NASKAH PERANG BUBAT Projek P5 Kelas 10E TOKOH : Affandi Syawal Yasri – Prabu Hayam Wuruk Syifa Alifia – Dyah Pitaloka Citraresmi Muhammad Iskandarsyah – Gadjah Mada Raffi Zahran – Prabu Linggabuana Khaisyah Safiiqah Andani – Sri Sudewi Nai’llah Adzra Tsany Fadillah – Nertaja Ghaizan Nur Isnaini – Niskala Iksal – Mangkubumi Banisora Ramaputra Penta Wibowo – Sungging Prabangkara (Pelukis) Muhammad Hamid – Prajurit 1 Muhammad Andra Ramadhan – Prajurit 2 Revayanti – Penari Kerajaan 1 Keyzha Rizky Alexander – Penari Kerajaan 2 KETERANGAN : SCENE Suasana. Aksi/Act yang dilakukan tokoh. Nama Tokoh (cara penyampaian dialog) Dyah Pitaloka – Hayam Wuruk - Gadjah Mada – Nertaja - Linggabuana “Dialog.”
SCENE 1 – ‘Sinopsis’. Seorang guru sedang menjelaskan pelajaran sejarah kerajaan majapahit di kelas 10E. Guru : "Sebelum Ibu menjelaskan materi tentang kerajaan Majapahit, ibu ingin bertanya, sebelumnya ada yang tahu mitos tentang suku Jawa dan suku Sunda yang dilarang menikah?" Salah satu siswi perempuan mengacungkan tangannya lalu bangkit dari kursinya. Siswi : "Saya tahu Bu! mitos itu muncul karena adanya Perang Bubat!" Guru : "Benar sekali, pada zaman kepemerintahan Prabu Hayam Wuruk terjadi sebuah perang yang mengakibatkan Kerajaan Majapahit bermusuhan dengan Kerajaan Galuh dari Suku Sunda" Kemudian ada satu siswa yang mengacungkan tangannya untuk bertanya. Siswa : "Kenapa perang Bubat bisa terjadi Bu?” Guru : "Pertanyaan yang bagus, jadi pada saat itu raja Hayam Wuruk sedang mencari permaisurinya, ia tertarik dengan lukisan yang dibuat oleh Sungging Prabangkara yaitu lukisan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Sunda. Pernikahan pun dilaksanakan di istana Majapahit, tetapi pada saat rombongan Kerajaan Galuh datang, mereka dicegat oleh pasukan Gadjah Mada di daerah Bubat. Gajah Mada merendahkan kerajaan Galuh dengan menyebut Dyah Pitaloka sebagai upeti dari kerajaan Galuh untuk Kerajaan Majapahit. Prabu Linggabuana yang merupakan seorang raja kerajaan Galuh pada saat itu tidak terima direndahkan seperti itu dan terjadilah perang bubat yang mengakibatkan Raja dan Ratu Galuh mati termasuk Dyah Pitaloka Citraresmi yang memilih mengakhiri hidupnya. Sejak peristiwa itu kerajaan Galuh memerintahkan warganya untuk tidak menikah dengan kerajaan Majapahit atau suku Jawa" Seorang murid laki-laki bernama Affandi mengerutkan keningnya. SCENE 2 – Awal Mula. Jam pulang sekolah tiba, Affandi berjalan meninggalkan perkarangan sekolah. Di tengah perjalanannya tiba-tiba Affandi dihampiri oleh karib dekatnya,bernama Raffi. Raffi : "Wey bro! Kita hari ini jadi main PS bareng kagak?" Affandi : "Jadi dong! lo balik dulu aja, sore baru ke rumah gua." Raffi : "Oke cs, duluan yak!” Setelah berpamitan, Raffi pun meninggalkan Affandi.
