolakan-penolakan dan peng
hindaran-penghindaran yang telah saya buat juga hanya
reaksi dari kemelekatan itu. Tidak terkecuali ingatan
yang kerap muncul selama meditasi. Dalam retret
ini, saya mengerti bagaimana menyikapinya. Bukan
lagi mengikuti dan membuang kemelekatan itu (yang
dalam kesadaran tampak sebagai kemelekatan juga),
melainkan menyadari gerak batin yang timbul akibat
kemelekatan tersebut.
Kesadaran yang mulai tumbuh tidak memberi
kesempatan pada keinginan diri untuk berubah men
jadi sesuatu yang lain atau pun hasrat mendapat pen
cerahan untuk memperkeruh kolam batin. Semua itu
tidak relevan lagi. Menyadari apa yang terjadi dalam
batin waktu kesadaran menyentuh objek-objek tanpa
memilih nyatanya jauh lebih berharga.
106 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Selesai Misa penutupan, pendamping retret mem
bacakan janji pemeditasi yang diikuti para retretan.
Janji untuk menyelamatkan segala makhluk yang tak
terhitung banyaknya dan janji untuk tetap setia me
nempuh jalan kesadaran yang luas sekaligus dalam tak
terkira.
Terima kasih mendalam saya sampaikan untuk
Pastor Sudrijanta, Panitia Retret, dan Teman Retretan
atas semua pengalaman ini. Sekali lagi, terima kasih.*
Meditasi Tanpa Objek - 107
pustaka-indo.blogspot.com
3. Batin Saya Tidak Seperti yang
Saya Pikirkan
RMA, 35 tahun, Katolik, Programmer
Seminggu sudah retret meditasi 10 hari berlalu. Kini
saatnya menuliskan pengalaman sejauh masih saya
ingat.
Sebelum mengikuti retret, saya ragu apakah jadi
ikut atau tidak. Saat itu saya merasa baik-baik saja.
Hanya bulan-bulan terakhir jarang sekali melakukan
meditasi. Kalaupun meditasi paling banter hanya 10
menit. Akhirnya, saya putuskan untuk ikut.
Pada hari-hari awal retret, meditasi hampir selalu
diwarnai ketegangan. Baru setelah Romo Sudri memberi
penjelasan tentang daya upaya, saya menyadari apa
yang terjadi dengan batin. Ada keinginan untuk ngotot
mempertahankan meditasi supaya bertahan lebih dari
10 menit. Setelah daya upaya tertangkap kesadaran,
meditasi berjalan jauh lebih relaks.
Saat bermeditasi saya juga sering merasa seperti
ditarik dari atas dan didorong dari bawah. Kemudian
setelah cukup tinggi dihempaskan hingga ke dasar.
Biasanya saya mengatur napas seicrit-icrit seirama
dengan tarikan atau hempasan itu supaya tidak pusing.
Hari itu saya mencoba untuk tidak berfokus pada
napas, membiarkan napas berjalan normal dan setelah
cukup lama tarikan atau hempasan itu menghilang dan
berubah menjadi getaran-getaran di kepala.
108 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Setelah saya bisa bermeditasi cukup nyaman,
muncul satu objek yang saya hindari. Objek itu jarang
muncul pada waktu-waktu sebelumnya. Ibarat objek
itu dingin, saya selalu terbawa hingga kedinginan
dan secepatnya menghentikan meditasi karena takut
menggigil. Proses itu terus berjalan hingga suatu pagi
saat meditasi subuh muncul imbasnya dan air mata
saya tumpah. Saya betul-betul merasa tak berdaya.
Pikiran sibuk berkomentar dan membuat saya tidak
bisa menghentikan air mata. Sampai akhirnya saya
mengenali munculnya rasa itu dan tidak menambahkan
apa-apa pada perasaan itu. Tidak ada pikiran atau
perasaan yang lain. Akhirnya, air mata saya berhenti
mengalir sekitar jam 09.00 pagi.
Selain itu, ada objek yang lain yang sering kali
muncul sudah semenjak hari pertama retret. Objek
itu berkait dengan seseorang. Amat mengherankan
mengapa itu muncul karena sudah lama sekali saya
tidak berkomunikasi dengannya dan lagi baru kali
ini muncul dalam meditasi. Begitu nama itu muncul,
pikiran menyabotase dengan berkomentar “Lah kok,
kamu muncul?” Objek ini terus muncul sampai malam
hari saat Romo Sudri menjelaskan tentang dualitas
objek-subjek. Waktu itu saya biarkan objek itu muncul
dan menyelesaikan apa yang ingin disampaikan.
Ternyata sungguh-sungguh melegakan karena objek
itu akhirnya berhenti karena tatapan kesadaran yang
terus-menerus.
Meditasi Tanpa Objek - 109
pustaka-indo.blogspot.com
Pernah juga waktu saya meditasi jalan (walking
meditation) di malam hari, pikiran menceritakan satu
hal yang sama dan beberapa kali terjadi pengulangan
dari awal sampai akhir. Entah berapa kali pengulangan
terjadi. Sampai akhirnya tiba-tiba pikiran itu berhenti
dan kesadaran menangkap detail gerakan langkah
kaki. Selama meditasi jalan, saya biasanya harus
mengingatkan dengan mengatakan “Jalan pelan-pelan,
jalan pelan-pelan”. Kali ini saya tidak mengatakan
apa-apa dan langkah kaki benar-benar melambat,
amat sangat lambat tanpa daya upaya. Agak lama
itu berlangsung hingga akhirnya saya ngeh (sadar)
bahwa saya sendirian dalam melakukan meditasi jalan.
Kemudian, muncullah rasa takut. Saya menghentikan
meditasi jalan itu dan kembali normal.
Objek ibarat rasa dingin tadi terus mengganggu
batin saya. Pada hari-hari terakhir retret, akhirnya
saya berhasil mengatasinya. Romo Sudri selalu
mengajak untuk menyadari apa saja yang kita kenal
dan membiarkannya lenyap. Awalnya, ada daya upaya
untuk melenyapkannya. Tetapi kemudian daya upaya
itu tertangkap kesadaran, termasuk proses-proses
konseptualisasi atas objeknya.
Menuliskan pangalaman ini semua membuat saya
malu karena sebelum retret saya merasa baik-baik saja.
Ternyata selama retret saya menyadari bahwa batin
saya tidak seperti yang saya pikirkan.
110 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk dua
langkah kaki yang menemani saya di suatu malam.
Terima kasih untuk sebuah pelukan di suatu pagi yang
membuat air mata semakin berderai. Terima kasih
buat teman satu kamar yang telah berbagi selimutnya
selama 10 hari. Terima kasih juga buat teman-teman
yang lain atas begitu banyak kenangan selama retret.
Akhirnya, terima kasih kepada Romo Sudri yang telah
mengajarkan bagaimana mengolah batin seperti belajar
bersepeda.*
Meditasi Tanpa Objek - 111
pustaka-indo.blogspot.com
4. Kematian adalah Awal
Kehidupan
VHI, 41 tahun, Katolik, Karyawan Swasta
Saya baru pertama kali mengetahui adanya retret
meditasi yang dibimbing oleh seorang Romo. Awalnya
saya ragu apakah saya dapat mengikutinya mengingat
diadakannya selama lebaran saat biasanya saya tidak
bisa meninggalkan rumah karena harus mengurus
rumah selama “asisten” di rumah tidak ada alias
pulang kampung. Tapi entah mengapa kali ini saya
merasa Tuhan sudah mengatur semuanya sehingga
saya bisa mengikuti retret ini. Tiba-tiba “asisten” di
rumah mengatakan lebaran ini tidak pulang kampung,
padahal selama ini belum pernah hal ini terjadi. Tuhan
juga menyiapkan teman seperjalanan yang baik dan
menyenangkan karena saya mendapatkan tumpangan
dalam perjalanan menuju Puncak. Terima kasih khusus
buat Mbak Fetria atas tumpangannya.
Saya tidak mempunyai tujuan dalam retret ini selain
untuk mengetahui bagaimana melakukan meditasi
dengan benar. Selama kurang lebih tiga tahun ini saya
melakukan meditasi tanpa bimbingan. Dari buku-buku
yang saya baca, ternyata meditasi itu banyak macamnya.
Dan, saya merasa apa yang saya dapatkan selama retret
ini adalah bonus yang luar biasa.
112 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Hari Pertama
Pagi hari ketika akan berangkat menuju hutan Cibodas,
saya masih belum tahu tujuannya apa kami dibawa
masuk ke hutan Cibodas melakukan meditasi jalan
(walking meditation). Pada waktu Romo mengatakan
ada air terjun, saya membayangkan pasti asyik ke sana.
