http://facebook.com/indonesiapustaka 500 KHALE D HOS S E I NI
Unit Perawatan Ingatan akan lebih cocok baginya. Nah, kita
sudah sampai.
Penny menggunakan kartu kuncinya untuk masuk.
Unit yang dikunci ini tak berbau seperti kayu manis atau
pinus. Perutku langsung mual, dan naluri pertamaku adalah
berbalik dan keluar. Penny menggandeng dan meremas le-
nganku. Dia menatapku dengan penuh simpati. Aku berta-
han hingga akhir tur kami, punggungku dibebani oleh rasa
bersalah yang kian membesar.
Pagi sebelum aku berangkat ke Eropa, aku mengunjungi
Baba. Aku melewati lobi dan melambai ke arah Carmen,
yang berasal dari Guatemala dan bertugas menjawab telepon.
Aku berjalan melewati aula tempat sejumlah manula duduk
mendengarkan konser string quartet anak-anak SMA dengan
baju resmi; melewati ruang serbaguna dengan komputer,
rak buku, kartu domino; papan pengumuman yang penuh
tempelan—Tahukah Anda bahwa kedelai menurunkan level
kolesterol jahat? Jangan lupa acara Puzzle and Reflection,
Selasa pukul 11 pagi!
Aku masuk ke unit yang dikunci. Di unit ini tak ada
pesta teh, tak ada permainan bingo. Di sini, tak seorang pun
memulai pagi dengan tai chi. Aku masuk ke kamar Baba,
tapi dia tak ada. Ranjangnya sudah rapi, TV-nya mati, dan
ada gelas setengah penuh di meja samping. Aku agak lega.
Aku tak suka menemukan Baba berbaring miring di ranjang
rumah sakit, dengan tangan ditekuk di bawah bantal dan
matanya yang cekung menatapku kosong.
Aku menemukan Baba di ruang rekreasi, duduk di atas
kursi roda di depan jendela yang menghadap ke taman. Dia
mengenakan piama flanel dan topi loper koran. Pangkuan-
AND THE MOUNTAINS ECHOED 501
http://facebook.com/indonesiapustaka nya ditutupi oleh apa yang disebut Penny sebagai celemek
sibuk. Celemek yang ditempeli tali-tali yang bisa dikepang
dan kancing yang bisa dibuka dan ditutup. Penny bilang,
celemek itu berguna untuk melatih jari-jari Baba.
Aku mencium pipi Baba dan duduk di kursi di dekatnya.
Seseorang telah mencukur jenggotnya, meminyaki, dan me-
nyisir rambutnya juga. Wajah Baba berbau sabun.
Jadi besok adalah hari besar, katanya. Aku akan me-
ngunjungi Pari di Prancis. Kau ingat kan, kalau aku akan
pergi?
Baba mengedip. Bahkan sebelum menderita stroke,
Baba sudah mulai menarik diri. Menenggelamkan diri dalam
kediaman yang sunyi dan panjang, terlihat muram. Sejak
stroke, wajahnya jadi seperti topeng, mulutnya membeku
dalam kerutan miring, seakan senyum sopan yang tak per-
nah mencapai matanya. Baba belum bicara satu patah kata
pun sejak stroke-nya. Terkadang, bibirnya membuka dan dia
mendesah serak—Aaah!—dengan nada meninggi di akhir,
seakan-akan dia terkejut atau apa yang aku katakan mem-
buatnya teringat sesuatu.
Kami akan bertemu di Paris, lalu kami akan naik kereta
ke Avignon. Itu kota di wilayah Selatan Prancis. Tempat para
paus tinggal di abad empat belas. Jadi kami akan jalan-jalan
di sana. Tapi yang lebih penting, Pari sudah menceritakan
pada semua anaknya tentang kunjunganku dan mereka akan
bergabung bersama kami.
Baba terus tersenyum, seperti yang dia lakukan saat
Hector datang minggu lalu untuk mengunjunginya, seperti
yang dia lakukan saat aku menunjukkan surat aplikasiku
http://facebook.com/indonesiapustaka 502 KHALE D HOS S E I NI
ke College of Arts and Humanities di San Franscisco State
University.
Keponakanmu, Isabelle dan suaminya, Albert, punya
rumah berlibur di Provence, dekat Kota Les Baux. Aku sudah
melihatnya di internet, Baba. Sebuah kota yang menakjubkan.
Dibangun di atas puncak bukit kapur di Pegunungan Alpilles.
Kau bisa mengunjungi reruntuhan puri abad pertengahan di
sana, dan menikmati pemandangan padang rumput dan ke-
bun buah. Aku akan mengambil banyak foto dan menunjuk-
kannya padamu saat aku kembali nanti.