Affandi memasuki rumahnya, nampaknya kegiatan di sekolah cukup menguras tenaga. Ia menjatuhkan diri ke kursi meja belajarnya, lantas membuka laptop demi melepas penatnya. Tak berselang lama, Affandi mendengar suatu alunan musik. Awalnya ia tidak peduli, namun lama kelamaan suara tersebut semakin keras, seakan mendekatinya. Suara alunan musik gamelan. Affandi sontak melihat kebelakang, kosong. Hal itu berulang terjadi beberapa kali, hingga Affandi mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Lagi-lagi ia mendengar alunan musik itu, namun ia tak menoleh, tak memeriksa ke belakang. Ia membiarkan suara tersebut semakin keras dan semakin mendekatinya. Perlahan-lahan Affandi mulai memejamkan matanya. Tiba-tiba, ia merasa bahwa tubuhnya tertarik ke belakang, cahaya menyelimuti pandangannya. SCENE 3 – Hayam Wuruk. Affandi membuka matanya perlahan lalu ia melihat sekelilingnya yang dipenuhi dengan dekorasi mewah serta kuno. Tempat ini jelas bukanlah ruang tamu yang ia tiduri tadi, dan bukan juga rumahnya. Affandi melihat dirinya sendiri sedang memakai baju adat Jawa kerajaan yang mewah. Ia sungguh bingung dengan apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dengan tubuh gagah memasuki ruangannya lalu berlutut di hadapannya. Gadjah Mada : "Ngapunten Gusti prabu." "Apa ini? Shooting film?” batinnya. Gadjah Mada : "Pelukis dhawuh paduka sampun kula gawa." Air wajah Affandi jelas memancarkan kebingungan. Ia pikir ia tengah bermimpi, ntah apa yang tengah membuat ia kebingungan sekarang. Apa karena kemegahan bangunan serta ‘tahta’ yang tengah ia singgahi, atau justru karena pemuda yang ntah asalnya darimana ini mengajaknya berbahasa Jawa dan memanggilnya dengan sebutan ‘Paduka’. Affandi (kebingungan) : "Sopo kowe?" Gadjah Mada : "Kula Gadjah Mada, paduka" Affandi (kebingungan) : "Hah? Loh sek, Iki ngendi?" Gadjah Mada : "Mesthi iki ing kraton sampeyan, Paduka" Affandi pun terdiam, dahinya terlipat memperhatikan sosok baru dihadapannya.
Gadjah Mada : "Paduka kados dene panjenengan lara lan kedah ngaso" "Nyuwun pengapunten Paduka.” Gadjah Mada pun meninggalkan ruangan raja. Affandi turun dari kursinya menuju cermin yang berada di pojok ruangan. Affandi (kesal) : "Gue ini siapa? ini dimana sih?!” Setelah puas bercermin, ia melihat sekeliling ruangan lalu melihat fotonya berjajar bersama foto raja lainnya. Affandi mengalihkan pandangannya kepada tulisan di foto tersebut. Affandi (membaca tulisan) : "Raja keempat Majapahit, prabu Hayam Wuruk." Affandi mengernyit kaget. Affandi (terkejut) : "Jadi, Gue hayam wuruk?! Ini, di Majapahit?!" "Bentar, ini berarti gue di tahun.. 1357?! Gila, inimah moyang gue masih main layangan.” “Ga ga ga, ini mimpi kan? Tapi kalo bukan? Masa gue pura-pura jadi Hayam Wuruk?!” Affandi kembali melihat refleksi wujudnya di cermin, lantas terdiam. “.. Masa sih, gue, pura-pura jadi Hayam Wuruk..” SCENE 4 – Si Putri Pasundan. Hari setelahnya, Gadjah Mada bersama pelukis dengan membawa sebuah lukisan menghampiri Hayam Wuruk yang sedang duduk di kursi kekuasaannya. Pelukis : "Ngapunten Gusti Prabu." Hayam Wuruk : "Sapa sampeyan?" Gadjah Mada : "Iki pelukis yang paduka perintahkan." Pelukis : "Salam paduka, Nami abdi Sungging Prabangkara seorang pelukis dari kerajaan Galuh." Hayam Wuruk : "Saya ingin melihat lukisannya.”
Pelukis : "Baik paduka." Pelukis itu pun membuka penutup lukisan tersebut. Nampaklah paras cantik sang putri kerajaan Galuh pada lukisan tersebut. Hayam Wuruk terdiam melihat lukisan itu, ia terpesona akan kesempurnaan yang dimiliki si Putri Pasundan. Ditatapnya lamat-lamat setiap inci dari lukisan tersebut, tak ditemukan adanya kekurangan dari parasnya. Hayam Wuruk (penasaran, tertarik) : "Siapakah wanita cantik yang berada di dalam lukisan ini wahai Prabangkara?" Pelukis : "Ini Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Galuh, putri dari Prabu Linggabuana, Paduka." Hayam Wuruk (yakin) : "Perintahkan seseorang untuk mengirim surat lamaran saya kepada kerajaan Galuh!” Gadjah Mada terbelalak matanya, ia tampak senang saat mendengar bahwa Sang Prabu akhirnya memiliki keinginan untuk meminang seorang gadis. Gadjah Mada : "Apik Paduka." Gadjah Mada meninggalkan ruangan. Hayam Wuruk : "Calon permaisuriku pancen ayu tenan.” Pelukis : "Saya sangat senang Prabu melamar putri kami, tolong jaga putri kami seperti paduka menjaga Negeri Majapahit.” Hayam Wuruk (bicara mantap) : "Tenang saja saya akan menjaga calon permaisuriku, apapun yang terjadi." Pelukis : "Berjanjilah pernikahan ini untuk perdamaian bukan peperangan." Hayam Wuruk terdiam, lantas mengangguk. Prabangkara pun bangkit. "Hapunten paduka.” Prabangkara meninggalkan ruangan.