Pagi dini hari gelap dan sunyi. Kami tidak boleh
saling berbicara. Dalam hawa yang dingin saya mulai
menapaki langkah masuk ke dalam hutan. Tapi anehnya
tidak ada perasaan takut dalam diri saya meskipun
jarak antara peserta yang di depan dan di belakang
cukup jauh. Ketika matahari akan terbit, saya tiba di
suatu tempat yang membuat saya terbengong-bengong
karena takjub. Begitu banyak bunga terompet warna
putih di depan mata. Kesunyian, remang-remang hutan
dan pemandangan gunung di sebelah kanan saya, itu
semua membuat rasanya saya sungguh bersatu dengan
alam dan ciptaan-Nya. Luar biasa indah.
Memang benar apa yang pernah saya baca “Ketika
keindahan itu diucapkan, maka keindahan menjadi
tidak indah lagi. Tetapi keindahan yang dinikmati akan
terasa lebih menyentuh.”
Ketika sampai di air terjun, saya menyaksikan
suatu pemandangan yang tidak kalah indahnya. Bagus
sekali. Rasanya senang sekali mengingatnya, sampai
ada keinginan untuk ke sana kembali.
Pukul 18.00 pada hari Sabtu 27 Agustus, Misa
pembukaan retret dimulai. Inilah perjalanan rohani yang
Meditasi Tanpa Objek - 113
pustaka-indo.blogspot.com
harus siap saya jalani. Dalam Misa, saya berdoa kiranya
Tuhan memberi kekuatan sampai retret selesai.
Ketika Romo menjelaskan sedikit tentang “meditasi
tanpa objek” ini, saya hanya mendengarkan dan
menyerap sepenuhnya karena memang belum pernah
menjalankannya.
Hari Kedua
Pada hari kedua, saya dapat menjalani meditasi dengan
baik. Semua yang diterangkan oleh Romo, saya coba
jalankan. Saya cukup senang menjalani retret ini
meskipun agak bingung dengan waktu karena kami
tidak boleh melihat jam. Tapi lama-kelamaan saya mulai
terbiasa dengan bunyi bel pengatur waktu.
Saya sadar saya memang tidak memiliki tujuan
tertentu untuk mengikuti retret ini. Oleh karena itu,
ketika Romo menjelaskan tentang daya upaya, tidak
banyak daya upaya yang saya lihat. Semuanya rasanya
mengalir begitu saja.
Hari Ketiga
Di hari ketiga ini, saya merasa seperti ikan yang baru
ditangkap, menggelepar ingin dilepas. Saya berusaha
meditasi dengan kesadaran yang ada. Saya mengikuti
petunjuk Romo untuk menyadari saja pikiran dan
perasaan yang timbul. Sungguh di hari ini saya berjuang
keras karena dalam meditasi saya teringat anak-anak
saya. Muncullah keinginan yang kuat untuk pulang.
Saya menangis tapi segera saya sadari. Kalau ingin
114 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
belajar memang harus ada yang dikorbankan. Di sinilah
saya baru menyadari daya upaya yang sesungguhnya.
Dengan melihat daya upaya dan menyadarinya, maka
saya dapat melepaskan perasaan galau saya.
Banyak peserta yang mengeluh sakit kakinya
selama bermeditasi. Bukannya saya tidak merasa
sakit, tapi rasa sakit di kaki tidak sebanding dengan
kegalauan saya ingin pulang di hari ketiga ini. Tapi
syukur semuanya dapat teratasi.
Hari Keempat
Selama meditasi pagi, saya merasa senang. Saya sudah
bisa mulai menikmati apa yang saya lakukan. Sepanjang
hari saya senang dan melakukan, baik walking
meditation maupun sitting meditation dengan perasaan
gembira.
Ketika Romo menerangkan tentang kemelekatan
sore harinya, saya langsung berpikir tanpa meditasi
saya sudah tahu objek yang saya lekati. Yang saya
sadari waktu itu hanya satu kemelekatan karena saya
merasakannya sungguh-sungguh. Tetapi ketika meditasi
dengan batin yang jernih, beberapa kemelekatan
bermunculan. Kemunculannya tidak saya duga karena
memang selama ini tidak pernah saya sadari. Kaget
saya dibuatnya. Setelah meditasi saya memeriksa diri
terhadap kemelekatan yang muncul tersebut. Tetapi
bagaimana saya harus melepaskannya saya masih
bertanya-tanya.
Meditasi Tanpa Objek - 115
pustaka-indo.blogspot.com
Hari Kelima
Ketika sitting meditation, saya tiba-tiba merasakan
goncangan tubuh yang cukup mengganggu. Saya
mencoba untuk terus bermeditasi tapi tidak bisa.
Akhirnya sepanjang hari ini saya lebih banyak
melakukan walking meditation. Goncangan tubuh
tersebut berlangsung sampai besok siangnya. Dan saya
bertanya kepada Romo yang akhirnya memberikan
solusi kepada saya untuk melakukan walking meditation
tanpa alas kaki dan sitting meditation tanpa alas.
Hari Keenam
Saya menjalankan saran Romo untuk walking meditat i
on tanpa alas kaki dan sitting meditation tanpa alas, tapi
karena dingin saya hanya sekali saja sitting meditation
tanpa alas. Tetapi saya melihat ketika sitting meditation
dengan batin yang sungguh tenang, goncangan itu
perlahan-lahan berhenti dengan sendirinya.
Ketika meditasi pada sore hari saya melihat gambar
bahwa saya sedang berdiri di depan peti adik saya yang
sudah meninggal. Saya kemudian mengikuti gambaran
yang timbul di mana ternyata saya diingatkan bahwa
saya pernah berkata di depan peti bahwa saya ini bukan
siapa-siapa dan bukan apa-apa yang suatu hari akan
tidur di tempat yang sama.
Di sana ada kesadaran bahwa ada sesuatu yang
luar biasa besar yang tidak bisa dijangkau dengan
pikiran dan dirangkai dengan kata-kata, yang setiap
116 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
saat bisa memberi dan mengambil. Saya menangis
dalam meditasi kali ini.
Hari Ketujuh-Kesembilan
Hari ketujuh sampai hari kedelapan semua meditasi
saya berjalan dengan baik. Meskipun masih banyak
pikiran timbul, saya menyadari dan mengamati saja.
Saya juga mengalami keheningan yang dalam sekali,
yang dalam kesempatan meditasi lain tidak saya alami.
Pada hari kesembilan ketika Romo mengatakan
untuk melepaskan dan mengajak kami mengalami
kematian secara psikologis, saya mengerti maksud
Romo. Tapi saya masih belum tahu bagaimana caranya.
Saya masih belum menyadari apa yang saya akan
dapatkan.
Ketika meditasi dimulai, tiba-tiba saya diingatkan
bahwa tahun lalu saya pernah berlutut di depan
Tabernakel gereja dan di sana saya berdoa serta berjanji
pada Tuhan untuk menyalibkan kedagingan saya dan
melepaskan semua kemelekatan saya supaya Tuhan
bisa memakai saya lebih lagi. Selama ini, olah rohani
saya adalah dengan berdoa dan berpuasa. Dan dengan
olah rohani tersebut saya belum menemukan cara untuk
melepaskan semua kemelekatan saya. Beberapa bulan
kemudian, kalau tidak salah akhir tahun lalu atau awal
tahun ini, saya kembali berlutut di depan Tabernakel
dan berdoa. Dalam doa itu saya mengatakan bahwa
saya tidak lupa akan janji saya tapi saya tidak tahu
bagaimana caranya melepaskan semuanya itu.
Meditasi Tanpa Objek - 117
pustaka-indo.blogspot.com
Itu semua terlihat jelas ketika saya meditasi. Saya
menangis karena ingat itu dan tiba-tiba saya menyadari
bahwa retret meditasi ini adalah jawaban dari doa
saya. Ketika saya menangis, saya menyadari adanya
ketakutan yang besar dan itulah akarnya mengapa tidak
bisa melepaskan kemelekatan. Lalu saya praktikkan
apa yang diajarkan Romo untuk menyadari ketakutan
tersebut. Pada saat ketakutan itu runtuh, saya merasa
ada sesuatu yang keluar dari hati saya dan saya merasa
lega luar biasa. Saya menangis terharu. Sungguh awalnya
saya ikut retret ini hanya ingin belajar meditasi dengan
benar. Ternyata Tuhan menjawab doa saya melalui
retret ini. Pantas saja Tuhan seperti sudah menyiapkan
semuanya sehingga saya bisa ikut retret meditasi ini.
