KEHIDUPAN
POLITIK
DAN
EKONOMI
PADA MASA
ORDE
BARU
Moh. Nizar Asrori
Pengantar
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi
sosial politik di masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah
ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik
terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat situasi politik tidak
stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin
menurun. Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di Jakarta
membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota
antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI. Pimpinan KAMI
berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII). Pemuda dan
mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan yang
terjadi pada masa ini. Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas
Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi dan Sulastomo menjadi
penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera menyelesaikan
kemelut politik yang terjadi.
Sanjungan dan kekaguman telah banyak dilontarkan pada
transformasi perekonomian Indonesia yang berlangsung sejak akhir tahun
1960-an sampai pertengahan tahun 1990-an! Dinamika perekonomian
Indonesia dilihat sebagai keajaiban (miracle), yang kinerjanya cukup
mengesankan, senantiasa dalam keadaan stabil dan mantap, serta
diprediksi akan tetap tumbuh secara berkelanjutan. Dari keadaan yang
begitu buruk pada masa rezim Orde Lama, rezim Orde Baru mulai akhir
dekade 1960-an mampu melakukan pemulihan (recovery) ekonomi secara
luar biasa cepatnya, dan yang pertama-tama terwujud adalah tajamnya
penurunan inflasi dan mulai meningkatnya pertumbuhan (Prawiro, 1998:
33-35). Dalam kaitannya dengan penanganan inflasi di sekitar tahun 1966-
Page | i
1968, Indonesia memperoleh julukan sebagai salah satu negara pengendali
inflasi paling efektif di abad ke 20 (Hill, 1996: 4).
Setelah lebih dari satu dasa warsa melaksanakan pembangunan
ekonomi, Indonesia kemudian dikategorikan sebagai salah satu kisah
sukses dari sejumlah negara Asia dalam pertumbuhan ekonominya. Dan
pada awal tahun 1990-an, keberhasilan dalam memacu pertumbuhan
ekonomi yang tinggi menjadikan Indonesia diklasifikasikan di antara
kelompok negara berkembang yang segera akan menjadi negara industri
baru (newly industrialized country), mengikuti jejak negara-negara di
Asia lainnya, seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Hongkong
(Hill, 1996: 5). Namun tiga puluh tahun kemudian, kelangsungan
pertumbuhan ekonomi Indonesia itu mulai mengalami krisis dan stagnasi
dan bahkan menuju ke kebangkrutan. Letupan awalnya adalah terjadinya
depresiasi, menurunnya kurs rupiah atas mata uang asing, Jadi
permasalahan pertamanya bersangkut-paut dengan krisis moneter. Tetapi
krisis keuangan ini tidak bisa direm, sepertinya meluncur bebas dan
kemudian meluas ke berbagai sektor ekonomi lain, ke sektor-sektor
industri, jasa, dan pertanian di pedesaan. Dalam waktu yang tidak lama
bidang politik pun terkena imbasannya, Presiden Suharto sebagai
penguasa tertinggi rezim Orde Baru “dijatuhkan” oleh kelompok-
kelompok masyarakat pro demokrasi yang dimotori golongan mahasiswa.
Page | ii
Daftar Isi
Pengantar ............................................................................................................ i
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR ..............................................iv
BAB 1.................................................................................................................. 1
Kebijakan Politik dan Ekonomi pada masa Orde Baru ................................. 1
A. Kebijakan Politik pada masa Orde Baru .............................................. 4
B. Kebijakan Ekonomi pada masa Orde Baru ........................................ 13
Pengayaan........................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 18
Page | iii
KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR
Kompetensi Dasar Indikator
3.5 Menganalisis perkembangan 3.5.1 Menganalisis kebijakan-
kehidupan politik dan ekonomi kebijakan politik pada masa
Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru
Orde Baru 3.5.2 Menganalisis kebijakan-
kebijakan ekonomi pada
masa Orde Baru
3.5.3 Menganalisis dampak
kebijakan-kebijakan politik
pada masa Orde Baru
3.5.4 Menganalisis dampak
kebijakan-kebijakan
ekonomi pada masa Orde
Baru
4.5 Melakukan penelitian 4.5.1 Melaporkan hasil analisis
sederhana tentang dalam bentuk artikel
perkembangan kondisi politik tentang kehidupan politik
dan ekonomi Bangsa Indonesia dan ekonomi pada masa
pada masa Orde Baru dan Orde Baru
menyajikannya dalam bentuk
laporan tertulis.