SCENE 5 – Kerajaan Galuh. Wanita dengan paras cantiknya duduk dengan anggun di sebuah pendopo. Tangannya sibuk merajut sebuah wol sembari bersenandung halus. Kemudian seorang dayang menghampiri wanita cantik itu. Dayang : "Hapunten putri Pitaloka menghentikan kegiatan nya lalu mendongakkan kepalanya melihat sang dayang. Dyah Pitaloka : "Aya naon Siti?" Dayang : "Paduka memanggil tuan putri.” Dyah Pitaloka : "di mana Paduka?" Dayang : "Paduka Aya di singgasananya, putri.” Dyah Pitaloka : "Baiklah, hatur nuhun Siti." Dayang : "Sumuhun putri. " Pitaloka pun meninggalkan kegiatan merajutnya lalu bergegas menuju singgasana sang ayah. Sesampainya Pitaloka di sana ia membungkukkan badannya. Dyah Pitaloka : "Hapunten Paduka.” Linggabuana (santai) : "Tong formal teuing atuh." Dyah Pitaloka : "Maaf ayah, Aya naon?" Linggabuana : "Ayah hoyong ngobrol ngeunaan jodoh maneh.” Dyah Pitaloka (heran) : "Jodoh Kuring?" Tanya Pitaloka Linggabuana : "he’eh, Ayah baru saja mendapatkan surat lamaran dari Maharaja Sri Rajasanagara Prabu Hayam Wuruk untuk maneh Pitaloka."
Pitaloka membaca surat lamaran dari Hayam Wuruk. Ketika membacanya, ia tidak bisa menahan senyum malu serta rona merah di pipinya. Dyah Pitaloka (tidak percaya) : "Prabu Hayam Wuruk?" Linggabuana (menggoda putrinya) : "He’euh, budak geulis Pasundan geus dilamar Maharaja Wiltatikta." Dyah Pitaloka (salah tingkah) : "Tong Kitu ayah." Linggabuana (memastikan) : "Jadi, apa kamu menerimanya?" Dyah Pitaloka (percaya diri) : "Iya ayah, Pitaloka menerimanya." SCENE 6 – Kamar Putri. Pitaloka tidak bisa menahan senangnya saat ia mendapat kabar ia akan menikah dengan seorang Prabu Hayam Wuruk yang sudah lama ia kagumi. Siapa yang tidak tahu akan kegagahan seorang Hayam Wuruk di Medan perang, bahkan Majapahit saat ini sudah menguasai setengah dari Nusantara. Pitaloka mengaguminya walaupun ia belum pernah bertemu sosok tersebut, kabar ini sungguh membuatnya kepalang senang. Ia pun membaca surat lamaran sekali lagi. Dyah Pitaloka (salah tingkah) : "Kuring geus dilamar prabu Hayam Wuruk?" Senyumnya semakin mengembang saat ia membayangkan dirinya bersanding mesra dengan Hayam Wuruk. Sebagai keluarga kerajaan, tentunya sudah biasa mereka memiliki begitu banyak dayang-dayang istana. Namun dari sekian banyaknya dayang-dayang, Siti-lah yang menjadi kepercayaan Sang Putri Pasundan. Siti memasuki kamar Pitaloka dengan membawakan secangkir teh. Siti (sopan) : "Hapunten putri, ieu teh nya." Pitaloka langsung menghampiri Siti dan menahan bahunya dengan gembira. Dyah Pitaloka (excited yeah.) : "SITI!" Siti (terkejut) : "Aya naon putri?" Dyah Pitaloka (kegirangan) : "Urang geus dilamar prabu Hayam Wuruk!"
Siti (terkejut, senang) : "Lalaki kasep nu sering diomongkeun putri?!” Dyah Pitaloka (girang) : "IYA!" Siti (ikut berbahagia) : "Wah, selamat nyak! Abdi ogé Bagja ngadangu éta.” Dyah Pitaloka (girang) : "Naha maneh pikirkeun, Manehna ganteng sakumaha anu diomongkeun?” Siti (setuju) : "Tangtosna atuh!” Dyah Pitaloka (kegirangan, salah tingkah, tantrum, reog, dkk) : "Aing gumbira pisan dilamar! KURING BAKAL JADI PERMAISURI WILTATIKTA!" Pitaloka pun mengajak Siti jingkrak-jingkrak bahagia. Siti yang melihat itu pun turut merasa senang sang putri akan menjadi seorang permaisuri sebentar lagi. SCENE 7 – Demi Palapa. Kedua prajurit yang dikirim oleh Hayam Wuruk pun telah kembali ke Wilwatikta. Hayam Wuruk yang mendengar kabar itu segera memanggil keduanya. Prajurit 1 : "Ngapunten Paduka.” Hayam Wuruk : "Bagaimana lamaran nya?" Prajurit 2 : "Iki surat nya." Salah satu dari mereka memberi surat tersebut. Hayam Wuruk pun membaca perlahan surat tersebut, ia tak bisa menahan senyumnya saat membaca kata per kata surat tersebut. Gadjah Mada yang melihat sang raja berseri hanya bisa terdiam sembari mengukir senyuman di bibirnya. Gadjah Mada (sopan) : "Ngapunten Prabu." Hayam Wuruk : "Opo Kuwi?" Gadjah Mada (menyarankan) : "Opo iki dudu kesempatan sing apik?" Hayam Wuruk (bingung) : "Maksudne piye?"
