GAP ANALYSIS
Gap Analysis merupakan suatu metode pengukuran untuk mengetahui kesenjangan (gap) antara kinerja suatu
variabel dengan harapan konsumen terhadap variabel tersebut. Gap Analysis itu sendiri merupakan bagian dari
metode IPA (Importance-Peformance Analysis).
Metode Importance Performance Analysis (IPA) pertama kali diperkenalkan oleh Martilla dan James (1977)
dengan tujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas
produk/jasa yang dikenal pula sebagai quadrant analysis. Importance Performance Analysis digunakan untuk
memetakan hubungan antara kepentingan dengan kinerja dari masing-masing atribut yang ditawarkan dan
kesenjangan antara kinerja dengan harapan dari atribut-atribut tersebut.
IPA mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi tentang faktor-faktor pelayanan yang menurut
konsumen sangat mempengaruhi kepuasan dan loyalitasnya, dan faktor-faktor pelayanan yang menurut
konsumen perlu diperbaiki karena pada saat ini belum memuaskan.
Gap (+) positif akan diperoleh apabila skor persepsi lebih besar dari skor harapan, sedangkan apabila skor
harapan lebih besar daripada skor persepsi akan diperoleh gap (-) negatif. Semakin tinggi skor harapan dan
semakin rendah skor persepsi, berarti gap semakin besar. Apabila total gap positif maka pelanggan dianggap
sangat puas terhadap pelayanan perusahaan tersebut. Sebaliknya bila tidak, gap adalah negatif, maka pelanggan
kurang/tidak puas terhadap pelayanan. Semakin kecil gapnya semakin baik. Biasanya perusahaan dengan
tingkat pelayanan yang baik, akan mempunyai gap yang semakin kecil (Irawan, 2002).
Dalam Importance-Performance Analysis (Analisis Kepentingan-Kinerja) ada 2 perhitungan dalam
mencari gap analysis, yaitu:
Mencari Tingkat Kesesuaian
Dalam metode ini pengukuran tingkat kesesuaian untuk mengetahui seberapa besar pelanggan/konsumen
merasa puas terhadap kinerja perusahaan, dan seberapa pihak penyedia jasa memahami apa yang diinginkan
pelanggan terhadap jasa yang mereka berikan.
Tingkat kesesuaian adalah hasil perbandingan skor persepsi dengan skor yang diharapkan. Tingkat kesesuaian
inilah yang akan menentukan urutan prioritas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan tersebut mulai dari
urutan yang sangat sesuai dengan tidak sesuai.
Terdapat dua hal yang dapat terjadi dalam tingkat kesesuaian :
1. Apabila kinerja (persepsi) di bawah harapan maka pelanggan akan kecewa dan tidak puas (Supranto,
2006).
2. Apabila kinerja (persepsi) sesuai dengan harapan maka pelanggan akan puas, sedangkan bila kinerja
melebihi harapan maka pelanggan akan sangat puas (Supranto, 2006)
Kriteria penilaian tingkat kesesuaian pelanggan :
1. Tingkat kesesuaian nasabah > 100%, berarti kualitas layanan yang diberikan telah melebihi apa yang
dianggap penting oleh pelanggan à Pelayanan sangat memuaskan
2. Tingkat kesesuaian nasabah = 100%, berarti kualitas layanan yang diberikan memenuhi apa yang
dianggap penting oleh pelanggan à Pelayanan telah memuaskan
3. Tingkat kesesuaian < 100% berarti kualitas layanan yang diberikan kurang/tidak memenuhi apa
yang dianggap penting oleh pelanggan à Pelayanan belum memuaskan.
Dalam tingkat kesesuaian < 100% dapat dijelaskan lagi sebagai berikut :
• 0 – 32 % à Mahasiswa Sangat Tidak Puas
• 33 – 65% à Mahasiswa Tidak Puas
• 66 – 99% à Mahasiswa Kurang Puas
Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat kesesuaian adalah:
Dimana:
Analisis kesesuaian dilakukan dengan menghitung tingkat kesesuaian terlebih dahulu, lalu menghitung nilai
rata-rata harapan dan persepsi untuk masing-masing pernyataan (faktor). Faktor-faktor tersebut diperingkatkan
kemudian dikelompokkan menjadi empat bagian kuadran dalam diagram kartesius.
