The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penyusunan Dokumen Kajian Ilmiah Pengusulan Geopark Kabupaten Blora Tahun 2023.
Tujuan dari kajian Geopark Kab. Blora menuju Nasional dan Internasional.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by AL EL BAPER (Almari Elektronik Badan Perencanaan), 2024-01-22 20:00:04

GEOPARK 2023

Penyusunan Dokumen Kajian Ilmiah Pengusulan Geopark Kabupaten Blora Tahun 2023.
Tujuan dari kajian Geopark Kab. Blora menuju Nasional dan Internasional.

145 Gambar 4.107 Karakter seismik Gunung Lumpur Kesongo (Burhannudinnur, 2013). Hasil pemodelan untuk sumur semu di Gunung Lumpur Kesongo. Laju sedimentasi Formasi Tawun di gunung lumpur berkisar antara 400 m/juta tahun sampai 700 m/juta tahun. Laju sedimentasi yang relatif tinggi. Gambar 4.108 Pemodelan sejarah pemendaman dan laju sedimentasi 1D pada sumur semu dari gunung lumpur di Gunung Lumpur Kesongo (Kradenan) merujuk sumur GBS-P1 (Burhannudinnur, 2013).


146 4.13.5 Arti Penting Laboratorium alam dan media pembelajaran kuliah lapangan terutama bagi mahasiswa geosains terutama dalam bidang stratigrafi serta struktur. Pada ngoro – oro Kesongo ini didapati produk hasil letusan dari lumpur dalam perut bumi atau yang biasa disebut mud volcano. Lokasi tersebut dapat kita bandingankan dengan lumpur Lapindo yang ada di Sidoarjo tetapi dalam skala dan volume yang lebih kecil. Dari lokasi ini kita dapat mempelajari genetik atau proses terjadinya mud volcano secara detail, karena mud volcano yang ada di daerah tersebut menariknya masih aktif hingga saat ini. 4.13.6 Aksesibilitas Lokasi dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor dari pusat kota Blora maupun Cepu melalui ruas jalan yang dapat dikategorikan baik sampai di desa Gabusan. Memasuki wilayah desa, jalanan mulai sedikit bergelombang namun masih cukup mudah dan layak untuk dilewati kendaraan-kendaraan berukuran sedang. Gambar 4.109 Akses jalan menuju lokasi Oro-Oro Kesongo.


147 Gambar 4.110 Fasilitas penunjang seperti mushola, kamar mandi, dan lahan parkir sudah tersedia. 4.13.7 Foto Gambar 4.111 Kenampakan mud volcano Oro-Oro Kesongo atau biasa disebut Bledug Kesongo dari udara.


148 Gambar 4.112 Kenampakan gryphon yang masih aktif mengeluarkan lumpur. Gambar 4.113 Kondisi di sekitar pusat erupsi mud volcano Oro-Oro Kesongo, banyak ditemukan gryphon-gryphon di sekitarnya.


Gambar 4.114 Montage drone yang menunjukkan kondisi di sekelilintim


149 ng mud volcano Oro-Oro Kesongo dan Anak Kesongo yang terletak di mur.


150 4.14 Situs Ngandong 4.14.1 Pendahuluan Ngandong merupakan nama sebuah Dusun di tepi sungai Bengawan Solo, tepatnya di Kecamatan Kradenan. Letaknya jauh di pedalaman di tengah-tengah hutan jati ini, menjadi dikenal para ilmuwan berkat penemuan fosil-fosil manusia purba. Bermula pada tahun 1931, ketika Ter Haar mengadakan pemetaan di daerah ini, pada suatu lekukan Bengawan Solo menemukan endapan teras yang mengandung fosil-fosil vertebrata. Pada tahun itu juga ia mengadakan penggalian pada salah satu teras yang berada 20 cm di atas aliran sungai sekarang dan menemukan 2 buah atap tengkorak manusia purba. elain fosil tengkorak manusia di Ngandong juga ditemukan sejumlah besar fosil mamalia. Kumpulan fauna mamalianya sangat banyak dan beberapa di antaranya merupakan bukti dari fauna yang pernah hidup di lingkungan vegetasi yang sangat terbuka. Hal ini menggambarkan iklim yang lenih kering atau mungkin lebih dingin dari keadaan sekarang. 4.14.2 Dasar Teori Temuan Ngandong digali bersamaan ribuan fosil vertebrata non-hominin. Hanya satu situs lain di Jawa yang menyaingi Ngandong dalam jumlah besar sisasisa non-hominin yang terjadi bersamaan—penemuan seminal di Trinil—tetapi banyaknya jumlah fosil hominin yang ditemukan di Ngandong unik untuk pulau itu, dan langka untuk kejadian paleoantropologi di mana pun dalam konteks fluvial secara global. Gambar 4.115 Fosil yang dikumpulkan selama penggalian tahun 2010.


151 Gambar 4.116 Lapisan tulang terbuka di fasies A dan C di unit penggalian G09 dari 2010 Gambar 4.117 Foto-foto penggalian tahun 2008 dan 2010 di Ngandong termasuk penemuan fosil. Foto-foto ekskavasi tahun 2008 dan 2010 di Ngandong termasuk penemuan fosil. Penggalian sedang berlangsung di unit penggalian H10a (latar depan) dan H10c (sedang digali) pada tahun 2010 (Huffman dkk., 2010).


152 Munculnya beberapa spesimen Homo erectus dalam satu lapisan tulang akan sangat berharga secara paleoantropologis jika seseorang dapat menerima kesimpulan para penemu bahwa sebagian besar atau semua individu manusia hidup secara bersamaan (misalnya, ter Haar 1934a; von Koenigswald 1956). Ini akan sangat menarik mengingat kepadatan populasi rendah yang biasanya diasumsikan untuk kelompok hominin awal dan kecenderungan proses sedimen fluvial untuk membubarkan, daripada berkonsentrasi, bahan kerangka. Gambar 4.118 Foto hari penemuan Ngandong VI (Ng 7), yang merupakan fosil calvaria. tertanam dalam endapan sungai pasir vulkaniklastik berbutir sangat kasar, dengan napal dan fosil vertebrata (Huffman dkk., 2010).


153 4.14.3 Lokasi dan Kesampaian Gambar 4.119 Lokasi penelitian Pulau Jawa dengan situs H. erectus dan lokasi studi utama di teras sungai Bengawan Solo (Rizal et al., 2020). 4.14.4 Kajian Geologi Penggalian Ngandong menghasilkan penampang komposit dengan lima litofasies yang terdiri dari timbunan teras Ngandong: litofasies ini dapat dikaitkan dengan deskripsi timbunan teras dari penggalian di lokasi pada tahun 1930-an, yang menghasilkan H. erectus calvaria dan tibiae. Semua fosil H. erectus yang ditemukan dalam penggalian asli berasosiasi dengan fasies C (batuan pasir berkerikil). Penggalian menghasilkan 867 fosil non-hominin terdisartikulasi in situ—kebanyakan fragmen gigi dan tulang yang terisolasi, tetapi sebagian besar elemen lengkap juga diamati. Biasanya, fosil-fosil ini terbungkus dalam lensa


154 setebal 10–25 cm dari konglomerat kerikil berlumpur kaya fosil yang disortir dengan buruk yang diendapkan di sungai bermuatan sedimen. Gambar 4.120 Penampang situs Ngandong, menunjukkan konteks stratigrafi dan lokasi sampel (Rizal et al., 2020).