Gadjah Mada (menyarakan, meyakinkan) : "Iki minangka kesempatan sing apik kanggo netepi sumpah palapa." Hayam Wuruk (menolak): "Ora iso.” Gadjah Mada (bersikeras) : "Kula saged ndamel emah-emah puniki dados penyerahan tahta krajan galuh." Hayam Wuruk (membantah) : "Ora iso Patih! aku pengin ningkahan iki murni!" Gadjah Mada (ngeyel) : "Tapi--" Hayam Wuruk (menegaskan) : "Uwes! Ora iso Gadjah Mada!” Gadjah Mada : "Nuwun sewu Paduka.." SCENE 8 – Keberangkatan. Prabu Linggabuana disibukkan dengan persiapan pernikahan Sang Putri. Para warga kerajaan pun ikut meramaikannya. Rombongan kerajaan Galuh akan mengantarkan sang putri menuju tanah Wilwatikta. Niskala (kecewa) : "Naha kuring henteu datang?" Niskala Wastu Kencana yang merupakan sang adik yang masih berusia 9 tahun. Prabu Linggabuana memutuskan untuk tidak mengajak Niskala ke pernikahan kakaknya. Linggabuana (halus) : "Maneh teh masih leutik, teu bisa indit jauh.” Niskala (maksa) : "Urang hoyong ningali teh Pitaloka nikah!" Linggabuana (tegas) : "Maneh teu bisa Niskala." Tiba-tiba ada seorang laki-laki paruh baya menghampiri, ia Mangkubumi Banisora yang merupakan paman Pitaloka. Mangkubumi Banisora (menenangkan) : "Maneh ngan sareng urang di dieu Niskala." Ucap sang paman yang siap untuk menjaga keponakan tampannya itu. Linggabuana : "Tolong jaga ieu budak, salami abdi di Wiltatikta nyak." Mangkubumi Banisora : "Tong hariwang, ieu budak aman sareng abdi"
Ucap Sang paman sembari merangkul Niskala yang masih ngambek. Dyah Pitaloka (sopan) : "Mamang, hatur nuhun parantos ngurus budak bangor ieu." Mangkubumi Banisora (mengingatkan) : "Sami sami, ati ati kasana Pitaloka." Dyah Pitaloka : "He’euh, abdi ninggalkuen heula nyak!" Para rombongan pun pergi meninggalkan tanah Pajajaran mengantarkan sang calon permaisuri Wilwatikta. SCENE 9 – Si Penghianat dan Pembela. Rombongan Padjajaran pun telah tiba di tanah Wilwatikta, tepatnya di daerah bernama Bubat. Rombongan gajah Mada berada tepat di depan mereka dengan senjata senjata nya Gadjah Mada (lantang) : "Serahkan putri pitaloka sebagai upeti atas kekuasaan Majapahit!" Mahapatih gajah mada. Sang Amangkubumi dengan nyali setinggi dewa mengadahkan pedang nya ke arah sang raja Sunda. Dengan angkuh dan dagu terangkat Mada ingin Pitaloka hanya dijadikan sebagai hadiah atas tunduknya Sunda pada kuasa Majapahit. Linggabuana (membantah tegas) : "Aku tidak akan pernah menyerahkan putriku pada rajamu sebagai upeti, Mahapatih Amangkubumi. Putriku lebih berharga dari apapun! dan aku tidak akan pernah membuat kerajaanku tunduk pada kuasa kerajaan rajamu. Harga diri kami bahkan lebih tinggi daripada gelar mu. Sunda adalah Sunda!" Gadjah Mada : "Serahkan tahtamu yang mulia, maka putrimu akan menikah dengan Maharaja Sri Rajasanagara Prabu Hayam Wuruk." Linggabuana (menantang) : "Langkahi mayat saya terlebih dahulu, Gadjah Mada!" "LINDUNGI PUTRI PITALOKA!!! SERANG!" Kedua pasukan tersebut pun saling bertempur melindungi tahta mereka. Pitaloka segera dijauhkan dari tanah perang oleh para dayang. Dyah Pitaloka (memberontak) : "Tidak ayah! Tidak, berhenti! Ayah! Lepaskan! Ayah! Jangan ayah!!" Teriak Pitaloka memberontak sekuat tenaga untuk menghentikan perang tersebut.
