The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-05-28 16:24:33

8. Suparlan_Berlabuh ke Bumi Sikerei

8. Suparlan_Berlabuh ke Bumi Sikerei

B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 87 Kami pun duduk-duduk di bangku panjang dalam ruangan yang longgar itu. Saya mengedarkan pandangan ke sekitar. Sau-sau yang terbuka menembus lurus hingga bagian belakang uma. Eliakem, seorang laki-laki muda yang merupakan kerabat dekat tuan rumah, menceritakan bagian-bagian tertentu di dalam uma. Saya mendengarkan dengan saksama. Petang terasa lebih teduh dan semilir di bawah naungan atap anyaman daun-daun sagu. Ketika jeda sebentar, saya berbisik kepada Agustinus. “Apa ini uma yang disebut-sebut oleh Pak Yudas tadi?” Agus menggeleng. “Bukan, Mas. Itu masih di ujung di sana. Besok pagi saja kita ke sana,” jawabnya kemudian. Saya pun maklum. Tidak lama lagi, listrik akan menerangi Dusun Ugai dan sekitarnya. Buah dari energi biomassa baru bisa menjangkau dusun itu dari pukul 18.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Selanjutnya, seluruh dusun akan tertidur dalam kelengangan dan keremangan cahaya bulan. Sekitar setengah jam sebelum listrik menyala, kami berpamitan. Di sepanjang jalan menuju rumah orang tua Agustinus, kami menyusun rencana kecil untuk keesokan harinya. Luat, Obuk, Gulai Daun Singkong, dan Udang Asap Sabtu sore, (19/5/2019) Tako Manay duduk di lantai kayu beranda rumahnya. Ia tampak tekun dan tidak banyak bicara. Kedua tangannya sedang menyusun manik-manik aneka warna. Manik-manik itu disusun sedemikian rupa berdasarkan warna sehingga menampakkan motif yang menarik. Manikmanik yang tersusun rapi itu dilekatkan pada sebuah benda yang berbentuk lingkaran. Benda itu terbuat dari rotan yang sebelumnya telah dibungkus dengan kain berwarna putih dan dijahit. Tako Manay sedang merangkai luat. Sementara itu, Illau—adik bungsu Agustinus—sedang merangkai luat yang lain. Luat adalah sejenis ikat (perhiasan) kepala khas Mentawai. Luat bisa dipakai siapa saja, baik laki-laki dan perempuan. Biasanya orang-orang akan memakainya ketika sedang ada pesta. Merangkai luat tidak bisa sembarangan. Membutuhkan waktu dan ketekunan yang cukup menakjubkan.


88 T J A K S. P A R L A N “Kira-kira butuh waktu berapa lama, Bu?” tanya saya. Tako Manay berhenti sejenak. “Satu minggu,” jawabnya kemudian. Perkiraan dalam benak saya meleset jauh. “Itu kalau lancar,” tambah Tako Manay. Terang saja, bagi saya itu adalah pekerjaan yang rumit. Betapapun begitu, rasanya akan sebanding dengan kebahagiaan dan kegembiraan sederhana siapa saja akan mengenakannya kelak. Kegembiraan sederhana berikutnya adalah ketika perempuan yang tangannya dihiasi tato khas Mentawai itu menghidangkan obuk yang dimasaknya sendiri. Sepanjang hari-hari saya di Ugai, makanan olahan berbahan utama tepung sagu inilah yang paling saya sukai. Obuk adalah olahan sagu yang dimasak di dalam ruas-ruas bambu yang kecil dan tipis, cara memasaknya adalah dengan dibakar (dipanggang) di atas perapian. Agustinus pernah menceritakan makanan jenis ini sewaktu saya masih di Tuapeijat, Sipora. Menurutnya, hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit agar obuk menjadi benarbenar matang. Setelah matang, bambu pun dibelah dan sagu di dalamnya siap untuk dihidangkan. Obuk akan lebih nikmat jika disandingkan dengan makanan berkuah sebagai lauknya, seperti pada suatu senja di bulan Mei itu, obuk dihidangkan bersama gulai daun singkong dan udang asap. Saya senang dengan cara menikmatinya. Obuk yang terasa kenyal ketika disentuh itu, dicocol-cocol ke dalam masakan berkuah. Serta merta akan menjadi lumer, Foto dokumentasi Tjak S. Parlan: Toko Manay merangkai luat


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 89 dan terasa nikmat di lidah. Sejauh yang bisa saya nikmati dan rasakan, sagu ternyata lebih tahan lama menjaga perut saya agar tidak keroncongan. Setiap kali menikmatinya, saya berharap agar kehadiran nasi di Bumi Sikerei itu, tidak pernah bisa sempurna menggantikan sagu—khususnya obuk. Penyembuhan Markus Gemerincing jejeneng (genta kecil) membubung ke udara, memenuhi ruangan itu. Disambut dengan nyanyian dua orang sikerei yang terdengar seperti mantra, suasana magis semakin terasa. Saya berusaha mendekat, mengikuti dengan saksama dua orang sikerei yang konstan mengayunkan genta kecil itu di tangannya. Bersamaan dengan itu, mereka membentangkan sebuah laka—kain berwarna merah yang bentuknya memanjang. Laka itu terus-menerus diayunkan di atas kepala Markus. Markus duduk bersandar dinding kayu, tampak lunglai dan pendiam. Gerakan-gerakan itu diulangdiulang untuk beberapa lama, sampai mereka melangkah keluar ruangan dan mengibaskan laka dengan kencang. Seluruh bagian dalam pasibitbit itu diulang hingga dua kali, sebelum kemudian ujung kain berwarna merah dicelupkan ke dalam piring yang berisi ramuan obat. Foto dokumentasi Tjak S. Parlan: Obuk, bersaing dengan nasi dalam sebuah hidangan.


90 T J A K S. P A R L A N Tahapan selanjutnya sedikit berbeda. Kali ini media yang digunakan adalah dedaunan. Seiring dengan gemerincing jejeneng, dua sikerei itu masing-masing mengayun-ayunkan seikat dedaunan. Suatu saat gerakangerakan yang konstan itu tampak seperti sedang mengibas-ngibaskan sesuatu yang ada di atas kepala Markus. Markus terus-menerus menunduk, menekuni sebuah piring obat yang diletakkan tidak jauh dari tempatnya duduk. Tahapan yang seperti ini juga diulang dua kali. Semuanya ditutup seperti tahapan pertama—dua sikerei melangkah keluar dan mengibaskan dedaunan itu dengan kencang. Setelah dua tahapan yang masing-masing diulang sebanyak dua kali, kedua sikerei melakukan apa yang disebut dengan pasilaggek pameruk simanene. Pada tahapan ini sikerei melakukan pengobatan dengan ramuan dalam piring seraya diringi nyanyian yang terdengar seperti mantra. Ramuan obat dalam piring itu diborehkan ke seluruh tubuh Markus yang lampai. Untuk sementara, tahapan-tahapan itu telah berakhir. Dua orang sikerei itu pun ke luar ruangan. Mereka duduk di teras, terlihat santai. Saya pun beringsut, segera bergabung bersama mereka. Kedua sikerei itu adalah Aman Dokumentasi Tjak S. Parlan: Ritual penyembuhan Markus oleh sikerei.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 91 Leuru dan Aman Jamini. Aman Leuru adalah salah seorang sikerei senior di Ugai. Aman Jamini—menurut Agustinus—masih terhitung sikerei muda. Tubuh Aman Jamini masih terlihat bersih dari tato, sementara tato Mentawai khas sikerei telah menghiasi beberapa bagian tubuh Aman Leuru. Pada malam penyembuhan Markus itu, hadir pula salah seorang sikerei senior lainnya. Ia adalah Aman Ipai. Aman Ipai-lah yang menjelaskan keseluruhan ritual pengobatan itu kepada kami. Menurut Aman Ipai, pasibitibit adalah ritual pengusiran roh-roh jahat yang telah menganggu si sakit. “Ada roh-roh jahat yang menganggu. Harus diusir,” ujar Aman Ipai. Si sakit—Markus, sudah pernah dirawat di sebuah rumah sakit di Tuapeijat, ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sekitar seminggu lamanya. Saya pernah bertemu Markus sebelumnya. Saat perjalanan dari Sipora ke Siberut Selatan minggu itu, saya satu kapal dan satu pompong dengannya. Sewaktu Agustinus mengabari bahwa akan ada ritual pengobatan di rumah Markus, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Pertama, saya kaget. Kedua, ini sebuah kesempatan langka untuk saya—dan saya harus menyaksikannya. Ketiga, saya berdoa semoga Markus baik-baik saja dan kembali sehat seperti sedia kala. Malam itu ketika saya ragu-ragu untuk mengambil gambar, Markus malah memberi isyarat kepada saya untuk lebih mendekat dan ikut masuk ke dalam ruangan selama proses pengobatan berlangsung. Begitu juga dengan kedua sikerei itu, mereka tampak sangat menerima kedatangan saya. Bahkan, ketika saya bergabung dengan mereka di teras, saya sempat menunjukkan video dan foto yang saya ambil selama ritual pengobatan berlangsung. Mereka terlihat senang dan kembali menyalami saya. Selepas jeda sebentar itu, dua sikerei kembali melanjutkan ritualnya. Menurut Aman Ipai—yang disampaikan oleh Agustinus—ini adalah tahapan terakhir. Bagian terakhir ini adalah proses pemanggilan simagere (roh) agar masuk ke dalam diri si sakit—Markus. Pada tahap ini, dua sikerei mengambil posisi jongkok dan saling berhadapan. Kali ini tidak dilakukan di dalam ruangan, melainkan di teras, tepat di depan pintu masuk rumah. Seraya


