The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by babirhatarhai, 2016-02-26 00:28:09

FILE 2

FILE 2

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keanekaragaman hayati, atau keragaman biologi penting bagi seluruh

kehidupan di bumi. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang
memiliki keanekaragaman hayati tinggi (Karmilasanti dan Supartini, 2011). Hal
ini disebabkan Indonesia memiliki berbagai tipe hutan yang berbeda sesuai
dengan kondisi geografis masing-masing daerah.

Keanekaragaman hayati perlu adanya konservasi yang menekankan
pada kegiatan pelestarian, penyelamatan dan pengawetan (Singh dan Rahman,
2010). Kedua hal tersebut merupakan satu rangkaian tak terpisahkan yang saling
mengisi dan membutuhkan satu dengan lain. Indonesia sebagai salah satu negara
memiliki potensi yang besar dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati, dan
merupakan suatu ancaman bagi kelestarian sumber daya alam bilamana tidak
dikelola dengan baik.

Data terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi hutan sudah mencapai
2,83 jutahektar per tahun selama periode 1997-2000 danberkurang menjadi 1,08
juta hektar pertahun untuk periode 2000-2005 (Badan Planologi Kehutanan,
2007). Degradasi hutan ini tidak diimbangi dengan peningkatan upaya untuk
merehabilitasi hutan, yaitu hanya 1 juta hektar per tahun saja. Tingginya
kerusakan hutan mengakibatkan hutan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pengatur
keseimbangan tata air, pencegah pencemaran udara dan air, penyimpan karbon,

1

2

penghasil kayu dan non kayu, dan sebagai sumber keragaman genetik (Agung,
2011). Kerusakan hutan di Kalimantan sangat pesat dengan adanya beberapa
perusahaan tambang batu bara.

Kerusakan lingkungan berimbas pada keanekaragaman hayati, di mana
penyebab utama dari permasalahan tersebut sebenarnya terletak pada kebutuhan
manusia akan pangan dan energi (Suarez dan Marcote, 2010). Keanekaragaman
hayati sudah tergerus dengan pesatnya laju pertumbuhan ekonomi, seperti
perkebunan sawit, pertambangan, pertanian, pemukiman penduduk, dan hutan
tanaman industri, yang biasanya berupa tanaman. Menurut data Dinas
Pertambangan (2012) kondisi semacam ini ditemukan di wilayah Kecamatan
Kintap.

Kecamatan Kintap sebagian besar wilayahnya berstatus kawasan hutan
yang di dalamnya terdapat potensi kayu ulin yang sangat tinggi. Disayangkan
tidak ada data populasi kayu ulin pada masa sebelum 1967 sampai masa sebelum
muncul izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Satu-satunya cara termudah
menghitung populasi ialah menduga tebangan atau tunggak yang tersisa. Sebagai
contoh di Kecamatan Kintap, yang menghubungkan Banjarbaru-Kotabaru,
menyisakan jejak tumbuhan ulin (Ridha, 2013). Tidak menutup kemungkinan
sebagian besar masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan
sangat menggantungkan hidupnya dari keberadaan kawasan hutan. Tidak sedikit
masyarakat sekitar hutan yang secara turun temurun bekerja di bidang perkayuan
yaitu dengan menebang dan menjual kayu ulin.

3

Minimal 22 ojek ulin (julukan pengangkut kayu ulin) melintas di jalur
Kintap-Banjarmasin sejauh 128 km. Dari jarak itu 28 km berupa jalan berbatu,
mendaki, dan berdebu. “kami pergi sore dan tiba di Banjarmasin saat subuh,” kata
Zainudin, itulah suasana sehari-hari di Riamkanan wilayah hutan di perbukitan
Meratus yang membentang di Kabupaten Banjar dan Kintap yang kini berupa
hutan sekunder (Suejdarsono, 2013). Lepas dari aturan yang berlaku perilaku
menghindari hukum yang kian berlanjut, hal itu bisa menyebabkan populasi kayu
ulin berkurang. Celakanya, eksploitasi masyarakat terhadap ulin tidak disertai
dengan penanaman yang seimbang.

