The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Delapan puluh enam (Okky Madasari)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by tlogosadangmtsm, 2022-05-16 21:53:07

Delapan puluh enam

Delapan puluh enam (Okky Madasari)

http://facebook.com/indonesiapustaka cepat menuruti kemauannya untuk tak lagi mengurusi sabu­
sabu.

Hari ini Ananta pulang lebih siang. Wajahnya terlihat gem­
bira. Disapanya Arimbi dengan mesra. Lalu dengan semangat
berkata, ”Kita dapat rezeki. Cik Aling dapat orderan banyak.
Besok aku mesti ke luar kota lagi.”

Arimbi terkejut. Walaupun ia masih mau duit sabu­sabu,
ia tetap menyimpan rasa takut. Rasanya baru kemarin ia
gelisah, menangis malam­malam, mengadu pada Tutik, karena
suaminya tak segera memberi kabar. Berbagai bayangan
ketakutan yang saat itu muncul sekarang kembali lagi.
Kecelakaan di perjalanan, perampokan, atau ditangkap polisi
dan ditembak mati.

”Mau ke mana, Mas?”
”Ke Surabaya saja. Cuma sebentar. Nggak kayak yang dulu.
Kalau langsung beres, ya tiga hari sudah sampai rumah lagi,”
kata Ananta. Ia berjalan mendekati istrinya, lalu merangkul
tubuhnya dari belakang. ”Nanti kita bisa beli mobil, biar
kamu kalau belanja buat toko lebih gampang. Juga biar anak
kita nggak kepanasan lagi kalau ke mana­mana.”
Arimbi tersipu. Tapi masih tetap ada rasa takut itu. ”Se­
banyak apa barangnya, Mas? Naik apa ke sana?”
”Naik bus saja, biar gampang. Yah, barangnya hampir
samalah dengan yang kemarin.”
”Apa nggak bahaya?”
”Tenang saja, aku sudah pengalaman sama yang kemarin.
Sudah tahu jalur­jalurnya bagaimana. Aman,” kata Ananta
dengan bersemangat. ”Ini uang mukanya,” kata Ananta sambil
menyodorkan amplop berisi uang. Arimbi menghitungnya.
Lima belas juta. ”Nanti ditambah lagi kalau aku sudah
pulang,” kata Ananta.

249

http://facebook.com/indonesiapustaka Arimbi selalu gelisah sejak Ananta pergi. Dimohonkannya
segala doa keselamatan, agar suaminya bisa kembali pulang.
Dalam segala kekhawatiran itu, sebuah nomor yang tak di­
kenal menelepon ke handphone­nya. Pasti Ananta, pikirnya.

”Sudah lupa sama yang ada di sini?” suara seorang perempu­
an terdengar sesaat setelah Arimbi mengangkat telepon. Itu
suara Tutik. Ia tak pernah menelepon Arimbi selama ini.
Sudah lama sekali mereka tak bertemu. Memang Arimbi yang
tak mau. Ketika Tutik tak pernah menghubunginya, Arimbi
berpikir mungkin perempuan itu sudah bisa melupakannya.
Mungkin Tutik mengerti, Arimbi sekarang seorang ibu, yang
hanya hidup untuk kebahagiaan anaknya. Tapi sekarang Tutik
meneleponnya. Di saat Ananta sedang ke luar kota. Tutik
memang sudah lama menunggu kesempatan ini tiba.

”Nggak, Mbak. Ini lagi ngurusi si bayi.”
Tutik seperti tak peduli. Ia tak bertanya sama sekali soal
bayi. ”Besok datang ya. Suamimu lagi pergi, kan?”
”Aduh, Mbak. Nggak bisa aku, Mbak. Anak masih kecil.
Belum bisa dibawa ke mana­mana.”
”Ah, alasan terus! Pokoknya besok aku tunggu ya!”
”Nggak bisa, Mbak.... Sekarang aku sudah nggak kayak
dulu lagi...”
”Ah, kamu ini, kalau lagi ada butuhnya saja nyari­nyari aku.
Sekarang sudah lupa semuanya. Ya sudah, jelas semua! Awas!
Nanti pasti kamu butuh aku lagi!”
Telepon ditutup dengan kasar. Arimbi merasa kosong. Ber­
bagai bayangan melintas. Sosok Tutik muncul dengan ber­
bagai kisah. Ada saat dia menawarkan makanan, mengeroki
badannya saat masuk angin, meraba dada dan kemaluannya,
membawanya ke kamar Cik Aling, juga saat ia menyerahkan
amplop berisi uang 45 juta. Arimbi merasa bersalah. Me­

250

http://facebook.com/indonesiapustaka nyesal. Takut. Kasihan. Dia menangis. Tapi kemudian ia
seperti mendengar suara, ”Lupakan dia. Tinggalkan semuanya.
Demi anakmu. Demi masa depannya.”

Ananta pulang di hari yang dijanjikan. Langsung dipeluk
istrinya sambil tertawa lebar. ”Benar kan tidak ada apa­apa,”
katanya pada Arimbi.

Arimbi tertawa dan berkata manja, ”Ya, tetap saja yang di
rumah khawatir.”

Upah dari Cik Aling langsung mereka belikan mobil.
Kijang model lama, warna merah dengan cat yang sudah
pudar. Ananta membelinya dengan harga 40 juta. Sisa uang
dari Cik Aling, 15 juta, dibelanjakan barang dagangan. Toko
Arimbi langsung penuh dengan barang. Berbagai kebutuhan
sekarang sudah ada di tokonya. Tak ada lagi pembeli yang tak
menemukan barang yang ingin dibelinya. Kabar tersiar dari
mulut ke mulut. Toko itu kian ramai dari hari ke hari.

