The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-05-31 12:14:15

Cerita Meksiko

Cerita Mexiko (1)

Susana Museo Revolucion pada Hari Revolusi Meksiko Museum Revolusi tidak tampak dari seberang jalan. Terhalang oleh sebuah monumen dengan kubah melengkung. Monumen ini tidak terlalu tinggi. Mengelilingi monumen ini adalah bulevar yang cukup luas setinggi sekitar tujuh anak tangga. Ada banyak keluarga menghabiskan waktu bercengkerama di bulevar ini. Beberapa pasanganberciuman. Akupikir,apayanglebihtepatdanberkesanselain merayakan hari revolusi dengan bertukar ciuman. Sementara, seorang pengantin perempuan sedang memperbaiki riasannya. Lalu aku menuju museum yang berada di lambung monumen. Di pintu museum sudah tampak dua baris antrian. Yang satu cukup panjang. Petugas museum mengatakan hari ini museum gratis, bahkan untuk orang asing. Tapi kalau aku ingin naik lift dan mencapai kubah revolusi, aku harus 36


membayar sekitar 30 pesos, setengah dari harga hari biasa, dan itulah ternyata penyebab panjangnya antrian. Aku memilih antrian kedua, aku ingin melihat museum. Di kiri- kanan hanggar menuju pintu museum terdapat beberapa buah kafe dan toko suvenir, bentuknya seperti kubus, jika bukan seperti kontainer. Dibandingkan museum-museum lain, seperti Museum Antropologia yang tidak habis dikunjungi sehari atau Museum Temple de Mayo, museum revolusi tidak terlalu besar. Hanya perlu waktu dua jam untuk melihat seluruh isi museum. Salah Satu Mural Museo Nacional de la Revolución, Mexico City 37


Hari itu anak-anak memenuhi museum ini. Anak- anak membawa buku tulis dan mencatat sesuatu. Mural- mural yang menghiasi dinding museum, dari perupa Diego Rivera, Jorge Gonzalez Camarena, Jose Clemente Orozco, dan Juan O Gorman, cukup menarik minat anak- anak. Mereka meminta orang tua mereka untuk berfoto di bawah mural-mural tersebut. Kepada seorang laki- laki aku bertanya, apakah anak-anak ini dikerahkan oleh sekolah mereka untuk pergi ke sini. Oscar menggelengkan kepalanya. Menurutnya, memang sekolah mempunyai jadwal rutin membawa anak-anak ke museum. Tapi untuk hari revolusi, dia melakukannya atas inisiatifsendiri. Di depan diktator Diaz dan sebuah tulisan berjudul “porfirio diaz llega al poder”, seorang kakak menjelaskan sesuatu kepada adik perempuannya. Sang adik mencatat di buku tulis. Revolusiseperti baru saja terjadi kemarin! Setelah dari Museum Revolusi aku menuju Monumen Colon atau Columbus yang berjarak sekitar 400 meter dari Monumen Revolusi. Monumen ini tepat berada di sebuah persimpangan jalan yang cukup sibuk dan dikelilingi oleh sebuah taman yang rimbun. Monumen ini divandal dengan bengis, bau pesing, dan dari balik rimbun taman tiba-tiba keluar dua pasang sejoli yang habis bercinta dan buru- buru memasang resleting celana mereka. Lalu ke Monumen Coanacoch, yang jaraknya juga tidak begitu jauh. Setelah itu aku kembali menuju Monumen Revolusi. Di seberang simbol revolusi Meksiko tersebut ada sebuah kafe kecil yang cukup mencolok karena namanya: Cafe Diaz! Ya sang diktator paling kejam dalam sejarah Meksiko ini memang tidak boleh jauh dari lambang revolusi yang menumbangkannya. 38


Aku duduk di sana dan menikmati secangkir kopi. Suasana di kafe ini remang, sebuah tempat yang sempurna untuk membicarakan sebuah persekongkolan Beberapa orang tua kulit putih dengan kumis melintang memenuhi kafe ini. Gambar sang diktator tidak hanya terpampang di dinding, tapi juga di menu dan cangkir. Boleh jadi kafe ini dibangun oleh pemuja Diaz, sebagaimana di Indonesia pun masih ada sebagian kecil orang yang memuja Soeharto dan merindukannya. Akan tetapi mungkin aku keliru, karena ketika aku berpindah tempat keluaringinmengisap sebatang rokok, aku melihat keset kaki di pintu juga bergambar wajah sang diktator. Ketika malam tiba, dari arah timur Monumen Revolusi disinari cahaya biru. Aku membayar kopi, melewati sekali lagi Monumen Revolusi dan berpapasan lagi dengan seorang perempuan berbaju pengantin yang kedinginan setelah menyelesaikan sesi pemotretan, mungkin untuk foto-foto prapernikahan. Museum Nacional de Antropologia 39


Museum Nacional de Antropologia ini terletak tidak jauh dari kawasan elite Polanco, tempat beberapa kedutaan besar negara asing berada, pusat perbelanjaan mewah, bank-bank multinasional, dan jaringan hotel internasional. Kawasan ini relatif aman. Polisi berjaga-jaga di setiap sudut jalan dengan senapan laras panjang. Museum ini dapat dijangkau sekitar 100 meter dari Auditoria, stasiun metro terdekat dan berhadapan dengan taman. Di pagar pembatas taman, sepanjang trotoar jalan kadang ada beberapa bingkai besar dan kokh tempat pameran fotografi berlangsung. Dikelilingi pagar kuat yang membentuk jalinan besi kokoh yang sekilas bisa dilihat sebagai simbol kacamata, mengagumkan, kontemporer, seolah ingin menunjukkan masa kini yang ingin menjaga masa lalu yang misterius, kuno, dan juga menyimpan kepedihan. Pintu masuk museum melalui sebuah jembatan dan bulevarluas.Museum ini sendiri sangat luas, bersih, dan rapi. Saking luasnya aku perlu mengunjungi museum ini dua kali agar bisa melihat seluruh isinya. Berandanya juga luas, di kanannya menampilkan sebuah lukisan besar, seekor puma sedang bertarung dengan ular, mural yang terdapat di piramida Teothican. Waktu aku datang, sebuah pameran tentang kapal-kapal penjelajah awal Spanyol baru saja berakhir. Keluar dari lobi dan menuju ruang pameran museum yang berbentuk huruf U, kita memasuki sebuah keluasan lain, sebuah arkade raksasa yang ditopang hanya dengan sebatang pilar berhiaskan topeng-topeng kuno suku Aztec sekaligus berfungsi sebagai air mancur. Arsitektur yang sangat mencengangkan, tapi membandingkan bagaimana piramida Teotiacan disusun 5000 tahun lalu, teknologi ini mungkin terlihat biasa. 40


Museum ini terbagi atas tiga bagian. Di sayapkanan dan kiri bawah, adalah bagian untuk suku-suku di Amerika Tengah praColumbus. Sementara pada bagian atas masing- masing sayap, menampilkan kebudayaan etnik tersebut setelah penaklukan Spanyol. Di bagian tengah khusus untuk kebudayaan suku-suku di wilayah yang sekarang disebut sebagai Meksiko. Sementara di lantai dasar sayap kanan, seperti pada umumnya museum bertema serupa, juga di beberapa museum milik pemda di Indonesia, adalah penjelasan umum tentang asal-usul manusia. Tapi museum ini menjelaskan semuanya dengan sangat memikat, kita seperti membacasebuahdongengtentangilmupengetahuan. Tepat di pintu masuk sayap kanan atas, museum ini dengan sadar menjelaskan metodenya: apa dan bagaimana museum ini disusun. Sangat sedikit museum yang menjelaskan posisi mereka, sehingga kadang-kadang apa yang disebut museum tidak lebih sebagai toko barang antik. Sesuai dengan namanya, museum ini mengambil pendekatan antropologi. Untuk mencapai tujuan ini pihak museum berusaha menjaga barang-barang mereka dengan ketat, bukan dari maling dan penadah barang curian, tapi untuk meyakinkan barang-barang mereka tampilkan tampak ilmiah. Untuk itu mereka menyusun koleksi- koleksi mereka setelah melewati observasi dan wawancara dengan beberapa ahli. Langkah ini patut dipuji, terutama untuk menekan fungsi museum sebagai institusi yang sering sekali bertanggung jawab menyebarkan takhayul dan kabar burung. Biasanya untuk mencapai narasi-narasi kegemilangan tertentu. Museum ini menyebutnya dengan bantuan ilmu antropologi ragawi. Dengan demikian, tulis 41


