The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Omen 4 - Malam Karnival Berdarah by Lexie Xu

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Novel Horror Repository, 2023-10-24 20:23:45

Omen 4 - Malam Karnival Berdarah by Lexie Xu

Omen 4 - Malam Karnival Berdarah by Lexie Xu

349 PERLAHAN-LAHAN aku tersadar. Dan mendapati diriku sedang diseret. Bukan diseret sebenarnya. Mereka—ya benar, ada dua orang—mengangkat kedua tanganku di atas bahu mereka, dan kakiku dibiarkan terseret-seret di lantai. Awalnya lantainya agak lunak, lalu kakiku membentur pinggiran besi, kemudian turun ke tanah berumput. Ah, ini di lapangan parkir. Sepertinya aku diturunkan dari sebuah mobil berukuran cukup besar, mungkin sejenis SUV. Aku berusaha membuka mata, tapi sepertinya, meski kesadaranku mulai pulih, tubuhku masih tidak mau menerima perintah dari otakku. Aku tidak bisa bergerak, mataku bahkan tak bisa kubuka. Yang bisa kulakukan hanya­lah mendengarkan, merasakan, dan berpikir. Setidaknya otakku sudah mulai bisa berfungsi. Bunyi-bunyi khas karnaval mulai tertangkap oleh telinga­ku. Oke, jadi kami kembali ke karnaval. Hal yang sebenarnya rada tidak masuk akal. Maksudku, jelek-jelek begini, semua orang di sekolah kami mengenalku sebagai ketua OSIS. Kenapa aku dibawa ke dalam karnaval lagi? 24 Rima


350 Memangnya mereka tidak takut membuat orang-orang curiga, dengan mengangkut-angkut aku yang, omongomong, terlihat seperti setengah teler? Apalagi mereka kan bukan teman-temanku—maksudku, orang-orang yang biasa bersamaku, secara aku memang terlihat seperti orang yang tidak punya teman. Intinya, ini seharusnya pe­mandangan yang aneh, mencolok, dan sangat mencurigakan, bukan? Kenapa mereka berani mengambil risiko itu? Lebih parah lagi, kenapa tidak ada yang menolongku? Apa tak ada yang benar-benar memedulikanku? Tunggu dulu. Sepertinya tidak ada orang di sekitar kami. Meski lagu-lagu karnaval terdengar, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada teriakan-teriakan, tidak ada suara langkah, tidak ada bunyi-bunyian aktivitas. Oh ya, mereka melakukan semua ini saat karnaval sudah ditutup. Mereka pastinya tidak membawaku masuk melalui pintu masuk biasa, karena aku dibawa menerjang semaksemak dan pohon sebelum akhirnya tiba di tempat terbuka lagi. Lagu-lagu karnaval semakin dekat, ditambah dengan suara tawa badut di kejauhan dan suara burung beo yang jelas-jelas adalah rekaman. Semua bunyibunyian dengan keceriaan palsu itu membuatku merasa tertekan. Jelas, perasaanku saat ini sedang amat sangat tidak ceria. Kami menaiki beberapa anak tangga, lalu tiba di lantai yang berputar. Komidi putar. Aku dibawa ke tengahtengah lantai, sampai punggungku menekan poros di te­ngah. Kedua tanganku diikat dengan tali yang seperti


351 nya terhubung pada tiang. Rasanya seperti boneka marionet yang digerakkan dengan tali. Hanya saja, aku tidak digerakkan. Aku adalah boneka marionet yang akan dieksekusi dan dilenyapkan dari jalan cerita. Dan yang mengesalkan adalah, aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Salah satu sisi tubuhku menabrak dinding poros komidi putar saat sisi yang satu sedang diikat, membuatku tersentak dan membuka mata. Bayangan pada cermin yang menempel pada poros komidi putar itu membuatku ingin menjerit histeris saking takutnya. Bayangan itu adalah aku yang mengenakan riasan badut yang kacau-balau. Satu-satunya yang kurang hanyalah tomat yang disumpal ke hidungku. Tanpa kusadari, isakan lolos dari mulutku. ”Jangan nangis. Sebentar lagi semuanya akan berakhir. Dan pada akhirnya, lo akan tau siapa sebenarnya penjahat dalam cerita ini.” Suara familier itu lagi. Dengan susah payah, aku berhasil menoleh. Dan mataku langsung berserobok dengan sepasang mata sipit yang menatapku dengan sinar mata lembut, nyaris dipenuhi belas kasihan yang tulus. ”Halo, Rima.” Erika tersenyum padaku. ”Akhirnya lo sadar juga.”


352 TERNYATA tidak melakukan apa-apa adalah pekerjaan yang sangat sulit. Rasanya aku sudah gatal banget, kepingin mengintai komidi putar atau berputar-putar mencari-cari pintu lain yang digunakan untuk mengeluarkan Rima dari karnaval. Kemungkinan besar mereka akan menggunakan pintu itu lagi untuk memasukkan Rima, kan? Tetapi, aku tahu semua tindakan itu terlalu berisiko. Seperti kata Putri, ada kemungkinan pelakunya tidak hanya Cecil dan/atau Nikki. Bisa-bisa lantaran ingin cepat-cepat menyelamatkan Rima, kami malah membahayakan nyawanya. Tidak, aku tidak bisa mengambil risiko itu. Setelah berkali-kali mengecewakan Rima, bahkan karena keteledorankulah sekarang dia diculik, aku tidak boleh melakukan kesalahan lagi. Untuk menyibukkan pikiran, aku pun mengajak Amir nong­krong bareng. Cowok itu kelihatan tidak terlalu kepingin lagi menebar pesona pada cewek-cewek geng tersebut. Pastinya kecentilannya lenyap bersamaan 25 Daniel


353 dengan perginya Welly. Ke rumah sakit, maksudku, bukannya ke alam apalah. Amit-amit. Aku benar-benar berharap Welly bisa selamat. ”Gue juga,” sahut Amir di sebelahku, menyadarkanku bahwa aku sudah mengucapkan pikiranku yang terakhir itu keras-keras. ”Tumben nggak bareng-bareng Rima, Niel.” Kalau menuruti keinginan hati, aku sudah siap membuka mulut dan ngomong sampai berbusa, mencurahkan isi hatiku soal Rima yang diculik lantaran aku sok pintar. Tapi lalu aku menyadari bahwa ada konflik kepentingan di sini. Amir dekat dengan geng cewek itu, dan siapa tahu selain Nikki dan/atau Cecil, masih ada kom­plotan mereka dalam geng itu. Jadi aku pun membatal­kan niatku. ”Dia sedang ada urusan lain.” ”Oh gitu.” Amir diam seraya mengamatiku. ”Kalian sepertinya tau banyak soal masalah ini ya.” ”Ya, soalnya kami kan ikut dalam penyelidikan polisi,” sahutku tanpa mengungkapkan banyak hal. ”Cerita-cerita juga dong sama gue. Siapa tau gue bisa mem­bantu.” ”Sori, Mir,” gelengku. ”Ini masih dalam penyelidikan. Lebih sedikit yang lo tau, lebih aman buat lo.” ”Lebih aman buat gue, atau lo memang kepingin nyimpen semua rahasia buat lo bagi ke temen-temen deket lo sekarang?” Mendadak saja Amir naik darah. Dengan kesal dia melempar botol minumannya, sengaja me­ngenai tong sampah besi hingga botol pecah. ”Memangnya lo kira semua ini salah siapa? Seandainya saja kita bertiga waktu itu, mungkin semua ini nggak akan terjadi!”


354 ”Gue tau, Mir.” Bertolak belakang dengan suara Amir yang berang dan penuh tuduhan, suaraku pelan dan penuh rasa bersalah. Ya, Amir pantas marah padaku, meski dia tidak tahu alasannya. Dia tidak tahu bahwa aku­lah yang menyodorkan informasi palsu pada Welly, yang kemudian diteruskan pada para pelaku. Dan sebagai akibat dari informasi palsu itu, Welly pun menjadi korban berikutnya. ”Lo nggak perlu nyalahin gue lagi. Gue tau kok, kejadian Welly adalah salah gue.” Selama beberapa saat kami hanya bisa berdiam-diaman. ”Sejak kapan kita jadi terpecah-belah begini, Niel?” Aku tidak menyahutinya. Amir bangkit berdiri, lalu berjalan menjauh selama beberapa langkah. ”Gue akui, Niel, memang sulit temenan sama elo.” Ucapan Amir itu sama sekali tidak terduga, membuatku ternganga memandangi punggungnya yang bulat. ”Lo ganteng, tajir, jago berantem, populer. Dan meski lo hobi nggak naik kelas, lo sebenernya pinter. Kalo nggak, nggak mungkin lo bisa ngasih gue dan Welly triktrik supaya kita bertiga nggak terkalahkan saat main poker. Gue sama Welly kecipratan populer berkat main sama elo. Dan meskipun kami nggak lemah, tapi tanpa elo, kami cuma preman-preman biasa. Jujur aja, susah banget untuk nggak ngiri sama elo, Niel.” Lagi-lagi aku tidak menyahut. Habis, aku tidak menyangka mereka memiliki pikiran seperti itu. Maksudku, Amir yang selalu bijak dan welas asih saja bisa berpikir begitu, apalagi Welly yang lebih emosional. ”Cewek-cewek hebat deket sama elo. Erika, Valeria, bahkan Rima yang bukan sekadar makhluk halus biasa.”