Tak jauh dari kami, seorang wanita tua memakai jubah
mandi dengan sabar memasang kepingan puzzle satu demi
satu. Di meja sebelah, seorang wanita tua lain dengan ram-
but beruban tebal mencoba menata garpu, sendok, dan pisau
mentega di sebuah laci. TV layar lebar di pojok ruangan
menayangkan Ricky and Lucy yang sedang berdebat, tangan
mereka diborgol.
Baba berkata, Aaaah!
Alain, dia keponakanmu, dan istrinya, Ana, akan datang
dari Spanyol dengan kelima anak mereka. Aku tak tahu
nama-nama mereka semua, tapi aku yakin aku akan tahu
sebentar lagi. Lalu—ini bagian yang membuat Pari sangat
bahagia—keponakanmu yang lain—anak bungsu Pari,
Thierry—juga akan datang. Dia sudah bertahun-tahun tak
bertemu dengan putra bungsunya. Mereka juga tak bicara.
Tapi Thierry mengambil cuti dari pekerjaannya di Afrika
dan terbang ke Prancis. Jadi ini akan menjadi reuni keluarga
besar.
Aku mencium pipi Baba lagi saat hendak pergi. Kutem-
pelkan wajahku di wajahnya, teringat bagaimana Baba dulu
AND THE MOUNTAINS ECHOED 503
sering menjemputku dari TK dan menyetir ke kedai cepat
saji Denny untuk menjemput Ibu dari pekerjaannya. Kami
biasa duduk di sebuah meja, menunggu Ibu selesai bekerja,
dan aku akan makan es krim yang selalu dihadiahkan oleh
sang manajer padaku. Aku lalu menunjukkan gambar-gambar
yang kubuat hari itu kepada Baba, dan Baba akan melihat
gambar itu satu demi satu, penuh konsentrasi sambil meng-
angguk-angguk.
Baba tersenyum dengan senyum khasnya.
Ah, aku hampir lupa.
Aku berjongkok di depan Baba dan melakukan ritual
perpisahan kami. Jemariku mengelus pipinya hingga ke
keningnya yang berkerut, ke pelipisnya, rambutnya yang
putih dan mulai menipis, ke belakang telinganya, sembari
membuang satu demi satu mimpi buruk dari kepalanya. Aku
membuka kantung tak kasatmata untuknya, memasukkan
mimpi-mimpi buruk itu ke dalam, dan mengikatnya erat.
Baba membuat suara di tenggorokannya.
Semoga mimpi indah, Baba. Kita akan bertemu lagi
dalam dua minggu. Aku baru tersadar bahwa baru sekali ini
kami terpisah begitu lama.
Saat berjalan pergi, tiba-tiba aku merasa Baba menatap-
ku. Tetapi saat aku berbalik, kepala Baba tertunduk dan dia
sibuk memainkan kancing di celemeknya.
http://facebook.com/indonesiapustaka Pari bicara tentang rumah Isabelle dan Albert. Dia sudah
menunjukkan fotonya kepadaku. Rumah yang indah. Bekas
rumah pertanian Provençal yang berdinding baru, di atas
puncak bukit Luberon, dengan pepohonan buah di luar dan
http://facebook.com/indonesiapustaka 504 KHALE D HOS S E I NI
anjang-anjang tanaman rambat di dinding depan. Di bagian
dalam dihiasi ubin terakota dan pilar-pilar kayu telanjang.
“Di foto tak terlihat, tetapi dari rumah itu kita bisa
melihat jelas Pegunungan Vaucluse.”
“Apakah kita semua akan cukup di rumah itu? Jumlah
kita sepertinya terlalu banyak untuk sebuah rumah pertani-
an.”
“Plus on est de fous, plus on rit,” kata Pari. “Apa sebut-
annya? Semakin banyak semakin bahagia?”
“Meriah.”
“Ah voilà. C’est ça—Ah, itu dia.”
“Bagaimana dengan anak-anak? Di mana mereka
akan—”
“Pari?”
Aku menoleh padanya. “Ya?”
Pari mengembuskan napas panjang. “Kau bisa mem-
berikannya padaku sekarang.”
Aku mengangguk. Kuraih tas di antara kakiku.