92 T J A K S. P A R L A N terus membunyikan jejeneng dan bernyanyi, pandangan mereka tertuju pada sebuah piring yang teronggok di lantai di tengah-tengah mereka. Di dalam piring itu ada seonggok daging ayam. Setelah sekian lama, salah satu sekerei—Aman Leuru—memutar piring itu sesaat. Sekian detik berikutnya, gemerincing jejeneng dan nyanyian yang terdengar seperti mantra itu pun berhenti. Seluruh proses ritual pun berakhir. Sikerei memiliki kemampuan dan peran yang istimewa dalam kehidupan suku Mentawai, terutama sebagai penyembuh bagi orang yang sakit. Misalnya saja, seorang sikerei mampu berkomunikasi dengan segala roh halus, baik yang jahat maupun yang baik; sikerei juga bisa mengusir kekuatan-kekuatan gaib yang menjadi sumber segala penyakit. Tidak sembarangan orang yang bisa menjadi sikerei. Banyak hal yang harus melekat pada dirinya: harus baik, selalu siap, dan istimewa. Laurensus Saruruk yang pernah saya temui sebelumnya mengatakan bahwa tugas yang diemban seorang sikerei tidak pernah mudah. Oleh karena itu, yang terpilih semestinya adalah yang istimewa. “Dia harus baik, istimewa, dan tidak ada satu pun keburukan yang tampak dalam dirinya. Pokoknya, kebaikan itu harus dominan dalam dirinya,” ujarnya. Masih menurut Laurensus, seorang sikerei ada biasanya juga karena semacam titisan. Mereka mendapatkan semacam ‘wahyu’ atau petunjuk. “Jika sudah begitu, mereka harus ditasbihkan. Sampai akhirnya mereka bisa paham banyak hal,” jelasnya. Sebagai sosok yang terpilih, sikerei tidak boleh menolak, harus siap siaga selama 24 jam jika dibutuhkan. Sikerei tidak dibayar dengan uang. Upahnya adalah binatang yang disembelih di tempat ritual. Selama menjalankan fungsi-fungsinya sikerei harus siap berpantang, tidak boleh melakukan halhal tertentu sampai tugas-tugasnya berjalan dengan baik. Barangkali karena keistimewaan-keistimewaan semacam itulah, sikerei pantas menjadi ikon budaya Mentawai. Malam itu, setelah semua proses pengobatan dijalankan, tuan rumah mengajak kami makan bersama. Saya katakan pada Agustinus bahwa saya terlalu kenyang. Meskipun begitu, Agustinus tetap meminta saya untuk bergabung. Iya, bergabung saja sebagai sebuah penghormatan terhadap tuan


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 93 rumah. Saya pun duduk melingkar bersama Agustinus Sapumaijat, Lemanu Sapumaijat dan istrinya. Obuk dan sup ayam kampung telah disiapkan. Tak urung, saya pun mencicipinya. Sekitar pukul 10 malam, saya dan Agustinus berpamitan. Sepanjang jalan menuju rumah orang tua Agustinus, gemerincing jejeneng itu seolah masih tergiang. Dokumentasi Tjak S. Parlan: Dua sikerei memborehkan obat ramuan ke seluruh tubuh Markus. Tidak Bisa Terlepas dari Sagu Minggu siang (20/5/2019), di sebuah kawasan tanah berawa yang lengang, saya dan Agustinus mencari-mencari Aman Lari. Ladang berawa itu berada tepat di belakang sebuah uma di pinggiran Ugai. Aman Lari muncul beberapa saat kemudian, menapaki titian kayu di tempat pengolahan sagu. Pohon-pohon sagu tumbuh subur di ladang kecil yang lebat itu. Bersama jabat tangan dan senyum ramah ana leu ita, Aman Lari menyambut kami. Ia bertelanjang dada, sepotong kabit membalut tubuh bagian bawahnya. Ia baru saja menuntaskan sebuah sesi dalam proses pengolahan sagu. Tubuhnya masih berkeringat.


94 T J A K S. P A R L A N Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui tujuan saya. Aman Lari langsung mengarahkan saya ke tempat yang saya cari-cari sejak masih di Sipora. Tempat itu adalah sebuah penapis berbingkai kayu yang menyerupai wadah bersegi empat. Penapis berbingkai kayu itu diletakkan di atas parapara bambu yang menyangganya dengan kuat. Di atas tempat itulah— tidak lama kemudian— saya menyaksikan langsung Agustinus Sapumaijat mengentak-entakkan kakinya dengan riang. Agustinus tidak sedang menari. Tapi ia sedang menginjak-nginjak tumpukan serbuk sagu. Sementara ia konstan menginjak-injakan kakinya, cairan putih terus mengalir ke bawah penapis berbingkai kayu. Air cucuran berwarna putih itu ditampung dalam penampung antara yang berupa kayu berceruk lebar. Ujung penampung antara itu bersambung dengan sebuah penapis dari kain yang digantungkan di atas sebuah wadah kayu berbentuk sampan. Di dalam wadah kayu berbentuk sampan itulah semua saripati sagu akan mengendap. Namun, itu bukan akhir dari keseluruhan proses. Dibutuhkan waktu lebih lama lagi agar menghasilkan tepung sagu yang bisa dikonsumsi. “Ditunggu, kurang lebih hampir dua jam. Biar tepung (saripati) sagunya benar-benar terpisah dari air perasan,” jelas Aman Lari. Dokumentasi Tjak S. Parlan: Bersama Aman Lari, di tempat pengolahan sagu miliknya.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 95 Agustinus berhenti. Kesempatan berikutnya adalah saya. Di atas penapis berbingkai kayu itu saya melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan Agustinus. Kaki saya menari-nari, mengentak-entak, menginjakinjak serbuk-serbuk sagu yang menumpuk tebal. Sesekali saya mengambil jeda untuk bertanya hal remeh-temeh kepada Aman Lari. Aman Lari menanggapi dengan riang dan santai. Sesekali saya berhenti untuk menimba air dengan timba berbentuk kerucut yang terbuat dari pelepah sagu. Sagu parutan yang akan ditapis dan diperas tidak boleh dibiarkan mengering agar air cucuran berwarna putih itu mengalir lancar ke penampungan. Oleh karenanya, di tempat-tempat pengolahan sagu, selalu tersedia air yang melimpah. Untuk menjadi tepung sagu yang siap diolah dan dikonsumsi, dibutuhkan proses selanjutnya. Tepung sagu itu akan disimpan dalam sebuah wadah yang disebut dengan tappri. Tappri berbentuk bulat memanjang— sekitar satu meter—terbuat dari daun-daun sagu yang dirangkai dengan tali rotan. Setelah sagu tersimpan penuh dan padat, tappri ditutup dengan rapat agar aman dari lumpur dan sejenisnya. Agar bisa bertahan lama, tappri kemudian direndam dalam air. Menurut Aman Lari, sagu yang sudah disimpan di dalam tappri dan direndam dalam air bisa bertahan bertahun-tahun. “Satu tahun bisa lebih,” ujar Aman Lari, “tapi untuk menyimpan sagu dalam air, kita harus menunggu benar-benar kering. Kalau tidak, sagu akan terasa asam.” Waktu untuk menjajal kemampuan sebagai pengolah sagu sepertinya sudah cukup. Saatnya istirahat. Saya dan Aman Lari duduk di atas penapis berbingkai kayu dan mulai mengobrol. Suara satwa khas hutan sesekali terdengar, menggenapi cerita-cerita kecil tentang manfaat sagu. “Sagu ini sangat bermanfaat. Daunnya bisa untuk atap, bisa juga untuk bungkus makanan kapurut. Banyak yang bisa hidup dari sagu. Banyak binatang, babi, ayam, bisa hidup dari sagu. Pelepahnya ini…” Aman Lari mengambil jeda beberapa saat. Seraya menepuk-nepuk pelepah sagu muda yang tumbuh pendek di dekatnya, ia melanjutkan kata-katanya. “Pelepahnya ini bisa untuk obat, lidinya juga, akarnya juga, bahkan ampasnya juga bisa untuk obat tradisi (tradisional).”