355 Wajahnya tampak risi saat dia berpaling. ”Maksud gue, itu semacam pujian lho. Habis, lo tau, Rima kan punya kekuatan super.” Membicarakan Rima membuatku tersenyum. Aku tahu, Rima tidak benar-benar punya kekuatan super, tapi cewek itu memang punya kemampuan yang luar biasa. ”Ya, memang dia hebat banget.” Amir mengamatiku. ”Lo bener-bener jatuh cinta sama Rima ya, Niel? Itu sebabnya lo mendadak rajin, nggak cuma dalam soal OSIS, tapi juga di kelas.” Selama beberapa saat aku diam saja. ”Gue nggak mau ngomongin ini sama orang lain, Mir. Orang pertama yang tau harus Rima dulu.” ”Kalo gitu cepet ngomong sama dia!” seru Amir seraya memukul bahuku keras-keras sebagai tanda dukungan. ”Sekarang juga!” Seandainya saja aku bisa. ”Nggak segampang itu, Mir.” ”Kenapa?” tanya Amir heran. ”Memangnya lo takut ditolak? Yang bener aja! Sejak kapan lo ditolak cewek? Selain Valeria maksud gue. Hehehe.” Sial, tampang suram itu mendadak terkekeh. Rupanya meski lagi sedih, dia tetap tidak akan melewatkan kesempatan untuk menertawai­ku. ”Tapi tetep aja, selain Valeria, siapa yang pernah nolak elo? Apalagi Rima, yang jelas-jelas suka banget sama elo.” ”Justru itu, Mir.” Aku menghela napas. ”Rima memang pernah suka sama gue, tapi selama ini gue udah banyak ngecewain dia. Terutama soal... Val. Dan adegan terakhir itu makin memperparah.” ”Yep, gue juga heran kenapa lo tau-tau balik lagi sama


356 Val, Niel,” ucap Amir. ”Tapi itu karena gue kenal elo sih. Orang-orang lain sepertinya nggak terlalu heran. Olla dan Ollie bilang semua orang memang ngirain Rima cuma salah satu cewek yang lo mainin aja.” Tuduhan itu membuat jantungku serasa ditikam, tapi aku berusaha mengalihkan topik. ”Olla dan Ollie?” ”Itu lho, si kembar.” Saat melihat tampangku masih saja blo’on, Amir berdecak. ”Si kembar yang ada di dalam geng cewek itu! Masa lo nggak perhatiin sih?” ”Nggak.” Tapi ini menjelaskan kenapa aku selalu berpikir muka cewek-cewek dalam geng itu mirip-mirip. Rupanya memang ada kembar di antara mereka. ”Memang­nya apa lagi kata Olla dan Ollie?” ”Ah, sudahlah, Niel. Ngapain lo dengerin omongan jelek orang tentang lo? Lagian mereka sama sekali nggak kenal elo. Apa hak mereka kepo sama urusan lo...” ”Mir,” aku menyela dengan tajam, ”apa kata me­reka?” Wajah Amir mendadak tampak risi. ”Mereka bilang, lo meng­injak dua perahu. Kalo lo memang serius mau ngerebut Val dari pacarnya, seharusnya lo singkirkan Rima dari hidup lo. Kalo nggak, Rima akan terusmenerus menghantui lo dan cewek yang lo suka...” Suara Amir menghilang sebelum akhirnya dia berkata perlahan, ”Mereka bilang, seharusnya lo bunuh Rima aja.” Mendadak aku tahu, apa yang harus kulakukan malam ini. Jadi, seperti inilah akhirnya. *** Karnaval akhirnya tutup juga. Aku menyaksikan satu per


357 satu temanku pulang—Erika, Val, Putri, dan Aya. Menurut Val, Leslie dan Viktor juga sudah pulang jauh sebelum jam tutup karnaval. Ajun Inspektur Lukas mengumpulkan orang-orangnya dan pamit. Ketidakhadiran Rima tak luput dari perhatiannya. ”Lho, Rima mana?” Suaraku terdengar mantap sekaligus murung saat menyahut, ”Dia pulang duluan karena nggak enak badan.” ”Oh, begitu.” Tatapan Ajun Inspektur Lukas terasa tajam, curiga, dan rada mengancam. ”Kamu akan ngasih tau saya kan, bahwa ada sesuatu yang perlu saya ketahui?” ”Ya, Pak,” sahutku tanpa berkedip. ”Oke. Saya tunggu.” Apa maksudnya dengan ”saya tunggu”? Apa beliau sudah mengira-ngira bahwa memang ada sesuatu yang terjadi? ”Ingat, Niel. Jangan sampai salah langkah. Buatlah keputusan sebijak mungkin, oke?” Aku tidak pernah mengaitkan diriku dengan kata ”bijak”. Seumur-umur, keputusan yang kulakukan biasanya berdasarkan senang atau tidak senang, berbahaya atau membosankan, menguntungkan atau merugikan. Intinya, egois banget deh. Namun kali ini keputusanku akan menentukan nasib Rima. ”Pak Ajun, saya sedang bingung ngerjain PR bahasa Indonesia,” ucapku mendadak. ”Mau bantuin?” ”PR apa?” tanya Ajun Inspektur Lukas, mendadak waswas. ”Mengarang. Tentang surat-surat yang membuat seorang cewek jatuh ke tangan penjahat. Tapi saya harus


358 pergi sekarang, Pak. Mungkin Bapak bisa tanya Erika. Dia juga lagi disuruh ngerjain PR yang sama.” Lihai juga aku, bisa mengalihkan tanggung jawab yang tak menyenangkan ini pada Erika. Tapi tak apalah, Erika dan Ajun Inspektur Lukas kan dekat banget. Bukan berarti aku iri lho. (Oke, aku memang iri, tidak usah dibahas lagi.) ”Oke kalau begitu. Saya akan hubungi Erika saja. Hatihati, Daniel.” Akhirnya, karnaval kosong juga setelah setengah jam sejak pengunjung mulai diusir-usir. Masih ada setengah jam sebelum waktu pertemuan. Mungkin tidak seharus­nya aku langsung cabut ke tempat janjian, tapi aku su­dah tidak sabar lagi. Aku ingin bertemu Rima sekarang juga. Aku ingin tahu apa dia baik-baik saja. Aku ingin... Langkahku terhenti tak jauh dari komidi putar saat aku melihat sosok Rima. Buru-buru aku menyembunyikan diri sebelum akhirnya mengintip kegiatan yang sedang berlangsung di situ. Rupanya Rima sedang diikat di bagian tengah komidi putar. Rasanya sedih melihat betapa lemahnya Rima—sepertinya dia dibius—karena tubuh­nya terlihat tak bertenaga. Dan dia siap mengamuk melihat orang-orang yang sudah membuatnya menderita. Tentu saja, aku tidak boleh menuruti emosiku dan harus bertindak hati-hati. Demi keselamatan Rima. Seperti dugaan Putri, orang-orang yang terlibat dalam urusan ini lebih banyak dari yang kami kira. Setidaknya ada tiga, dari yang kulihat... Tunggu dulu. Cewek berambut jabrik yang berpasangan dengan cewek berambut panjang dan berkacamata yang sedang mengikat Rima, jangan-jangan... Erika dan Val?


359 Omaygaaat! Ini tidak mungkin! Aku pasti sudah salah lihat! Tidak mungkin mereka dalang semua ini! Tapi wajah cewek berambut jabrik itu jelas-jelas Erika. Aku tahu, aku melihatnya dari jarak lebih dari lima belas meter—mungkin dua puluh, tapi mana mungkin aku tidak bisa mengenali tampang sobatku sendiri? Sementara wajah cewek yang mirip Val itu tidak begitu kelihatan, tapi dari gerak-geriknya yang anggun, aku cukup yakin dia memang Val. Lalu mendadak semua fakta terbayang olehku. Erika dan Val yang dari awal membenci OSIS dan The Judges, namun tidak keberatan saat disuruh ikut menjaga keamanan di karnaval. Sebagai akibatnya, mereka sama sekali tidak sanggup menghentikan semua insiden ini, padahal mereka begitu awas. Saat aku dan Rima merencanakan jebakan tanpa memberitahu mereka, muncul dua orang yang masuk perangkap tapi masih bisa kabur, menandakan kemampuan yang luar biasa. Tak lama setelah kejadian itu, mereka berdua muncul dengan tampang tak bersalah (kenapa mereka tidak nongol saat Rima nyaris diserang salah satu pelaku?). Lalu e-mail yang Val tunjukkan padaku, surat yang dikirim padaku, mem­buat kami melakukan sandiwara tolol yang mengakibatkan Rima diculik... Omaygaaat! Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Tidak mung­kin Erika dan Val tega mencelakai cewek-cewek menyebalkan namun lemah. Tidak mungkin mereka menculik Rima, bahkan sampai melukainya. Tidak mungkin mereka begitu jahat. Ataukah aku yang selama ini tidak mengenal mereka?


360 Mendadak sebuah adegan di masa lalu terulang lagi. Adegan saat Erika pernah dituduh melakukan kejahatan, dan aku percaya begitu saja. Saat dia meminta bantu­anku, aku malah ingin menyerahkannya pada pihak berwajib. Kenangan itu selalu terpatri dalam ingatanku, kenangan yang tak pernah gagal membuatku malu dan menyesal, kenangan yang membuatku semakin berusaha menjadi sahabat yang baik. Jadi, tidak mungkin Erika dan Val tega melakukan semua ini. Meskipun semua fakta menunjukkan bahwa mereka pelakunya, aku yakin, pasti ada penjelasan lain. Bulu kudukku merinding. Memang ada penjelasan lain. Mereka memang ingin aku melihat semua ini. Adegan persiapan ini adalah pertunjukan yang mereka sajikan untukku. Semua ini demi membuatku mengira Erika dan Val adalah musuh The Judges, bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang yang mengaku bernama Kelompok Radikal Anti-Judges itu. Sehingga, ketika pada saatnya aku harus memilih, aku akan memilih untuk berpihak pada Kelompok Radikal Anti-Judges karena, yah, aku tidak pernah berhenti mencintai Valeria. Kata-kata Putri terngiang-ngiang di telingaku. ”Ikuti saja permainan mereka. Yakinkan mereka bahwa kamu percaya mereka, kamu ada di pihak mereka.” Oke, aku tahu apa yang harus kuperbuat. Aku berjalan menuju komidi putar dengan langkah ter­atur yang semakin lama semakin cepat—tanda aku tidak sabar lagi untuk mendatangi komidi putar, sehingga mereka tak menduga aku sudah berada di sana selama beberapa saat.