155 Gambar 4.121 Kolom stratigrafi Oppenoorth untuk sikuen pembawa fosil Homo erectus (menurut Oppenoorth 1932b), berdasarkan penelitian lapangannya pada 27 Oktober 1931, ketika dia mengevaluasi keadaan penemuan Ngandong I–III (Ng 1-4) (Huffman et al., 2010) Lihat Tabel 4.2 untuk deskripsi litologi yang sesuai. Kami menyebut Lapisan 2–6 sebagai Formasi Ngandong, mengikuti Marks (1957). Tabel 4.2 Litostratigrafi Oppenoorth pada Penggalian I Ngandong tahun 1931. Nama Unit Deskripsi Litologi Layer 6 Lapisan 6 sangat mirip dengan Lapisan 5, tetapi pada dasarnya terdiri dari potongan bulat dari napal Globigerina yang dicampur dengan komponen tufaan. Lapisan ini bergradasi ke atas hingga ke lapisan tanah atas. ~ 1.0m tebal. Layer 5 Lapisan 5 merupakan konglomerat pebble polimiktik, sebagian besar merupakan hasil erosi napal tufaan Tersier (yang mengandung plagioklas, hornblende, dan augit, tetapi tidak memiliki hypersthene, dan mengandung fosil laut, seperti Globigerina), bercampur dengan material vulkaniklastik yang lebih muda (identik dengan lapisan Lapisan 4), termasuk kerikil kecil andesit hipersten dalam matriks kuarsa lepas, plagioklas, augit, hipersten dan kristal hornblende. ~ 1.0m tebal. Layer 4 Lapisan 4 adalah pasir berkerikil, mirip dengan Lapisan 2, dengan kristal lepas kuarsa, plagioklas, hipersten, augit, hornblende hijau dan coklat—


156 semuanya agak membulat, kecuali kristal kuarsa; selain itu, ada kerikil kecil andesit hornblende-augite-hypersthene, tetapi tidak ada dasit, yang merupakan jenis batuan yang ditunjukkan oleh kristal kuarsa di daerah sumber. ~0,30–0,50m tebal. Layer 3 Lapisan 3 adalah marly, batupasir tufaan, terdiri dari kristal lepas dari plagioklas, augit, hipersten, dan hornblende hijau dan coklat dengan kerikil kecil andesit hipersten-augit.4 tebal ~0,16–0,30m. Layer 2 (lapisan Hominin) Lapisan 2, Lapisan bantalan tulang, adalah pasir berkerikil, mengandung semua bahan andesit hipersten dalam bentuk kristal lepas dan kerikil kecil. 4 ~ 0,46m tebal. Layer 1 (local bedrock) Lapisan 1 adalah batuan dasar napal tufaan Tersier akhir dengan banyak foraminifera kecil, seperti Globigerina, Orbulina universa, dan Pulvilulina menardii; kemungkinan besar berumur Pliosen akhir [Formasi Kalibeng dari Datun et al. 1996]. 4.14.5 Arti Penting Catatan penemuan Ngandong lebih kuat daripada yang umumnya diakui dalam era paleoantropologis selama empat dekade terakhir, dan catatan tersebut telah sangat diperkuat dengan penambahan peta, foto, dan catatan penemu yang sebelumnya tidak dipublikasikan yang disajikan di sini. Lima penemuan yang terdokumentasi dengan baik (Ngandong I, II, V, VI, dan VIII (Ng 1, 2, 6, 7, dan 11) itu sendiri sudah cukup untuk menetapkan dengan kuat kredibilitas anggapan para penemu bahwa banyak sisa Homo erectus terkonsentrasi di lapisan tulang basal Formasi Ngandong, yang telah diendapkan pada atau hampir pada waktu yang sama. Oleh karena itu, data asalnya mendukung proposisi bahwa kumpulan Homo erectus (atau setidaknya kelompok yang Most Reliable group) mewakili paleodeme, dan individu-individu tersebut mati bersama selama satu periode bencana katastropik. (Huffman dkk, 2010). Fosil manusia purba yang ditemukan di Ngandong dalam sedimen Undak Sungai berumur sekitar 50 ribu tahun yang lalu (akhir Plistosen Akhir) oleh Sartono (1996) dinamakan Pithecantropus erectus ngandonegensis, Pithecantropus erectus soloensis. Sedangkan fosil manusia yang ditemukan dalam sedimen di Wajak, Tulungagung (Manusia Wajak) dan gua-gua di Pegunungan Selatan Jawa Tengah – Jawa Timur serta daerah lainnya di Indonesia berumur Pleistosen Akhir – Holosen merupakan fosil manusia yang masuk dalam Homo sapiens.


Gambar 4.122 Pola Evolusi Manusia Purba di Pu


157 ulau Jawa (modifikasi dari Zeitoun et al., 2010).


158 4.14.6 Foto Gambar 4.123 Diagram blok yang menunjukkan pengaturan dan kemajuan Penggalian I Ngandong dari waktu ke waktu (Huffman dkk., 2010). Gambar 4.124 (a) Pemandangan udara Ngandong, dibuat dari peta yang tidak dipublikasikan yang diproduksi oleh Geological Survey of the Netherlands Indies, yang menemukan situs tersebut dan mendokumentasikan penggalian 14 spesimen H. erectus. (b) Luas penggalian selama 27 bulan, 1931–1933, termasuk temuan H.


159 erectus. Penggalian tersebut menghasilkan sekitar 25.000 fosil dari endapan teras Ngandong (awalnya disebut sebagai teras 20 m) (Rizal et al., 2020). Gambar 4.125 Teknik ekskavasi situs Ngandong. Buruh menggali di Ngandong (dipindai dari cetakan di album foto pribadi Oppenoorth). Oppenoorth (1932c–g) menerbitkan gambar ini secara luas pada tahun 1932, meninggalkan kesan bahwa Homo erectus digali dalam unit yang tidak jelas yang digali dengan sekop dan cangkul (Huffman et al., 2010). Gambar 4.126 Foto-foto Oppenoorth Oktober 1932 pada lapisan tulang di Ekskavasi I Ngandong (Huffman et al., 2010).


160 Gambar 4.127 Foto-foto Von Koenigswald bulan Juni 1932 tentang penggalian ter Haar di Ngandong VI (Huffman et al., 2010).


