PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 Purnawan Basundoro Andri Setyo Nugroho KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI
Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 Seri Jalur Rempah untuk Penguatan Pendidikan Karakter PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Penulis Purnawan Basundoro Andri Setyo Nugroho ISBN ............................................... Pemeriksa Aksara Safar Nurhan Penerbit Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Dikeluarkan oleh Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kompleks Kemendikbudristek, Gedung E Lantai 19 Jalan Jenderal Sudirman-Senayan, Jakarta 10270 Telp. +6221-5736365 Faks. +6221-5741664 Website: https://pskp.kemdikbud.go.id/ Email: pskp.kemendikbudristek@gmail.com Cetakan pertama, 2022 PERNYATAAN HAK CIPTA © PSKP/Copyright@2022 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Pemeriksa Akhir Lukman Solihin Sisca Fujianita Diyan Nur Rakhmah Erni Hariyanti Desain Sampul dan Isi Phicos 978-602-244-917-1 (PDF)
i KATA SAMBUTAN Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah karunianya sehingga penerbitan buku hasil penelitian berjudul Peran Jawa (Bagian) Timur dalam Jaringan Jalur Rempah sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini menjelaskan dinamika perdagangan rempah di Jawa bagian timur, yang saat ini secara administratif merupakan wilayah Provinsi Jawa Timur. Diskursus mengenai jaringan jalur rempah di Indonesia selalu menempatkan kawasan Indonesia bagian timur, khususnya wilayah Maluku, sebagai penghasil rempah utama sejak periode kuno sampai periode kolonial Belanda. Buku ini bertujuan untuk menempatkan Jawa bagian timur dalam porsi yang layak dalam jaringan jalur rempah dunia. Penelitian membuktikan bahwa pada periode kuno, kawasan Jawa bagian timur yang sangat subur telah menghasilkan berbagai komoditi rempah yang diperdagangkan ke berbagai kawasan. Diharapkan juga buku ini dapat memperkaya berbagai narasi untuk mendukung upaya pendaftaran Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO. Dalam kesempatan ini, saya selaku plt. Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan menyampaikan terima kasih kepada tim atas upaya yang penuh dedikasi, sehingga penulisan dan penerbitan buku ini dapat selesai tepat pada waktunya. Namun, kami memahami bahwa buku ini masih memerlukan masukan dari semua pihak. Akhir kata, semoga penulisan dan penerbitan buku hasil penelitian ini dapat bernilai guna bagi para pemangku kepentingan yang memfokuskan diri pada penelitian mengenai sejarah jalur rempah. Demikian dan terima kasih. Jakarta, November 2022 Irsyad Zamjani, Ph.D. Plt. Kepala Pusat,
PENGANTAR Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kami bisa menyelesaikan buku dengan baik. Penelitian ini dikerjakan berdasarkan perjanjian kerja sama antara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dengan Pusat Penelitian Kebijakan —saat ini Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP)—Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Penelitian yang kami lakukan berjudul Peran Jawa (Bagian) Timur dalam Jaringan Jalur Rempah sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18. Jalur rempah saat ini sedang diperjuangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk didaftarkan sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO. Hal tersebut menurut kami tepat mengingat rempah pada masa prakolonial telah menjadi komoditas unggulan kawasan Nusantara dan mengundang para pedagang dari berbagai negara. Aktivitas perdagangan rempah telah menciptakan jalurjalur perdagangan yang mengglobal dengan Indonesia menjadi salah satu titik penting dari jaringan tersebut. Sayangnya, sampai saat ini jalur rempah terkesan terabaikan dalam konteks sejarah dunia dan kalah pamor dengan jalur sutra yang terangkai mulai kawasan daratan Cina sampai kawasan Eropa. Jalur sutra maupun jalur rempah adalah kenyataan sejarah yang telah terbentuk pada beberapa abad yang lalu, yang melingkupi kawasan yang sangat luas dan menyatukan umat manusia di dunia. Jalur rempah telah mengenalkan Nusantara ke berbagai belahan dunia, sehingga para pedagang berbondongbondong mendatangi kawasan ini untuk memburu rempah-rempah yang sangat mereka butuhkan untuk berbagai keperluan. Terbentuknya jaringan perdagangan yang mengglobal telah membawa dampak melampaui aktivitas perdagangan itu sendiri. Silang budaya serta persebaran agama terjadi secara intensif akibat berbagai aktivitas manusia yang berlangsung dalam aliran jalur rempah tersebut. Dengan kata lain, jalur rempah telah menyatukan umat manusia melalui persamaan-persamaan sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan aktivitas jalur rempah telah pula turut menyebarkan gen dan ras manusia. Upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk mendaftarkan jalur rempah menjadi Warisan Dunia patut didukung oleh semua kalangan, tidak terkecuali oleh para akademisi di perguruan tinggi. Tugas akademisi adalah melakukan penelitian untuk melengkapi data mengenai aktivitas jalur rempah padamasa ii
lampau. Data yang mengacu pada penelitian sangat penting untuk memperkuat argumen bahwa Indonesia memang secara riil pernah menjadi bagian dari jalur perdagangan yang amat penting tersebut. Indonesia memiliki kawasan yang amat luas serta memiliki tanah yang subur. Di tanah yang subur itulah para petani membudidayakan berbagai tanaman penting, salah satunya rempah. S menjelaskan secara menyeluruh mengenai daerah-daerah penghasil rempah yang menjadi bagian dari jaringan jalur rempah dunia. Narasi-narasi sejarah sebagian besar masih fokus untuk daerah Indonesia Timur, khususnya Kepulauan Maluku. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari data awal mengenai aktivitas perdagangan rempah yang ditulis oleh para pegawai VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang hampir semuanya menuliskan mengenai Indonesia Timur. Para pegawai VOC pada periode awal memang banyak yang langsung dikirim ke Maluku, dan di sanalah mereka menulis laporan-laporan dan buku. Perdagangan rempah menjadi salah satu fokus mereka, sehingga datanya juga banyak. Salah satu pejabat VOC yang menulis buku adalah Falentijn. Falentijn saat bertugas di Nusantara pada abad ke-17 telah menulis delapan buku, dan tiga buku khusus menguraikan mengenai Ambon. Hal yang sama dilakukan oleh Rumphius, ahli botani yang datang ke Ambon pada abad ke-17. Ia menulis banyak buku yang sebagian mengenai sejarah dan tanamansejarah pada periode berikutnya. Salah satu wilayah yang kurang diperhatikan dalam jaringan jalur rempah adalah Jawa bagian timur, yang secara administratif saat ini berada dalam lingkup Provinsi Jawa bagian timur. Jawa bagian timur adalah wilayah yang sangat subur. Di wilayah ini berdiri kerajaan-kerajaan besar yang menguasai wilayah dan jalur perdagangan yang luas. Tentu saja rempah menjadi salah satu komoditas yang dijual oleh para pedagang yang berdagang di wilayah ini. Berbagai naskah lama dan prasasti mengungkap hal tersebut, hanya memang pelajaran sejarah kurang menarasikan peran yang dimainkan oleh Jawa bagian timur dalam perdagangan rempah. Penelitian yang kami lakukan bertujuan untuk menempatkan Jawa bagian timur dalam porsi yang layak dalam jaringan jalur rempah dunia. Penelitian ini membuktikan bahwa pada periode kuno, kawasan Jawa bagian timur yang sangat subur telah menghasilkan berbagai komoditi rempah yang diperdagangkan ke berbagai kawasan. Pelabuhan-pelabuhan besar di kawasan ini juga berperan penting dalam perdagangan global itu. Data yang kami iii
himpun dan kami susun menjadi buku ini diharapkan memperkaya berbagai narasi yang telah dibuat yang akan memperkuat argumentasi ketika Indonesia mengajukan jalur rempah sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO. Dengan telah selesainya buku ini kami mengucapkan terima kasih kepada Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan yang telah mendukung seluruh pendanaan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas serta bermanfaat untuk mendukung upaya pendaftaran Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia. Kami memohon maaf jika dalam kegiatan penelitian ini masih ada kekurangan. Tim Peneliti, Purnawan Basundoro Andri Setyo Nugroho iv
v DAFTAR ISI Kata Sambutan ................................................................................................. i Pengantar ......................................................................................................... ii Daftar Isi ........................................................................................................... v Daftar Gambar ................................................................................................. viii A. Jalur Rempah dan Perdagangan Global ...................................................... 1 .............................................................. 4 C. Pendekatan ................................................................................................... 8 A. Cakrawala Mandala: Strategi Politik dan Ekonomi Kertanegara............. 38 B. Transisi dari Si hasari ke Majapahit........................................................... 44 C. Perdagangan pada Masa Majapahit.............................................................. 47 A. Transisi Pusat Kekuasaan ............................................................................ 11 B. Tantangan dan Strategi dalam Mengelola Perdagangan di Jawa Bagian Timur ................................................................................................ 13 C. Produksi dan Komoditas Lokal Masyarakat Jawa Bagian Timur ................ 16 D. Pusat-Pusat Perdagangan di Jawa Bagian Timur ........................................ 18 E. Perdagangan Global dan Meningkatnya Permintaan Rempah ................... 26 F. Catatan tentang Komoditas Perdagangan Global di Jawa Bagian Timur .................................................................................................30 BAB I BAB III BAB II Meneropong Jalur Rempah .......................................................... 1 Perdagangan Rempah pada Masa Si hasari dan Majapahit.............................................................................. 37 Rempah pada Masa Kerajaan Kahuripan ..................................... 11