361 ”Val!” aku berseru dengan nada terkejut. ”Erika?” Sesuai dugaanku, dua sosok yang kupanggil itu tampak tidak terkejut mendengar suaraku. Meski begitu, keduanya langsung melarikan diri, seolah-olah tidak ingin terlihat olehku. Seolah-olah mereka memang harus melindungi identitas mereka sebagai anggota Kelompok Radikal Anti-Judges. Namun, bagi orang-orang yang kenal Erika, tindakan ini justru semakin menegaskan bahwa semua ini hanyalah sandiwara. Erika tidak pernah melarikan diri. Erika menantang balik. Salah satu di antara mereka menyalakan komidi putar yang langsung bergerak, otomatis melebarkan jarak di antara aku dan dua cewek yang kabur itu. Itu sebabnya mereka mengadakan pertemuan ini di komidi putar. ”Erika, tunggu! Val!” Seraya belagak memanggil-manggil, aku mengerling pada Rima. Omaygat! Sakit banget hatiku melihat Rima diperlakukan seperti itu. Kedua tangannya terikat dan di­gantung dengan punggung menempel pada poros tengah komidi putar. Rambutnya menutupi hampir seluruh wajahnya, tapi dari celah yang tersisa, aku bisa me­lihat wajahnya sudah dirias dengan mengerikan. Matanya dicoret dengan eye shadow warna hijau tua, pipinya berhias bulatan berwarna oranye, dan bibirnya diberi pulasan lipstik cokelat gelap yang melewati bibir. Yang membuatku makin berang, di lengan kiri kemejanya terdapat sayatan berhias darah. Memang luka itu sudah diperban (mungkin takut Rima kehabisan darah sebelum tujuan mereka tercapai), tapi tetap saja kemarahanku berkobar-kobar.


362 ”Kamu salah lihat, Daniel Yusman.” Aku menoleh pada orang ketiga yang sedari tadi tidak menarik perhatianku karena memang tidak ada yang bisa dilihat. Berbeda dengan dua cewek tadi yang tidak berusaha menutupi identitas mereka—meski kemudian kabur terbirit-birit saat aku memanggil-manggil—cewek yang ini sepertinya takut banget dikenali. Dia mengenakan kostum serbahitam yang dipakai oleh lebih dari separuh pengunjung karnaval malam ini, dengan mulut ditutupi masker. Satu-satunya yang terlihat hanyalah matanya yang lebar, mengingatkanku pada cewek-cewek geng tersebut. ”Mereka bukan Erika Guruh dan Valeria Guntur. Jangan salah sangka. Sekarang kamu akan berurusan denganku, Daniel Yusman.” Sambil menahan kemarahanku, kupelototi cewek yang terus-terusan memanggilku ”Daniel Yusman” dengan suara tak jelas lantaran dibekap masker. Kusadari dia juga sengaja bicara dengan bahasa yang lebih formal dan nada datar supaya aku tidak bisa mengenali cara bicaranya yang biasa. Trik yang cukup pintar, karena saat ini aku memang tidak punya bayangan siapakah cewek itu. ”Memangnya lo mau ngapain Rima?” ”Sabar dulu. Biar aku jelaskan semuanya.” Aku melirik Rima, memastikan dia tidak menderita selama cewek bermasker ini memberikan penjelasan yang sepertinya bakalan memakan waktu banyak. Untunglah, sepertinya ikatan pada tangan dan kakinya tidak cukup erat untuk melukainya. Oke, aku akan bersabar barang lima atau sepuluh menit dulu. ”Oke, gue dengerin penjelasan lo.”


363 Cewek itu diam sejenak, seolah-olah meragukan kebenar­an kata-kataku, tapi lalu memutuskan untuk memercayaiku. ”Begini, Daniel. Seperti yang kamu tau, sekolah ini sekolah yang korup, menjijikkan, nggak mutu. Segala macam murid diterima, asal sanggup ngasih sumbangan besar. Contohnya saja kamu.” Aku menaikkan sebelah alisku, dan cewek itu tertawa kecil. ”Jangan tersinggung, aku kan cuma mengatakan kenyata­an. Akui saja deh, seandainya orangtua kamu nggak tajir, kamu nggak akan bisa masuk ke sekolah ini dengan nilai rapormu yang hancur banget itu, kan?” ”Lalu?” tanyaku bete karena mendadak dihina-dina. ”Lo mau gue keluar dari sekolah?” ”Ah, yang sudah terjadi, ya terjadilah.” Cewek itu mengibaskan tangan. ”Lagi pula, belakangan ini kamu mulai menampakkan potensimu. Ternyata kamu memang cukup pintar.” Cewek itu menatapku seolah-olah mengharapkan pujian­nya dibalas dengan ucapan terima kasih. Enak saja. Makna tersirat dari ucapan dia kan, ”Kalo lo masih goblok, lo ikut merusak mutu sekolah kita.” Sialan. Zaman sekarang semangat ”terimalah temanmu apa adanya” memang sudah langka. Menyadari aku tidak akan mengatakan apa-apa, dia pun mengangkat bahu dan melanjutkan, ”Akar semua masa­lah itu adalah organisasi rahasia bernama The Judges. Aku yakin kamu pernah mendengar nama organisasi ini. Kemungkinan malah kamu salah satu anggotanya. Bener nggak?”


364 Awalnya aku ingin membantah, tapi lalu aku teringat kata-kata Putri. ”Bener.” ”Bagus! Kamu lulus ujian.” Sial, dia sudah tahu jawab­annya rupanya. Untung saja aku jujur. Untuk kali berikut­nya, aku juga tidak boleh berbohong sama sekali. ”Se­bagai anggota, kamu tentunya sadar bahwa keputusan-keputusan The Judges bukan berdasarkan keinginan anggota terbanyak, tetapi berdasarkan keinginan ketua The Judges alias sang Hakim Tertinggi. Posisi yang saat ini dipegang oleh Putri Badai. Padahal siapa sih Putri Badai itu? Hanya cewek yang nggak istimewa dari keluarga nggak istimewa, dengan kemampuan yang nggak istimewa juga. Kenapa dia yang mengatur sekolah ini? Kenapa dia yang harus punya kekuasaan sebesar itu?” Omaygaaat! Apa aku tidak salah dengar? Semua kejadian berdarah yang mengerikan ini terjadi cuma lantaran orang-orang iri pada Putri Badai? ”Itu sebabnya kami membentuk organisasi untuk melawan The Judges. Dan kelompok kami tidak main-main. Kami didukung oleh para orangtua murid yang nggak mau diatur oleh The Judges. Nama organisasi kami adalah Kelompok Radikal Anti-Judges.” Cewek itu tampak bangga sekali saat mengumumkan nama yang sama sekali tidak keren itu. ”Tujuan kami adalah meng­hancurkan The Judges. Seperti yang kamu tahu, pilar The Judges saat ini hanya ada dua. Yang satu adalah Putri Badai, yang satu lagi...” ”Rima Hujan,” jawabku pelan seraya berpaling pada Rima. Jantungku nyaris berhenti berdetak saat menyadari Rima membalas tatapanku.


365 Dia sudah sadar. ”Betul sekali.” Tampaknya si cewek terlalu asyik ngobrol, sampai-sampai tidak menyadari kondisi baru Rima. ”Berkat potensi dan posisi yang kamu dapatkan baru-baru ini, kami memutuskan untuk merekrutmu. Kami yakin, kamu pasti juga memiliki banyak ketidakpuasan, sama seperti kami, dan kami yakin kamu pasti sudah memikirkan pilihan itu. Bagaimanapun, beberapa temanmu ada di pihak kami.” Maksudnya tentu adalah Erika dan Val. ”Kamu nggak akan sendirian. Bahkan, kamu akan berkenalan dengan banyak orang yang jauh lebih baik daripada budak-budak The Judges. Bagaimana menurutmu, Daniel? Kamu mau bergabung dengan kami?” Inilah saatnya. Aktingku tidak boleh gagal. Aku harus meyakinkan dia bahwa aku akan menyeberang ke pihaknya. Sesuatu mengalir dari keningku, jatuh ke bawah mataku. Astaga, tanpa kusadari, aku keringatan begini. Sepertinya aku lebih tegang daripada yang kuduga. Kuusap keringatku, lalu berkata, ”Kapan gue harus ngasih jawaban?” ”Sekarang juga.” Aku menyunggingkan senyum tak senang. ”Pilihan yang sulit begini, gue nggak dikasih waktu buat mikir?” ”Untuk apa pikir-pikir lagi?” tukas cewek itu mulai tak sabar. ”Bukannya semuanya sudah jelas? Kamu mau melawan The Judges atau tidak, hanya itu yang perlu kamu pertimbangkan.” Aku diam sejenak. ”Mau deh. Gue juga nggak sudi jadi budak The Judges.”