Ananta masih terus sibuk dengan urusannya. Mendatangi
rumah orang­orang yang mau kredit motor sambil tetap ber­
jualan sabu­sabu. Arimbi tak pernah lagi mengungkit­ungkit
omongan mereka dulu. Tak lagi terpikir untuk menyuruh
Ananta berhenti jualan sabu­sabu. Biarkan saja. Keluarga ini
masih butuh banyak modal, pikirnya. Toh semuanya berjalan
baik­baik saja.

Tapi adakah musibah yang tak datang tiba­tiba?
Baru lepas magrib ketika Arimbi terentak oleh gambar
yang dilihatnya di televisi. Ada gambar suaminya digiring
polisi. Suara di televisi menyebutnya sebagai pengedar. Lalu
ada empat laki­laki yang jauh lebih muda berjalan di belakang
Ananta dengan polisi di kanan­kiri. Suara televisi menyebut
mereka sedang ”pesta sabu­sabu”. Di sebuah apartemen. Di
Jakarta. Arimbi seperti merasakan pukulan keras di belakang

251

http://facebook.com/indonesiapustaka kepalanya, lalu di dadanya. Sesak. Sakit. Tapi tak tahu itu
apa. Arimbi tak mengeluarkan air mata. Ia juga tak tahu
hendak melakukan apa. Semua yang ada di sekelilingnya ha­
nya seperti ruang hampa yang tak memiliki makna. Dia
seperti tersesat di tempat gelap. Dia menyerah. Tak mau ber­
susah­susah mencari celah.

Suara jeritan menyadarkannya. Anaknya terbangun. Tangis­
an anaknya semakin keras. Arimbi tersadar. Ia bergegas ke
kamar, mengangkat anaknya dari tempat tidur. Ditimang­
timang anak itu. Tapi tangisannya malah semakin keras. Air
mata Arimbi meleleh.

”Kita ke sana ya, Nak. Ketemu ayahmu ya, Nak. Kita tetap
sayang Ayah ya, Nak....”

252

http://facebook.com/indonesiapustaka Tentang Penulis

Okky Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur,
pada 30 Oktober 1984. Mendapatkan gelar
Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan
Internasional, Universitas Gadjah Mada. Setamat
kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan
mendalami dunia penulisan.

Novel pertamanya, Entrok, terbit pada April
2010. Entrok mengangkat tema keberagaman,
keyakinan, dan kesewenang­wenangan militer
pada masa Orde Baru. Novel keduanya, , lahir dari segala keprihatinan
pada praktik­praktik korupsi di negeri ini. Terutama pada apa yang
diketahuinya langsung saat menjadi wartawan bidang hukum dan
korupsi.
Saat ini, selain terus menulis dan mengajar di perguruan tinggi, ia
mengelola Yayasan Muara Bangsa—yang didirikannya serta bergerak
dalam bidang pendidikan usia dini, pendidikan anak­anak dari keluarga
tak mampu, dan pendidikan untuk korban bencana.
Ia tinggal di Jakarta dan dapat dihubungi di
[email protected] dan www.okkymadasari.net.

253

http://facebook.com/indonesiapustaka

http://facebook.com/indonesiapustaka Tidak berhenti sebatas kisah, novel ini juga memaksa pembaca masuk
ke dalam tema­tema besar, mulai dari feminisme, pluralisme, demo­
krasi, dan HAM. Inilah yang membuat Entrok memiliki daya pikat,
terlebih, Okky bisa meramu semua itu dengan teknik bercerita yang
mengalir.
—Kompas

his novel will serve as a reminder for the readers that there is an
episode in the country’s history when authoritarian rule was so
rampant and only caused misery among the people. For the younger
generation, it can serve as a reference on gender, equality and
pluralism.
—he Jakarta Post

Yang paling kuat mewarnai kisah ini dari awal sampai akhir ialah
tentang bagaimana perempuan menghadapi penindasan di balik baju
negara bahkan agama, bahkan untuk melindungi haknya.
—Media Indonesia

Entrok adalah novel yang ”scriptoble” menurut istilah Roland Barthes,
yang bisa mengilhamkan teks­teks baru di kepala pembacanya, yang
makin dibaca makin menampakkan pemandangan yang luas dan
beragam.
—Prof Dr Apsanti Djokosujatno, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya
UI, dalam ”Entrok: Sebuah Novel Multifaset”

Sungguh sangat menarik novel ini untuk dibaca, konlik­konliknya
dibangun sangat tertata, sehingga memberikan kemudahan untuk
pembaca dalam menyelami lautan makna­makna yang tersimpan di
dalamnya.
—Tenggina Rahmad Siswandi, mahasiswa pascasarjana Sastra UGM,
dalam ”Perang Ideologi dalam Novel Entrok: Kajian Sastra Populer
dan Hegemoni Gramsci”

http://facebook.com/indonesiapustaka

http://facebook.com/indonesiapustaka

Apa yang bisa dibanggakan dari
pegawai rendahan di pengadilan?
Gaji bulanan, baju seragam, atau
uang pensiunan?
Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber
kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya.
Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai
negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan
mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.
Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak
orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak
ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.
Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut
menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak
ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang.
Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang
sudah menganggap sebagai kewajaran.
Pokoknya, 86!

http://facebook.com/indonesiapustaka NOVEL DEWASA

Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama

Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramedia.com


Click to View FlipBook Version