96 T J A K S. P A R L A N Sagu tampaknya memang jenis tumbuhan yang lebih banyak menyumbangkan hasil dan manfaat dengan kerja yang tidak begitu banyak. Melalui tunasnya, tumbuhan sagu bisa berkembang biak sendiri di daerah rawa-rawa. Betapapun begitu, masyarakat Mentawai selalu menanam batang tunas baru di lahan-lahan yang baru saja dipanen. Begitu pentingnya peran sagu ini sehingga kepemilikan sagu bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat. Jadi, tidak heran jika tumbuhan berjenis palma yang satu ini bisa berfungsi sebagai alattoga (mas kawin) di kalangan masyarakat Mentawai. Melihat fungsi dan manfaatnya, hampir tidak mungkin rasanya menafikan eksistensi sagu dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Mentawai. “Kita tidak bisa terlepas dari sagu. Sagu tetap ada meskipun sudah tersedia nasi,” tegas Aman Lari. Sekitar pukul 11.00 WIB, Aman Lari mengajak saya dan Agustinus singgah di uma yang ditinggalinya. Kami pun beringsut ke sana dan kembali mengobrol ringan tentang banyak hal. Salah satunya adalah tentang uma yang masih terlihat baru itu. Menurut Aman Lari, pengerjaan uma itu memakan waktu sekitar dua tahun. Ia melakukannya secara swadaya dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Uma tersebut dibangun tahun 2017 dan memiliki luas sekitar 17 x 8 M persegi. “Saya buat rumah ini terus menerus. Saya kebut selama sekitar dua tahun. Saya kadang juga bayar orang untuk buat ini-itu. Habisnya lumayan,” jelas Aman Lari. Saya memandang ke sekitar ruangan. Bangunan itu tampak kokoh dengan papan-papan kayu berkualitas. Saya dan Agustinus duduk bersebelahan di sebuah bangku panjang dalam ruangan yang difungsikan sebagai tempat untuk menerima tamu itu. Dua ekor anjing yang sedari tadi bermalasmalasan, mengikuti Aman Lari saat ia beranjak untuk menuang air putih yang tersedia di sudut ruangan. Sebelum saya dan Agustinus pamit melanjutkan perjalanan, Aman Lari menyebut sebuah tempat pengolahan sagu lainnya. “Tadi kalian sudah melewatinya,” ujar Aman Lari. Apa yang dikatakan Aman Lari tidak sepenuhnya benar. Agustinus telah menunjukkan tempat itu kepada saya, dan kami tidak melewatinya. Sebelum


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 97 datang ke tempat Aman Lari, kami sempat mampir ke tempat pengolahan sagu yang letaknya tidak jauh dari sebuah bangunan berarsitektur panggung— balai dusun. Namun, sayang di tempat itu tidak ada seorang pun. Pemilik tempat pengolahan sagu tampaknya baru saja meninggalkan tempat. Jejakjejak tapak kaki yang masih basah, terlihat di dekat penapis berbingkai kayu yang baru saja dibersihkan dan dijemur. Di tempat itulah, untuk pertama kalinya, saya mengamati saripati sagu yang putih dan padat tersimpan dalam wadah-wadah berbentuk bulat dan memanjang. Itulah tappri, wadah tradisional tempat menyimpan saripati sagu yang sudah kering sebelum siap direndam dan diawetkan dalam air. Ada sekitar 12 tappri berisi penuh dan padat: dua belas sumber kehidupan bagi puluhan warga sekitar. Sekembalinya dari tempat Aman Lari, saya dan Agustinus mencoba mengintip kembali tempat pengolahan sagu tersebut. Namun, suasana masih sama: lengang. Oleh karena itu, kami langsung menuju rumah Yudas Kokoik Lakeu. Saya perlu membersihkan diri sepertinya; mandi air segar yang dialirkan dari sumber mata air di sekitar Ugai. Di samping rumah Yudas, air itu berlimpah. Akan tetapi, niatan itu harus tertunda sementara. Di beranda rumah Yudas, kami melanjutkan kembali obrolan tentang sagu. Di Ugai masih banyak orang yang mengonsumsi sagu. Meskipun sudah ada nasi, kurang sempurna rasanya jika tidak ada olahan sagu yang terhidang sebagai makanan seharihari. Setidaknya, itu juga yang saya alami selama berada di rumah orang tua Agustinus atau rumah warga lainnya ketika sedang mampir. Secara umum, sagu sudah mendarah daging bagi masyarakat Mentawai. Meskipun dari waktu ke waktu jumlah pengonsumsi sagu terus berkurang, pengolahan sagu masih terus dilakukan dan diupayakan di beberapa tempat. “Masih banyak orang yang mengolah sagu. tetapi sekarang parutannya sudah pakai mesin. Kalau dulu masih manual,” ujar Yudas. Saat saya bertanya berapa batang sagu dibutuhkan untuk menghasilkan 10 tappri, tanpa ragu-ragu, Yudas menjawab, “Tergantung besar batang sagunya. Bisa saja satu batang menghasilkan delapan atau sepuluh tappri.”


98 T J A K S. P A R L A N Kelak, ketika harus menunggu jadwal kapal di Muara Siberut, saya bertemu Heronimus Teteburuk, seseorang pegiat lingkungan dari Puro. Dalam sebuah obrolan singkat sebelum saya naik kapal kayu ke Sipora, lakilaki yang penuh semangat itu juga menyinggung hal serupa. “Secara tidak langsung, proses pembuatan sagu sudah berubah. Taprri sudah mulai jarang, orang lebih suka menggunakan karung. Anak-anak muda sudah tidak tahu bagaimana cara membuat tappri. Bahkan, mereka tidak pernah melihatnya sama sekali.” Saya setuju mengutip pernyataannya itu untuk menutup bagian ini. Babi dan Ayam Minggu sore (20/5/2019), saya dan Agustinus batal mengunjungi lokasi peternakan babi. Lokasi peternakan babi itu ada di seberang Sungai Rereiket. Untuk pergi ke sana, kami harus berjalan kaki terlebih dahulu—dan tentu saja—menyeberangi sungai kemudian. Namun, sepertinya sudah terlalu sore untuk pergi ke sana. Padahal, saya sudah membayangkan berada di sana dan melihat hewan ternak kesayangan orang Mentawai itu berkumpul di sekitar tuannya setelah mendengar bunyi lololok (semacam kentongan dari kayu atau bambu) dipukul-pukul dengan lantang. Menurut Agustinus, di lokasi pertenakan babi itu banyak terdapat pondok-pondok sebagai tempat beristirahat orang-orang atau pemilik ternak. Dari atas pompong, sewaktu dalam perjalanan menuju ke Ugai, saya pernah melihat pondok-pondok itu di seberang sungai. Bukan hanya itu, bahkan sering terlihat satu-dua ekor babi sedang berkeliaran di pinggiran sungai. Babi-babi yang berkeliaran itu bukan babi hutan, melainkan jenis babi yang memang biasa untuk dipelihara atau diternak. Saya baru tahu kemudian, bahwa ternyata babi-babi itu memang sengaja dilepasliarkan. “Meskipun begitu, babi-babi itu tidak akan kabur atau hilang, kecuali ada penyebab yang lain,” jelas Agustinus. Soal pengecualian ini bukanlah hal yang main-main. Dalam masyarakat Mentawai, tidak sembarang orang bisa beternak babi. Yudas Kokoik Lakeu misalnya, ia memilih untuk tidak berternak babi. Namun, mertua lakilakinya—Aman Tonem—memiliki sejumlah babi ternak.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 99 “Tidak bisa sembarangan beternak babi itu,” ujar Yudas, “Banyak pantangan, misalnya,kalau babi sedang beranak, kita harus puasa. Kalau kita melanggar, ternak babi tidak akan berkembang.” Masyarakat Mentawai menjaga dan mengenal apa yang disebut dengan kekei (pantangan atau berpantang). Pelanggaran atasnya diyakini akan mendatangkan musibah atau celaka. Untuk orang-orang yang memiliki pekerjaan-pekerjaan lain yang menyita banyak waktu, beternak babi akan terasa lebih sulit. “Misalnya saja begini, kita baru saja pulang dari seberang (peternakan babi), kita harus menunggu badan kita kering dulu baru boleh makan. Walaupun kita lapar sekali, harus ditahan. Kalau tidak, bisa-bisa babi-babi itu akan hilang,” jelas Yudas. Meski sore itu saya batal menyeberangi sungai, saya mendengar banyak hal tentang tata cara beternak babi di kalangan orang-orang Mentawai. Sebagai gantinya, Agustinus mengajak saya pergi ke ujung dusun yang lebih dekat. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.31 WIB ketika kami tiba di lokasi. Saya berdiri di bahu jalan yang berkontur tinggi dan memandang ke Dusun Ugai di kawasan yang lebih rendah. Jalan desa itu adalah sebuah jalan tanah yang lebar. Namun, yang efektif terpakai untuk pengendara sepeda motor dan pejalan kaki nyaris hanya selebar rentang depa orang dewasa. Rumputrumput liar dan semak-semak rendah merampas hampir seluruh bagian jalan. Jalan besar itu tampaknya dibangun dengan sebuah gagasan besar, yaitu akses yang memadai. Akses jalan darat itu membentang ke Desa Madobag dan sejumlah desa lain di tempat yang jauh. Di beberapa bagian jalan desa itu diapit oleh ladang-ladang sagu dan pisang yang lebat. Ada sesuatu yang menarik perhatian saya di suatu tempat di sisi jalan itu. Sejumlah gubuk kecil beratap rendah berderet, 2-3 gubuk. Di bawah atap rumbianya terpacak para-para (dari bambu atau kayu). Di atas para-para itu diletakkan beberapa keranjang yang terbuat dari rotan. Dalam keranjangkeranjang itulah ayam-ayam kampung peliharaan dikandangkan.