366 ”Kalo begitu, buktikan.” Cewek itu menyodorkan belati yang sedari tadi dipegang­nya. Belati itu tampak bersih berkilau, tapi aku cukup yakin benda inilah yang digunakan untuk melukai Nina, Ida, Welly, juga luka di lengan Rima. Aku ragu sejenak, lalu menerima belati itu. Secara otomatis, aku membalikkan tubuh dan menghadap Rima. Selama satu detik yang sangat lama, kami berdua bertatapan. ”Sudah waktunya untuk menyingkirkan dia, Daniel.” Cewek itu melangkah menjauhiku dan mendekati Rima. Lagu It’s a Small World After All mendengung dengan suara pecah, namun aku tetap bisa mendengar suaranya yang datar, jelas, dan tajam. ”Gara-gara dia, kita semua menderita di bawah kediktatoran The Judges. Dia harus dilenyapkan. Kalau tidak, kamu yang paling rugi. Seandai­nya dia mati, kamu yang akan mengambil kedudukannya. Kamu akan menjadi orang paling berkuasa di seluruh sekolah. Kamu akan mengalahkan orang yang selama ini selalu berada di atasmu, Erika Guruh. Kamu tidak perlu diperbudak lagi oleh The Judges, dan kamu takkan dicap pengkhianat lagi oleh teman-temanmu. Bukan itu saja. Asal dia mati, kamu juga bisa bersama cewek yang sudah lama kamu inginkan. Cewek yang selama ini meng­hindarimu karena pertemanan antara dia dan Rima. Bunuh dia, Daniel, dan Valeria Guntur akan jadi milik­mu.” Aku menelan ludah, memikirkan setiap kemungkinan. Aku tidak bisa menyerangnya. Cewek itu terlalu dekat de­ngan Rima. Kalau aku sampai membuatnya marah, Rima yang bakalan celaka. Aku juga tidak bisa membebaskan Rima dengan sekali tebas. Sepertinya tali yang


367 digunakan untuk mengikatnya terlalu tebal untuk dipotong belati ini. Jadi hanya ada satu hal yang bisa kulakukan. Aku mengangkat belatiku, lalu berkata pada Rima dengan penuh sesal, ”Maaf, Rima…” Aku bergerak merangsek ke depan tepat pada saat Rima menutup matanya rapat-rapat. Sesaat dadaku terasa sakit, menyadari bahwa Rima percaya aku akan betulbetul melukainya. Sebegitu tipiskah kepercayaannya padaku? Ataukah aku yang sudah terlalu sering mengecewakannya? Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan semua itu. Yang lebih penting adalah mengalihkan perhatian si cewek jahat… Sebatang panah meluncur di antara aku dan Rima, tak jauh dari depan wajahku, membuat langkahku terhenti. Aku menoleh dan melihat Putri Badai berdiri tak jauh dari kami, lengkap dengan busur di tangan dan tabung anak panah di punggung bak Katnis Everdeen yang lagi jutek-juteknya (kuduga lenyapnya dia tadi adalah karena dia pulang untuk mengambil busur dan tabung anak panah itu). Aku tidak tahu harus lega karena dia muncul tepat pada waktunya, ataukah jengkel karena dia nyaris memanahku. Belum lagi aku sempat bereaksi, terdengar suara riang, ”Halo,” dan Aya muncul dari belakang si cewek jahat. Saking kagetnya, si cewek jahat tidak sempat melakukan sesuatu terhadap Rima, melainkan langsung menyerang Aya dengan belati—seperti dugaanku, cewek itu memang sudah bersiap-siap melukai Rima kalau aku tidak melakukannya. Tapi, Aya menangkisnya dengan sebuah tongkat.


368 ”Eits, hati-hati dong dengan belati lo!” cetus Aya dengan tampang tak senang. ”Tau nggak, jaket gue ini harga­nya dua ratus ribu?” ”Jaket dua ratus ribu itu jaket murahan, tau?” balas si cewek jahat seraya mengangkat belati dan menusuk muka Aya, namun sekali lagi ditangkis oleh Aya. ”Itu omongan anak manja,” cibir Aya. ”Coba lo sendiri yang kerja, sanggup nggak dapetin dua ratus ribu dalam waktu seminggu?” ”Buat apa kerja kalo bisa minta?” ”Orang kayak beginian yang bikin gue sebel! Sekarang gue nggak segan-segan lagi deh ngehajar elo!” ”Ide bagus!” kata Putri Badai yang meloncat naik ke atas komidi putar. ”Sini kubantu.” Aku tidak memperhatikan mereka lagi dan mulai melepaskan ikatan tali dari tubuh Rima. ”Rima, lo nggak apa-apa?” Rima tidak menyahut, melainkan hanya menatapku. Aku sudah terbiasa ditatap oleh cewek, tapi cuma Rimalah yang selalu berhasil bikin aku merasa risi dan degdegan dipandangi begitu. Aku berusaha me­nyibukkan diri dan berkutat dengan tali-temali yang mulai terurai dengan konsentrasi yang agak-agak ber­lebih­an, seraya menghindari tatap mata dengan Rima. ”Cukup,” akhirnya Rima berkata saat kedua tangannya terbebas dari ikatan. ”Sisanya biar aku sendiri saja.” ”Rima…” Aku kembali menahan tubuhnya yang nyaris tersungkur saat kulepaskan. ”Lo masih lemah gitu. Biar gue aja.” ”Nggak,” gelengnya penuh tekad. ”Aku bisa sendiri.” Ouch. Rasanya menyakitkan banget waktu menyadari


369 Rima tidak ingin disentuh olehku lagi. Sepertinya aku harus tahu diri. Meski begitu, aku tidak bisa mundur begitu saja. Sambil menahan perasaan yang kacau-balau dan keinginan untuk membantu, aku berjongkok di dekat­nya, memperhatikannya berjuang sendirian melepaskan ikatan tali itu dengan tangan gemetar. Berkali-kali aku membuka mulut, berharap bisa menjelaskan semua tindakanku, tapi akhirnya aku kembali mengatupkan mulut­ku. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berkoarkoar. Dari ujung mataku, aku bisa melihat pengejaran yang dilakukan oleh Aya dan Putri terhadap si cewek jahat. Men­dengar teriakan frustrasi Aya, aku bisa menduga si cewek jahat tidak membalas menyerang, melainkan berusaha melarikan diri. Yah, kurasa dia tak bakalan menang melawan Aya sekaligus Putri Badai. Namun anehnya, cewek itu tidak turun dari komidi putar, melainkan terus berputar-putar. ”Akhirnya!” Kudengar seruan Aya. ”Dia cabut juga!” Aku melihat si cewek jahat meloncat turun dari komidi putar. Putri dan Aya segera mengejar. Namun, belum sempat mereka meloncat turun dari komidi putar, si cewek jahat sudah mendorong sebuah tong di tengah jalan. Bau bensin tiba-tiba mengusik hidung kami. Kuperhatikan cairan itu jatuh ke parit kecil yang mengelilingi komidi putar—parit yang sepertinya sudah disiapkan untuk keperluan ini. ”Bye!” ucap si cewek jahat seraya mengeluarkan sebuah pe­mantik dan menyalakan api. Pemantik itu dijatuh­kannya begitu saja ke atas bensin yang menyebar. Mendadak saja, komidi putar sudah dikelilingi kobaran api. Listrik


370 langsung terputus, membuat komidi berhenti berputar. Lidah api menari-nari di depan kami. Panasnya yang begitu dekat terasa membakar diriku, membuatku otomatis memeluk Rima supaya bisa melindunginya. ”Kita harus cepat turun!” teriak Aya yang mendekat bersama Putri Badai. ”Atapnya udah mulai kebakar. Bisabisa nanti runtuh dan menimpa kita!” ”Ini Ajun Inspektur Lukas!” Terdengar suara keras dari mikrofon di luar. ”Ayo, loncat keluar! Kami akan menyambut kalian dengan selimut basah! Erika, Val, kalian mau ke mana? Hei, kembali!” Sepertinya Erika dan Val berusaha menyelesaikan tugas kami dengan mengejar si cewek jahat, sementara Ajun Inspektur Lukas tidak bisa me­larang mereka karena harus menyelamatkan kami. ”Dasar anak-anak bengal. Oke, Daniel, Rima, Putri, Aria, ayo keluar! Jangan takut! Kami akan membantu kalian!” ”Aku duluan!” kata Putri tegas seraya menahan Aya yang sudah siap meloncat. ”Kalo aku sukses, kalian baru turun, oke?” ”Jangan, Put!” seru Aya. ”Lo terlalu penting. Biar gue yang duluan...” ”Jangan membantah!” bentak Putri. ”Tunggu di sini dan jaga Rima, mengerti?” Putri memang pemimpin sejati. Dia tidak pernah takut menentang bahaya, bahkan mendahului semua orang dalam melakukannya. Aku bisa melihat Aya menelan kata-katanya dan mengangguk. ”Hati-hati ya!” Putri mengangguk, lalu meloncat tanpa ragu. Dari selasela lidah api, aku bisa melihat Putri tidak lolos dari api yang menempel pada tubuhnya, tetapi api itu langsung


371 padam saat beberapa polisi membekapnya dengan selimut basah. ”Giliran gue,” Aya berkata padaku. ”Jaga Rima ya!” Aku mengangguk. Aya meloncat. Seperti Putri, dia juga terkena api yang langsung dipadamkan oleh selimut basah dari para polisi yang menyambutnya. ”Ayo, Rim!” Aku mengangkat Rima berdiri. ”Giliran lo.” ”Nggak bisa,” bisik Rima. ”Aku belum bisa meloncat. Kamu duluan aja, Niel.” Tubuhku menegang. ”Harus bisa. Dan gue akan loncat setelah elo.” Rima menggeleng. ”Nggak ada waktu lagi. Sekarang ini aku bahkan belum bisa berdiri sendiri, Niel. Sepertinya tubuhku masih lumpuh.” Dia mendorongku lemah. ”Kamu loncat duluan aja. Nanti kalo aku udah bisa, aku akan nyusul.” Rima jelas-jelas berbohong. Dia tak sanggup berdiri dan dia tidak akan bisa menyusulku. Tanpa banyak bicara, aku membopongnya. Saat aku menunduk menatap­nya, aku bisa melihat wajahnya yang shock dan ke­takutan. ”Kamu mau apa?” ”Tentu dong, bawa elo keluar dari sini.” ”Nggak mungkin bisa!” serunya panik. ”Kamu nggak mungkin bisa menggendongku sambil meloncat. Bisa-bisa kamu jatuh di tengah-tengah selokan dan...” ”Terpanggang?” Kurasakan tubuhnya tersentak saat men­­dengarku mengucapkan kata itu. ”Tenang aja, itu baru kejadian kalo elo berat banget. Kenyataannya elo