161 4.15 Situs Fosil Gajah Purba 4.15.1 Pendahuluan Lokasi ditemukanya gajah purba terletak di tepi sungai Bengawan Solo tepatnya di desa Medalem, Kecamatan Kradenan, kabupaten Blora dengan koordinat X 546128 dan koordinat Y 9207765. Fosil yang ditemukan hampir lengkap pada endapan teras sungai Bengawan Solo. Sejauh ini spesimen fosil gajah yang ditemukan di Indonesia tidaklah lengkap, umumnya hanya berupa tengkorak, gading, gigi-gigi, dan tulang – tulang bagian kerangka yang tidak utuh. Sehingga menjadi kendala utama dalam rekontruksi bentuknya. Penemuan fosil gajah, Elephas hysudrindicus oleh tim peneliti dari Pusat Survei Geologi, Badan Geologi di desa Sunggun, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora ini sangat luar biasa. Fosil yang ditemukan merupakan kerangka satu individu Elephas hysudridicus yang hampir lengkap tertanam dalam salah satu endapan teras Bengawan Solo (Teras Menden) mempunyai arti yang sangat penting dalam dunia ilmu pengetahuan, untuk dapat menjawab berbagai permasalahan tentang keberadaan dan evolusi gajah di Indonesia. Bahkan memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam studi evolusi, termasuk teka teki the missing link, interaksi antara manusia purba, Homo erectus soloensis (Solo Man) dan hewan (fauna) serta berbagai aspek lingkungan secara keseluruhan. Fosil gajah yang ditemukan telah dilakukan rekontruksi dan telah selesai dikerjakan. Hasil rekontruksi tersebut dapat dilihat di Museum Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, dan untuk replikanya dapat dilihat di sekitar kompleks alun-alun Blora. 4.15.2 Dasar Teori Tiga spesies gajah yang hidup saat ini, dua di Afrika dan satu di Asia, merupakan bagian dari satu keluarga secara taksonomi dalam keluarga Elephantidae, yang kemudian menjadi bagian pembentuk orde kerajaan Proboscidea, yang berarti “Pembawa Belalai”. Bukti genetik menunjukkan bahwa nenek moyang Proboscidea telah terpisah dari kelompok Mamalia sekitar 100 juta tahun yang lalu, tetapi bukti fosil dari periode awal ini sangat langka. Fosil tertua yang tersisa dari jenis gajah yang paling awal ditemukan berasal dari Afrika, yang berasal dari endapan lapisan yang berumur Paleogen (sekitar 66 – 56 juta tahun lalu). Sepanjang awal penyebaran pada Kala Paleogen di Afrika,


162 garis keturunan-keturunan gajah pertama berkelana ke Asia Tenggara selama Miosen Awal (Gheerbrant & Tassy, 2009). Kebanyakan dari keragaman gajah pada Kala Miosen pada tingkat family atau subfamily diwariskan dari penyebaran gajah pertama yang terjadi di Afrika sebelum selama Kala Eosen (Shoshani & Tassy, 1996). Di Asia Tenggara, sama halnya dengan di Eurasia (Eropa dan Asia) dan Afrika, keragaman tingkat taksonomi tertinggi (pada tingkat genus) terjadi selama Kala Miosen Akhir, dengan 7 genus di Afrika dan 9 genus di Asia (Shoshani & Tassy, 2005). Gomphotheres dan sebuah cabang dari jenis Tetralophodont gomphotheres, yaitu Stegolophodon, adalah jenis yang paling dominan yang beragam di Asia Tenggara selama Kala Miosen Tengah–Akhir. Salah satu jenis gajah Asia ekslusif lainnya adalah Sinomastodon. Penemuan terkini yang merupakan penemuan transisi antara Stegolophodon dan Stegodon dari Asia Tenggara memperkirakan asal gajah dari Asia untuk genus Stegodon, (Saegusa et al., 2005) yang menjadi genus dominan di Asia Selatan dan Asia Tenggara selama Pliosen hingga Plistosen, bersamaan dengan anggota genus Elephas yang telah berevolusi di Afrika akan tetapi telah bermigrasi ke Asia selama Kala Pliosen (Saegusa, 2001). Bentuk morfologi di Miosen Awal dalam garis keturunan tersebut umumnya berukuran kecil daripada keturunan yang berukuran besar pada Miosen Akhir dan Pliosen. Bertambahnya ukuran tubuh dari jenis keturunan gajah tersebut, mungkin di pengaruhi oleh beberapa faktor: 1. kondisi iklim yang relatif stabil selama Miosen Tengah dimana panas optimum hingga awal jaman es selama Pliosen, hal tersebut didukung teori “K–Selection” (berhubungan dengan kombinasi berbagai jenis spesies yang saling mendukung yang berbeda lingkungan guna kesuksesan terbentuknya kualitas dan jenis cabang keturunan yang baru); 2. kecenderungan pendinginan yang lambat, dari iklim panas optimum selama Miosen Tengah (Morley, 2012), iklim yang lebih dingin mendukung ukuran tubuh menjadi lebih besar (Secord et al., 2012). 3. meningkatnya musim dengan berkembangnya regim musim penghujan (merujuk ke Morley). Peningkatan perubahan musim tahunan


163 memerlukan migrasi tahunan untuk mencari sumber makanan, ukuran tubuh yang lebih besar memungkinkan migrasi yang lebih jauh. 4.15.3 Lokasi dan Kesampaian Lokasi situs berada di Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora dengan koordinat X 546128 dan koordinat Y 9207765. Lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor maupun mobil dengan jarak kurang lebih 27 km di barat daya pusat Kota Tjepu dengan waktu tempuh dapat mencapai 1 jam dikarenakan akses jalan yang tidak terlalu baik. Gambar 4.128 Kesampaian lokasi Situs Fosil Gajah Purba dari Kota Tjepu. 4.15.4 Kajian Geologi dan Geoheritage Endapan Teras Sungai Bengawan Solo Teras adalah rupa bumi dengan permukaan berkemiringan landai, kadangkadang panjang dan sempit dengan salah satu sisinya dibatasi oleh lereng terjal naik dan sisi lainnya oleh lereng terjal menurun (Zuidam, 1985) atau rupa bumi serupa tangga yang membatasi suatu dataran banjir sungai dan mengandung endapan aluvial (Bates & Jackson, 1987). Teras merupakan unsur penting dalam bentang alam, karena dapat mencerminkan penurunan dasar permukaan tempat diendapkannya sedimen yang terkait perubahan iklim dan tektonik (Reading, 2009). Sebaran endapan teras yang terkenal di Pulau Jawa merupakan contoh lain sedimen sungai purba yang ditemukan di sepanjang Bengawan Solo. Distribusinya dipercaya mengikuti aliran sungai purba yang melintasi dua wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, membentuk pola aliran meander pada wilayah perbukitan Kendeng (Gambar 4.129). Meskipun tidak ditemukan bahan galian emas atau intan