meseum ini, antropologi ragawi mendukung diskripsi etnografi, seperti untuk menganalisis warisan biologis, karakter fisik tubuh manusia, dan masalah kesehatan sebuah populasi. Indonesia sebenarnya pernah punya seorang pakar yang sangat berwibawa untuk profesi ini, yaitu almarhum Prof. Teuku Jacob dari UGM, tapi kita jarang mendengar bahwa museum-museum di sini menggunakan keahliannya. Pada bagian kanan, museum ini memulai dengan penjelasan tentang manusia-manusia yang pernah menghuni Lembah Meksiko di masa lampau dengan warisan sebuah Pohon Kehidupan yang merupakan kerajinan tangan tanah liat. Di masa sekarang Pohon Kehidupan menjadi bagian dari upacara keagamaan dan terbuat dari lilin. Melalui pohon ini museum memberikan penjelasan sejarah tentang keberagaman etnik dan kekayaan budaya Meksiko. Untuk menjelaskan segala sesuatu sebelum masa pra-Colombus, museum ini menggunakan istilah Mesoamerican, sebagaimana istilah ini bertebaran dalam literatur berbahasa Spanyol.Akan tetapi sebaliknya, sedikit sekali istilah ini kita temukan dari buku-buku terbitan di Indonesia, terutama yang dialihbahasakan dari bahasa Inggris, yang memaparkan asal mula sejarah umat manusia dan perabadan. Mesoamerican adalah sebuah istilah kunci untuk membicarakan sebuah geografi dan wilayah budaya yang terbentang di Amerika Tengah. Melalui penaklukan kebudayaan pracolombus ini kemudian bertemu dengan Barat, Arab, dan Afrika. Museum ini juga disusun secara runut, seperti bab sebuah buku. Dalam menjelaskan sesuatu, pihak museum misalnya selalu merujuk kepada koleksi mereka di lantai 42


bawah, ruang yang pertama sekali dijumpai pengunjung. Dengan demikian hampir tidak memungkinkan untuk melompati sebuah ruang pun jika kau tidak ingin merasa kehilangan sesuatu informasi. Menurut museum ini, peradaban masyarakat Amerika praColumbus, hampir sama dengan peradaban besar kuno lain yang tak bisa dipisahkan dalam dengan pengorganisasian militer dan kegiatan perdagangan. Namun, apa yang kemudian mengubah dan membentuk sebuah masyarakat baru yang dikenal sekarang adalah 300 tahun kolonialisasi Spanyol. Tapi selama akhir Abad ke-20, jumlah penduduk asli, Indian, hanya bertambah sekitar 7 persen dari total populasi, itu berarti 5,5 juta dari 122 juta penduduk. Mereka berbicara dalam bahasa asli. Sebaliknya populasi terbesar adalah apa yang disebut sebagi Mestizo, percampuran antara orang kulit hitam dan Afroamerica yang bertemu pada periode penaklukan Spanyol. Penjelasan ini misalnya menjawab pertanyaanku, mengapa jarang sekali orang kulit hitam terlihat di Mexico City. Orang asli ini dikatakan dulunya mempunyai pelindung dan tempat suci, yang upacara persembahan terhadap pelindung tersebut berlangsung meriah. Di masa sekarang tempat tersebut masih ada, tapi pelindung lama digantikan dengan pelindung baru, dalam rupa Bunda Maria, Kritus, dan para Santo, yang kedudukannya, sebagaimana sebelumnya, dalam kepercayaan orang Indian, mewujudkan kekuatan alam, sebagaimana hujan, matahari, dan bumi. Kekuatan pelindung itu sekarang punya sebutan yang lebih merakyat, seperti Yang Mulia Chalma, Yang Mulia Cerrito, Perawan Suci San Juan de los Lagos dan 43


Perawan Suci Juquila, nama-nama yang tidak kita temukan baik di tempat di mana agama Nasrani diturunkan maupun menyebar luas di daratan Eropa. Mereka melindungi panen, terutama jagung, dan mencegah wabah penyakit. Suasana keagamaan ini biasanya dirayakan setiap tahun dalam pesta-pesta yang meriah. Melalui perayaan ini, pada permulaan tahun baru misalnya, Si Orang Bijak dan Perawan Suci Candelaria diharapkan dapat melimpahkan hasil panen jagung. Jagung adalah unsur terpenting dalam kehidupan agraris di Amerika Tengah, kemulian tanaman ini sama dengan kemulian padi di Nusantara. Dalam mural- mural Diego Rivera, misalnya, selalu terdapat jagung dan petani jagung. Namun demikian, pentingnya keberadaanPelindung ini tidak hanya berlaku di kalangan petani dan mereka yang berkultur agararis, meskipun mereka yang paling banyak membutuhkan para pelindung. Kelompok profesi, buruh, birokrat, dan bahkan pengangguran pun membutuhkan sosok Pelindung. Museum ini juga menjelaskan perbedaan model penanaman dan pemanfaatan lahan pertanian pada masa pracolombus dengan setelah kedatangan para penakluk Spanyol. Kedatangan penakluk Spanyol, bukan hanya mengubah cara orang Indian bercocok tanam yang sebelumnya hanya menanam jagung dan biji-bijian, tapi juga memaksa mereka untuk beradaptasi dengan pola pemanfaatan lahan yang baru, penggunaan teknik-teknik perbedaan yang berbeda, berubahnya pemaknaan terhadap arti air, serta berinteraksi dengan binatang-binatang baru 44


yang didatangkan dari seberang lautan untuk mengolah tanah, seperti kuda, yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Pertanian model baru ini bukan hanya terbaginya jenis pekerjaan baru, tapi juga sekaligus membedakan wilayah-wilayah berdasarkan bidang pekerjaan, seperti daerah pertanian, pertambangan, dan perternakan, yang disebut sebagai unit ekonomi baru. Meskipun demikian, sebut informasi di dinding museum, masyarakat Indian tetap menggunakan barang-barang yang mereka gunakan sebelumnya sambil terus beradaptasi dengan segala sumber- sumber yang baru. Kemudian papan informasi museum menjelaskan bagaimana pertanian tergantikan dengan industri dan itu terjadi pada dekade empat puluhan. MuseumDiego Rivera terletak disudut,terdesak oleh sebuah gedung pencakar langit, Pusat Agama Scientologi Mexico, serta bersebelahan dengan seruas stasiun busway. Diego juga punya sebuah museum lain di daerah Coyoacan, Museum Anuhuacalli, yang menyimpan sekitar 50.000 benda-benda berharga pada masa pra-Spanyol. Di samping itu juga ada Casa Azul (Rumah Biru), yang melekat sebagai museum istrinya, Frida Kahlo, yang legendaris. Setelah menempuh perjalanan hampir 40 menit dari Metro Polanco dan turun di Metro Hidalgo, dengan berjalan kaki sekitar 10 menit, saya tiba di museum ini di tengah gerimis siang hari, disambut oleh bau pesing, Diego adalah seorang pelukis komunis, dekat dengan rakyat sebagaimana rakyat sering sekali tampil dalam mural-muralnya,sehingga dari dalam kubur dia mungkin keberatan museum tempat memamerkan lukisan-lukisannya dijadikan sebagai tempat dua gelandangan tua yang sedang menata barang-barang mereka di halaman museum sebagaimana terlihatsiang itu. 45