372 ringan begini, Rim. Lagian, lo meremehkan kekuatan gue banget sih.” ”Bukan begitu, tapi...” Rima mendorongku dengan harap­an bisa turun dari boponganku, tapi tentu saja usahanya sia-sia. ”Aku betul-betul bisa sendiri kok. Aku hanya butuh waktu sedikit...” ”Justru waktu itu yang kita nggak punya,” sahutku sambil membawanya menghindar dari sebuah balok yang jatuh dari atap. ”Sebentar lagi tempat ini runtuh. Lo nggak mau ngabisin waktu dengan berdebat sama gue, kan?” ”Plis, Niel.” Rima memandangiku dengan tatapan memohon. ”Aku nggak mau terjadi sesuatu padamu, garagara aku...” ”Sama, gue juga nggak akan maafin diri gue kalo terjadi sesuatu sama elo,” sahutku tegas. Rima menghela napas frustrasi. ”Dasar bodoh. Aku tahu kamu setia kawan, tapi...” ”Ini bukan setia kawan, Rim. Ini cinta. Kalo lo kenapakenapa di sini, gue bakalan merana seumur hidup. Makanya lo jangan ngebacot lagi. Kalo lo terus-terusan merepet, bisa-bisa kita berdua mati konyol di sini. Lo mau kita mati berdua di sini?” Oke, ini benar-benar memalukan, mengutarakan cinta pada saat kami seharusnya menyelamatkan diri. Hanya orang bodoh sok romantis yang akan menyemburkan ucapan semacam itu ketika nyawa lagi di ujung tanduk begini. Yah, apa daya, aku takut tidak ada kesempatan lagi. Tapi begitu kata-kata itu meninggalkan mulutku, aku langsung tengsin berat. Jadi untuk menutupi sikap salah tingkahku, aku pura-pura membentaknya.


373 Untungnya Rima tidak bergidik atau muntah mendengar kata-kataku, melainkan terperangah seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang indah dan menyenangkan. Suaranya terdengar takjub saat menjawab pelan, ”Nggak mau. Aku nggak mau kita mati bareng di sini.” ”Iya, gue juga nggak mau. Jadi jangan buang-buang waktu lagi. Pegang erat-erat ya!” Rima tidak menyahut, melainkan langsung men­cengkeramku erat-erat. Aku membetulkan posisi Rima dalam boponganku—rambutnya yang panjang kupindahkan ke antara tubuhku dan tubuhnya, karena benda itu pastinya akan menjadi sasaran empuk api bila dibiarkan begitu saja. Setelah aku mengambil ancang-ancang, kami menerobos api. Tuhan, tolong izinkan kami selamat….


374 KURASAKAN api menelan kami. Lidah api menjilat-jilat, seolah-olah ingin menggapaiku, tapi tubuh Daniel yang besar melindungiku. Namun kedua kakiku yang tidak terlindung serasa dipanggang, membuatku menjerit kesakitan—jeritanku menyatu dengan teriakan Daniel. Rasanya seolah-olah kami sedang menuju ke neraka bersama-sama. Lalu mendadak seluruh dunia terasa gelap dan sejuk. Selama beberapa detik aku kebingungan, lalu kusadari apa yang terjadi. Rupanya para polisi sudah menyelimuti kami dengan selimut besar dan basah. Bahkan kedua kakiku dibalut dengan handuk basah yang menyegarkan. Sekarang rasanya seolah-olah diangkat ke surga. Terutama karena saat ini aku berada dalam bopongan Daniel. Oke, ini mulai terasa tidak menyenangkan. Bahkan, sebenarnya, ini memalukan. Semua orang memandangi kami, tapi Daniel masih saja tidak menunjukkan tandatanda ingin menurunkanku. Malahan, dia hanya me26 Rima


375 mandangiku dengan sorot mata tajam, seakan baru saja memerangi dewa kematian (kalau dipikir-pikir, mungkin memang begitu). ”Lo nggak apa-apa?” tanyanya dengan suara serak dan rambut berjuntai di depan wajah. Astaga, cowok ini benar-benar ganteng! Selama sedetik, aku hanya bisa memandanginya dengan muka blo’on. Lalu, cepat-cepat aku menggeleng. ”Kamu?” Dia tersenyum. ”Ya. Thanks God.” ”Daniel.” Ajun Inspektur mendekat, dan Daniel mendongak padanya. ”Sekarang kalian sudah selamat. Jadi kamu boleh turunkan Rima.” ”Eh, sori.” Seolah-olah baru menyadari posisi kami, dia segera menurunkanku. Tidak secepat biasanya, mem­buatku menyadari pasti seluruh tubuhnya juga sakit. Sementara kakiku, ajaibnya, tidak apa-apa. Memang sepatuku rada hangus, tapi hanya itu luka yang kuderita. Yang lebih penting adalah, tanganku baik-baik saja, jadi aku bisa menghapus riasan mengerikan yang menempel di mukaku. Duh, semoga tidak ada yang ilfil melihatku dalam kondisi menyeramkan begini. Ajun Inspektur Lukas tersenyum dan menepuk bahu Daniel. ”Kamu benar-benar pahlawan, Nak.” Daniel tampak salah tingkah seolah-olah jarang mendapatkan pujian semacam itu. ”Eh, hm, Putri dan Aya baik-baik saja?” ”Kami baik-baik saja.” Putri dan Aya mendekat. Keduanya mengenakan jaket polisi untuk menutupi pakaian yang compang-camping akibat terbakar. ”Thanks, Niel, udah bantu nyelamatin Rima.” Daniel tampak kebingungan, seolah-olah pujian dan


376 ucapan terima kasih dari segala penjuru terasa aneh dan tidak wajar baginya. Dia betul-betul pahlawan yang sangat rendah hati. ”Eh, gimana hasil pengejaran Erika dan Val?” ”Tadi saya sudah menyuruh orang untuk menyusul mereka,” ucap Ajun Inspektur Lukas. Wajahnya berubah jengkel sekaligus khawatir. ”Seharusnya mereka sudah balik. Toh si pelaku tidak akan bisa ke mana-mana… Nah, itu dia mereka.” Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Ajun Inspektur Lukas, dan melihat Erika serta Val sedang menyeret-nyeret seorang cewek berpakaian serbahitam dengan masker di wajah. Ya, meskipun tadi aku hanya me­lihatnya sekilas, aku sadar cewek inilah yang menawan­ku. Kelihatannya dia masih belum menyerah dan meronta-ronta sekuat tenaga, padahal upayanya jelas siasia. Selain dikawal oleh Erika dan Valeria yang jago bela diri, di belakang juga masih ada dua cowok bertampang garang alias Viktor dan Leslie. ”Kalian!” seru Daniel tercengang. ”Gue kira…” ”Lo kira kami berantem?” Leslie memandangi Valeria dari belakang, sementara yang bersangkutan hanya menahan senyum. ”Sori, men. Not a chance. Mau diadu domba seperti apa pun, gue nggak akan ngelepasin dia.” ”Dan nggak mungkin tukang ojek gue ini gue suruh pulang,” kata Erika sambil menunjuk ke belakang, ke arah Viktor yang memandanginya dengan tampang masam sekaligus geli. ”Nggak lucu kalo nanti gue kudu pulang jalan kaki.” Kukira Daniel akan bete karena ditipu, tapi rupanya cowok itu sama sekali tidak keberatan. ”Ya baguslah kalo


377 kalian baik-baik aja. Eh, kalian ketemu dua cewek lainnya?” ”Dua cewek apa?” tanya Erika bingung, lalu berpaling pada Valeria yang menggeleng. ”Kami nggak melihat siapa-siapa kecuali yang satu ini.” Daniel tampak bingung, sementara aku bungkam saja. Ya, aku juga tahu ada dua cewek lainnya, dan aku mengerti kebingungan Daniel. Kalau Erika, Valeria, dan dua cowok itu tidak melihat siapa-siapa lagi, berarti cewek ini sengaja lari menjauhi komplotannya. Barangkali untuk memberi waktu bagi komplotannya supaya bisa melarikan diri? Rasanya agak terlalu mulia untuk ukuran pen­jahat. Dan karenanya, rada tidak masuk akal. Dua orang polisi menyambut Erika dan Valeria untuk mengambil alih tawanan dan memborgol cewek yang diserahkan pada mereka itu. ”Lepasin gue! Lepasin gue!” Aku menyadari perubahan wajah Daniel saat mendengar suara itu. ”Bukan dia.” ”Apa?” Semua langsung menoleh pada Daniel. ”Bukan dia yang tadi berhadapan dengan kita di komidi putar,” ucap Daniel sambil mengamati cewek yang mengenakan kostum serupa dengan cewek di atas komidi putar. ”Ya, ukuran badannya sama, pakaiannya sama, dan matanya, sialan, pake eyeshadow dan eyeliner yang sama juga! Tapi sumpah deh, suaranya nggak sama. Gue yakin banget. Mana cewek yang tadi lebih pinter dan lebih tenang. Dia berusaha keras menjaga supaya suaranya tetep datar dan nggak ketauan suara aslinya. Sementara yang ini histeris dan cempreng banget!”