Diagram Kartesius
Diagram kartesius merupakan suatu bangun dibagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang
berpotongan tegak lurus pada titik (X, Y) dimana X merupakan rata-rata tingkat pelaksanaan atau kepuasan
pelanggan seluruh faktor atau atribut dan Y adalah rata-rata dari skor rata-rata tingkat kepentingan atau harapan
seluruh faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Diagram kartesius terbagi menjadi empat kuadran.
Langkah pertama untuk analisis kuadran dalam diagram kartesius adalah menghitung rata-rata penilaian
kepentingan/harapan dan kinerja untuk setiap atribut/pernyataan dengan rumus :
Dimana:
Langkah selanjutnya adalah menghitung rata-rata tingkat kepentingan/harapan dan kinerja untuk keseluruhan
atribut/pernyataan dengan rumus :
Dimana :
Nilai ini memotong tegak lurus pada sumbu horisontal, yakni sumbu yang mencerminkan atribut/pernyataan
kinerja (X) sedangkan nilai memotong tegak lurus pada syumbu vertikal, yakni sumbu yang mencerminkan
atribut/pernyataan kepentingan/harapan, setelah diperoleh bobot kinerja dan kepentingan atribut/pernyataan
serta nilai rata-rata kinerja dan kepentingan atribut/pernyataan, kemudian nilai-nilai tersebut diplotkan ke dalam
diagram kartesius seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Diagram ini terdiri atas empat kuadran (Supranto, 2001):
Kuadran I (Prioritas Utama)
Kuadran ini memuat atribut-atribut/pernyataan yang dianggap penting oleh pengunjung tetapi pada
kenyataannya atribut-atribut/ pernyataan tersebut belum sesuai dengan harapan pelanggan. Tingkat kinerja dari
atribut/pernyataan tersebut lebih rendah daripada tingkat harapan pelanggan terhadap atribut/pernyataan
tersebut. Atribut-atribut/pernyataan yang terdapat dalam kuadran ini harus lebih ditingkatkan lagi kinerjanya
agar dapat memuaskan pelanggan.
Kuadran II (Pertahankan Prestasi)
Atribut-atribut/pernytaan ini memiliki tingkat harapan dan kinerja yang tinggi. Hal ini menunjukan bahwa
atribut/pernyataan tersebut penting dan memiliki kinerja yang tinggi. Dan wajib dipertahankan untuk waktu
selanjutnya karena dianggap sangat penting/diharapkan dan hasilnya sangat memuaskan.
Kuadran III (Prioritas Rendah)
Atribut/pernyataan yang terdapat dalam kuadran ini dianggap kurang penting oleh pelanggan dan pada
kenyataannya kinerjanya tidak terlalu istimewa/biasa saja. Maksudnya atribut-atribut/pernyataan yang terdapat
dalam kuadran ini memiliki tingkat kepentingan/harapan yang rendah dan kinerjanya juga dinilai kurang baik
oleh pelanggan. Perbaikan terhadap atribut/pernyataan yang masuk dalam kuadran ini perlu dipertimbangkan
kembali dengan melihat atribut/pernyataan yang mempunyai pengaruh terhadap manfaat yang dirasakan oleh
pelanggan itu besar atau kecil dan juga untuk mencegah atribut/pernyataan tersebut bergeser ke kuadran I.
Kuadran IV (Berlebihan)
Kuadran ini atribut-atribut/pernyataan ini memiliki tingkat harapan rendah menurut pelanggan akan tetapi
memiliki kinerja yang baik, sehingga dianggap berlebihan oleh pelanggan. Hal ini menunjukan bahwa
atribut/pernyataan yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dinilai berlebihan dalam pelaksanaannya, hal ini
dikarenakan pelanggan menganggap tidak terlalu penting/kurang diharapkan terhadap adanya
atribut/pernyataan tersebut, akan tetapi pelaksanaanya dilakukan dengan baik sekali
Konsep Gap Analysis
Pemerintah Daerah berperan sebagai penyedia layanan publik bagi masyarakat di daerahnya.
Peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik tersebut merupakan tuntutan dari semakin besarnya
kewenangan dan desentralisasi fiskal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Oleh karena itu,
diperlukan pengukuran kinerja Pemerintah Daerah dalam penyediaan layanan publik tersebut.
Gap analysis merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah
Daerah, khususnya dalam upaya penyediaan pelayanan publik. Hasil analisis tersebut dapat menjadi
input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan prioritas anggaran di masa yang akan datang.