A. Bukti-bukti Keberadaan Islam di Jawa Bagian Timur................................ 59 B. Kondisi Politik dan Ekonomi Menjelang Akhir Majapahit......................... 63 C. Perdagangan dan Kota-kota Pesisir di Jawa Bagian Timur......................... 67 A. Hubungan Antarkerajaan ............................................................................. 77 B. Terbentuknya Jaringan Pelabuhan.............................................................. 80 C. Komoditas Perdagangan Maritim dan Rute Perniagaan ............................ 83 D. Struktur Kota dan Kekuatan Militer ........................................................... 86 E. Komposisi Penduduk ................................................................................... 89 F. Era Kemunduran.......................................................................................... 89 BAB IV BAB V Islam dan Kemunculan Kota-kota Pesisir di Jawa Bagian Timur ...................................................................59 Peran Pelabuhan Tuban dalam Perdagangan Rempah di Jawa Bagian Timur .................................................................. 77 A. Gresik sebagai Penghubung Antarpelabuhan Nusantara dan Jaringan Global............................................................................................ 93 B. Unsur -unsur Kemajemukan Masyarakat Pelabuhan Dagang.................... 98 C. Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat Gresik..................................... 102 D. Pertukaran Komoditas Beras dan Rempah-Rempah..................................105 BAB VI Peran Pelabuhan Gresik .............................................................. 93 A. Era Prakolonial............................................................................................ 109 B. Pertumbuhan Aktivitas Pelayaran dan Perdagangan Pelabuhan Surabaya di Masa Kolonial ......................................................................... 119 BAB VII Peran Pelabuhan Surabaya ........................................................ 109 vi
A. Penggunaan Rempah-Rempah di Masa Kolonial dan Pasca Kemerdekaan .................................................................................... 125 B. Rempah-Rempah di Masa Kontemporer ................................................... 127 BAB VIII BAB IX Merawat Rempah, Mempertahankan Tradisi: Rempah dalam Masakan dan Obat-Obatan Masa Kini................ 125 Kesimpulan ............................................................................... 131 Daftar Pustaka .......................................................................... 133 vii
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Desa-desa kuno di wilayah Delta Brantas berdasarkan prasasti dari abad ke-10 sampai abad ke-11 ................... 24 Desa kuno di Jawa bagian Timur berdasarkan prasasti dari abad ke-11 ................................................................. 25 Figur memanen buah (kiri) dan seorang pedagang yang menggelar dagangannya (kanan) dalam relief Candi Penataran, Blitar .............................................................. 49 Relief orang membawa barang dengan pikulan................. 51 Desa-desa penyeberangan perahu tambang di sepanjang ....................................................... 52 matahari yang diapit dua harimau (kanan) .................... 64 Peta Pulau Jawa pada akhir abad ke-16 ............................ 72 Rombongan Kapal Cornelis de Houtman Diserang Perompak .......................................................................... 74 Wilayah Surabaya di abad ke-13 dengan Muara Sungai Brantas yang Bercabang menuju ke Laut ......................... 117 Kemukus atau lada berekor (Piper cubeba) dan lada hitam (Piper nigrum) ................................................................ 129 Peta daerah-daerah penghasil rempah di Jawa bagian timur tahun 2020 ..................................................................... 129 DAFTAR GAMBAR viii
1 1 Lihat https://jalurrempah.kemdikbud.go.id/en/. 2 Kisah pelayaran orang-orang Eropa ke kawasan Nusantara bisa dilihat pada Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), bab 4 dan 5. 3 Joaquim Magalhaes de Castro, Lautan Rempah: Peninggalan Portugis di Nusantara (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019). BAB I MENEROPONG JALUR REMPAH Upaya Pemerintah Indonesia mendaftarkan jalur rempah menjadi World Heritage atau Warisan Dunia ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) patut mendapat dukungan luas dari masyarakat Indonesia.1 Jalur rempah merupakan warisan sejarah dunia, di mana Indonesia menjadi salah satu simpul terpenting, yang sampai saat ini cenderung dilupakan masyarakat global. Jalur sutra (silk road) lebih mendunia dibandingkan jalur rempah, padahal dua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai bagian dari jejak sejarah global umat manusia. Jalur rempah adalah jalur perdagangan global yang terbentuk karena aktivitas perdagangan antarnegara dengan komoditas utama rempahrempah. Berbagai temuan arkeologis memperlihatkan bahwa jalur rempah telah terbentuk ribuan tahun yang lalu, membentang mulai titik paling timur Asia di daratan Cina sampai kawasan Eropa. Pasar Eropa telah mengenal rempah sejak masa Romawi, yang sebagian besar didatangkan dari kawasan Asia, dengan kepulauan Nusantara sebagai sumber terbesar. Begitu pentingnya kepulauan Nusantara sebagai penghasil rempahrempah, sehingga pada abad ke-16 para pedagang Eropa mengunjungi langsung kawasan ini dengan berbagai risiko yang dihadapi.² Kepulauan Nusantara merupakan kawasan paling diincar karena menghasilkan rempah beraneka ragam yang sangat dibutuhkan di pasaran Eropa. Lada sebagian besar dihasilkan oleh Pulau Sumatra, sementara cengkih dan pala banyak dihasilkan di Kepulauan Maluku dan sekitar.3 Namun demikian, sesungguhnya jaringan perdagangan rempah di kawasan Nusantara mencakup wilayah yang sangat luas yang menjangkau hampir semua pulau-pulau utama. Masing-masing pulau memiliki kontribusi terhadap jaringan yang terbentuk. A. Jalur Rempah dalam Perdagangan Global
2 PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 Jaringan jalur rempah yang terbentuk di kawasan Nusantara yang terdiri atas kota-kota pantai terhubung dengan jaringan internasional yang bersifat lintas benua. Jaringan ini mirip dengan jalur sutra yang juga membentang dari kawasan Asia sampai ke kawasan Eropa. Bedanya, sebagian besar jaringan jalur sutra berada di daratan, sementara jalur rempah berada di kawasan laut. Sampai saat ini pihak Kementerian sekitar 200 kota di Indonesia yang merupakan bagian dari jaringan jalur rempah tersebut. Kota-kota tersebut memiliki hubungan langsung dengan jaringan perdagangan rempah yang menurut Anthony Reid mengalami masa-masa puncak pada abad ke-15 sampai abad ke-17. Pada periode itu, kawasan Asia Tenggara memainkan peran yang sangat penting dan strategis. Inilah kawasan yang paling dipengaruhi oleh lonjakan aktivitas maritim Cina pada permulaan abad ke-15. Melimpahnya rempah-rempah di Nusantara telah mendorong berbagai peristiwa besar yang memengaruhi konstelasi kehidupanmasyarakatdunia.Pada abadke-15 pula orang Spanyol berangkat ke Amerika dan akhirnya ke Filipina, serta orang Portugis berlayar ke India agama-agama samawi di kawasan Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari kisah perdagangan rempah di kawasan ini. Para pedagang yang hilir mudik telah membawa serta berbagai keyakinan yang lahir dan tumbuh di tanah kelahiran mereka. Artinya, rempah telah menjelma dari tumbuh-tumbuhan menjadi entitas yang menyebabkan perubahan besar, meliputi perubahan budaya, ekonomi, sosial, politik, dan aspek-aspek lain di Indonesia. Upaya mengajukan jalur rempah menjadi Warisan Dunia bukanlah hal yang mudah, mengingat selama ini istilah jalur rempah belum mendunia dan kalah dengan jalur sutra. Upaya ini harus menjadi sebuah tindakan nyata yang dilakukan oleh semua unsur bangsa Indonesia. Dukungan berbagai narasi historis yang menjelaskan dinamika pengelolaan rempah pada masa lalu mutlak dilakukan, karena dari narasi-narasi yang berbasis penelitian itulah kita baru bisa meyakinkan bahwa jalur rempah bukanlah lampau. Jalur rempah bukanlah mitos, melainkan kenyataan. Hal inilah yang perlu dibuktikan dengan narasi-narasi historis berbasis penelitian. 4 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2019), hlm. 4.
3 BAB I Pendahuluan Narasi-narasi historis mengenai tempat-tempat yang menjadi titik simpul jalur rempah di Indonesia sangat penting untuk memberi wawasan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia sejak periode kuno telah menjadi bagian dari perdagangan global dengan rempah sebagai komoditi utama. Pemahaman semacam itu utamanya harus diberikan kepada para siswa sekolah melalui pelajaran sejarah. Penelitian mengenai jalur rempah sudah mulai dilakukan oleh beberapa pihak, salah satunya dimotori oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pada tahun 2017 dan2020BalaiPelestarianCagarBudayaKalimantanTimur (BPCBKT) menginisiasi seminar mengenai jalur rempah. Makalah yang dibahas dalam Sayangnya, narasi mengenai jalur rempah saat ini masih terbatas pada kawasan-kawasan di luar Jawa. Buku yang diterbitkan oleh BPCB Kalimantan Timur menjadi bukti akan hal tersebut. Buku yang memuat 19 makalah tersebut ternyata hanya satu makalah yang membahas mengenai peran pulau Jawa dalam jaringan perdagangan rempah, sisanya membahas kawasan luar Jawa. Karena sifatnya hanya bab (book chapter), pembahasan mengenai peran pantai utara Jawa pun tidak terlalu mendalam. Sampai saat ini memang berkembang pandangan yang menekankan bahwa kawasan penghasil rempah-rempah adalah kepulauan Maluku, disusul dengan Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Maluku sejak lama dikenal sebagai Sejak periode kuno Jawa telah dikenal sebagai pusat persinggungan antarbudaya global, sehingga Denys Lombard menyebut Jawa sebagai yang datang dan pergi ke dan dari Jawa menjadikan pulau ini kaya dengan unsur-unsur budaya dari berbagai tempat. Proses terjadinya persilangan budaya tidak bisa dilepaskan dari perdagangan global yang terjadi di pulau ini. Mengacu pada buku yang ditulis oleh Lombard, sejak lama kawasan Jawa bagian timur telah memainkan peranan yang sangat penting. Sejak perpindahan kerajaan Mataram Hindu dari Jawa bagian tengah ke Jawa 5 Lihat Muslimin A.R.Effendy dan Abd. Rahman Hamid (ed.), Rempah Nusantara Merajut Dunia (Samarinda: Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur, 2020). 6 M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250- 1950 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016). 7 Magum opus dari Denys Lombard tersusun dalam tiga buku yang disusun dengan cara unik. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1-3 (Jakarta: Gramedia, 2000).