378 Aya dan Putri yang juga sempat berhadapan dengan cewek yang disebut Daniel, memandangi cewek di depan kami itu dengan penuh minat. ”Gue nggak melihat bedanya,” sahut Aya bingung. ”Aku juga,” tambah Putri. ”Tapi orangnya bukan dia!” kata Daniel berkeras. ”Ah, susah-susah amat.” Erika melepaskan masker itu dan tampaklah wajah Cecil yang saat ini sama sekali tidak cantik, melainkan tampak liar, nyalang, dan histeris. ”Oh, elo toh, Cil. Lo tadi yang berantem sama Aya dan Putri?” Cecil sama sekali tidak tampak takut saat kedoknya ter­buka. Malahan dia mendengus dan berkata, ”Dua cewek itu nggak ada apa-apanya.” ”Oh, jadi karena itu tadi lo lari-lari ketakutan mengelilingi komidi putar?” tanya Aya dengan tampang polos. ”Itu kan cuma pancingan supaya gue bisa turun di tempat yang tepat.” ”Tempat kamu menyimpan bensin dan menyalakan api,” kata Ajun Inspektur Lukas. Cecil mengangguk. ”Ya, biar gue bisa kabur.” ”Setelah kabur, memangnya apa rencana lo?” tanya Daniel. Cecil memandangi Daniel dengan nanar. Sama sekali tidak ada bekas-bekas pemujaan seperti yang ditampakkannya beberapa saat lalu. Rupanya dia hanya pura-pura naksir Daniel. Untunglah. ”Hah?” ”Masa elo nggak ada rencana apa-apa untuk melarikan diri dari tempat ini?” desak Daniel. ”Naik mobil apa, pergi ke mana, apa elo akan bergabung dengan komplotan lo atau nggak.”


379 ”Gue nggak punya komplotan,” sahut Cecil. ”Semua ini rencana gue seorang diri.” Pengakuannya itu membuat semua orang terperangah. ”Ah, yang bener?” tanya Erika memecah keheningan. ”Lo nggak mungkin secerdik itu!” ”Dasar Erika Guruh, selalu menyangka elo sendiri yang paling pinter,” Cecil mencibir. ”Kenyataannya, lo juga dibikin bingung sama gue, kan?” ”Memangnya kenapa elo mau melakukan semua ini?” tanya Val bingung. ”Karena gue udah muak!” teriak Cecil mendadak. ”Gue muak sama Nina dan Ida yang sok cakep, yang selalu ber­t­ingkah seolah-olah mereka paling populer di antara kami.” Aku bisa merasakan mulutku, bersama dengan mulut orang-orang lain, ternganga lebar. ”Jadi semua ini cuma gara-gara elo merasa lebih cakep dari mereka?” tanya Aya, berusaha menyimpulkan katakata Cecil. ”Jelas!” Cecil melipat kedua tangannya di depan dada. ”Waktu kami sedang pedekate sama Daniel, Daniel cuma perhatiin gue kan, dan bukan mereka?” ”Lho, kenapa libatin gue?” gerutu Daniel. ”Dan gue nggak perhatiin elo kok. Tapi kalo ini cuma balas dendam sama temen-temen lo, kenapa Welly juga jadi korban?” ”Karena… karena dia juga nyuekin gue!” Oke, aku men­deteksi cewek ini sempat tergagap. Mungkin jawaban pertama memang sungguhan, tapi jawaban kedua rada mengada-ada. ”Berbeda dengan Amir yang baik sama


380 gue, Welly lebih suka sama Ida. Dasar cowok jelek. Siapa juga yang peduli dia ada atau nggak?” Daniel tampak bete berat mendengar temannya dikatakatai, tapi dia tidak menyanggahnya. ”Lalu kenapa lo nawan Rima? Apa lo nggak takut dikutuk Rima?” Mendengar ucapan Daniel, Cecil melangkah mundur seolah-olah berusaha menjaga jarak denganku. ”Soal itu...” Selama beberapa saat, dia terbata-bata lagi. ”Gue cuma melakukan keinginan semua orang. Rima... Rima nggak seharusnya jadi ketua OSIS. Dia kan nggak populer. Memangnya siapa yang mau milih dia jadi ketua OSIS? Pasti ada kecurangan...” ”Kamu salah,” sela Putri dingin. ”Nggak ada kecurangan sama sekali. Rima menang karena dia dipercaya memiliki kemampuan khusus. Terbukti, bahkan kamu pun percaya soal itu, kan?” Cecil hanya membuka dan menutup mulutnya, namun tidak bisa membalas ucapan Putri. ”Jelas bukan dia pelakunya,” kata Putri sambil memandangi Ajun Inspektur Lukas. ”Mungkin dia memang sengaja dikorbankan oleh para pelaku yang sebenarnya.” ”Nggak, semuanya pekerjaan gue kok!” Oke, entah kenapa, cewek ini benar-benar berkeras bahwa dialah pelakunya. Seolah-olah pengakuan itu menyangkut hidup dan matinya. ”Gue udah ngaku begini, kalian mau apa lagi? Bukti? Gue bisa nunjukin kalian gimana caranya gue permak Nina, Ida, dan Welly! Gue nggak sebodoh yang kalian kira, tau? Gue jauh lebih pinter!” Uh-oh. Melihat mata nyalang dan mendengar jeritanjeritan histeris itu, aku langsung punya firasat buruk.


381 Tetapi, aku tidak pernah menyangka cewek itu begitu nekat. Dengan sekuat tenaga, dia merenggut dirinya dari pegangan dua orang polisi dan mulai berlari terbirit-birit dengan tangan masih diborgol. Sebagian besar dari kami adalah pelari yang lumayan cepat, tapi kali ini, di luar dugaan kami, cewek ini berhasil berada di depan kami semua. Mungkin ini sisa-sisa kekuatan terakhir dari penjahat yang menolak masuk penjara. Tentu saja, dengan begitu banyak orang yang me­ngejarnya, cepat atau lambat dia tersusul juga—terutama oleh Erika dan Valeria yang berada di deretan terdepan para pengejar. Tampaknya Cecil juga menyadari hal itu. Dengan putus asa dia mulai mendorong benda-benda yang ditemuinya ke belakang: gerobak berondong jagung, boneka badut, gentong hiasan. Erika yang sudah berpengalaman dalam adegan kejar-kejaran (baik sebagai yang dikejar maupun yang mengejar) menghindari semua itu dengan lincah bak anak sirkus jago akrobat. Tetapi Valeria mulai kewalahan menghindari semua itu. Kecepatannya melambat seiring dengan gerakannya untuk menghindari benda-benda yang dilemparkan Cecil padanya. Bukan hanya aku, melainkan Putri dan Aya—beserta Leslie—juga meningkatkan kecepatan lari kami. Semoga kami tidak telat. Oh, gawat! Cecil mendorong salah satu gapura ke arah Erika dan Val. Gapura-gapura memang tersebar di seluruh karnaval, sebagian berada dalam jarak yang lumayan dekat. Kalau sampai didorong, gapura-gapura itu akan menimbulkan efek saling menimpa, dan gapura terakhir pastinya akan mendapat hibahan berat yang menjadikan


382 nya sangat berbahaya. Yang tidak kalah berbahaya adalah bagian atas gapura-gapura itu berhias banyak bohlam yang langsung pecah begitu gapura-gapura itu ber­benturan. Erika berhasil meloncat ke pinggir, menghindari area bawah gapura yang mulai dipenuhi hujan pecahan kaca. Tetapi Valeria malah tersandung dan terjatuh, menjadikannya sasaran empuk untuk gabungan tiga gapura yang roboh dan siap menindihnya. Celaka! Aku tidak pernah berlari secepat ini untuk menyambut maut, dengan kaki yang terluka pula. Di saat kita perlu menyelamatkan seseorang yang penting, rasa sakit sama sekali bukan halangan untuk bertindak secepatnya. Sekuat tenaga aku menggunakan seluruh tubuhku untuk menahan bagian atas gapura yang nyaris menimpa Valeria. Tak perlu kujelaskan, kalau sendirian saja, aku pasti bakalan ikut tertimpa bersama-sama Valeria. Apalagi kini aku bisa merasakan kakiku yang terluka parah semakin sakit dan kehilangan sebagian besar kekuatannya. Tetapi, di sampingku ada Putri dan Aya yang juga tiba nyaris bersamaan dengan diriku. Mungkin saja mereka malah tiba lebih dulu, tapi aku tidak memperhatikannya karena terlalu sibuk menyelamatkan Valeria. Pecahan kaca berjatuhan mengenai tubuh kami, beberapa menancap ke dalam daging kami—termasuk beberapa yang nyelip di antara telapak tangan dan bahu—menimbulkan rasa perih yang membuat air mataku otomatis terbit. Gawatnya, saat aku mencuri pandang ke arah Valeria, kulihat seluruh tubuhnya berlumuran darah. Sebagian karena jatuh, sisanya adalah akibat tersayat pecahan


383 kaca. Sepertinya dia mengalami kesulitan untuk bangkit berdiri. ”Cepat!” Aku mendengar Putri berteriak di sampingku, dan orang yang dia teriaki adalah Leslie yang baru tiba di dekat kami. ”Bawa Valeria menyingkir dari sini!” Tanpa banyak bacot, Leslie segera melakukan perintahnya. Begitu Valeria menyingkir, barulah aku merasa lega, meski sulit bagiku untuk melepaskan gapura itu tanpa mem­buatnya menimpaku atau teman-temanku. ”Rima, lo juga pergi.” Mendadak saja Daniel sudah berada di sampingku, mengambil alih beban yang nyaris meremukkanku. ”Biar kami aja.” ”Kami” yang dimaksud, selain Daniel, adalah Viktor dan Ajun Inspektur Lukas. Perlahan-lahan aku menyingkir dari bawah gapura, dan tak lama kemudian gapura itu berhasil mendarat di tanah tanpa menimbulkan korban lagi. ”Kamu nggak apa-apa?” tanya Putri pada Valeria yang sedang dibopong Leslie. ”Nggak,” geleng Valeria. ”Cuma luka-luka kecil. Thanks ya, dan maaf udah ngerepotin kalian semua.” Lega melihat Valeria ternyata selamat dan baik-baik saja, aku pun mulai celingak-celinguk, mencari si penyebab semua keonaran ini, dan melihatnya tepat pada saat Erika menonjok mukanya. ”Ouch!” kata Daniel di sampingku. ”Patah tuh hidungnya.” ”Udah layak dan sepantasnya,” sahut Aya dengan suara keji. ”Sebelumnya dia juga udah kena tendang. Rasain!” ”Oke,” kata Ajun Inspektur Lukas sambil menyambut Erika dan tawanannya. ”Cukup sudah. Kamu akan kami