Kurasa aku bisa saja menemukannya berbulan-bulan
lalu saat aku memindahkan Baba ke panti perawatan. Te-
tapi, saat aku berkemas untuk Baba, aku mengambil koper
teratas dari tiga tumpukan koper di lemari lorong, dan me-
masukkan seluruh baju Baba ke dalamnya. Lalu, akhirnya
aku berhasil menguatkan hati untuk membersihkan kamar
orangtuaku. Aku merobek kertas dindingnya dan mengecat
ulang temboknya. Kukeluarkan ranjang queen size mereka,
meja rias ibuku, menyingkirkan jas-jas ayahku, blus-blus
ibuku dan gaun-gaun yang dibungkus plastik. Aku menum-
puknya di garasi sebelum menyumbangkannya ke Goodwill.
Kupindahkan meja kerjaku ke kamar mereka, yang akan
AND THE MOUNTAINS ECHOED 505
http://facebook.com/indonesiapustaka kugunakan sebagai ruang kerja saat aku mulai kuliah musim
gugur nanti. Aku juga mengosongkan peti di kaki ranjangku.
Kumasukkan semua mainan, baju anak-anak, sepatu, dan
sandal yang sudah kekecilan ke kantung sampah. Aku tak
tahan melihat kartu Ulang Tahun, Hari Ayah, dan Hari Ibu
yang kubuat untuk orangtuaku. Aku tak bisa tidur sambil
menyadari bahwa kartu-kartu itu ada di peti di kaki ranjang-
ku. Rasanya terlalu menyakitkan.
Saat aku membersihkan lemari lorong, mengeluarkan
dua koper yang tersisa untuk disimpan di garasi, aku men-
dengar suara berdebum dari dalam salah satunya. Aku mem-
buka koper itu dan menemukan sebuah paket terbungkus
kertas cokelat tebal di dalamnya. Sebuah amplop menempel
di bungkusan itu. Di amplop itu tertulis, dalam bahasa Ing-
gris, Untuk adikku, Pari. Aku mengenali tulisan tangan Baba
dari hari-hari saat aku membantu di Abe’s Kabob House,
saat aku mengambil pesanan menu yang ditulisnya di meja
kasir.
Aku mengulurkan paket itu kepada Pari sekarang. Ma-
sih tersegel.
Pari menatap paket di pangkuannya, mengeluskan ta-
ngan ke tulisan di amplop. Dari seberang sungai, dentang
genta gereja mulai bergaung. Di sebuah batu yang menonjol
di atas permukaan air, seekor burung asyik mencabik-cabik
ikan hasil buruannya.
Pari mencari-cari dalam tasnya. “J’ai oublié mes lunet-
tes,” katanya. “Aku lupa kacamata bacaku.”
“Kau mau aku bacakan?”
Pari mencoba melepas amplop yang menempel di pa-
ket, tapi hari ini kondisi tangannya kurang baik, dan setelah
http://facebook.com/indonesiapustaka 506 KHALE D HOS S E I NI
berjuang beberapa lama, dia mengulurkan paket itu padaku.
Aku melepaskan amplopnya dan membukanya. Mengeluar-
kan kertas bertulisan yang ada di dalamnya.
“Dia menulisnya dalam bahasa Farsi.”
“Tapi kau bisa membacanya, kan?” kata Pari, alisnya
berkerut cemas. “Kau bisa menerjemahkan.”
“Ya,” kataku, tersenyum dalam hati, bersyukur—meski
terlambat—atas semua Selasa sore saat Baba mengantarku
ke Campbell untuk belajar bahasa Farsi. Aku teringat Baba,
acak-acakan dan tersesat, tersaruk-saruk di gurun, jalanan
di belakangnya penuh dengan kepingan-kepingan pecahan
kehidupan yang telah tercabik darinya.
Kupegang kertas itu erat-erat di tengah tiupan angin.
Kubacakan tiga kalimat yang tertulis di sana untuk Pari.
Mereka bilang aku akan masuk ke air yang tak lama lagi
menenggelamkanku. Sebelum aku terjun, aku meninggalkan
ini di tepian untukmu. Semoga kau menemukannya, adikku,
jadi kau akan tahu apa yang ada di hatiku saat aku tengge-
lam.
Tertulis, Agustus 2007. “Agustus 2007,” kataku. “Itu
saat dia pertama kali didiagnosis.” Tiga tahun sebelum aku
mendengar kabar dari Pari.
Pari mengangguk, mengusap matanya dengan pangkal
telapak tangan. Pasangan muda melewati kami dengan se-
peda tandem, perempuan di depan—berambut pirang, wajah
merona, dan ramping—pemuda di belakangnya berambut
gimbal dan berkulit warna kopi. Di rumput tak jauh dari ka-
mi, seorang gadis remaja memakai rok kulit pendek duduk,
bicara di ponsel sembari memegang tali anjing terrier mungil
berwarna hitam.
