Heterogenitas Sastra di Bali 192 Perkembangan Sastra Bali Modern Penuh Kesenjangan Sastra Bali Modern berawal tahun 1910-an ditandai dengan terbitnya sejumlah cerita pendek yang menjadi bagian dari buku pelajaran sekolah yang dibangun pemerintah kolonial Belanda (Putra, 2010). Hingga awal tahun 2020-an, Sastra Bali Modern sudah melampaui usia seabad. Dalam rentang waktu seabad lebih itu, perkembangan Sastra Bali Modern dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu (a) fase awal yaitu zaman kolonial, 1910-an–1940-an; (b) fase kemerdekaan, 1950-an–1980-an; dan (c) fase hadiah sastra Rancage, 1990-an sampai sekarang. Dari ketiga fase itu, dua fase pertama, dalam rentang waktu sekitar 70 tahun, kehidupan Sastra Bali Modern mengalami banyak kesenjangan atau kevakuman. Berikut diuraikan secara ringkas perkembangan Sastra Bali Modern berdasarkan fase-fase yang ada. Dua fase diuraikan dalam subbab ini, sedang fase terakhir diuraikan dalam subbab berikutnya. Pertama, fase awal zaman kolonial ditandai dengan terbitnya beberapa cerita pendek dalam buku pelajaran sekolah. Cerpen-cerpen tersebut karya guru-guru yaitu I Made Pasek dan Mas Nitisastro. Cerpen mereka disertakan dalam buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya Putra (2010 [2000]). Pada fase ini juga terbit novel Nemoe Karma (1931) karya I Wayan Gobiah, yang merupakan novel pertama Sastra Bali Modern (Lihat Foto 10.1). Novel kedua, Mlantjaran ka Sasak (Melawat ke Sasak) karya Gde Srawana yang terbit bersambung di majalag Djatajoe antara 1939-1941 (tidak tamat). Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan novel ini tahun 1978, dalam bentuk stensilan. Dalam fase awal ini, tidak ada lagi ditemukan karya sastra berbahasa Bali kecuali beberapa cerpen dan dua novel. Dari zaman revolusi merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tidak ditemukan karya Sastra Bali Modern yang terbit. Dengan demikian batas fase awal zaman kolonial ini adalah sampai awal 1940-an. Jumlah karya yang terbit sangat sedikit, namun realitas ini tidak perlu mengherankan karena karya sastra lain seperti sastra Indonesia dan sastra Bali tradisional juga tidak banyak dalam periode ini. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 193 Foto 10.1 Buku sastra Bali modern, dari kiri: terbit tahun 1915, 1931, 1947. Kedua, fase kemerdekaan sampai reformasi, 1950-an sampai 1990-an akhir, juga merupakan fase kekosongan panjang. Hanya ada satu puisi yang terbit yang merupakan karya pertama untuk bentuk puisi. Puisi yang muncul periode ini adalah sebuah puisi berjudul “Basa Bali” (Bahasa Bali) karya Suntari Pr., terbit dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali (No. 1, Th. I Maret 1959: 30). Anehnya, siapa Suntari Pr. sampai sekarang tidak ada yang tahu, apakah orang Bali atau tidak. Namanya tidak berisi ciri kelaziman nama Bali (seperti Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Anak Agung, atau Ida Bagus). Meski identitas lengkap pengarang tidak diketahui, karya yang ditulis Suntari Pr. menempatkan posisi penting dalam fase perkembangn sastra Bali modern, karena inilah karya puisi pertama yang terbit dan paling terkenal dibandingkan karya lainnya dalam sastra Bali modern. Judul dan isinya pun menarik karena relevan dengan eksistensi sastra Bali modern yang ditulis daalm bahasa Ibu. Ungkapan kecintaan akan bahasa Ibu menjadi tema utama pada puisi ini, sebagai ekspresi pada cinta bahasa dan ‘tanah air’ Bali, mengingatkan pada puisi “Bahasa, bangsa” karya Mohammad Yamin yang hadir tiga puluh tahun sebelumnya. Seperti tercermin dari judulnya, sajak ini menyampaikan rasa kagumnya kepada bahasa Bali, sebagai bahasa Ibu yang bisa dijadikan alat komunikasi sesama warga Bali. Sejalan dengan perkembangan zaman, ekspresi baru diselipkan jika bahasa Bali tidak memiliki kosa kata tersebut. Berikut kutipan penuh puisi Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 194 tersebut disertasi terjemahan bahasa Indonesianya. Suntari PR Basa Bali Tan uning titiang ring kerananipun Sukseman titiange kategul antuk benang sutera Ngerandjing menjusup tulang ngantos kesumsum Sane dados bagian awak titiange Sareng maurip saking ajunan ngantos kelih Seduke ngipi, memanah tur ngemedalang rasa Ring sadjeroning basa Ibu Manah titiange sampun kelih antuk tjajane Keborbor sukseman titiange antuk tjajane, Titiang manggihin pribadin titiange Titiang magubugan ring masarakat Terus masemetonang sareng sawitra Baktin titiang ring rerama nentendja kirang Kasih-kinasihan sareng alit-alite. Sane entjen kirang terang kapikajun, Titiang njelipang rawos anjar, Anggen titiang pajas sane tjotjok ring kala puniki Kepanggih rupanipun ngenjagang manah. Bahasa Bali Tak tahu aku sebab musababnya Hatiku bagai terikat benang sutera Masuk menyusup ke tulang hingga ke sumsum Yang menjadi bagian tubuhku Hidup bersama sejak kecil hingga dewasa Sejak mimpi, berpikir dan mengekspresikan perasaan Dalam pelukan bahasa Ibu, Hatiku sudah matang berkat cahayanya, Terbakar sukmaku oleh cahayanya Aku menemukan pribadiku Aku berlaku dalam masyarakat Lalu berkerabat dengan sahabat Baktiku pada orangtua, tidaklah kurang, Berkasih-kasihan dengan anak-anak. Yang mana kurang masuk akal, Aku menyelipkan kata baru, Kujadikan hiasan yang cocok saat sekarang, Terlihat rupanya menghancurkan pikiran. Selain puisi ‘Basa Bali’, tidak ada karya lain tercatat, sehingga dalam fase ini pun sastra Bali modern mengalami kesenjangan alias vakum. Kesenjangan kehidupan sastra Bali modern tidak saja terjadi pada era kolonial dan awal kemerdekaan Indonesia, tetapi juga berlanjut sampai tahun 1990-an. Kesenjangan itu membuat sejumlah sarjana, sastrawan, dan budayawan di bawah inisiatif I Gusti Ngurah Bagus (waktu itu belum Doktor, belum menjadi guru besar) untuk melaksanakan pertemuan untuk pengembangan sastra Bali. Jalan yang ditempuh adalah dengan mengadakan Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 195 sayembara-sayembara. Makanya sastra Bali modern pernah dijuluki ‘sastra sayembara’ (Jendra, 1976). Langkah sayembara mampu memotivasi pengarang untuk menulis. Bukan untuk mengejar hadiah materi, tetapi karena ‘rasa kebanggaan’. Cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” (Bertemu di Tampaksiring) karya I Made Sanggra merupakan salah satu cerpen juara sayembara awal 1970-an. Cerpen ini terkenal sampai sekarang, ikut memperkokoh eksistensi sastra Bali modern, bersama sedikit karya lainnya. Usaha-usaha sayembara itu memungkinkan Ngurah Bagus lewat lembaga Balai Bahasa menerbitkan beberapa buku bunga rampai karya sastra Bali modern seperti Kembang Rampe Kasusatraan Bali (1978), yang memuat puisi, cerpen, dan drama. Buku-buku ini menjadi korpus yang mendeklarasikan eksistensi sastra Bali modern. Namun, karena jumlahnya terbatas, bukubuku itu hanya untuk di kalangan penulis, kaum akademisi, dan mahasiswa jurusan bahasa Bali. Mereka tidak sampai ke masyarakat luas. Sekolah-sekolah tidak memiliki ruang atau jam pelajaran bahasa daerah yang cukup untuk memperkenalkan sastra Bali modern. Hal ini melemahkan penulis untuk berkarya. Mereka lalu menulis sastra Bali tradisional atau sastra Indonesia (modern). Selain melakukan sayembara, sastrawan, sarjana, dan budayawan dalam sebuah pertemuan tahun 1969 mengambil inisiatif untuk menerbitkan majalah berbahasa Bali atau mendorong media massa yang ada untuk membuka rubrik sastra Bali modern. Yang berhasil dilakukan adalah melobi surat kabar Suluh Marhaen (nama lama Bali Post) yang kemudian sudi membuka rubrik ‘Sabha Sastra’ (Lihat Foto 10.2). Rubrik ini memuat puisi, ulasan, dan cerita pendek berbahasa Bali. Di luar tradisi sayembara untuk merangsang penulis berkarya, mulai 1969 hadir ruang di surat kabar untuk penulis memublikasikan karya. Namun, hal ini hanya berlangsung sekitar dua tahun. Program ‘Sabha Sastra’ banyak yang tidak jalan karena ditinggal oleh tokohnya I Gusti Ngurah Bagus untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Antara tahun 1970-an dan 1980-an, nasib sastra Bali modern kembali mebhadapi masa surut. Sesekali terbit buku antologi puisi atau cerpen sastra Bali modern dalam bentuk stensilan yang diusahakan oleh pengarang sendiri. Koran Bali Post memuat secara bersambung novel berbahasa Bali, lalu diterbitkan oleh penerbit lain Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 196 seperti Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cintanya Hancur Lebur sebelum Berkembang; 1984) karya Djelantik Santa. Sastrawan yang tekun berkarya walau sulit memublikasikan karyanya adalah I Made Sanggra, I Ketut Suwidja, dan I Nyoman Manda. Namun, mereka juga menulis karya sastra Indonesia dan sastra Bali tradisional. Kelompok penulis muda yang belajar sastra Bali di perguruan tinggi dan kalangan wartawan juga menunjukkan komitmen untuk menumbuhkan sastra Bali. Mereka menerbitkan majalah berbahasa Bali seperti Kulkul, namun hanya bertahan beberapa bulan. Melihat situasi kehidupan sastra Bali modern, tidak mengherankan orang berkata sastra Bali ‘mandeg’ atau sudah mati (Setia, 1987). Suara-suara pesimistis terhadap eksistensi sastra Bali modern pun terus berkumandang. Tahun 1987, misalnya, wartawan (Tempo) Putu Setia dalam bukunya Menggugat Bali menegaskan bahwa ‘lonceng kematian sastra Bali dari yang tradisional sampai yang modern telah berbunyi nyaring’ (1987:126). Pernyataan ini tentu saja berlebihan karena kenyataannya sastra Bali (tradisional atau modern) tidaklah sungguh telah mati. Memang kalah semarak dengan kehidupan cabang seni lainnya seperti tari, gamelan, dan lagu pop Bali. Penilaian pesimistik ini merupakan warning (peringatan) yang membuat para penulis sastra Bali modern merasa Foto 10.2 Rubrik sastra Bali modern di koran Suluh Marhaen dan bukubuku sastra Bali modern terbitan Balai Penelitian Bahasa. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 197 tertantang. Dalam krisis demikian, Made Sanggra menerbitkan buku kumpulan puisi Kidung Republik (1997) dengan usaha dan biayanya diperoleh dari kemurahan hati sponsor. Kehadiran antologi puisi ini tidak serta merta menggeliatkan kehidupan sastra Bali modern, tetapi hanya menegaskan bahwa sastra Bali modern belum mati. Novel Sunari karya I Ketut Rida merupakan perkecualian karena diterbitkan oleh penerbit luar yang sudah terkenal, yaitu Yayasan Obor, tahun 1999, yakni 19 tahun sejak ditulis pertama 1980. Walaupun dicetak offset (bukan lagi stensilan seperti buku-buku sebelumnya) dan dengan sampul warna, dengan harapan menarik hati banyak pembeli. Secara umum, buku sastra memang kurang laku, lebih kurang laku lagi adalah buku-buku sastra Bali modern, dengan mudah difotokopi seolah meneruskan tradisi menyalin lontar. Makin Ramai Berkat Rancage Memasuki akhir tahun 1990-an, perkembangan Sastra Bali Modern memasuki babak baru. Untuk pertama kalinya tahun 1998, Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi memasukkan Sastra Bali Modern sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage. Untuk melakukan seleksi dan nominasi yang layak menerima penghargaan, Ajip Rosidi menunjuk Nyoman Tusthi Eddy, seorang guru, sastrawan, dan kritikus. Tusthi Eddy menulis kritik sastra Indonesia, menulis puisi Bali modern, dan juga menerbitkan buku sastra Bali modern berjudul Mengenal Sastra Bali Bali Modern (1991). Penerima pertama anugerah Rancage untuk buku terbaik tahun 1997 adalah buku puisi Kidung Republik karya I Made Sanggra, sedangkan untuk tokoh yang berjasa dalam pengembangan sastra Bali modern adalah I Nyoman Manda. Anugerah diserahkan tahun 1998. Ketika tahun seleksi tahun 1997 dilaksanakan, kemungkinan besar hanya ada satu buku sastra Bali modern yang layak diseleksi. Ini untuk menegaskan bahwa tidak banyak ada buku yang diseleksi, walau demikian tetap harus dikatakan bahwa sajak-sajak I Made Sanggra dalam antologi Kidung Republik adalah karya puisi yang hebat dan walau tidak ada saingan dalam seleksi sungguh buku itu pantas mendapat anugerah (untuk penerima anugerah Rancage selengkapnya, lihat Tabel 10.1 di lampiran bab ini). Ketua Dewan Juri Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 198 Hadiah Sastra Rancage Ajip Rosidi menunjuk Nyoman Tusthi Eddy sebagai juri untuk sastra Bali. Tusthi Eddy bertugas mulai 1997-1999. Setelah itu, Ajip Rosidi menunjuk I Nyoman Darma Putra sebagai juri, bertugas mulai 2000-sekarang (2021). Tak lama berselang, buku sastra yang terbit terus bertambah. Tahun 2000, jumlah buku yang terbit per tahun meningkat, antara 5 judul sampai 17. Kalau dirata-ratakan dalam 10 tahun terakhir, ada sekitar 8 buku sastra Bali terbit per tahun. Tentu saja jumlah ini masih kecil, tetapi bisa dibayangkan bahwa angka itu akan sangat jauh kecil jika rangsangan dari Rancage tidak ada sama sekali (Lihat Bab 14). Kehidupan sastra Bali modern sesudah mendapat rangsangan hadiah Rancage semakin rame. Arti penting hadiah sastra Rancage terhadap kehidupan sastra Bali modern bisa dirumuskan dalam beberapa poin berikut. Pertama, hadiah sastra Rancage ini memberikan motivasi penulis untuk berkarya, baik bagi penulis ‘lama’ maupun ‘pendatang baru’. Motivasi menulis untuk mendapat hadiah sastra tidak harus dilihat secara negatif apalagi sastra Bali modern memiliki predikat masa lalu sebagai ‘sastra sayembara’. Mencipta untuk mengikuti sebuah sayembara merupakan hal positif bag penulis untuk menghasilkan karya terbaiknya. Bagi pembaca, hadirnya karya yang baik adalah hal yang ideal. Kedua, hadiah sastra Rancage telah mendorong pencinta sastra Bali modern untuk memberikan perhatian lebih serius tentang eksistensi sastranya. Ada semacam rasa ‘malu bagaimana bisa sastra Bali diberikan penghargaan oleh ‘orang luar’, maksudnya Yayasan Kebudayaan Rancage. Hal ini dibuktikan dengan berusaha menerbitkan majalah sastra seperti Kulkul, Canang Sari, Buratwangi, dan majalah Satua (Cerita) sebagai jalan mengembangkan kehidupan sastra Bali modern. Kehadiran media massa ini disambut para penulis dengan mengirimkan karangannya, tetapi dianggap belum mampu menyemarakkan kehidupan sastra Bali modern karena sirkulasinya terbatas, dan beberapa malah berumur pendek alias mati muda. Ketiga, mendorong komunitas sastra Bali modern untuk kembali melobi surat kabar terbesar di Bali, dalam hal ini Bali Post, untuk menerbitkan edisi khusus atau suplemen berbahasa Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 199 Bali sebagai media untuk memublikasikan dan mendekatkan sastra Bali modern ke masyarakat luas. Usaha ini berhasil, buktinya sejah Agustus 2006, Bali Post edisi Minggu, hadir dengan suplemen Bali Orti. Suplemen ini terdiri dari 8 halaman, memuat feature, cerita bersambung, puisi, cerpen, profil, dan esei sastra. Kalau dulu rubrik “Sabha Sastra” di Suluh Marhaen hanya setengah halaman, kini lebih luas ruangannya. Bali Orti inilah yang kini merupakan satu-satunya media massa yang menjadi pilar penting kehidupan sastra Bali modern, koran lainnya seperti NusaBali tidak memberikan ruang sastra Bali. Penulis-penulis muda memublikasikan cerpennya di Bali Orti dan kemudian menerbitkan antologi cerpen dengan karya lainnya untuk kemudian diajukan dalam nominasi hadiah sastra Rancage. Belakangan, surat kabar Pos Bali juga membuka rubrik sastra Bali setiap minggu, memuat cerpen, puisi, dan artikel dalam bahasa Bali. Media ini menambah ruang bagi sastrawan untuk menulis. Merupakan kebanggaan tersendiri bagi penulis dan tokoh yang mendapat hadiah sastra Rancage. Mereka terus menulis, tiap tahun menerbitkan buku puisi atau cerpen atau novel sehingga menambah terus kuantitas dan kualitas korpus sastra Bali modern. Penambahan korpus itu juga terjadi lewat publikasi karya di Bali Orti dan Pos Bali. Boleh dikatakan bahwa dalam 15 tahun terakhir ini kehidupan sastra Bali modern cukup stabil, tidak lagi ada gap panjang, kosong karya, seperti tahun 1930-an, 1940-an, atau 1970-an. Sistem pemerintahan otonomi daerah telah menimbulkan semangat baru bagi daerah-daerah untuk mengembangkan atau mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah. Hal ini menimbulkan peluang kerja baru bagi guru bahasa dan sastra daerah. Di Bali hal ini nyata sekali. Dulu hanya Universitas Udayana yang membuka jurusan bahasa dan sastra Bali, sejak otonomi daerah, jurusan itu ditawarkan oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi, seperti Universitas Dwijendra, IKIP PGRI Bali, dan Institut Hindu Dharma (IHD). Dulu jumlah mahasiswa yang belajar sastra dan bahasa Bali sangat kecil, pernah di bawah sepuluh. Belakangan peminatnya banyak sekali, dengan harapan setelah kuliah, mereka bisa menjadi guru bahasa dan sastra Bali. Banyaknya mahasiswa membuat buku karya sastra Bali modern mendapat perhatian misalnya sebagai bahan analisis untuk menulis Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 200 skripsi. Perkembangan lainnya, mahasiswa program pascasarjana juga mulai banyak, termasuk yang memilih dan menjadikan sastra Bali modern untuk objek penelitian. Apresiasi dan analisis atas karya ini membuat penulis buku sastra Bali seperti mendapat perhatian. Mereka merasa ada gunanya menulis, dan akhirnya terus menulis sesuai dengan laju kreativitas masing-masing. Kian banyak buku yang menjadi korpus sastra Bali modern, yang menjadi body of knowledge tentang apa pun yang diungkapkan terutama ihwal perubahan sosial budaya dan politik di Bali. Semangat mempelajari sastra Bali kini dibayang-bayangi oleh kabut Kurikulum 2013 yang menghapuskan pelajaran bahasa daerah. Dalam kurikulum baru, pelajaran bahasa daerah digabungkan ke dalam mata pelajaran budaya lokal, termasuk di dalamnya kesenian dan keterampilan. Dampak kebijakan kurikulum itu mengurangi peluang untuk menjadi guru bahasa daerah. Aliansi Peduli Bahasa Bali yang dimotori mahasiswa dan sarjana bahasa Bali serta didukung beberapa lembaga perguruan tinggi berusaha memperjuangkan pengajaran dan pembinaan bahasa Bali. Mereka melakukannya dengan berbagai tindakan unjuk rasa mulai dari penolakan kurikulum 2013, mendorong pemerintah untuk membina bahasa Bali, memperhatikan sarjana dan guru bahasa Bali. Mereka juga datang ke DPR Pusat untuk maksud yang sama (Ardiyasa, 2012; Fox, 2012). Perjuangan Aliansi Peduli Bahasa Bali akhirnya membuahkan dua hal yang saling berkaitan. Pertama, pemerintah menunjukkan kebijakannya untuk membina bahasa Bali di luar sekolah. Kedua, pemerintah provinsi mengangkat sarjana bahasa Bali sebagai penyuluh bahasa untuk melakukan pembinaan tersebut. Tahun 2016, untuk pertama kalinya, melalui proses seleksi, Pemprov Bali mengangkat 716 penyuluh bahasa Bali, ditempatkan di masing-masing satu orang per desa (dinas). Mereka digaji seperti pegawai kontrak. Dalam perjalanan waktu, ada beberapa penyuluh yang mundur, tetapi Pemprov menyeleksi lagi untuk mengangkat pengganti. Para penyuluh bertugas untuk membina bahasa Bali di wilayah kerja masing-masing. Selain membina bahasa Bali, mereka juga mendata koleksi lontar, menulis cerita rakyat, dan membuat buku antologi puisi berbahasa Bali. Antologi puisi itu berjudul Campuhan Rasa Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 201 (Pertemuan Rasa), berisi 713 judul puisi karya dari 651 penyuluh bahasa dibuatkan dami dalam dua jilid dan diteruskan kepada dinas pendidikan/kebudayaan di kabupaten/kota diharapkan untuk dicetak dengan anggaran masing-masing. Para penyuluh bahasa juga telah mengumpulkan cerita rakyat dari desa-desa tempat mereka bertugas, namun proses penerbitannya menanti anggaran dari Dinas Kebudayaan Bali. Kehadiran antologi puisi dan naskah cerita rakyat Bali tersebut ikut memperkaya khasanah sastra Bali modern. Kegairahan mencipta dan memublikasikan Sastra Bali Modern tidak bisa dilepaskan dari semangat kecintaan pada bahasa dan sastra Bali yang tumbuh dari dalam dan motivasi dari hadiah sastra Rancage. Setelah lebih dari 20 tahun diikutkan sebagai penerima hadiah sastra Rancage, sudah ada hampir 50 penulis/pembina Sastra Bali modern yang meraih hadiah sastra Rancage, baik atas buku yang ditulisnya, maupun atas jasanya dalam pengembangan bahasa dan sastra Bali (Lihat Lampiran). Mereka dan karya-karya yang diciptakan adalah tulang-punggung kehidupan Sastra Bali Modern. Karya, Kecenderungan Tematik, dan Penulis Terlepas dari masa kesenjangan-kesenjangan yang sambungsinambung, dalam rentang waktu seratus tahun, sudah cukup banyak karya sastra Bali modern yang terbit. Karya-karya tersebut sudah membentuk korpus karya yang tidak saja membuat sosok sastra Bali modern kian jelas dan kuat tetapi juga merupakan teks pengetahuan dan kearifan lokal. Pendek kata, sastra Bali modern sudah merupakan cultural heritage (warisan budaya). Jika dilihat dari bentuknya, kebanyakan sastra yang hadir adalah jenis puisi dan cerita pendek, sedangkan novel relatif sedikit, dan naskah drama lebih sedikit sekali. Komposisi ini mungkin bersifat universal karena di berbagai sastra di dunia, puisi dan cerita pendek memang lebih cepat bisa dipublikasikan daripada jenis sastra yang lainnya sehingga jumlah lebih banyak. Ketika sastra Bali modern pertama hadir tahun 1910-an, bentuk yang muncul adalah cerita pendek. Tahun 1913, I Made Pasek menerbitkan buku berjudul Tjatoer Perenidanâ, Tjakepan kaping doeâ pâpeladjahan sang mâmanah maoeroek mâmaos aksarâ Belanda” Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 202 (Catur Perenidana, buku pelajaran kedua bagi peminat belajar bahasa aksara Belanda), yang berisi 46 karangan termasuk jenis eksposisi dan narasi. Cerita pendek yang muncul dalam buku ini berjudul “Balian” (Dukun), sangat pendek dan bisa dianggap cikal-balak cerpen bahasa Bali modern. Pasek juga menerbitkan buku Aneka Roepa Kitab Batjaan (1916, penerbit Landsdruikkerij, Batavia). Buku ini ditulis dengan huruf Latin, berisi 33 judul, sebagian besar merupakan tulisan naratif berbentuk cerita pendek, yang struktur dan alurnya lebih mantap dari cerita sebelumnya. Salah satu cerpen yang menarik dalam buku ini berjudul “Pemadat”, mengisahkan orang yang hidupnya berantakan (sampai mencuri sapi) karena kecanduan narkoba zaman itu. Dalam buku lain, Pasek juga menulis cerita tentang orang yang minum-minuman keras seperti brendi dan jenewer, akibatnya mabuk dan meninggal. Selain Pasek, Mas Nitisastro, seorang guru dari Jawa yang bertugas di Singaraja juga menerbitkan buku yang berisi cerpen, seperti buku Warna Sari, Batjaan Bali Hoeroef Belanda (1925, terbit di Weltevreden), ditulis dalam huruf Latin (bukan huruf Belanda), digunakan untuk kelas III di Bali. Salah satu cerpen Nitisastro adalah “Anak Rihih” (Orang Cerdik), kisah anak yang pintar untuk minta tolong menggali sumur. Berbeda dengan cerita Made Pasek soal narkoba dan minum keras, cerita ini bernada jenaka. Meski berbeda, tema-tema cerita Pasek dan Nitisastro sama-sama aktual dengan situasi saat itu atau memberikan nasehat dan hiburan yang cocok untuk anak-anak sekolah. Kecenderungan tematik karya Sastra Bali Modern bisa dikategorikan ke dalam tiga tema utama yaitu, identitas Bali, hukum karma dan sistem kepercayaan, serta perubahan sosial khususnya akibat dampak pariwisata. Kadang satu karya bisa tampil memadukan dua atau ketiga tema tersebut. Masalah identitas muncul dalam berbagai karya, seperti puisi, cerpen, dan novel. Dalam novel Nemoe Karma (Ketemu Jodoh) yang terbit tahun 1931, masalah identitas muncul dalam pergantian nama tokoh-tokohnya sehingga mereka tidak mengetahui bahwa mereka bersaudara. Dalam novel Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana masalah identitas yang muncul adalah masalah kasta, yang menghalangi dua remaja saling jatuh cinta berbeda kasta untuk Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 203 melanjutkan rasa cintanya. Soal identitas juga menjadi salah satu tema dalam cerpen Ketemu ring Tampaksiring karya Made Sanggra yang mengisahkan wartawan Belanda yang jatuh cinta kepada penjaga artshop di Tampaksiring. Belakangan terungkap bahwa sesungguhnya sang wartawan dan penjaga artshop itu adalah saudara sekandung mereka dari ayah tentara Belanda dan ibu orang Bali. Mereka bercerai karena kemerdekaan di mana tentara Belanda pulang ke negerinya membawa anaknya yang kelak menjadi wartawan. Dia meninggalkan istrinya yang hamil yang kemudian melahirkan penjaga artshop. Terungkapnya identitas membuat niat pacaran antara kakak-adik terhindarkan, berarti inses tercegah. Identitas kebalian (menjadi orang Bali/ being Balinese) juga muncul dalam beberapa karya umumnya dengan latar belakang perkembangan kepariwisataan. Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi Mekel Paris (Mister Paris) (2012) karya IBW Keniten berisi 12 cerpen yang semuanya menyajikan interaksi antara orang Bali dengan orang Barat, seperti orang Belanda, Perancis, New Zealand, dan Jepang (Septiawan, 2014). Interaksi itu terjadi karena berbagai faktor tetapi pada dasarnya hendak menyampaikan pesan betapa pentingnya orang Bali menjaga identitas sebagai orang Bali melalui pelestarian budaya dan mencegah pengaruh negatif dari orang asing. Tampaknya tema identitas akan terus menjadi kecenderungan dalam karya Sastra Bali Modern, baik dalam konteks identitas sebagai orang Bali dengan melawankan diri dengan orang lain (the other) maupun identitas dalam konteks internal Bali seperti berlaku dalam konteks sistem kasta atau warna. Tema yang berhubungan dengan hukum karma atau sistem kepercayaan juga menjadi salah satu kencenderungan utama dalam karya Sastra Bali Modern. Salah satu cerpen Made Pasek berjudul “Keneh Jujur dadi Mujur’ (Niat Jujur jadi Mujur) adalah contoh cerita bertema hukum karma, yang mengisahkan tokoh yang berbuat jujur akhirnya beruntung. Kisahnya adalah seorang pekerja menggali tanah dan menemukan harta karun, namun dia minta petunjuk kepada hakim siapa ayng berhak atas harta karun itu, apakah yang menggali atau yang memiliki tanah? Sang hakim memberikan putusan bahwa harta karun itu dibagi dua, satu untuk anak penggali dan satu bagian lagi untuk anak pemilik tanah. Keduanya merasa senang dan merasa mendapat kemujuran untuk Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 204 keluarga masing-masing. Dalam novel Mlantjaran ka Sasak (Melawat ke Sasak) aspek hukum karma terlihat dari ketika tokoh laki-laki novel itu menyelamatkan tokoh perempuan dari kecelakaan. Hutang budinya dibalas dengan berbagai kebaikan, yang bagi tokoh laki-laki itu yang menandakan bahwa hukum karma baik bagi yang berbuat baik bekerja dengan efektif. Mengenai sistem kepercayaan akan leak (black magic) juga sangat kental dalam sastra Bali modern, seperti bisa dibaca dalam antologi cerpen Leak Pemoroan (2010) karya I Wayan Sadha. Leak dipercaya sebagai kekuatan ilmu hitam yang dapat menyihir dan menyakitkan. Kepercayaan tradisional ini masih mewarnai sistem kepercayaan masyarakat Bali pada zaman modern, seperti tersimak dalam cerpen “Jaen Idup di Bali” (Enak Hidup di Bali) (2016) yang melukiskan secara ironis bahwa hidup di Bali memang enak kalau bisa bebas dari serangan iri hati dan serangan black magic. Tema leak atau black magic juga muncul berulang dalam karya sastra Indonesia yang ditulis pengarang Bali (dalam arti yang berasal/ berdomisili di Bali), seperti novel popular Leak Ngakak (1978) karya Putra Mada yang diangkat menjadi film berjudul sama Leak Ngakak (1981) dan kumpulan cerpen Leak karya Faisal Baraas (Balai Pustaka 1983). Salah satu sumber cerita leak adalah kisah klasik Calonarang yang terus mewarnai kepercayaan masyarakat Bali dan memberikan inspirasi bagi sastrawan untuk berkreasi, termasuk sastrawan Bali Modern. Tema terakhir yang muncul berulang dalam sastra Bali modern adalah perubahan sosial akibat dari pariwisata. Novel Sayong (Kabut, 1999), karya Nyoman Manda mengisahkan kesulitan masyarakat mempertahankan sawah atau tanahnya dari incaran investor untuk pembangunan pariwisata. Kekhawatiran yang sama juga terungkap dalam antologi cerpen Ngurug Pasih (Menimbun Laut, 2014) karya I Gedé Putra Ariawan. Antologi cerpen yang meraih hadiah sastra Rancage tahun 2015 ini mengungkapkan kemauan masyarakat Bali menolak proyek reklamasi Teluk Benoa yang hendak dijadikan area pembangunan daya tarik atau fasilitas pariwisata. Kekhawatiran sosial terhadap tercerabutnya akar budaya Bali akibat pariwisata tercermin dalam cerita-cerita dalam antologi cerpen Mekel Paris (Mr Paris), Metek Bintang (Menghitung Bintang, 2012) karya Komang Adnyana. Cerpen-cerpen dalam antologi Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 205 ini secara terbalik mengajak masyarakat Bali untuk secara kuat melestarikan budaya Bali walaupun terjangan pengaruh akibat pariwisata demikian kuat. Ramainya geliat sastra Bali modern juga ditandai dengan hadirnya banyak penulis, baik laki maupun perempuan, baik yang sudah senior maupun yang baru mulai. Penulis sastra Bali modern bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu sastrawan berlatar belakang guru dan berlatar belakang wartawan atau keduanya. Karya sastra Bali modern awal ditulis oleh para guru, seperti I Made Pasek, Mas Nitisastro, Wayan Gobiah, dan Gde Srawana. Penulis dari era sesudah kemerdekaan yang berprofesi sebagai guru/ dosen/ pendidik juga banyak, seperti I Nyoman Manda, Tusthi Eddy, I Ketut Rida, IGP Bawa Samargantang, I Made Suarsa, Putu Gde Suata, IDK Raka Kusuma, Nyoman Adiputra, IBW Keniten, IDG Windhu Sancaya, Gde Nala Antara, Komang Adnyana, Foto 10.3 Dua buku antologi cerpen dengan tema aktual dengan perubahan sosial. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 206 Putra Ariawan, dan Dewa Ayu Carmawati. Sebagian adalah guru yang mengajarkan sastra secara umum, sebagian lagi adalah yang mengajarkan bahasa dan sastra Bali. Yang jelas, mereka adalah orang yang dekat dengan dunia sastra. Kelompok kedua adalah penagrang berlatar belakang wartawan. Termasuk dalam kelompok ini adalah I Made Suarsa (pernah menjadi wartawan Sinar Harapan/ Suara Pembaruan), I Made Sugianto (Harian Nusa), Mas Ruscitadewi (Bali Post), Ni Madé Ari Dwijayanthi (Pos Bali), dan Putu Supartika (Tribun Bali). Biasa dengan profesi tulis-menulis berita dan dekat dengan berbagai isu sosial di masyarakat membuat wartawan dekat dengan dunia tulismenulis sastra. Selain sebagai pengarang, mereka juga memberikan kontribusi dalam memuat berita sastra di media tempat mereka bekerja. Sastra Bali Modern dan Kehidupan Sosial Budaya Peran sastra Bali modern dalam kehidupan sosial budaya bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu di bidang pendidikan, kesenian, dan wacana sosial. Indikator kualitatif bisa diberikan untuk membuktikan peran, kontribusi, atau fungsi sastra dalam kehidupan sosial. Pertama, peran sastra di bidang pendidikan bisa dilihat dari kegunaan buku sastra dalam dunia pendidikan, baik formal di sekolah maupun non-formal di masyarakat. Buku cerita karya Made Pasek dan Mas Nitisastro yang digunakan sebagai buku teks di sekolah dasar adalah bukti nyata sumbangan sastra dalam dunia pendidikan, dan tentu saja juga dalam pembentukan karakter siswa. Peran ini terus berlanjut di berbagai jenajng pendidikan, seperti di perguruan tinggi, karya sastra Bali modern telah menjadi bahan kuliah dan objek kajian yang menghasilkan berbagai pengetahuan kearifan lokal. Kedua, peran Sastra Bali Modern di bidang seni budaya Bali jelas terlihat dalam kehadirannya membuat lanskap sastra di Bali menjadi heterogen. Bali tidak saja memiliki seni pertunjukan, seni rupa, seni tari, tetapi juga seni sastra Bali. Dalam bidang seni pertunjukan, karya sastra Bali modern memberikan inspirasi pada penciptaan seni pertunjukan Arja (opera), yaitu cerpen Ketemu ring Tampaksiring (2003 [1972]) karya I Made Sanggra. Lazimnya cerita seni pertunjukan Bali diambil dari cerita Panji, Ramayana, atau Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 207 Mahabharata. Akademisi dan seniman pertunjukan Bali terkemuka, Prof. I Wayan Dibia, M.A., mengangkat cerpen Ketemu ring Tampaksiring menjadi arja tahun 2006, dan dipentaskan beberapa kali termasuk di Pesta Kesenian Bali. Memang belum ada karya Sastra Bali Modern lain yang diangkat sebagai lakon seni pertunjukan, meski demikian sumbangan kecil ini tetap pantas dicatat. Ketiga, sastra Bali modern berperan dalam mengartikulasikan kepedulian sosial lewat karya seni. Sebagai contoh adalah novel Sayong dan cerpen Helikopter karya Nyoman Manda yang mengangkat masalah penjualan tanah Bali untuk memenuhi bujukan investor dalam pembangunan usaha pariwisata. Antologi cerpen Ngurug Pasih (Menimbun Laut) karya Putra Ariawan muncul dalam suasana semaraknya isu penolakan megaproyek reklamasi. Memang kemampuan sastra Bali modern menjangkau pembaca relatif kecil, namun demikian perannya sebagai artikulasi kepedulian sosial tetap berguna dilihat dari kehadirannya sebagai dokumen sosial yang bisa dibaca kapan saja. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam lebih dari seratus tahun terakhir, kehidupan Sastra Bali Modern berkembang dari kondisi penuh kesenjangan, kekosongan, ke arah semakin semarak. Perkembangan awal pada zaman kolonial, 1910- an sampai zaman kemerdekaan hingga tahun 1980-an, kesenjangan demi kesenjangan mewarnai kehidupan Sastra Bali Modern. Berbagai usaha ditempuh untuk mengatasi kesenjangan itu seperti lewat sayembara, penerbitan dan publikasi di media massa, namun tidak juga berarti sehingga banyak muncul komentar negatif bahwa sastra Bali modern akan segera mati. Tanpa meremehkan peringatan tersebut, perlu juga diapresiasi secara objektif bahwa sesungguhnya berbagai usaha yang ditempuh mampu mempertahankan nafas hidup sastra Bali modern sehingga usaha menyemarakkannya tidak memerlukan langkah dari awal. Perkembangan sastra Bali modern mulai menggeliat dan makin ramai pada akhir 1990-an ketika Sastra Bali Modern dimasukkan sebagai penerima hadiah sastra Rancage, bersanding bersama sastra daerah lainnya, yaitu sastra Sunda, sastra Jawa, dan sastra Batak. Sejak itu, jumlah buku sastra Bali modern yang tebit Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 208 setiap tahun cukup membanggakan, rata-rata 8-10 judul. Walaupun angka ini relatif kecil, keberadaannya patut dicatat karena tidak pernah terjadi sebelumnya. Yayasan Kebudayaan Rancage pimpinan sastrawan Ajip Rosidi memainkan peranan penting dalam menyemarakkan kehidupan sastra Bali modern. Sulit membayangkan stigma Sastra Bali Modern ‘bagaikan kerakap tumbuh di batu’ seandainya tidak ada pemberian hadiah sastra Rancage. Untuk seratus tahun ke depan, kehidupan sastra Bali modern kemungkinan besar akan tetap stabil karena dasarnya sudah kuat dalam tiga dekade terakhir. Faktor eksternal yang mendukung juga positif seperti gairah pelestarian dan pengembangan bahasa Bali dan juga teknologi produksi dan distirbusi buku (secara digital) yang lebih mudah. Namun demikian, berdasarkan pengalaman yang ada, optimisme akan masa depan cerah sastra Bali modern akan lebih pasti terwujud kalau motivasi berupa pemberian hadiah sastra seperti Rancage tetap dapat diteruskan. Tabel 10.1 Lampiran Daftar Peraih Rancage untuk Sastra Bali, 1998—2020 No Tahun Buku terbaik/ karya pengarang Tokoh berjasa/Pengarang *) 1 2020 Kumpulan cerpen Nglekadang Meme (Melahirkan Ibu) Komang Berata 2 2019 Novelet Tresna tuare Teked (Kasih tak Sampai) Ida Bagus Pawanasuta 3 2018 Bulan Sisi Kauh (Bulan di Sisi Barat), prosa liris I Gede Agus Darma Putra. Tidak ada, kategori ini dihapuskan. 4 2017 Kutang Sayang Gemel Madui (Dibuang Sayang Dipegang Berduri) kumpulan cerpen Dewa Ayu Carma Citrawati. I Putu Supartika, penulis cerpen dan pengelola jurnal Suara Saking Bali (Suara dari Bali). 5 2016 Swecan Widhi kumpulan cerpen karya I Komang Alit Juliartha I Gede Gita Purnama Arsa Putra, penulis kritik sastra dan aktif di Aliansi Peduli Bahasa Bali. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Seratus Tahun Sastra Bali Modern 209 6 2015 Ngurug Pasih, kumpulan cerita péndék karya I Gedé Putra Ariawan I Nyoman Adiputra, pengarang sejumlah kakawin antara lain “Kakawin Udayana Mahawidya” (Kakawin Universitas Udayana sebagai Sumber Pengetahuan, 1993) dan “Kakawin Bali Sabho Lango” (Pesta Kesenian Bali). 7 2014 Tutur Bali, Buku cerita karya I Wayan Westa Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja, penyusun kamus Bahasa Bali termasuk Bali-IndonesiaInggris. 8 2013 Sentana (Anak), novel I Made Sugianto. I Nyoman Suprapta (penggubah geguritan; pembina kelompok tembang tradisional) 9 2012 Metèk Bintang (Menghitung Bintang), buku cerpen Komang Adnyana. I Made Sugianto (penerbit buku sastra Bali modern) 10 2011 Sang Lelana, kumpulan sajak IDK Raka Kusuma Bali Orti, Sisipan bahasa Bali Bali Post Minggu 11 2010 Leak Pemoroan (Lèak Pemoroan), buku cerpen I Wayan Sadha. Agung Wiyat S. Ardhi (sastrawan, pembina bahasa dan sastra tradisional Bali) 12 2009 Somah (Istri/Suami), buku puisi I Nyoman Tusthi Eddy. I Nengah Tinggen (penulis cerita berbahasa Bali, pengisi program bahasa Bali RRI Singaraja) 13 2008 Depang Tiang Bajang Kayang-kayang (Biarkan saya Lajang Selamanya) novel I Nyoman Manda. I Made Suatjana (penemu Bali Simbar, yaitu aksara Bali dalam aplikasi computer). 14 2007 Gede Ombak Gede Angin (Besar Ombak, Besar Angin), buku cerpen I Made Suarsa. Ida Bagus Dharmasuta (Kepala Balai Bahasa Denpasar, pembantu penerbitan sejumlah buku dan majalah sastra Bali) 15 2006 Buduh Nglawang (Orang Gila Menari-nari) buku cerpen karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten. Drs. Ida Bagus Gdé Agastia (penyair, kritikus sastra Bali tradisional dan modern). 16 2005 Ang Ah lan Ah Ang , kumpulan puisi I Made Suarsa. Drs. Made Taro (penyair sastra Bali modern dan penulis buku dongeng Bali) 17 2004 Coffee Shop (Warung Kopi), buku puisi I Dewa Gde Windhu Sancaya. Nyoman Tusthi Eddy (penyair dan kritikus untuk sastra Bali). Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 210 18 2003 Bunga Gadung Ulung Abancang (Bunga Gadung Gugur Setangkai), novel I Nyoman Manda. I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (penyair dan penulis cerpen bahasa Bali, guru). 19 2002 Sembalun Rinjani (Sembalun Rinjani), novel Djelantik Santha. IDK Raka Kusuma (penyair, cerpenis, dan pengelola majalah bahasa dna sastra Bali, Buratwangi). 20 2001 Gending Girang Sisi Pakerisan (Nyanyian Riang di Tepi Kali Pakerisan), buku sajak dan naskah drama gong Agung Wiyat A. Ardhi. I Ketut Suwija ( penyair, penulis dan penerjemah sastra tradisional Bali). 21 2000 Sunari (Sunari), novel I Ketut Rida. I Gdé Dharna (penyair, penulis naskah drama berbahasa Bali, pencipta lagu Bali). 22 1999 Lekad Tumpek Wayang (Lahir pada Hari Tumpak Wayang), kumpulan cerpen I Komang Berata. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (pembina, penerbit buku-buku sastra Bali). 23 1998 Kidung Republik (Kidung Republik), buku puisi I Madé Sanggra. I Nyoman Manda (sastrawan Bali modern, pengelola majalah sastra Bali Canang Sari). *) Kategori penghargaan untuk Jasa dihapus sejak 2018, dalam kolom ini diisi nama penulis yang karyanya mendapat anugerah. Foto 10.4 Sastrawan Ajip Rosidi (ketiga dari kiri) saat penyerahan anugerah Sastra Rancage 2020 di Majalengka. Paling kanan adalah Ida Bagus Pawanasuta yang noveletnya mendapat hadiah untuk sastra Bali modern (Foto Darma Putra). Buku ini tidak diperjualbelikan.