Page | iv
BAB 1
Kebijakan Politik dan Ekonomi pada masa Orde Baru
Pada tahun 1966, di Indonesia lahir pemerintahan Orde Baru di
bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini
terjadi sebagai reaksi terhadap rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno
dengan Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakomnya yang telah
digoyang oleh antagonisme politik, kekacauan sosial dan krisis ekonomi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Orde Baru,
rezim yang lahir sebagai reaksi terhadap rezim sebelumnya, maka
kebijakannya tentu
bertolak belakang dengan
kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintahan
sebelumnya. Kalau pada
masa Orde Lama wacana
dan gerakan politik
begitu dominan dalam
percaturan nasional, maka sebaliknya, Orde Baru tampil dengan
slogannya politik no, ekonomi yes. Oleh karenanya, pemerintahan Orde
Baru menciptakan counters ideas (pemikiran-pemikiran tandingan) yang
lebih menekankan pada ide-ide pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi,
program oriented, pembangunan oriented dan sebagainya.
Namun demikian, Orde Baru dihadapkan oleh tugas berat
memperbaiki kembali institusi-institusi politik untuk menegakkan lagi
kewibawaan pemerintahan negara setelah negara berada di bawah rezim
"kuku besi", yang dipimpin oleh Soekarno yang biasa disebut "Demokrasi
Page | 1
Terpimpin" atau Orde Lama (1957-1965) terlibat dalam situasi kacau-
balau.
Moeljarto Tjokrowinoto, pakar sains politik terkemuka di
Universitas Gajah Mada, mengemukakan keadaan politik di Indonesia
menjelang lahirnya Orde Baru yang ditandai oleh enam ciri: kegagalan
sistem multi-partai; percaturan politik yang bertumpu pada dasar partai
ideologi dalam suasana masyarakat yang belum cukup menghayati aturan
permainan politik yang ada; perpecahan birokrasi karena campur tangan
partai ke dalam birokrasi dan menjadikan birokrasi sebagai asasnya;
partai politik mempergunakan corak partai "totali-tarian"; penyusupan
partai Komunis ke dalam
ABRI sehingga
menimbulkan
"disharmoni" hubungan di
antara Angkatan dan
Kesatuan; dan interaksi
politik di desa ditandai
oleh nilai-nilai primordial,
orientasi "parokhial" dan hubungan "patron-klien" sehingga mengurangi
persatuan pedesaan dan menimbulkan konflik "interpersonal".
Di dalam konteks yang luas, terutama dalam hubungannya dengan
ekonomi, gambaran keadaan bangsa Indonesia ketika itu tercermin dalam
sembilan masalah seperti yang dikemukakan oleh Profesor Donald W.
Wilson sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berikut ini: pembentukan
suasana stabilitas politik dan sosial (keamanan bangsa) yang
memungkinkan terjadinya perubahan; menciptakan satu bangsa yang
terhindar dari perpecahan umat dan banyaknya bahasa dan dialek yang
bisa menggoncangkan ("staggering"); membawa rakyat untuk berada
bersama-sama di dalam pemerintahan, yaitu mereka yang bukan menjadi
Page | 2
orang penurut atau "asal bapak senang", mempunyai kemampuan dan
kepakaran khusus guna menangani masalah bangsa secara cerdik dan
arif; menghapuskan kelembapan dan "buck passing" yang melumpuhkan
pemerintahan sampai begitu lama; membentuk satu semangat kerjasama
di dalam pemerintahan yang bisa membangkitkan kecemburuan kecil di
atas dan perbedaan-perbedaan yang bersifat kedaerahan; menjauhkan
kepentingan pribadi dan sakit hati mereka yang sangat menginginkan
untuk kembali kepada era Soekarno; menangani masalahmasalah
ekonomi dan pembangunan ekonomi serta menghindari keruntuhan atau
bencana ekonomi dan keuangan; membangun keberdikarian pertanian
untuk memenuhi keperluan makanan; meraih lebih banyak lagi
pengadilan yang adil.