Tapi ia tidak bisa berbuat apapun selain menangis dan berteriak karena perang telah terjadi. Kejadian yang menjadi awal mula mimpi buruk antar kedua suku tersebut terjadi begitu dahsyat. Linggabuana akhirnya berhasil menggapai sang mahapatih. Tatapan keduanya bertemu menyiratkan kebencian satu sama lain. Tanpa ragu kedua nya mengadahkan pedang Mereka, namun pedang sang mahapatih lebih dulu menusuk perut sang raja Pajajaran. Linggabuana mencengkram bahu gajah Mada dan pedang nya jatuh ke tanah Linggabuana (sekarat, tegas) : "Gusti ora sare!" Gajah Mada pun kesal dan tanpa ragu menarik pedang nya keluar dari tubuh sang raja. Linggabuana jatuh tersungkur ke tanah dengan darah yang merembes ke baju kebesaran nya Gadjah Mada (sinis) : "Sugeng dalu, paduka." Gajah Mada pun meninggal kan jasad sang raja yang sudah menghembuskan nafas terakhir nya. Pitaloka yang melihat itu berlari dengan sekuat tenaga menghampiri tubuh tak berdaya sang ayah. Dyah Pitaloka (histeris) : "TIDAK!! BANGUN AYAH! Aku mohon.. Aku mohon ayah…" Pitaloka pun bangkit dengan gigih lalu ia melihat sekelilingnya yang sudah terpenuhi oleh jasad-jasad prajurit Sunda. Surat lamaran itu, hanyalah kebohongan. Mulai hari ini, Dyah Pitaloka Citraresmi, Sang Putri Pasundan, sangat membenci Sang Maharaja Sri Rajasanagara prabu Hayam Wuruk. SCENE 10 – Kujang Emas. Hayam Wuruk berlari tak tentu arah sembari membawa senjatanya. Jasad para petarung serta genangan darah orang-orang tak bersalah menggenangi usainya perang kala itu. Dilihatnya dengan mata kepala sendiri, calon mertuanya, Sang Prabu Lingga Buana terkepung dan lantas terjatuh bersimpah darah. Teriakan melengking terdengar memecah sunyinya neraka Kerajaan Majapahit. Dyah Pitaloka berdiri ditengah porak poranda kerajaan. Hayam Wuruk (lirih) : “..Putri Dyah Pitaloka, permaisuriku..” Dyah (menangis histerik) : “Berhenti paduka! Jangan mendekat!” Dyah berhadapan langsung dengan Hayam Wuruk. Ia mengangkat dagunya dan menatap Hayam Wuruk.
Dyah (sarkasme, mengancam) : “Paduka Sri Rajasanagara. Ini bukan, yang diimpikan Wiltatikta?” “Suatu pengakuan atas segala kebolehan pasukan kalian yang telah menggugurkan sang Prabu Lingga Buana? Raja Padjajaran yang agung!” “Lantas saya, mengenakan gaun pernikahan ini hanya sekedar menjadi bukti persembahan atas takluknya Negeri Padjajaran di tangan Wiltatikta?! Sungguh se-hina itukah diri ini di matamu, paduka?” Dari balik gaun indahnya, Dyah menarik suatu pisau berbentuk kujang berukuran kecil. Hayam Wuruk (putus asa, lirih) : “Tak ada satupun hal dari dirimu yang hina, Putri..” Hayam Wuruk mendekati Dyah perlahan. “Sesungguhnya saya tidak menginginkan semua ini.” Terulasnya senyuman di bibirnya. Untuk beberapa saat Hayam Wuruk merasakan adanya kehangatan cinta dibalik kalbu keputus-asaan gadis ini. Hasrat dalam dirinya berteriak seakan ingin memeluk sang putri pasundan, lantas merelungnya habis-habisan. Tak terbayang dalam benaknya jika kujang emas di tangan gadis itu merobek kulit cantiknya, bersamaan dengan robeknya semesta milik Sang Raja Wiltatikta. Hayam Wuruk melangkah perlahan, pandangannya was-was memperhatikan kujang yang ada di tangan Dyah. Hayam Wuruk (hangat, menyambut) : “Dyah Pitaloka, Permaisuriku,” - Dyah (lantang, tegas) : “Demi kejayaan Negeri Padjajaran!” Dyah mengangkat kujang ditangannya dan menusuknya tepat di dada kirinya. Teriakan sang Putri Mahkota sempurna meruntuhkan seisi dunia Sang Prabu. Di detik yang bersamaan jiwanya laksana terkubur hidup-hidup bersama ratusan prajurit kerjaan yang tengah berdansa di langit ke-tujuh sang semesta. Hayam Wuruk sekali lagi terpaksa menyaksikan pertumpahan darah dengan mata kepalanya sendiri. Hayam Wuruk (histeris) : “..TIDAK!” Hayam Wuruk melesat