100 T J A K S. P A R L A N “Begini cara berternak ayam di sini, Mas,” jelas Agustinus kepada saya. “Apa tidak pernah hilang, Gus?” tanya saya keheranan, “maksud saya, dicuri orang misalnya.” Agustinus tertawa mendengar pertanyaan sederhana saya itu. Menurutnya, memang seperti itulah cara warga Dusun Ugai memelihara atau berternak ayam. “Tidak ada yang pernah mengambil ayam itu, Mas,” jawab Agustinus kemudian. Dokumentasi Tjak S. Parlan: Bivak-bivak kecil untuk menampung ayam peliharaan. Para pemilik ternak, biasanya akan datang untuk memberi makan, mengeluarkan, dan mengandangkannya saja. Untuk menjaga kemungkinan gangguan dari binatang-binatang lainnya, ayam-ayam yang sudah dikandangkan dalam keranjang itu akan ditaruh di atas para-para. “Saya ingat betul di suatu tempat, Gus. Jangankan ayam, cucian yang masih direndam saja bisa hilang sekalian tempatnya. Itu di perumahan, lho. Tidak terbayang kalau ditaruh di tempat yang sepi dan di pinggir jalan seperti ini,” ujar saya seraya tertawa.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 101 Agus menyambut kelakar saya itu dengan tawanya yang lebar. Kami masih berada di perbatasan itu hingga beberapa menit kemudian sore redup perlahan. Sesekali saya mendengar lololok yang dibunyikan oleh peternak babi di kejauhan. Sejumlah pejalan kaki yang pulang dari ladang muncul di kejauhan, mendekat, menyapa, dan melintasi kami. Beberapa di antaranya menyandang jarajag (sejenis keranjang) di punggungnya. itu berisi hasil bumi atau kayu bakar. Hampir semua yang melintas itu mengenali Agustinus. Mereka adalah orang-orang Ugai. Satu-dua orang yang baru saja bertemu akan berjabat tangan dan mengucapkan ana leu ita kepada kami berdua. Ketika kilau cahaya matahari membakar pucuk-pucuk hutan di kejauhan, saya dan Agustinus beranjak dari jalan desa itu. Di sepanjang jalan menuju rumah Ubbukook Sapumaijat, saya menduga-duga, apakah di luar Ugai, cuaca baik-baik saja? Iya, besok saya akan bertolak ke muara. Dokumentasi Tjak S. Parlan: Menyandang jaragjag, pulang dari ladang.


102 T J A K S. P A R L A N Meninggalkan Ugai Selasa pagi (21/5/2019), saya dan Agustinus meninggalkan Dusun Ugai. Di sepanjang jalan—sebelum tiba di sungai— orang-orang yang berpapasan dengan kami mengajak bersalaman dan mengucapkan salam perjumpaan yang khas itu: ana leu ita. Mereka adalah beberapa orang yang belum pernah bertemu sejak saya dan Agustinus datang ke dusun itu. Kami sempat mampir di sejumlah rumah, menyapa mereka yang kebetulan sedang duduk-duduk di beranda atau beraktivitas di depan rumah. Hampir tidak mungkin rasanya Agustinus tidak menyapa mereka. Hal yang sama juga terjadi pada mereka. Situasi seperti itu mengingatkan saya ketika sedang pulang ke kampung halaman. Hingga pagi itu, sapaan perjumpaan khas orang Mentawai masih berulang di beranda rumah-rumah kayu, di jalan-jalan kecil berlapis beton kasar yang membelah Dusun Ugai. Sapaan itu diucapkan dengan berjabat tangan dan senyum ramah. Setiap kali itu tertuju pada saya, saya menjawabnya dengan mengucapkan ana leu ita yang sama. Tentu saja, masih dengan pelafalan yang kurang sempurna dan logat Jawa yang kental. Pukul 09.10, kami tiba di sebuah ceruk Sungai Rereiket. Lemanu Sapumaijat tampak sedang menyiapkan segala sesuatunya. Ia baru saja menuangkan bahan bakar ke dalam mesin pompong. Ada sekitar 4—5 tandan pisang yang telah siap diangkut bersama kami di atas pompong itu. Lemanu Sapumaijat adalah anak laki-laki dari Yudas Kokoik Lekeu Sapumaijat. Ia menikah muda dan sudah memiliki seorang balita laki-laki. Hari itu, bersama sejumlah keperluan lainnya, ia akan membawa kami hingga ke Muara Siberut. Sejak tiba di Ugai, saya telah meminta tolong kepada Agustinus untuk memastikan soal transportasi. Waktunya tepat: hari itu, Lemanu akan menjemput keluarganya yang menunggu di bivak di dekat Pastoran Muara Siberut. “Agak kering (dangkal) airnya,” ujar Lemanu, seraya merapatkan jaket warna kelabu di tubuhnya.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 103 Air di sekitar hulu sungai Rereiket berwana khaki muda, tampak lebih bening dibanding dengan yang pernah saya lihat sewaktu berangkat ke Ugai. Di bagian-bagian tertentu yang lebih dangkal, saya bisa melihat batu-batu sungai dari permukaan. “Hitungan kasar, berapa jam kira-kira sampai di muara (Muara Siberut)?” tanya saya kepada Lemanu. “Sekitar empat jam lah,” jawab Lemanu. “Mudah-mudahan tidak banyak yang kering.” Pagi cukup cerah tampaknya. Langit bersih, menyisipkan sedikit warna turquoise di atas bantaran sungai. Saya memandang ke jalan setapak. Jalan itu akan membawa orang-orang yang datang ke Ugai ke sebuah permukiman: rumah-rumah penduduk yang ramah dan mau berbagi cerita. Namun, hari itu jalan kecil itu telah menuntun saya ke sebuah sungai. Sungai yang akan membawa saya meninggalkan Ugai. Pukul 09.19 WIB pompong mulai bergetar. Saya duduk di paling ujung— depan, menyusul kemudian Agustunus, Ubbukook, tandan-tandan pisang, lalu Lemanu yang siap sedia di belakang mesin. Ayah Agustinus, Ubbukook Dokumentasi Tjak S. Parlan: Bersiap menyusuri Sungai Rereiket.


104 T J A K S. P A R L A N Sapumaijat, akan menumpang sampai Madobag. Ia akan mengunjungi salah satu anaknya yang tinggal di sana. Pompong berjalan lebih pelan. Barangkali karena harus lebih berhatihati. Ada beberapa bagian sungai di daerah sekitar hulu yang airnya dangkal dan itu bisa membuat sebuah pompong kandas. Jika sudah begitu, tidak ada pilihan lain selain harus mendorongnya hingga mencapai ke bagian yang debit airnya lebih tinggi. Saya berdoa di dalam hati, semoga hal semacam itu tidak terjadi. Kali ini yang menjadi pemandu—sekaligus pemegang dayung jika diperlukan—adalah Agustinus. Dalam beberapa kesempatan ia memberikan tanda—dengan tangannya—kepada Lemanu selaku operator pompong. Tanda itu untuk membantu Lemanu agar pompong tidak sampai menabrak sesuatu sehingga bisa menghambat perjalanan. Pada bagian tertentu di sepanjang aliran sungai itu, bangkai-bangkai kayu sisa banjir terakhir terkadang harus membuat pompong meliuk-liuk dan Lemanu mesti cermat memilih celah yang lebih aman, menyusup di antaranya agar tidak terjadi tabrakan. Apa yang saya lihat kemudian adalah pemandangan yang tidak begitu berbeda dengan ketika saya berangkat ke Ugai. Hanya saja cuaca lebih cerah dan hari masih terang benderang. Bantaran Sungai Rereiket ditumbuhi oleh aneka tumbuhan yang subur; gerumbul-gerumbul bambu, rumput-rumput gelagah, ladang-ladang talas; pohon-pohon nyiur, pohon-pohon waru; sesekali pohon durian, pohon pinang, pohon pisang, pohon cengkih, dan pohonpohon sagu yang lebih banyak. Di beberapa tempat, sampan-sampan kayu dan pompong tampak tertambat di pinggiran sungai. Tambatan-tambatan kecil itu adalah pintu masuk ke dusun-dusun terdekat di sepanjang Sungai Rereiket. Sebuah pompong atau sampan akan berhenti di tempat-tempat seperti itu. Sebuah pompong atau sampan akan bertolak dari tempat-tempat seperti itu. Semua berjalan lancar. Sekali saja, menjelang Madobag, pompong benarbenar kandas. Kami harus mendorongnya untuk beberapa saat. “Aman!” seru Agustinus, setelah pompong kembali melaju.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 105 Tidak berapa lama setelah itu, pompong kembali berjalan pelan, lalu menepi. Ubbukook turun dari pompong, menapaki jalan setapak dan melambai kepada kami dari bantaran yang lebih tinggi. Kami membalas lambaian itu, pendek saja. Pompong kembali bertolak, melaju di atas Sunggai Rereiket yang berkelok-kelok. Melintasi bagian-bagian yang debit airnya lebih tinggi, Lemanu mempercepat laju pompong. Angin terasa kencang. Sesekali saya mengambil gambar. Sesekali saya melihat tudung jaket yang dikenakan Lemanu berkibar-kibar. Sesekali saya melihat sejumlah babi berkeliaran di semak-semak perdu bantaran. Adakalanya sebuah pompong melintas, mendahului pompong yang saya tumpangi. Atau dalam bebeberapa kesempatan, pompong-pompong itu berpapasan. Kami, dan orang-orang di atas pompong itu saling melambai, seperti para sopir truk atau bus antarprovinsi yang berbalas bunyi klakson ketika tidak sengaja bertemu di jalanan. Pukul 11.20 WIB, di bagian sungai yang airnya dangkal, pompong menepi. Lemanu harus mengisi bahan bakar. Perjalanan masih jauh. Sementara, pompong masih berada di daerah sekitar Rogdok. “Kalau mau buang air kecil, Mas, silakan,” ujar Agustinus. Saya gunakan kesempatan itu untuk duduk-duduk di sebuah peneduh kecil—semacam bivak sederhana—yang tersembunyi di bantaran sungai. Peneduh kecil itu beratap rendah. Daundaun sagu yang menjadi atapnya hanya berjarak beberapa jengkal dari kepala saya. Biasanya para peladang membuatnya sebagai tempat beristrirahat di sela-sela menyelesaikan pekerjaannya. Saya mulai menguap. Sepertinya Dokumentasi Tjak S. Parlan: Berpapasan dengan pompong yang lain