Luasnya aktivitas pembangunan di atas seiring dengan
kemunduran dalam bidang ekonomi, lemahnya institusi politik, korupsi
yang bersifat "endemik", bahaya militerisme yang merayap, kelebihan
penduduk di Jawa, meluasnya pengangguran, dan hancurnya
infrastruktur yang dialami oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia memerlukan bantuan dari masyarakat
penderma/penyumbang.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka sasaran
pembangunan Orde Baru
bertumpu pada aspek
ekonomi dan mewujudkan
kestabilan politik yang bisa
mendukung pembangunan
ekonomi. Salah satu
kebijakan Orde Baru dalam
hal politik adalah
melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan
Page | 3
terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi
komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan
dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi. Bahkan ada pula pakar
yang berpendapat bahwa cita-cita utama Orde Baru adalah menegakkan
negara Pancasila, mengamankan/menyelamatkan kehidupan politik agar
tidak mengganggu pembangunan ekonomi, serta menjamin peran tentara
dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.
Dari sini Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan
untuk menyelamatkan stabilitas politik dan ekonomi, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan
landasan luar negeri yang bebas dan aktif, dan meneruskan perjuangan
melawan imperialisme.
A.Kebijakan Politik pada masa Orde Baru
Pada dasarnya, membicarakan rezim Orde Baru tidak akan pernah
ada habisnya. Kekuatan politik yang dimiliki oleh rezim ini mau tidak
mau harus kita acungi jempol karena kedigjayaannya, terlepas dari
banyaknya kritik tajam, bahkan mulai rezim ini berkuasa. Naiknya
Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia ke-2 setelah Sukarno, secara
otomatis mengantarkan Indonesia menuju rezim yang baru dan kemudian
dikenal dengan istilah Orde Baru. Selain adanya kekuatan konfigurasi
politik Orde Baru yang kuat, berlangsungnya rezim ini juga ditunjang
oleh seperangkat struktur ide yang ada. Orde Baru memanfaatkan
beberapa struktur ide untuk melegitimasi setiap gerakan politiknya,
sehingga meskipun gerakan politik rezim ini bertentangan dengan
kamaslahatan bersama, tetapi rakyat tetap dapat ‘menerimanya’. Struktur
ide tersebut diantaranya adalah, konsep negara integralistik,
developmentalisme, Dwi Fungsi ABRI, monopoli penafsiran Pancasila,
anti komunisme dan pengkambinghitaman demokrasi.
Page | 4
Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan
keputusan Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang
menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Kedudukannya
itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya
sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator
dimulainya kekuasaan Orde Baru. Setelah memperoleh kekuasaan
sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-
kebijakan politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS
tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS
No.IX/1966), Stabilitas ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan
Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966) Pemerintahan Orde Baru
memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan
terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Diantara penyimpangan
tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan
politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur).
Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS, maka
pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi
politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi
tersebut adalah agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan
rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi polkam,
pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menggunakan suatu
pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security
approach), termasuk di dalamnya de- Soekarnoisasi dan depolitisasi
kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan
merongrong kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk
lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib (pada 1 November 1965),
Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan
Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970). Mengenai kebijakan
Page | 5
politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru
berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos- Oldefos dan
“Poros Jakarta -Pnom Penh - Hanoi-Peking - Pyongyang” ke politik luar
negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas
pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah
dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program
Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet
Pembangunan, yang berisi:
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak
berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan
mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan
penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD
1945; 5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara
menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari
unsur-unsur komunisme.
Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan
kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS
No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu),
pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi
kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu
stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu
dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai
Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering
Page | 6
disebut kaum ekstrimis kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga
menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih
mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.
Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan
segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai
pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan
pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan
ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan
peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23
Mei 1970. Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol)
yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU,
Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen
Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba),
dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan
Golkar.
Kehidupan politik di Indonesia mengalami perubahan yang sangat
drastis sejak gagalnya Gerakan 30 September 1965. Perubahan tersebut
meliputi beberapa hal, diantaranya adalah: pertama, berakhirnya
kepemimpinan Presiden Soekarno dan jatuhnya sistem politik Demokrasi
Terpimpin. Kedua, meningkatnya peranan politik Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI), dan yang ketiga, lahirnya Orde Baru dibawah
kepemimpinan Presiden Soeharto dengan sistem politik Demokrasi
Pancasila. Perubahan tersebut tercermin dalam tindakan-tindakan yang
dijalankan oleh pemerintah Orde Baru, seperti penataan kembali struktur
kehidupan politik pada masa Orde Baru. Pemerintah Orde baru yang
mempunyai tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 pada
saat itu sangatlah konsekuen, Orde Baru sangat anti dengan apa saja yang
berbau komunis, dan pada masa itu sangat berorientasi pada
Page | 7
pembangunan dan mencoba untuk menyusun sistem pemilu yang dapat
menjaga stabilitas pemerintahan.