Menurut Abdul Aziz Karim, dosen Fakultas Kehutanan Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarbaru Kalimantan Selatan, Pemerintah menerbitkan
SK Menteri Pertanian No. 54/kpts/Um/2/72 pada 1972 untuk melindungi kayu
ulin (Press.com). Menurut regulasi itu masyarakat terlarang menebang pohon ulin
berdiameter kurang dari 60 cm. Namun, peraturan itu seolah-olah tidak pernah ada
karena lemahnya komitmen dari semua pihak. Akibatnya penebangan pohon ulin
dibawah 60 cm terus berlangsung. Khusus Kalimantan Selatan pemerintah
mengambil jalan tengah pada 1978. Surat keputusan Kepala Daerah Tingkat 1
Kalimantan Selatan No Ek-005/SK-78 mengatur perizinan pemungutan kayu ulin
hanya diberikan warga sekitar hutan dengan peralatan sederhana. “Tujuannya agar
laju penebangan lambat, tapi penduduk lokal tetap dapat memanfaatkan,” kata Ir
Sudin Penjaitan MP, peneliti dari Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru,
Kalimantan Selatan (Ridha, 2013). Kini ulin bukan lagi langka, tapi menuju
kepunahan bila tidak ada upaya konservasi serius.

4

Menurut Effendi (2003) peneliti di pusat penelitian penebangan hutan
tanaman, terjadi penurunan rata-rata populasi ulin lebih dari 20% selama 10 tahun
terakhir. Turunnya populasi antara lain karena pembalakan liar. Kayu ulin yang
termasuk kelas awet I dan kelas kuat I kini termasuk kategori rawan dalam Cites
(Convention On International Trade of Endangered Species) sejak 2003
(Suejdarsono, 2013). Populasi ulin kian menipis karena semakin maraknya
masyarakat memburu tumbuhan tersebut sebagai usaha yang menggiurkan.

Kayu ulin sudah digolongkan langka, namun di wilayah Kecamatan
Kintap masih banyak para penebang tunggak ulin. Kebiasaan masyarakat ini juga
menyebabkan populasi ulin semakin langka. Salah satu warga setempat sebagai
penebang, bapak Rahmat menuturkan.

“....Pekerjaan seperti ini tidak terlalu beresiko, tidak terikat
dengan suatu lembaga, jam berapapun berangkat berkerja
terserah kita, di wilayah sini masih banyak terdapat tunggak-
tunggak yang masih bisa dimanfaatkan. Sekarang mencari
pekerjaan sudah susah, perusahaan tambangpun sudah banyak
yang tutup....”
Berdasarkan penuturan Bapak Rahmat, pekerjaan seperti itulah yang tidak terlalu
beresiko, tidak terkait dengan suatu lembaga, jam berapapun berangkat kerja
terserah kita, di wilayah sekitar sini masih banyak tunggak-tunggak yang bisa
dimanfaatkan. Sekarang mencari pekerjaan sulit, ditambah perusahaan tambang
banyak yang tutup.
Pekerjaan yang tidak berkaitan dengan suatu lembaga menjadi alasan
untuk mereka melakukan pekerjaan tersebut, ditambah dengan minimnya suatu
pekerjaan. Sejak awal 2014 perusahaan tambang batu bara sudah mulai banyak

5

pengurangan kariawan beralaskan harga jual batu bara menurun. Hal tersebut
berdampak pada sebagian masyarkat setempat mulai beralih bekerja sebagai
penebang. Penanaman ulin di luar sebaran alaminya mengalami beberapa kendala
diantaranya sifat ulin yang semi toleran, artinya ulin pada umur muda peka
terhadap intensitas cahaya yang tinggi, tetapi sejalan dengan pertumbuhannya
pada tingkat dewasa jenis ini akan membutuhkan intensitas cahaya yang memadai
(Masano dan Omon, 1983). Selain intensitas cahaya, penggunaan benih yang
bermutu merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan penanaman.
Benih yang bermutu ditentukan oleh kondisi benih dan asal benih. Asal benih
berhubungan dengan faktor genetik dan karakteristik tempat tumbuh populasi
benih (Agung, 2011). Benih sudah hampir tidak ada lagi ditemukan karena
tumbuhannya pun sudah kian langka.