106 T J A K S. P A R L A N akan terasa nikmat merebahkan badan beberapa saat di tempat seperti itu. Namun, beberapa saat kemudian, mesin pompong sudah berbunyi. Saya baru saja mencari-cari sesuatu yang bisa saya jadikan bantal ketika Agustinus memanggil nama saya. Saya pun segera turun dan kembali bergabung bersama mereka. “Muara masih jauh,” ujar Agus seraya tertawa. Pompong kembali berjalan. Menurut Agustinus, jika semua berjalan lancar, sekitar satu setengah jam lagi akan tiba di Muntei. Tiba di Muntei Dokumentasi Tjak S. Parlan: Pangkalan pompong di Desa Muntei. Pukul 12.13 WIB tiba di Muntei. Pompong menepi dan bersandar di sebuah pangkalan kecil. Saya turun terlebih dahulu. Lemanu dan Agustinus menurunkan buah pisang yang telah dibawa dari hulu. Pisang-pisang itu akan dijual di sekitar Muntei. Lemanu sepertinya sudah memiliki langganan tetap. Ia langsung mengangkut pisang-pisang itu ke sebuah bangunan di samping pangkalan kecil itu. Pisang-pisang itu ditempatkan di sebuah ruangan lain yang sepertinya berfungsi sebagai tempat untuk menampung hasil bumi yang akan dijual. Ruangan lain dalam bangunan adalah sebuah minimarket. Cukup luas dan cukup banyak persediaan barang dagangannya. Banyak transaksi yang terjadi di tempat itu.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 107 Dokumentasi Tjak S. Parlan: Tiba di Muara Siberut. Sebuah pompong yang lain mendekat. Pompong itu sempat menjauh lalu kembali memutar untuk menunggu giliran bersandar. Lemanu yang sudah selesai mengurus barang dagangannya, segera memindahkan pompong miliknya untuk memberi ruang bagi pompong yang baru datang. Pompong yang baru datang itu mengangkut karung-karung berisi hasil bumi lainnya. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di tempat itu. Saya, Lemanu, dan Agustinus menikmati waktu yang sebentar itu dengan dudukduduk dan mengobrol. Minimarket itu menyediakan sejumlah kursi dan meja untuk para pengunjung. Orang-orang yang datang bisa menikmati minuman dingin atau makanan ringan seadanya. Saya pikir lumayan mengasyikkan. Duduk-duduk di tempat seperti itu, menikmati minuman dingin, seraya menikmati sejumlah pompong yang melintas ke muara atau ke hulu. “Lemanu, seberapa sering kamu ke sini?” tanya saya. “Kalau ada urusan saja, Mas,” jawab Lemanu. “Waktu ada urusan, sekalian bawa pisang atau lainnya untuk dijual. Soalnya minyak untuk jalan pompong kan lumayan kalau dari sana (hulu). Namun, bisa dibilang cukup seringlah.”


108 T J A K S. P A R L A N Desa Muntei terletak tidak begitu jauh dari dermaga Mailepet, Muara Siberut, Kecamatan Siberut Selatan. Dari dermaga itu, orang bisa menyewa ojek. Jaraknya hanya sekitar satu kilometer. Desa Muntei merupakan salah satu gerbang masuknya wisatawan dalam menikmati wisata di Siberut Selatan. “Berarti kita sudah hampir sampai, ya?” tanya saya. “Sebentar lagi,” jawab Agustinus. Beberapa saat kemudian, kami kembali bersiap. Pompong dilepaskan dari tambatan dan melaju lebih cepat dari sebelumnya. Semakin mendekati Muara Siberut, sungai semakin lebar dan debit air semakin tinggi. Angin bertiup lebih kencang membawa aroma tipis laut yang selalu tersimpan dalam benak saya. Pucuk-pucuk rumput gelagah, berseling rumpunan sagu, hutan bakau yang lebat, lalu menyembul rumah-rumah. Pompong melintas di depan sebuah bangunan yang oleh orang-orang Mentawai disebut bivak. Saya bersama sebuah rombongan kecil orang-orang dari Dusun Ugai pernah menunggu di tempat itu. Seorang ibu yang saya kenali wajahnya, melambaikan tangan dan berteriak menyapa dari dalam bivak. Ia adalah ibu dari Lemanu yang malam sebelumnya menginap di tempat itu bersama seorang kerabat lainnya. Awalnya saya kira pompong akan berhenti di tempat itu, tetapi ternyata tidak. Pompong terus melaju dan menepi di sebuah pangkalan yang lebih ramai. Sekitar pukul 13.00 WIB, pompong telah bersandar. Berjajar di sekitar pompong yang saya tumpangi sejumlah speed boat, pompong-pompong yang lain, juga sejumlah sampan atau perahu. Ketika menapaki jalan kecil yang disusun dari papan-papan kayu, saya mengedarkan pandangan ke sekitar. Tempat itu ternyata berada tidak begitu jauh dari pangakalan minyak Marnis. Saya ingat, speed boat yang saya tumpangi dari Muara Sikabaluan—Siberut Utara—pernah singgah di situ. “Kita cari penginapan,” ujar Agustinus. Kami sudah tiba di Muara Siberut, sebuah kota pelabuhan di Siberut Selatan.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 109 Muara Siberut: Kota Kecil yang Berdenyut Di lantai bawah penginapan itu adalah sebuah rumah makan. Rumah makan Padang, lebih tepatnya. Semua menu yang tersedia didominasi oleh rasa masakan Padang, dari gulai ikan hingga rendang. Menurut Agustinus dan Lemanu, rumah makan sekaligus penginapan itu adalah salah satu yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang datang ke Muara Siberut. Dangdut Raya, nama penginapan itu. Entah apa yang membuat pemiliknya memberi nama seperti itu. Seingat saya, selama dua hari menginap di tempat itu, tidak pernah terdengar musik dangdut. Saya memesan kamar untuk dua hari di penginapan itu. Kamar dengan dua tempat tidur. Di hari pertama—sisa hari itu—tidak banyak yang saya lakukan. Saya lebih banyak berada di dalam kamar. Begitu juga dengan Agustinus. Mengisi waktu menunggu Magrib, sesekali saya duduk-duduk di balkon sempit kamar penginapan. Selat Siberut tampak di kejauhan. Bisu dan berwarna abu-abu. Di balkon itu, sinyal telepon cukup lancar. Saya sempat menerima telepon dari salah seorang keluarga—seorang paman yang membicarakan perihal rencana pulang kampung. Saya bisa memakluminya. Itu Bulan Ramadan, menjelang minggu-minggu terakhir. Ketika azan Magrib, saya mengajak Agustinus turun ke rumah makan. Saya memesan teh hangat dan—tentu saja—nasi Padang. Agustinus memesan menu yang sama. “Gus, suara azan tadi itu jauh dari sini, ya?” tanya saya, di tengah-tengah menikmati hidangan yang kami pesan. “Tidak begitu jauh, Mas,” jawab Agustinus. “Di sini banyak orang muslim.” Kemajemukan masyarakat Muara Siberut hampir sama dengan sejumlah tempat lain di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, terutama di daerah sekitar muara, pesisir, atau daerah-daerah terbuka di sekitar dermaga. “Ada gereja, ada masjid. Ada Katolik, ada Protestan, ada Muslim. Ada pastoran. Ada juga Islamic Center di Mailepet sana,” jelas Agustinus. Makan malam itu kami tutup dengan kopi hangat, sebelum kemudian berjalan-jalan sebentar di sekitar penginapan. Suasana cukup lengang dan