4 PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 bagian timur pada abad ke-10, mulai terbaca adanya jaringan dagang global terutama dengan Cina. Hal tersebut dimungkinkan karena kota-kota pesisir di Jawa bagian timur mulai muncul. Bahkan beberapa prasasti yang ditemukan sebelumnya telah memperkuat argumen bahwa Jawa bagian timur telah intensif menjalin hubungan dengan negara-negara tetangga. Prasasti Kui dari tahun 840 M yang berasal dari Jawa bagian timur telah menyebut nama-nama negara tetangga, yaitu: Campa (cempa), Kalingga (kling), India utara (haryya), Srilangka (Sangha), Bengali (gola), Negeri Tamil (cwalika), Malayalam (malaya), Karnataka (karnnake), Pegu (reman), dan Kamboja (kmir) Nama-nama negara luar yang tertulis dalam prasasti tersebut menurut J.G. de Casparis merupakan bukti kuat bahwa Jawa bagian timur merupakan kawasan yang intensif disinggahi para pedagang asing sejak lama. Ia menegaskan bahwa telah terjadi jalinan tertentu, jauh sebelum orang-orang Eropa pertama memberanikan diri mengarungi Samudra 16 telah melihat secara langsung dinamika kota-kota pantai di Indonesia saat itu, tak terkecuali kota-kota di Jawa bagian timur. Kota-kota pantai di Jawa bagian timur yang diceritakan oleh Pires antara lain Tuban (tubam), Sidayu (cedayo), Gresik (grisee, agacij), Surabaya (curubaia), Gamda (?), Panarukan dan Pajarakan (canjtam), serta Blambangan (bulambuam). 10 Bukti-bukti tersebut telah meneguhkan eksistensi dan peran besar wilayah Jawa bagian timur pada periode kuno dalam jaringan perdagangan global di mana rempah menjadi komoditas utama pada waktu itu dalam rentang periode kuno sampai paling tidak abad ke-18. 8 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 19. 9 Ibid., hlm. 20. 10 Tome Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 264-278. 11 Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampaiImperialisme,(Depok:Komunitas Bambu, 2013) Kajian tentang jalur rempah telah banyak dilakukan, namun rata-rata membahas aspek yang bersifat umum atas perdagangan rempah di dunia. Salah satu buku yang cukup menarik yang membahas rempah adalah buku JackTurnerberjudul SejarahRempah:DariErotisme sampaiImperialisme yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada tahun 2013.11 Mengacu pada judulnya, buku ini menjelaskan bagaimana rempah menjadi daya tarik luar
5 BAB I Pendahuluan 12 Effendy dan Hamid, op. cit. biasa bagi para pedagang Eropa, sehingga dengan keberaniannya mereka mengarungi lautan demi mendapatkan barang dagangan langka tersebut. Intensitas kehadiran para pedagang Eropa mengubah perdagangan menjadi penjajahan atau imperialisme. Buku ini menarik karena ditulis dengan gaya jenaka oleh Turner. Ia bercerita dengan detail berbagai hal terkait dengan rempah pada masa lalu. Rempah yang semula hanyalah tetumbuhan ternyata mampu mengubah sejarah dunia. Konstelasi sejarah pascaditemukannya rempah berubah total karena berubahnya formasi hubungan antarmanusia di dunia, terutama di kawasan Asia. Namun, karena yang ditulis oleh Turner bersifat umum, buku ini tidak secara detail membahas kawasan per kawasan, utamanya Jawa bagian timur. Upaya untuk mendapatkan berbagai informasi mengenai peran daerah-daerah di Jawa bagian timur dalam jaringan jalur rempah dunia tidak akan ditemukan di buku ini. Tahun 2020 Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur menerbitkan buku khusus mengenai jalur rempah yang berjudul Rempah Nusantara Merajut Dunia. Bahan untuk menyusun buku ini adalah makalah-makalah yang telah dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan tahun 2017 serta seminar yang diadakan pada tahun 2020.12 Terdapat 19 makalah yang dimuat dalam buku ini, sayangnya sebagian besar membahas kawasan luar Jawa, utamanya Maluku, Makassar, Kalimantan, dan Sumatra. Jawa sangat minim dikaji dalam buku ini. Hanya satu makalah yang membahas Jawa, yaitu makalah yang ditulis oleh Singgih Tri Sulistiyono, yang berjudul Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan Perdagangan Rempah. Mengacu pada judul, makalah yang ditulis oleh Trisulistiyono ini tidak terlalu banyak mengulas peran penting kawasan Jawa bagian timur. Beberapa kota pantai disebut dalam tulisan ini, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai posisi kota-kota itu dalam jaringan perdagangan rempah global. Daerah-daerah penghasil rempah juga minim pembahasan karena makalah ini terbatas membahas kawasan pantai utara Jawa. Buku ini sangat bagus, namun pembahasan masih terbatas di kawasan luar Jawa. K dilakukan, salah satunya yang ditulis oleh M. Adnan Amal. Tulisan Amal berjudul Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara
6 PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 13 Amal, op. cit. 14 De Castro, op. cit. 15 J.C. van Leur, Masyarakat Indonesia: Esai-esai tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, (Yogyakarta: Ombak, 2018) 1250-1950,dankarenamerupakankajiankhususmengenaiMaluku,bukuini tentu saja tidak membahas daerah-daerah di Jawa.13 Buku ini menjelaskan sejarah Maluku dari periode yang paling awal sampai tahun 1950. Dalam rentang yang panjang tersebut persentuhan dengan para pedagang Eropa menjadi tak terelakkan, bahkan menjadi salah satu tonggak penting dari sejarah kawasan itu. Persentuhan dengan para pedagang Eropa telah menautkan Maluku ke dunia global secara masif. Pembahasan rempah yang lebih luas dilakukan oleh Joaquim Magalhaes de Castro dalam bukunya Lautan Rempah: Peninggalan Portugis di Nusantara. De Castro adalah seorang Portugis yang melakukan perjalanan ke Indonesia untuk menelusuri pengaruh Portugis di kawasan ini. Para pelaut Portugis yang pada abad ke-15 intens melakukan perjalanan ke Indonesia diyakini meninggalkan berbagai peninggalan sejarah, mulai dari budaya, musik, makanan, berbagai bangunan, dan lain-lain. De Castro membahas kehadiran Portugis dalam konteks perburuan rempah.14 Ia membagi pembahasannya menjadi tiga bagian, mengacu pada daerah pembahasan, yaitu Nusa Tenggara dan Sulawesi, Jawa, Sumatra. Khusus kajiannya mengenai Jawa ia membahas peninggalan Portugis mulai dari Batavia, Cirebon, Tegal, Semarang, kota-kota di sebelah timur Semarang, Yogyakarta, Gresik, dan Panarukan. Namun karena buku ini sebagian besar membahas peninggalan Portugis, dinamika sejarah perdagangan rempah pada periode lalu kurang intensif dibahas. Kawasan Jawa bagian timur pun tidak banyak dimunculkan. Tulisan J.C. van Leur yang berjudul Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-esai tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia merupakan referensi yang tidak boleh ditinggalkan dalam membahas jaringan perdagangan global. Buku tersebut merupakan magnum opus dari van Leur.15 Hal terpenting dari kajian ini yaitu van Leur sangat percaya bahwa sejarah Nusantara adalah otonom dan memiliki dinamikanya sendiri. Artinya, walaupun kawasan Nusantara menjadi ajang perdagangan global, dan para pedagang Nusantara juga menjadi bagian dari perdagangan global tersebut, bukan berarti bahwa dinamika perdagangan di kawasan ini merupakan kepanjangan tangan bangsa Eropa dan bangsa besar lainnya di Asia. Namun, karena sifat pembahasan buku ini bersifat sangat umum atau
7 BAB I Pendahuluan 16 Kenneth R. Hall, "The Opening of the Malay World to European Trade in the Sixteenth Century" Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Vol. 58 No. 2 (1985), hlm. 86-69. 17 O. W. Wolters, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967). 18 B. J. O. Schrieke, "The End of Classical Hindu-Javanese Culture in Central Java: A Study in Economic Geography" Indonesian Sociological Studies Part Two: Ruler and Realm in (The Hague and Bandung: W. van Hoeeve LTD., 1957), hlm. 295-296. jenderal, maka wilayah Jawa bagian timur juga tidak menjadi pembahasan khusus. Kota-kota pantai di Jawa bagian timur memang banyak disebut dalam buku ini tetapi bukan merupakan pembahasan khusus. Interaksi dagang yang terjadi dalam skala lokal, regional, maupun global membentuk jaringan perdagangan yang juga terhubung dengan zona dagang lain. K. R. Hall mengatakan sampai dengan abad ke-16, telah terbentuk lima jaringan perdagangan yang menghubungkan daerahdaerah di Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia atau Asia Tenggara yang lain.16 Dalam jaringan perdagangan tersebut, Jawa terhubung dengan Selat Sunda, Maluku, Banda, Timor, Pantai Barat Kalimantan, dan Pantai Selatan Sumatra melalui Laut Jawa. Komoditasnya adalah produk rempah yang memiliki aroma dan rasa kuat, kayu harum, kain, dan porselen yang diperoleh dari orang-orang Cina. Sejak abad ke-19 sampai dengan masa kini, rempah menjadi topik penelitian yang tak kunjung habis untuk dibahas. Penelitian O. W. Wolters tentang rempah menghasilkan sebuah karya yang berjudul Early . Dalam buku tersebut, Wolters lebih banyak menjelaskan asal usul dan uraian tentang rempah daripada Sriwijaya atau perdagangan rempah itu sendiri.17 B. J. O. Schrieke menguraikan hubungan perdagangan rempah antara Jawa bagian timur dengan Semenanjung Melayu, Sumatra, India, dan Cina. Schrieke menekankan lada dari Sumatra, cendana dari Timor, serta cengkih dan pala dari Maluku sebagai produk utama perdagangan rempah yang diekspor sampai ke Timur Tengah dan Eropa melalui perantara pedagang India, Arab, atau Persia.18 Sama seperti Schrieke, M.A.P. Meilink-Roelofsz juga membahas mengenai perdagangan rempah antara tahun 1500 sampai 1630. Dalam buku , Meilink-Roelofsz menjabarkan hubungan antara kota-kota dagang di pesisir utara Jawa bagian timur dengan bandar internasional di Malaka. Dari penelitian Meilink-Roelofsz, akan tampak dominasi penguasa terhadap perdagangan di pesisir utara Jawa bagian timur pada abad ke-16 dan 17. Penguasa-