211 11 “Ketika Cengkeh Berbunga”: Drama Percintaan Mencegah Inses Pendahuluan Karya sastra dengan setting Bali kebanyakan mengambil tema atau subtema masalah adat termasuk konflik kasta dan dampak kepariwisataaan. Hal ini tidak mengherankan karena kedua isu tersebut senantiasa mewarnai wacana publik atau media massa di Bali sejak zaman kolonial hingga kini (Putra, 2008; 2011). Tema atau subtema lain bukannya tidak ada, tetapi sangat jarang dan situasional. Tahun 1960-an, misalnya, dalam situasi euforia politik, muncul banyak puisi atau cerita pendek bertema ideologi politik, spirit revolusioner, dan nasionalisme. Kemunculan tema masalah sosial dalam teks sastrawan Bali menunjukkan bahwa para penulis aktif merespon isu-isu sosial yang mewarnai dinamika masyarakat (Putra, 2011; Sujaya, 2014a; 2014b). Para peneliti mengkaji kedua tema yang muncul berulang itu dalam konteks transisi Bali dalam memasuki zaman modern (Liem, 2003). Dalam jumlah yang sangat terbatas, masalah sosial di perdesaan yang dihadapi para petani juga tidak luput menjadi sumber inspirasi penciptaan oleh sastrawan Bali. Drama “Masan Cengkehe Nedeng Mabunga” (Ketika Cengkeh sedang Berbunga) (1978) karya I Nyoman Manda adalah salah satu contoh. Berbeda dengan karya sastra bertema konflik kasta, isu politik, dan dampak pariwisata yang dilukiskan terjadi dalam konteks perkotaan, drama yang ditulis dalam bahasa daerah Bali ini dilukiskan terjadi di daerah perdesaan dengan latar belakang kegairahan petani untuk menanam dan merawat cengkeh sebagai sumber mata pencaharian baru. Di balik kisah kegairahan merawat cengkeh agar panen berhasil optimal, drama ini juga membahas berbagai masalah yang terungkap lewat diaBuku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 212 log dan adegan antara tokoh protagonis dan antagonis; tokoh yang baik budi dan yang angkuh; tentang percintaan dan pemerkosaan; identitas dan pencegahan inses. Selain itu, drama ini juga mengandung amanat mulia yaitu pentingnya generasi muda menjaga spirit dan kerja keras untuk pembangunan desa. Tulisan ini mengkaji drama “Masan Cengkehe Nedeng Mabunga” (selanjutnya ditulis “Ketika Cengkeh sedang Berbunga”) sebagai kajian karya sastra dengan tematik sastra rempah. Setidaknya ada dua alasan mengapa naskah drama ini dipilih. Pertama, drama ini menyajikan cerita dengan tema rempah, dalam hal ini cengkeh. Tema ini sudah tercermin kuat dari judul drama yang menggunakan kata kunci ‘cengkeh’. Tidak banyak cerita bertema rempah dalam khasanah sastra (di) Bali. Terbatasnya sastra bertema rempah bisa dipahami karena Bali tidaklah termasuk daerah dengan rempahrempah sebagai hasil bumi utama. Dari segi isi, struktur, dan tema, drama ini berhasil menyajikan cerita dengan fokus tematik yang kuat. Kedua, drama ini menampilkan tema dan subtema yang kompleks sehingga bisa dijadikan media untuk mengetahui sisi lain dari kehidupan sosial Bali yang digambarkan di luar isu dominan konflik kasta dan dampak kepariwisataan. Kajian ini setidaknya berkontribusi dalam tiga hal. Pertama, menunjukkan keragaman tema sosial dalam karya-karya sastra penulis Bali atau karya yang berlatar (setting) Bali. Kedua, melihat keterkaitan atau intertekstualitas di antara karya sastra sastrawan Bali. Ketiga, melihat sisi lain kehidupan sosial masyarakat Bali yang sering direduksi dengan kehidupan adat yang rumit dan industri kepariwisataan yang serba komersial, seperti sering dilabel bahwa ‘pariwisata budaya’ telah menjadi ‘budaya pariwisata’ (Picard, 1996). Drama “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” dikaji secara eklitik, dengan memadukan kajian struktur, sosiologis, dan intertekstual. Tinjauan struktur dilakukan untuk melihat sudut pandang cerita dan lewat tokoh siapa pengarang menyampaikan pesan. Kajian sosiologis diarahkan untuk melihat dua hal yaitu latar belakang sosial pengarang dan konteks sosial dan tema drama (Damono, 2013; Laurenson dan Swingewood, 1972). Pendekatan intertekstualitas digunakan untuk melihat hubungan teks drama dengan teks lainnya. Salah satu prinsip intertekstualitas adalah tidak ada teks yang berdiri sendiri, tidak ada teks yang maknanya bebas dari teks lain. Buku ini tidak diperjualbelikan.
“Ketika Cengkeh Berbunga”: Drama Percintaan Mencegah Inses 213 Menurut Allen (2000), membaca karya sastra atau teks apa pun selalu memasukkan pembaca ke dalam jaringan intertektualitas, karena tidak ada teks yang memiliki makna independen. Lebih jauh, Allen menulis bahwa “Texts, whether they be literary or non-literary, are viewed by modern theorists as lacking in any kind of independent meaning. They are what theorists now call intertextual” (Allen, 2000:2). Artinya bahwa “teks-teks, apakah teks sastra atau bukan sastra, dilihat oleh tokoh-tokoh teori modern kurang dalam hal makna yang independen. Para ahli teori itu menyebutkannya sebagai intertekstual. Pembacaan dan pemaknaan atas sebuah teks hanya bisa dilakukan jika dilihat dari teks-teks lain”. Membaca teks dengan teks lain, seperti pendapat Bhakhtin, berarti memasukkannya ke dalam proses dialogis, karena monolog adalah sesuatu yang tidak mungkin (Selden, 1989:17-18). Uraian singkat ini diawali dengan kajian intrinsik terbatas atas drama dan latar belakang pengarangnya yang menjadi latar belakang analisis. Di akhir tulisan, kajian ini berargumentasi bahwa sastrawan Bali aktif merespons perubahan sosial dengan menjadikan karya seni sebagai media untuk menyampaikan pesan sosial (social messages) sesuai pandangannya tentang apa yang baik bagi Bali dan bagaimana sebaiknya Bali dibangun. Naskah dan Pengarang Naskah drama “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” adalah naskah juara pertama lomba menulis naskah drama yang dilaksanakan Majelis Pertimbangan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali tahun 1978. Sejak berdiri pertengahan tahun 1966, Listibiya gencar melaksanakan kegiatan untuk membina kehidupan kesenian, seperti seni pertunjukan tradisional Bali dan seni modern, termasuk sastra dan ‘drama’ (teater). Naskah-naskah hasil lomba dilanjutkan dengan lomba pementasan antarkabupaten dengan kewajiban pentas di luar kabupaten asal. Naskah drama ini dicetak beberapa kali, seperti tahun 1989 yang diprakarsasi oleh I Gusti Ngurah Bagus melalui Balai Bahasa Bali. Kemudian pengarangnya, I Nyoman Manda sendiri menerbitkannya tahun 2002 dalam bentuk fotokopian. Cetakancetakan ini sangat sederhana dalam bentuk stensilan atau fotokopi dan dalam jumlah terbatas. Tahun 2013, drama ini diterbitkan lagi Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 214 oleh Balai Bahasa Bali dengan judul Makudang-kudang Drama Bali (Beberapa Naskah Drama Bali) suntingan I Nengah Sukayana, dkk. (2013), memuat 10 naskah, yakni lima naskah drama gong dan lima naskah drama modern. Cetak ulang ini, walau dalam jumlah terbatas, membuat naskah-naskah drama ini bisa diselamatkan dari kehilangan. Terlebih, dengan terbitan Balai Bahasa tahun 2013 itu, file (berkas) pindaian bisa diperoleh lewat internet. Naskah drama ini diciptakan oleh I Nyoman Manda, pengarang kelahiran Gianyar, Bali, 14 April 1938. Pendidikan terakhirnya adalah Universitas Terbuka, 1990. Dia pernah menjadi guru SMAN di beberapa sekolah di Gianyar, pernah juga menjadi guide, dan anggota DPRD Gianyar. Ketika menjadi guru, Nyoman Manda mengaku sempat menjadi pemandu wisata, dan hasil dari menjadi guide itu memungkinkan dia untuk membeli tanah di daerah Kayuamba, Kintamani, akhir tahun 1970-an. Daerah itu tanahnya gembur, cocoknya untuk menanam ketela rambat. Saat itu, mulai diperkenalkan tanaman cengkeh, dan Nyoman Manda ikut menggunakan lahan yang dibelinya untuk menanam cengkeh. Hanya saja kualitas cengkehnya tidak sebagus dari daerah lainnnya karena kondisi tanah gembur, berpasir, akibat letusan Gunung Agung 1963. Dalam dunia sastra, Nyoman Manda banyak mencipta. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi dimuat di berbagai media termasuk harian Suara Karya, harian Merdeka, dan Bali Post. Dia menulis dalam bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa Bali. Sudah lebih dari 100 buku yang dihasilkan berupa kumpulan cerpen, novel, kumpulan drama, dan antologi puisi. Manda juga menerjemahkan beberapa karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Bali seperti antologi puisi Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail, novel Sukreni Gadis Bali karya Panji Tisna, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan Di Tengah Keluarga karya Ajip Rosidi. Tahun 1980-an, Nyoman Manda berhubungan dekat dengan Sutan Takdir ketika pengarang Angkatan Pujangga Baru ini membangun pusat kesenian di Toya Bungkah, tepi Danau Batur, Kintamani. Atas karya dan dedikasinya mengembangkan sastra Bali modern, Nyoman Manda mendapat hadiah Rancage sebanyak tiga kali, yakni tahun 1998, 2003, 2008. Sejak itu sampai tahun akhir 2010-an, Nyoman Manda berhubungan dekat dengan Ajip Rosidi, Buku ini tidak diperjualbelikan.
“Ketika Cengkeh Berbunga”: Drama Percintaan Mencegah Inses 215 antara lain untuk penerjemahan ke dalam bahasa Bali keputusan hadiah sastra Rancage setiap tahun. Kedekatan dengan pengarang terkemuka menunjukkan komitmen dan spirit Nyoamn Manda berkarya. Tidak mengherankan kalau kemudian dia terus berkarya sampai umurnya 83 tahun. Melihat latar belakang pekerjaannya sebagai guru, anggota DPRD, dan sebagai pemandu wisata, tidak mengherankan kalau kemudian tema-tema karyanya banyak berisi nasihat akan pendidikan, kritik sosial, dan pengaruh pariwisata terhadap kehidupan sosial masyarakat Bali. Cengkeh, Cinta, dan Inses Drama “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” mengisahkan semangat petani di Desa Nyebah, Kayuamba, Bangli, Bali, untuk menanam dan merawat cengkeh sebagai sumber mata pencaharian baru dari sebelumnya hanya menanam ketela rambat. Cerita penanaman cengkeh ini dibalut dengan kisah cinta, pemerkosaan, identitas, dan pencegahan inses. Ada bagian cerita yang merupakan pengalaman nyata pengarang, seperti penanaman cengkeh di tanah yang dibelinya di Desa Nyebah. Drama dituangkan ke dalam tiga babak, mulai dari perkenalan cerita dan tokohnya, dilanjutkan dengan percintaan, dan babak terakhir adalah konflik dan happy ending. Salah satu tokoh protagonis dalam cerita ini adalah I Nyoman Sadra (25), pemuda berpendidikan yang memilih bekerja membangun desa (sebagai semacam penyuluh pertanian) dibandingkan menjadi pegawai negeri di kota, sebuah kepribadian menarik ditawarkan drama ini di tengah kuatnya orientasi orang untuk menjadi pegawai negeri. Sadra memotivasi dan mendampingi petani menanam cengkeh. Semua Foto 11.1 Antologi yang memuat drama Nedeng Cengkehe Mabunga Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 216 warga termasuk kepala desa ikut kompak menanam cengkeh. Walaupun sudah banyak berutang untuk membeli pupuk, para petani tetap merasa riang-gembira menyambut cengkeh mereka mulai berbunga, simbol harapan baru petani agar bisa membuat dapurnya mengepul, artinya ada yang dimakan, seperti terungkap dalam kutipan berikut. “Sangkalan eda pegat-pegat nunas pasewecan Ida Sang Hyang Prama Kawi, mangda Ida asung wara nugraha, ngicen panugrahan apang raga slamet tur payu masi paone makudus.” “Makanya jangan putus-putus memohon rachmat Tuhan agar Beliau memberikan anugerah semoga kita selamat semua dan kita mampu untuk membuat dapur mengepul”. Kisah drama dibangun dengan konflik antara tokoh protagonis yang baik, santun, dan tekun bertani cengkeh dengan tokoh antagonis berperilaku buruk, malas, dan sombong. Tokoh antagonis sentral adalah pemuda Wayan Koyogan (23) yang jatuh cinta kepada salah satu tokoh protagonis, Luh Nerti (21). Cinta Koyogan ditolak karena kesombongannya. Konflik memuncak sampai terjadi perkelahian antara ayah Luh Nerti (54) dengan Koyogan. Perkelahian itu dilerai oleh ayah Koyogan (50), yang kemudian menjelaskan bahwa Koyogan dan Luh Nerti sebenarnya bersaudara. Ketika muda, ibu Luh Nerti (49) pernah diperkosa oleh ayah Koyogan sampai hamil, namun dia tidak dinikahi karena karena ayah Koyogan sudah berkeluarga dan memiliki anak Wayan Koyogan. Akhirnya ibu Luh Nerti menikah dengan ayah Luh Nerti. Tidak sampai tujuh bulan, Luh Nerti lahir. Nerti dan Koyogan memiliki ayah biologis yang sama. Sebagai orang bersaudara, mereka tidak boleh menikah. Kalau menikah, itu berarti inses. Akhir dari konflik ditandai dengan hadirnya semua tokoh. Lewat protagonis Luh Nerti, pengarang menyampaikan pesan sosial cerita dengan ajakan agar mereka memohon perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti berikut. Luh Nerti: (Sada ngeling baan liang kenehne) “Masan cengkehe nedeng mabunga.... Liang rasan keneh tiange, yen kene ajak makejang, briak-briuk selulung subayantaka, ngardinin desane, apang nemu rahayu dimani puane. Inggih Ratu Betara, titiang nunas ica apang banget pisan, mangda kadagingin pinunas titiang sareng sami mangda jagate rahayu sinamian.” (Makejang nguntul nunas pasuecan Ida Sanghyang Widhi Wasa). Buku ini tidak diperjualbelikan.