110 T J A K S. P A R L A N saya terserang rasa kantuk yang tidak tertahankan. Rupanya, perjalanan empat jam menggunakan pompong cukup membuat badan terasa lelah. Setelah kembali ke kamar penginapan, saya langsung mencoba memejamkan mata. Agustinus menerima telepon dari seseorang. Dalam beberapa saat, lamat-lamat saja saya mendengar suaranya, sebelum kemudian suara itu hilang. Sekitar pukul 22.00 WIB saya terbangun oleh suara riuh di luar kamar. Agustinus sepertinya juga mendengar hal yang sama. Suara riuh itu bukan hanya sebentar. Hilang, sebentar kemudian datang. Demikian terus, berulangulang, sampai pada puncaknya seolah-olah penginapan itu mau roboh. “Badai,” ujar Agustinus, pendek. Saya berpikir, seandainya saya sedang melakukan perjalanan sendirian, mungkin saya akan turun dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Peristiwa itu benar-benar tidak pernah saya duga sebelumnya. Akan tetapi, rupanya Agustinus terlihat santai. Ia menatap layar gawainya sebentar, lalu menarik selimutnya kembali. “Jam sepuluh lewat,” ujarnya. Saya menyibakkan gorden jendela. Di luar, dalam cahaya remang, angin menderu-nderu menerjang apa saja. Tiang listrik, sejumlah antena yang menyembul di antara rumah-rumah warga, pohon-pohon, bergoyang-goyang. Atap-atap seng yang tampak lebih rendah, terus berderak-derak seolah-olah akan terangkat dan beterbangan. Sesekali, di antara gemuruh yang dahsyat itu, sebuah benda terdengar jatuh. Saya merapatkan gorden jendela, berusaha melanjutkan tidur. Saya tidak tahu, pukul berapa persisnya badai itu benar-benar berlalu. Keesokan harinya, cuaca benar-benar cerah. Langit di atas Selat Siberut tampak tenang dan bersih seolah tidak pernah terjadi apa-apa malam sebelumnya. Ketika saya dan Agustinus memilih untuk berjalan-jalan di pusat-pusat keramaian, saya tidak mendengar satu pun orang yang membicarakan badai. Untuk meyakinkan diri saya sendiri, saya sempat bertanya pada Agustinus perihal kejadian malam itu. “Benar, Mas, semalam itu badai,” jawab Agustinus. Entah kenapa, jawaban pendek itu membuat saya merasa lebih tenang.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 111 Hari itu tidak ada jadwal kapal ke Sipora. Saya memanfaatkan hari itu untuk berkeliling. Agustinus sudah sangat menguasai daerah itu. Ia bisa mengantarkan saya ke mana saja. Agustinus pernah menjalani SMP dan SMP di Muara Siberut, tetapi saya memilih ke tempat-tempat terdekat saja. Mumpung masih di Siberut, tidak ada salahnya kalau saya mencoba mencari oleh-oleh, selayaknya orang-orang yang berkunjung ke tempattempat yang tidak dikenalinya dan ingin mengenangnya dengan sejumlah benda. Pilihan paling sederhana dan mudah didapatkan adalah kaos oblong atau t-shirt khas Mentawai. Menurut Agutinus, lebih baik membeli hal-hal semacam itu di Siberut (Muara Siberut), daripada di tempat lainnya, semisal Sipora (Tuapeijat). Katanya, harga di Tuapeijat lebih mahal. Di Muara Siberut ada pusat-pusat keramaian; toko-toko, gerai-gerai, lapak-lapak yang menjual aneka macam jenis pakaian dan aksesori. Di tempat-tempat seperti itulah, kehidupan terasa lebih berdenyut. Sejumlah gerai bergaya distro. Sejumlah merek terkenal—biasanya di kalangan anak muda atau masyarakat menengah ke atas di Indonesia—dengan mudah bisa temui di gerai-gerai semacam ini. Sebut saja misalnya Volcom, Ripcurl, Vans, Dokumentasi Tjak S. Parlan: Sejumlah wisatawan berbelanja di Muara Siberut.


112 T J A K S. P A R L A N Quicksilver, Bilabong, Hurley hinga Fila. Produk-produk itu dijual dengan harga terjangkau untuk ukuran nama-nama besar di bisnis sejenis ini. Maklum, di antara merek-merek itu ternyata dibuat di Bandung. “Ini Volcom Bandung, Pak. Kawe super, harga terjangkau, barang bagus,” ujar Aldi, mencoba meyakinkan. Saya kurang berpengalaman soal ini, tetapi pada suatu masa saya pernah sering mengikuti teman-teman saya berbelanja. Jadi, saya tidak buta sama sekali dengan sejumlah merek yang dipajang dalam distro kecil pemuda berdialek Minang itu. “Dari Padang, ya?” saya iseng bertanya. Aldi tersenyum. “Rata-rata yang berjualan seperti ini dari Padang,” jawabnya kemudian. “Ayo, Pak… ada Ripcurl juga ini.” Saya mengamati keduanya barang sejenak—hem flanel Volcom atau t-shirt longgar berlengan panjang Ripcurl? Baik, keduanya tidak berusaha saya tolak. Saya ambil keduanya. Ripcurl longgar berlengan panjang itu tampaknya cocok untuk istri saya. Untuk mendapatkan keduanya, saya mengeluarkan sekitar 300 ribu rupiah. Produk Bandung, tentu saja. Honor saya sebagai penulis sama sekali tidak ditakdirkan untuk barang yang asli buatan Costa Mesa atau Torquay. Bagaimana dengan 3Second? Jangan berharap. Menurut Aldi, merek terkenal yang berbasis di Bandung itu, kurang peminat di Muara Siberut. “Kurang laku, Pak, saya sudah pernah mencobanya,” terang Aldi. “Oh, mungkin karena kurang bernuansa kepulauan. Di sini kan salah satu branding-nya surfing?” saya tertawa kecil, sebelum berlalu ke gerai yang lain. Di beberapa gerai, saya tidak menemukan kaos distro khas Mentawai. Kalau pun ada, rasanya ukurannya terlalu besar untuk anak saya atau warna dan desainnya kurang cocok dengan selera yang saya pilihkan untuk istri saya. Hari itu saya terlalu cepat datang. Stok barang belum bisa dikirim karena masih dikerjakan di Padang. “Barangnya baru ikut kapal Mentawai Fast minggu depan, Pak,” ujar seorang pedagang, perempuan muda yang kebetulan juga dari Padang.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 113 Akhirnya, saya mendapatkan kaos beridentitas Mentawai itu di sebuah gerai yang lain. Dua kaos berlengan pendek. Satu untuk istri saya, satu untuk anak saya. Keduanya bergambar sikerei yang sedang menari. Keduanya dihargai 150 ribu rupiah. Di Tuepeijat, untuk jenis bahan yang tidak jauh berbeda, satu potong dihargai 100 ribu rupiah. Bukan hanya masyarakat lokal (Indonesia) yang berbelanja di tempattempat seperti itu. Sejumlah wisatawan mancanegara terlihat juga sibuk menawar harga. Seorang bule yang berbelanja di dekat saya, berhasil menawar harga untuk sebuah topi Hurley berwarna hitam. Acara jalan-jalan itu terjeda oleh istirahat siang, sekitar tiga jam. Sekitar pukul setengah lima sore, saya dan Agustinus kembali beredar. Kami pergi ke pasar Muara Siberut, melihat orang-orang yang sedang berbelanja sembako, juga aneka makanan olahan. Lumayan, sambil menunggu azan Magrib, saatnya berbuka puasa. Di sekitar pasar dan lapangan, di pinggir Jalan Raya Muara Siberut, berderet-deret penjual takjil. Menjelang Magrib, saya membeli sejumlah takjil: es buah, es kelapa muda, dan bakwan. Saat Magrib tiba, saya dan Agustinus baru saja sampai di tangga naik menuju kamar penginapan. Tidak terjadi sesuatu yang perlu diceritakan malam itu. Tidak ada badai. Tidak ada telepon dari keluarga. WAG Sastrawan Berkarya juga sepi— sesekali ada sinyal tapi tidak berfungsi dengan baik. Seharusnya saya cepat tidur. Akan tetapi, ternyata tidak. Saya memikirkan perjalanan besok paginya dan mencoba mencatat sejumlah detail penting perjalanan beberapa hari itu. Sepertinya saya melakukan itu hingga saya tertidur. Menuju ke Tuapeijat, Sipora Utara Kamis (23/5/2019), pukul 10.25 WIB, Heronimus Tateburuk muncul di depan penginapan—tampak bersahaja dan antusias. Heronimius datang dari Dusun Puro, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan. Kami duduk bertiga—saya, Heronimus, dan Agustinus— di dalam kamar penginapan, dan berbincang soal apa saja.