Inilah kematian yang merupakan awal kehidupan
baru bagi saya. Saya merasa perlu untuk melakukan
olah batin terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari
dengan menjaga kesadaran dan kejernihan batin.
Terima kasih buat Romo Sudri yang sudah meng
izinkan saya mengikuti retret ini dan yang dengan
penuh kesabaran membimbing seluruh peserta.*
118 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
5. Biarkan Saja, Sadari Saja
DCS, 42 tahun, Katolik, Karyawan
Saya memutuskan untuk ikut retret meditasi karena
tertantang untuk bisa hidup tertib, ada keinginan
untuk mencari penga laman baru dan terutama untuk
menjauhkan diri dari kes ibukan sehari-hari.
Bel berbunyi jam 03.00 setiap hari sebagai tanda
harus siap-siap untuk meditasi pagi. Sesudahnya
meditasi sendiri-sendiri sampai dialog jam 17.30.
Setelah dialog dilanjutkan meditasi malam hingga saat
tidur tiba pukul 21.30. Saya belum pernah mengalami
24 jam sehari selama 10 hari sebagai siklus paling indah
dan paling aneh dalam sejarah kehidupan saya.
Saat berjalan menuju ruang meditasi, rasa kantuk
sering masih terasa selain rasa dingin yang menusuk.
Alhasil baju yang saya pakai setiap pagi berlapis empat
dan celana berlapis dua. Belum lagi ditambah syal dan
kadang selimut untuk menutup dingin.
Romo biasanya mulai memandu dengan bertanya,
“Pertama-tama, periksalah gerak batin Anda, periksalah
sikap tubuh Anda. Apakah sudah relaks? Apakah ada
keinginan? Adakah tujuan yang ingin dicapai selama
meditasi? Sadarilah objek dan batin tanpa daya upaya.”
Petunjuk yang diberikan selama meditasi setiap pagi
dan malam memberikan pelajaran untuk saya olah
selama meditasi seharian.
Meditasi Tanpa Objek - 119
pustaka-indo.blogspot.com
Kadang saya bisa menikmati tanpa banyak berpikir.
Hari-hari awal tidak begitu mudah. Yang paling susah
ketika kaki sudah mulai terasa gatal, pegal, linu, atau
kram. Pikiran sering bertanya, “Oh, kapan siksaan ini
akan berakhir?” Saya coba memicingkan mata untuk
mengintip yang lain. Posisi Romo masih stabil, sebagian
besar teman-teman juga masih mantap. Tidak ada
pilihan lain kecuali harus terus duduk.
Romo memandu, “Apa ada sensasi tubuh? Apakah
Anda menangkap adanya sensasi yang paling kasar
hingga sensasi paling halus? Ketika sensasi tetap tinggal
sebagai sensasi, tanpa dinamai, bisakah dilihat bahwa
tubuh tidak lain merupakan kumpulan vibrasi? Sensasi
yang dinamai pegal, linu, sakit itu, bukankah tidak lebih
sebagai vibrasi? Bisakah menyadari objek-objek sensasi
itu hingga sensasi itu tidak tumbuh menguat, berhenti
dan bahkan lenyap?” Spontan saya bertanya dalam hati,
“Bagaimana mungkin menyadari sakit sebagai vibrasi
dan ketika disadari bisa lenyap?”
Tujuan meditasi tanpa objek bukanlah untuk me
ngosongkan pikiran, bukan memusatkan pikiran dengan
konsentrasi. Meditasi tanpa objek tidak memiliki tujuan
apa-apa kecuali menyadari gerak tubuh dan batin dari
saat ke saat. Jika ada objek yang datang sadari saja.
Objeknya apa saja, misalnya orang yang kita sayangi
atau kita benci, pengalaman-pengalaman bahagia atau
menderita. Setiap objek itu menjadi teman spiritual
menuju pencerahan batin.
120 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Sampai pada hari keempat saya masih bergulat
dengan pengalaman masa lalu. Batin masih sangat
kacau. Ingat ini atau ingat itu. Kebanyakan waktu saya
merenung-renung, meski telah dianjurkan untuk tidak
merenung dan membiarkan saja segala sesuatu datang
dan pergi. Masa lalu hanyalah gerak pikiran dalam
rentang waktu, masa kini bukan bagian dari masa lalu
dan masa depan bukan bagian dari masa kini. Pikiran
yang adalah gerak masa lalu seolah nyata. Semua
hanyalah ilusi. Si pemikir tidak berbeda dari pikiran.
Pikiran menciptakan si pemikir, si pengamat, si ego, si
diri. Ketika si ego muncul, terjadilah proses memilah-
milah objek. Ada yang disukai, ada yang tidak disukai.
Batin terkondisi oleh pengalaman masa lalu. Ima
ge tertentu mengenai masa lalu menciptakan reaksi-
reaksi seperti kita dahulu bereaksi dengan pengalaman
masa lalu. Padahal yang kita alami setiap hari adalah
baru. Maka sering kita tidak maju-maju menuntaskan
problema kehidupan karena kita tidak melihat fakta
sebagai fakta. Lalu apa yang musti dilakukan? Berulang-
ulang saya mendengar selama meditasi, “Biarkan saja.
Sadari saja.” Baru kali ini saya mendapat pelajaran yang
seperti ini.
Ketika saya diabaikan orang lain dan saya kecewa,
saya diminta untuk membiarkan saja dan menyadarinya.
Tetapi bagaimana itu mungkin? Anjuran ini sungguh
tak masuk akal. Aku bertanya, “Apakah aku bukan apa-
apa dan bukan siapa-siapa? Jadi, jangan menganggap
diri penting supaya bisa menerima diri dengan segala
Meditasi Tanpa Objek - 121
pustaka-indo.blogspot.com
keadaannya bahkan saat mengalami keterpurukan
sekalipun?” Meskipun demikian, aku belajar untuk
menyadari saja rasa kekecewaan itu. Faktanya adalah
bahwa “aku kecewa”. Saya belajar untuk melihat bahwa
tidak ada diri yang terpisah dari rasa kecewa. Kecewa
adalah kecewa. Tidak ada “aku” di luar rasa kecewa.
Saya belajar untuk terus menyadari pikiran yang terus
menganalisis mengapa “aku” kecewa.
Bagaimana mengatasi ketidak-damaian dalam
hidup? Selama ada kotoran batin, maka batin tidak
damai. Bagaimana menghilangkan kotoran batin?
Jawabannya, sadari saja. Jangan mencoba menemukan
cara menghilangkannya. Misalnya, malas diubah supaya
menjadi tidak malas, marah diubah supaya menjadi tidak
marah, cengeng diubah supaya menjadi tidak cengeng.
Daya upaya untuk mengubah justru menimbulkan
konflik baru dan tidak membawa penyelesaian secara
tuntas.
Pada hari kelima, ada sesuatu yang menyentuh.
Saya menemukan bahwa ternyata hidup itu sangat
berharga. Segala masa lalu biarkan saja menjadi masa
lalu. Hidup yang nyata adalah hari ini. Pertentangan
batin pada hari-hari sebelumnya sirna sudah. Sejak itu,
saya menjalani sisa hari retret dengan lebih ikhlas. Saya
menulis kalender pribadi dan memberi tanda centang
pada hari yang telah lewat. Kadang datang rasa bosan
dan rindu pada anak-anak. “Kapan selesainya, ya?”
122 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Dua hari sebelum berakhir, saya mulai sakit kepala.
Tiga kali setiap hari saya masuk kamar dan tiduran
sesudah meditasi pagi, sesudah sarapan, dan sesudah
makan siang. Terus terang ada rasa khawatir kembali
ke kehidupan sebenarnya. Saya sudah belajar mengolah
batin seperti “belajar naik sepeda” di Wisma Cibulan.
Kira-kira nanti di tengah Jakarta bisa lancar atau tidak?
Berkali-kali saya menangis galau. Tuhan tunjukkan
jalanku.
Pada hari-hari terakhir pertemuan, Romo Sudri
menjelaskan tentang kematian dalam kehidupan.
Maksudnya, kita harus bisa mati dan terbebaskan dari
kehidupan yang terkondisi supaya kita bisa memulai
kehidupan yang baru.
Saya simpan dalam-dalam semua pelajaran ber
harga ini. Saya melihat urut-urutan pelajaran mulai dari
hari pertama sampai hari terakhir. Dampak dari olah
kesadaran ini jelas, yaitu batin menjadi jernih dan bisa
menjalani kehidupan dengan cerdas. Saya menyadari
ternyata Tuhan yang saya kenal hanya sebagai konsep
kini saya mengalaminya begitu dekat dalam diri ini. Tak
perlu jauh-jauh dicari. Tuhan ada di mana-mana meski
tidak ada dimana-mana secara khusus.