164 di dalamnya, endapan teras tersebut dikenal mengandung fosil-fosil yang berguna untuk penelitian palaeontologi dan arkeologi. Zuidam (1985) telah mengenali beberapa unsur di dalam sistem meander Bengawan Solo yang meliputi dataran banjir (flood plain), tanggul (levee), rawa-rawa di belakang tanggul (back swamp), gosong (point bar) yang telah menjadi teras, danau oxbow, dan crevasses splay. Sartono (1976) dalam van den Bergh et al. (2014) membedakan enam fasa formasi teras di sepanjang Bengawan Solo, yaitu: (1) Rambut, berumur Plistosen Awal; (2) Kedungdowo, berumur Plistosen Awal; (3) Getas, berumur Plistosen Tengah; (4) Ngandong, berumur Plistosen Atas; (5) Jipangulu, berumur Holosen Awal; dan (6) Menden, berumur Sub-Resen. Sementara Sidarto dan Morrwood (2004) melalui interpretasi citra satelit (DEM dan Landsat) mengidentifikasi 23 lokasi keberadaan endapan-endapan teras di sepanjang Bengawan Solo, wilayah pegunungan Kendeng (Gambar 4.129) Sartono (1976) serta Sidarto dan Morrwood (2004) mengidentifikasi bahwa formasi-formasi teras Bengawan Solo merupakan endapan-endapan point bar dari suatu sistem sungai meander, dengan masing-masing umur yang berbeda berkisar dari Plistosen Awal hingga Sub-Resen. Teras pada umumnya terdiri atas perlapisan pasir hingga pasir tufaan bersusunan andesitis dan kerakal-kerikil atau konglomerat, yang sebagian di antaranya mengandung fosil-fosil hominid dan vertebrata (Herman, 2011).


165 Gambar 4.129 a) Peta Indeks Wilayah Pegunungan Kendeng b) Sebaran endapan teras Bengawan Solo di sekitar Pegunungan Kendeng (Sidarto & Morrwood, 2004 dalam Herman, 2011). Sistem Sungai Meander Beberapa unsur di dalam sistem meander meliputi dataran banjir (floodplain), tanggul (levee), rawa-rawa belakang tanggul (back swamp), gosong (point bar), danau oxbow dan crevasses splay (Gambar 4.130). Endapan dataran banjir biasanya didominasi oleh endapan suspensi berupa lanau dan lumpur, meskipun kadang-kadang disertai batupasir halus yang diendapkan oleh arus lebih kuat pada saat puncak banjir. Tanggul terbentuk pada saat banjir berarus sedang yang hanya mencapai ketinggian sama dengan tebing sungai. Dengan menurunnya kecepatan arus, maka diendapkanlah sedimen di sepanjang tebing sungai tersebut. Terjadinya banjir berulangulang akan membentuk tanggul yang semakin tinggi terdiri atas endapan sedimen berbutir halus, dan tinggi maksimum yang terjadi mengindikasikan permukaan air maksimum pada saat banjir. Daerah depresi di belakang tanggul ini biasanya merupakan rawa-rawa (back swamp) tempat pengendapan lapisan lanau dan lempung. Endapan gosong terakumulasi pada sisi dalam kelokan sungai, merupakan akumulasi bahan-bahan rombakan hasil erosi sisi


166 luar tebing sungai; dengan tekstur endapan berukuran menghalus ke atas (graded) dan berstruktur silang siur. Pada sungai meander tua, gosong-gosong tersebut dapat terpotong kembali oleh aliran berarus kuat dari banjir selanjutnya. Proses pengikisan mendatar yang berkesinambungan pada kelokan sungai meander dapat menghasilkan pengendapan sedimen di sisi lain dan mengakibatkan putusnya aliran sungai untuk membentuk danau oxbow. Crevasses splays adalah sedimen yang diendapkan ketika air melimpah di sisi kiri dan kanan sungai berupa endapan bertekstur klastika berbutir menghalus ke atas dan berstruktur horizontal ripple cross-bedding (Friedman and Sanders, 1978 dalam Herman, 2011). Gambar 4.130 Sketsa daerah dataran banjir (floodplain) dan endapan-endapan sedimen (modifikasi dari Lemke and Heywood, 2009 dalam Herman, 2011). 4.15.5 Arti Penting Gajah Blora dari Dusun Sunggun Elemen yang paling penting untuk identifikasi kerangka tulang gajah Sunggun adalah bagian terbesar dari tengkorak dan rahang termasuk geraham yang utuh. Elemen–elemen ini adalah alat terbaik untuk menentukan posisi philogenetiknya (silsilah keturunan). Untungnya, kedua tengkorak dan rahang bawah dari kerangka Sunggun memiliki geraham lengkap, yang kebetulan merupakan geraham terakhir yang ke-6 (m6), menunjukkan bahwa individu ini tumbuh sampai dewasa pada saat mati. Meskipun sebagian geraham aus, semua fosil geraham ini lengkap dan tidak memiliki lempeng yang hilang di bagian depan. Namun, bagian posterior geraham masih tertanam dalam rahang, sayangnya tinggi dan panjang total tidak dapat


167 diukur secara langsung. Namun, dengan membuka rahang kiri secara melintang pada retakan yang sudah ada, bagian posterior geraham yang tersembunyi bisa diperiksa tanpa harus menggunakan sinar-X atau CT scan. Sampel enamel untuk analisa isotop karbon dan oksigen stabil juga diambil dari bagian tersembunyi dari molar kiri bawah, untuk menentukan apakah gajah ini browser (pemakan daun), grazer (pemakan rumput), atau pemakan campuran di antara keduanya. Geraham Gajah Purba Sunggun Geraham bawah kiri ke-6 memiliki total lempeng sebanyak 18 buah, dengan sebagian kecil yang tidak lengkap berkembang setengah lempeng pada bagian depan dan belakang terakhirnya, dengan diberi rumus x18x. Pada bagian depan 2 lempeng geraham dan bagian depan setengahnya dalam kondisi aus/terpakai hingga ke dasar dari mahkota gigi, tetapi masih terlihat bentukan dari enamel gigi masih lengkap, mengindikasikan bahwa tidak adanya lempeng yang hilang atau terpakai sebelumnya. Semen gigi menutup sisi bagian dalam (lingual) dan luar (buccal) dari gigi geraham. Total panjang gigi geraham sekitar 403mm diukur dari dasar mahkota gigi. 14 buah lempeng depan tidak terpakai secara progresif ke belakang geraham, lempeng ke-14 memiliki digit lempeng sedikit aus tetapi tidak tersingkap pada lapisan dentinnya. Bagaimanapun, bagian bawah dari lempeng tersebut masih tersembunyi/terlindung oleh tulang sehingga total ketinggian yang aus hanya dapat diperkirakan. Lempeng ke14 gigi geraham tersebut diperkirakan memiliki ketinggian 140mm terhadap perkiraan lebar dasar sebesar 83mm. Hal ini memberikan perkiraan indeks tinggi/lebar (Tinggi x 100/ Lebar) dari 168. Indeks H/W secara gradasi berkurang kebagian belakang dari lempeng yang tidak aus hingga mencapai 154 di bagian paling pinggir lempeng geraham. Ukuran maksimum lebar geraham sekitar 85,4mm dibagian dasar lempeng ke-7. Di belakang lempeng ke-7 lebar satu lempeng secara progresif berhenti, dengan ukuran mencapai 68,4 mm di bagian lempeng ke-18 dan lempeng yang terakhir. Penciutan (menjadi lonjong) di bagian belakang adalah diagnosa untuk m3 dan hal ini sesuai dengan ukuran geraham yang besar. Dengan demikian, kerangka tersebut dapat ditujukan kepada kondisi tubuh gajah yang telah dewasa sempurna, yang dikuatkan