Ditamandepanmuseum,disebuahtenda,duapasang laki-laki sedang menggerakkan bidak catur, pemandangan yang segera mengingatkan saya pada keasyikan dan ketekunan di lapo-lapo tuak di kota Medan. Penjual tiket sedang berbicara melalui telepon dan memandangku sekilas. Menghentikan pembicaraan lalu dia mengatakan, museum sedang direnovasi dan untuk sementara waktu museum hanya memamerkan satu mural Diego Rivera. Sungguh sial! Setelah menyampaikan informasi ini, perempuan ini melanjutkan kembali pembicaraannya melalui telepon seluler. Sementara perempuan itu meneruskan percakapannya, aku berpikir sejenak, memutuskan masuk atau angkat kaki dari tempat ini. Melihat aku masih berdiri di meja penjualan tiket, perempuan ini menahan pembicaraannya melalui telpon dan bertanya: “Mau masuk atau tidak?” “Kapan renovasi selesai?” “Tidak bisa diperkirakan,” jawab si perempuan dengan ketus dan meneruskan kembali pembicaraannya melalui telepon selular. Baiklah. Aku menyodorkan uang selembar 100 Peso dan mendapatkansepotongkarcisseharga 30 Peso. Kecewa karena tidak bisa melihat seluruh isi museum segera terobati begitu melihat bentuk tiket masuk sepanjang 25 cm yang dicetak begitu elegan berdasarkan gambar sebuah mural Diego Rivera. Di dalam museum yang tidak terlalu besar memang segera tampak kesibukan beberapa tukang yang sedang mengecat dinding bercampur dengan bunyi mesin gerinda dan bor. Jelas bukan waktu yang baik untuk berkunjung. 46


Lalu saya memasuki sebuah ruangan seluas lapangan bulu tangkis, tempat satu-satunya mural yang bisa dilihat, ditempatkan memanjang dan besar, terhampar bagaikan layar di gedung bioskop. Aku menahan napas dan menutup mata. Aku melakukannya karena sadar, saat ini mataku sedang berhadapan dengan sejenis kenikmatan. Beberapa agama mengajarkan begitulah sebaiknya bagi seorang yang saleh apabila dia sedang berhadapan dengan kenikmatan, menutup mata! Tapi aku melakukannya bukan karena perintah agama. Aku melakukannya untuk menunda- menunda mencecap kenikmatan, karena begitu memulainya aku tahu cepat atau lambat kenikmatan ini akan segera berakhir dan aku tidak ingin hal itu terjadi. Aku akhirnya membuka mata dan memandang mural tersebut. Aku lega. Di hadapan mural itu, aku merasa seperti sedang berada di dalam lindungan sebuah bangunan agama yang suci dan kuno yang menjadi impian setiap peziarah. Di hadapanku terbentang mural sepanjang hampir 40 meter, menampilkan pelbagai jenis manusia dalam jarak yang sangat rapat, nyaris saling berhimpitan, dalam aneka baju seragam dan mimik wajah. Sekilas terlihat seperti sebuah gambar keluarga besar, sangat besar, dari generasi ke generasi, yang diseret oleh sang pelukis ke dalam sebuah bidang yang bagaimanapun besarnya tetap masih terlihat sempit dan penuh-sesak. Semuanya menuntut perhatian untuk dilihat dan dikenali. 47


Mural ini dirancang untuk menyampaikan cerita, tentu lebih dari satu cerita, berderet membentuk kronologi, dimulai dari sebuah titik awal dan berakhir pada sebuah titik yang lain. Kenyataan ini tiba-tiba membuatku gelisah. Ini merupakan sebuah masalah yang lain lagi dan biasanya dapat aku atasi dengan menyulut sebatang rokok. Aku tidak bisa memutuskan dari mana aku harus memulai melahap keagungan terkutuk yang terbentang di hadapanku ini. Aku ingin melihat mural ini dari bidang manapun yang aku inginkan, seperti biasanya aku melihat lukisan, namun di sisi lain aku ingin menikmati mural ini dari permulaan, lebih tepat bagaimana sebidang gambar mulai menggerakkan cerita. Dalam sastra, katakata, dalam hal ini deskripsi-deskripsi yang tepat dan akurat, biasanya menolong pembaca membayangkan segala sesuatu menjadi lebih jelas. Kebalikan dari itu, pada mural yang sedang menuturkan serangkaian peristiwa ini, gambar mendahului katakata. Kecuali seekor anjing, seekor kuda, dan sebuah tengkorak yang tanpa perasaan apapun. Diego menampilkan 62 manusia dengan raut wajah dan tatapan mata yang dengan sangat jelas dan rinci menyiratkan keculasan, kebencian, kemarahan, ambisi, kepongahan, kepedihan, keputusaaan, keletihan, mimpi, dan kesia-siaan. Seorang penikmat lukisan yang awam sepertiku masih bisa menangkap pancaran seluruh perasaan itu. Tapi untuk mengerti bagaimana perasaan itu bisa terbentuk dan saling berhubungan satu sama lain dalam sebuah bidang 10x40 meter aku mungkin harus pergi ke toko buku dan mencari buku sejarah tentang Amerika Latin, terutama sejarah kelahiran bangsa Meksiko, lalu kembali 48


lagi ke museum ini, berjumpa dengan si penjual tiket yang sibuk dengan hpnya, dan sekali lagi menatap mural Diego Rivera berjudul dan diselesaikannya pada 1936, beberapa tahun sebelum Perang Dunia II, sebelum Amerika Serikat menjadi sebuah imperium serta sedang merangkak keluar dari Depresi Besar. Pada saat saya sedang membuat catatan di sebuah bangku empuk yang ditempatkan di depan lukisan ini, seorang laki-laki menepuk pundakku. Dia menegur dalam bahasa Spanyol. Aku membalas dalam bahasa Inggris dan berharap dia mengerti: aku tidak bisa bicara Spanyol! “Meskipun kamu berbicara dalam bahasa Inggris,” kata lakilaki ini dalam bahasa Inggris dan cukup jelas. “Kamu pasti bukan orang Amerika.” Aku tertawa. “Bukan,” kataku. “Tapi kenapa saya bukan orang Amerika?” “Karena kamu tidak gemuk seperti orang Amerika,” katanya sambil membentangkan kedua tangannya untuk memperagakan. “Mereka biasanya masuk ke museum dengan mengenakan celana pendek.” Aku tertawa dan menjabat tangannya. Arturo tertawa dan memperlihatkan giginya yang ompong. Dia berusia 63 tahun. Dia mengatakan, sangat kesal dengan turis-turis Amerika. Menurut Arturo, mereka biasanya hanya melihat mural sekilas, lalu mengambil foto. “Mereka tidak mau tahu apa-apa,” katanya. Dia membandingkan mereka dengan turis-turis dari Jerman. Menurut Arturo dia terakhir membawa dua orang 49


turis Jerman dan mereka menghabiskan hampir enam jam untuk melihat sebuah mural. “Apa yang membawamu kemari?” “Film Frida Kahlo.” “Film itu kenyataan Hollywood,” katanya. “Kamu akan melihat sendiri kenyataan Meksiko. Dan itu hanya bisa kau lihat melalui mural Diego Rivera.” Arturo mengatakan terdapat 235 koleksi mural Diego Rivera yang tersebar di pelbagai tempat. Aku memberikan peta kepadanya. Dia menunjuk Palacio de Bellas Artes; Palacio de la Antigua de Medicina; Secretaria de Education Publica; Palacio Nacional. Arturo berjanji akan mengantarku ke tempat-tempat tersebut, setelah pekerjaannya selesai di tempat ini. “Ngomong-ngomong, kau dari mana?” “Indonesia.” “Indonesia! Soekarno dulu punya seorang istri Meksiko. Mariade Lourdes! Seorang penyanyi!” Aku mengunjungi Museum Frida Kahlo, bekas istri Diego Rivera, dua kali. Pada kunjungan pertama aku tidak bisa masuk, karena pengunjung yang antre mencapai 40 meter dan terdiri atas tiga lapis manusia. Mungkin karena hari itu akhir pekan. Beberapa hari kemudian aku datang lagi, kali ini pengunjung tidak begitu ramai, dan setelah mengantre 40 menit aku berhasil memasuki Casa Azul, nama lain Museum Frida Kahlo. Pengunjung terutama turis Amerika dan Eropa, itu bisa dikenali dari bahasa yang mereka bicarakan selama mengantre, bahasa Inggris, 50