Misa penutupan di balkon atas sangat menyentuh.
Meski angin bertiup kuat, hatiku hangat dipenuhi
kedamaian. Inilah pertemuan terakhir bersama Romo
dan teman-teman retretan. Ada beberapa janji untuk
menjalani kehidupan dengan sadar di tengah arus dunia
Meditasi Tanpa Objek - 123
pustaka-indo.blogspot.com
yang sangat kacau. Juga janji untuk menyelamatkan
kehidupan. Kami diutus dan diberi penguatan sebelum
kembali.
Ada banyak pengalaman dan pelajaran yang sa
ngat berh arga selama retret 10 hari yang tidak bisa
diukur dengan nilai uang. Terima kasih untuk Romo
Sudrijanta. Semoga tetap diberkati dan konsisten dalam
mendampingi mereka yang melakukan pencarian spi
ritual yang mendalam.
Kini sudah lima hari berlalu sejak kembali ke
kehidupan sebenarnya. Sekarang bangun pagi dengan
sukarela, mengerjakan segala sesuatu dengan lebih
ikhlas, menyadari kasih Tuhan dari waktu ke waktu.
Jika ada yang tidak berkenan, saya selalu ingat, “Biarkan
saja. Sadari saja. Segala sesuatu datang dan pergi begitu
cepat. Ting….(suara bel)!”*
124 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
6. Keheningan yang Luar Biasa
FYWS, 45 tahun, Wiraswasta, Surabaya
Pengalaman mengikuti Retret Meditasi Tanpa Objek
yang diadakan di Cisarua oleh Romo Sudrijanta sangat
berkesan mendalam bagi saya.
Pada hari ke-1, kami mengikuti perjalanan di
Gunung Gede. Pengarahan dilakukan oleh Romo.
Setelah itu kami berjalan mendaki. Karena saya tidak
pernah olahraga, perjalanan tersebut berat sekali. Romo
mengajak untuk melangkah dengan seluruh kesadaran.
Karena stamina peserta tidak sama, akhirnya saya harus
berjalan sendirian di dalam kegelapan malam di hutan
Gunung Gede. Tidak terlihat siapa pun di belakang
ataupun di depan. Di situlah perasaan ini menjadi
lebih peka terhadap segala sesuatu yang ada disekitar
saya. Yang lebih aneh, ada sikap pasrah yang luar biasa
yang saya rasakan. Tidak ada ketakutan. Semuanya
apa adanya. Melangkah dengan terseok-seok. Itulah
kehidupan yang harus dihayati dalam kesendirian.
Kebesaran-Nya saya rasakan. Itu tidak terlukiskan.
Pada hari berikutnya setelah ada pengarahan dari
Romo, kami memulai meditasi. Karena seluruh tubuh
masih terasa nyeri, saya bermeditasi sebisa yang saya
lakukan. Karena tidak bisa bangun jam 03.00, saya
mulai meditasi jam 06.00 pagi. Karena kondisi nyeri
yang saya alami, hari itu berlalu begitu saja, tanpa
pengalaman apa pun. Biasanya saya sering melakukan
Meditasi Tanpa Objek - 125
pustaka-indo.blogspot.com
meditasi dengan objek. Perasaan damai dan sukacita
selalu saya rasakan. Pada pengarahan hari ke-2, baru
saya mengerti tentang jeda pikiran yang satu dengan
pikiran yang lain, adanya suatu titik hening saat pikiran
berhenti.
Pada hari ke-3 pun saya masih berkutat pada
pikiran saya. Pikiran berjalan terus, meskipun kadang
tidak menemukan objek yang dipikirkan. Tetapi itulah
pikiran itu sendiri. Setelah diberikan pengarahan
berulang kali, baik pagi maupun sore hari, saya mulai
mengerti tentang hakikat pikiran. Pikiran selalu
memberikan penilaian terhadap objek apa pun. Kita
diminta untuk mengamati saja, tanpa memberikan
penilaian terhadap pikiran yang selalu berjalan. Di situ,
Romo berbicara tentang mengamati tanpa daya upaya,
tidak melakukan apa pun terhadap objek yang terlintas
di pikiran saya.
Pada hari ke- 4, saya mencoba menerapkan apa
yang telah diterangkan meskipun kita diminta untuk
melupakan semua pengarahan yang baru saja didengar.
Saya coba duduk di lantai 2 dan memulai meditasi.
Karena terlalu lama duduk bersila, ada perasaan sakit
pada kaki saya. Pada mulanya saya teringat apa yang
diajarkan, “Jangan memberi penilaian atas apa pun.”
Tetap saja pikiran datang dan membuat penilaian, tetapi
saya sadari. Suatu ketika, ada satu permasalahan yang
hinggap di pikiran saya, setelah sekian lama bermeditasi,
pikiran tersebut berhenti pada permasalahan tersebut.
Setelah saya perhatikan tanpa berpikir apa pun, tiba-
126 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
tiba keheningan yang luar biasa menaungi saya. Saya
tidak merasakan apa pun dan tidak tahu berada di
mana. Saya tidak tahu apa pun, bahkan diri saya sendiri.
Ketika pikiran datang dan mulai berpikir kembali,
lenyaplah semuanya itu dan saya tersadar.
Itulah pengalaman saya selama retret. Meskipun
saya harus meninggalkan tempat retret pada hari ke-6,
pengalaman itu sangat berkesan. Pengertian dalam
membaca Kitab Suci mulai berubah setelah mengikuti
retret. Saya merasakan bahwa Allah sungguh baik
dan sangat baik. Satu hal lagi setelah saya kembali
dari retret, saya kurang menyukai menonton TV dan
ada kerinduan untuk melakukan meditasi terus dan
terus. Ada sesuatu yang luar biasa. Waktu meditasi
di rumah, saya mendengar suara anjing melenguh.
Pikiran mengatakan, “Anjing saya lapar.” Ternyata anak
saya juga mendengar suara tersebut dan bergegas
memberi makan ke anjing saya tanpa adanya perintah.
Itu kebetulan atau bukan, saya tidak tahu. Tetapi serasa
hati ini mulai peka terhadap apa pun di sekitar saya.
Terima kasih Romo atas bimbingannya melalui olah
kesadaran yang Romo ajarkan.
Meditasi Tanpa Objek - 127
pustaka-indo.blogspot.com
7. Melihat Luka secara Baru
AKP, 46 tahun, house keeper, Katolik
Selesai sudah retret meditasi 10 hari. Retret kali ini
memang berbeda dari retret-retret yang lain. Waktunya
pun relatif lama. Aku sempat mengajak beberapa
teman, sambil aku tunjukkan tata tertib retret. Mereka
menyatakan belum siap karena tidak boleh bicara
selama retret berlangsung. Sebagian dari mereka
menunjukkan keengganannya begitu mengetahui
bahwa retret ini adalah retret meditasi. Entah apa
yang ada dalam benak mereka begitu mendengar kata
“meditasi”.
Hari ini tepat seminggu aku kembali ke kehidupan
nyata. Tanggapan pro dan kontra aku terima sepulang
retret. Aku dengarkan saja.
Aku datang mengikuti retret dengan membawa
sejumlah masalah yang sudah lama menekan diri.
Berbagai pihak sudah aku hubungi, tetapi tidak
membuahkan hasil. Pihak-pihak yang memberi andil
terhadap semua masalah sangat sulit aku minta
pengertiannya bahwa semua masalah tidak bisa
dibebankan kepadaku semata.
“Semua masalah teknis harus dicarikan jalan
keluar secara teknis pula,” begitu aku mendengar dari
Romo Sudri. Aku tahu bagaimana menyelesaikannya,
yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang netral dan
ahli di bidangnya sehingga bisa ditemukan penyelesaian
128 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
secara fair. Penyelesaian ini harus disetujui oleh semua
pihak. Apa jadinya kalau ada pihak-pihak yang tidak
menghendaki permasalahan ini diselesaikan karena
merasa akan dirugikan? Betapapun kerasnya aku
berusaha, tampaknya sia-sia. Selama ini aku pribadi
saja yang berkonsultasi secara konsisten pada psikolog,
psikiater, para romo, dan sebagainya, terutama pada
saat fisik dan psikis sudah sangat lelah. Aku seperti
melakukan perjalanan yang berputar-putar tanpa arah.
Melelahkan. Sendirian!