168 oleh hasil observasi yang menunjukkan bahwa semua bagian ujung tulang yang panjang adalah dalam keadaan menyatu. Pengukuran lain yang dicatat adalah frekuensi lempeng geraham (jumlah lempeng dengan jarak setiap 10cm dari panjang, sepanjang dasar mahkota gigi), yaitu 4,6 timbulan (ridges) per 10 cm. Permukaan gigi yang terpakai cekung memiliki panjang 265 mm dan lebar 77 mm. Lempeng– lempeng gigi tersebut yang sedikit aus/terpakai memiliki bentuk seperti segitiga sama sisi. Dengan bertambahnya pemakaian, gigi tiga lipatan permukaan akan menyatu menjadi satu bentuk yang terpakai, dengan bagian tengah ke belakang lempeng menjadi ¾ bagian yang aus/terpakai (Gambar 4.131). Pada penampang sepanjang permukaan gigi geraham ketebalan enamel ‘ET (Enamel Thickness)’ dapat dilihat bervariasi antara 3,1 mm hingga 4,5 mm. Enamel terdiri dari 2 lapisan penyusun dan cukup berkerut, dengan 2 hingga 4,5 lipatan per cm, yang diukur dari permukaan gigi. Amplitudo (bagian ujung atas) tiap lipatan bervariasi antara 1 mm dan 2,5 mm. Morfologi umum geraham (dan tengkorak, lihat dibawah) menunjukkan secara jelas pada genus Elephas.


169 Gambar 4.131 Rahang sebelah kiri dari gajah purba Sunggun (van den Bergh et al., 2014). Tengkorak Gajah Purba Sunggun Gambar tampak depan dan sisi tengkorak Sunggun terlihat pada Gambar 4.132. Sebuah tengkorak dari Tinggang dari koleksi Dubois di Leiden yang pertama di deskripsi oleh Hooijer (Hooijer, 1955) sebagai Elephas hysudrindicus. Tinggang terletak sekitar 13 km arah timur dari lokasi Sunggun, juga kearah utara Antiklinorium Kendeng, walaupun lokasi tepat penemuannya tidak diketahui. Tengkorak ini dicirikan oleh kondisi bagian kening cekung kedalam, rongga hidung yang lebar dan lebih terbuka yang menempati belakang kelopak mata hingga menurun secara lateral kebawah; pada bagian atas tulang alis yang cekung seperti terlihat pada gambar; bagian pelipis yang besar; dan tulang pelipis yang sangat besar dengan bagian rongga yang dalam dan lebar tetapi rongga dengan gading yang sejajar (Hooijer, 1955).


170 Gambar 4.132 Tampak depan dan samping tengkorak gajah Sunggun Elephas hysudrindicus. Warna abu-abu gelap merupakan bagian yang hilang dan telah direkontruksi, bagian abu-abu terang sedikit rusak pada tengkorak aslinya (van den Bergh et al., 2014). Tengkorak gajah purba Sunggun dicirikan dengan: 1. Tengkorak dengan lubang mata sempit daripada pelipis, lubang mata sedikit dibawah lubang hidung; 2. Bagian kening lebih sempit dibanding pada E. maximus tetapi lebih lebar pada E. hysudricus; bagian kening–pelipis lebih menonjol; 3. Lubang hidung terletak dibagian atas dan kedua lubang hidung sangat lebar dan lurus kebawah secara lateral; 4. Lubang dagu sangat lebar dan dalam, dengan lubang gading yang berarah menyebar; 5. Gading yang besar, kuat, melengkung dan sedikit terpilin; bentuk kepala yang datar, sedikit cekung, tidak adanya ceruk pelipis seperti pada E. namadicus.


171 Tengkorak dari Sunggun memiliki rongga hidung yang lebar dan tinggi dan tulang pelipis besar dengan rongga yang biasa terdapat pada Elephas hysudrindicus. Bagian tulang kening sudah runtuh dan hancur, tetapi terlihat cekung seperti pada Elephas hysudrindicus, walaupun sedikit miring. Tengkorak Elephas namadicus sub Benua India dan Myanmar memiliki ciri bukaan menggantung sepanjang tulang kening hingga tulang pelipis, sementara bagian kontraksi temporal sedikit berkembang daripada tengkorak dari Sunggun. Lebih dari itu semua, baik pada tengkorak jantan dan betina Elephas namadicus (Hooijer, 1955) mempunyai soket (bukaan tempat) gading yang lebar dan menjauh satu sama lain dan bagian rongganya dangkal.


172 4.15.6 Foto Gambar 4.133 Kondisi lokasi penelitian (sumber: website Pemkab Blora) Gambar 4.134 Replika gajah purba Sunggun yang dipajang di kompleks Alunalun Blora.


173 Gambar 4.135 proses ekskavasi fosil gajah purba Sunggun. Gambar 4.136 Fosil Elephas hysudrindicus sedang digali dari teras daerah Sunggun (Herman, 2011).


174 4.16 Banyu Geni 4.16.1 Pendahuluan Banyu Geni adalah Suatu wisata alam yang terdapat di Kabupaten Blora bagian selatan yaitu di Dusun Kluwih Desa Pengkoljagong Kecamatan Jati. Banyu Geni merupakan penamaan tempat yang di ambil dari bahasa jawa yaitu banyu berarti air dan geni berarti api, femomena unik yang ditemukan di daerah ini yang secara alami sulit terpikirkan dimana api bisa menyembur dari lubang dan bercampur dengan air tetapi apinya tetap masih menyala dan tidak pernah padam, hal ini tidak terlepas dari proses geologi dan kehadiran gas bumi yang muncul sampai permukaan pada daerah ini, titik kemunculan semburan gas alam ini merupakan bekas sumur minyak tua peninggalan belanda. Semburan air yang mengandung api ini berasal dari rembesan gas metana (yang mengalir dari bawah permukaan bumi melalui zona patahan (Etiope, 2015). Hal ini disebabkan oleh tekanan di dalam bumi lebih besar dari pada tekanan yang ada di permukaan sehingga meyebabkan gas muncul ke permukaan, gas yang muncul secara terus menerus menjadi bahan bakar menyala nya api, sehingga menyebabkan api tidak pernah padam. 4.16.2 Dasar Teori Gas alam muncul kepermukaan karena disebabkan oleh tekanan di dalam bumi lebih besar dari pada tekanan yang ada di. Reservoir adalah Suatu tempat terakumulasinya hidrokarbon (minyak dan gas bumi). Pada umumnya reservoir minyak ataupun gas memiliki karakteristik yang berbeda -beda tergantung dari komposisi, temperatur dan tekanan serta tempat dimana terjadi akumulasi hidrokarbon didalamnya. Batuan reservoir merupakan batuan berpori yang dapat menyimpan dan melewatkan fluida. adanya reservoir sangat tergantung dari permeabilitas dan porositas tekstur batuan. Tekstur batuan sangat dipengaruhi oleh proses sedimentasi dan lingkungan proses pengendapannya. Semakin besar tingkat porositas dan permeabilitasnya maka semakin besar kemungkinan adanya Reservoir minyak dan gas. Proses perpindahan hidrokarbon dari titik satu ke titik lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan pertolongan air maupun tanpa pertolongan air. Proses perpindahan hidrokarbon dari reservoir ke tempat lebih tinggi yang melewati