Prancis, dan Jerman. Dalam antrean ada beberapa ibu yang menggandeng anak-anak. Perempuan menyusui dan penyandang cacat diberikan keistimewaan untuk tidak menunggu antrean. Museum ini adalah salah satu tempat favorit bagi turis yang mengunjungi Mexico City. Karena menjadi tujuan favorit turis, Casa Azul dijaga ketat oleh polisi, bahkan polisi sudah terlihat 100 meter di ujung jalan menuju kemari. Sangat berbeda dengan museum Diego yang bahkan tidak tampak seorang polisi pun saat aku mengunjunginya. Menurut papan informasi, museum ini hanya bisa manampung 145 orang setiap jamnya. Pengunjung tidak dibatasi waktu berkunjung, dan mungkin itulah salah satu penyebab panjangnya antrean, meskipun museum ini sebagai rumah keluarga terbilang cukup besar. Sebagaimana namanya seluruh bangunan didominasi warna biru. Di depan museum yang kini menjadi permukiman elite, namun tidak semewah Polanco, tumbuh beberapa pohon palem besar. Di seberangnya tampak beberapa pedagang asongan. Frida lahir di sini. Ini adalah rumah keluarganya. Setelah Frida menikah dengan Diego mereka tetap tinggal di sini, meskipun untuk bekerja pasangan ini membangun sebuah studio yang cukup mewah yang terletak daerah Sang Angel. Dibandingkan museum-museum lain di Mexico City yang pernah aku kunjungi museum ini yang menerapkan aturan paling ketat serta yang paling tinggi harga tiket masuknya, untuk turis 140 peso di akhir pekan. Frida adalah kekayaan dan kebanggaan nasional Meksiko. Gambar wajahnya bukan hanya tertera di mata uang paling tinggi negara itu, pecahan 500 peso, tapi juga hampir seluruh 51


tempat penjualan cendera mata di Mexico City menjual apapun tentang dirinya. Wajah Frida terpampang di cangkir, tatakan gelas, pembungkus telepon selular, tas belanjaan, korek api, tempat perhiasan, dan lain sebagainya. Di pintu masuk yang sempit, sebesar ukuran pintu masuk penjara, beberapa petugas sangat siap dan tidak lelah untuk mendeklarasikan beberapa hal kepada pengunjung, tentang hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan di dalam. Peringatan pertama adalah kau tidak boleh memegang lukisan. Peringatan kedua kau harus berdiri dalam jarak tertentu dengan lukisan. Aku melihat seorang ibu yang membawa anak-anak, diperingatkan untuk menjaga betul anaknya ketika berada dalam museum. Tentu saja para petugas berbicara dengan ramah. Tapi setelah mengantre sekitar 40 menit, aku tetap tegang berhadapan dengan petunjukpetunjuk seperti ini. Tapi untunglah, ketika lolos dari pintu masuk yang menjebak peredaran udara, aku bertemu dengan sebuah taman yang indah, cukup untuk mendapatkan udara segar lebih dari kau butuhkan. Di samping taman ini adalah pintu menuju lukisanlukisan Frida. Aku tidak masuk dulu dan menikmati taman ini. Taman ini ditumbuhi beberapa pohon tua, beberapa tumpuk semaksemak yang tertata rapi dan dinding-dindingnya bangunan yang berwarna hijau serta patung-patung pra- Spanyol yang tertempel di dinding. Di taman ini dijelaskan, bahwa setelah pasangan pelukis ini mewarisi rumah ini dari keluarga Frida, Diego merancang kembali rumah ini dengan ilham bentuk bangunan pra-Spanyol, berdasarkan bentuk cerobong asap geometris yang dipadukan dengan cita rasa kontemporer 52


dan sentuhan art deco. Untuk memperkuat kesan tersebut, patungpatung kuno dihadirkan untuk memberi bentuk pada masa lampau Anahuacalli. Setelah mengisi paru-paruku dengan cukup udara, aku pun masuk, dan di dalam aku kembali tidak bisa bernapas karena penuh dengan pengunjung. Aku menyenangi museum, karena biasanya museum sepi. Dalam sebuah ruang yang maha besar, seperti lobi mal-mal raksasa di Jakarta, kau punya kemewahan seorang diri untuk menikmati beberapa karya agung atau seonggok fosil dinosauros, penghuni awal planet ini sebelum kita. Tapi kemewahan ini tidak berlaku di sini. Ruangan pertama yang aku masuki, berukuran sekitar 10x10 meter, dipadati sekitar 25 pengunjung dan dua orang petugas yang kembali memperingatkan pengunjung agar tidak terlalu dekat dengan lukisan. Pada ruangan ini dipamerkan lukisan-lukisan awal Frida, sebelumdiamemulaimelukis potretdiri yangmenjadi karya-karyanya yang paling terkenal. Di sini terdapat lukisan keluarga Frida, yang diberi judul Keluargaku. Di antara 13 orang yang mempunyai wajah yang cukup jelas, termasuk Frida sendiri, ada tiga orang yang tanpa wajah, mungkin itu adalah leluhur yang tidak dikenali lagi dalam pohon keluarganya. Kemudian lukisan ayah Frida, yang berjudul Gambar Ayahku. Guillermo Kahlo. Ayah Frida kuturuan imigran asal Hongaria-Jerman, seeorang juru foto. Profesi ayahnya ini berpengaruh pada gaya lukisan Frida, potret diri. Lukisan Frida tentang orang lain adalah sebuah lukisan tentang ibu dan anak yang berjudul GambarNyonya 53


Alicia de Morilla Safa dan anaknya San Eduardo, selain lukisan tentang seorang perempuan bernama Arija Muray, tapi tidak diselesaikannya, seorang laki-laki, dan seorang gadis kulit hitam. Frida dekat dengan ranjang rumah sakit. Dia sudah mengenal sakit sejak kecil. Ketika umur enam tahun polio membuat dia hampir tidak bisa berjalan seumur hidup. Dua belas tahun kemudian sebuah bus menabraknya. Kecelakaan ini membuat dia harus beristirahat cukup lama dan periode ini untuk mengalahkan kebosanan dia mulai melukis keluarganya. Pengalaman berikutnya dengan rumah sakit adalah ketika dia menjalani operasi di rahimnya yang membuat dia tidak bisa melahirkan anak. Pada sebuah lukisan Frida menggambar dirinya yang terbaring telanjang dan ada seonggok janin kecil di perutnya. Sementara di sampingnya tidur seorang bayi. Di latar belakang sekolompok dokter sedang menjalankan pembedahan. Pengalaman-pengalama kesakitan ini membuat Frida berkata, “Siapa yang membutuhkan kaki, ketika aku punya sayap untuk terbang.” Dia memang terbang, menjadi simbol untuk banyak hal bagi rakyat Meksiko. Informasi museum menjelaskan kepadapengunjung, bahwa lukisan-lukisan di bagian ini bukan hanya memantulkan perasaan sang pelukis, tapi juga pendiriannya dalam memandang dunia, sebagaiman obsesinya tentang potret dirinya sendiri dan kesuburan. Setidaknya, menurut kurator museum ini, ada tiga tahap penting bagi Frida dalam melukis potret dirinya. 54