Secara kebetulan tahun lalu (2010), aku mendapat
info tentang buku yang ditulis Romo Sudri, Revolusi
Batin Adalah Revolusi Sosial (Kanisius, 2009) sewaktu
membesuk seseorang di sebuah Rumah Sakit. Akhirnya,
aku bisa mendapatkan buku tersebut. Beberapa bab
telah aku baca, tetapi ada hal-hal yang aku tidak
mengerti sampai suatu saat aku bisa bertemu langsung
dengan penulis buku tersebut.
Aku tahu sejak sebelum datang ke retret ini, bahwa
aku tidak bisa mengharapkan semua permasalahanku
akan terselesaikan dengan retret ini. Semua ada
waktunya. Entah kapan dan dengan cara bagaimana.
Satu hal jelas bagiku bahwa dari retret meditasi
ini aku belajar bagaimana perubahan batin terjadi, dari
batin yang “terbelenggu” menjadi batin yang “bebas”
asal ada kesadaran terus-menerus.
Sekarang, aku bisa lebih mengerti siapa diri ini.
Sesudah retret masalah-masalah itu masih tetap ada.
Meditasi Tanpa Objek - 129
pustaka-indo.blogspot.com
Tetapi, kini aku bisa memandang semua permasalan
dengan cara yang baru.
Aku sadar bahwa masalah-masalah tersebut
secara teknis harus diperbaiki tapi aku tidak lagi ngeyel
supaya cepat terselesaikan. Biarlah masalah-masalah
itu terselesaikan pada saatnya nanti, barangkali di
saat semua pihak hidup dalam kesadaran. Kini aku
sadar bahwa adalah lebih baik mengolah kehidupan
batin harian dari pada terus bergelut dengan
pikiran-pikiran dan emosi-emosi yang tidak perlu.
Dalam mengolah diri selama ini, aku memakai
pendekatan agere contra (bertindak sebaliknya).
Ternyata tidak ada perubahan fundamental yang
dihasilkan dengan agere contra. Dalam retret ini, aku
belajar untuk melihat tanpa daya upaya segala sesuatu
sebagai apa adanya, melihat fakta tanpa menambah
atau mengurangi, tanpa keinginan untuk mengubah
atau menerima.
Romo Sudri dengan sabar memberikan pengarahan
dari tahap ke tahap. Tidak ada alasan buatku untuk
berhenti berlatih meditasi. Sebaliknya aku merasa perlu
terus berlatih dengan konsisten, terus hidup dengan
kesadaran.
Sampai hari ke-4, batin tetap datar. Aku sempat
kebingunga n karena tidak ada satu objek pun yang
rasanya signifikan untuk dilihat. Tercetus ide bagaimana
kalau aku mencari saja objek-objek yang selama ini
130 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
banyak menimbulkan rasa luka. Aku ingin mengolahnya
supaya aku lebih cepat bebas dari luka-luka itu. Romo
Sudri menyarankan untuk tidak melakukan hal itu
supaya aku tidak semakin terbawa rasa luka tersebut
kalau kesadaran belum kuat.
Kembali aku menyadari objek-objek yang datang
kepada batin apa adanya saja. Aku belajar membiarkan
kesadaran bekerja dan menemukan sendiri objeknya
yang tepat. “Rasa datar adalah objek. Rasa tidak ada
apa-apa bukan berarti tidak ada apa-apa. Banyak cerita
di sana.” Demikian aku ingat penjelasan dalam salah
satu dialog. Jadi aku harus tetap waspada dan berjaga
mengawasi gerak batin.
Aku merasa hampa pada hari ke-5. Semua yang su
dah Romo ajarkan, semua ilmu meditasi yang sudah aku
praktikkan hilang. Seolah aku tidak pernah mendapat
pengetahuan tentang meditasi dan tidak pernah berlatih
sebelumnya.
Bisa jadi aku kelelahan fisik sehingga memengaruhi
meditasi yang kulakukan. Romo mengatakan bahwa
kelelahan fisik bisa sangat mengganggu andai ke
sadaran belum menguat. Lalu, Romo menyarankan
agar istirahat saja di luar jam istirahat kalau memang
dibutuhkan. Nasihat romo sempat aku coba dan aku
manfaatkan buat meditasi dengan berbaring. Akhirnya
hari berikutnya aku siap mengikuti sesi meditasi
bersama dan meditasi pribadi.
Meditasi Tanpa Objek - 131
pustaka-indo.blogspot.com
Aku terus berlatih, belajar sadar dari saat ke saat
tanpa melibatkan pikiran. Berusaha menyadari objek-
objek yang datang apa adanya.
Pada hari ke-6, barulah objek berupa ingatan-
ingatan buruk bermunculan. Sungguh aneh, kali ini aku
tidak berusaha menolak atau menjauh dari bayang-
bayang hitam itu. Aku diam mengamati. Biasanya
aku akan berusaha mati-matian untuk menghindari
ingatan-ingatan itu. Kini, hanya diam mengamati.
Ingatan-ingatan itu tidak kunjung pergi. Tetapi dengan
diam mengamati terus-menerus, ingatan-ingatan itu
tidak lagi menciptakan beban batin dan akhirnya lenyap
begitu saja.
Romo Sudri pernah mengatakan untuk melupakan
isi buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial. Tapi
menurutku, buku ini masih aku butuhkan, paling tidak
sampai aku benar-benar mengerti apa isinya. Jadi buku
itu sekarang aku baca kembali dengan kesadaran baru.
Meditasi yang sesungguhnya baru dimulai ketika
kami semua kembali ke rumah masing-masing, kembali
pada kehidupan nyata. Saat itulah kami diuji supaya
konsisten dengan apa yang sudah Romo ajarkan, “Tetap
sadar, jangan lalai, jangan lembek”. Semoga kami semua
bisa melaksanakannya dalam ujian-ujian kehidupan.*
132 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
8. Kekuatan Keheningan
Mengungkap Hal-hal yang
Tersembunyi
KZ, 32 tahun, Katolik, Wiraswasta, Palembang
Terasa sangat sulit untuk mulai menulis. Rasanya tidak
mudah untuk menuangkan sekian banyak pengalaman
yang tak terduga yang mengalir secara alami selama 10
hari. “Mengalir secara alami” rasanya sudah sangat jauh
dari kehidupanku sejak lama. Memang aku tidak pernah
mengizinkan hidup itu mengalir secara alami. Buatku,
akulah yang harus mengatur kehidupanku. Nasib ada
di tanganku sendiri. Itu prinsipku setidaknya sampai
aku menjalani retret. Akhirnya retret ini meruntuhkan
semua prinsip itu.
Aku hadir dalam retret dengan sebuah keinginan
besar. Meski sudah berkali-kali diingatkan oleh Romo
Sudri agar dilepaskan, tak juga mampu aku lepaskan.
Ada keinginan untuk memahami jalan meditasi ini
dengan sebaik-baiknya, agar kelak ketika aku pulang,
aku mampu menjalani sebuah kehidupan yang benar-
benar baru. Aku ingin sebuah kehidupan yang akan aku
jalani dengan pandangan yang jernih dan penuh damai.
Aku mengharapkan sebuah kehidupan baru yang bebas
dari konflik batin dan pergulatan dengan diri sendiri.
Selama retret aku baru menyadari, bahwa aku sudah
benar-benar muak dengan pola kehidupan yang aku
jalani selama ini dengan berbagai konflik yang tak
kunjung henti.
Meditasi Tanpa Objek - 133
pustaka-indo.blogspot.com
Aku hadir dalam retret dengan sebuah persepsi
mengenai diri yang teramat logis. Persepsi tentang
diri ini membuat aku kebat-kebit dan bertanya dalam
hati, “Mampukah aku menjalani meditasi ini karena
pikiran justru menjadi penghambat utama di jalan
ini? Mampukah aku melepaskannya?” Pertanyaan itu
muncul karena kebiasaan merasionalisasikan segala
sesuatu terasa sudah begitu mengakar dalam diriku.
Buatku logika adalah segalanya. Buatku logika adalah
ukuran yang paling utama.
Pertanyaan-pertanyaan itu menciptakan kete
gangan yang luar biasa besar, tetapi tidak aku sadari
sama sekali. Empat hari pertama dalam retret, setiap
kali Romo meminta semua peserta untuk melihat
ketegangan yang ada, baik pada fisik maupun batin,
aku tak pernah menemukannya. Yang aku alami justru
pergulatan dengan pikiran yang tak berhenti berceloteh
di satu sisi, dan menyanyi di sisi yang lain. Aku merasa
sangat terusik dengan kehadiran celotehan dan lagu-
lagu yang seolah berperan sebagai background music
(musik latar) yang mengiringi celotehan-celotehan
yang ada. Pikiran sibuk melabeli setiap sensasi yang
ada, dan membuat analisis-analisis dari setiap hal yang
melintas. Menjengkelkan sekali.