175 pori-pori batuan atau celah antar batuan disebut migrasi. Kemiringan lapisan secara regional akan mempengaruhi migrasi hidrokarbon. Pada dasarnya ada beberapa sumber penggerak yang membantu proses migrasi hidrokarbon diantaranya tekanan hidrostatik, tenaga potensial, tenaga permukaan fluida dan adanya pembebasan gas terlarut dalam cairan, hal ini menyebabkan air bercampur dengan gas alam di daerah Banyu Geni, air di indikasikan sebagai pendorong gas untuk muncul kepermukaan. Keberadaan Banyu Geni jika di tarik kelurusannya berada dalam satu garis lurus dengan Api abadi Mrapen Desa Manggarmas Kecamatan Godong, Kabupaten Grobongan, Jawa Tengah dan Kayangan Api yang terletak di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur. 4.16.3 Lokasi dan Kesampaian Lokasi wisata berada di yaitu di Dusun Kluwih Desa Pengkoljagong Kecamatan Jati, Kabupaten Blora dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor maupun mobil dengan jarak 45 km ke arah selatan pusat Kota Tjepu dengan waktu tempuh 1 jam 10 menit dengan sepeda motor dan 1 jam 15 menit dengan mobil. Gambar 4.137 Kesampaian lokasi Banyu Geni dari Kota Tjepu.


176 4.16.4 Kajian Geologi Berdasarkan peta geologi lembar Ngawi yang dibuat oleh Datun et al. (1996), secara regional daerah penelitian tersusun atas beberapa formasi batuan. Daerah telitian sendiri menurut peta geologi regional masuk ke Formasi Kerek yang tersusun oleh napal, batulempung, batugamping dan batupasir. Gambar 4.138 Peta geologi daerah penelitian lokasi Geoheritage Banyu Geni menurut (Datun et al., 1996)n Faktor utama pengontrol keluarnya rembesan gas (gas seepage) dari dalam permukaan bumi diantaranya adalah tekanan, permeabilitas, koefisien difusi gas, dan konsentrasi gas (Etiope, 2015).


177 Gambar 4.139 Diagram skematik yang menggambarkan faktor-faktor yang mengontrol keluarnya rembesan gas ke permukaan (Etiope, 2015). Link (1952) adalah salah satu ahli geologi pertama yang menggambarkan hubungan spesifik antara rembesan dan stratigrafi batuan bawah tanah dan geologi struktural. Dia membedakan lima jenis rembesan yakni, 1) homocline seep 2) crushing seep 3) fault/fracture seep 4) unconformity seep 5) intrusion/fault seep. Rembesan tipe 1–2 spesifik ditemui untuk rembesan minyak. Tipe 3-5 lebih merupakan karakteristik rembesan gas, tetapi juga dapat mencakup rembesan minyak. Tipe 5 ditemukan pada umumnya di gunung lumpur (mud volcano).


178 Gambar 4.140 Lima jenis rembesan hidrokarbon yang diusulkan oleh Link (1952) dalam kaitannya dengan setting stratigrafi dan struktural (Etiope, 2015). Api abadi di Chestnut Ridge County Park di New York adalah daya tarik wisata regional, sedangkan rembesan di Pennsylvania hanya diketahui oleh beberapa penduduk terdekat. Sejauh pengetahuan kami, tidak ada rembesan yang pernah dipelajari secara ilmiah meskipun rembesan tersebut mungkin mewakili rembesan gas terbesar saat ini di Cekungan Appalachian yang mendukung api terbuka tanpa pengawasan. Api abadi alami di Taman Chestnut Ridge County tidak hanya menawarkan keindahan yang menakjubkan karena bersinar dari balik tabir air terjun yang mengalir, tetapi gasnya juga menunjukkan komposisi molekul yang unik dan sangat tidak biasa (Etiope et al., 2013).


179 Gambar 4.141 “Api abadi” di balik selubung (cascade) air terjun di Chestnut Ridge County Park di Negara Bagian New York (atas) dan dekat Clariington di Pennsylvania (bawah).


180 Gambar 4.142 Kenampakan semburan gas alam di situs Banyu Geni Pengkoljagong. 4.16.5 Arti Penting Obyek wisata Banyu Geni terdapat di 3 titik semburan gas alam yang yang terdapat di dalam air, yang dapat dijakdikan media pembelajaran kuliah lapangan terutama bagi mahasiswa geosains selain fungsinya sebagai objek geowisata. Pengunjung juga dapat merendamkan kaki di air panasnya, dan juga dapat mengungkap bahwa Kabupaten Blora merupakan rumah petroleum system, atau laboratorium alam tempat terbentuk dan terdapatnya minyak dan gas bumi. Melihat sejarah eksplorasi minyak penting dunia membuktikan secara meyakinkan bahwa rembesan minyak dan gas memberikan petunjuk pertama untuk sebagian besar daerah penghasil minyak. Banyak ladang minyak besar adalah hasil langsung dari pengeboran rembesan. Banyak rembesan adalah hasil penghancuran akumulasi besar reservoir minyak. Dengan mempelajari rembesan dan alasan lokasinya, para ahli geologi dapat melihat banyak "akumulasi jenis minyak" yang tersingkap di muka bumi.


181 4.17 Sungai Braholo 4.17.1 Pendahuluan Formasi Ngrayong yang berumur Miosen Tengah adalah salah satu formasi penting dalam dunia industri migas di Cekungan Jawa Timur Utara karena potensinya dalam menyimpan hidrokarbon. Formasi Ngrayong dapat direpresentasikan dalam bentuk singkapan di Sungai Braholo. Perlapisan batuan pada singkapan tersebut tampak horizontal karena berada pada suatu puncak antiklin bertipe conical. Pada bagian bawah dari singkapan ini dapat ditemukan litologi yang berumur lebih tua dari Formasi Ngrayong yaitu Formasi Tawun. Formasi Ngrayong tersebar mengikuti orientasi sumbu perlipatan. Formasi Ngrayong menempati kemiringan yang relatif besar di bagian sayap antiklin, rerata 25o baik ke sayap utara maupun sayap selatan. Meski demikian, kemiringan perlapisan hingga >35o juga dapat terjadi di bagian sayap lipatan, terutama pada perlapisan batupasir dan batugamping yang menyusun fasies batupasir-grainstone. 4.17.2 Dasar Teori Zona Rembang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara (Northeast Java Basin), yang berkembang di ujung tenggara Sundaland. Sundaland merupakan massa daratan yang terbentuk oleh gabungan berbagai mikrokontinen melalui sejarah subduksi dan kolisi yang panjang semenjak Mesozoikum (Hall & Morley, 2004). Cekungan Jawa Timur Utara diduga terbentuk pada salah satu lempeng mikrokontinen, yaitu Lempeng Argo, yang menyusun Jawa Timur hingga Sulawesi Barat (Hall, 2012; Husein & Nukman, 2015). Cekungan ini terbentuk pada Kala Eosen, sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) pada tataan tepian benua aktif (active margin) (Hall & Morley, 2004), meskipun Husein & Nukman (2015) menginterpretasikan bila pembentukan cekungan ini lebih kepada tipe tepian benua pasif (passive margin). Antiklinorium Rembang dicirikan oleh berbagai antiklin yang bertumpang tindih (superimposed), mengindikasikan kompleksitas deformasi yang dialami oleh daerah tersebut. Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme struktural pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu penyesaran geser (wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting).