dan langsung merengkuh tubuh Dyah Pitaloka. Ia hancur. Sejadi-jadinya ia menangis dihadapan sang Putri Pasundan. Segala penyesalan, rasa kesal, dan dendam, kini merasuki jiwa raga Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk (lirih, menangis) : “..Tidak, bukan ini yang aku inginkan putri..” “Wahai.. permaisuriku yang jelita.. Dyah Pitaloka,” Dyah tersenyum, dengan lemah menyentuh pipi Hayam Wuruk yang basah akan air mata. Dyah (lirih) : “Prabu.. Hayam Wuruk,” Dyah menangis saat membelai pipi Hayam Wuruk. Hayam Wuruk (lirih, menangis terisak) : “Dinda, aku hendak berjanji untuk menuntunmu menuju swargaloka bersama. Tapi apa benar Hyang Agung sungguh merindu padamu hingga engkau harus meninggalkanku? Sekarang dan untuk selamanya..?” Dyah hanya tersenyum. Mungkin ia tengah menerka-nerka apa yang Hayam Wuruk katakan padanya. Pandangannya mulai kabur. Suara lelaki dihadapannya itu seakan semakin menjauhinya. Ia tak lagi mencium bau anyir darah miliknya sendiri. Sang putri menarik satu tarikan nafas panjang, lantas jiwanya menghilang dari pelukan Sang Sri Rajasanagara. Hayam Wuruk memeluk jasad Permaisurinya itu. Tak segan ia menciumi tangan Dyah yang telah berlumuran darah. Hayam Wuruk (berbisik lirih) : “Dinda.. berdansalah engkau bersama para malaikat. Jangan biarkan tangisan lelaki pendosa ini memberatkan langkah kakimu.” “Namun ketahuilah, bahwa tak akan ada wanita se-sempurna apapun yang dapat menggantikan posisimu di dalam hidupku” “, Dyah Pitaloka Citraresmi. Hingga kita dipertemukan kembali di swargaloka, aku mencintaimu, wahai permaisuriku.” SCENE 11 – Renggang. Ekor matanya menangkap sesosok yang ia kenali. Sang Mahapatih Gadjah Mada, berdiri termangu tanpa sepatah katapun. Melontarkan tatapan tak bersalah terhadap Hayam Wuruk. Hayam Wuruk mengecup kening gadis itu, lantas menurunkan Dyah perlahan dari lengannya. Sang insan Wiltatikta bangkit dan menatap lamat-lamat kedua mata mahapatih. Deru dada Hayam Wuruk terus terpacu dengan puluhan kata makian yang bisa saja ia lontarkan pada Sang Mahapatih.
Hayam Wuruk (tegas) : “Aku uwes percaya karep kowe, patih.” “adakah aku ngereh kowe kanggo mimpin pasukan wiltatikta perang nglawan padjajaran, tanpa persetujuanku?!” Namun saat mereka berhadapan satu sama lain, pecah sudah bendungan air mata Hayam Wuruk. Hayam Wuruk (teriakan, isak tangis) : “Jawab aku Patih!” “opo iki kang kowe karepake demi keagungan wiltatikta!?” “KOWE, ngrasa marem dhuwur kabeh pertumpahan getih kang saiki mengotori karajan, patih? jawab!” Gadjah Mada (merendah diri) : “Mohon ampun, Gusti Prabu. Hamba-” Hayam Wuruk (teriakan, isak tangis) : “Permaisuriku, Patih! Dyah Pitaloka Citraresmi.” Hayam Wuruk menggenggam lengan Gadjah Mada erat-erat. Hayam Wuruk (isak tangis) : “Sang Putri Pasundan wis pralaya! Menyang ndi pergine mripat endah milike iku, patih? ora iso maneh ku gegem tangan mungile yang hangat..” “Saiki, kaengah awake kang terbujur kaku, karo kujang kang tertancap ing dhadhane!” “Opo yang harus ku lakukan patih..” Hayam Wuruk terjatuh berlutut dihadapan Mahapatih. SCENE 12 – Pinta dan Janji. Hayam Wuruk meninggalkan kamarnya menuju Bale Manguntur. Ia menemui rombongan utusannya yang telah ia kirim untuk menyampaikan pernyataan maaf sekaligus menghantarkan abu jasad Sang Prabu Lingga Buana dan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi ke tanah Pasundan. Hayam Wuruk : “Silahkan, sampaikan apa hasil dari kunjungan kalian dari Tanah Pasundan.” Prajurit 1 : “Ampun, Gusti Prabu. Sesampainya disana, kami disambut oleh Mangkubumi Banisora, yang mana ialah adik kandung dari Prabu Lingga Buana yang telah pralaya.” Hayam Wuruk : “Apa kalian telah menyerahkan pesan yang ku titipkan?” Prajurit 1 : “Sudah, Gusti Prabu. Mangkubumi Banisora telah membaca dan menerima segala penyataan dan