“Ketika Cengkeh Berbunga”: Drama Percintaan Mencegah Inses 217 Artinya: Luh Nerti: (Sambil menangis karena haru). Musim cengkeh sedang berbunga…Bahagia rasanya hatiku, andaikan begini semua, suka-cita harmonis bersama-sama membuat desa agar selamat damai di harihari mendatang. Ya Tuhan, kami sangat memohon agar dipenuhi permintaan kami semua supaya seluruh alam semesta aman dan damai. (Semua menunduk memohon kemurahan Ida Sang Hyang Widhi). Konflik di akhir cerita diarahkan kepada tiga hal. Pertama, pencegahan inses, yaitu pencegahan pernikahan antara dua bersaudara satu ayah (Nerti dan Koyogan). Kedua, penegasan akan kepercayaan bahwa perbuatan buruk, seperti pemerkosaan dan dampaknya, pada akhirnya akan terungkap juga, tidak bisa disembunyikan selamanya. Pesannya adalah agar setiap orang selalu berusaha menghindari perbuatan buruk. Ketiga, ajakan untuk tiada henti menyampaikan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atas karunia-Nya menuntun kehidupan masyarakat ke arah lebih baik, dalam konteks cerita bersyukur karena tanaman cengkeh sudah berbunga. Panen cengkeh tak akan lama lagi berlangsung di desa ini yang berarti bahwa program membangun desa lewat pertanian cengkeh jelas akan berhasil. Kisah happy-ending yang ditandai dengan keberhasilan cengkeh berbunga dan kekompakan tokoh cerita untuk bersatu membangun desa merupakan pesan sosial eksplisit dari drama ini. Kuatnya pesan sosial ini bisa dimengerti karena dua alasan berikut. Pertama, naskah drama ini ditulis untuk dilombakan dengan penyelenggara Listibiya yang merupakan organ seni pemerintah sehingga sudah sewajarnya pesan pembangunan mewarnai cerita. Kedua, drama ini berbahasa Bali dan dikisahkan dengan latar Bali sehingga sudah sewajarnya mengungkapkan keluhuran nilai-nilai agama Hindu, antara lain pencegahan inses. Konteks Sosial dan Tekstual Poin yang penting ditelusuri berikutnya adalah konteks sosial dan konteks tekstual drama ini. Kontek sosial drama ini bisa dilihat dari ungkapan Nyoman Sadra yang menjadi tenaga sukarelawan di desanya sendiri. Dia merasa lek (malu) dan jengah (gigih) melihat orang lain saja bersedia menjadi tenaga sukarela di desanya, mengapa dirinya tidak, seperti dalam ungkapan berikut. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 218 “Beli lek turin jengah, dadi anak len saat pesan ngae tur ngardinin desan ragane apang melah. Ento tepuk di Desa Sulahan, anak truna uling Ujung Pandang dadi tenaga sukarela, magae tusing ngitungang kenyel maangin panerangan kenken carane makebun modem, ngatur administrasi desa, maang kursus kene, maang kursus keto....”. “Kakanda malu dan gigih, bagaimana bisa orang lain semangat sekali membangun desa kita agar baik. Lihat itu di Desa Sulahan, ada anak muda dari Ujung Pandang menjadi tenaga sukarela, bekerja tanpa lelah memberikan penerangan bagaimana cara berkebun modern, mengatur administrasi desa, memberikan kursus ini dan itu.” Kata kunci penting dalam kutipan di atas untuk mengetahui konteks sosial penciptaan drama ini adalah ‘tenaga sukarela’. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja sejak tahun 1968 memperkenalkan program Tenaga Kerja Sukarela-Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia (TKS – BUTSI) lewat SK 99/ Kpts./68, tertanggal 1 Juni 1968 (Soekadri dkk, 1979). Lewat program ini, pemerintah menjaring pemuda yang memiliki keahlian dan ‘rasa pengabdian’ untuk menjadi TKS. Mereka yang lolos seleksi ditugaskan ke berbagai daerah di Indonesia untuk mempercepat dan memeratakan pembangunan di perdesaaan. Oleh universitas, program ini kemudian juga dikaitkan dengan kegiatan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) (Slamet, dkk., 1977). Program ini sempat jeda dan dihidupkan kembali oleh pemerintah mulai 2013 sampai sekarang (Liputanindonesianews, 2021). Dalam kisah drama ini, dilukiskan kehadiran TKS di Bali, yang membantu masyarakat dalam membangun desanya melalui kegiatan berkebun, tata kelola administrasi, dan aneka kursus termasuk penerangan program Keluarga Berencana. Lewat tokoh cerita Sadra, pengarang melihat TKS secara positif, dan menjadikan kehadiran TKS untuk mendorong semangat pemuda setempat untuk membangun desa seperti yang dilakukan para TKS. Penulis drama menampilkan spirit membangun desa lewat tokoh Nyoman Sadra, yang membantu petani berkebun cengkeh, mencarikan informasi terkait, sehingga desanya bergairah menanam cengkeh yang sebelumnya hanya menanam ketela rambat. Mengingat program TKS BUTSI sebagai konteks sosial, maka tidak mengherankan kalau drama ini menyajikan pesan pembangunan nasional yang jelas. Lagi pula, pada zaman Orde Baru yang dikenal sentralistik dan militeristik, jarang ada pengarang yang berani berseberangan Buku ini tidak diperjualbelikan.
“Ketika Cengkeh Berbunga”: Drama Percintaan Mencegah Inses 219 dengan ideologi pembangunan Orde Baru. Konteks tekstual drama ini bisa dilihat dalam beberapa motif cerita atau subtema. Drama ini memiliki motif yang mirip dengan cerpen berbahasa Bali “Ketemu ring Tampaksiring” (1972) yang ditulis oleh I Made Sanggra, sekitar enam tahun sebelum drama ini ditulis. Made Sanggra dan Nyoman Manda sama-sama dari Gianyar, samasama penggemar sastra Bali modern (dan tradisional), dan kenal baik satu sama lainnya. Cerpen Made Sanggra mendapat juara pertama lomba mengarang cerpen yang dilaksanakan oleh Listibiya juga. Dalam situasi demikian, saling mempengaruhi dan dialog kreatif antara Made Sanggra dan Nyoman Manda bisa saja terjadi dan tanpa disadari dapat mewarnai karya masing-masing. Cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” berisi adegan rencana pacaran antara pemuda dan pemudi yang belakangan terungkap bahwa mereka bersaudara (satu ibu, satu ayah). Di sini inses juga dicegah. Pencegahan inses dalam cerpen dan dalam drama dilakukan oleh pengarang dengan cara yang sama yaitu pengungkapan identitas siapa ayah dan ibu mereka (Putra, 2010: 98-100). Walaupun jenis hubungan antara pasangan yang jatuh cinta dalam cerpen berbeda dengan drama, kata kuncinya adalah bahwa mereka atau salah satu di antaranya jatuh cinta dan ingin melanjutkan cinta itu ke dalam hubungan yang lebih intim. Pengarang tidak meneruskan hubungan mereka. Apakah karena pengaruh langsung atau tidak bukanlah menjadi persoalan. Yang jelas motif pencegahan inses dalam kedua cerita menunjukkan kesamaan. Fakta literer ini bisa dijadikan alasan untuk mengatakan adanya hubungan intertekstualitas antara drama “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” dengan cerpen “Ketemu ring Tampaksiring”. Ketika ditanyakan perihal dari mana inspirasi pencegahan pernikahan pasangan yang memiliki hubungan darah, pengarang Nyoman Manda mengatakan mendapat pengaruh dari cerita-cerita drama gong (drama tradisional Bali), misalnya tentang raja yang melakukan hubungan seksual tanpa pernah menelusuri anak hasil hubungan mereka, sebelum akhirnya terungkap karena diharuskan oleh situasi seperti pertemuan kedua anak mereka dalam relasi percintaan. Tidak ada contoh spesifik yang diberikan Nyoman Manda. Mitos terjadinya padi mengandung kisah pencegahan inses yang mungkin menjadi sumber inspirasi drama karya Nyoman Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 220 Manda. Mitos itu mengisahkan percintaan antara Dewa Sri dan Dewa Sedana, dua kakak-beradik. Kisahnya berawal dari ketika Dewa Siwa hendak memberikan benih padi kepada para dewa untuk dibawa ke bumi sehingga manusia tidak saja makan ketela tetapi juga beras. Sebelum sempat dibawa ke bumi, benih itu diterbangkan angin dan jatuh ke bumi. Di bumi, benih itu dimakan oleh naga Anantaboga. Dewa Siwa memerintahkan para dewa mengejar benih itu. Setelah diketahui benih itu dimakan Anantaboga, para dewa yang mengejar itu meminta Sang Naga memuntahkan. Saat itu keanehan terjadi. Naga memuntahkan dua bayi yang diberi nama Sri dan Sedana. Kedua bayi ini dijadikan anak angkat oleh Dewa Siwa. Setelah dewasa, mereka menjadi laki-laki tampan dan perempuan cantik. Mereka kemudian berpacaran. Dewa Siwa marah dan membakar Dewa Sedana, kemudian juga Dewi Sri, sebuah langkah untuk mencegah inses. Di akhir cerita ditegaskan bahwa dari kuburan tempat abu mereka ditanam di bumi dan muncul tanaman yang kemudian menjadi padi. Kisah ini dengan berbagai versi juga bisa dibaca dalam Geguritan Sri-Sedana (Asal-Usul Padi) karya I Nyoman Suprapta (Sanggar Sunari Denpasar, Desember 2005). Berbagai versi cerita drama gong, seperti disebutkan Nyoman Manda, juga melukiskan percintaan adik-akak sekandung yang dicegah berlanjut ke pernikahan. Seorang sarjana dan pemain drama, Dr. I Wayan Sugita menyampaikan bahwa Drama Gong Sancaya Dwipa yang disutradarai oleh Suyadnya dari Babakan Gianyar pernah menampilkan dua lakon yaitu “Genta Wisesa” dan “Bayusura” memiliki tema mirip yaitu percintaan dua bersaudara, tetapi juga dicegah pernikahannya. Cerita ini dan juga mitos padi merupakan bagian dari jalinan intertekstualitas kisah drama “Masan Cengkehe Nedeng Mabunga”. Jaringan intertekstualitas itu tidak saja berkait dengan teks yang mendahului tetapi juga teks sesudahnya yang bisa jadi mendapat inspirasi dari teks-teks terdahulu. Penutup: Wajah Bali yang Lain Drama berbahasa Bali “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” karya I Nyoman Manda merupakan karya yang sarat akan pesan sosial terutama pesan pentingnya masyarakat perdesaan membangun desanya melalui potensi pertanian, dalam kisah ini perkebunan cengkeh. Sebagai tema utama, pesan sosial itu arahnya Buku ini tidak diperjualbelikan.
“Ketika Cengkeh Berbunga”: Drama Percintaan Mencegah Inses 221 jelas untuk mendukung program pemerintah menggalakkan pembangunan, sampai-sampai Presiden Suharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Meski patuh pada situasi zaman, pengarang Nyoman Manda tidak kehilangan kreativitas dalam menyusun cerita dengan konflik dan bumbu percintaan yang menarik. Tema utama ini dijalin dengan beberapa subtema seperti percintaan, perkosaan, konflik, identitas, dan pencegahan inses, yang membuat drama hadir sebagi kisah melodramatis yang menarik. Keunikan drama ini terletak pada latar cerita di perdesaan, cukup kontras dengan latar umumnya karya sastra pada waktu itu yang cenderung dikisahkan terjadi di perkotaan dan mengungkapkan problematika hidup orang-orang perkotaan. Drama “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” ini memberikan gambaran Bali yang lain. Tahun 1970-an, ketika drama ini ditulis, industri kepariwisataan mulai berkembang pesat di Bali, menyusul pengoperasian Hotel Bali Beach mulai 1966 dan perluasan Bandara Ngurah Rai menjadi bandara internasional mulai 1968. Karya sastra dari zaman ini kebanyakan mengambil tema dampak pariwisata yang dilukiskan lewat interaksi antara orang Bali dan turis (dilukiskan Foto 11.2 Nyoman Manda dengan Ajip Rosidi (Dok Facebook) Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 222 sebagai hippies), seperti terlihat dari cerpen “Sahabatku Hans Schmitter” (majalah Horison, 1969) dan “Saya bukan Pembunuhnya” (Kompas,1972) keduanya karya I Nyoman Rasta Sindhu; cerpen “Sanur tetap Ramai” (majalah Varia 1970) karya Faisal Baraas, dan novel Tiba-tiba Malam (1972) karya Putu Wijaya. Karya-karya ini merespons wacana aktual waktu itu terutama gaya hidup turis kelas hippies yang dianggap menjadi saluran masuknya pengaruh negatif ke dalam kehidupan masyarakat Bali. Berbeda dengan arus utama tema karya-karya pengarang papan atas itu, drama berbahasa Bali “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” berani tampil beda dengan mengabarkan bahwa Bali bukan saja sebatas pariwisata, tetapi masih ada Bali lain. Masih ada kehidupan perdesaan yang suntuk dengan urusan pertaniannya tanpa terpengaruh pada godaaan baru industri pariwisata. Selain karena tampil beda dari tema dominan pengaruh pariwisata atau konflik kasta, drama “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” juga unik jika dibaca dalam konteks sastra tematik rempah. Walaupun tidak dikenal sebagai daerah penghasil utama rempah, Bali juga terbukti memiliki daerah-daerah kantong perkebunan cengkeh yang ikut memperkuat jumlah produksi cengkeh nasional. Dalam konteks ini, drama “Ketika Cengkeh sedang Berbunga” tidak saja relevan dengan latar waktu tahun 1970-an ketika ditulis, tetapi tetap relevan sampai sekarang, ketika manfaat, khasiat, dan sejarah rempah semakin mendapat perhatian dalam refleksi peradaban budaya Nusantara. Buku ini tidak diperjualbelikan.