Itu tentang dirinya sendiri. Sementara tentang masyarakat, dia melukis dirinya yang memegang sebuah kitab merah, sementara Karl Marx di belakangnya mencekik leher seseorang yang mempunyai kepalamanusia, mengenakan topi sulap, namun mempunyai tubuh seekor burung elang. Mudah diduga siluman tersebut adalah Amerika Serikat. Dia memberi judul untuk lukisan ini, Marxisme akan menjadi obat untuk segala macam penyakit (Marxisme will be being health to the sick). Di samping itu pada fase ini dia juga melukis dirinya berdiri di bawah lukisanLenin, pemimpinRevolusiRusia1917yangmashyur. Ruangan kedua diberi judul Gairah Frida. Museum mengatakanRumahBiruadalahbuktidarienergidantenaga Frida yang luar biasa dalam berkarya dan kemudian diakui oleh dunia. Tak terkalahkan oleh penyakit yang menderanya selama bertahun-tahun, kesedihan dan kemarahan, terutama disebabkan turun-naik hubungan perkawinannya dengan Diego yang berujung pada perceraian, dan yang paling penting pada masa itu seorang seniman perempuan sering sekali dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan rekan seprofesi, sebagaimana juga profesi-profesi lainnya. Ruangan ini ingin menunjukkan bahwa Frida adalah sebuah gunung berapi yang di dalam perutnya menyimpan magma yangmenyembul sewaktu-waktu bukan hanya dalam bentuk lukisan, tapi banyak hal lain, seperti sketsa, puisi, surat, keramik, dan rancangan busana. Para kurator menyusun ruangan ini berdasarkan diari Frida yang ditulisnya pada saat dia mengerjakan karya-karyanya. Dalam diarinya Frida misalnya menjelaskan masing-masing warna yang digunakan saat dia melukis. 55


Di ruangan ini juga ditampilkan dua lukisannya yang tidak sempat dia selesaikan, New York Landcape dan Self-Portrait. Meskipun tidak selesai, kurator museum mengatakan, kedua lukisan itu tetap membangkitkan karakter khas lukisan-lukisan Frida, yakni sapuan kuas, tatapan yang tegas, busana orang asli Mexico, dan muatan emosionalnya. Selain kegiatan melukis, gairah Frida juga terlihat sebagai anggota Partai Komunis Meksiko dan selain itu dia aktif sebagai pengajar di Sekolah Seni Rupa La Esmeralda. Meskipun karya-karyanya dianggap yang terbaik dizamannya, dia hanya pernah melakukan pameran kecil, di New York dan Paris. Di ruangan ini kita bisa melihat salah satu lukisannya yang terkenal di luar potret diri, lukisan buah semangka yang dagingnya berwarnamerah,seperti warna rakyat, yang diberi judul Viva La Vida. Frida pernah menulis, dan terasa seperti puisi, the devil is blonde and in his blue eyes, love was ignited by two little stars. In his tie and red breeches I find the devil quite charming. Dan museum ini menempatkan frasa ini di langit-langit ruangan ini. Pada ruang berikutnya dipamerkan koleksi-koleksi Ex-votos, akhir abad 19 dan awal abad 20. Ex-votos melambangkan dialog, pengorbanan, kebaktian dan imam. Ex votos ialah kerajinan rakyat yang sangat digemari di Meksiko. Berakar dari bahasa Latin, berarti “from a vow”. Dalam tradisi Katolik, kaul ini dipersembahkan kepada Perawan Suci Maria, Kristus, dan para Santo, sebagai wujud syukur dan terima kasih atas perhatian yang mereka berikan pada waktuwaktu tertentu. Sebagai hasil kerajinan rakyat, umumnya pelukis exvotos tak bernama. Frida pada masa awal juga banyak melukis Exvotos. 56


Menjelang kematiannya, ada sebuah wasiat Diego Rivera, agar teman-temannya dan terutama seorang yang sangat dihormatinya, Dolores Ormedo, untuk mengelola museumnya Anuhuacalli dan museum Frida Kahlo. Mereka inilah yang disebut sebagai Wali Amanat kedua meseum ini. Dalam wasiat itu, Diego juga meminta Dolores agar tidak membuka beberapa ruang tertentu di Casa Azul setelah empat puluh tahun sejak wasiat itu disampaikannya, dan itu mungkin, menurut informasi museum ini, karena pertimbangan politik. Selamanya hidupnya Dolores terkenal sebagai kolektor terbesar lukisan terbaik Frida Kahlo. Dia punya museum sendiri untuk memamerkan koleksinya itu, menghormati permintaan kameradnya tersebut. Ruang rahasia itu dibuka pada 2004, dua tahun sebelum Dolores meninggal, Wali Amanat memutuskan membuka ruang misterius dan rahasia tersebut, yakni kamar mandi dan gudang. Dan bersamaan dengan itu terbuka pula hal-hal yang selama ini tampak misterius dan menjadi tanda tanya terbesar pagi penggemar sang pelukis, yakni 2.8000 dokumen, 6,500 foto, baju-baju pribadi dan paling intim, korset, dan lebih dari 400 gambar. Melimpahnya harta karun tersebut menyebabkan Casa Azul tidak menampung semuanya. Di antara benda yang paling berharga disebutkan, sepasang anting yang diberikan pelukis Picasso kepada Frida yang kemudian lenyap; sebuah foto Guillermo Kahlo yang dibuat sendiri sang juru foto; sketsa pertama mural Diego Rivera, draf kuratorial Frida tentang sebuah mural yang dibuat sendiri. 57


Pada ruang berikutnya dipamerkan dalam sebuah akuarium rancangan Frida untuk pertunjukan teater boneka. Dalam tradisi rakyat Meksiko yang dimaksud boneka adalah monster-monster berwarna-warni dan tidak menakutkan, termasuk dalam barisan ini adalah tengkorak manusia dan seekor ikan bergigi tajam dalam posisi tergantung. Dalam ruang ini juga dipamerkan headline koran Internacional, organ Liga Komunis Internasional, yang terbit November 1937 untuk memperingati dua puluh tahun Revolusi Rusia, dengan judul “Panjang Umur Revolusi Oktober, Selangkah Lagi Menuju Sosialisme Dunia.” Di koran terpampang wajah Lenin dan Trosky. Di bagian lain tampak cukilan gambar Trosky, pemimpin Bolesvick yang bermusuhan dengan Stalin. Pada tahun itu juga Trosky melarikan diri ke Meksiko. Memang setahun sebelumnya Diego Rivera telah membentuk sebuah komite yang disebut sebagai Committe Right of Asylum untuk menyelamatkan Trosky dari Stalin. Pada sebuah kertas telegraf di Casa Azul, tampak Diego mengirim sebuah pesan kepada Norman Thomas di New York, untuk membantu pelarian Trosky. Di negeri buangan Trosky disambut Presiden Meksiko Lazaro Caldenas. Pasangan Diego dan Rivera kemudian mengundang Trosky dan istrinya, Natalia Sedova, untuk tinggal di Casa Azul. Mereka hanya dua tahun tinggal di Casa Azul kemudian pindah ke sebuah rumah lain, hanya terpaut sekitar 500 meter dari Casa Azul, di jalan Wina, dan sekarang juga dijadikan sebagai museum. Meskipun telah terpisah ribuan mil jauhnya, Stalin tetap memburu Trosky. Dalam pengasingan ini terjadi dua kali usaha pembunahan terhadap Trosky. Percobaan pertama dilakukan oleh seorang 58