Selain itu, gap analysis atau analisis kesenjangan juga merupakan salah satu langkah yang sangat
penting dalam tahapan perencanaan maupun tahapan evaluasi kinerja. Metode ini merupakan salah satu
metode yang umum digunakan dalam pengelolaan manajemen internal suatu lembaga. Secara harafiah
kata “gap” mengindikasikan adanya suatu perbedaan (disparity) antara satu hal dengan hal lainnya.
Gap analysis sering digunakan di bidang manajemen dan menjadi salah satu alat yang digunakan untuk
mengukur kualitas pelayanan (quality of services). Bahkan, pendekatan ini paling sering digunakan di
Amerika Serikat untuk memonitor kualitas pelayanan.
Model yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) ini memiliki lima
gap (kesenjangan), yaitu:
1. kesenjangan antara persepsi manajemen atas ekspektasi konsumen dan ekspektasi konsumen akan
pelayanan yang seharusnya diberikan oleh perusahaan
2. kesenjangan antara persepsi manajemen atas ekspektasi konsumen dan penjabaran persepsi tersebut
menjadi spesifikasi kualitas pelayanan atau standar pelayanan
3. kesenjangan antara standar pelayanan tersebut dan pelayanan yang diberikan
4. kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan informasi eksternal yang diberikan kepada
konsumen atau pelayanan yang dijanjikan kepada konsumen
5. kesenjangan antara tingkat pelayanan yang diharapkan oleh konsumen dengan kinerja pelayanan
aktual.
Kesenjangan 1 sampai kesenjangan 4 merupakan potensi kegagalan di pihak penyedia jasa, sementara
kesenjangan 5 potensial terjadi di pihak konsumen.
Di bidang bisnis dan manajemen, gap analysis diartikan sebagai suatu metode pengukuran bisnis yang
memudahkan perusahaan untuk membandingkan kinerja aktual dengan kinerja potensialnya. Dengan
demikian, perusahaan dapat mengetahui sektor, bidang, atau kinerja yang sebaiknya diperbaiki atau
ditingkatkan. Gap analysis bermanfaat untuk mengetahui kondisi terkini dan tindakan apa yang akan
dilakukan di masa yang akan datang.
Hubungan antara perusahaan sebagai supplier barang dan jasa dengan konsumen yang menggunakan
barang dan jasa tersebut dapat membantu dalam memahami konsep gap analysis. Gap pada Gambar 1
didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan atau keinginan konsumen dengan pelayanan yang
mereka terima.
Gambar 1
Model Expected dan Perceived Service Quality
Sumber: Parasuraman Zeithaml dan Berry (1988).
Boulding et al. (1993) menganalisis kualitas pelayanan dengan menggunakan gap analysis.
Kesenjangan kualitas pelayanan diartikan sebagai kesenjangan antara pelayanan yang seharusnya
diberikan dan persepsi konsumen atas pelayanan aktual yang diberikan. Semakin kecil kesenjangan
tersebut, semakin baik kualitas pelayanan.
Gambar 2
Pengukuran Kinerja
Level
Kinerja
Standar gap
Kinerja Aktual
Waktu
Dari berbagai definisi mengenai gap analysis, dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum, gap analysis
dapat didefinisikan sebagai suatu metode atau alat yang digunakan untuk mengetahui tingkat kinerja suatu
lembaga atau institusi. Dengan kata lain, gap analysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk
mengetahui kinerja dari suatu sistem yang sedang berjalan dengan sistem standar. Dalam kondisi umum,
kinerja suatu institusi dapat tercermin dalam sistem operational maupun strategi yang digunakan oleh institusi
tersebut.
Gap akan bernilai (+) positif bila nilai aktual lebih besar dari nilai target, sebaliknya bernilai (-) negatif
apabila nilai target lebih besar dari nilai aktual. Apabila nilai target semakin besar dan nilai aktual semakin
kecil maka akan diperoleh gap yang semakin melebar. Secara sederhana pengukuran kinerja dengan
menggunakan pendekatan ini digambarkan pada Gambar 2.
Secara singkat, gap analysis bermanfaat untuk:
1. menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja aktual dengan suatu standar kinerja yang
diharapkan.
2. mengetahui peningkatan kinerja yang diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut, dan
3. menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan terkait prioritas waktu dan biaya yang dibutuhkan
untuk memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Gap Analysis dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Gap analysis tidak hanya dapat diterapkan dalam manajemen internal suatu lembaga akan tetapi dapat
juga diterapkan dalam evaluasi kinerja pemerintah daerah. Gap Analysis merupakan pendekatan bottom-
up yang dapat memberikan input berharga bagi Pemerintah Daerah terutama dalam perbaikan dan
peningkatan kinerja pelayanan kepada masyarakat.
