Matahari terlihat di timur sana yang perlahan naik menuju utara. Pukul 6 pagi, sinar matahari masuk menembus tirai kamarnya, membuat barang barang terlihat jelas di dalam sana. Dinding dan lantai berwarna putih tua, pintu kayu yang berwarna kecokelatan, beberapa bolpoin yang berbeda warna tertata rapi di atas lemari putih, terdapat tempat tidur dan meja belajar dengan desain minmalis, dan di salah satu sisi dindingnya terlihat bingkai dengan tulisan ‘Lia’ di bagian dalamnya. Terlihat seorang perempuan terbaring tidur di atas kasur tersebut. Ya, dialah pemilik kamar itu, seorang perempuan yang usianya baru menginjak 16 tahun, ia meduduki kelas 11 di salah satu sma di kota ini. Ia anak yang rajin dan senang membantu orangtuanya di rumah. Uniknya, Lia sangat suka mengkoleksi berbagai pulpen mulai dari A zampai Z. Bahkan jika memungkinkan ia akan mengoleksi pulpen keluaran 1800-an. Pukul 7 pagi, apa yang terjadi. biasanya jam 5 pagi Lia sudah bangun, bergegas merapihkan rumahnya, sarapan, dan berangkat sekolah. Pukul 8 pagi, matahari hampir membentuk sudut 90 derajat. Lia tak kunjung bangun. Napasnya terlihat pelan. Ia masih ada disana. Tapi, tak terlihat sedikitpun tanda tanda jika Lia akan bangun jangankan membuka mata, sejak tadi tubuhnya tak bergerak walau 1 senti. Apa yang terjadi padanya. Bukankah baru kemarin ia bermain basket dengan temannya. Bersenda gurau tanpa ada yang aneh sedikitpun. Apakkah ia sakit. Atau ada sesuatu lain. *** SHOOOOT!!!!!. Yeahhh three point, menang. Aku bersorak kegirangan karena berhasil memenangkan pertandingan 1v1.
meskipun jarang memainkannya, cara bermainku ttidaklah buruk. Lola, teman sekelasku, ia terlihat masygul karena telah kukalahkan. Tapi ia kembali ceria dan langsung mengajakku ke kantin. Sesampainya di kantin kami memesan bakso lantas memilih meja paling belakang, soalnya ada kipas angin. “Lia, kamu kok bisa jago banget main basket?” Lola memulai percakapan. “Kamu tahu, La, sebenarnya pas di perut ibuku, aku sudah latihan basket berkali kali, loh.” Aku mencoba bergurau. “Halah.” “Hehe.” “Oiya Lia, gimana koleksi pulpen kamu, udah berapa banyak?” Aku berusaha mengingatnya. “Sekitar 50 an, tapi kemarin saat aku pulang dari rumahmu aku menemukan sebatang pulpen di taman. Karena aku suka warnanya aku bawa pulang deh.” “Warna nya apa?” Lola bertanya penasaran. “Sebentar” Aku merogoh sakuku mencari sesuatu. Lantas mengeluarkan sebatang pulpen berwarna keemasan dengan corak rumit berwarna putih. “bagus ya warnanya.” Mata Lola berbinar binar. “Betul, meskipun tintanya sudah kering, mungkin masih bisa diisi ulang. 5 menit kemudian. Bakso kami sudah tandas. Sudah jam 4. “Lola aku pulang duluan ya, kamu hari ini ada ekskul, ya?” “Iyaps, dadah Lia.”
Aku melambaikan tangan. Begitupun Lola, melambaikan tangannya ke arahku. Angkot yang biasa kutumpangi sudah datang. Sisa 1 bangku kosong, Segera aku menaikinya. Angkot itu segera membelah keramaian jalan raya. 10 menit kemudian angkot itu berhenti persis di depan rumahku. Aku melambaikan tangan kepada beberapa temanku, yang kebetulan juga naik angkot tersebut. Aku mengetuk pintu dan masuk. “Lia, langsung mandi ganti baju terus makan yaa.” ibuku berteriak dari arah dapur. Sepertinya Mama sedang masak. Aku segera mengiyakan. Aku bergegas ke kamar, tapi aku teringat sesuatu. Aku mau isi ulang pulpen berwarna emas tadi. Sebelum mengisi ulang aku mengetes tinta pulpen itu di kertas kosong. Fantastis, ternyata masih berfungsi. Aku mencobanya lagi membuat satu kalimat. ‘kucing berwarna putih’. Halus sekali, seperti tidak menyentuh kertasnya. Aku mencoba sekali lagi untuk memastikan. ‘Robot emas sebesar 3 meter’. Satu lagi aku juga menulis ‘hilang tanpa jejak’. Ternyata benar benar bisa ditambah pula nyaman sekali dipakai. Baiklah kalau begitu aku tak perlu mengisi ulangnya lagi. Saat aku hendak mengambil handuk tiba tiba saja seekor kucing mengelus kakiku. Sontak saja aku kaget bukan kepalang. Aku tak pernah punya kucing. Sejak kapan kucing ini ada. Aku menoleh ke pintu. Pintunya juga tertutup. Aneh sekali. Sesaat sebelum mengangkat kucing tersebut, hendak mengeluarkannya, aku merasa sesuatu yang ukurannya kecil menghujani kepalaku. Ternyata benar, terlihat kerikil kerikil jatuh ke lantai. Saat aku mendongak. Aku kaget bukan main. Hei mengapa ada robot emas di kamarku, dan, lihatlah kepalanya merusak atap kamarku. Aku perlahan melagkah mundur, mulai mencerna apa yang
terjadi. Jangan jangan, mataku tertuju pada kalimat - kalimat yang kutulis di kertas. Apakah pulpen ini mampu merubah tulisan menjdi asli. Aku melihat ke pulpen emas yang kupegang sejak tadi. Cahaya putih hangat berpendar di ujung pulpen itu. Situasi ini belum seberapa. Sesuatu yang mengerikan telah menungguiku di masa depan. Hanya soal waktu, cepat atau lambat, aku akan bertemu dengannya. Bersambung… \