8 PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 19 M. A. P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1962). 20 Kenneth R. Hall, "Indonesia's Evolving International Relationships in the Ninth to Early Eleventh Centuries: Evidence from Contemporary Shipwrecks and Epigraphy" Indonesia Vol. 9 (October, 2010), hlm. 17-23. 21 Jan Wisseman Christie, "Javanese and the Asia Sea Trade Boom in the Teenth to Thirteenth Centuries AD." Journal of the Economic and Social of the Orient Vol. 41 No. 3 (1998), hlm. 346. 22 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 4 Penelitian mengenai jaringan perdagangan global, dalam hal ini jaringan perdagangan rempah, tidak mungkin bisa dilakukan hanya dari satu kerangka pemikiran saja. Sartono Kartodirdjo jauh-jauh hari telah mengingatkan kepada para sejarawan bahwa satu-satunya cara untuk memahami masa lalu adalah dengan melihatnya melalui cara pandang yang bersifat multidimensional. Pendekatan atau cara pandang sebagaimana dikemukakan oleh Kartodirdjo adalah dengan meminjam berbagai konsep dan teori dari ilmu-ilmu sosial lain.22 Untuk meneliti jaringan perdagangan jalur rempah, pertamaseperangkat pengetahuan mengenai dinamika permukaan bumi yang disebabkan oleh berbagai gaya yang bergerak di bumi maupun hubungan antara bumi dengan manusia. Teori yang diajukan oleh van Leur mengenai C. Pendekatan penguasa lokal bahkan dapat meminta bantuan kekuatan bersenjata dari orang-orang Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah potensial untuk perdagangan.19 Hubungan dagang antara Jawa dengan Sumatra dan bangsa-bangsa asing diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kenneth R. Hall terhadap artefak kapal-kapal karam di sekitar perairan Sumatra dan Laut Jawa. Persebaran kapal karam dengan muatan berbagai produk rempah, keramik, relik-relik Buddha dan Islam, serta logam menunjukkan hubungan dagang antara Jawa, Sumatra, Cina dan juga bangsa-bangsa asing dari Timur Tengah.20 Keterlibatan Jawa bagian timur dalam perdagangan global menurut Christie telah dimulai sejak abad ke-10 akibat meningkatnya permintaan terhadap rempah. Seiring dengan hal tersebut, penguasa lebih banyak menginvestasikan keuntungan yang diperoleh dari hasil perdagangan ke penggunaan barang-barang mewah sehingga bangunan keagamaan didirikan dengan ukuran yang lebih kecil.21
9 BAB I Pendahuluan 23 Van Leur, op. cit. 24 John W. Alexander dan James L. Gibson, Economic Geography, (New Delhi : Private Limited, 1963) 25 H. Robinson, Human Geography, (Plymonth :M & E Handbooks, 1976) 26 Nasution, Manajemen Transportasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 12 dinamika perdagangan global di Asia tenggara dapat dipakai untuk memahami terbentuknya jaringan perdagangan global yang melibatkan kota-kota pantai di Jawa bagian timur. Van Leur mengajukan pendapat bahwa corak perdagangan yang terbentuk di kawasan Asia Tenggara adalah karakteristik khas yang berkembang di daerah itu. Karakteristik itu antara lain sistem angin musim yang memungkinkan adanya pelayaran secara teratur, serta pengorganisasian perdagangan sampai ke tingkat yang bisa diandalkan.23 M areal di permukaan bumi, serta aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungan dengan produksi, tukar-menukar (distribusi), dan konsumsi kekayaan.24 ekonomi sebagi ilmu yang membahas mengenai cara-cara manusia dalam kelangsungan hidupnya berkaitan dengan aspek keruangan, dalam hal ini berhubungandenganeksplorasi sumberdaya alamdaribumiolehmanusia.25 Aspek-aspek ekonomi memiliki keterkaitan erat dengan karakteristik Terbentuknya jaringan perdagangan yang membentuk jalur rempah tidak bisa dilepaskan dari logika ekonomi, yaitu adanya supply dan demand antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Karakteristik bentang alam adalah manusia nyaris tinggal di semua wilayah tetapi tidak semua wilayah menghasilkan barang yang dibutuhkan oleh manusia yang tinggal di wilayah tersebut. Penawaran dan permintaan dibatasi oleh ruang. Akibat pembatasanruang tersebutmakamunculahjalur-jalurdistribusi komoditas, yang memindahkan komoditas dari satu tempat ke tempat lainnya berdasarkan permintaan. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya rute atau jalur perdagangan. Jalur-jalur perdagangan membentuk sebuah jaringan perdagangan yang sambung-menyambung.26
11 BAB II REMPAH PADA MASA KERAJAAN KAHURIPAN S umber sejarah lokal yang membicarakan Jawa bagian timur sebenarnya telah dimulai sejak abad ke-8 dengan berdasar kepada Prasasti Dinoyo. Pada periode yang sama, penguasa Medang menetapkan keputusannya atas saluran irigasi di pecahan Sungai Brantas yangmenandaikekuasaannyatelahmerambahsampaikeJawabagiantimur. Pasca perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh Dyah Balitung, wilayah Medang semakin bertambah luas meliputi lembah Arjuna-Welirang. Suatu hal yang mengejutkan setelah dua ratus tahun sejak berdirinya Medang, Pu Sindok memilih meninggalkan tanah leluhurnya dan memindahkan pusat kekuasaan dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur. Mengenai motif perpindahan pusat kekuasaan Medang masih menuai perdebatan di kalangan para ahli. B. J. O. Schrieke menduga keputusan untuk memindahkan pusat kekuasaan disebabkan karena hubungan dagang antara penguasa Jawa dengan negeri-negeri di Asia Tengah. Jawa bagian timur menjadi penghubung antara pusat penghasil rempah dengan bandar dagang internasional di Sumatra.1 Sebab, sama-sama berpeluang dalam perdagangan rempah, Sriwijaya menganggap Jawa bagian timur sebagai saingan dagang. Perhatian penguasa Medang memicu iri hati Sriwijaya yang mengkhawatirkan pedagang-pedagang asing akan lebih tertarik mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Jawa bagian timur.2 Christie melengkapi pendapat-pendapat sebelumnya dan mengajukan hipotesis bahwa meningkatnya aktivitas perdagangan global di Jawa bagian timur mengakibatkan terjadinya lonjakan populasi penduduk, yang diikuti dengan pemindahan pusat kekuasaan sehingga penguasa dan masyarakat A. Transisi Pusat Kekuasaan 1 B. Schrieke, “The End of Classical Hindu-Javanese Cultural in Central Java: A Study in Economic Geography” dalam W. F. Wertheim, dkk. (ed.), Indonesian Sociological Studies Part Two (The Hague and Bandung: W. van Hoeve LTD., 1957), hlm. 296. 2 De Casparis, “Airlangga” Pidato Peresmian Djabatan Guru Besar dalam Mata Peladjaran Sedjarah Indonesia Lama dan Bahasa Sansekerta pada Perguruan Tinggi Pendidikan (Surabaya: Penerbitan Universtas, 1954), hlm. 8.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 12 lebih leluasa melakukan interaksi dengan dunia luar.3 Memindahkan pusat kekuasaan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. N. J. Krom berargumen perpindahan itu tidak didasarkan atas keputusan singkat yang baru diputuskan pada masa Pu Sindok, tetapi telah diperhitungkan oleh penguasa-penguasa sebelumnya.4 Sumber-sumber prasasti menunjukan tanda-tanda peningkatan aktivitas perekonomian sejak masa Rake Watukura Dyah Balitung. Berbeda dengan piagam yang diresmikan oleh raja-raja sebelumnya, prasasti dari masa Balitung lebih banyak berisi kebijakan-kebijakan tentang perekonomian. Hak-hak istimewa yang pada awalnya berupa pengelolaan lahan, oleh Dyah Balitung kemudian diganti menjadi kewenangan untuk mengatur pemasukan yang bersumber dari pajak perdagangan dan kerajinan. Dyah Balitung dapat dikatakan sebagai perintis pertumbuhan ekonomi Jawa bagian timur. Supratikno Rahardjo menegaskan keterlibatan Jawa dalam perdagangan global dimulai abad ke-9, mengalami percepatan pada abad ke-10, dan semakin cepat abad ke-11.5 Pada abad ke-10, Pu Sindok tidak menghilangkan apa yang telah dimulai oleh leluhurnya, tetapi tetap dipertahankan sehingga aktivitas perekonomian di Jawa bagian timur semakin semarak. Dukungan penguasa terhadap sektor-sektor penting perdagangan semakin besar. Sebagai dukungan terhadap sektor agraris, ada dua proyek irigasi dari masa Pu Sindok diKali Pikatan sehingga mengalirkan air dari lereng Gunung Welirang ke arah barat laut dan bermuara di Kali Brangkal.6 Melalui kebijakan pembangunan infrastruktur penunjang perekonomian, tampak campur tangan penguasa mulai dari proses produksi sampai dengan distribusi barang. Berbeda dengan pemerintahan raja-raja Medang di Jawa bagian tengah, penguasa periode Jawa bagian timur tidak banyak mendirikan bangunan suci. Tempat-tempat keagamaan atau bangunan monumental didirikan dengan ukuran kecil, yang menurut Christie merupakan petunjuk bahwa penguasa berusaha mengalihkan 3 Jan Wisseman Christie (c), “Javanese Markets and the Asian Sea Trade Boom of the Tenth to Tirtheenth Centuries A.D.” Journal of the Economic and Social History of the Orient Vol. 41 No. 3 (1998), hlm. 350-351. 4 N. J. Krom (b), “de Hindoe Javaansche Tijd” dalam F. W. Stapel, Nederlandsch Indie Deel 1 (Amsterdam: N. V. Uitgeversmaatschappij & Joost van den Vondel, 1938), hlm. 191-192. 5 Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhri (Depok: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 45. 6 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris Cetakan ketiga (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris dan École Française d’Extrême-Orient), hlm. 19.