Penerapan SPM sangat berkaitan dengan standar pelayanan publik yang diberikan pemerintah pada
Masyarakat. Dalam SPM, gap analysis berfungsi untuk melihat kesenjangan yang terjadi antara kinerja
pelayanan Pemerintah Daerah dengan SPM yang telahditetapkan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka gap analysis dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Semakin kecil gap yang terjadi
antara tingkat kepuasan masyarakat dengan pelayanan pemerintah maka dapat disimpulkan bahwa
pemerintah telah memberikan pelayanan publik yang memenuhi standar. Apabila hasil yang diperoleh
menunjukkan hal yang sebaliknya maka pemerintah harus menetapkan target waktu jangka waktu usaha
peningkatkan kualitas pelayanan.
Kualitas Pelayanan Publik
Kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat menjadi isu yang penting untuk diperhatikan
berkaitan dengan penerapan otonomi daerah. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh
pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah
satu perubahan terdapatnya pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa
bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi
pemerintahan di daerah dituntut dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih
baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hingga saat ini, banyak terdapat terdapat kekurangan dan kelemahan pelayanan publik yang diberikan
antara lain adalah pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur pelayanan yang berbelit-belit, biaya yang
tidak jelas serta terjadinya praktik pungutan liar. Hal tersebut yang merupakan indikator rendahnya
kualitas pelayanan publik di Indonesia.
Selain hal-hal tersebut, terdapat kecenderungan ketidakadilan dalam proses pelayanan publik terhadap
masyarakat miskin. Masyarakat miskin cenderung tidak mempunyai akses terhadap pelayanan publik
meskipun pekayanan publik yang diberikan tersebut tidak dipungut biaya atau gratis. Sebaliknya
masyarakat yang tergolong berada atau mampu mempunyai akses terhadap semua pelayanan publik.
Kesenjangan yang lebar tersebut apabila tidak segera teratasi akan menimbulkan permasalahan dalam
berbangsa dan bernegara.
Terdapat permasalahan lain terkait dengan penyerahan kewenangan kepada daerah. Terdapat
kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah. Hal tersebut berakibat pada ketidakefektifan, ketidakefisienan pelayanan publik,
bahkan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan masyarakat tidak memeiliki responsibilitas,
responsivitas dan tidak representatif sesuai dengan keputusan masyarakat. Contoh yang nyata adalah
kurang memuaskannya pelayanan rumah sakit negeri di bandingkan pelayanan rumah sakit swasta.
Flynn (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara herarkhis
cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.1
Banyaknya penyimpangan yang terjadi tersebut diakibatkan karena paradigma aparatur negara yang
masih menempatkan dirinya pada posisi dilayani bukan melayani. Padahal pemerintah seharusnya pada
posisi melayani bukan dilayani. Untuk memperoleh pelayanan publik yang berkualitas, sepatutnyalah
aparat pemerintah merubah paradigma yang kurang tepat tersebut. Perubahan pola paradigma tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan reformasi paradigma atau penggeseran pola penyelenggaraan
pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang
berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan menggunakan pola tersebut maka
perbaikan pelayan publik dapat dilakukan serta dapat menjamin partisipasi masyarakat dalam
peningkatan kualitas pelayanan publik.
Dalam era otonomi daerah saat ini,pelayanan publik harus menjadi lebih responsif terhadap kepentingan
publik, yaitu pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan
pelanggan (customer-driven government). Pengelolaan customer- driven government mempunyai
beberapa ciri-ciri khusus, antara lain:
1. terfokus pada fungsi pengaturan dengan berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya
kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat,
2. terfokus pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang
tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan publik,
3. Adanya sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat
memperoleh pelayanan yang berkualitas,
4. terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang mempunyai orientasi pada hasil
(outcomes) sesuai dengan masukan,
5. mengutamakan keinginan masyarakat,
6. adanya akses kepada masyarakat serta resposif terhadap pendapat masyarakat,
7. mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan yang diberikan,
8. mengutamakan desentralisasi pelayanan publik,
9. penerapan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Menurut hasil survai yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara umum terdapat peningkatan
kualitas pelayanan publik setelah diberlakukannya otonomi daerah namun, dilihat dari sisi efisiensi dan
efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan.2
Selain itu, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003):
1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada
tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi.
Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau
bahkan diabaikan sama sekali.