permohonan maaf yang dituliskan Gusti Prabu mewakili Wiltatikta. Ia berjanji bahwa selama dirinya masih hidup tak akan ada gesekan antara Padjajaran dengan Kerajaan Wiltatikta.” Prajurit 2 : “Hanya saja dengan adanya syarat tertentu, Gusti Prabu. Salah satunya ialah hubungan antara Padjajaran dan Wiltatikta akan terus seperti ini sampai waktu yang tidak di tentukan. Ia percaya bahwa Gusti Prabu tak akan menyerang tanah Pasundan. Dan Mangkubumi Banisora menginginkan tidak diadakannya pernikahan atau bahkan kekerabatan yang dianjurkan oleh Wiltatikta selama Padjajaran masih dalam keadaan berduka.” SCENE 13 – Kembalinya Surya Wiltatikta. Kala itu langit berwana jingga, angin semilir silih berganti menggelitik raga. Nertaja sore itu kedatangan tamu dari kakak kandungnya sendiri, yang mana ialah Prabu Hayam Wuruk. Adiknya itu terheran akan perlakuan kakaknya ini yang tak seperti biasanya. Hayam Wuruk menghampiri Nertaja yang sedang berada di koridor istana. Nertaja : “Mas hayam, ora biyasane sampeyan mrene, ana apa gerangan?” Hayam Wuruk : “Nertaja, pangapurane mas ngganggu. Mas ngerti kowe wis urip bahagia karo Bhre Pajang. Mas mung pengin nakokake apa-apa ning kowe.” Nertaja : “Ana pitakon apa mas hayam? Apa iki isih bersangkutan karo Negeri Pasundan?” Hayam Wuruk : “Ora Nertaja, urusan Wiltatikta karo Padjajaran wis liwat.” “Aku deleng, kowe cukup cedhak karo anak selir saka Pakde Kudu Merta. Apa bener?” Nertaja : “Maksud mas, Sri Sudewi? Hayam Wuruk mengangguk. Nertaja : “Bener mas, Nertaja pancen cedhak karo Sudewi. Nanging, Nertaja rungokake piyambake wis diangkat dadi anak saka dyah wiyat. saengga saiki sudewi dudu anak selir maneh.” Mendengar berita tersebut, senyum terukir di bibir Hayam Wuruk. Hayam Wuruk : “bener kaya iku nertaja?” “Yowes, kawangsul wis pitakon mas. Matur nuwun, Nertaja.” Berselang beberapa lama, akhirnya bangkitlah kembali Sang Surya Wiltatikta yang telah lama terbenam semenjak usainya perang bubat. Berita menggembirakan merambat begitu cepat ke seluruh
rakyat negeri Majapahit. Sang Prabu Hayam Wuruk, yang telah lama menempuh perjalanan tahtanya sendiri, hingga membuat semua orang khawatir akan masa depan Wiltatikta tanpa adanya Permaisuri. Pagi itu, kerajaan Wiltatikta telah mengumumkan. Bahwa Sang Gusti Prabu telah meminang seorang gadis yang lain dan tak bukan, anak dari Kuda Merta dan Dyah Wiyat. Sri Sudewi. SCENE 14 – Pernikahan. Upacara Tukon terlaksana dengan lancar. Satu bulan sudah terlewati setelah terpinangnya Sri Sudewi. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga, hari pernikahan Hayam Wuruk dan Sri Sudewi. Serangkaian prosesi sakral menyempurnakan upacara pernikahan kala itu. Hayam Wuruk dan Sudewi hanya memakai busana gagampang sederhana. Rambut Hayam Wuruk dibiarkan tergerai. Tidak banyak aksesoris yang dipakai Hayam Wuruk kecuali kelat bahu dan kain berbahan sutra dibagian bawah hingga mata kaki, bermotif sulur gringsing yang semakin tampak indah dengan paduan warna merah keemasan. Sedangkan Sudewi sendiri, wajahnya dirias dengan pupur menur (bedak dari bunga melati). Di dahinya diberi hiasan tilaka. Rambutnya digelung kekendon (gelung miring), sedangkan bibirnya yang tipis dengan warna merah muda alami itu dihias tipis dengan lati aruna (lipstick zaman Jawa kuna yang terbuat dari bunga-bungaan berwarna merah kecokelatan). Busana Sudewi pun bercorak dan berwarna sama dengan Hayam Wuruk—yang memang disiapkan khusus oleh macadar (penenun) istana untuk busana pengantin calon raja dan permaisuri Wilwatikta. Keduanya bersimpuh, menunduk dengan tangan yang ditangkupkan di atas kepala. Prosesi pidudukan adalah prosesi penyucian bagi kedua calon