Pemilu merupakan suatu cara yang dianggap paling demokratis
dalam memilih pemimpin dibeberapa negara di dunia. Meskipun pemilu
merupakan sistem pemilihan yang berasal dari barat, akan tetapi sistem
ini dikatakan sebagai mekanisme pemilihan yang paling baik dan banyak
digunakan oleh beberapa negara dalam menentukan pemimpin yang ada
pada negara tersebut. Pada awal terbentuknya Orde Baru, tugas Soeharto
yang pada saat itu sebagai seorang presiden adalah sesegera mungkin
untuk menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968,
seperti yang tercantum dalam TAP MPRS XI/MPRS/1996 Pasal 1. Dalam
rangka untuk memudahkan kegiatan kampanye menjelang Pemilihan
Umum yang akan dilaksanakan pada tahun 1977, presiden Soeharto
kemudian membuat kebijakan mengenai penyederhanaan partai-partai
politik yang sebelumnya ada pada masa Orde Lama.
Kebijakan Fusi Partai
Pada awal masa Orde Baru, terdapat sembilan partai politik yang
pada awalnya ada dan diakui oleh pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Partai-partai tersebut diantaranya adalah PNI, Parkindo, NU, Partai
Katolik, IPKI, PSII, Perti, Partai Murba dan Parmusi serta terdapat
Golongan Karya (Golkar). Kesembilan partai tersebut pada dasarnya
mempunyai identitas tersendiri. Pada tahun 1970, pemerintah Orde Baru
pada waktu itu menghimbau supaya kesembilan partai politik tersebut
untuk segera
mengambil langkah-
langkah nyata ke
arah penyederhanaan
sistem kepartaian.
Mengenai kebijakan penyederhanaan partai tersebut, IPKI dan PNI
Page | 8
merupakan partai yang pertama-tama memberikan dukungan mengenai
kebijakan tersebut. Sejalan dengan IPKI dan PNI, NU juga malah
mengatakan bahwa kebijakan pemerintah tersebut sesuai dengan kongres
umat Islam pada tahun 1966. Akan tetapi, Partai Katolik dan Partindo
tidak setuju jika dikelompokkan kedalam Golongan Nasionalis. Bahkan
Partai Katolik menyatakan lebih baik membubarkan diri daripada harus
bergabung ke dalam Golongan Spiritual.
Atas dasar himbauan tersebut, pada tahun 1971 di DPR muncul
kelompok “Persatuan Pembangunan” yang merupakan wadah kerjasama
partai-partai NU, Parmusi, PSII dan Perti yang beraliran “Islam/Spiritual-
Materiil”. Kelompok ini merupakan kelompok partai-partai politik yang
menekankan pembangunan spiritual tanpa mengabaikan aspek materiil.
Kemudian juga muncul kelompok “Demokrasi Pembangunan” sebagai
tempat bernaung partai-partai PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan
Partai Murba yang beraliran “nasional/demokrasi”, dimana kelompok ini
merupakan kelompok partai-partai yang menekankan pada
pembangunan materiil tanpa mengabaikan aspek spiritual. Kedua
kelompok ini selanjutnya melakukan fusi pada tahun 1973 sehingga
melahirkan “Partai Persatuan Pembangunan (PPP)” yang beranggotakan
NU, Parmusi, PSII dan Perti sebagai fusi dari partai-partai politik yang
beraliran “Islam” dan “Partai Demokrasi Indonesia (PDI)” yang
beranggotakan partai PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Partai
Murba sebagai fusi dari partai-partai politik yang beraliran
nasionalis/demokrasi. Sedangkan Golongan Karya (Golkar) merupakan
kelompok ketiga yang merupakan kelompok yang mendasarkan diri
kepada kekayaan jasmani-rohani dimana didalamnya terdapat beberapa
kelompok-kelompok organisasi, diantaranya adalah Kosgoro, Soksi,
MKGR, Professi, Gakari, Ormas Hankam, dan Gerakan Pembangunan.
Jadi, pada awal Orde Baru, terdapat tiga golongan, Pertama, Golongan
Page | 9
Nasionalis; Kedua, Golongan Spiritual; dan Ketiga, Golongan Karya. Ketiga
golongan tersebut (PPP, PDI, dan Golkar) pada akhirnya menjadi
kekuatan sosial politik yang berperan dalam sistem politik Indonesia pada
masa Orde Baru.