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 13 keuntungan untuk investasi pada sektor perdagangan dan barang-barang mewah.7 Tantangan Airlangga dalam mengembangkan perekonomian Jawa bagian timur di antaranya berkaitan dengan faktor keamanan. Ninie Susanti menegaskan pada masa pemerintahannya, Airlangga sering melakukan peperangan untuk menegakkan hegemoninya. Upaya ini dilakukan sejak 1019 sampai 1036 yang disebut oleh Susanti sebagai masa konsolidasi.8 Di sisi lain, daerah-daerah yang memiliki potensi ekonomi juga rawan terjadi tindak kejahatan. Hobsbawn mengatakan bahwa tindak kejahatan seperti perampokan biasa terjadi di daerah terpencil yang sulit diakses seperti pegunungan, hutan, anak sungai atau saluran air, serta jalur perdagangan dan jalan utama.9 Sebagai salah satu kawasan perdagangan yang cukup ramai sejak abad ke-10, kawasan Delta Brantas rawan terjadi tindak kriminal. Hal ini tampak pada berbagai prasasti yang menggambarkan peristiwa perampokan, penyerangan, atau pembunuhan terhadap penduduk, pedagang, maupun para pencari ikan. Satu di antara sekian banyak tindak kejahatan di kawasan Delta Brantas diceritakan dalam Prasasti Simanglayang. Saat itu penduduk yang terdiri dari pedagang dan seniman keliling harus mengungsi dan meminta bantuan ke Sang Hyang Sarwadharma akibat desa mereka diserang sehingga menyebabkan banyak orang tewas. Selain ancaman para perampok, Airlangga juga dihadapkan dengan bencana banjir yang sering melanda sehingga menyebabkan gangguan pada jalur perdagangan. Airlangga kemudian memerintahkan untuk mengerahkan tenaga rakyat guna membangun sebuah tanggul (dawuhan) di Waringin Sapta.Infrastruktur itu pun juga tidak terlepas dari pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk menghancurkannya. Boechari menduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang mursal atau kelompok yang tidak mau menerima kepemimpinan Airlangga sebab merupakan keturunan 10 Untuk menghalau orangB. Tantangan dan Strategi dalam Mengelola Perdagangan di Jawa Bagian Timur 7 Jan Wisseman Christie (c), op cit., hlm. 346. 8 Ninie Susanti, op cit., hlm. 97. 9 Eric J. Hobsbawn, Bandits (New York: Pantheon Books, 1972), hlm. 21. 10 Boechari, “Perbanditan di Jawa Kuno” dalam Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Prasasti (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), hlm. 319.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 14 orang yang bermaksud buruk terhadap tanggul tersebut, Airlangga memerintahkan penduduk dari Desa Kamalagyan beserta wilayah-wilayah di sekitarnya agar bertempat tinggal di tepi tanggul Waringin Sapta. Disamping melibatkan penduduk, Airlangga juga menempatkan kelompok-kelompok tertentu yang sengaja ditugaskan untuk menjaga keamanan di wilayah Delta Brantas. Mereka adalah anak buah Dyah Kakingadulengen, yang dalam Prasasti Kakurugan sengaja diberikan hak istimewa untuk melakukan berbagai hal yang notabene tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang karena bertentangan dengan hukum. Anak buah Dyah Kakingadulengen diperbolehkan untuk berulang kali pulang-pergi meninggalkan rumah tanpa merubah status kependudukan ( ), boleh memukul budak (amupuha kawula), berhak mengusir maling yang tertangkap basah ( ), boleh meloloskan diri dari sasaran serangan yang hebat ( ), berhak memotong betis sampai terputus ( ), berkelahi tanpa senjata ( ), memimpin satu daerah bersamaan dengan orang lain ( ), tikus yang mengejar buwungan (tikus atut buwunan), dan mengencingi pagar (anuyuhi kikis). Hak-hak ini mengindikasikan anak buah Dyah Kakingadulengen adalah orang-orang yang terbiasa melakukan tindak kekerasan sehingga mereka kemungkinan besar adalah sekelompok preman atau para pendekar. Di sisi lain, mereka juga diperbolehkan untuk memiliki budak berkulit hitam ( apujut, bhondan), mengusir orang yang tidak mampu membayar hutang dan jika bertemu boleh menagih semua hutangnya ( ), melampiaskan kekecewaan dengan bertindak kasar ( ), menebus sapi dengan dua kupang perak ( ), dan memutus betis jika tujuannya tidak tercapai (wnan amgat awatis yan ). Dalam pemerintahan tradisional, seorang raja memerlukan para jagoan untuk menegakkan kekuasaannya. Mereka yang dianggap musuh perlu disingkirkan atau dibunuh, tidak hanya si pelaku tetapi juga keluarga, pengikut, beserta budaknya.11 Selain berkaitan dengan kekuasaan, pendekar 10 Boechari, “Perbanditan di Jawa Kuno” dalam Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Prasasti (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), hlm. 319. 11 Ong Hok Ham, “Peran Jago dalam Sejarah” dalam Candra Gautama (ed.), Dari Soal (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 103.
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 15 dalammasyarakat JawaKuno jugadigunakanolehbangsawanatausaudagar untuk kepentingan mereka. Sebagaimana yang divisualisasikan dalam hakhak istimewa yang diterima oleh anak buah Dyah Kakingadulengen, mereka menagih hutang, mengusir orang-orang yang bangkrut karena hutang, serta menganiaya orang lain apabila tujuannya tidak tercapai. Prasasti Kakurugan di samping berisi hak istimewa juga menegaskan tempat tinggal anak buah Dyah Kakingadulengen terletak di antara Sijanatyesan sampai dengan sebelah timurnya daerah perdikan Tambehan.12 Toponimi Sijanatyesan juga disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan yang termasuk daerah penting di wilayah Delta Brantas. Selama masa pelarian, Airlangga selalu didampingi oleh Narottama yang membantu melawan musuh-musuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa Narottama memiliki keterampilan militer yang mumpuni. Identitas Narottama sendiri pada dasarnya merupakan guru dari Dinasti Warmadewa di Bali13 yang ikut mengantarkan Airlangga ketika datang ke Jawa atas undangan Dharmawangsa Teguh. Setelah Airlangga berhasil menduduki tahta kerajaan, Narottama menjabat sebagai Rakai Kanuruhan. Gelar rakai atau rakryan menurut Boechari menunjukkan nama daerah lungguh orang yang menduduki jabatan tersebut14 sehingga Rakai Kanuruhan merupakan pejabat yang berkedudukan di Kanuruhan. Dalam Prasasti Simanglayang, wilayah Kanuruhan disebutkan terletak di lembah Arjuna-Welirang. Kanuruhan menempati posisi hulu dalam mobilitas barang dagangan dari Delta Brantas sampai ke kawasan subur di lembah pegunungan. Titi Surti Nastiti mengatakan bahwa jabatan itu harus terampil dalam berbagai bahasa, menerima pedagang dengan penuh hormat, dan memenuhi segala keperluan mereka.15 Kedudukan Narottama dalam hierarki istana menunjukkan dualisme jabatan pada pemerintahan Airlangga di satu sisi bertugas sebagai panglima perang, tetapi di lain hal juga berurusan dengan perekonomian. 12 (1) ... . 13 Roelof Goris, Prasasti Bali II (Bandung: Lembaga Bahasa dan Budaja Fakulteit Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia bekerja sama dengan N. V. Masa Baru, 1954), hlm. 146. 14 dalam Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), hlm. 81. 15 Titi Surti Nastiti (b), “Perdagangan pada Masa Jawa Kuno” dalam Edy Sedyawati dan Hsan Djafar (ed.), Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 2: Kerajaan HinduBuddha (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2013), hlm. 109.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 16 Pasca perpindahan pusat kekuasaan, muncul permukiman-permukiman penduduk di sepanjang aliran Sungai Brantas. Beberapa hal yang memengaruhi luas dan lokasi permukiman adalah pusat politik dan jalur perdagangan, jenis anah, ketersediaan air permukaan, dan kemiringan lahan.16 Permukiman berkaitan erat dengan lingkungan dan sumber daya di sekitar. Pemanfaatan potensi alam pada dasarnya merupakan respons manusia terhadap upaya mempertahankan hidup melalui sumber daya yang tersedia. Alam bukanlah penentu kehidupan manusia melainkan hanya sebatas faktor pengontrol yang memberikan kemungkinan atau peluang, pilihannya tetap di tangan manusia.17 Melalui pengolahan potensi dan sumber daya yang ada, penduduk menghasilkan produk yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, atau dikomersilkan apabila jumlah produksi lebih besar dan melebihi daya konsumsi. Pemanfaatan sumber daya di sekitar lingkungan permukiman menghasilkan produk yang beragam. Masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman memanfaatkan tanah subur di sekitar sungai atau lembah gunung sebagai lahan-lahan pertanian. Ada beberapa jenis lahan pertanian yang dikenal oleh masyarakat Jawa Kuno, yaitu sawah (sawah), ladang/ tegal (gaga), kebun (kbwan), dan rawa (renek).18 Jenis-jenis lahan itu menghasilkan produk yang beragam seperti sayuran, umbi-umbian (mulaphala) dan buah-buahan (sarwaphala), tetapi yang utama adalah beras. Seluruh wilayah Jawa didominasi oleh persawahan, bahkan lahan lain bisa saja dijadikan sawah apabila suatu daerah membutuhkan beras yang lebih banyak lagi, misalnya untuk pengelolaan sebuah bangunan suci. Perkembangan perdagangan internasional telah meningkatkan konsumsi komoditas beras dengan menyediakan pasar baru untuk produksi lokal.19 Beras didatangkan dari pedalaman Jawa, dikumpulkan di pelabuhan, kemudian dibawa oleh para pedagang sebagai perbekalan atau untuk memenuhi kebutuhan daerah-daerah yang kekurangan beras akibat tenaga C. Produksi dan Komoditas Lokal Masyarakat Jawa Bagian Timur 16 Jan Wisseman Christie, “States Without Cities: Demographic Trends in Early Java” Indonesia No. 52 (1991),, hlm. 28. 17 Lucien Febvrf, A Geographical Introduction to History (London: Kegen Paul, Trench, Troubner & Co. Ltd., 1925), hlm. 181-188. 18 Supratikno Rahardjo, op cit., hlm. 266 19 Kenneth R. Hall (e), “Indonesia’s Evolving International Relationships in the Ninth to Early Eleventh Centuries: Evidence from Contemporary Shipwrecks and Epigraphy” Indonesia No. 90 (Oktober, 2010), hlm. 27.