182 Husein et al., 2015 melakukan interpretasi model elevasi digital serta pengukuran kedudukan batuan di lembah Sungai Braholo, Blora, mengindikasikan perkembangan lipatan konikal (non-silindris, dimana sumbu lipatannya tidak linear dan ujung dari sumbu lipatannya akan menunjam) Antiklin Braholo yang menunjam ke arah WSW (Gambar 4.143). Formasi Tawun tersingkap sebagai inti lipatan, yang memanjang berarah E-W hingga ke Desa Plantungan, dimana Lapangan Plantungan berada. Kemiringan perlapisan batugamping Tawun relatif landai, disebabkan posisinya yang menempati bagian inti antiklin. Di bagian tengah lipatan, sumbu antiklin membelok ke arah WSW, sebelum kemudian menunjam ke arah barat di ujung baratnya (Gambar 4.143). Gambar 4.143 Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan (bending) yang diakomodir oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya. 4.17.3 Lokasi dan Kesampaian Terletak di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Blora, situs Braholo dapat ditempuh dari Kota Blora dengan kendaraan bermotor dengan jarak 13 km dalam waktu kurang lebih 30 menit perjalanan. Lokasi terletak di koordinat -6.898272, 111.444699.


183 Gambar 4.144 Kesampaian lokasi situs Braholo dari pusat Kota Blora. 4.17.4 Kajian Geologi Di stopsite ini dijumpai singkapan batuan setebal kurang lebih 31 m, dari bawah ke atas tersusun oleh perselang-selingan rudstone, kemudian berubah menjadi batupasir yang tidak karbonatan, semakin ke atas batupasir. Dijumpai singkapan pada bagian hulu sungai dengan urutan batuan yang tersingkap setebal 7 m berupa foraminiferal rudstone yang berubah menjadi batupasir, batulanau dan ditutup oleh batupasir kembali. Singkapan ini diperkirakan masuk ke dalam Formasi Tawun. Di atas Formasi Tawun secara gradasional terendapkan Formasi Ngrayong yang didominasi oleh batupasir kuarsa. Akibat lingkungan pengendapan yang sangat dangkal maka pada batas Formasi Tawun-Ngrayong ini diduga pernah mengalami fase darat sehingga terjadi diagenesis pada batuan-batuan di batas antara kedua formasi ini. Diagenesis terlihat jelas pada batuan karbonat yang menghasilkan batuan karbonat berpori bagus dan yang mengalami sementasi. Beberapa sesar juga dijumpai memotong singkapan batuan pada daerah ini. Petroleum system yang bisa diamati berupa batuan induk, reservoir, seal, dan jalur migrasi.


184 Gambar 4.145 (a) Singkapan di Kali Braholo yang menunjukkan perubahan dari batugamping menjadi batuan silisiklastik dan menjadi batuan mix-silisiklastik


185 sampai batugamping di bagian atasnya. (b) Sumbu antiklin berarah relatif barat – timur di Kali Braholo (kamera menghadap barat) (Husein, 2015). Gambar 4.146 Diagram singkapan Braholo (Husein, 2015)


186 4.17.5 Arti Penting Singakapan Braholo merupakan representasi dari singkapan di formasi Ngrayong yang memiliki lingkungan pasang surut (tidal), fasies yang ditemukan di kedua singkapan menunjukkan perubahan dari fasies supratidal hingga subtidal yang ditunjukkan dari perubahan mudflat ke arah sandflat dan batugamping. Dinamika Formasi Ngrayong ini dapat dianalogikan dengan lingkungan transisi di pantai Banggi yang terletak di pantai Utara pulau Jawa dimana fasies mudflat berkembang di daerah dekat daratan dan berubah menjadi sandflat ke arah lautan dan berubah menjadi karbonat yang menandakan lingkungan laut dangkal yang terbuka. Dinamika yang sama dari singkapan di Formasi Ngrayong dengan pesisir Utara pulau Jawa memberikan informasi yang jelas terhadap persebaran litologi dan potensi yang ada di Formasi Ngrayong (Dhamayanti et al., 2016).


187 BAB 5 HERITAGE LAINYA 5.1 Keanekaragaman Sosial-Budaya (Culture Diversity) 5.1.1 Kesenian Barong Gambar 5.1 Kesenian Barong Kesenian Barong atau lebih dikenal dengan kesenian Barongan merupakan kesenian khas Jawa Tengah. Akan tetapi dari beberapa daerah yang ada di Jawa Tengah Kabupaten Blora lah yang secara kuantitas, keberadaannya lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten lainnya. Seni Barong merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Blora, terutama masyarakat pedesaan. Didalam seni Barong tercermin sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora, seperti sifat: spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran. Barongan dalam kesenian barongan adalah suatu pelengkapan yang dibuat menyerupai Singo Barong atau Singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas. Adapun tokoh Singobarong dalam cerita barongan disebut juga


188 GEMBONG AMIJOYO yang berarti harimau besar yang berkuasa. Kesenian Barongan berbentuk tarian kelompok, yang menirukan keperkasaan gerak seekor Singa Raksasa. Peranan Singo Barong secara totalitas didalam penyajian merupakan tokoh yang sangat dominan, disamping ada beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu: Bujangganong / Pujonggo Anom Joko Lodro / Gendruwo Pasukan berkuda / reog Noyontoko Untub. Selain tokoh tersebut diatas pementasan kesenian barongan juga dilengkapi beberapa perlengkapan yang berfungsi sebagai instrumen musik antara lain: Kendang,Gedhuk, Bonang, Saron, Demung dan Kempul. Seiring dengan perkembangan jaman ada beberapa penambahan instrumen modern yaitu berupa Drum, Terompet, Kendang besar dan Keyboards. Adakalanya dalam beberapa pementasan sering dipadukan dengan kesenian campur sari. Kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dari iring-iringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun / Pujonggo Anom dan Singo Barong. Adapun secara singkat dapat diceritakan sebagai berikut: Prabu Klana Sawandana dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji putri dari Raja Kediri, maka diperintahlah Patih Bujangganong / Pujonggo Anom untuk meminangnya. Keberangkatannya disertai 144 prajurit berkuda yang dipimpin oleh empat orang perwira diantaranya : Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih dan Kuda sangsangan. Sampai di hutan Wengkar rombongan Prajurit Bantarangin dihadang oleh Singo Barong sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang ditugasi menjaga keamanan di perbatasan. Terjadilah perselisihan yang memuncak menjadi peperangan yang sengit. Semua Prajurit dari Bantarangin dapat ditaklukkan oleh Singo Barong, akan tetapi keempat perwiranya dapat lolos dan melapor kepada Sang Adipati Klana Sawandana. Pada saat itu juga ada dua orang Puno Kawan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala bernama Lurah Noyontoko dan Untub juga mempunyai tujuan yang sama yaitu diutus R. Panji untuk melamar Dewi Sekar Taji. Namun setelah sampai dihutan Wengker, Noyontoko dan Untub mendapatkan rintangan dari Singo Barong yang melarang keduanya utuk melanjutkan perjalanan, namun keduanya saling ngotot sehingga terjadilah peperangan. Namun Noyontoko dan Untub merasa kewalahan sehingga