pembuat mural David Alfaro Siqueiros, namun gagal. Pembunuhan kedua mengkhiri hidup Trosky, dilakukan oleh seorang mata-mata Spanyol yang juga bekerja untuk kepentingan Uni Soviet, Ramon Marcader. Pada bagian lain tampak foto Frida dan Trosky, diapit oleh beberapa pejabat militer Meksiko, foto itu dibuat pada 1937 dan tidak diketahui siapa yang telah memotret mereka. Memasuki ruangan berikutnya, adalah tempat beberapa lukisan sebelum dia memulai melukis mural- muralnya yang terkenal. Menurutmuseumini,tidak banyak yang mengetahui bahwa padamasa awaLnya Diegomelukis dalam gaya kubisme. Porfirio Diaz adalah salah seorang diktator yang paling kejam dalam sejarah dan ingatan rakyat Meksiko. Selama masa kekuasaaannya dia membunuh hampir 500.000 rakyatnya sendiri, kebengisan yang sama dengan Soeharto. Pada masa kekuasaannya, sang diktator banyak membangun proyek-proyek mercusuar, gedung-gedung besar, jalanjalan yang lebar, sistem transportasi, karena keinginan menjadikan Mexico City seperti kota-kota di Eropa, terutama Paris, di mana peninggalannya masih bisa kita temui hingga sekarang. Sebagaimana diuraikan di atas ayah Frida adalah seorang fotografer. Sebagai fotografer resmi rezim tersebut, foto-foto Guillermo banyak mengabadikan perwujudan dari mimpi dan hasrat sang diktator. Akan tetapi setelah Revolusi 1910 dan kekuasaan presiden Diaz runtuh dan ia melarikan diri ke Paris, Guillermo membuka studio sendiri. Pada masa inilah, cerita museum ini, Frida banyak membantu ayahnya bekerja dengan kemera, antara lain menemani ayahnya di kamar gelap untuk mencetak 59


foto. Berdasarkan inilah Frida menemukan sesuatu yang penting pada saat dia mulai melukis potret diri. Sejak awal dia telah belajar dengan baik bagaimana berpose dengan kamera. Lebih lanjut menyebutkan, Frida mengoleksi sekitar 6000 foto. Dia menggunakan beberapa di antara koleksinya sebagai bagian dari hidup dan karyanya. Setelah bagian ini aku memasuki ruang-ruang pribadi. Aku memulainya dengan ruang makan keluarga. Ruang makan ini tidak terlalu besar, tapi bisa memancing selera makan. Meja makan keluarga ini dilapisi alas putih. Di atasnya sebuah buli-buli dengan ukiran etnik, mungkin Aztez, dan sebuah piring yang telah terlalu lama menunggu sesuatu yang lezat dituang di atasnya. Di ujung ada sebuah rak kuning tempat porselin-porselin berwarna gelap dalam pelbagai ukuran tertata. Di atas rak, terdapat dua lukisan. Sementara di pojok tergantung sebuah monster yang menatap dengan ramah siapapun mereka yang beruntung pernah diundang makan di sini. Tepat di bawah sang monster adalah sebuah guci bercorak bunga melati putih yang melingkari gambar Pancho Villa. Rumah-rumah orang Meksiko, sejauh yang aku tahu, jarang menggunakan perapian, walaupun suhu pada musim dingin cukup membuat tubuh gemetar. Tapi tidak sedingin negara- negara empat musim. Akan tetapi ada sebuah perapian dari batu di ruang makan rumah ini, di sisi kanan. Dua bejana menampung bunga kertas, mengapit seekor burung raksasa yang sedang dan mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar. Burung pemarah itu dianyam dari sejenis tikar pandan. Tapi tak perlu khawatir, ada Don Qoixote yang sedang berusaha berunding dan meredam kemarahan burung tersebut. Sang 60


pahlawan kita juga dianyam dari tikar pandan. Di atas burung raksasa dan Don Quixote adalah gambar buah- buahan. Di bawah perapian berdiri dua ekor kambing, malangnya mereka juga dianyam dari bahan yang mudah disambar oleh api. Di masa lalu aku tak bisa membayangkan nasib kedua kambing ini ketika musim dingin datang dan pemilik rumah merasa perlu menghangatkan diri. Pertama- tama mereka harus diungsikan ke tempat lain. Pada sayap kiri tergantung tujuh topeng yang sangat mengesankan, dalam wujud binatang, setan, badut, dan manusia. Di antara topeng-topeng itu berdiri sebuah rak berwarna kuning, tempat teko-teko, wajan, puma, dan kuda memberikan kesan kegembiraan pada ruangan ini. Di bagian dinding tergantung tengkorak bayi mengenakan topi pet, ekpresinya meringis, seperti habis dimarahi ibunya karena nakal. Di sudut lain tergantung patung Judas Si Pengkhianat, yang dibuat oleh Carmen Caballero, seorang perupa perempuan yang banyak membantu Diego membuat karya serupa. Menurut papan informasi pada bagian ruang makan, pada dekade awal abad dua puluh, kerajinan rakyat Meksiko dan unsur budaya pra-Spanyol hampir tidak dihargai oleh masyarakat Meksiko sendiri. Tapi Frida dan Diego, melawan arus tersebut dengan mengoleksi kerajinan rakat tersebut dan mereka jadikan hiasan di rumah mereka. Ruang makan ini, misalnya, mencerminkan sikap mereka terhadap kerajinan rakyat. Di ruang makan ini pernah hadir, tokoh-tokoh penting zaman tersebut, seperti Andre Breton, Sergei Eisenstein, Tina Moddoti, Wolfgang Paalen, 61


Georgia O’ Keefe, Alice Rahon, Jose Clemente Orozco, David Alfaro Siquerios, Dr. Atl, dan tentu saja Leon Trosky. Pada rak-rak ini, bayi tengkorak, topeng-topeng, si pengkhianatJudas, burung raksasa yang pemarah, dua ekor kambing, dan pahlawan kita, Don Quixote, menjadi saksi ketika pada suatu sore Frida memutuskan menceraikan Diego, karena suaminya ketahuan berselingkuh dengan saudara perempuannya Cristina. Di sebelah ruang makan ini, adalah tempat persembunyian Leon Trosky. Di dalam bilik mandi kamar inilah salah satu tempat di mana ditemukan arsip-arsip penting Casa Azul. Sebelum digunakan oleh Trosky, kamar ini digunakan oleh Diego. Di dinding terlihat baju kerjaDiego dan sebuah senapan. Lainnya adalah lukisan perempuan telanjang dan seorang cowboy yang sedang menunggang kuda; patung-patung;danseekorkura-kura yangdiawetkan. Tidak ada serantai bawang putih tergantung di dapur Casa Azul, melainkan kata-kata ini: Who would say that spots are alive and help us live? Ink, blood, scent. What would I do without absurdity and evanescence? Ini adalah kutipan pernyataan Frida. Di sini, aku terpancing untuk memasak. Lihatlah panci-panci dan kuali besar terbuat dari tanah teronggok di atas dapur yang begitu menonjol karena perpaduan keramik berwarna biru dan kuning. Kendi-kendi dari tanah liat membuat penasaran sebagai wadah apa mereka, cuka, madu, manisan, siapa tahu, masa dapur ini mengepulkan telah lama berlalu. Di atas dapur, di dinding tergantung piring-piring dan wajan-wajan pelbagai ukuran, semuanya 62


dari tanah liat. Sebuah meja kayu yang cukup lebar dan dua kursi rotan tepat berada di tengah. Di atasnya ada sebuah teko bermoncong naga, sebuah wadah buah-buahan, sebuah keramik berbentuklabu.Menurutketeranganmuseum,dapur Casa Azul adalah dapur pada umumnya rumah di Mexico, mereka menyebutnya jantung. Keterangan ini menegaskan, meskipun pada masa itu memasak menggunakan gas sudah lazim di Meksiko, tapi keluarga ini memasak dengan gaya lama, dengan kayu, sebagaimana masyarakat pra-Spanyol memasak. Frida bertanya, “Jika bukan warna kita, aroma kita, rakyat kita, lantas kita siapa?” Museum ini juga menempelkan beberapa resep masakan Mole Poblano, di dapur Casa Azur. Apakah Frida atau Diego waktu memasak juga mengintip buku resep masakan? Ruangan berikutnya yang berada di lantai atas adalah ruang kerja Frida. Ruangan ini dirancang oleh Juan O’ Gorman, arsitek yang sama merancang studio Frida dan Diego didaerah San Angel. Ruangan ini berisi rak buku dan tempat beberapa arsip surat-menyurat disimpan. Bundel surat menyurat yang paling mencolok mata adalah prtes terhadap perusakan mural Diego Rivera di New York, oleh presiden Amerika Serikat, Rockefeller. Tentang hal ini akan aku tuturkan lain kali. Selain itu, di ruangan ini terdapat sebuah cermin yang bisa digunakan Frida untuk melukis potret dirinya; patung kuda (easel) hadiah dari Nelson Rockefeller, dan rak tempat menaruh buku-buku yang meliputi sejarah, sastra, politik, dan filsafat yang beberapa di antaranya ditandai dengan lukisan dan puisi- puisinya. Benda-benda dari masa pra Spanyol sebagaimana ruang-ruang sebelumnya juga memenuhi ruangan ini. Salah 63


