The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Peserta Pelatihan Sejarah DISBUDPAR Kota Bandung Tahun 2021

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by pilaalip20, 2021-09-13 22:45:46

Karya Penulisan

Peserta Pelatihan Sejarah DISBUDPAR Kota Bandung Tahun 2021

Keywords: Karya Penulisan Sejarah

Kereta Api, Cilembu, dan Candi

Ditulis oleh: Farly Mochamad
Pekan lalu, saya ikut kegiatan Aleut Development Program (ADP) 2020
momotoran menyusuri jejak kereta api antara Bandung-Tanjungsari. Kami
berangkat agak siang dari sekretariat Aleut menuju SPBU Cinunuk untuk bertemu
dengan rekan lain yang akan bergabung.

Jembatan Cincin Cikuda di pagi hari foto: Komunitas Aleut

Dari Cinunuk, kami beranjak ke Jatinangor, melewati kampus Unpad, untuk
menuju lokasi pertama, yaitu Jembatan Cincin atau kadang disebut Jembatan
Cikuda, sesuai dengan nama daerah di situ. Tidak butuh waktu lama sampai kami
tiba di lokasi dan berjalan di atas bekas jembatan kereta api ini.

Dari atas jembatan ini saya bisa melihat Gedung Student Center Fakultas
Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad, Asrama Kedokteran Unpad, dan di bawah
jembatan terlihat area permakaman di tengah sawah. Di arah timur terlihat
Apartemen Taman Melati dengan kolam renangnya. Waktu kami datang, ada
beberapa pesepeda yang sedang foto-foto dan eksplorasi seputar jembatan ini
juga. Seorang tua yang sedang berfoto sambil minum air dari cangkir menuturkan
bahwa dia berangkat dari Setiabudi pagi tadi. Lumayan juga perjalanannya,
sepedahan dari Bandung Utara sampai ke Jatinangor, dan entah akan ke mana lagi.

Dari atas jembatan kami mencari jalan untuk turun ke bawah, ke area
persawahan dan permakaman. Pak Hepi yang menyertai kami bercerita bahwa

jembatan ini memiliki 11 tiang dan 10 lengkungan yang membentuk rupa cincin.
Pembangunannya dilakukan pada tahun 1918 dengan tujuan sebagai jalur
pengangkutan hasil perkebunan kopi dan teh dari wilayah Jatinangor ke
Rancaekek dan Bandung. Saat ini bekas jembatan masih digunakan warga sekitar
sebagai jalur lalu lintas antarkampung.

Jembatan Cincin Kuta Mandiri foto: Komunitas Aleut

Tempat kedua yang kami datangi berada di perbatasan Kecamatan
Jatinangor dan Kecamatan Tanjungsari, dan baru saya ketahui bahwa sebenarnya
ada jembatan cincin lainnya di kawasan ini. Letaknya di tengah perkampungan
agak jauh dari jalan raya dan cukup tersembunyi juga, tak heran kalo banyak yang
engga tahu keberadaan jembatan ini. Nama jembatan ini Jembatan Kuta Mandiri.
Saat ini hanya warga sekitar saja yang memanfaatkan jembatan ini sebagai jalur
jalan perkampungan.

Figure 1 Juang 45 Tanjungsari (kanak) Viaduct (kiri) di Tanjungsari Foto : Komuitas Aleut

Jejak kereta api berikutnya yang kami datangi adalah bekas Stasiun
Tanjungsari yang saat ini digunakan sebagai Gedung Juang ’45 Tanjungsari. Jalan
tempat bekas stasiun ini berada ternyata bernama Jalan Staatspoorwegen (SS) dan

gedungnya bernomor 23. Yang masih tersisa di sini selain bangunannya adalah
papan nama stasiun yang terdapat pada salah satu dinding luar luar, letaknya di
bagian atas. Di situ tertulis nama dengan ejaan lama, Tandjoengsari.

Di sini Mang Alex bercerita bahwa jalan raya yang di depan itu adalah bagian
dari De Grootepostweg atau Jalan Raya Pos yang dibangun pada masa Gubernur
Jenderal Hindia Belanda ke-36 yaitu Herman Willem Daendels. Untuk
pembangunan lintasan jalur kereta api Tanjungsari, ada bagian dari Jalan Raya Pos
ini yang dibongkar dan dijadikan viaduct. Bagian atas dan bawah viaduct ini masih
digunakan sampai sekarang sebagai jalur lalu lintas, sedangkan jalur rel kereta api
sudah tidak terlihat lagi, katanya sudah tertimbun sekitar satu meteran di bawah
tanah.

Struktur Jembatan Kereta Api di Citali foto: Komunitas Aleut

Dari Tanjungsari, kami ke Citali. Di sini kami berjalan ngaleut di tengah
persawahan untuk menuju sebuah bekas bangunan fondasi jembatan yang tidak
selesai dikerjakan. Konon karena masalah kesulitan ekonomi pada waktu itu.
Selain itu ada juga dongengan soal kenapa jembatan ini tidak dapat diselesaikan,
konon karena keberadaan kabut sangat tebal yang selalu menghambat pekerjaan
di sana. Wah, kabut seperti apa ya itu sampai bisa menggagalkan pembangunan
jembatan kereta api?