Pernah suatu saat dalam meditasi, aku melihat
dan memahami bahwa semua penderitaan yang aku
alami di masa lampau bukanlah disebabkan oleh luka
yang ditorehkan orang lain. Bukan luka itu ataupun
orang yang menorehkan luka itu yang membuat aku
134 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
menderita. Bukan itu penyebabnya, melainkan kotoran-
kotoran batinku sendiri, yaitu keinginan-keinginan
untuk menolak semuanya itu, keinginan-keinginan
untuk mengatur kehidupanku sedemikian rupa
sehingga sempurna seperti yang aku mau. Itu semualah
yang membuatku menderita.
Aku tak menyangka bahwa pada akhirnya aku
tiba pada pemahaman itu. Semuanya itu mengalir
secara alami, tanpa ada usaha sedikit pun dariku
untuk memahami hal itu. Pemahaman itu berlangsung
sangat cepat, hingga akhirnya muncul lagi sebuah
suara dalam benakku yang mulai menganalisis apa
yang baru aku temukan dan pikiran mulai berceloteh
lagi panjang lebar. Setelah itu muncul lagi sisi pikiran
yang mempertanyakan, “Sungguhkah yang baru aku
dapatkan adalah sebuah insight, ataukah itu hanya hasil
analisis dari logika?” Gerak pikiran terus berlanjut dan
semakin ramai. Aku mulai terseret ke dalam kegaduhan
pikiranku sendiri. Aku mencoba untuk kembali sadar
dan mengamati tanpa terlibat di dalamnya.
Dari celotehan-celotehan yang tidak pernah ber
henti mengalir, aku baru menyadari bahwa betapa
batin ini sangat menyukai kepuasan intelektuil.
Betapa kepuasan intelektuil itu membuat aku begitu
melekat dan ingin terus menikmatinya. Menganalisis
dan menganalisis. Setiap saat berhasil menemukan
buah analisis yang menurutku cemerlang, aku bahagia
layaknya seorang pemenang hadiah utama.
Meditasi Tanpa Objek - 135
pustaka-indo.blogspot.com
Buah analisis yang cemerlang itu akan terus
terulang dalam benakku. Setiap terjadi pengulangan
(repetition), ada sensasi damai dan puas. Itu hanya
berlangsung sesaat, hingga pikiran kembali bergerak
untuk menganalisis objek lain, dan berusaha menemu
kan kepuasan inteletuil yang lain, dan melakukan hal
yang sama seperti sebelumnya.
Aku mulai melihat proses ini secara perlahan.
Tak menyangka bahwa dalam keheningan, proses ini
dapat tertangkap dengan cukup jelas. Namun melihat
dengan jelas proses ini, tidak lantas membuat pikiranku
berhenti berceloteh. Aku mulai gelisah. Sepertinya ada
objek-objek lain yang lolos dari pengamatanku dan
kelolosan itulah yang membuat pikiranku hingga detik
itu tidak juga berhenti bergerak.
Suatu saat aku melihat bahwa proses pengamatan
yang aku lakukan dalam meditasi ternyata sudah
tersaring dengan sendirinya. Yang muncul sebagai objek
adalah hal-hal yang biasa saja, hal-hal yang menurutku
“aman”. Hal-hal yang menurutku “tidak aman” tidak
pernah muncul. Siapakah yang melakukan filter itu?
Aku menemukan fakta itu, namun aku tidak memahami,
bagaimana proses itu bisa terjadi dan subjek apakah
yang melakukan proses penyaringan itu.
Tidak ada hal yang bisa aku lakukan selain
mencoba untuk mengamati dan hanya mengamati saja
setiap celotehan atau apa pun yang diciptakan oleh
pikiran yang tak pernah bisa diam. Namun lagi-lagi
136 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
masuknya daya upaya dalam pengamatan menguras
energi tanpa aku sadari, hingga pada separo perjalanan
retret, aku mulai kehabisan tenaga untuk latihan dan
mulai ambruk.
Pada hari ke-6 retret, aku bahkan sudah tak
mampu untuk meditasi lagi. Batinku resah luar biasa.
Tak ada yang tersisa selain rasa ingin menangis. Aku
mencoba bicara dengan Romo untuk menemukan jalan
keluar dari kondisi yang ada. Romo mengatakan bahwa
kesadaranku belum kuat, sedang objek yang muncul
kekuatannya melebihi kesadaranku, dan itu membuat
batin terus-menerus terseret oleh objek. Beliau
menyarankan aku untuk meningkatkan kesadaran
mulai dari sensasi yang kasar, yaitu sensasi tubuh, baru
setelah itu ke sensasi yang lebih halus dalam batin. Bila
muncul pelanturan lagi, maka kembali lagi ke sensasi
kasar, baru setelah itu ke sensasi yang halus lagi. Terus
berputar.
Aku menjalani apa yang disarankan Romo. Pada
saat pelanturan semakin ramai dalam meditasi duduk,
maka aku mengalihkan latihan ke meditasi yang lebih
banyak melibatkan gerak fisik. Gerak fisik membantu
aku untuk hadir sepenuh-penuhnya dalam setiap gerak
yang ada tanpa banyak melibatkan pikiran. Untuk
sesaat, meditasi jalan (walking meditation) membuat
aku cukup relaks. Hingga akhirnya aku menemukan
bahwa bahkan dalam proses melihat dengan indera,
begitu banyak distorsi yang muncul. Yang aku
lihat dalam proses itu, sama sekali bukan apa yang
Meditasi Tanpa Objek - 137
pustaka-indo.blogspot.com
sesungguhnya ada di depan mataku. Yang ada adalah
lamunanku. Yang aku lihat adalah gambaran-gambaran
yang diciptakan oleh pikiranku sendiri. Demikian pula
saat mendengar indera. Yang aku dengar bukan hanya
suara gemerisik daun-daun yang diterpa angin, tapi
ada background music yang hingga saat itu masih tak
bisa diam. Menemukan hal itu aku mulai gelisah lagi.
Aku bahkan tak mampu lagi untuk melihat gerak batin
yang menolak dan berusaha untuk meniadakan semua
distorsi itu. Aku hanya bisa menemukan diri yang
semakin tenggelam dalam kotoran batin yang semakin
menebal, dan aku mulai benar-benar kehabisan tenaga
dan tak tahu harus berbuat apa.
Karena aku sudah tak punya tenaga lagi, maka tidak
ada lagi yang bisa aku lakukan selain berusaha untuk
relaks, dengan harapan aku bisa mengumpulkan sedikit
saja tenaga untuk kembali melanjutkan latihan. Dalam
latihan yang aku lakukan di titik ini, aku menemukan
diri tidak sedang melatih kesadaran, tapi latihan
konsentrasilah yang sedang aku lakukan. Tubuh terasa
amat penat dan punggung terasa nyeri. Aku sudah
tak mampu fokus sama sekali. Satu saja gerakan dari
peserta lain, sudah membuyarkan semua konsentrasiku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kamar
untuk menenangkan diri dan mencoba untuk latihan
sendiri tanpa gangguan gerakan dari orang lain.
Di kamar, aku mencoba untuk relaks sekali lagi,
mencoba untuk mengumpulkan kembali sedikit tenaga
untuk meneruskan latihan. Daya upaya memang sia-
138 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
sia. Tetapi tahu secara teoretis memang bukan jaminan
bisa menghentikan daya upaya. Saat itu, aku merasa nol
besar. Tidak dapat apa-apa. Ahh, lagi-lagi tujuan dan
keinginan masih juga belum terlepaskan.
Relaksasi yang aku lakukan membuatku ada di
posisi setengah tidur, antara tidur dan bangun. Suatu
saat tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang yang
sedang duduk meditasi. Aku sadar akan apa yang
tengah berlangsung. Orang itu tidak lain adalah diriku
sendiri. Aku sedang mengamati diriku sendiri, duduk
meditasi, dan betapa tegangnya proses latihan meditasi
yang dilakukan. Mengapa aku tak merasakannya,
bahkan ketegangan fisik yang paling kasar sekalipun
selama proses latihan itu? Kenapa aku harus mundur
dan mengamati kembali proses latihan, dan di sana aku
baru bisa menemukan ketegangan itu?
Setelah menemukan ketegangan dalam kondisi
relaksasi itu, sensasi yang berhubungan dengan diri yang
tidak ingin aku lihat muncul seketika, secara serentak,
dan menjadi tak tertahankan. Tak tertahankan karena
pada akhirnya aku menyadari bahwa sesungguhnya
aku teramat takut untuk menghadapinya. Aku menolak
kehadiran diri yang tak kusukai itu. Munculnya objek-
objek itu membuat aku bangun. Aku bingung dengan
apa yang baru saja terjadi.