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 17 dan lahannya banyak ditanami rempah-rempah.20 Meningkatnya perekonomian di Jawa bagian timur diikuti dengan tingginya produksi kain lokal. Sumber prasasti sejak abad ke-10 telah menceritakan proses panjang dalam produksi tekstil mulai dari mengumpulkan kapas (makapas), pemintalan menjadi benang, pewarnaan ( dan manubar), menenun menjadi sehelai kain mentah (acadar), dan mengolah menjadi kain jadi. Proses pewarnaan dilakukan dengan mengolah organ-organ tumbuhan tertentu (wunkudu, kasumba dan lak) sehingga menghasilkan warna alami. Kain yang diproduksi berjenis katun dengan tekstur halus, tipis, dan memiliki pola yang terbentuk akibat proses tenun.21 Adanya kebutuhan terhadap suatu barang menyebabkan kenaikan permintaan terhadap barang tersebut. Produksi masyarakat Jawa pada umumnya adalah barang-barang kebutuhan pokok. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap bahan pangan hewani, masyarakat mengembangkan peternakan. Masyarakat Desa Baru dan Kusambyan diberi kebebasan oleh kerajaan untuk memelihara babi, kambing, lembu, domba aduan, burung puyuh, ayam, dan ayam aduan.22 Selain komoditas peternakan, kebutuhan masyarakat terhadap bahan pangan hewani juga bersumber dari komoditas perikanan. Produk ini dihasilkan oleh penduduk yang bermukim di sekitar pada abad ke-10, terdapat beberapa istilah yang merujuk pada aktivitas penangkapan ikan (hiliran), yaitu memukat ikan kakap ( ), memukat ikan kerapu ( ), menjaring dengan jaring halus ( ), memancing (anlaha), menjala (añjala), menjala dengan jala awir-awir ( ), menjala dengan jala berukuran besar (añjala ), menangkap dengan jebakan ( ), menangkap kepiting dengan jebakan (amintur), menjaring ikan balanak ( ), menjaring dengan jaring kwangkwang ( ), menjaring ikan kakap ( ), memancing ikan (amibit), menjaring dengan jaring halus yang dikaitkan bambu ( ), menjaring dengan jaring 20 Adrian B. Lapiran, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 88. 21 Paul Wheatley, “Geographical Notes on some Commodities Involved in Sung Maritime Trade” The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Vol. 32 No. 2 (1959), hlm. 98. 22 Andri Setyo Nugroho, “Jaringan Perdagangan di Jawa bagian Timur pada Masa Kekuasaan Raja Airlangga, 1019-1043” Skripsi pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (2021), hlm. 94
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 18 John Crawfurd mengatakan bahwa desa adalah subjek terpenting dalam sistem pemerintahan Jawa. Seluruh wilayah kerajaan adalah kumpulan desa, ibu kota dan kota-kota utama adalah himpunan dari desa.27 Aktivitas perekonomian penduduk desa terpusat di pasar yang terletak di tempattempat strategis, dekat dengan lalu lintas perdagangan (tepi jalan besar dan persimpangan jalan), atau sengaja dibuat penguasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.28 Sebab, menjadi pusat ekonomi masyarakat, pasar pada umumnya berdiri di permukiman-permukiman yang padat penduduknya. Sumber prasasti pada umumnya tidak menjelaskan detail lokasi berdirinya pasar, tetapi hal itu dapat diketahui berdasarkan Prasasti Turyyan dan Muñcang yang diresmikan oleh Pu Sindok. Dalam Prasasti Turyyan, wilayah yang dijadikan terletak di sebelah barat sungai dan di sisi utara pasar (..., , ...). Prasasti Muñcang menyebutkan tanah yang dijadikan terletak di sebelah selatan pasar di Desa Muñcang. tundung ( ), menjaring dengan jaring tadah ( ).23 Sementara itu hasil tangkapan ikan sungai berupa ketam (hayuyu), udang ( ), wagalan, kawan-kawan, dan dlag.24 Berawal dari pesisir dan sekitar sungai, hasil tangkapan ikan didistribusikan dan diperdagangkan sampai wilayah pedalaman. Beberapa olahan berbahan dasar ikan yang dimasak oleh penduduk di wilayah pedalaman, yaitu dendeng ikan kering ( ), udang ( ), dendeng ikan kakap ( ), dendeng ikan kadiwas ( ).25 Produk pesisir yang juga didistribusikan sampai ke wilayah pedalaman adalah garam sebab adanya kebutuhan masyarakat terhadap barang tersebut. Orang-orang Cina menyebut garam yang dijual di Jawa dihasilkan dengan cara memanaskan air laut.26 23 J. L. A. Brandes, (Batavia: Albrecht & Co.,1913), hlm. 245. 24 Supratikno Rahardjo, op cit., hlm. 285. 25 Riboet Darmosoetopo, Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU (Yogyakarta: Prana Pena, 2003), hlm. 119. 26 W. P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas Bambu, 2018), hlm. 20. 27 John Crawfurd, (London: Bradbury & Evan, 1856), hlm. 182. 28 F. A. Sutjipto, “Beberapa Tjatatan Singkat tentang Pasar-Pasar di Djawa Tengah (Abad 17-18)” (1970), hlm. 137. D. Pusat-Pusat Perdagangan di Jawa bagian Timur
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 19 Berdasarkan lokasinya, ada dua jenis pasar, yaitu pasar yang terletak di pedalaman dan di wilayah pesisir. Pembagian jenis pasar ini juga berkaitan dengan ciri khas dan komoditas perdagangan yang diperdagangkan. Pasar di wilayah pedalaman dipengaruhi oleh siklus lima hari dalam satu minggu ( ). Di sisi lain, permukiman penduduk membentuk sebuah pola (pañatur desa dan prahasta desa) yang disebut mañcapat, yaitu satu desa “induk” yang dikelilingi oleh empat desa lain yang saling berdekatan, kemudian diikuti oleh kelompok desa berikutnya (mañcalima) yang letaknya jauh dan seterusnya sehingga ruang sela di antaranya semakin berjauhan.29 Antara pañatur desa dengan siklus pañcawara saling berhubungan sehingga berpengaruh pada rotasi pasar setiap minggunya. Misal, pada hari pasar diselenggarakan di desa sebelah timur, hari Pahing di sebelah selatan, hari Pon di sisi barat, di desa sebelah utara pada hari Wagai/ Wage, dan di desa induk pada hari Kaliwuan. 30 Berbeda dengan pasar pedalaman, pusat perdagangan yang terletak di wilayah pesisir memiliki karakteristik tersendiri dan tidak terlalu terikat pada sistem . Pasar di wilayah pesisir jarang berotasi sebagaimana pasar di pedalaman, melainkan bergantung pada musim dan berpindah-pindah mengikuti kedatangan kapal saudagar. Para pedagang di wilayah pesisir, dengan menggunakan perahu-perahu mereka, akan mendekat dan menawarkan barang dagangannya ketika kapal niaga masuk ke pelabuhan.31 Begitu ketatnya persaingan dagang di wilayah pesisir, orang-orang Cina mencatat pedagang-pedagang itu bahkan sampai naik ke atas kapal untuk menawarkan barang dagangan. Dalam Prasasti Kambang Putih, kepala desa setempat berhak untuk membuka tempat baru untuk berdagang ( ) dan berdagang sampai batas kekuasaan raja ( ). B oleh sumber prasasti justru terletak di wilayah pesisir timur Delta Brantas. Pu Sindok melihat wilayah Delta Brantas yang memiliki potensi sebagai jenis alat transportasi air yang ada di wilayah Delta Brantas. Adapun alat transportasi air yang digunakan pada masa itu adalah perahu dayung 29 Edhi Wuryanto, “Wanua Tpi Siring: Data Prasasti dari Jaman Balitung” Seminar Sejarah Nasional III: Seksi Sejarah Kuno I (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1982-1983), hlm. 55 catatan 12. 30 L. Ch. Damai, “Études Javanaises III: A Propos des Couleurs Symboliques des Points Cardinaux” Bulletin de I’Ecole Française d’Extrême-Orient Tome 56 (1969), hlm. 102. 31 F. A. Sutjipto, op cit., hlm. 139.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 20 32 Mungkin perahu yang menerima barang dari alat transportasi air lain untuk didistribusikan ke wilayah pedalaman. 33 J. L. A. Brandes, loc cit. 34 Jopie Wangania, Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa-Madura (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980/1981), hlm. 105. 35 Tesis pada Program Studi Arkeologi Universitas Indonesia (1995) hlm. 137. 36 Jan Wisseman Christie (b), “Money and its Uses in the Javanese States of the Ninth to Fifteenth Centuries A.D.” Journal of the Economic and Sosial History of the Orient Vol. 39 No. 3 (1996), hlm. 246. atau rakit (ramu), perahu (parahu), perahu sungai ( ), perahu pengangkut barang-barang berukuran besar ( ), perahu pengangkut obat-obatan ( ), atadah32, kapal lambo (anlamboan), anlam, amuntamunta, perahu pengangkut berbagai barang dagangan (kirim dwal baryyan), , perahu jenis tertentu (lankapan), perahu dengan tongkat galah (wlah galah), perahu dengan geladak (panawa), perahu pengangkut hasil kebun ( ), perahu jurag (parahu jurag), perahu panggagaran (parahu pangagaran), perahu pedagang (parahu pawalijan), dan . 