2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat
atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat,
sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang
berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu
instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui
proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu
lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front
line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan
masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah
pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
6. Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan
kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya,
pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali
tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama sistem pelayanan publik adalah terletak pada
disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Hal tersebut mengakibatkan pelayanan yang diberikan pehuh dengan birokrasi yang berbelit-belit serta
tidak terkoordinasi. Terdapat beberapa kelemahan mendasar pelayan publik oleh pemerintah antara lain
(Suprijadi, 2004):
1. Kesulitan pengukuran output maupun kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
2. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line”. Bottom line mengandung maksud bahwa
seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut.
3. Organisasi pelayanan publik oleh pemerintah cenderung mengadapi permasalahan internalities.
Hal ini beberbeda dengan permasalahan yang mendera organisasi yang bergerak dengan
mekanisme pasar yang cenderung mengalami permasalahan eksternalities. Internalities.
Mengandung arti bahwa organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan
kepentingan para birokrat terhadap kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayani.
4. Sebab lain yang mendasari kelemahan pelayanan publik adalah karena sebagian besar peleyanan
yang diperikan oleh pemerintah bersifat monopoli yang tidak menghadapi permasalahan
persaingan pasar.
Penerapan Gap Analysis dalam Mengukur Kualitas Layanan Publik
Gap Analysis dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan yang telah dicapai
pemerintah serta untuk mengidentifikasi sektor-sektor yang memerlukan perhatian pemerintah. Dengan
demikian, Pemerintah Daerah dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, menentukan arah
pembangunan di masa datang, dan mengestimasi kebutuhan biaya yang diperlukan untuk mencapai
standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Dalam melakukan gap analysis, terdapat beberapa definisi operasional atau indikator yang dapat
menjadi ukuran yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Dimensi fisik (tangibility) mengacu kepada performa petugas, keadaan sarana dan prasarana dan
output yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari kualitas pelayanan yang dilihat dari sarana fisik
yang kasat mata. Indikator-indikator yang digunakan biasanya adalah sarana parkir, ruang tunggu,
jumlah pegawai, media informasi pengurusan, media informasi keluhan, dan jarak ke tempat
layanan.
2. Dimensi ketepatan (reliability) yang mengacu pada aspek waktu, yang digunakan untuk mengukur
ketepatan proses penyelesaian pekerjaan dengan waktu yang telah ditetapkan. Pelayanan dapat
dilihat dari kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam menyediakan
layanan yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian layanan dan proses waktu pelayanan
keluhan..
3. Dimensi keterlibatan (responsiveness) yang mengacu kepada peran serta, dapat digunakan untuk
mengukur tingkat keterlibatan petugas dalam proses pelayanan terhadap masyarakat.
4. Dimensi keterjaminan (assurance) merupakan kualitas pelayanan dilihat dari sisi kemampuan
petugas dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat. Dimensi yang meliputi kecakapan, keramahan
dan kepercayaan dan keamanan ini dapat digunakan untuk mengukur performa petugas dalam
memberikan rasa percaya dan rasa aman serta kepuasan kepada masyarakat. Adapun indikator-
indikatornya adalah dengan adanya kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai
tarif layanan.
5. Dimensi empati (empathy) yang meliputi kemampuan komunikasi dan ketanggapan dapat digunakan
untuk mengukur sikap dan motivasi petugas dalam memberikan pelayanan. Dimensi ini merupakan
kualitas pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat.
Dalam konteks ini, indikator yang dilihat adalah adanya sopan santun petugas dan bantuan khusus
dari petugas selama proses pelayanan berlangsung.
Cara-cara tersebut di atas harus ditunjang dengan dengan lima aspek utama, yaitu prosedur, persyaratan
pelayanan, sarana dan prasyarana yang dibutuhkan, waktu dan biaya, dan pengaduan keluhan
(Parasurarman et al., 1985). Hal-hal tersebut perlu diperhatikan oleh penyedia pelayanan publik untuk
memperoleh kualitas yang baik.
Bentuk dan Perhitungan Gap Analysis
Terdapat beberapa bentuk gap analysis yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan
pembangunan khususnya pembangunan di daerah. Bentuk gap analysis tersebut berbeda-beda,
tergantung dari penerapan dan fungsinya.