223 12 Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern Penerjemahan Sastra Daerah Dalam sambutannya pada saat penyerahan Hadiah Sastra Rancage pada tanggal 31 Januari 2021, Mendikbud Nadiem Makarim menyampaikan rencana pemerintah untuk menerjemahkan sastra daerah di Indonesia ke dalam bahasa Indonesia. Tugas ini dilaksanakan oleh Badan Bahasa. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan karya sastra dengan segenap nilainya yang berasal dari daerah-daerah kepada pembaca Indonesia. Pengenalan nilai antar-daerah ini tentu diharapkan dapat memperkukuh pemahaman lintas-budaya Nusantara dan akhirnya memperkokoh spirit kebangsaan Indonesia. Gagasan Mendikbud (sejak April 2021 berubah menjadi Mendikbud-Ristek) pantas disambut dan didukung dengan harapan agar ide mulia ini terlaksana dengan baik. Sebelumnya, penerjemahan seperti itu merupakan hal yang insidental. Misalnya, tahun 1999, Yayasan Obor menerjemahkan karya-karya sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia dan juga sastra Indonesia ke dalam beberapa bahasa daerah. Selain pengenalan nilai, program penerjemahan itu juga merupakan pengembangan bahasa terutama bahasa sasaran. Artinya, bagaimana kemampuan bahasa Indonesia menerjemahkan kata atau ungkapan daerah, sebaliknya bagaimana kemampuan bahasa daerah mengungkapkan konsep, ekspresi bahasa Indonesia ke dalam bahasa-bahasa daerah. Dalam sastra Bali, fenomena penerjemahan bukan merupakan hal baru. Tahun 1980-an, ada Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah berbasis terjemahan. Saat itu, sejumlah karya Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 224 sastra Bali tradisional berbentuk geguritan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam dua bahasa, misalnya Geguritan Brayut alih bahasa dan aksara oleh I Nengah Ardika (1980). dalam Kata Penganatr geguritna ini, disebutkan dengan eksplisit tujuan penerjemahan ini adalah untuk menggali nilai lokal Nusantara untuk menignkatkan kerukunan antar-suku dan agama. Selengkapnya, Kata Pengantar tersebut menulis demikian: Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi meliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karyakarya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadisumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia. Fenomena terjemahan juga terjadi untuk Sastra Bali Modern diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris, seperti dibahas di bawah ini. Kajian ini awalnya ditulis sebagai tanggapan atas makalah Nyoman Tusthi Eddy berjudul “Sastra Bali Modern Terjemahan Salah Satu Kreativitas Penulisan Sastra Bali” yang disampaikan dalam ‘Prakongres Bahasa Bali Tahun 2006’, dilaksanakan di Monumen Bajra Sandhi, Renon, Denpasar, 2 Juni 2006. Belakangan, pembahasan diperluas di mana tulisan Tusthi Eddy hanya merupakan salah satu dari sekian rangsangan dalam penyusunan kajian ini. Topik terjemahan dalam sastra Bali modern merupakan objek yang menarik dan belum banyak digarap. Walaupun relatif baru dan berkembang agak lambat dibandingkan terjemahan dalam sastra Jawa atau Sunda modern, fenomena terjemahan dalam sastra Bali modern sudah menghasilkan beberapa karya yang perlu diteliti, dikaji, dan didiskusikan. Pujian patut disampaikan kepada panitia yang sudi mengangkat topik terjemahan dalam prakongres ini. Penerjemahan telah mengukuhkan diri menjadi sebuah disiplin, buktinya Universitas Udayana telah membuka program S-2 konBuku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 225 sentrasi terjemahan. Minat terhadap fenomena terjemahan dalam sastra Bali modern bermula akhir 1990-an ketika saya menerbitkan buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2000, cetak ulang 2010). Buku ini menegaskan bahwa sastra Bali modern sudah ditulis sejak tahun 1910-an, hampir dua dekade sebelum novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah terbit tahun 1931, tahun yang biasanya diklaim sebagai masa lahir atau bermulanya sastra Bali modern. Bukti yang menunjukkan bahwa sastra Bali modern sudah ada sejak 1910-an saya perlihatkan melalui cerpen-cerpen Bali yang terdapat dalam buku-buku pelajaran sekolah (school textbooks) seperti karya Made Pasek dan Mas Nitisastro yang waktu itu bekerja sebagai guru. Cerpen-cerpen mereka disertakan sebagai sampel dalam buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern (Putra, 2000). Minat saya terhadap sastra Bali modern terus meningkat setelah sejak tahun 2000 sampai sekarang (2021) diberikan kesempatan oleh sastrawan Ajip Rosidi untuk menjadi juri Hadiah Sastra Rancage untuk menominasikan tokoh dan karya sastra Bali modern terbaik setiap tahun. Posisi juri tersebut sebelumnya dipegang oleh Nyoman Tusthi Eddy (1998-1999). Sebagai juri, saya mendapat kesempatan luas untuk mengamati berbagai aspek dan arah perkembangan sastra Bali modern, termasuk di antaranya aspek penerjemahan dan karya terjemahan dalam sastra Bali modern. Ketika menetapkan Ketut Suwija sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage tahun 2001, saya juga mencantumkan dalam pertimbangan saya peran Ketut Suwija sebagai pembuka jalan penerjemahan ke dalam sastra Bali modern, walau hanya satu sajak. Demikian juga halnya ketika menetapkan IDK Raka Kusuma sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage atas jasanya, yang telah menerjemahkan kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono ke dalam buku Sunaran Bulan Tengah Lemeng (1999). Kiriman sejumlah buku terjemahan karya Nyoman Manda atas beberapa karya sastra Indonesia seperti Sukreni Gadis Bali dan Layar Terkembang, dan antologi puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu dan Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail membuat saya terus tergugah memperhatikan fenomena penerjemahan. Dorongan serupa juga datang lewat terbitnya karya terjemahan antologi puisi Sunaran Bulan Tengah Lemeng (puisi Sapardi Djoko Damono) karya Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 226 IDK Raka Kusuma (1999), terjemahan sejumlah cerpen dan puisi Indonesia dalam antologi Pengangon (2001) karya Made Sanggra, dan terjemahan dwibahasa (Indonesia dan Inggris) kumpulan cerpen Made Sanggra Katemu ring Tampaksiring (2004) kian membuat saya tertarik untuk menulis tentang fenomena terjemahan dalam sastra Bali modern. Minat-minat itu menumpuk terus dan baru sekarang, setelah mendapat undangan dari Panitia Kongres Bahasa Bali 2006, undangan itu memperkuat dorongan saya untuk menulis mengenai fenomena terjemahan dalam dunia sastra Bali. Selain memenuhi tugas panitia untuk menanggapi makalah Tusthi Eddy, kajian ini juga membahas hal umum dan khusus dalam fenomena dan karya hasil terjemahan sastra Bali modern. Uraian tentang fenomena terjemahan dalam sastra Bali modern diperluas secara makro dengan perbandingan dengan sastra modern lainnya di Indonesia, yaitu sastra Sunda dan Jawa modern, sama- sama sebagai sastra yang diberikan Hadiah Sastra Rancage. Uraian secara mikro diberikan sebagai ilustrasi secara spesifik terhadap kasus, keunikan, dan persoalan-persoalan nyata yang dijumpai dalam teks terjemahan sastra Bali modern. Satu aspek yang saya anggap penting juga dibahas dalam topik terjemahan ini adalah motif dan latar belakang seorang sastrawan melakukan terjemahan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan wawancara langsung dengan penerjemah, namun sementara tidka mendesak karena kebetulan materi untuk itu telah tersedia secara tertulis, misalnya dalam ‘kata pengantar-kata pengantar’ yang diberikan oleh penerjemah sendiri. Penyertaan sejumlah materi ini ke dalam pembahasan untuk merangsang diskusi terhadap lebih banyak hal relevan tentang fenomena terjemahan dalam sastra Bali modern. Kilas Balik, Makna, Kendala Penerjemahan Dalam makalahnya yang berjudul “Sastra Bali Modern Terjemahan Salah Satu Kreativitas Penulisan Sastra Bali”, Nyoman Tusthi Eddy secara menarik namun ringkas membahas aspek makna dan kendala sastra Bali modern terjemahan. Walaupun dia membahas kendala dalam proses terjemahan, secara keseluruhan pembahasan Tusthi Eddy tentang sastra Bali modern terjemahan boleh dikatakan positif dan penuh optimisme. Optimisme itu Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 227 tampaknya muncul dari kombinasi antara keyakinannya akan kontribusi teks terjemahan dalam perkembangan sastra Bali modern dan keterlibatannya secara pribadi dalam kegiatan penerjemahan. Perannya sebagai penerjemah dan pengalaman memberikan ‘kata pengantar’ pada sekurang-kurangnya dua buku terjemahan ke dalam sastra Bali modern membuat Tusthi Eddy sebagai orang yang tepat untuk membicarakan fenomena penerjemahan dalam sastra Bali modern. Tushi Eddy mengawali makalahnya dengan menguraikan sekilas tentang ‘sejarah’ penerjemahan dalam sastra Bali klasik (Jawa Kuna) dan sastra Bali modern. Dalam sastra Bali klasik, penerjemahan sudah merupakan tradisi panjang, sedangkan untuk sastra Bali modern hal itu mulai muncul sebagai usaha coba-coba akhir tahun 1960-an. Dalam rentang waktu 1960-an sampai tahun 2000-an, Tusthi Eddy menyebutkan beberapa figur dan hasil terjemahannya, seperti Ketut Suwija, Rugeg Nataran, Made Sanggra, dirinya sendiri, dan IDK Raka Kusuma. Beberapa nama penerjemah lain, seperti Nyoman Manda, Komang Berata, dan Windhu Sancaya tidak disebutkan secara spesifik dalam makalahnya, tetapi telah disebutkan dalam tulisan-tulisannya yang lain seperti pada ‘kata pengantar’ buku Sunaran Bulan Tengah Lemeng (Raka Kusuma,1999:1-3) dan Pengangon, Pupulan Salinan Cerpèn lan Puisi Bali Anyar Saha Dulur Babonnyanè bhasa Indonèsia (Sanggra, 2001:4-6). Sesudah menguraikan sedikit kilas-balik proses penerjemahan dalam sastraBali modern, Tusthi Eddy membagi inti pembicaraannya dalam dua bagian pokok. Pertama, pembahasan makna sastra Bali modern terjemahan. Pokok bahasan ini disoroti lewat empat aspek, yaitu (1) aspek kreativitas, (2) aspek bahasa, (3) aspek sastra, dan (4) aspek budaya. Dalam setiap uraiannya membahas keempat aspek tersebut, Tusthi Eddy senantiasa membela posisi sastra Bali modern terjemahan dengan penuh semangat. Dalam aspek kreativitas, misalnya, dia mempertahankan pendapatnya dengan mengatakan bahwa posisi penerjemah identik dengan posisi pencipta, yakni sama-sama dituntut punya kreativitas. Artinya, penerjemahan itu bukan sekadar hasil tukang pengalihbahasa. Penerjemah adalah juga seniman. Dia mengutip pendapat Sapardi Djoko Damono yang pernah menulis ‘perjuangan seorang penerjemah adalah mengubah puisi menjadi puisi’ (Tusthi Eddy, Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 228 2006:6). Dari sudut aspek bahasa, dia mengatakan bahwa ‘penerjemahan sastra Indonesia ke bahasa Bali memberikan kontribusi perkembangan kosa kata bahasa Bali’ (Tusthi Eddy, 2006:8). Dia juga berpendapat bahwa sastra Bali modern terjemahan merupakan ‘kekayaan sastra Bali modern’, dengan tetap mengakui haknya sebagai karya sastra Indonesia dalam bahasa aslinya. Seperti halnya kontribusi dalam pengayaan bahasa, dalam konteks budaya, sastra Bali modern terjemahan dikatakan ‘dapat memperkaya khazanah budaya pemakai bahasa sasaran’ (Tusthi Eddy, 2006:10). Kedua, pembahasan masalah kendala penerjemahan. Pokok bahasan ini dilihat dari dua aspek saja, yaitu (1) aspek bahasa, dan (2) aspek tema. Menurutnya, penerjemah sastra Bali modern lebih menguasai bahasa asal (bahasa Indonesia) tetapi kurang menguasai bahasa sasaran (bahasa Bali) dan kurang menguasai teori terjemahan. Kelemahan pertama menyebabkan struktur bahasa Indonesia masuk ke dalam bahasa Bali tanpa disadari, sedangkan kelemahan kedua mengakibatkan ‘sebagian besar hasil terjemahan terganggu oleh struktur bahasa sasarannya’ (Tusthi Eddy, 2006:11). Uraian Tusthi Eddy tentang kendala ‘tema’ dalam penerjemahan dikatakan terjadi sesekali atau ‘kadang-kadang’ saja. Kendala terjadi terutama kalau terjemahan itu dilakukan atas karya sastra Indonesia yang bertema absurd. Setelah uraian pokok, Tusthi Eddy sampai pada kesimpulan. Ada enam kesimpulan yang diberikan sebagai penutup makalahnya. Keenam kesimpulan tersebut (dikutip utuh) adalah: Pertama, sastra Bali modern terjemahan dimulai dari kegiatan coba-coba di tahun 1960-an, dan berkembang menjadi kreativitas penulisan sastra Bali modern tahun 1990-an. Kedua, sebagaimana karya asli, SBMT (Sastra Bali Modern Terjemahan) juga produk kreativitas, bukan sekadar hasil tukang pengalih bahasa. Ketiga, kelemahan umum SBMT yang masih saya temukan hingga kini adalah aspek bahasa sasarannya, yang meliputi struktur, pilihan kata, dan gaya. Keempat, hingga kini SBMT belum mendapat tempat sejajar dengan karya asli, baik publikasi di media massa maupun penerbitannya. Kelima, SBMT jelas memperkaya khazanah sastra dan budaya Bali, khususnya sastra Bali modern; serta ikut memberikan Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 229 kontribusi perkembangan bhasa Bali. Keenam, mengingat makna SBMT dari sudut literer sama dengan karya asli, seyogianya SBMT mendapat perlakuan sama dengan karya asli. Hal ini saya tekankan karena hingga kini SBMT masih terpinggirkan. Kajian tanpa Ilustrasi Di atas sudah disebutkan bahwa Tusti Eddy adalah salah seorang yang paling tepat untuk membahas ihwal penerjemahan dalam sastra Bali modern. Hal ini bukan semata-mata karena pengetahuannya dalam bidang terjemahan, tetapi lebih karena pengalamannya melakukan penerjemahan, baik dari sastra asing ke dalam sastra Indonesia maupun dari sastra Indonesia ke dalam sastra Bali. Proses kreatif yang dimulai akhir 1960-an itu terus dilaksanakan sampai sekarang sehingga sudah hampir terlampaui masa setengah abad. Selain itu, dia juga beberapa kali diminta memberikan kata pengantar terhadap karya terjemahan satrawan Bali seperti Made Sanggra dan Raka Kusuma. Uraian Tusthi Eddy pada pokoknya sudah mencakup tonggak-tonggak penting dalam fenomena terjemahan dalam sastra Bali modern, mulai akhir 1960- an hingga 2000-an. Mudah diterima pendapatnya yang menyebutkan bahwa karya terjemahan tidak saja memperkaya khasanah sastra Bali modern tetapi juga memberikan kontribusi dalam perkembangan bahasa Bali. Terlepas dari itu, saya mencatat ada dua hal yang menjadi gap dalam makalahnya. Pertama, tentang klaimnya bahwa awal fenomena penerjemahan dalam sastra Bali modern dimulai dari pengalaman pribadinya ketika kuliah di FKIP Singaraja dan penerjemahan yang dilakukan oleh Ketut Suwija. Waktu itu tahun 1968, Tusthi Eddy mengatakan bahwa dia menerjemahkan satu puisi Indonesia, dan Ketut Suwija menerjemahkan satu puisi. Pernyataan diri ini menarik, tetapi sayang Tusthi Eddy tidak memberikan bukti untuk memperkuat pernyataannya. Bukti ini penting, bukan karena kita tidak percaya pada penerjemahannya waktu itu, tetapi perlu sekali karena selama ini nama Ketut Suwija-lah yang paling sering disebutsebut sebagai perintis penerjemahan dalam sastra Bali modern. Suwija menerjemahkan sebuah puisi karya penyair Rusia Boris Pasternak berjudul “Wind”, dari versi Indonesia menjadi “Angin”, dimuat di harian Angkatan Bersendjata (kini NusaBali) 16 Juni 1968. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 230 Menurut Putu Setia dalam bukunya Menggugat Bali (1986), karya terjemahan Suwija ‘menggetarkan para tokoh bahasa’ karena bahasa Bali dianggap mampu ‘secara terhormat menerjemahkan bahasa asing, Inggris’ (Setia, 1986:112). Sejak nama Suwija disebut-sebut sebagai perintis terjemahan, tidak ada yang pernah membantah atau mengoreksinya. Dengan kata lain semua menerimanya dan tidak ada nama lain selain Suwija pada masa awal terjemahan dalam sastra Bali modern. Kemudian lewat makalah Tusthi Eddy kita mendapatkan informasi bahwa Tusthi Eddy sendiri juga menerjemahkan karya bersamaan dengan Ketut Suwija. Sayangnya, dalam makalah ini, Tusthi Eddy tidak menyebutkan secara detil tentang sajak apa yang diterjemahkan dan di mana dipublikasikan. Kalau saja informasi itu tersedia dan disajikan dalam makalah ini, bukannya tidak mungkin kita memberikan pertimbangan untuk menyebutkan bahwa duet Suwija dan Tusthi Eddy sebagai perintis terjemahan dalam kehidupan sastra Bali modern. Memang, dalam makalahnya, Tusthi Eddy tidak juga menyebutkan secara detil karya terjemahan Suwija karena sudah menjadi pengetahuan umum dan karena uraian Tusthi Eddy tentang kilas-balik terjemahan bersifat ringkas (ikthisar), namun demikian seharusnya dia tidak setengah-setengah agar informasi kesejarahan dan perannya sebagai orang yang pernah menerjemahkan dalam sastra Bali modern bisa ditegakkan. Kedua, makalah ringkas Tusthi Eddy banyak berisi argumentasi dan justifikasi tetapi sayang tidak berisi ilustrasi yang spesifik. Contoh-contoh yang diberikan hanya sampai pada tingkat judul buku atau antologi terjemahan. Dia misalnya mengkritik bahwa penerjemah sastra Bali modern lebih menguasai bahasa Indonesia (bahasa asal) dibandingkan bahasa Bali (bahasa sasaran). Kondisi ini membuat struktur bahasa terjemahan menjadi terganggu oleh bahasa sasaran. Atau, struktur bahasa Indonesia masuk ke bahasa Bali tanpa disadari (Tusthi Eddy, 2006:11). Juga tidak disebutkan apakah hal ini terjadi pada penerjemahan puisi, atau penerjemahan prosa, dua genre yang sangat kontras dalam hal kadar kepatuhannya terhadap struktur bahasa. Seberapa jauhkah perbedaan struktur bahasa Bali dengan bahasa Indonesia? Atau, pada akhirnya, apakah struktur bahasa itu yang menjadi taruhan terjemahan karya sastra atau kadar kepentingannya sama saja dengan kesuksesan Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 231 penerjemah mengalihkan makna, mempertahankan estetika, gaya penulis (style) pengarang asli, dan spirit karya secara keseluruhan. Tanpa memberikan contoh-contoh, kita jadi kurang bisa menerima panilaiannya secara lapang dada. Poin lain dari Tusthi Eddy yang perlu dimintai penjelasan lebih jauh adalah ketika dia menyebutkan bahwa tema alam lebih mudah diterjemahkan daripada tema-tema absurd. Alasannya, bahwa ‘fenomena alam yang terekam dalam sastra Indonesia modern juga menjadi fenomena alam Bali yang berkonteks pada bahasa Bali’. Penjelasan ini kurang meyakinkan karena tidak ada ilustrasi lebih jauh. Sejak dulu hingga kini, banyak penyair Indonesia yang menulis pengalaman mereka di luar negeri setelah takjub melihat panorama alam seperti ‘salju’, lalu apakah kata dan konsep ‘salju’ bisa dicarikan padanannya dalam bahasa Bali? Begitu juga dengan tema absurd, apakah pernah ada sastra terjemahan ke dalam bahasa Bali yang berasal dari karya sastra Indonesia bertema absurd? Kalau pernah, di mana letak kegagalannya, atau keberhasilannya kalau memang benar gagal atau berhasil. Tanpa ilustrasi, kita jadi bertanya atas dasar apa pendapat itu dibuat. Atau, adakah ini hanya asumsi saja atau hipotesis? Tidaklah sepenuhnya benar mengatakan bahwa tema-tema absurd bersumber dari budaya Barat. Absurditas dalam konteks sulit diterima logika justru dominan dalam dunia naratif tradisional Bali, baik dalam teks sastra maupun seni pertunjukan. Kisah Patih Marica dan Rahwana dalam epos Ramayana bersalin rupa masing-masing menjadi kijang emas dan pendeta renta sangatlah absurd, tetapi itu terasa wajar dan lumrah dalam sastra Bali. Tokoh teater absurd dunia, Antonio Artaud mendapat inspirasi untuk mengembangkan konsep teater absurdnya dari seni pertunjukan calon arang Bali yang ditontonnya di Paris tahun 1930-an. Dalam alam postmodernisme itu, absurd merupakan sisi lain dari logika yang tidak kalah logisnya. Ketika membaca cerpen-cerpen Ida Wayan Widiasa Keniten Buduh Ngelawang (2005) yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2006, elemen absurd ada di dalamnya, dan kemampuan bahasa Bali untuk menuangkan gagasan absurd tidak menghadapi hambatan. Tanpa apriori menolak pendapat Tusthi Eddy, alangkah baiknya kalau dia sudi memberikan ilustrasi terhadap argumentasinya. Tentang enam kesimpulannya, ada beberapa poin yang perlu Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 232 ditanggapi. Saya setuju dan senang dengan istilah Tusthi Eddy ketika mengatakan bahwa terjemahan dalam sastra Bali modern pada mulanya adalah ‘kegiatan coba-coba’, walaupun segera harus ditambahkan bahwa produk dan praktiknya bukanlah percobaan, tetapi hasil kreativitas final. Kesimpulannya bahwa sastra terjemahan belum mendapat tempat yang sejajar dengan karya asli alias terpinggirkan, baik dalam publikasi di media massa maupun penerbitannya, juga sulit diterima karena kontradiktif dengan apa yang disampaikan sebelumnya dan atau terlalu naif. Dikatakan kontradiktif karena Tusthi Eddy menyebutkan bahwa karya terjemahannya atas saja-sajak ‘Fireflies’ karya Rabindranath Tagore menjadi “Kunang-kunang” dimuat oleh Bali Post. Sekecil apa pun perhatian media massa, hal ini membuktikan bahwa sastra terjemahan tidak sepenuhnya terabaikan. Dikatakan terlalu naif karena boleh dikatakan bahwa karya asli juga tidak mendapat sambutan semarak. Sepinya sambutan masyarakat merupakan fenomena umum dalam kehidupan sastra Bali modern, bukan semata-mata kasus karya terjemahan. Suka atau tidak adalah hal biasa kalau penerjemah atau penulis harus menerbitkan sendiri karyanya, seperti Nyoman Manda dan Made Sanggra. Kalau dalam kesimpulan ini Tusthi Eddy menginginkan agar karya terjemahan dan karya asli mendapat lebih banyak perhatian, tentu saja gampang disetujui melalui berbagai upaya nyata seperti merangsang timbulnya karya bermutu dan meminta kesudian pemerintah dan swasta untuk mendukung pendanaan untuk penerbitan. Terjemahan dalam Sastra Sunda dan Jawa Modern Agar dalam memberikan penilaian terhadap fenomena terjemahan dalam sastra Bali modern kita tidak ibarat ‘katak dalam tempurung’, perlu kiranya mengenal fenomena atau tradisi terjemahan dalam sastra daerah modern lainnya. Dalam hal ini perbandingan diambil dari sastra daerah Jawa dan Sunda. Berbeda dengan Bali yang mengawali masa ‘coba-coba’ untuk penerjemahan akhir tahun 1960-an, tradisi terjemahan dalam sastra Sunda modern dan Jawa modern sudah berlangsung sejak lama. Dalam sastra Sunda, fenomena terjemahan sudah bermula pertengahan abad ke-19, ditandai dengan munculnya Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 233 karya terjemahan Muhammad Musa berjudul Dongeng-dongeng Pieunteungeun (dongeng-dongeng untuk cermin hidup) yang berisi terjemahan dongeng La Fontaine yang diterjemahkan melalui versi Jawa yang ditulis oleh seorang Belanda ahli bahasa Jawa, C.F. Winters (Rosidi, 1983:115). Menurut Ajip Rosidi, pada sekitar tahun 1900 (awal abad ke-20) kian banyak buku atau dongeng karangan orang Belanda diterjemahkan ke dalam bahasa Sundah. Buku yang diterjemahkan biasanya dipilih yang berisi cerita yang mengisahkan kepahlawanan orang-orang Belanda, kemudian juga ada terjemahan roman-roman zaman romantik seperti karya Alexander Dumas (Rosidi, 1983:115). Terjemahan dalam sastra Sunda terjadi dalam dua arah, yakni penerjemahan sastra dunia (lewat terjemahan bahasa Indonesia) ke dalam bahasa Sunda dan terjemahan sastra Sunda ke dalam bahasa Indonesia (Rosidi, 1987:114- 115). Contoh terjemahan dari bahasa lain ke bahasa Sunda bisa dilihat pada karya Muhammad Musa Dongeng-dongeng Pieunteungeun. Roman terbitan Balai Pustaka banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, seperti roman terkenal Abdul Muis Salah Asuhan diterjemahkan oleh R. Satjadibrata menjadi Salah Atikan, roman Panji Tisna Ni Rawit Ceti Penjual Orang diterjemahkan oleh Moh Ambri menjadi Panglayar Jadi Culik (Rosidi, 1983:122). Ajip tidak menjelaskan mengapa terjadi penerjemahan begitu banyak karya saat itu. Namun, kita bisa menduga hal itu kemungkinan besar terjadi karena adanya kebutuhan akan buku bacaan. Buku-buku terjemahan menjadi sarana untuk memenuhi kehausan membaca masyarakat. Sebaliknya, roman-roman Sunda juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tahun 1927, misalnya, sebuah roman Sunda berjudul Carita Dulur Lima karangan R. Soengkawa, terbitan Balai Pustaka 1924, diterbitkan ke dalam bahasa Melayu (Indonesia) menjadi Nyi Mas Sukmi dan Saudara-saudaranya. Roman Pangeran Kornel karya Rd Memed Sastrahadiprawira diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Muis (pengarang Salah Asuhan) dan pernah mengalami cetak ulang dua kali (Rosidi, 1983:116). Sementara itu, Ajip Rosidi sendiri juga menerjemahkan dua roman karya Moh. Ambri masing-masing Ngawedalkeun Nyawa dan Munjung. Proses terjemahan berlanjut terus sampai sekarang. Tahun 2001, terbit buku Puisi Sunda Modern dalam Dua Bahasa hasil seleksi dan terjemahan Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 234 Ajip Rosidi. Karya terjemahan benar-benar merupakan bagian dari pertumbuhan sastra Sunda modern. Dalam jagat sastra Jawa modern, karya sastra terjemahan juga sudah muncul sejak lama, yakni akhir abad ke-19. Ihwal terjemahan dalam sastra Jawa ini disinggung dalam disertasi George Quinn dari University of Sydney yang kemudian terbit menjadi buku The Novel in Javanese (1992). Dalam buku ini, Quinn menggunakan dua istilah yang berbeda yaitu ‘adaptasi’ dan ‘terjemahan’. Di antara buku adaptasi yang terbit adalah Sewu Setunggal Dalu adaptasi dari cerita Seribu Satu Malam tahun 1847 oleh F.L. Winter, lalu cerita Aladin oleh R.M.A. Soetirta dan juga Aladin oleh Ng. Djajasoebrata, keduanya terbit tahun 1855. Tahun 1881 terbit novel terjemahan Robinson Grusu dari karya Eropa Robinson Crusoe diterjemahkan oleh M.Ng. Reksatenaja. Tahun 1889 terbit buku terjemahan Tiang Ngubengi Donya 80 Dinten (Keliling Dunia dalam 80 Hari) alih bahasa dari novel karya Jules Verne. Walaupun banyak karya terjemahan dalam khasanah sastra Jawa modern, kehadiran novel Jawa modern bukanlah sepenuhnya pengaruh asing. Pendapat ini disampaikan oleh Quinn dengan setidak-tidaknya karena tiga alasan berikut. Pertama, selain karya terjemahan, jauh sebelum pengaruh asing dalam bentuk novel masuk, di Jawa sudah ada tradisi penulisan ringkasan cerita pertunjukan seperti wayang. Ringkasan cerita ini ditulis dalam bentuk prosa. Kedua, bersamaan dengan munculnya karya terjemahan roman Eropa pertengahan abad ke-19, sastrawan Jawa juga sudah banyak menulis kisah perjalanan atau travelogue. Tahun 1865, misalnya, Bupati Demak, R.M.A. Candranegara menerbitkan kisah