Kebijakan P4
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan
Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi
Pancasila. Dengan alasan Pancasila
telah menjadi konsensus nasional,
keseragaman dalam pemahaman
Pancasila perlu disosialisasikan.
Gagasan ini disampaikan oleh
Presiden Soeharto pada acara Hari
Ulang Tahun ke-25 Universitas
Gadjah Mada di Yogyakarta, 19
Desember 1974. Kemudian dalam
pidatonya menjelang pembukaan
Kongres Nasional Pramuka pada 12
Agustus 1976, di Jakarta, Presiden
Soeharto menyerukan kepada seluruh
rakyat agar berikrar pada diri sendiri
mewujudkan Pancasila dan
mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar
tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa
dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat,
konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu (1) takwa
kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan
Page | 10
agama/kepercayaan; (2) mencintai sesama manusia dengan selalui ingat
kepada orang lain, tidak sewenangwenang; (3) mencintai tanah air,
menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;(4)
demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah; (5) suka menolong
orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain
(Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005: 159).
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR,
Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR
No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi
Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan
Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya
adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang
dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.
Penerapan Dwi Fungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan
semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan
perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan
bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang
kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional,
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman
tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya
dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan
hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur
pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”
Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam
kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan
kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan
Page | 11
pembangunan nasional. Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi
sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang
politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI
sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan,
namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih
signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada
tahun 1968.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa
Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya
adalah dengan
ditempatkannya militer
di DPR, MPR, maupun
DPD tingkat provinsi
dan kabupaten. Perwira
yang aktif, sebanyak
seperlima dari
jumlahnya menjadi
anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada
komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional
bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para
ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian
Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh
daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah
satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer
dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya
bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan
Page | 12
pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki
kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
B. Kebijakan Ekonomi pada masa Orde Baru
Stabilisasi Ekonomi
Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk.
Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20%
dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang
menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan
yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965,
seluruhnya
berjumlah 2,358
Juta dollar AS.
Dengan Perincian
negara-negara
yang memberikan
hutang pada masa
Orde Lama adalah
blok negara
komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada
negara-negara Asia dan badan-badan internasional. Program rehabilitasi
ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS
No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya
masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang
lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam
dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar
membantu perbaikan ekonomi rakyat.
Bertolak dari kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas
pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi adalah
Page | 13
memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan
menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang.
Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya
menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang baru
yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi
berikutnya. Untuk menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri
itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang intensif
dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club),
untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London , Inggris
(London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta. Sebagai bukti
keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor,
pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai
kesepakatan terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai
pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa
perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun
1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk
membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita
oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.
Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967
pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) . Dengan UU PMA, pemerintah ingin
menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan
ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde
Baru tidak memusuhi investor asing dengan menuduh sebagai kaki
tangan imperialisme. Sebaliknya, aktivitas mereka dipandang sebagai
prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun
perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka, selayaknya mereka
didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam
berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja
Page | 14
akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki
uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.
Pemulihan Ekonomi (1966-1973)
Masalah ekonomi Orde Lama merupakan beban berat yang
diwariskan pada Orde Baru, segera setelah menggantikan kedudukan
Orde Lama, Orde Baru pada tahun 1967 mengesahkan Undang-Undang
Penanaman Modal Asing (UU PMA), diikuti dengan UndangUndang
Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) pada tahun 1968. Dua
kebijakan tersebut pada intinya memberikan peluang lebih luas bagi
pemodal baik dari luar negeri maupun dalam negeri untuk berinvestasi di
Indonesia, inilah era di mana industrialisasi Orde Baru dimulai. Dalam
beberapa kurun waktu setelah dikeluarkannya kebijakan investasi di atas,
tak dapat dipungkiri memang-terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup
signifikan. Sektor pertanian memiliki laju pertumbuhan rata-rata naik dari
1,4% per tahun selama lima tahun pertama dasawarsa 1960-an menjadi
3,8% dalam tahun-tahun sesudahnya sampai tahun 1971, dan menjadi
3,7% selama periode 1971-1977. Tetapi setelah dasawarsa sesudah tahun
1965 bagian GDP yang berasal dari sektor pertanian turun dari 52%
menjadi 35%, sedangkan bagian GDP yang berasal dari sektor
pertambangan telah melonjak dari 3,7% menjadi 12%.