satu yang cukup berarti bagi Frida adalah sebuah lukisan yang menggambarkan evolusi janin manusia, menunjukkan betapa hasrat terbesar Frida untuk melahirkan dan menjadi seorang ibu tidak pernah tercapai. Ruang kerja Frida berhubungan dengan ruang tidur siangnya. Ruangan ini kecil, sebagaimana ranjangnya dan seperti kamar hantu! Jangan salah paham. Hantu-hantu telah lama bersahabat dengan rakyat Meksiko di mana mereka punya hari khusus setiap tahun untuk memperingati dan mengenang arwah, seperti bisa kau lihat di film James Bond terakhir. Ranjang tidur siang Frida dilengkapi dengan sebuah tudung, Di tudung itu digantung macam- macam monster. Tapi apakah kau bisa memejamkan mata mamandang monster itu setiap mau tidur? Di sudut bufet kecil yang di atasnya terdapat botol obat, aku melihat sepasang kruk,seperti berusaha disembunyikan. Memang Frida berusaha menyembunyikan setiap kesakitan fisiknya kepada orang-orang terdekatnya. Aku mungkin juga akan begitu. Agak tersudut ada sebuah radio antik dan sebuah gramofon. Lagu-lagu memang cocok untuk mengantarkan kita tidur siang. Setelah Frida pergi, aku pikir monster- monster di kamar ini pasti kesepian. Studia Frida dan Diego berjarak cukup jauh dari Casa Azul, terletak di bagian selatan Mexico City. Untuk mencapai tempat itu, aku turun di Barranca de Muerto, stasiun terakhir. Dari stasiun metro sebenarnya ada banyak bus jurusan Six Flags yang bisa ditumpangi. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, aku tiba dengan napas tersengal-sengal untuk mendengar informasi bahwa 64


studio Frida sedang perbaiki. Petugas penjualan tiket mengatakan, yang buka hanya studio Diego Rivera. Di kompleks ini berdiri tiga bangunan jangkung. Studio Frida dan Studio Diego berdekatan, terhubung oleh sebuah jembatan. Tidak jauh dari situ, adalah studio Juan O Gorman, sekaligus arsitek yang merancang ketiga bangunan ini. Gorman juga seorang pembuat mural. Dia adalah teman dekat Frida dan Diego. Gorman membuat rancangan yang berbeda untuk tiga studio ini. Untuk Frida dan Diego dia merancang bentuk kubus. Hanya perbedaannya, studio Diego di lantai dasar dibiarkan kosong, seperti bentuk rumah panggung. Sementara atapnya menyerupai gir mesin, sebagaimana yang selalu menjadi latar belakang di posterposter kaum buruh. Kedua dinding studia Diego berwarna merah, sementara warna putih pada tampak belakang. Tampak depan yang menggunakan tangga melingkar dikelilingi oleh kaca. Sementara studio Frida semuanya dilapisi warna hijau, seperti Casa Azul. Pada bagian belakang cerobong setengah lingkaran menempel di bawah tangga penghubung. Adapun jendela kaca tidak sebanyak dan sepadat studio Diego. Studio Gorman sendiri hampir mirip studio Diego. Lantai dasar kosong dan dipenuhi jendela kaca di lantai dua. Tapi apa yang paling khas dari studionya adalah tangga berulir, yang di kalangan arsitek meliki tinggi kerumitan yang cukup tinggu. Kompleks studio ini dikelilingi oleh kaktus hidup yang berfungsi sebagai pagar. Pada saat aku tiba sekawanan mahasiswa sedang melakukan studi lapangan. Dosen mereka menjelaskan arti penting tempat ini terhadap sejarah seni 65


rupa modern Meksiko. Setelah membeli tiket masuk dan tiket untuk memotret, aku diarahkan oleh seorang petugas untuk naik ke lantai dua. Pajangan di Dinding Museo Casa Estudio Diego Rivera and Frida Kahlo Begitu aku masuk ke studio, aku mendapati ruang kerja Diego penuh setan, monster dan tengkorak yang tergantung di langitlangit, layaknya memasuki ruang kerja seorang tukang sihir. Di tiga kursi berwarna biru tua duduk boneka perempuan kulit putih berambut pirang dalam keadaan telanjang, monster dengan kepala mirip alien dan tubuh tinggal tulang-belulang, dan JudasIskariot 66


dalam posisi mengangkang. Tiga monster dengan ukuran lebih besar tergantung dekat jendela kaca. Wajah mereka seharunya menakutkan. Tapi bagaimana monster-monster itu diwarnai membuat kengerian tidak lagi menjadi penting, lebih tampak menghibur. Ada lebih banyak monster di pojok kanan, dengan pandangan mengancam ke arah pengunjung. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka disusun seperti kita meletakkan barang bekas di sudut gudang. Sementara di sudut yang lain, hampir menyentuh langit-langit, berjajal delapan tengkorak. Di salah satu penampang dipamerkan lukisan Diego tentang penjual bunga. Diego beberapa kali melukis tentang penjual bunga. Salah satunya dikoleksi Istana Merdeka Jakarta. Di tengah ruangan, mengelilingi sebatang pilar kecil, dipamerkan barang-barang pribadi Diego. Sepasangsepatu, tongkat, jaket, dan syal. Kursi kuas, palet, pisau, pewarna, dan lukisan seorang perempuan cantik dan seorang laki-laki kulit hitam dengan topi jerami, menandakan bahwa di sini lah sehari-sehari sang pelukis bekerja. Di belakang pilar itu lebih meriah. Di sebuah sudut, di rak sebuah bufet berderet stoples-stoples yang berisi bubuk pewarna dan sebuah timbangan! Di dekat bufet itu, di atas sebuah kursi duduk5 boneka perempuan telanjang, semuanya memakai pemerah pipi dengan rambut pirang, menatap dengan pandangan cabul. Sementara di dekat sebuah gramofon, berdiri Setan, seperti ingin mengucapkan selamat datang kepada para pengunjung. Di dekat si setan, ada batu giling, persisseperti yang biasa digunakan ibuku saat menggiling bumbu, dan antan kecil dengan moncong seekor babi. Di bagian bawah lagi-lagi setan, tapi dalam bentuk yang lebih kecil. 67