Aku berusaha secepatnya menemui Romo
dan menceritakan semua yang baru saja terjadi.
Romo menjelaskan hal itu terjadi karena aku masih
Meditasi Tanpa Objek - 139
pustaka-indo.blogspot.com
menggunakan pikiran, dan pikiran tak mampu melihat
dirinya sendiri. Itu sebabnya aku harus mundur dulu
dari proses latihan dan dari sana aku baru mampu
melihat proses yang sudah dijalani. Sejak saat itu, aku
baru memahami bukan hanya secara intelektuil bahwa
memang kondisi relaks sangat dibutuhkan dalam
latihan, dan itu hanya bisa dicapai bila daya upaya tidak
ada. Memahami itu membuat aku merasa sedikit lega.
Kemudian bagaimana dengan objek mengenai diri
yang tak kusukai itu? Romo mengatakan bahwa bila ada
yang tidak disukai, maka pikiran akan secara otomatis
meniadakannya, dan tidak akan memunculkannya
sebagai objek. Itulah jawaban dari proses filter yang
sempat aku temukan beberapa hari sebelumnya. Pikiran
secara otomatis hanya memunculkan objek-objek yang
menurutnya aman.
Dengan memahaminya, aku menjadi sedikit lebih
relaks dari biasanya. Pada akhirnya, aku menemukan
bahwa salah satu yang menyebabkan ketegangan dalam
meditasi duduk adalah pikiranku yang terkondisi bahwa
untuk meditasi punggung harus tegak, sedang struktur
tulang punggungku yang faktuil adalah sedikit bungkuk.
Daya upaya yang muncul dari pikiran yang terkondisi
ini tanpa aku sadari menimbulkan konflik yang pada
akhirnya berujung pada munculnya ketegangan. Selain
tentunya berasal dari konflik-konflik batin lainnya yang
lebih halus namun belum berhasil aku selesaikan.
Pemahaman yang muncul dengan mengalaminya
langsung membuatku mampu mempertahankan
140 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
kondisi relaks yang sudah dicapai, dan dalam 1-2 hari
berikutnya aku mampu meditasi dalam kondisi yang
lebih santai, tak setegang biasanya dan tentunya tak
selelah biasanya.
Hingga pada suatu saat, pada saat meditasi, sebuah
objek berupa ingatan mengenai percakapan dengan
seorang pendoa kharismatik yang sempat mendoakan
aku pada bulan Januari yang lalu, muncul secara tiba-
tiba. Ingatan mengenai Roh Kematian yang menurut
Ibu Tin sangat dekat denganku dan menyebabkan aku
depresi selama belasan tahun dan selalu merasa ingin
mati itu muncul dalam bentuk sepasang mata yang
menatapku tajam dari balik kegelapan malam. Tak ada
yang aku lihat selain sepasang mata itu, dan setelah
kemunculan mata itu, tanganku mulai terasa panas
dingin, seperti ada energi yang mengalir berputar
mengalir di kedua tanganku, dan pungung yang semula
tidak nyeri, mendadak terasa nyeri melebihi biasanya.
Begitu bel berbunyi, aku langsung bangun dan
melangkah keluar untuk melanjutkan latihan dengan
meditasi jalan dengan harapan sensasi itu berhenti.
Pada saat berjalan keluar, aku merasa blank
(kosong). Aku tahu yang baru saja menghampiri batinku
adalah objek, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan pada objek itu. Bingung hingga langkah kakiku
tak seperti orang yang melakukan meditasi jalan, tapi
seperti orang yang sedang bingung dan berpikir keras
untuk menemukan solusi. Aku menyadari penuh gerak
kakiku yang cepat dan pikiranku yang bergerak kencang
Meditasi Tanpa Objek - 141
pustaka-indo.blogspot.com
saat itu. Tapi aku ingat pesan Romo, selagi batin masih
bergerak, maka yang harus aku perhatikan adalah
batin, bukan objek. Hingga batin berhenti bergerak,
pengamatan baru bisa dialihkan pada objek hingga
objek itu hilang secara alami. Dan itu aku lakukan dengan
perlahan dan sangat hati-hati. Aku mengamati batinku
yang menolak rasa takut yang aku temukan teramat
besar, melebihi kesadaranku sendiri. Aku menemukan
batinku terkejut. Tak menyangka bahwa hal ini akan
muncul sebagai objek. Objek ini tidak pernah muncul
di benakku. Rasa depresi dan rasa ingin mati itu tak
pernah menghampiriku lagi sejak empat bulan terakhir
ini, apalagi sampai merasa takut dengan vonis itu. Tapi
ternyata aku salah. Persepsi itu tetap tersimpan rapi
dalam pikiran bawah sadarku, dan adanya rasa takut
yang menyertainya pun, tak pernah kusangka ternyata
masih ada.
Memahami apa yang dialami batin membuat
objek itu berhenti tanpa aku harus bersusah payah
menaklukkannya. Setelah batin diam, rasa takut itu
pun berangsur hilang. Aku yakin bahwa yang aku lihat
barusan adalah manifestasi dari ketakutanku sendiri
yang tidak aku sadari keberadaannya. Karena pada sesi
dialog sebelumnya, Romo sempat bercerita tentang
pikiran yang bisa menimbulkan manifestasi bahkan ke
kondisi fisik seperti rasa sakit. Dalam batin yang tenang,
aku merasa kagum pada kekuatan keheningan dalam
mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri
kita.
142 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Pengalaman ini aku ceritakan pada sesi dialog
pada hari berikutnya. Romo menjelaskan bahwa
apa yang aku lihat bukanlah Roh, tetapi manifestasi
visual dari pikiranku sendiri. Namun ada baiknya aku
menemukan, sepasang mata itu sebenarnya apa. Itu
belum aku temukan hingga detik ini.
Setelah pengalaman itu, sesi meditasi berjalan
seperti biasa, tanpa ada fenomena-fenomena yang
mengejutkan. Yang jelas hingga retret berakhir, aku
berada pada kondisi yang tidak lagi setegang masa
awal retret. Gerak batin yang menolak dan menerima
atau memilih-milih sudah semakin berkurang dan
terasa lebih mudah untuk masuk ke dalam keheningan.
Keheningan ini melahirkan rasa damai yang luas
dan dalam tak terbatas dan belum pernah aku alami
sebelumnya dalam hidupku.
Tanggal 7 September aku tiba kembali di Pa
lembang, kota kelahiran sekaligus tempat tinggalku
sekarang. Begitu tiba di rumah, sejumlah sensasi
muncul serentak secara tiba-tiba. Aku menemukan rasa
jengkel, marah, dan yang paling dominan adalah sedih.
Rasanya ingin menangis keras-keras. Aku baru sadar
bahwa sungguh aku tak ingin pulang. Aku terseret
berkali-kali ke dalam kesedihan. Aku menemukan rasa
ingin lari dari kenyataan. Aku menemukan rasa malas
untuk menghadapi semua fakta yang ada di depan
mata. Dan saat itu tindakan untuk lari itu pun sudah
menjadi kenyataan. Aku meredam semua rasa yang tak
menyenangkan itu dengan menyetel musik keras-keras.
Meditasi Tanpa Objek - 143
pustaka-indo.blogspot.com
Tibalah aku pada sebuah ingatan akan pengalamanku
mengenai background music yang tak bisa berhenti
bergaung di benakku pada masa retret berlangsung.
Itukah bentuk pelarianku? Sungguhkah aku seorang
pencinta musik yang sejati seperti yang aku kira selama
ini, ataukah musik hanya sekadar sebagai hiburan untuk
rasa tidak nyaman yang aku rasakan dan pelarian yang
tersembunyi, atau pengisi kekosongan yang terasa agar
kekosongan itu tak terasa teramat menyiksa? Ya, aku
sudah menemukan jawabannya. Gerak batin yang kalut
sedikit mereda seketika. Dan kehadiran musik di benak
ini sudah sangat jarang muncul hingga kini.