Ketika pohon ulin kian langka, penebang pun beralih pada tunggak tersisa
yang bertahun-tahun tak tersentuh. Sejak 10 tahun lalu para pengepul mencari
tunggak, memotong dengan gergaji mesin, dan mengolahnya menjadi balok.
Sementara itu, banyak tanaman muda tumbuh secara alami dari batang yang sudah
terbelah. Dari tunggak bekas tebangan juga tumbuh tunas baru. Dahulu satu-
satunya anggapan konservasi ulin hanya dengan perbanyakan melalui biji karena
perbanyakan secara vegetatif sulit. Dari tunggak bekas tebangan bakal muncul
belasan tunas. Kini dari tunas yang tumbuh di tunggak itu menjadi harapan agar
ulin tidak punah. Perbanyakan ulin dengan biji memang memungkinkan, tetapi
pasokan biji seret, pasalnya, ulin tak berbuah setiap tahun (Ridha, 2013). Harapan

6

pada populasi ulin untuk mempermudah kelestariannya sementara dengan tunas
yang tumbuh ditunggak.

Pengetahuan responden mengenai populasi tumbuhan ulin sangat
dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana pemahaman responden berkaitan
dengan kebiasaan terutama dalam hal konservasi tumbuhan ulin. Menurut
Notoadmodjo (1993) pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia yang bukan
sekedar menjawab pertanyaan “apa” melainkan akan menjawab “ mengapa” dan
“bagaimana”. Menurut Subiyanto (1998) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
hasil belajar kognitif yang mencakup hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan
dalam ingatan.

Kebiasaan masyarakat memanfaatkan tumbuhan ulin di Kecamatan Kintap
merupakan perilaku warga yang tinggal di kawasan dekat hutan yang tidak peduli
terhadap berkurangnya populasi tumbuhan tersebut. Kebiasaan pemanfaatan ini
sudah terjadi selama bertahun-tahun lamanya. Menurut Woolfolk (19995)
mengemukakan hasil-hasil yang diperoleh dari pembelajaran melalui pengamatan
dalam mewujudkan kebiasaan positif terhadap lingkungan, yakni mengajarkan
perilaku yang baru, mengubah perilaku yang menghambat, memusatkan
perhatian, mendorong perilaku yang telah ada, menimbulkan emosi.

Menyadarkan masyarakat dengan turunnya populasi tumbuhan ulin perlu
diberikan suatu pemberitahuan, untuk mempermudahkan masyarakat agar
menyadari perlu adanya media yang ringkas namun mudah dipahami masyarakat
adalah berupa bahan informasi leaflet. Sejalan dengan Yuni, dkk (2010) media
leaflat merupakan media informasi, yang sederhana, mudah dipahami, sebagai

7

pengingat pesan di mana dapat dibawa dengan belajar mandiri hal ini mendukung
terhadap peningkatan pengetahuan tentang populasi tumbuhan ulin.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilaksanakan penelitian tentang
pengetahuan dan kebiasaan masyarakat terhadap kelangkaan populasi tumbuhan
ulin di Kecamatan Kintap sebagai bahan informasi masyarakat dalam upaya
pelestarian keanekaragaman hayati.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian “ Pengetahuan dan Kebiasaan

Penebang dan Pengepul terhadap Populasi Tumbuhan Ulin di Kecamatan Kintap
Sebagai Bahan Informasi Masyarakat” dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengetahuan dan kebiasaan penebang dan pengepul terhadap

populasi tumbuhan ulin di Kecamatan Kintap ?
2. Bagaimana hasil leaflet yang dibuat dari hasil penelitian pengetahuan dan

kebiasaan penebang dan pengepul terhadap tumbuhan ulin di Kecamatan
Kintap sebagai informasi masyarakat dalam Pelestarian Keanekaragaman
Hayati ?

C. Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka batasan masalah ini dapat

dibatasi sebagai berikut:
1. Responden penelitian adalah masyarakat yang tinggal disekitar lingkungan

Kecamatan Kintap yang ada hubungannya dengan kegiatan tentang dengan
penebang ulin dan pengepul ulin sekitar Kecamatan Kintap.

8

2. Lokasi penelitian dilaksanakan di lingkungan Kecamatan Kintap.
3. Pengetahuan adalah pengetahuan penebang dan pengepul tentang populasi

tumbuhan ulin di Kecamatan Kintap.
4. Kebiasaan masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebiasaan

penebang dan Pengepul yang tinggal di Kecamatan Kintap yang ada kaitannya
dengan kelangkaan populasi tumbuhan Ulin di Kecamatan Kintap.
5. Kualitas bahan informasi masyarakat berupa leaflet diukur berdasarkan aspek
materi dan aspek penyajian.