Pemerintah Daerah dapat mengadopsi model lima kesenjangan yang dikembangkan oleh Parasuraman,
Zeithaml dan Berry (1985) dengan melakukan penyesuaian. Dalam konsteks peyediaan layanan publik,
Pemerintah Daerah bertindak sebagai perusahaan, sementara masyarakat adalah konsumen produk
(layanan). Dengan demikian, model kesenjangan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) dimodifikasi
menjadi:
1. kesenjangan antara persepsi Pemerintah Daerah atas ekspektasi masyarakat daerah dan ekspektasi
masyarakat akan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
2. kesenjangan antara persepsi Pemerintah Daerah atas ekspektasi masyarakat daerah dan penjabaran
persepsi tersebut menjadi spesifikasi kualitas pelayanan atau standar pelayanan (dalam hal ini,
Standar Pelayanan Minimal merupakan standar yang paling relefan)
3. kesenjangan antara standar pelayanan tersebut dan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah
4. kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan informasi eksternal atau pelayanan yang
dijanjikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat daerah
5. kesenjangan antara tingkat pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat daerah dengan kinerja
pelayanan aktual yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
Dalam melakukan gap analysis, terdapat beberapa langkah utama yang perlu dilakukan sebagai berikut.
1. Identifikasi komponen pelayanan yang akan dianalisis. Pelayanan yang akan dianalisis dapat berupa
pelayanan secara umum ataupun pelayanan tertentu, misalnya pelayanan di bidang pendidikan atau
kesehatan, atau pelayanan yang lebih spesifik.
2. Penentuan standar pelayanan
Standar pelayanan dapat berupa standar pelayanan formal maupun informal. Standar pelayanan
formal adalah standar pelayanan yang tertulis, jelas, dan dikomunikasikan kepada seluruh staf
pemberi layanan publik. Sementara itu, standar pelayanan informal adalah standar pelayanan tidak
tertulis dan diasumsikan telah dimengerti oleh seluruh staf Pemerintah Daerah (Padmodimuljo,
2003a).
Dalam kaitannya dengan formalitas penyusunan standar pelayanan, terdapat beberapa faktor yang
dapat menyebabkan sulitnya menyusun standar pelayanan. Faktor-faktor tersebut adalah komitmen
Pemerintah Daerah terhadap kualitas pelayanan (commitment to service quality), penentuan tujuan
(goal setting), standarisasi tugas (task standardization), dan persepsi terhadap kelayakan
(perception of feasibility).
Hasil studi Padmodimuljo (2003a) menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi
formalitas penyusunan standar pelayanan adalah goal setting. Oleh karena itu, perlu definisi tujuan
pelayanan umum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah secara terukur, jelas, dan spesifik.
Informasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga penting untuk mencegah adanya persepsi
mengenai tujuan ini sehingga hasil gap analysis tidak memberikan kesimpulan dan arah yang keliru
(misleading).
3. Penyebaran kuesioner atau wawancara terfokus terhadap masyarakat dan Pemerintah Daerah yang
terkait dengan penyediaan pelayanan yang dimaksud.
Isi kuesioner dan wawancara disesuaikan dengan desain gap analysis yang akan dilakukan.
Pertanyaan kuesioner dan wawancara mencakup aspek dan dimensi yang akan diukur. Dimensi
pelayanan yang telah dijelaskan di atas adalah dimensi fisik, dimensi keterlibatan, dimensi
ketepatan, dimensi keterjaminan, dan dimensi empati.
Untuk memudahkan pengukuran secara kuantitatif, maka setiap dimensi yang dinilai diberi skala
atau skor.
4. Analisis Data dengan menggunakan statistik deskriptif
a. Perhitungan rata-rata skor untuk setiap pasangan faktor yang sedang dikalkulasi
kesenjangannya. Sebagai contoh, apabila sedang menghitung kesenjangan antara tingkat
pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat daerah dengan kinerja pelayanan aktual yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka dilakukan perhitungan rata-rata tingkat pelayanan
yang diharapkan oleh masyarakat (expected service) dan perhitungan rata-rata untuk kinerja
pelayanan aktual yang diberikan Pemerintah Daerah atau yang dirasakan oleh masyarakat
(perceived service).
Perhitungan rata-rata skor dilakukan dengan menggunakan formula berikut.
Perhitungan tersebut dilakukan untuk masing-masing dimensi yang telah disebut di atas.
b. Perhitungan Kesenjangan untuk Masing-masing Dimensi
Untuk contoh kasus di atas, kesenjangan untuk setiap dimensi dihitung sebagai:
Kesenjangani (Gi) = Rata-rata expected servicei – Rata-rata perceived servicei (2)
c. Perhitungan Rata-rata Kesenjangan
Untuk mengetahui kesenjangan pelayanan secara umum, maka dilakukan perhitungan rata-rata
kesenjangan G sebagai berikut.