AND THE MOUNTAINS ECHOED 507
http://facebook.com/indonesiapustaka Pari mengulurkan paket itu padaku. Aku membukanya.
Di dalam ada sebuah kaleng seng kotak, di tutupnya ada
gambar kabur seorang pria India berjenggot mengenakan
tunik merah panjang. Tangannya memegang secangkir teh
berasap seperti sebuah persembahan. Asap dari cangkir teh
itu sudah pudar dan warna merah tuniknya sudah kusam
dan menjadi merah jambu. Aku membuka gerendelnya dan
mengangkat tutup kaleng itu. Kaleng itu penuh dengan
bulu-bulu berwarna-warni dan berbagai bentuk. Bulu-bulu
pendek berwarna hijau; bulu panjang berwarna jahe dengan
tulang kehitaman; bulu berwarna salem, mungkin dari bu-
rung mallard, dengan nuansa ungu muda; bulu warna co-
kelat dengan bintik-bintik gelap di tulangnya; bulu merak
kehijauan dengan bulatan mata besar di ujungnya.
Aku menoleh ke arah Pari. “Kau tahu apa artinya
ini?”
Dengan dagu bergetar, Pari menggeleng pelan. Dia
mengambil kaleng itu dariku dan menatap bulu-bulu di
dalamnya. “Tidak,” katanya. “Hanya saja saat kami berpi-
sah, Abdullah dan aku, dia lebih terluka daripadaku. Aku
beruntung karena dilindungi oleh kemudaanku. Je pouvais
oublier—Aku masih punya keberuntungan untuk bisa lupa.
Abdullah tidak.” Pari mengangkat sebuah bulu, mengusap-
kannya di pergelanan tangan, menatapnya seakan-akan
berharap bulu itu akan hidup dan terbang. “Aku tak tahu
apa arti bulu-bulu ini, apa kisahnya, tapi aku tahu bahwa
artinya dia memikirkanku. Selama bertahun-tahun. Dia se-
lalu mengingatku.”
Aku merangkul bahunya, sementara Pari terisak-isak
pelan. Aku menatap pepohonan yang disinari matahari,
http://facebook.com/indonesiapustaka 508 KHALE D HOS S E I NI
sungai yang mengalir melewati kami, dan di bawah jembat-
an—Pont Saint-Bénezet—jembatan yang ada di lagu anak-
anak. Sebenarnya itu hanya setengah jembatan karena hanya
empat dari lengkungan aslinya yang tersisa. Jembatan itu ter-
henti di tengah sungai. Seakan-akan berusaha mengulurkan
lengan, mencoba bersatu dengan tepian seberang, tetapi tak
mampu.
Malam itu di hotel, aku berbaring dengan mata nyalang
dan menatap awan yang lembut menyapa bulan purnama
dari jendela kamar. Di bawah, terdengar tapak sepatu menge-
nai trotoar. Tawa dan obrolan. Motor menderu lewat. Dari
restoran seberang jalan terdengar denting gelas di nampan.
Denting piano mengalir dibawa angin lewat jendela dan
mengusap telingaku.
Aku berguling dan menatap Pari yang tertidur nyenyak
di sebelahku. Wajahnya terlihat pucat. Aku melihat Baba di
wajahnya—Baba muda dan penuh harap, bahagia seperti
dulu—dan aku tahu aku akan selalu menemukan Baba
setiap kali aku menatap Pari. Dia adalah darah dagingku.
Dan tak lama lagi aku akan bertemu anak-anaknya, dan
cucu-cucunya, dan darah yang sama juga mengalir di tubuh
mereka. Aku tak sendirian. Kebahagiaan yang begitu tiba-
tiba melandaku. Aku merasakan kebahagiaan itu mengalir ke
dalam diriku, dan mataku berkaca-kaca penuh rasa syukur
dan harapan.
Saat menatap Pari tidur, aku teringat permainan se-
belum tidur yang bisa kumainkan bersama Baba. Memetik
mimpi buruk dan memberi mimpi indah. Aku ingat mimpi
yang selalu kuberikan pada Baba. Hati-hati agar tak memba-
AND THE MOUNTAINS ECHOED 509
ngunkan Pari, aku mengulurkan tangan dan dengan lembut
menyentuh alisnya. Kupejamkan mataku.
Sore yang cerah. Mereka menjadi anak-anak lagi, kakak
dan adik, muda, mata berbinar dan sehat. Mereka berbaring
di rerumputan di keteduhan pohon apel yang berbunga.