D. Variabel penelitian

Ruang lingkup variabel bebas (variabel eksogen) dalam penelitian pola

hubungan antar-variabel adalah pengetahuan. Variabel terikat (variabel endogen)

adalah kebiasaan penebang dan Pengepul di Kecamatan Kintap yang terkait

dengan populasi tumbuhan ulin di Kecamatan Kintap. Responden dalam

penelitian ini adalah penebang dan pengepul yang tinggal di Kecamatan Kintap.

Penjabaran variabel-variabel yang diteliti, indikator empiris, instrumen yang

digunakan, dan jenis data seperti pada Tabel 1.1

Tabel 1.1Penjabaran Variabel, Subvariabel, Indikator Empiris, dan Jenis

Data dari Variabel-variabel Penelitian Masyarakat di Kecamatan

Kintap Kecamatan Kintap.

Variabel Subvariabel Indikator empiris Instrumen Pertanyaan
Pengetahuan Pengetahuan 1. Perkembangbiakan Kuesioner 1, 2, 3
penebang tentang 4, 5, 6, 7, 8
tumbuhan ulin Tumbuhan ulin 9, 10
2. Pertumbuhan 11, 12
13, 14, 15
Tumbuhan Ulin. 16, 17, 18
3. Pemanfaatan

tumbuhan ulin
4. Distribusi

Tumbuhan Ulin
5. Konservasi

Tumbuhan Ulin
6. Peraturan

9

Variabel Subvariabel Indikator empiris Instrumen Pertanyaan
Kebiasaan Tumbuhan Ulin
1, 2, 3
Pengetahuan 1. Perkembangbiakan 4, 5, 6, 7, 8
Pengepul tentang Tumbuhan ulin 9, 10
tumbuhan ulin. 11, 12
2. Pertumbuhan 14, 15
Tumbuhan Ulin. 16, 17, 18
1, 2, 3, 4, 5
3. Pemanfaatan
tumbuhan ulin 6

4. Distribusi 1, 2, 3
Tumbuhan Ulin
4
5. Konservasi
Tumbuhan Ulin

6. Peraturan
Tumbuhan ulin

Kebiasaan sehari- 1. Kegiatan Kuesioner

hari masyarakat penebangan

penebang Tumbuhan Ulin

terhadap 2. Pelestarian

tumbuhan ulin Tumbuhan Ulin

Kebiasaan sehari- 1. Kegiatan
hari masyarakat Pengepulan kayu
Pengepul ulin
terhadap
tumbuhan ulin 2. Pelestarian
Tumbuhan ulin

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan batasan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian

ini bertujuan untuk:
1. Mendiskripsikan pengetahuan dan kebiasaan penebang dan Pengepul terhadap

populasi tumbuhan ulin di Kecamatan Kintap.
2. Menghasilkan bahan informasi masyarakat yang dibuat dari hasil penelitian

pengetahuan dan kebiasaan penebang dan pengepul terhadap tumbuhan ulin di
Kecamatan Kintap berupa leaflet.

10

F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah berikut:

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah Kecamatan Kintap, khususnya
berkaitan dengan peningkatan pengetahuan tentang tumbuhan ulin.

2. Sebagai bahan informasi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan
tentang pola hubungan antara pengetahuan dan kebiasaan masyarakat terhadap
kelangkaan tumbuhan ulin di Kecamatan Kintap.

3. Sebagai bahan pengetahuan peneliti mengenai hubungan antara pengetahuan
dan kebiasaan masyarakat terhadap kelangkaan tumbuhan ulin di Kintap.

4. Memberi masukan pada materi pelajaran Biologi tentang populasi tumbuhan
ulin.

G. Definisi Istilah
1. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, hal ini terjadi setelah seseorang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
2. Kebiasaan masyarakat dengan populasi tubuhan ulin merupakan

kecendrungan perilaku untuk mengulang tindakan sebagai isyarat berbuat
untuk melakukan sesuatu sehingga menjadi konteks yang setabil.
3. Bahan ajar Leaflet ialah bahan cetak tertulis berupa lembaran yang dilipat tapi
tidak dijahit, agar terlihat menarik leaflet didesain secara cermat dilengkapi
dengan ilustrasi dan menggunakan bahasa yang sederhana, singkat, dan
mudah dipahami.


Click to View FlipBook Version