mempelai dan penguatan oleh pemuka agama. Setelah prosesi pidudukan selesai, upacara pernikahan dilanjutkan dengan upacara tawur. Kedua calon mempelai berjalan sedikit menjauh dari tempat penyucian. Upacara tawur adalah tabur sesaji untuk kedua calon pengantin. Setelah upacara tawur selesai, Hayam Wuruk dan Sudewi dibantu berdiri oleh kedua abdi mereka untuk menuju ke kediaman masing-masing, sebab setelah ini mereka akan melalui prosesi homayajna yakni pemberkatan pernikahan dari pemuka Siwa dan pemuka Buddha. SCENE 15 – Kidung. Dua minggu terlewati setelah pernikahan Sudewi dengan Prabu Hayam Wuruk. Selama dua minggu pula Hayam Wuruk selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi kediaman istrinya itu, lantas mendekapnya hingga mentari terbit di ufuk timur. Namun, sudah dua hari belakangan Sri Rajasanagara itu tidak kunjung menemui Sang Paduka Sori. Sudewi mulai khawatir dan bertanyatanya mengapa tidak ada kabar mengenai Hayam Wuruk selama 2 hari ini? Hingga Sudewi memberanikan diri untuk menemui langsung suaminya itu di kediamannya. Dyah menyiapkan mangkuk perak berisi manisan. Sudewi berjalan menyusuri lorong menuju kamar tempat Hayam Wuruk biasa singgah. Ketika hendak diketuknya pintu kamar, ia mendengar suara Hayam Wuruk dari balik pintu. Suaranya terdengar mendayu-dayu dengan aura sedih derta kehilangan yang semakin pekat. Gerakan serta langkah Sudewi terhenti ketika ia mendengar lantunan kidung sangat amat menyayat hatinya.
Hayam Wuruk (menghayati, sedih) : “Wahai, Dyah Pitaloka.” “Satu tahun berlalu sejak Hyang Agung merenggutmu dari rengkuhanku.” “Entah bagaimana aku harus menghapus rasa ini,” “nyatanya aku masih disini, menunggu sang Putri Pasundan untuk kembali.” “Wahai.. Dyah Pitaloka, mengapa dirimu membuatku terus terjebak dalam fana?” “Membuatku terus memuja ragamu yang sudah tak berjiwa.” “Dari detik pertama aku meminangmu, dan untuk selamanya,” “Kaulah Sang Permaisuri Wiltatikta.” “Dinda.. Teruslah engkau berdansa dengan para malaikat swargaloka.” “Hingga nanti saatnya t’lah tiba,” “genggamlah tanganku menuju tarian abadimu di alam sana.” Sudewi yang mendengar lantunan kidung tersebut termangu menatap pintu kayu jati yang terpampang di hadapannya. Pintu itu menjadi saksi bisu mengalirnya air mata Sang Paduka Sori. Sudewi menjatuhkan mangkuk peraknya. Suara lantang tersebut terdengar hingga ke telinga Sang Prabu. Bersamaan dengan berdengungnya pendengaran Hayam Wuruk. Sekitarnya terasa hening, tak ada kehidupan. Berselang beberapa detik Hayam Wuruk merasa pandangannya kabur, lantas merasa seakan ada yang menariknya ke belakang. SCENE 16 – Kembali. Tubuhnya terpelanting ke sebuah kursi beroda, lantas terjatuh ke lantai keramik yang keras. Affandi, kembali ke tahun 2023, di rumahnya. Bukan, ia bukan Hayam Wuruk yang kalian saksikan kisahnya beberapa detik yang lalu. Affandi kembali ke dunianya, dunia tempat ia lahir dan tumbuh. Lamunannya buyar dikarenakan suara bell pintu rumah. Affandi terperanjak dan lantas membuka pintu. Raffi (menyapa) : “Eh bro, main PS jadi kan?” TamaT.
EXTENDED CREDIT SCENE – Si ‘Mahapatih’. Affandi masih termangu menatap karipnya itu. Hanya terdiam di ambang pintu tanpa mengucap sepatah katapun. Raffi (kesal) : “Ah, lama lu” Raffi menerobos masuk ke rumah Affandi. Affandi (kaget) : “Eh! Yeeu ga sabaran.” Sewaktu ia hendak menyusul Raffi ke dalam, Affandi mendengar ada suara lelaki yang memanggilnya dari belakang. Affandi menoleh ke arah pagar Saat menoleh, ia mendapati sosok pemulung yang tengah menggendong sebuah karung di punggungnya. Affandi mengerutkan dahi, ia merasa pemulung ini tidak asing. Pemulung itu tersenyum, lantas berkata kepada Affandi. Iskandar : “Gimana?” “Seru Jalan-Jalannya?” … END.