33 Adanya alat transportasi air dari pulau lain semakin menguatkan dugaan adanya pelabuhan di wilayah tersebut. Istilah anlamboan lambo yang merujuk pada salah satu jenis perahu di pantai utara Jawa dan Madura. Jopie Wangania mendeskripsikan perahu lambo sebagai alat transportasi air untuk perdagangan jarak jauh, dibuat oleh orang-orang Bugis dan Makassar dengan muatan berkisar antara 10 sampai 15 ton.34 Kapal dengan ukuran demikian tidak memungkinkan untuk masuk sampai ke wilayah pedalaman sehingga diperlukan transportasi lain. Richard M. Soberman dalam Nastiti membagi kegunaan transportasi menjadi beberapa kategori, yaitu sebagai pengangkut bahan dasar produksi, pengangkut barang konsumsi, pengangkut hasil produksi, dan pengangkut orang.35 Selain transportasi air, masyarakat Jawa Kuno juga menggunakan alat pengangkut berupa gerobak (gilinan), pedati (padati), atau diangkut dengan tenaga manusia (pikul) maupun hewan. Antara Airlangga dengan para pendahulunya memiliki kesamaan, yaitu mengembangkan pemerintahan hibrida yang menghubungkan pelabuhan dengan wilayah pedalaman yang subur.36 Sumber prasasti merekam sejumlah pelabuhan yang beroperasi pada masa Airlangga, baik yang terletak di Sungai Brantas, delta, dan pesisir utara Jawa bagian timur. Pelabuhan di Delta Brantas yang beroperasi sejak abad ke-10 mungkin
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 21 37 W. Fruin Mees, (Weltevreden: Commissie voor de Volkslectuur, 1922), hlm. 45. 38 De Casparis, op cit., hlm. 20. 39 Ninie Susanti, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 219-220. 40 Bambang Budi Utomo, “Majapahit dalam Lintas Pelayaran dan Perdagangan Nusantara” Berkala Arkeologi Tahun XXIX Edisi No. 2 (2009), hlm. 6. 41 N. J. Krom, hlm. 261. 42 Heru Soekadri, “Partisipasi Pelabuhan Hujung Galuh dalam Lintasan Jalan Sutera (Suatu Kajian Awal)” Orasi Pengukuhan pada Peresmian Jabatan Guru Besar pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan SosialInstitut Keguruan Ilmu Pendidikan Surabaya, 18 Januari 1996, hlm. 3. 43 Jan Wisseman Christie, op cit., hlm. 29. masih digunakan sampai masa Airlangga. Hal ini tampak pada hilir-mudik alat transportasi air pengangkut komoditas perdagangan sebagaimana yang dijelaskan dalam Prasasi Kamalagyan, serta adanya permukiman pedagang dan seniman keliling di pesisir Delta Brantas. Dalam Prasasti Kamalagyan juga disebutkan adanya Pelabuhan Hujung Galuh yang sampai dengan saat ini masih menuai perdebatan di kalangan para ahli. Fruin Mees berpendapat Hujung Galuh adalah pelabuhan dan kawasan perdagangan yang terletak agak jauh di bagian hulu Sungai Brantas.37 De Casparis menegaskan bahwa Hujung Galuh adalah pusat perniagaan antar pulau yang terletak di sebelah hulu sungai dari Kelagen, mungkin tidak jauh dari Mojokerto sekarang.38 Senada dengan dua peneliti itu, Ninie Susanti berargumen Hujung Galuh berfungsi sebagai perdagangan laut yang letaknya di sepanjang aliran Sungai Brantas, tidak jauh dari Mojokerto dan lokasi in situ Prasasti Kamalagyan.39 Budi Utomo memperkuat pendapat ahli lainnya, dengan menjabarkan letak Hujung Galuh berada di Delta Brantas yang tidak jauh dari Kota Mojokerto.40 Bertolak belakang dari pendapat di atas, beberapa ahli justru mengatakan bahwa Hujung Galuh berada di wilayah pesisir. N. J. Krom menegaskan bahwa Hujung Galuh adalah pendahulu Surabaya yang berada di dekat muara Brantas serta tempat datangnya kapal asing dan bongkar muat barang bawaannya ke perahu lain.41 Berdasarkan catatan Cina, Mongol menyerang Jawa, panglima militer menyebut sungai yang mengalir dari Pacekan ke utara bernama Hujung Galuh ( ).42 Christie menganalisis Hujung Galuh adalah pelabuhan pantai yang terletak 25 km dari Kamalagyan, di antara keduanya terdapat tujuh permukiman dan sejumlah tempat suci.43
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 22 44 C. C. Berg, (s’ Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1931), hlm. 139. 45 Jan Wisseman Christie (c), op cit., hlm. 360. 46 Multamia R.M.T. Launder & Allan R. Launder, “Maritime Indonesia and theArchipelagic Wacana Vol. 17 No. 1 (2016), hlm. 111. 47 De Casparis, loc cit. Selisih pendapat di kalangan para ahli disebabkan karena perbedaan tafsir kalimat “..., ...” (..., senanglah hati mereka berperahu menuju ke hulu mengambil barang dagangan di Hujung Galuh, ...). Pada baris kedelapan Prasasti Kamalagyan disebutkan tujuan Airlangga membuat tanggul Waringin Sapta adalah demi kebaikan penduduk di wilayah hilir sehingga mereka dapat berlayar ke hulu untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuh. Dalam naskah Kidung Harsa Wijaya dari masa Majapahit, mengisahkan tentara Mongol yang akan melakukan penyerangan ke Mamenang (Kediri) sudah sampai di Jung-Galuh dan daerah-daerah di utara Tegal Bobot Sekar sampai desa-desa di sekitar Canggu telah dihancurkan.44 Berdasarkan dua keterangan tersebut, maka kemungkinan besar Hujung Galuh terletak di sebelah hulu dari Prasasti Kamalagyan atau tidak jauh dari Canggu. P menunjukkan adanya pelabuhan primer di Jawa bagian timur yang membentang dari Tuban sampai Gresik. Selain itu terdapat pula pelabuhan sekunder di wilayah Delta Brantas yang keberadaannya masih sulit untuk dilacak yaitu Manañjung dan Sikuñit.45 Meskipun aktivitas pelayaran di Laut Jawa sudah ramai sebelum Airlangga berkuasa, tampaknya perhatian terhadap pelabuhan di pesisir utara Jawa baru dilakukan menjelang akhir masa pemerintahannya. Sebuah pelabuhan di Kambang Putih dekat Tuban dikembangkan pada akhir masa pemerintahan Airlangga, tetapi karena tidak selesai sehingga dilanjutkan oleh penggantinya.46KambangPutih tidak hanya berfungsi sebagai tempat transit saudagar dari mancanegara, tetapi juga penghubung antara wilayah pedalaman dengan pesisir. Persebaran prasasti menunjukkan bahwa wilayah sepanjang Babat, Ngimbang, dan Ploso mendapat perhatian khusus dari Airlangga sebab berkaitan dengan jalur darat dari pelabuhan di pesisir utara Jawa dengan daerah pusat kekuasaan.47 Perbedaan kebutuhan antara masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pedalaman mendorong terjadinya mobilitas produk-produk
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 23 48 Titi Surti Nastiti, op cit., hlm. 135-136. 49 Supratikno Rahardjo, op cit., hlm. 290. 50 Handinoto, Perkembangan Kota di Jawa Abad XVII sampai Pertengahan Abad XX (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hlm. 2. 51 SF. A. Sutjipto, op cit., hlm. 143. 52 Aliyah, Setiko, dan Pradoto, “The Roles of Traditional Markets as the Main Component of Javanese Culture Urban Space (Case Study: The City of Surakarta, Indonesia)” The (2016), hlm. 104. perdagangan. Renfrew menjelaskan lima model pergerakan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Pertama, akses langsung (direct access) yaitu pedagang yang mencari barang dagangan di tempat produksi. Kedua, produsen membawa hasil produksinya ke pasar (home-base reciprocity). Ketiga, pedagang atau produsen saling bertemu untuk bertransaksi (boundary reciprocity). Keempat, pedagang dan produsen mengadakan transaksi ketika dalam perjalanan ke pasar (down the line trade). Kelima, melalui perantara (freelance trading) yang membeli dagangan dari sumber produksi, kemudian menjualnya di pasar.48 Berdasarkan hubungan antara pelabuhan dengan pusat perdagangan, Rahardjo menyebutkan beberapa tipe jaringan pasar yang saling berkaitan, yaitu pasar tingkat pertama yang menyatukan desa induk dengan desa anakan, pasar tingkat kedua yang menyatukan desa-desa berkembang dengan sebuah desa paling strategis, pasar kerajaan yang menyatukan semua pasar tingkat kedua dengan pelabuhan di wilayah hulu atau pesisir.49 Antara desa-desa di wilayah pedalaman dihubungkan dengan jalan tembusan melewati lembah-lembah. Transportasi melalui sungai terbatas pada daerah tertentu di sepanjang sungai Bengawan Solo dan Brantas.50 Pasar di tingkat pertama pada umumnya didominasi oleh bahan pangan hasil produksi penduduk setempat. Pada pasar di tingkatan ini, aktivitas perdagangan dipengaruhi oleh siklus . Apabila sebuah desa mendapat giliran pasar, maka aktivitas perdagangan terpusat di desa tersebut sehingga pasar di desa lain akan menjadi sepi atau bahkan tutup.51 Pada hari tertentu dalam siklus (biasanya Kaliwuan), baik pedagang, tengkulak, maupun produsen akan membawa barang dagangan mereka untuk dijual di desa induk sehingga aktivitas pasar menjadi lebih ramai. Pasardidesa induksaling terhubungdanmemilkikoneksidenganpasar kerajaan. Pasar yang terletak di pusat kerajaan dapat dipandang sebagai subsistem dari perekonomian yang lebih luas untuk mengembangkan wilayah dan membentuk siklus perdagangan.52 Sebab, menjadi tempat