114 T J A K S. P A R L A N Laki-laki 40-an tahun itu sangat antusias saat menceritakan sejumlah kecemasannya terhadap kondisi lingkungan dan budaya masyarakat Mentawai. Saat saya menyinggung soal sagu, misalnya, Heronimus langsung bereaksi. Menurutnya, proses pembuatan sagu masih terus ada dan berlanjut. Akan tetapi, karena zaman sudah berubah, mau tidak mau tata cara pengerjaannya pun sudah mulai berubah. Sudah mulai dimodifikasi— menurut istilahnya. “Secara tidak langsung, proses pembuatan sagu sudah berubah. Tappri sudah mulai jarang, orang lebih suka menggunakan karung. Anak-anak muda sudah tidak tahu bagaimana cara membuat tappri. Bahkan, mereka tidak pernah melihatnya sama sekali,” jelas Heronimus. Dokumentasi Tjak S. Parlan: KM Pulau Simasin bersandar di Pelabuhan Tuapeijat Masih menurut Heronimus, di satu sisi orang-orang Mentawai tidak anti terhadap perubahan. Datangnya alat-alat baru (teknologi mutakhir) bisa memudahkan pekerjaan. Namun, di sisi lainnya, hal semacam itu juga bisa menggerus tradisi yang sudah turun-temurun berlangsung dalam masyarakat. Heronimus adalah seorang pegiat lingkungan. Ia pernah terlibat bersama sejumlah tokah adat, masyarakat, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 115 (LSM) dalam memerangi perizinan Hutan Tanaman Industri (HTI) di wilayah Siberut. Menurutnya, HTI sangat tidak cocok dengan semangat budaya Mentawai. “Orang Mentawai itu hidupnya tergantung pada hutan,” jelasnya, “apa pun yang dilakukan orang Mentawai tidak pernah terlepas dari hutan. Sakit pun obatnya dari hutan. Ritual persembahan, pengusiran roh jahat, ramuan obat, semuanya ada hubungannya dengan hutan. Bahkan, memelihara hewan ternak juga di hutan.” Saat saya menyinggung soal kecenderungan-kecenderungan di dunia pariwisata, Heronimus menanggapinya dengan tegas. “Tidak masalah dengan program apa pun, Kawasan Ekononi Khusus (KEK) misalnya, asal, tidak merusak budaya Mentawai, asal melibatkan masyarakat lokal. Itu syaratnya, Mas.” Saya sebenarnya masih ingin mengobrol lebih lama. Heronimus pun juga begitu. Saya meminta nomor kontaknya; siapa tahu suatu hari kelak saya ingin bertanya beberapa hal kepadanya. Pada saat itulah, seorang perempuan muda yang bekerja di penginapan itu memanggil kami. Ia memberitahukan bahwa tukang ojek sudah datang. Kami bertiga pun segera turun. Di depan penginapan, seorang tukang ojek sudah siap sedia. Saya sesepeda motor dengan tukang ojek itu. Sementara Agustinus, duduk di jok belakang sepeda motor Heronimus. Pukul 11.40 WIB, kami tiba di ruang tunggu Pelabuhan Maileppet. Setelah membayar ongkos ojek dan bersalaman dengan Heronimus, saya masuk ke ruang tunggu. Banyak orang di tempat itu. Tampak di antaranya sedang menikmati kopi, minuman dingin, dan menu makan siang lainnya. Saya bertemu dengan sejumlah wajah yang saya kenal. Kami saling menyapa. Mereka adalah ASN di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kapubaten Kepulauan Mentawai. Saya pernah bertemu mereka di sekitar Pos Pengawas Pantai Mapaddegat, Sipora Utara. “Ada tugas lapangan, Mas,” ujar salah satunya dalam obrolan pendek itu. Kapal Motor Simatalu akan berangkat sekitar pukul 12.00 WIB. Pukul 12.20 WIB, saat saya masuk ke kabin yang sempit, kapal kayu itu belum juga


116 T J A K S. P A R L A N berangkat. Kali ini saya sendirian. Agustinus bergabung dengan salah satu kerabatnya di kabin yang lain. Saya mengintip dari jendela kecil kabin itu. Cuaca sungguh cerah. Laut memantulkan bayangan langit yang biru turquoise ke mata siapapun yang melihatnya. Di seberang dermaga, hutan bakau membujurkan warna hijau hingga ke ujung yang jauh. Di dekat ujung yang jauh itu, sebuah tiang mercusuar tampak kecil—kecil sekali dan sendirian. Lima menit berikutnya, kapal bergerak. Saya memilih untuk merebahkan badan. Selama kapal mengarungi Selat Siberut itu, saya tidak pernah keluar ruangan. Saya menikmati goyangan-goyangan kecil untuk beberapa lama. Saya teringat badai di Muara Siberut malam itu. Saya keluarkan sejumlah buku yang sempat saya bawa dan mulai memeriksanya. Ada Benny Arnas, Bercerita dari Piru; F. Rahardi, Dari Merauke; dan Raudal Tanjung Banua, Jelajah Literasi (di) Pulau Buru. Buku-buku itu dibuat dalam rangkaian program Pengiriman Sastrawan Berkarya di Wilayah 3T. Saya mulai memikirkan apaapa yang akan saya tulis untuk buku saya kelak. Saya tahu tidak pernah mudah menyelesaikan sebuah buku. Terkadang seseorang harus mabuk laut, melihat badai, gentar, terpesona, terlebih dahulu. Pikiran-pikiran semacam itu terus berjejalan dalam benak saya dan baru bisa berhenti setelah kapal memasuki Teluk Tuapeijat, Sipora Utara. Saya melangkah keluar dan duduk di geladak bagian samping Kapal Motor Simatalu. Di sisi yang sempit itu, beberapa orang sedang mengobrol. Saya memandang ke sekitar. Hutan bakau membujur hingga ke seberang dermaga. Sore itu tampak lebih ramai. Sejumlah kapal sedang bersandar. Kapal-kapal itu baru saja menurunkan penumpang dan akan menunggu hingga keesokan harinya untuk kembali berlayar. Kapal-kapal itu mungkin akan ke Siberut atau ke tempat-tempat lainnya. Sebuah kapal mungkin juga akan Pagai — sebuah pulau yang belum bisa saya kunjungi hingga sore itu. Pukul 15.30 WIB kapal yang saya tumpangi bersandar. Selamat datang di Tuapeijat —saya membatin. Beginilah rasanya berlabuh. Merasa sudah sampai. Tapi saya tahu, ada sejumlah perjalanan yang ingin terus diulang dan dianggap belum selesai, salah satunya adalah perjalanan ke Bumi Sikerei. ( )


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 117 Dokumentasi Tjak S. Parlan: Hutan bakau di seberang Pelabuhan Maileppet.


118 T J A K S. P A R L A N GLOSARIUM Abak Manang Tempat tengkorak-tengkorak binatang hasil buruan dipajang. Ada tengkorak kepala monyet, tengkorak kepala babi hutan, juga tengkorak kepala rusa. Tengkorak-tengkorak ini merupakan lambang kebanggaan uma. Abut Kerei Perapian di tengah ruangan dalam (jairabba’) uma. Abut Lalep Ruangan di sebelah matat lalep yang digunakan sebagai dapur keluarga. Abut Uma Dapur umum yang biasa dipakai pada saat punen. Alattoga Mas kawin di kalangan masyarakat Mentawai. Anai Leu Ita Sapaan perjumpaan khas orang Mentawai. Arat Sabulungan Bisa dijabarkan sebagai berikut: ‘Arat’ yang artinya agama atau adat, ‘sa’ yang artinya sekumpulan, bulungan’ berasal dari kata dasar ‘bulug’ yang artinya daun. Sehingga secara sederhana Arat Sabulungan sering diartikan sebagai agama yang percaya kepada daun-daunan. Merupakan sebuah keyakinan/ kepercayaan religi masyarakat asli Mentawai. Batpuiligat Ruangan yang terletak di belakang abut kerei, yang juga masih di sekitar jairabba’. Batsiulik Ruangan yang bisa digunakan sebagai tempat tidur bagi para tamu atau anggota uma.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 119 Bobolak Pelapis dari pelepah sagu pada bukbuk— bambu yang digunakan untuk menyimpan anak panah. Bukbuk Bambu berlapis pelepah sagu yang digunakan untuk menyimpan anak panah. Gajeumak Alat musik tradisional Mentawai yang bentuknya mirip gendang. Gare Bagian depan uma yang bentuknya seperti anjungan. Gettek Keladi. Jairabba’ Ruangan bagian dalam yang berfungsi sebagai ruang tidur bagi anggota uma ketika ada punen. Jarajag Sejenis keranjang. Jejeneng Genta kecil yang digunakan dalam ritual penyembuhan oleh seorang Sikerei. Kabit Cawat yang biasa dipakai sikerei terbuat dari kulit kayu pohon tarap (artocarpus). Kapurut Makanan khas Mentawai yang terbuat dari (tepung) sagu dan dekemas dengan menggunakan daun sagu. Kekei Pantangan atau tradisi berpantang.