189 mendatangkan saudara sepeguruannya yaitu Joko Lodro dari Kedung Srengenge. Akhirnya Singo Barong dapat ditaklukkan dan dibunuh. Akan tetapi Singo Barong memiliki kesaktian. Meskipun sudah mati asal disumbari ia dapat hidup kembali. Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke R. Panji, kemudian berangkatlah R. Panji dengan rasa marah ingin menghadapi Singo Barong. Pada saat yang hampir bersamaan Adipati Klana Sawendono juga menerima laporan dari Bujangganong ( Pujang Anom ) yang dikalahkan oleh Singo Barong. Dengan rasa amarah Adipati Klana Sawendada mencabut pusaka andalannya, yaitu berupa Pecut Samandiman dan berangkat menuju hutan Wengker untuk membunuh Singo Barong. Setelah sampai di Hutan Wengker dan ketemu dengan Singo Barong, maka tak terhindarkan pertempuran yang sengit antara Adipati Klana Sawendana melawan Singo Barong. Dengan senjata andalannya Adipati Klana Sawendana dapat menaklukkan Singo Barong dengan senjata andalannya yang berupa Pecut Samandiman. Singo Barong kena Pecut Samandiman menjadi lumpuh tak berdaya. Akan tetapi berkat kesaktian Adipati Klana Sawendana kekuatan Singo Barong dapat dipulihkan kembali, dengan syarat Singo Barong mau mengantarkan ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji. Setelah sampai di alun-alun Kediri pasukan tersebut bertemu dengan rombongan Raden Panji yang juga bermaksud untuk meminang Dewi Sekartaji. Perselisihanpun tak terhindarkan, akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji dengan Adipati Klana Sawendano, yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati Klana Sawendana berhasil dibunuh sedangkan Singo Barong yang bermaksud membela Adipati Klana Sawendana dikutuk oleh Raden Panji dan tidak dapat berubah wujud lagi menjadi manusia (Gembong Amijoyo) lagi. Akhrnya Singo Barong Takhluk dan mengabdikan diri kepada Raden Panji, termasuk prajurit berkuda dan Bujangganong dari Kerajaan Bantarangin. Kemudian rombongan yang dipimpin Raden Panji melanjutkan perjalanan guna melamar Dewi Sekartaji. Suasana arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Bujangganong inilah yang menjadi latar belakang keberadaan kesenian Barongan.


190 5.1.2 Seni Tayub Gambar 5.2 Seni Tayub Didalam kelompok seni pertunjukan, tayuban dapat digolongkan tari rakyat tradisional, sifat kerakyatan sangat menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat pedesaan yang umum dijumpai diwilayah Kabupaten Blora, seperti sifat spontanitas, kekeluagaan, kesederhanaan, sedikit kasar, namun penuh rasa humor. Sebagaimana ciri khas tari ini yang sudah memasyarakat, maka Tayuban sudah menyebar hampir seluruh Kabupaten Blora. Seni Tayuban pada umumnya dipentaskan pada upacara adat yaitu sedekah desa, sedekah bumi atau upacara adat lain. Juga pada orang punya kerja, memenuhi nadar, khitanan,perkawinan dan sebagainya.


191 5.1.3 Makan Sunan Pojok Gambar 5.3 Makan Sunan Pojok Makam Sunan Pojok terletak di jantung Kota Blora, tepatnya di sebelah utara Pasar Blora. Lokasi ini diperkirakan merupakan tempat awal pemerintahan Kabupaten Blora. Sehingga dapat digambarkan asal mula Kabupaten Blora. Dari data-data yang diperoleh di lokasi ini, diketahui bahwa Tokoh Sunan Pojok adalah Pangeran Suro Bahu Abdul Rohim, yang sebetulnya adalah seorang Perwira dari Mataram yang berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara Tuban. Sekembalinya dari Tuban di perjalanan ia jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa Pojok (Blora). Oleh putranya, kemudian dipindahkan pada tempat yang sekarang. Makam tersebut sampai saat ini masih dipelihara dan dihormati oleh masyarakat. Berkat jasa Pangeran Pojok, maka putranya yang bernama Java Dipa diangkat sebagai Bupati Blora yang pertama (Dinasti Surobahu Abdul Rohim), setelah wafat digantikan putranya Java Wirya, kemudian Java Kusumo yang keduanya setelah wafat dimakamkan di lokasi makam Pangeran Pojok Kauman. Makam ini sering diziarahi oleh masyarakat banyak pada malam Jum’at Pon. Sedangkan Khoulnya diadakan pada bulan Suro. Dimana saat perayaan Khoul dihadiri peziarah dari berbagai wilayah Blora dan luar wilayah Blora


192 5.1.4 Situs Sunggun Gambar 5.4 Situs Sunggun Penelitian lapangan yang dilakukan di bekas galian pasir di Dusun Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan pada tahun 2006, diperoleh indikasi adanya fosil vertebrata. Selanjutnya pada penelitian tahun 2009, tepatnya 23 Maret 2009 dilakukan penggalian uji (test pit) di lokasi tersebut, yang ternyata ditemukan kerangka seekor individu gajah hampir lengkap (90%). Temuan ini termasuk penemuan spektakuler, karena sejak dimulainya penelitian fosil vertebrata di Indonesia (Jawa) sekitar tahun 1850-an, baru sekarang ini ditemukan satu individu lengkap fosil gajah. Dari berbagai tulang belulang yang diperoleh, dapat dipastikan bahwa gajah ini termasuk dalam genus Elephas, sedangkan jenis atau spesiesnya diduga termasuk Elephas Hysudrindicus. Umur kepurbakalaan diperkirakan sekitar 200.000 tahun. Diduga fauna yang ditemukan di Sunggun termasuk jenis fauna Ngandong. Perjalanan penggalian di daerah ini dimulai tahun 1931, saat Ter Haar menemukan lapisan teras/undak Sungai Bengawan Solo. Temuan ini ditindaklanjuti dengan ekskavasi oleh Jawatan Geologi selama kurun 1931-1933 yang berhasil menemukan lebih dari 40.000 spesimen fosil vertebrata termasuk 11 spesimen tengkorak dan 2 spesimen tulang kaki (tibia) dari manusia.


Click to View FlipBook Version