384 tangkap dengan tuntutan sebagai penyebab semua kecelakaan yang terjadi di karnaval dua malam ini. Puas?” Cecil tidak menyahut—mungkin karena sibuk menutupi hidungnya yang patah dan berdarah-darah—dan pasrah saja saat para polisi menggiringnya pergi. ”Nah, kalian jangan pulang dulu ya,” kata Ajun Inspektur Lukas. ”Petugas paramedis sudah siap merawat kali­an. Tadi sempat saya panggil waktu tahu Rima diculik. Sekarang kami pergi dulu.” Dengan satu isyarat kecil dari Ajun Inspektur Lukas, mobil ambulans langsung mendekat, sementara para petugas paramedis segera menyerbu kami. ”Dasar polisi jahat,” gerutu Erika sambil menghampiri Valeria yang dikerubungi dua petugas paramedis. ”Kita sama sekali nggak dikasih hadiah atas jasa-jasa kita. Begini deh, yang namanya habis manis sepah dibuang. Luka-luka lo gimana, Val?” ”Nggak ada luka besar yang berarti,” salah satu paramedis yang menyahut. ”Tapi kalau nggak diobati secepatnya, luka-luka ini bisa menjadi serius.” ”Makasih banyak ya, Sus,” ucap Valeria pada paramedis, sementara matanya memandangi Cecil yang sedang dimasukkan ke mobil polisi. ”Aneh ya. Kok seperti­nya dia begitu kepingin dianggap jadi penyebab satu-satunya semua kejadian ini?” ”Mungkin karena dia diancam?” duga Leslie. ”Ah, yang pasti dia bakalan masuk penjara,” tukas Erika. ”Oknum kayak gitu nggak layak dibiarin kelayapan dengan bebas. Gila, bisa-bisanya kabur di saat-saat terakhir.” ”Tetap saja, gue merasa kasus ini masih menggantung.”


385 Valeria menghela napas. ”Semoga saja perasaan gue salah. Semoga dengan ditangkapnya Cecil, nggak akan ada kejadian buruk yang terjadi lagi.” ”Itu sih harapan yang terlalu berlebihan.” Erika nyengir. ”Mana mungkin nggak akan ada hal buruk yang terjadi lagi? Lupa ya, kalo sekolah kita sekolah yang dikutuk?” ”Maksud gue, selama karnaval berjalan,” tukas Valeria. ”Kan cuma tinggal sehari gini lho.” ”Oh, kalo itu sih mungkin terjadi. Kemungkinan kecil.” Erika menyeringai saat Valeria mendelik padanya. ”Yah, santai ajalah. Apa pun yang terjadi, kita pasti bisa mengatasi semuanya, meski dengan berlumuran darah dan luka di mana-mana...” ”Kecuali elo,” kata Aya sirik, memandangi Erika yang memang minim luka-luka dibanding kami-kami semua, dan merupakan cewek satu-satunya yang tidak dikelilingi petugas paramedis. ”Yah, namanya juga jagoan.” Erika mengangkat tangannya dan mengamati otot-ototnya dengan tampang bangga. ”Yang beginian nggak bisa didapat dari latihan, tapi harus rajin terjun ke lapangan, tau?” ”Iya deh, lo memang jagoan…” Valeria tertawa. ”Kalo gue sih nggak mungkin bisa selamat kalo nggak ditolongin lo sama dua cewek hebat ini. Makasih ya. Tanpa kalian, mung­kin gue nggak bisa hepi-hepi di sini bareng kalian.” Seraya berkata begitu, Valeria menatap kami dengan kehangatan dan rasa syukur yang membuat aku, Putri, dan Aya salah tingkah. Tapi lalu terdengar suara yang mem­buat bulu kudukku merinding.


386 ”Jangan berterima kasih pada mereka. Mereka hanya menjalankan tugas.” Kami semua berpaling ke arah suara itu, dan menemukan—astaga—Nikki dalam balutan seragam paramedis. Sepertinya dari tadi cewek itu berkeliaran di dekat kami, namun tak seorang pun menyadarinya. Cewek ini benar-benar menakutkan. ”Ngapain lo nyelip di sini pake kostum suster seksi?” teriak Erika, sementara kami semua langsung bersiaga. ”Be­rani taruhan, lo otak dari semua kejadian yang melibat­kan badut-badutan keparat ini!” ”Waduh, tuduhan yang jahat banget.” Nikki me­ngerucut­kan bibir, namun tidak terlihat sakit hati. ”Dan sangat nggak berdasar. Bukannya Cecil udah ngaku?” ”Siapa yang bilang Cecil ngaku?” sergah Aya. ”Nggak perlu dikasih tau.” Nikki mengedikkan bahu ke arah mobil polisi. ”Tadi gue lihat dia digiring masuk ke mobil polisi dengan tangan diborgol. Kesimpulannya gampang banget, kan?” ”Sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Putri dengan suara tajam menusuk. ”Sedari tadi,” ucap Nikki sambil memasang senyum sok kalem—senyum pura-pura yang tidak lebar dan sangat berbeda dengan senyum aslinya yang mengerikan. ”Sejak mendapat telepon dari Ajun Inspektur Lukas. Kan malam ini gue lagi jadi paramedis sukarelawan. Kalian bisa ngecek data staf di rumah sakit kok. Kita kan sudah dewasa. Sudah waktunya melakukan kebaikan dan bukannya membuang-buang waktu untuk bersenang-senang.” Aku tertegun. Saat bicara dengan gaya formal, cara bicaranya mengingatkanku pada cewek yang menawanku.


387 Memang sih, saat itu mulut cewek itu ditutupi masker, sehingga suaranya terdengar tak jelas. Tapi rasanya tidak mungkin salah. Cecil sama sekali tidak membuatku ingat pada cewek itu, tetapi Nikki benar-benar mirip dengan penawanku itu. Aku berpaling pada Daniel yang memandang Nikki de­ngan tatapan tajam dan berang. Jelas cowok itu juga me­nyadarinya. ”Tunggu dulu!” Valeria tiba-tiba menyela. ”Tadi lo bilang mereka,” tatapannya beralih pada aku, Putri, dan Aya, ”hanya menjalankan tugas. Tugas apa?” Aduh! Kami benar-benar berada dalam kesulitan besar. ”Tugas dari bokap lo, tentu saja. Memangnya lo nggak tau, bokap lo membayar Rima dan Aya untuk bersekolah di sini agar bisa membantu Putri, alias si Hakim Tertinggi, buat mengawasi dan ngendaliin elo?” ”A... apa?” Kali ini mulut Valeria ternganga lebar. ”Dibayar?” Dia menoleh padaku. ”Beneran?” Aku ingin sekali memberitahu Valeria bahwa aku memang sangat mengaguminya dan, tidak peduli dibayar atau tidak, aku tetap ingin berteman dengannya. Tetapi, satu hal yang tidak bisa kumungkiri, aku memang dibayar oleh ayahnya. Rumah yang kini kami tinggali adalah milik ayah Valeria. Aku bisa pindah dari sekolah negeri ke SMA Harapan Nusantara, semua itu berkat campur tangan ayah Valeria. Pertemananku yang dekat dengan Putri dan Aya, karena kami semua memang anak-anak asuh ayah Valeria. Jadi, aku harus bilang apa? ”Maafkan aku.”


388 Dadaku dicekam rasa sakit saat menyadari tatapan Valeria yang terluka. ”Gue kira lo bener-bener mau temenan sama gue, Rim,” ucapnya dengan suara gemetar. Oh Tuhan. Sekarang dia benci padaku. Aku berpaling, dan menemukan Daniel sedang memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kurasa dia juga sudah jijik padaku. ”Sekarang mata lo udah terbuka kan, Valeria? Mereka bukan teman-teman lo yang sebenarnya. Lebih baik elo temenan sama gue aja. Asal tau aja, gue ada di pihak yang baik dan tulus.” ”Tulus apanya?” tukas Daniel dengan suara dingin yang jarang kudengar darinya. ”Berani taruhan, elo orang yang tadi nawan Rima. Dan elo juga orang yang ngatur ada dua orang yang mirip Erika dan Val yang ngebantu elo, supaya lo bisa mengadudomba kami semua.” ”Aduh, jangan nuduh sembarangan gitu dong, Niel.” Suara Nikki terdengar merayu saat bicara dengan Daniel. ”Nggak mungkin dong, gue melakukan hal seperti itu. Lagian, yang udah lewat jangan dibahas lagi. Toh apa pun yang direncanakan Cecil, semuanya udah gagal, kan?” ”Tapi nggak bikin lo patah semangat untuk mengadudomba kami,” sahut Daniel. ”Lo tau dari mana soal bokap Val?” ”Ah, sang narasumber minta gue ngerahasiain identitasnya.” Nikki menggoyang-goyangkan jarinya. ”Tapi gue juga baru tau beberapa saat lalu, waktu Cecil ketangkep. Kasian ya Cecil. Coba dia tau soal ini dari awal. Kan dia nggak perlu susah payah melakukan semua ini.