▪ Apabila masing-masing dimensi memiliki tingkat kepentingan yang sama (bobot yang
sama, maka rata-rata kesenjangan dihitung sesuai dengan Persamaan (1) di atas.
▪ Apabila masing-masing dimensi memiliki tingkat kepentingan yang bebeda (bobot yang
berbeda), maka rata-rata kesenjangan dihitung berdasarkan formula rata- rata tertimbang
(weighted average) sebagai berikut.3
d. Analisis Kesenjangan
▪ Apabila G > 0, maka kualitas yang diharapkan masyarakat lebih tinggi daripada kualitas
pelayanan yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah Daerah perlu
meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan publik.
▪ Apabila G < 0, maka kualitas yang diharapkan masyarakat lebih rendah daripada kualitas
pelayanan yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dianggap
telah memberikan pelayanan yang baik.
▪ Apabilia G = 0, maka kualitas yang diharapkan masyarakat sama dengan kualitas
pelayanan yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dianggap
telah memberikan pelayanan yang baik namun tetap perlu ditingkatkan
5. Follow Up
Dengan berdasarkan hasil analisis tersebut, Pemerintah Daerah dapat mengetahui kinerja pelayanan
publik di daerahnya. Selanjutnya Pemerintah Daerah dapat menyusun kebijakan yang diperlukan
untuk menutupi kesenjangan tersebut.
Pemerintah Daerah dapat pula menggunakan hasil Gap Analysis sebagai dasar dalam perumusan
rencana pembangunan di masa mendatang. Sebagai contoh, apabila Pemerintah Daerah memiliki
target untuk menutup kesenjangan tersebut dalam kurun waktu dua tahun, maka hasil analisis tersebut
dapat menjadi dasar alokasi anggaran dan target-target pencapaian jangka pendek, misalnya
penentuan target triwulan. Dengan demikian, secara bertahap Pemerintah Daerah dapat
menghilangkan kesenjangan tersebut, memberikan pelayanan publik yang efektif dan efisien, serta
dapat menjalankan fungsi Pemerintah Daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh Otonomi Daerah.
Contoh Penerapan Gap Analysis
PT. Pos Indonesia (Posindo) dan PT. TASPEN pada tahun 2003 masing-masing menggunakan metode
gap analysis untuk mengetahui kesenjangan antara harapan (ekspektasi) konsumen terhadap kualitas
pelayanan dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh BUMN. Dalam studi tersebut didefinisikan
bahwa apabila kesenjangan bernilai positif maka kualitas pelayanan yang diharapkan oleh konsumen
lebih tinggi daripada pelayanan yang dirasakan oleh konsumen. Sebaliknya, apabila kesenjangan
bernilai negatif, maka penyedia jasa dianggap telah mampu menyediakan pelayanan seperti yang
diharapkan oleh konsumen.
Rata-rata kualitas pelayanan yang diharapkan konsumen PT. POSINDO pada tahun 2003 relatif tinggi
tetapi kualitas pelayanan yang dirasakan ternyata lebih rendah daripada yang diharapkan. Hal ini
mengindikasikan adanya kesenjangan. Kesenjangan yang terbesar terjadi pada dimensi tangible.
Sementara kesenjangan terkecil terjadi pada dimensi empathy. Aspek fisik yang harus diperbaiki adalah
kelengkapan informasi, seperti brosur, papan petunjuk waktu pelayanan dan lain-lain. Kesenjangan
yang cukup besar juga terjadi pada dimensi
1 Tingkat kepentingan setiap dimensi berguna untuk mengetahui aspek pelayanan yang paling penting
bagi masyarakat. Hal ini juga dapat ditanyakan dalam kuesioner. Dengan demikian, pemberian bobot
untuk setiap dimensi akan didasarkan pada ekspektasi konsumen.
reliability yaitu yang terkait dengan waktu pengiriman sampai di tujuan yang sulit diprediksi,
khususnya paket (Padmodimuljo, 2003a).
Sementara itu, kualitas pelayanan yang diberikan PT. TASPEN pada tahun 2003 tergolong baik. Hal ini
terlihat dari skor kualitas pelayanan yang dirasakan konsumen rata-rata 6,2 dari skala 7,00. Sementara
harapan konsumen akan kualitas pelayanan adalah 6,63 atau sedikit di atas pelayanan yang telah mereka
rasakan (Padmodimuljo, 2003b).