120 T J A K S. P A R L A N Kirekat Gambar/ukiran telapak tangan/telapak kaki orang yang sudah meninggal pada papan kayu (atau pohon durian), sebagai symbol/tanda bahwa ada anggota keluarga yang telah meninggal. Laka Kain berwarna merah yang bentuknya memanjang serupa bendera digunakan dalam ritual penyembuhan oleh seorang Sikerei. Lololok Semacam kentongan yang terbuat dari kayu atau bambu. Luat Semacam ikat kepala, terbuat dari rotan yang dibungkus dengan kain putih dan dijahit, lantas ditempeli manik-manik aneka warna yang disusun berdasarkan motif. Matat Lalep Ruangan khusus bagi si pemilik uma atau anggota uma yang ikut menanggung biaya pembuatan uma. Obuk Makanan khas Mentawai yang terbuat dari (tepung) sagu. Sagu dimasak dalam bambu-bambu berdiameter kecil dengan cara dipanggang. Patitikat Ruangan depan uma yang terbuka (tanpa dinding) seperti beranda. Pasibitibit Ritual pengusiran roh-roh jahat yang telah menganggu (si sakit). Pasilaggek pameruk simanene Tahap pengobatan dengan ramuan dalam piring seraya diringi nyanyian oleh Sikerei. Polak Teteu Tanah leluhur, tanah pusaka, tanah ibu pertiwi. Sebuah judul lagu berbahasa Mentawai ciptaan Matheus Samalinggai—seniman music dari Mentawai.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 121 Pompong Sebuah istilah untuk menyebut sampan bermesin satu. Pompong bentuknya ramping dan memanjang. Punen Upacara /Pesta adat. Robai Tali penyandang yang terbuat dari anyaman sabut kelapa. Robai berfungsi untuk memudahkan cara membawa/menyandang bukbuk— bambu yang digunakan untuk menyimpan anak panah. Rourou Busur panah yang biasanya terbuat dari batang enau. Silogui Panah, alat berburu tradisional suku Mentawai. Sikaligejat Anak panah yang bahannya terbuat dari batang ribung. Biasanya digunakan untuk berburu monyet/kera. Subbet Makanan khas Mentawai yang terbuat dari keladi. Sipaturuk Penari. Sikerei Seseorang yang memiliki peran istimewa dan penting dalam masyarakat Mentawai sebagai penyembuh (tabib), atau sebagai pemimpin dalam upacara-upacara adat. Sikkora Lokan. Surak Sabeu Terima kasih banyak.


122 T J A K S. P A R L A N Sipatiti Pembuat tato. Sikebukkat Orang yang dituakan dan dijadikan sebagai pemimpin dalam sebuah uma. Sau-sau Pintu uma yang memisahkan ruangan luar (gare dan patitikat) dengan ruangan dalam uma. Simagere Roh. Tappri Wadah untuk menyimpan tepung sagu, berbentuk bulat memanjang dan terbuat dari daun-daun sagu yang dirangkai dengan tali rotan. Tubbuk Pembatas ruangan antara jairabba’ dan batsiulik yang dipasang dilantai. Tunung Anak panah yang bahannya terbuat dari besi. Biasanya digunakan untuk berburu babi hutan atau rusa. Turuk Tarian. Turuk Laggai Tarian khas Mentawai. Setiap gerakan tarian ini menirukan gerak-gerik binatang. Tarian ini biasanya melibatkan sikerei dalam ritual-ritual pengobatan dalam tradisi masyarakat Mentawai. Uma Rumah adat atau rumah tradisional khas Mentawai. Biasanya ditinggali oleh sebuah keluarga besar (clan) berdasarkan garis keturunan ayah. Secara fisik ukurannya bisa mencapai 30 x 12 meter.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 123 DAFTAR INFORMAN Nama : Yudas Sabaggalet Tempat, tanggal lahir : Madobag, Siberut Selatan (55 tahun) Jabatan : Bupati Mentawai dua periode (2011-2016 & 2017- 2022). Nama : Laurensus Saruruk Tempat, tanggal lahir : Madobag, Siberut Selatan (55 tahun) Jabatan : Kepala Bidang Kebudayaan di Disdikbud Kabupaten Kepulauan Mentawai Nama : Yohanes Iwan Ade Tempat, tanggal lahir : Matobe, Sikakap (24 tahun) Jabatan : Tenaga honorer (sopir) di Disdikbud Kabupaten Kepulauan Mentawai Nama : Agustinus Sapumaijat Tempat, tanggal lahir : Ugai, Madobag, Siberut Selatan (26 tahun) Pekerjaan : Pengawas Pantai Mapaddegat, Sipora Utara (tenaga kontrak di Disparpora Kabkep Nama : Abdullah Sutarso Tempat, tanggal lahir : Purwokerto, Jawa Tengah (70 tahun) Pekerjaan : Takmir Masjid Taqwa (perbatasan Sipora Jaya dan Tuapeijat) Nama : Mateus Sakaleou Tempat, tanggal lahir : Madobag, Siberut Selatan (40 tahun) Pekerjaan : Peneliti dan pemerhati burung, pengurus/pengelola Malinggai Uma Tradisional Cabang Sipora Utara, dan pendiri bangunan model uma di Goiso Oinan


124 T J A K S. P A R L A N Nama : Matheus Samalinggai Tempat, tanggal lahir : Siberut Selatan Jabatan : Kepala Bidang Pemasaran Disparpora Kabkep Nama : Robert Tempat, tanggal lahir : Mara, Sipora Selatan (26 tahun) Pekerjaan : Operator speed boat (honorer) di Disdikbud Kabkep Nama : Simbetsin Saleleubaja Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Kepala Bidang Kepegawaian di BKPSDM Kabupaten Kepulauan Mentawai Nama : Jop Sirirui Tempat, tanggal lahir : Siberut Utara Jabatan : Camat Siberut Barat Nama : Herlius Tempat, tanggal lahir : Sikakap Jabatan : Pegawai di BKPSDM Kabkep Nama : Yudas Kokoik Lakeu Sapumaijat Tempat, tanggal lahir : Ugai, Madobag, Siberut Selatan (49 tahun) Jabatan : Kepala Keluarga (warga Dusun Ugai, Madobag, Siberut Selatan) Nama : Ubbukook Sapumaijat Usia : 70 tahun Jabatan : Kepala keluarga (warga Dusun Ugai, Madobag, Siberut Selatan) Nama : Tako Manay Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Istri Ubbukook Sapumaijat


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 125 Nama : Aman Tonem Usia : 75 tahun Pekerjaan : Peternak Babi Nama : Aman Jamini Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Seorang Sikerei muda Nama : Aman Leuru Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Seorang Sikerei senior Nama : Aman Ipai Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Seorang Sikerei senior Nama : Aman Lari Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Pengolah sagu tradisonal Nama : Lemanu Sapumaijat Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Operator pompon Nama : Heronimus Tateburuk Tempat, tanggal lahir : - Jabatan : Pegiat Lingkungan


126 T J A K S. P A R L A N BIODATA PENULIS Suparlan (Tjak S. Parlan) lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Menjalani masa kecil hingga remaja di beberapa tempat di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tempat-tempat tersebut antara lain: Desa Sarongan (semasa SD), Desa Siliragung (Semasa SMP), Kota Genteng (semasa SMA). Tahun 1996 Hijrah ke Mataram, NTB. Tahun 2001 menamatkan studi (S1) pada Jurusan Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM). Menulis cerpen, puisi, resensi buku dan film, juga esai. Cerpen dan puisinya telah terbit di berbagai media, antara lain Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jurnal Nasional, Detik.com, Femina, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Bali Post, Padang Ekpres, Suara NTB dan lain-lain. Selain itu karya-karyanya juga terbit dalam sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya Kota yang Berumur Panjang (Basabasi—Diva Press Group, Yogyakarta; Desember 2017), mengantarkan dirinya terpilih sebagai Promising Writers dalam Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2018 – sebuah festival sastra independen yang bertujuan mempromosikan Bahasa Indonesia dan Bahasa Banjar serta puisi dan prosa secara nasional dan internasional. Tahun 2018 terpilih sebagai salah satu peserta Residensi Penulis Indonesia untuk penulisan novel berlatar belakang budaya Banyuwangi yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional—komite di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas untuk mempromosikan bukubuku nasional, baik fiksi maupun nonfiksi, ke mata internasional.


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 127 Sebagai sastrawan ia juga pernah diundang menghadiri Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate (Oktober, 2011) dan Jambi International Poet Gathering (Desember, 2012). Pekerjaannya yang lain adalah sebagai editor, ilustrator, layouter, desainer grafis untuk media massa dan buku. Di samping itu, ia juga aktif bergiat di Departemen Desain dan Publikasi Komunitas Akarpohon, Mataram. Saat ini mukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Bisa dihubungi melalui pos-el: [email protected] atau dengan nomor telepon: 082145195473


128 T J A K S. P A R L A N BIODATA PENYUNTING Ebah Suhaebah, menyelesaikan pendidikan S-1 Sastra Indonesia di Universitas Padjajaran, Bandung (1986) dan pendidikan S-2 Lingustik, Universitas Indonesia (1998). Bidang keahlianpenyuntingan, penyuluhan, danpengajar bahasa Indonesia. Ia aktif sebagai ahli bahasa Indonesia di lembaga kepolisian, pengadilan, DPR/DPD RI, pengajar Bahasa Indonesia, dan penyunting naskah akademik dan buku cerita untuk siswa SD, SMP, dan SMA. Pernah menulis serial bacaan anak yang berjudul Di Atas Langit Ada Langit (2000) dan Satria Tanpa Tanding (2001) yang diterbitkan Pusat Bahasa (sekarang Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan). Pos-el : [email protected]


B E R L A B U H D I B U M I S I K E R E I 129 Sebuah pompong melintas di muara Sungai Sikabaluan. Di cabang yang sempit sungai itu, sebuah sampan muncul kemudian. Laki-laki di dalam sampan itu mendayung ke arah pintu muara, melintas di depan kami yang sedang bersiap-siap memasuki kabin speed boat. Itu rabu pagi—awal mei 2019—saat kami akan kembali ke Sipora. Udara terasa dingin dan sebuah perjalanan bahari yang selalu saya bayangkan sebagai keterpesonaan sekaligus kegentaran itu, akan segera dimulai. Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN


Click to View FlipBook Version