Di sebelahnya, rak-rak penuh keramik, patung- patung yang mungkin berasal pra-Spanyol yang tidak semuanya bisa ditampung di meseum Anuhuacalli. Koleksi monster-monster yang mengerikan itu, sebenarnya rupa-rupa Judas Iskariot yang dikerjakan khusus oleh Carmen Caballeros. Carmen Caballeros adalah seorang perajin biasa yang membuat boneka Judas untuk diledakkan pada setiap festival La quema de Judas (Pembakaran Judas). Tradisi menghancurkan patung Judas berlangsung pada hari Sabtu Suci. Patung itu diisi diisi dengan mesiu, lalu dinyalakan melalui sebuah sumbu, dan momen-momen meledaknya sang pengkhianat di plaza- plaza di Meksiko sangat dinikmati oleh penonton. Pada suatu hari Diego bertemu dengan Carmen dan dia sangat tertarik ketrampilannya. Lalu Diego mengundang Carmen ke studionya untuk membuat patung Judas, tengkorak, chaross, seperti yang tampak di langit-langit. Diego kemudian melukis makhluk-makhluk tersebut. Di ruang sebelah adalah kamar tempat Diego beristirahat. Kamarnya tidak begitu besar. Di kamar ini terdapat boneka Catrina yang mengenakan baju pengantin dan pasangannya. Catrina adalah simbol lain Meksiko, yang suvenir yang berkenaan dengan dirinya juga bisa ditemukan di setiap sudut negeri ini. Selain perempuan, Catrina adalah wujud sebuah tengkorak. Posado seorang perupa yang melahirkan sosok legendaris ini, yang bahkan mengalahkan pamor sang pencipta sendiri. Posado menciptakan Catrina untuk mengkritik masyarakat Meksiko yang menginginkan diri mereka seperti orang Barat. Menurut Posado hal itu tidak mungkin dan memalukan. Catrina berpakaian 68


seperti orang Barat, mabuk oleh nilai-nilai Barat, tapi tidak bisa menyembunyikan kulitnya yang berwarna. Dalam mahakarya Diego, Catrina muncul dengan memegang tangannya. Di bawah kaki Catrina dan pasangannya, adalah patung Ketua Mao. Dan sebuah sketsa buram Frida terpampang di belakangnya. Di atas meja di sisinya, tergeletak beberapa benda kecil yang mungkin dipakai sehari-hari oleh Diego, sarung pistol, sarung kaca mata, dan beberap kunci dalam simpul yang berbeda-beda. Ranjang Diego kecil saja, dilapisi seprei putih bermotifbunga-bunga. Meja tulis dan rak buku juga mengisi ruangan ini. Ada sebuah sketsa mural tertempel di dinding, aku lupa apakah ini mural yang terdapat di Palacio Nacional. 69


Pustaka Hari Selasa, 22 November 2016, aku pergi ke Collegia de Mexico, ke arah selatan Mexico City. Aku diundang oleh Evi Siregar, seorang pengajar asal Indonesia di kampus tersebut. Di Universidad Pedagogia Nacional disambut oleh Bu Evi dan empat mahasiswanya. Di Collegia hanya ada kampus untuk S2 dan S3. Mahasiswa Bu Evi berkosentrasi untuk kajian Asia Tenggara. Mario, satu-satunya lakilaki, mahasiswa jurusan sejarah, sedang meneliti tentang bajak laut di perairan Indonesia dan Philipina. Alejandra sedang meneliti candicandi kuno Angkor Watdi Kamboja.Jaqueline meneliti pembangunan Indonesia pada masa OrdeBaru. Menurut Bu Evi, Collegia de Mexico merupakan pusat studi ilmu sosial terpenting di Meksiko. Kampus ini dibangun oleh para pelarian politik Spanyol pada masa kediktatoran Franco. Pada masa itu beberapa intelektual penting Spanyol mendapatkan suaka politik di Meksiko. Bu Evi menunjukkan plakat yang tertanam di dinding pintu masuk menuju perpustakaan tertulis kampus ini didedikasikan untuk mereka para pelarian politik... Bu Evi dan keempat mahasiswanya lalu mengajakku masuk ke perpustakaan. Perpustakaan ini baru diresmikan bulan Agustus lalu. Pada pertemuan sebelumnya Bu Evi mengatakan kepadaku, bahwa apa yang istimewa dengan perpustakaan Collegia ini, adalah mereka hanya mengoleksi buku-buku sastra. “Perpustakaan kami,” kata Bu Evi. “Adalah perpustakaan sastra terbesar di Amerika Latin. 70


Koleksi kami bukan hanya buku-buku sastra Amerika Latin, tapi juga sastra dunia.” Tampilan perpustakaan ini agak kaku dibandingkan dengan perpustakaan Universitas Leiden di mana beberapa tahun lalu pernah menghabiskan hari-hari di sana, yang dirancang secara kasual. Akan tetapi bagi yang ingin bekerja, kelebihan perpustakaan ini menyediakan kubikal khusus dan berdinding kaca, dengan meja kerja yang lumayan besar dan sebuah komputer. “Bagi bangsa ini,” kata Bu Evi. “Sastra adalah semacam harga diri.” Saya menyusuri lorong-lorong perpustakaan dan berjumpa dengan buku para penulis Ekuador. Kemudian buku-buku sastra Argentina, panjang, belasan lemari. Perpustakaan ini adalah gua terbaik bagi setiap penulis. Lalu kami berusaha mencari rak tentang sastra Indonesia. Bu Evi hampir putus asa, hingga akhirnya setelah hampir setengah jam pencarian seorag mahasiswa Bu Evi menemukannya. Rak Indonesia terletak di rak paling akhir, paling pojok, paling bawah, berhimpitan dengan cerita rakyat Malaysia. Di atasnya adalah buku penulis besar dan pejuang asal Philipina, Jose Rizal. Koleksi Sastra Indonesia, di perpustkaan sastra paling lengkap di seluruh Amerika Latin ini, tidak lebih dari 20 judul, kebanyakan kajian sastra yang ditulis oleh penulis asing, satu buku Pramoedya, el regreso de karman (Tohari, terjemahan Evi Yuliana Siregar); Namaku Hiroko (NH Dini); Twilight in Djakarta (Muchtar Lubis). 71


Tidak jauh dari koleksi Asia Tenggara, berdiri satu rak besar yang khusus tentang Don Quixote. Hanya tentang Don Quixute, umumnya karya para sarjana yang mengkaji novel karya Miguel de Carventes. Mungkin buku-buku tentang tonggak kesusatraan berbahasa Spanyol, melebihi koleksi buku-buku sastra Asia Tenggara. Ketika saya datang di perpustakaan sedang berlangsung pameran tentang Zapata dalam rangka hari revolusi Meksiko. Panitia juga menyelenggarakan sebuah seminar tentang pahlawan nasional Meksiko tersebut. Para sejarawan berbicara tentang sosok pahlawan itu dan mengundang keturunannya untuk berbicara dalam seminar ini. Sehabis makan siang saya bertemu dengan sang keturunan di kantin kampus, Sang keturunan tampak memelihara kumis yang melintang dan berkilat seperti kakek moyangnya. Lalu sebelum pulang aku pergi ke toko buku. Toko buku ini cukup besar, tapi kalah besar dengan sebuah toko buku ternama di Jakarta. Tapi tentu saja tidak kita temukan buku-buku motivasi diri di sini yang merupakan isi sebagian besar toko buku kuatIndonesiatersebut.Buku di sini adalah buku sejarah, politik, filsafat, antropologi, kajian budaya, dan ekonomi. Sebagian besar buku-buku di sini, hampir semuanya berbahasa Spanyol, diterbitkan oleh Collegio sendiri. “Setiap tahun,” kata Bu Evi. “Collegio mungkin mencetak ribuan buku. Mereka mendapatkan subsidi silang dari yayasan kampus yang mengelola beberapa bisnis. 72


Ada tradisi rutin di Collegio. Setiap tahun Presiden Meksiko diberikan panggung untuk berpidato. Tapi belakangan, kata Bu Evi, tradisi tersebut dihapus. Itu dilakukan agar kampus bebas dari campur tangan politik praktis. 73


Tentang Penulis Penulis esai dan cerita pendek ini lahir di Banda Aceh, 5 Oktober 1981. Cerpen-cerpennya masuk dalam 20 cerpen terbaik Indonesia versi Anugerah Sastra Pena Kencana terbitan 2008 dan 2009. Kumpulan cerpennya, Perempuan Pala (2004), diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Nutmeg Woman pada tahun yang sama. Bersama beberapa penulis, ia menerbitkan kumpulan esai Jakarta City Tour: Tragedi, Ironi, dan Teror (2003). Pada 1995 Taman Budaya Aceh memberinya gelar cerpenis terbaik Aceh. Ia pernah menerima penghargaan Free Word Award dari Poets of All Nation Belanda pada 2005. Azhari sekarang tinggal di Banda Aceh dan aktif di Komunitas Tikar Pandan, sebuah komunitas kebudayaan di Aceh. 74


Click to View FlipBook Version