Rumput terasa hangat di punggung mereka dan matahari
menyinari wajah mereka, menyeruak dari balik bunga-bunga
apel di atas. Mereka berbaring mengantuk, dan bahagia,
bersisian. Kepala sang kakak bersandar di akar yang tebal,
kepala sang adik berbantal mantel yang dilipatkan oleh sang
kakak. Dari balik mata yang setengah tertutup, sang adik
melihat burung hitam hinggap di sebuah dahan. Embusan
angin sejuk meniup dedaunan, menuju ke bawah.
Sang adik menoleh menatap sang kakak. Kakaknya,
sekutunya dalam segala hal, tetapi wajah sang kakak terlalu
dekat dan dia tak bisa melihat keseluruhannya. Hanya leng-
kung alisnya, puncak hidungnya, lekuk bulu matanya. Tapi
sang adik tak keberatan. Dia cukup bahagia bisa berbaring di
sebelahnya, bersamanya—kakaknya—dan saat kantuk pelan-
pelan menguasainya, sang adik merasakan dirinya dibaluti
ketenangan. Dia memejamkan mata. Tertidur, tanpa kekha-
watiran, semuanya bening dan berkilau. Semuanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka Ucapan Terima Kasih
A da beberapa hal yang harus kujelaskan sebelum aku
mengucapkan terima kasih. Desa Shadbagh ada-
lah desa fiktif, meski mungkin saja ada satu desa
dengan nama itu di Afganistan. Jikalau memang ada, aku
belum pernah ke sana. Lagu kanak-kanak Abdullah dan Pari,
terutama yang mengacu pada “peri kecil yang muram”, ter-
inspirasi oleh puisi mendiang pujangga besar Persia, Forough
Farrokhzad. Yang terakhir, judul buku ini sebagian terinspirasi
oleh puisi indah William Blake, “Nurse’s Song”.
Aku ingin berterima kasih kepada Bob Barnett dan
Deneen Howell karena telah menjadi pemandu yang luar
biasa dan pembimbing untuk buku ini. Terima kasih He-
len Heller, David Grossman, Jody Hotchkiss. Terima kasih
kepada Chandler Crawford atas antusiasme, kesabaran,
dan nasihatnya. Terima kasih banyak pada teman-teman di
Riverhead Books: Jynne Martin, Kate Stark, Sarah Stein,
Leslie Schwartz, Craig D. Burke, Helen Yentus, dan banyak
lagi yang tak bisa kusebutkan, tetapi aku sangat berterima
512 KHALE D HOS S E I NI
kasih atas bantuannya mewujudkan buku ini untuk para
pembaca.
Terima kasih copy editor-ku yang luar biasa, Tony
Davis, yang memberikan lebih dari yang diharapkan.
Terima kasih yang teristimewa tertuju pada editorku
yang berbakat, Sarah McGrath, atas pandangannya, bim-
bingannya yang penuh kesabaran, dan karena telah mem-
bantuku membentuk buku ini dengan berbagai cara yang
tak bisa kubayangkan. Aku sangat menikmati proses editing
bersamamu, Sarah.
Terakhir, aku ingin berterima kasih kepada Susan Peter-
sen Kennedy dan Geoffrey Kloske atas kepercayaan dan
keyakinannya padaku serta pada tulisanku.
Terima kasih dan tashakor kepada semua teman dan
kerabatku yang selalu mendukung, dan dengan sabar me-
nerima semua keeksentrikanku. Selalu, aku berterima kasih
pada istriku yang cantik, Roya, yang tak hanya ikut membaca
dan menyunting naskah ini, tetapi juga mengurus kehidup-
an kami sehari-hari tanpa protes sehingga aku bisa menulis.
Tanpa dirimu, Roya, buku ini akan terhenti di paragraf
pertama halaman satu. Aku mencintaimu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka Tentang Penulis
©Flena Seibert Khaled Hosseini adalah salah satu
penulis yang karyanya paling banyak
dibaca dan dicintai pembacanya. No-
vel pertamanya, The Kite Runner,
terjual lebih dari 10 juta eksemplar
di seluruh dunia. Sementara, A Thou-
sand Splendid Suns, terjual lebih
dari 38 juta eksemplar di 70 negara.
Hosseini juga seorang duta Goodwill untuk UNHCR dan
pendiri The Khaled Hosseini Foundation, sebuah yayasan
nirlaba yang menyediakan bantuan kemanusiaan bagi warga
Afganistan. Khaled Hosseini tinggal di Norther California.
Untuk mengenal lebih jauh tentang yayasannya, silakan kun-
jungi www.khaledhosseinifoundation.org.