Sekitar pukul 12.30 kami beristirahat dan makan di daerah Tanjungsari,
yaitu di Warung Makan (Warman) Dua Saudara. Tempatnya sangat strategis
karena berada di pinggir jalan dan kebetulan sedang kosong sehingga dapat

menampung rombongan kami. Saya pikir warman ini baru, terlihat dari catnya
seperti baru dipulas, tapi warman ini sudah semi lama ternyata. Di warman ini
saya memilih makanan yang sederhana saja karena taulah mahasiswa korona,
paspasan kantongnya, hihihi. Saya mengambil lauknya jamur, tempe, tahu dan
sambal, wait, satu lagi asin pemberian Dary yang sengaja di bagikan satu plastik
olehnya, untung saja temen-temen yang lain pada gak ada yang ngambil, kecuali
Pak Hepi, jadi saya bisa ambil satu lagi. Thanks ya Dary. Setelah makan selesai
kami bercanda tawa.

foto bersama Ibu penjual warung (atas) Ibu penjual warung sedang bercerita (bawah) foto: Komunitas Aleut

Dari Tanjungsari, kami tidak putar balik kembali ke arah Bandung, tapi
mampir dulu ke satu tempat yang namanya sangat khas dan terkenal, Cilembu.
Tadinya saya pikir tempat ini masih berhubungan dengan sejarah kereta api, tapi
ternyata engga. Ternyata oh ternyata, Aleut hanya ingin mengenalkan kawasan ini
saja. Nama Ubi Cilembu memang sudah sangat terkenal, tapi banyak yang engga
tahu di mana sebenarnya Cilembu itu. Nah, karena itulah ternyata kami diajak ke
sini.

Kami berhenti di sebuah warung penjual Ubi Cilembu dekat Kantor Desa. Di
sini kami ngobrol panjang sekali dengan ibu warung dan ada banyak sekali
informasi yang kami dapatkan. Cerita seputar desa, berbagai jenis umbi-umbian,
sampai ke pengolahan ubi yang sudah modern. Selain ubi oven yang sudah dikenal,
di sini juga banyak diproduksi variasi olahan ubi, termasuk keripik yang banyak
jenisnya dan sudah dipasarkan melalui marketplace. Sampai sekarang Desa
Cilembu juga termasuk yang secara rutin menerima kelompok mahasiswa yang
melakukan Kuliah Kerja Nyata di sini.

Situs Candi Bojong Menje. foto: Komunitas Aleut

Dari Cilembu kami pulang melewati Rancaekek dan tiba-tiba berhenti di
tepi jalan. Di situ saya lihat ada sebuah plang kecil dengan tulisan Candi Bojong
Menje. Oh, rupanya kami akan mampir melihat situs ini. Kam masuk melewati
gang sempit di tengah kawasan pabrik dan permukiman. Di situs candi kami
ketemu bapak penjaganya, Pak Ahmad, yang bercerita bahwa sebelum ditemukan
bekas-bekas candi ini, dulunya wilayah itu adalah kompleks permakaman umum.
Pak Ahmad menceritakan berbagai koleksi temuan yang tersimpan di situ sambil
mengatakan juga bahwa sebetulnya di kawasan itu kalau diadakan penggalian
maka masih dapat ditemukan banyak tinggalan kuno lainnya, tapi ya ada masalah
soal pemilikan tanah sehingga penggalian tidak dapat dilakukan.

Ex Stasiun Penerima Radio Nirom foto: Komunitas Aleut.

Dari lokasi Candi Bojong Menje, kami masih mampir lagi ke tempat lain. Kali
ini mengunjungi ex Stasiun Penerima Radio Nederlands Indische Radio Omroep
(Nirom). Gedung depannya terlihat sangat cantik sekali menjulang tinggi dengan
ciri khas bangunan Eropa. Namun sayangnya kondisi bangunan tidak terawat dan
bisa dibilang kumuh. Sekarang gedung bangunan tersebut dikelola oleh PT
TELKOM.

Plang dan spanduk Candi Bojong Emas sobek (atas) Tumpukan bebatuan Candi Bojong Emas (bawah) foto:
Komunitas Aleut.

Kami tidak terlalu lama berada di lokasi bekas stasiun radio itu karena hari
sudah semakin sore. Sambil beranjak menuju pulang, kami masih sempatkan
mampir ke satu lokasi lain di Sapan yang memang terlewati, yaitu situs Candi
Bojong Emas. Lokasinya di pinggir Jl. Raya Sapan dekat sekali dengan Sungai Ci
Tarum. Kondisi candi di sini sangat tidak terawat dan terkesan dibiarkan saja. Di
sini terdapat pagar pembatas kayu lebih kurang satu meter dan plang spanduk
yang sobek. Di bagian dalam terdapat banyak tumpukan batu kali.

Senang rasanya setiap kali momotoran bareng Aleut, apalagi hujan turun,
serasa nostalgia masa kecil, hihihi. Apalagi ini adalah momotoran pertamaku di
Aleut ke wilayah Timur. Di sini aku merasa pengetahuanku tentang sejarah
perkeretaan apian lumayan bertambah. Dan aku baru tau juga ternyata di
Bandung ada Candi, jadi gak usah jauh-jauh deh cari candi ke daerah lain, hihihi.
Pokoknya momororan kali ini enggak kalah menariknya. sampai jumpa di
perjalanan momotoran selanjutnya.


Click to View FlipBook Version