perjalanan berjudul Cariyos Bab Lampah- Lampahipun Raden Mas Arya Purwa Lelana (Catatan Kisah Perjalanan Raden Mas Arya Purwa Lelana). Ada banyak kisah catatan pengembaraan, termasuk dua karya yang mencatat perjalanan ke Bali, yatiu Purwa Carita Bali (Cerita Perjalanan ke Bali) karya R. Sasrawijaya terbit tahun 1875 dan Bali Sacleretan (Lawatan Singkat ke Bali) tahun 1925 karya Ekajaya. Ketiga, dengan meminjam pendapat Ian Watt dan Raymond Williams yang mengatakan bahwa novel tidak lahir secara spontan, tidak juga karena pengaruh dari model sastra dari luar, tetapi hasil proses internal, maka Quinn berpendapat bahwa munculnya novel Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 235 Jawa adalah hasil kombinasi dinamika internal dan pengaruh eksternal (1992:4-5). Yang jelas, tradisi terjemahan dalam sastra Jawa modern juga terus berlanjut, baik dari karya sastra Indonesia maupun karya sastra Jawa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ilustrasi Terjemahan dalam Sastra Bali Modern Ada cukup banyak (belum banyak sekali!) karya terjemahan dalam sastra Bali modern. Sejauh ini karya terjemahan itu lebih banyak dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali. Terjemahan dari bahasa Bali ke Indonesia sangat sedikit. Dari yang sedikit ini contohnya bisa dilihat dalam buku kumpulan cerpen Ketemu ring Tampaksiring karya Made Sanggra yang terbit dalam tiga bahasa (Bali, Indonesia, Inggris). Cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalau tidak salah diterjemahkan oleh Ketut Sumarta, kalau tidak salah terbit tahun 1996 di harian Nusa Tenggara. Terjemahan sastra Indonesia ke dalam bahasa Bali bisa dikatakan meliputi hampir semua genre (kecuali drama), yaitu cerpen, puisi, dan novel. Untuk puisi, ada terjemahan lepas satudua, seperti yang terjadi pada masa awal ‘coba-coba’, ada juga yang melakukan secara memadai untuk terbit dalam satu antologi, Foto 12.1 Kumpulan cerpen Katemu ring Tampaksiring karya Made Sanggra dan terjemahan dua bahasa Inggris dan Indonesia. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 236 seperti yang dilakukan Raka Kusuma dan Nyoman Manda. Teksteks terjemahan yang ada cukup memadai untuk dijadikan ilustrasi dalam pembicaraan sastra terjemahan dalam sastra Bali modern. Lewat ilustrasi teks terjemahan, keberadaan dan kualitas terjemahan bisa dinikmati dan didiskusikan. Contoh yang akan diberikan dalam uraian ini adalah terjemahan puisi dan cerpen. Pembahasan tentang novel terjemahan menuntut waktu dan ruang yang lebih banyak. Teks terjemahan puisi yang akan disampaikan sebagai ilustrasi adalah terjemahan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku”, yang diterjemahkan oleh dua orang, yaitu Nyoman Manda dan Made Sanggra. Tahun terbit terjemahan ini sama, yakni tahun 2000. Penerjemahan puisi yang sama oleh kedua sastrawan senior kita ini mungkin suatu kebetulan. Keduanya menarik dipakai contoh terjemahan dengan mengamati persamaan dan perbedaannya. Berikut dikutipkan terlebih dahulu puisi “Aku” Chairil Anwar dari antologinya Aku Ini Binatang Jalang (Eneste, 1987:13). AKU Kalau sampai waktuku ‘Kumau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi. Nyoman Manda, menerjemahkan puisi “Aku” menjadi seperti ini: TITIANG Yèning suba kanti gantin titiang Titiang makita apang sing ada anak ngelemon Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 237 Kèto masih raganè Sing perlu eling sesambatan Titiang tuah ubuan rengas bringas Lepas palas uling punduhanè Japin mimis nembus kulit titiangè Titiang tetap numbrag nyarag Tatu lan racun aba titiang mlaib Mlaib Kanti hilang ngaap buin rungu Titiang dot hidup siyu tiban buin Sementara itu, Made Sanggra, menerjemahkan puisi “Aku” menjadi: TITIANG Yèning sampun tutug panumayannyanè Titiang mamanah mangda sampunang wènten anak sedih asasambat Taler jronè Nirdon sedih punika Titiang wantah buron rengas malumbar Palas saking punduhannyanè Yadiapin kulit titiangè remek keni mismis Titiang teer galak numbrag Tatu lan wissia bakta titiang malaib Malaib Jantos ical ngaap lan ngahngahnyanè Titiang mamanah urip siu tiban malih. Terjemahan Nyoman Manda dimuat dalam antologi Deru Campur Debu alih bahasa Nyoman Manda (2000:3). Terjemahan Made Sanggra dimuat dalam antologi Goak Mabunga Sandat, Pupulan Carita Bawak lan Puisi Bali Anyar (Anonim, 2000:16). Banyak aspek menarik yang dapat dibahas dalam kedua terjemahan di atas. Sebelum memulainya, ada baiknya untuk menguraikan apa sebetulnya arti penerjemahan. Telah banyak dirumuskan batasan ‘penerjemahan’. Secara singkat, penerjemahan bisa diartikan sebagai proses alihbahasa sebuah teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan mencari padanannya. Baker (dalam Yadnya, 2004:209) Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 238 menyebutkan padanan itu dapat terjadi pada tingkat (1) kata dan di atas kata seperti kolokasi, idiom dan ungkapan, (2) gramatikal, (3) tekstual, dan (4) pragmatik. Baik tidaknya sebuah terjemahan bisa dilihat dari pemadanan ke-4 point di atas. Namun untuk terjemahan teks karya sastra, seperti puisi, aspek estetis sangat penting diperhatikan. Jika diperhatikan pemadanan di tingkat kata, kelihatan bahwa kedua penerjemah memilih kata ‘titiang’ sebagai padanan ‘aku’. Pemilihan kata ‘titiang’ yang ‘alus’ mengesankan hilangnya konotasi ‘liar, vitalitas, individual’ pada kata ‘Aku’. Jika diterjemahkan ‘icang’, nuansa vitalitas terakomodasi, namun mungkin terasa ‘kasar’. Tidak gampang, memang! Terlepas dari kesamaan judul, ada perbedaan penerjemahan di tingkat kata- kata. Misalnya, pemadanan kata ‘binatang’ (binatang jalang). Dalam terjemahan Nyoman Manda, ‘binatang’ mendapat padanan ‘ubuan’ (ubuan rengas bringas), sedangkan dalam terjemahan Made Sanggra menjadi ‘buron’ (buron rengas malumbar). Dalam kosa kata bahasa Indonesia, ‘binatang’ dan ‘hewan’; atau dalam bahasa Bali ‘buron’ dan ‘ubuan’ dibedakan, yang pertama berkonotasi ‘liar’, sedangkan yang kedua berkonotasi terpelihara (dibudidayakan). Jika dilihat dari sini, berarti terjemahan yang tepat untuk ‘binatang’ adalah ‘buron’ seperti yang dilakukan Made Sanggra, bukan ‘ubuan’ seperti yang ditawarkan Nyoman Manda. Namun, ketika harus menerjemahkan ‘binatang jalang’, terjemahan Nyoman Manda yang lebih estetis karena menggunakan ungkapan bersyair rengas bringas. Jika pemadanan tingkat kalimat diperhatikan, kelihatan terjemahan Nyoman Manda menggunakan bahasa Bali ‘kepara’, sedangkan Made Sanggra menggunakan Bali ‘alus (madia)’. Hal ini bisa dilihat dari terjemahan atas kalimat pertama dan kalimat terakhir. Kalimat pertama berbunyi‚’Yèning suba kanti gantin titiang’ dan ’Yèning sampun tutug panumayannyanè’ dan kalimat terakhir yang diterjemahkan Nyoman Manda menjadi Titiang dot hidup siyu tiban buin, sedangkan oleh Made Sanggra diterjemahkan menjadi Titiang mamanah urip siu tiban malih. Pilihan penggunaan kata ‘dot’ dan ‘mamanah’ membedakan nuansa atau nilai rasa terjemahan. Hal serupa juga bisa dilihat dalam terjemahan ‘tidak perlu sedu sedan itu’ yang masing-masing diterjemahkan menjadi ‘Sing perlu eling sesambatan’ dan ‘Nirdon sedih punika’. Dalam aspek ini, Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 239 bahasa Bali memang menunjukkan keunikan, karena mengenal register khusus ‘alus’ dan ‘kepara’. Untuk struktur kalimat, sulit rasanya menilai bahwa strukturnya dipengaruhi struktur bahasa Indonesia, karena dua alasan. Pertama, struktur bahasa Bali dengan bahasa Indonesia tidak jauh berbeda. Kedua, dalam seni puisi, tuntutan menciptakan keindahan mengizinkan pelanggaran terhadap struktur kalimat. Dalam konteks inilah, sulit rasanya menerima pendapat Tusthi Eddy yang menyebutkan bahwa struktur bahasa Indonesia masuk ke bahasa Bali tanpa disadari (Tusthi Eddy, 2006:11). Mengapa terjadi perbedaan penerjemahan? Bukankah penerjemah mesti menerjemahkan puisi sesuai dengan gaya puisi yang diterjemahkan daripada menaklukkan kepada gaya penerjemahnya? Jawabannya adalah selain karena perbedaan penafsiran atas puisi yang diterjemahkan, juga karena perbedaan gaya penerjemahnya. Kelihatannya Nyoman Manda melakukan terjemahan kata demi kata langsung, sedangkan Made Sanggra melakukan penerjemahan makna. Sudah bukan rahasia lagi Made Sanggra dalam karya-karyanya berusaha menggunakan bahasa yang agak ‘alus’, sedangkan Nyoman Manda bahasa yang ‘lugas’. Kedua terjemahan harus dinilai berhasil karena sudah mampu menyajikan padanan makna atas teks aslinya. Soal apakah keindahan sajak sumber bisa terrefleksikan dalam sajak terjemahan, itu relatif dan memerlukan diskusi yang lebih panjang. Yang jelas, teks-teks ini tidak saja memperkaya khasanah sastra Bali modern dengan karya terjemahan, tetapi juga variasi terjemahannya menyediakan materi kajian yang lebih menarik, baik untuk bidang sastra maupun bidang linguistik. Contoh lain terjemahan puisi bisa dilihat dari karya IDK Raka Kusuma atas puisi Sapardi Djoko Damono, judul kumpulan Sunaran Bulan Tengah Lemeng. Salah satu sajak Foto 12.2 Antologi puisi Sapardi Djoko Damono terjemahan ke dalam bahasa Bali oleh IDK Raka Kusuma. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Heterogenitas Sastra di Bali 240 di dalamnya adalah “Perahu Kertas” (1981). Kutipan baris-baris awal: Teks bahasa Indonesia: Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan Kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan. Terjemahan bahasa Bali: Dugase cenik cening ngae prau kertas laut layarang cening uli sisin tukade, banban pesan embahan tukade ento, maogahan prau kertas ceninge mirig yeh malayar ka pasihe. Salah satu yang menarik diperhatikan dalam terjemahan ini adalah penerjemahan kata ganti ‘kau’ menjadi ‘cening’. Dalam bahasa Bali, kata ganti orang kedua ‘kau’ itu sama dengan ‘cai’, bukan secara spesifik ‘cening’. Namun, penggunaan ‘cening’ justru menarik di sini apalagi digandengkan dengan kata ‘cenik’, ada terasa persamaan bunyi (dugase cenik cening). Persoalannya apakah ‘kau’ dalam sajak ini (selalu) berarti ‘kau anak-anak’ ataukah itu adalah sorot balik terhadap orang ketika dia kanak-kanak namun sekarang sudah menjadi orang dewasa. Kalau yang terakhir ini yang benar, seperti yang saya rasakan (mungkin saja saya keliru), pemakaian ‘cening’ yang indah ini pantas dipersoalkan. Yang lain, apakah ‘ke laut’ lebih tepat diterjemahkan ‘ka pasihe’ atau ‘ka segara’ juga tergantung gaya penulisan si penerjemah. Kuncinya adalah penafsiran dan penerjemahan merupakan kreativitas dan proses. Sebuah terjemahan akan makin sempurna kalau diamplas, dibaca berulang, diproses terus-menerus. Persoalan ‘kata ganti’ muncul berulang dalam teks terjemahan sastra Bali modern. Marilah lihat kutipan awal terjemahan cerpen Umar Kayam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan’ yang diterjemahkan Made Sanggra, diterbitkan Yayasan Obor tahun 1999. Dalam buku ini, cerpen Umar Kayam diterjemahkan ke dalam 13 bahasa daerah, termasuk bahasa Bali. Untuk bahasa Bali, berikut ini: Teks bahasa Indonesia (hlm 1): Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela. Buku ini tidak diperjualbelikan.
Fenomena Terjemahan dalam Sastra Bali Modern 241 “Bulan itu ungu, Marno.” “ Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?” Teks bahasa Bali (hlm 86): Ipun sareng kalih negak mayus-mayusan ring sofane.1 Marno namping scotch agelas lan Jane namping martini agelas. Maka kalih pateh paturu mawasan medal, saking obag-obag jendelane. “Bulane ento tangi, Marno.” “ Jane lakar terus maksa iang2 apang ngugu?” Kata ganti kedua jamak “mereka“ diterjemahan dalam dua bentuk berbeda, yaitu: “ipun sareng kalih” dan “maka kalih”. Kata “kau” dalam kalimat terakhir diterjemahkan menjadi ‘Jane’, ini sudah terjadi penafsiran yang meloncat, mengapa tidak diterjemahkan lain, misalnya ‘ragane’. Catatan kaki dalam kutipan ini diambil sesuai dengan aslinya. Terjemahan ini dan juga terjemahan lain bisa dikaji lebih jauh, baik dari aspek linguistik dan estetiknya. Terjemahan yang berbeda apakah mencerminkan kelemahan atau justru kekuatan bahasa Bali di tangan penerjemah yang kreatif? Yang jelas, pesan yang disampaikan bisa dimengerti sehingga terjemahan ini bisa dianggap berhasil paling tidak pada penyampaian amanat teks asal. Mengapa Menerjemahkan Secara praktis penerjemahan dilaksanakan untuk menghasilkan teks dalam bahasa sasaran sehingga pembaca yang tidak memahami bahasa asli teks tersebut dapat juga membaca dan menikmatinya jika mereka mau. Ini kalau ditinjau dari sudut pembaca. Ditinjau dari sudut pandang atau kepentingan penerjemah, lain lagi artinya. Penerjemah memiliki alasan tersendiri mengapa mereka menerjemahkan suatu karya ke dalam bahasa tertentu. Untuk terjemahan ke dalam bahasa Bali, pengakuan penerjemah tak saja bisa dijadikan pegangan untuk mengetahui motif penerjemahan, tetapi juga perkembangan atau kondisi makro fenomena penerjemahan. Dalam pengantarnya untuk antologi terjemahan Deru Campur Debu, Nyoman Manda menulis seperti berikut: 1 Sofa=kursi panjang dados anggen sirep-sirepan. 2 Iang= icang (soran ring tiang ring icang). Buku ini tidak diperjualbelikan.