Penggunaan Gap Analysis dalam Pengambilan Keputusan di Bidang Pemerintahan Daerah
Lainnya
Pemerintah Daerah dapat menggunakan pendekatan Gap Analysis dalam berbagai bidang pemerintahan
di daerah. Dalam konteks penyediaan pelayanan publik, Pemerintah Daerah dapat menggunakan
pendekatan gap analysis untuk:
1. membandingkan antara rencana dan realisasi,
2. membandingkan realisasi tahun sekarang dengan realisasi tahun lalu,
3. membandingkan dengan organisasi/daerah lain (benchmarking),
Secara sederhana, benchmarking dengan menggunakan Gap Anaysis ini dapat dilakukan misalnya untuk
mengetahui kondisi daerah dibandingkan dengan kondisi daerah tetangga atau rata-rata nasional.
Sebagai contoh, Gap Analysis berguna untuk melihat ketertinggalan suatu daerah dibandingkan rata-rata
nasional dalam hal tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat melek huruf, tingkat kesehatan, tingkat
penyerapan tenaga kerja, dan tingkat harapanhidup.
Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat pula digunakan dalam melakukan Gap Analysis. IPM
merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan
yang menggunakan paradigma "Human Centered Development."
Terdapat tiga parameter yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia, yaitu:
1. derajat kesehatan dan panjangnya umur, yang ditunjukkan oleh angka harapan hidup (life
expectation rate)
2. pendidikan, yang diukur dari angka melek huruf rata-rata dan lamanya sekolah, dan
3. pendapatan, yang diukur dengan daya beli masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United
Nation Development Program (UNDP) telah menerbitkan Human Development Report (HDR)
sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2002 dan 2004. Meskipun data IPM dalam kedua HDR tersebut
kurang up to date, namun Pemerintah Daerah dapat menganalisis data tersebut dengan menggunakan
Gap Analysis. Dengan demikian, daerah dapat mengetahui posisi relatif daerah terhadap rata-rata
nasional maupun terhadap rata-rata regional. Dengan demikian, upaya pelayanan publik pun dapat
diarahkan untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di daerah.
Pendekatan gap analysis juga dapat dimodifikasi untuk melihat kinerja anggaran Pemerintah Daerah.
Dalam konteks ini, standar yang akan ditentukan dapat dikonstruksi dari indikator kinerja penganggaran
Pemerintahan Daerah, yaitu input, output, efisiensi, kualitas, dan outcome.
Hasil gap analysis dapat memberikan rambu-rambu bagi Pemerintah Daerah mengenai usaha yang
harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Lebih jauh, berdasarkan alat ukur
kuantitatif yang dilakukan, Pemerintah Daerah dapat membuat perencanaan yang memenuhi tenggat
waktu yang ditentukan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah dapat membuat kerangka realisasi kinerja
yang didasarkan pada skala tertentu.
Contoh: Evaluasi Pelayanan Puskesmas
Pemerintah Daerah Bekasi melakukan analisis pencapaian kinerja puskesmas dalam menangani pasien
demam berdarah. Variabel yang diukur meliputi jumlah tenaga kesehatan, jumlah tenaga penyuluh, dan
jumlah penderita demam berdarah. Pada tahun 2008, Pemerintah Bekasi memiliki target untuk
mengurangi jumlah penderita demam berdarah sebanyak 50 persen dari jumlah penderita di tahun 2003.
Dengan demikian, Pemerintah Bekasi harus mampu menurunkan jumlah pasien 10 persen per tahun.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tahun 2004 ternyata Bekasi hanya mampu menurunkan
jumlah penderita sebanyak 5 persen dari total penderita di tahun 2003.
Informasi menunjukkan bahwa jumlah penderita demam berdarah pada tahun 2003 sebanyak 100 orang,
sedangkan pada tahun 2004 berkurang menjadi 95 orang. Apabila Pemerintah Bekasi ingin menurunkan
penderita demam berdarah menjadi 50 orang pada tahun 2007, maka gap antara realisasi kinerja
puskesmas dengan target yang ditetapkan sebesar 45 persen untuk diselesaikan dalam jangka waktu
empat tahun.
Berdasarkan perhitungan tersebut, Pemerintah Bekasi dapat melakukan persiapan mengenai realisasi
program kesehatan yang akan dilakukan dalam empat tahun ke depan. Gap analysis ini akan
mempermudah Pemerintah Bekasi dalam merencanakan tahapan program yang realistis