Rasa sedih masih muncul hingga hari ke-3
setelah retret, meski ia muncul dengan intensitas yang
semakin berkurang pada tiap kemunculannya. Energi
untuk menyelami lebih dalam kesedihan itu akhirnya
muncul pada hari itu. Akhirnya aku memahami bahwa
yang membuat aku sedih tidak lain adalah keinginan
baru yang diciptakan oleh pikiranku sendiri. Lagi,
muncul keinginan untuk melekat pada keheningan
intens yang kualami pada saat retret, yang rasanya
tidak akan mungkin lagi aku temukan di rumah. Fakta
kehidupan sehari-hari yang hiruk-pikuk membuat aku
takut. Betapa pikiran bisa menciptakan semuanya itu
tampak begitu nyata dan meyakinkan. Betapa pikiran
bisa menyembunyikan kesan ilusif dari apa yang
diciptakannya. Dan, betapa kita mudah untuk tertipu
bila kita tidak sadar. Memahami keaslian dari semua
sensasi yang ada, membuat semuanya itu menghilang
tanpa harus bersusah payah meniadakannya.
144 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
Meminjam perumpamaan dari Ajahn Chah, aku
memahami bahwa kesedihan dan kemarahan yang aku
rasakan sama dengan seorang yang duduk di tengah
jalan raya, dan berteriak keras dengan penuh amarah
pada setiap mobil yang melaju kencang ke arahnya agar
menjauh darinya. Ya, aku sama dengan orang itu. Aku
marah dengan dunia nyata yang penuh hiruk-pikuk,
yang terasa mengancam keheninganku. Aku ingin
mengendalikan semuanya, dan semua keinginan itu
adalah sia-sia.
Pikiran sangatlah terbatas kemampuannya. Pe
mahaman itu pada akhirnya membawaku pada inten
sitas berpikir yang semakin bekurang. Seperti kata
Romo, berpikir hanya pada saat diperlukan. Dan se
lebihnya, energi digunakan untuk mengembangkan
kesadaran, menikmati keheningan yang membawa ke
damaian yang tak terbatas itu di tengah hiruk pikuk
kehidupan sehari-hari.
Kotoran batin yang melekat mungkin masih ada,
dan bahkan mungkin masih banyak. Aktivitas “wait and
see” (tunggu dan lihat) terasa mulai mengalir secara
alami. Baik objek maupun kotoran batin pada akhirnya
terpahami dan menghilang dengan sendirinya saat
disadari. Aku terus berjaga agar tak tercipta kotoran
batin yang baru. Ini adalah kondisi terakhir di mana
akhirnya aku selesai menuangkan semua pengalaman
yang ada. Tujuan yang semula tak mampu aku lepaskan
lenyap entah ke mana. Bagiku yang penting saat
ini adalah melangkah dan hanya melangkah dalam
Meditasi Tanpa Objek - 145
pustaka-indo.blogspot.com
kesadaran yang penuh. Hidup sepenuh-penuhnya dari
saat ke saat hingga sepenggal kalimat yang aku sukai
sejak dulu tidak lagi hanya sepenggal kalimat favorit,
tapi terealisasi dalam kehidupan nyata saat ini: “My
daily life is my true Temple”. (Tempat kekudusanku ada
dalam kehidupan sehari-hari)
Terima kasih sebesar-besarnya untuk Romo Sudri
yang sudah menyelenggarakan retret yang luar biasa
ini. Terima kasih sudah membimbing kami semua
melebur dalam keheningan yang tak terbatas yang pada
akhirnya membuat kami bertemu dengan kedamaian
sejati. Terima kasih juga untuk sahabat-sahabat panitia
yang sudah memberikan pelayanan yang luar biasa.
Dan juga untuk semua peserta retret, terima kasih atas
kebersamaan yang sudah terjalin dalam keheningan.*
146 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
9. Meditasi “Apa Adanya”
AF, 45 tahun, Karyawan Bank
Awalnya, aku sangat tidak tertarik saat diajak IS
untuk ikut retret ini. Aku membayangkan bahwa
retret ini bersifat massal atau ramai-ramai dan dalam
penjelasannya kata “meditasi” tidak disebut. Aku lebih
suka retret pribadi. Sudah lebih dari 8 tahun lalu retret
pribadi rutin kulakukan di pertapaan Trapis di sebuah
desa di Jawa Tengah dengan pastor pemimbing rohani.
Lama-lama gairah retret pribadi menurun intensitasnya.
Setelah dijelaskan bahwa ini retret meditasi, tanpa
berpikir panjang, aku segera mendaftar. Malah sempat
muncul kecemasan kalau-kalau tidak diterima.
Beberapa minggu menjelang retret, kulihat kondisi
persiapanku dan bertanya apa yang akan kualami. Buku
Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial belum selesai
kubaca. Aku merasa perlu waktu lebih panjang untuk
mencerna dan mengendapkan. Buku Meditasi sebagai
Pembebasan Diri lebih cepat kuserap karena merupakan
cerita retretan terdahulu, dan secara khusus aku
terkesan testimoni rekanku pada bagian terakhir. Apa
pun yang terjadi, aku berniat tidak bosan dan menjalani
setiap saat sebagai peristiwa baru yang berharga dalam
retret nanti, termasuk saat awal menerima email
konfirmasi dari Romo atas diterimanya sebagai peserta
retret. Aku mendapat kontak dari beberapa retretan
yang akan berangkat bersamaku pada Jumat malam, 26
Agustus 2011. Aku bertemu dengan peserta retret, VH,
Meditasi Tanpa Objek - 147
pustaka-indo.blogspot.com
CC, DS di Gua Maria Gereja St Theresia Jakarta. Setelah
menghampiri IS, kami berangkat menuju Cibulan.
Selama perjalanan kami berkenalan dan bercakap
akrab sehingga kami berlima sudah kenal lebih dulu
sebelum ketentuan “dilarang berbicara” selama retret
10 hari diberlakukan.
Sabtu, 27/8/11, Hari ke-1
Kami dibangunkan seorang retretan jam 03.00
untuk bersiap Walking Meditation (Meditasi Jalan) ke
hutan lindung Cibodas. Selama pendakian, aku berjalan
di bagian depan. Langkah demi langkah, saat rasa panas
menyergap, saat napas terengah-engah karena lelah,
saat rasa putus asa yang mencoba menyeruak, sesekali
aku bernyanyi dalam hati, “Sadari…. Sadari….”. Teringat
saat menuju puncak Gunung Sinai, rasa seperti itu juga
muncul. Dalam kondisi napas lelah dan asa surut, dari
dasar yang dalam seperti ada yang membisiki, “Ayo
jalan, terus jalan.” Pikiran memberi semangat pada apa
yang ada di dalam diri untuk tetap kuat. Sempat muncul
permenungan dalam walking meditation tersebut,
andaikan dalam langkah kehidupan muncul kelelahan
seperti ini, namun dapat terus memiliki semangat
untuk menerima kondisi apa adanya dan berjalan
penuh semangat menuju Tujuan Akhir, yakni Rumah
Allah, betapa indahnya. Suka dan duka mengiringi
langkah. Batin nyaris tenang, fisik sibuk dengan pikiran,
namun justru batinlah yang serasa menguatkan.
Berangsur saat tembang subuh menjelang pagi, indera
mata mulai melihat tapak jalan, bunga terompet,
148 - Titik Hening
pustaka-indo.blogspot.com
dedaunan, pepohonan, dan puncak gunung yang sangat
menakjubkan. Indera lain menangkap gemericik air,
bau pohon, suasana pagi.
Akhirnya, perjalanan sampai di air terjun Cibeu
reum. Ada rasa suka cita yang datang begitu tiba-tiba.
Entah ke mana hilangnya rasa kesulitan, putus asa,
kelelahan yang tadinya dialami. Dengan mengambil
posisi bersila, aku diam merasakan dingin merasuk
tubuh, mendengarkan derasnya air terjun, merasakan
suka cita hati, ketenangan batin, memandang curahan
air terjun yang deras tiada henti. Itu semua sangat
menyejukkan hati, seperti Sang Pencipta sumber Kasih
yang memberi rahmat dan pengampunan tiada henti.
Keadaan tetap hening. Aku berjalan beberapa langkah
ke depan, berfoto, hingga Romo dan semua rekan tiba.
Beberapa saat kemudian, kami kembali ke Wisma
Cibulan.
Setelah tiba di Wisma Cibulan, kami makan pagi
dan mulai terasa suasana hening dan tertib meski belum
semua retretan hadir. Pada sore harinya, kami semua
diminta menitipkan barang berharga seperti dompet
seisinya, kamera, dan telepon seluler kepada panitia.
Aku sempat menggoda panitia, “Mengapa amplop
bersegel yang diterima panitia dari kami berisi barang
berharga tidak kami tanda tangani?” Hahaha.... isengku
muncul. Maklum aku biasa mengatur tanda terima di
amplop tersegel yang harus ditandatangani dua pihak.
Retretan sudah lengkap. Acara dilanjutkan de
ngan Misa pembukaan, penjelasan tata tertib dan
Meditasi Tanpa Objek - 149
pustaka-indo.blogspot.com