Bagian dari sektor pembangunan juga menunjukkan kenaikan
besar, tetapi bagian dari sektorsektor lain (industri, perdagangan dan
pengangkutan) menunjukkan kenaikan yang relatif lebih lambat.14 Pada
tahun 1970-1977 tercatat saham sektor industri dalam GDP meningkat
dari 9% menjadi 12%, namun pertumbuhan ini diikuti pula dengan
penurunan saham sektor pertanian dan meningkat tajamnya harga
minyak dunia.
Perubahan dramatis terjadi pada tingkat investasi. Pengeluaran
investasi naik dari 5% GDP tahun 1966 menjadi 20% dalam tahun 1973.
Page | 15
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya boom dalam pembangunan
di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Di samping itu, pembangunan juga
mencakup sektor irigasi, pelistrikan, pengangkutan dan komunikasi.
Terjadinya boom bukannya tanpa efek atau respon apapun, akibat
kebijakan yang tak kunjung direvisi ini, pada tanggal 14 Januari tahun
1974, bertepatan dengan kunjungan PM Jepang, Kakuei Tanaka terjadi
peristiwa yang sering disebut dengan nama MALARI atau Malam Lima
Belas Januari, suatu bentuk demonstrasi dan tindakan anarki besar-
besaran yang dilakukan kalangan intelektual serta mahasiswa guna
memprotes begitu longgarnya kesempatan investasi yang diberikan
pemerintahan Soeharto terhadap pemodal-pemodal asing karena
dikhawatirkan dapat menguasai berbagai sektor penting yang berkaitan
dengan hajat hidup masyarakat luas.
Page | 16
Pengayaan
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan benar!
1. Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang
dikeluarkan oleh presiden Soeharto terdapat beberapa periode
mengenai Repelita tersebut, yaitu dimulai pada Repelita ke-1
sampai Repelita ke-6. Berdasarkan pernyataan diatas, analisislah
mengenai kegiatan-kegiatan yang terdapat pada Repelita ke-3!
2. Pada pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, sampai 1997 yang keluar sebagai pemenang dan pemegang
kursi terbanyak pasti dari pihak Golkar saja, partai PPP dan PDI
tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menjadi pemenan
pemilu pada masa Orde Baru. Analisislah mengapa hanya Golkar
saja yang pasti mendapatkan kursi terbanyak dan memenangkan
setiap pemilu yang dilaksanakan pada masa Orde Baru tersebut!
Page | 17
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Thaba. 1996. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta:
Gema Insani Press,
Djafar, M. 2015. Krisis Politik & Proposisi Demokratisasi (Perubahan Politik
Orde Baru ke Reformasi). Jakarta: PT Bumi Aksara, hal: 129-130
Djohan, D. 2000. Reformasi Sistem Kepartaian Selama dan Sesudah Orde Baru,
dalam buku Menuju Tata Indonesia Baru, oleh Selo Soemardjan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Djohan, D. 2000. Reformasi Sistem Kepartaian Selama dan Sesudah Orde Baru,
dalam buku Menuju Tata Indonesia Baru, oleh Selo Soemardjan,
hal: 310-311
Faisal Ismail. 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Yogyakarta: Tiara
Wacana
Kadir. A. G, 2014. DINAMIKA PARTAI POLITIK DI INDONESIA . Jurnal
Sosiohumaniora, Volume 16 No. 2 Juli 2014, hal: 134-135
Labolo, M & Ilham, T. 2015. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia (Teori, Konsep, dan Isu Strategis). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sivfian Hendra Legowo, Drs.IG. Krisnadi, M.Hum, Drs. Hendro
Sumartono . DINAMIKA POLITIK REZIM ORDE BARU DI
INDONESIA Studi Tentang Kegagalan Konsolidasi Politik Rezim Orde
Baru Pada Tahun 1990-1996. Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa
2013, I (1): 1-7
Wahyu Budi Nugroho. 2017. KONSTELASI EKONOMI, SOSIAL DAN
POLITIK DI ERA ORDE BARU. Disampaikan dalam peringatan
“19 Tahun Reformasi” yang diselenggarakan oleh BEM-PM
Universitas Udayana di Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada 27-28
Mei 2017
Widjaja, 1982, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: LP3ES
Page | 18