389 Tapi nggak percuma juga sih usahanya. Kalo bukan karena dia nyaris celakain Val, kedok kalian bertiga nggak akan terbuka. Maksud gue, andai gue kasih tau info ini pun, mereka selalu bisa mengelak karena nggak ada bukti.” Sesaat dia menyunggingkan senyum lebarnya yang nyaris membelah wajahnya menjadi dua, tetapi lalu dia memperbaiki sikap. ”Eh, tapi bukan berarti gue kepingin memecah-belah kalian lho. Itu kan kemauan Cecil. Yang gue mau cuma temenan sama elo, Val, juga Erika.” ”Mungkin gue harus berterima kasih karena elo udah ngasih tau gue info yang penting,” ucap Valeria rendah. ”Tapi itu nggak bikin gue kepingin temenan sama elo.” ”Bener, bener,” sahut Erika penuh semangat. ”Mimpi aja sana!” ”Nggak usah buru-buru mutusin.” Lagi-lagi Nikki menyunggingkan senyum mengerikan. ”Pikirin dulu aja. Oh ya, Erika, ada temen gue yang mau say hello sama elo.” ”Nggak berminat,” tolak Erika. ”Nggak peduli temen lo semacam X-Men atau Avengers...” ”Halo, Erika.” Suara itu terdengar lembut dan manis, namun tak salah lagi, suara itu persis seperti suara cewek yang disapanya. Erika yang biasanya tidak pernah gentar menghadapi apa pun, tampak seperti disambar petir. Seorang cewek lain yang mengenakan pakaian paramedis mendekati kami, dan aku bisa melihat wajahnya yang serupa dengan Erika. Tidak salah lagi, cewek inilah yang tadi mengikatku. Tetapi dia sama sekali tidak menoleh padaku, seolah-olah dia tidak mengenaliku sama sekali.


390 ”Eliza,” bisik Erika. ”Kapan… kapan lo keluar dari penjara?”* ”Nggak penting,” senyum Eliza Guruh, adik kembar Erika. ”Yang lebih penting adalah, gue kepingin kasih tau elo, Ka. Gue udah maafin elo, dan gue harap elo juga udah maafin gue. Apa pun yang pernah terjadi di antara kita, itu semua masa lalu. Orangtua kita juga udah nggak marah sama elo, Ka. Mereka mau lo kembali ke rumah kita lagi. Mau nggak?” Erika terpana mendengar ucapan Eliza. Berbagai emosi berkelebat di wajah cewek yang memang selalu blakblakan itu. Rasa tak percaya, takut, sedih, juga harapharap cemas. Mendadak kusadari, meski tangguh luar biasa, Erika hanyalah anak berusia tujuh belas tahun yang masih membutuhkan keluarga. ”Pasti lo shock banget ya,” kata Eliza prihatin. ”Sori, gue nggak bermaksud tiba-tiba seperti ini. Tapi sekarang gue menjadi sukarelawan untuk tim paramedis, dan tautau aja malam ini gue ditugaskan ke sini. Jadi kita ketemu dadakan begini deh. Mungkin lo butuh waktu untuk mikirin semua ini. Yah, take your time, sis. Kami sebagai keluarga lo, akan selalu nungguin kepulangan elo.” ”Kita harus pergi sekarang.” Nikki menyentuh lengan Eliza. ”Coba dipikirkan baik-baik ya, Valeria, Erika. Kami benar-benar ingin kalian bergabung dengan kami. Kita akan menghancurkan The Judges bersama-sama. Pasti menyenangkan.” * Kenapa Eliza bisa dipenjara? Baca kisahnya dalam OMEN buku pertama, karya Lexie Xu.


391 Dengan kata-kata itu, keduanya pun meninggalkan kami. ”Apa dia baru aja mengaku sebagai Kelompok Radikal Anti-Judges?” tanya Aya. ”Dia nggak mengakui apa-apa,” geram Putri, ”selain menegaskan tujuan mereka. Benar-benar licik.” Aku tidak mengucapkan apa-apa, melainkan hanya memandangi Valeria dan Erika yang tampak terpukul. Yah, meski baru saja lolos dari kematian, perasaanku sendiri tidak begitu senang. Otak kasus ini tidak tertangkap, misi rahasia kami terbongkar, kami terancam dimusuhi Valeria, dan kini kami bertambah musuh baru yaitu adik kembar Erika. ”Ayo kita pulang,” kata Leslie sambil merangkul Valeria. ”Nggak apa-apa, Val. Kita akan selesaikan masalah­nya satu-satu.” Rasanya ada kata-kata tak terucap mengambang di udara. Sekalian kita pindahan juga. Aduh. Aku merasakan tatapan Leslie dan Viktor, tatapan maklum yang membuatku kepingin menangis. Habis, me­reka tidak terlihat marah atau merendahkanku. Namun aku juga tahu, mereka tidak akan membelaku kalau Valeria dan Erika memutuskan untuk membenciku selamanya—hal yang kemungkinan besar akan terjadi, berhubung kedua cewek itu sama sekali tidak mau memandang ke arahku lagi. Bahkan, saat mereka pergi pun, mereka tidak pamit padaku. Rasanya kesepian banget. ”Sial,” ucap Aya muram. ”Kita ketauan, dan ketau­annya dengan cara yang nggak enak banget.”


392 ”Seharusnya kita menjelaskan tadi,” Putri menghela napas. ”Tapi aku terlalu shock dengan kemunculan Nikki. Dan bisa-bisanya dia tau rahasia kita. Dia tau dari mana ya?” ”Itu nggak penting lagi,” kataku sedih. ”Kalian inget kan pesan Mr. Guntur?” ”Ya,” angguk Putri. ”Misi dibatalkan kalau sampai Valeria tau hubungan kita dengan Mr. Guntur.” ”Ini berarti, semua yang kita lakukan selama ini siasia,” kata Aya sambil memukul sesuatu yang tak kasatmata. ”Sial! Berapa banyak waktu yang udah gue inves untuk mereka?” ”Lebih gawat lagi, kita sudah mengecewakan Mr. Guntur,” ucap Putri perlahan. ”Menurut lo, dia akan suruh kita balikin duitnya?” tanya Aya cemas. ”Tentu nggak, kita kan anak-anak asuhnya yang terbaik,” tandas Putri. ”Hanya saja, aku takut setelah ini beliau nggak akan memercayakan tugas-tugas penting pada kita lagi. Yah, sudahlah. Aku akan mengutip katakata Leslie tadi. Kita akan selesaikan masalahnya satusatu. Aya, kamu nggak perlu berbuat apa-apa dan cukup menunggu saja. Mungkin mereka butuh jasa si Makelar untuk pindahan. Rima, kamu pulang ke rumah, gunakan segala cara untuk menghalangi mereka pindah rumah. Kalau perlu, ceritakan semuanya. Sementara aku, aku akan melapor pada Mr. Guntur. Good luck semuanya.” Kami saling melambai. Aya dan Putri segera pergi ke arah masing-masing. Aku masih berdiri sebentar, menunggu mereka lenyap dari pandangan, lalu berbalik dan menghadap Daniel. Cowok itu sedang bersandar pada


393 sebatang pohon di tepi jalan, menatapku lekat-lekat dengan sorot mata intens. Seolah-olah hanya dengan tatapan itu, dia bisa menahanku di tempat. Dan memang, aku takkan ke mana-mana tanpa bicara dengannya dulu. Tanpa menjelaskan kenapa aku melakukan semua ini. Tanpa berusaha untuk menghapus rasa jijik yang dia rasakan padaku—sedikit pun tak apa. Mendadak saja, kusadari, perasaan Daniel sangat penting untukku. Aku tahu, aku pernah bilang tak peduli apa pun yang dia rasakan, aku tidak mau dekat-dekat dengannya lagi. Tapi aku salah. Saat dia pergi dengan Valeria, aku merasa setengah jiwaku dibawa pergi, dan hidupku tak bakalan sama lagi. Namun, saat dia tetap bersamaku meski lautan api mengepung kami, saat itulah aku berpikir aku betul-betul bahagia. Karena itu, tidak apa dia pernah mencintai Valeria. Tidak apa dia tetap mencintainya sekarang. Asal dia tidak benci padaku. Asal dia tetap suka padaku. Asal dia mau bersamaku. Sebagai teman pun tidak apa. Aku membutuh­kannya, aku sangat membutuhkannya. Mungkin, dalam perjalanan hidup kami, suatu hari dia akan melupa­kan Valeria dan mencintaiku. Tapi saat ini, aku akan menerima perasaannya, seberapa pun kecilnya. Karena tanpa dia, aku tidak bisa bahagia. ”Daniel,” ucapku untuk memulai pidatoku, tapi lalu aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku takut setiap kata yang kuucapkan akan membuat situasi bertambah buruk. Semua pembelaan diri yang sudah berada di ujung mulutku pasti akan terdengar bodoh dan lemah, mem­buatku terlihat seperti orang tak berguna, dan mungkin malah akan menambah rasa bencinya padaku.


394 Perlahan-lahan, cowok itu berjalan mendekatiku. Matanya tetap terpaku padaku, membuat kakiku terasa lunglai. Lalu dia mengangkat tangan. Spontan aku me­mejamkan mataku erat-erat, siap menerima tamparan atau apa sajalah. Karena, apa lagi yang akan dilakukan orang terhadap orang sebodoh dan selemah diriku? Tapi lalu aku merasakan Daniel meraihku ke dalam pelukannya. ”Lo akan selalu punya gue, Rim,” bisiknya. ”Gue akan selalu berada di pihak lo. Selamanya.” Selamanya. Pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu aku akan baik-baik saja. Dan aku tidak akan pernah kesepian lagi.


GRAMEDIA penerbit buku utama Baca kisah seru Erika Guruh dan Valeria Guntur di buku pertama serial OMEN!


GRAMEDIA penerbit buku utama Erika dan Valeria mengungkap kejadian-kejadian aneh perihal tujuh lukisan horor karya Rima Hujan.


Click to View FlipBook Version