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 24 berkumpulnya barang dagangan dari berbagai penjuru, transaksi yang terjadi di pasar kerajaan menjadi lebih besar, bahkan mungkin juga melibatkan pedagang-pedagang asing. Sejak dipindahkan dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur, penguasa cenderung menempatkan pusat kekuasaannya tidak jauh dari sungai. Ditinjau dari segi ekonomi, kebijakan ini dimaksudkan untuk menguasai daerah pedalaman guna menjamin arus barang dari pedalaman, sekaligus melindungi dan mengontrol produk yang masuk dari wilayah Delta Brantas.53 Pasar di pusat kerajaan terhubung dengan pelabuhan di pesisir melalui jalur darat atau sungai. Berdasarkan keterangan Prasasti Kamalagyan, tampak adanya aktivitas hilir-mudik perahu melewati desa-desa di tepian sungai. Di bagian hulu terdapat Hujung Galuh sementara di hilirnya adalah pesisir timur Delta Brantas yang berfungsi sebagai tempat bersandar kapal-kapal dari kepulauan sekitar (gambar 1). 53 Andri Setyo Nugroho, op cit., hlm. 83. Gambar 1 Desa-desa kuno di wilayah Delta Brantas berdasarkan prasasti dari abad ke-10 sampai abad ke-11 Sumber: Dokumentasi Pribadi Keterangan: Titik Merah : Pusat-Pusat Perdagangan Titik Hijau : Desa-Desa Kuno Garis Merah : Dugaan jalur pelayaran dari pesisir timur Delta Brantas ke wilayah pedalaman Garis Putih : Dugaan sandaran kapal di pesisir timur Delta Brantas
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 25 Antara pusat perdagangan di wilayah strategis dengan pelabuhan juga dapat terhubung melalui jalur darat. Sebagaimana yang tampak pada gambar 2, persebaran prasasti antara Babat, Ngimbang, dan Ploso menunjukkan adanya dugaan jalan darat yang menghubungkan desa-desa di pedalaman dengan pesisir utara Jawa. Jalur darat juga menghubungkan Delta Brantas dengan Mananjung di lembah Arjuna-Welirang. Mananjung adalah tempat pengumpulan komoditas dagang dari Kanuruhan, Waharu, Hujung, dan Bawang yang dilengkapi dengan pelabuhan dan tempat penyimpanan.54 Dalam Prasasti Simanglayang, digambarkan aktivitas mobilitas pedagang dan seniman keliling di wilayah Delta Brantas. Mereka berkeliling mulai dari Lasun, Pada, Pangkaja, Kanuruhan, Lamajang, Panumbangan, Pawuyahan, Desa Luwuk, Wurawan, dan desa-desa sekitarnya. Sebab tidak semua wilayah dekat dengan sungai yang dapat dilalui perahu, kemungkinan mereka juga menempuh jalur darat, terlebih dalam prasasti yang sama juga disebutkan adanya alat pengangkut berupa gerobak (gilinan). 54 Jan Wisseman Christie (b), op cit., hlm. 364. Gambar 2 Desa kuno di Jawa bagian Timur berdasarkan prasasti dari abad ke-11 Sumber: Dokumentasi Pribadi Keterangan: Titik Merah : Pusat-Pusat Perdagangan Titik Hijau : Desa-Desa Kuno Titik Kuning : Dugaan Daerah Produksi Rempah
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 26 55 Kenneth R. Hall (c), “The Opening of the Malay World to European Trade in the Sisteenth Century” Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Vol. 58 No. 2 (1985), hlm. 86-89. 56 Kenneth R. Hall (e), op cit., hlm. 23. 57 Kenneth R. Hall (d), “Local and International Trade and Traders in the Straits of Malaka Region: 600-1500” Journal of Economic and Social History of the Orient Vol. 47 No. 2 (2004), hlm. 236. Pelabuhan dan pusat perdagangan di wilayah pesisir terhubung dengan bandar dagang di pulau lain. Sampai dengan abad ke-14, telah terbentuk lima jaringan perdagangan yang menghubungkan wilayah-wilayah di Indonesia dan Asia atau Asia Tenggara. Jalur pertama dari Teluk Bengal dimulai di India Selatan termasuk Burma, Semenanjung Melayu, sampai bagian barat Sumatra. Jalur kedua adalah Malaka yang menghubungkan Cina dengan Eropa. Ketiga, sebelah timur Semenanjung Melayu, Vietnam, dan Thailand. Jalur keempat adalah Laut Sulu meliputi Luzon, Mindoro, Cebu, dan Mindanao di Filipina, termasuk Brunei di pantai utara Kalimantan. Jalur yang terakhir adalah Laut Jawa meliputi Selat Sunda, Maluku, Banda, Timor, Pantai Barat Kalimantan, Jawa, dan Pantai Selatan Sumatra.55 Adanya kapal niaga jarak jauh yang disebutkan dalam prasasti semakin menguatkan hal tersebut. Artikel K. R. Hall tentang bangkai kapal karam di perairan laut Jawa menunjukkan adanya jalur pelayaran yang menghubungkan Jawa dengan bandar dagang internasional di Sriwijaya.56 Sejak pertengahan abad ke-10, Chola memiliki ambisi politik untuk menguasai perdagangan maritim yang diawali dengan penguasaan wilayah Srilanka oleh Rajaraja I. Setelah Rajendra Chola naik tahta menggantikan Rajaraja I, dilakukan penyerangan ke negeri-negeri yang berbasis niaga dengan maksud untuk mengembangkan perdagangan laut. Sebagai negara yang terletak di tengah jalur pelayaran dunia Barat dan Timur, India berkeinginan untuk mencari komoditas dari seluruh penjuru untuk diperdagangkan di wilayahnya. Pada 1017 dan 1025, Chola melakukan penyerangan ke Sriwijaya sebagai wujud ambisi politiknya. Selama berabad-abad Sriwijaya menguasai jalur pelayaran di Selat Malaka dan sekitar Semenanjung Melayu yang menghubungkan Cina dengan India. Pemerintah di sana melakukan monopoli dengan memaksa para pedagang untuk menjual dagangannya di Sriwijaya, sementara warganya tidak berani bertransaksi secara pribadi sehingga harganya meningkat pesat.57 Serangan itu melemahkan dominasi Sriwijaya atas jalur perdagangan di sekitar Selat E. Perdagangan Global dan Meningkatnya Permintaan Rempah
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 27 58 Kenneth R. Hall (b), (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), hlm. 210. 59 George W. Spencer, “The Politics of Plunder: The Cholas in Eleventh-Century Ceylon” The Journal of Asian Studies Vol. 35 No. 3 (1976), hlm. 413-414. 60 Sila Tripati & L. N. Raut, “Monsoon Wind and Maritime Trade: a Case Study of Historical Evidence from Orissa India” Current Science Vol. 90 No. 6 (2006), hlm. 865-867. 61 Jan Wisseman Christie (c), op cit., hlm. 344. 62 J. Fachruddin Daulay, “Bandar Barus dalam Catatan Sejarah” Historisme Edisi 21 Tahun X (Agustus 2005), hlm. 25. Malaka sehingga membuka jalan bagi negara-negara Asia Tenggara daratan untuk mengisi kekosongan kekuasaan.58 Banyak pedagang dari Asia Tenggara dan Selatan yang datang ke Jawa bagian timur untuk mencari komoditas rempah. Penguasa Chola tidak pernah terlibat langsung dalam perdagangan maritim justru sebagian besar dikuasai oleh organisasi-organisasi pedagang. Mereka memiliki kemampuan mengembangkan lembaga perdagangan di pusat-pusat niaga, menggunakan pasukan militer untuk melindungi karavan dan permukiman, serta motivasi yang kuat untuk mengarungi samudra dengan tujuan berdagang.59 Mayoritas pedagang yang datang dari Asia Selatan berasal dari Kalingga, sehingga dalam Prasasti Cane terdapat istilah yang artinya adalah pemimpin orang-orang Kalingga. Mereka datang ke Asia Tenggara dengan menyusuri garis pantai di Teluk Bengal atau melalui Kepulauan Andaman dan Nikobar, masuk ke Selat Malaka atau bagian barat Sumatra melewati Selat Sunda, dan sampai di pantai utara Jawa.60 Dalam Prasasti Kambang Putih menyebutkan jenis kapal bertingkat dua yang berlabuh di pantai utara Jawa. JanWissemanChristiemengatakanpada abadke-9terjadipeningkatan minat Cina terhadap komoditas ekspor Asia Tenggara, serta minat Asia Tenggara pada produk ekspor Asia Selatan. Hal ini kemudian memicu kedatangan pedagang-pedagang asing ke Jawa bagian timur. Pada masa kekuasaan Dyah Balitung dan Airlangga, terdapat orang-orang asing yang tercatat dalam sumber prasasti, yaitu dan sinhala. Pedagang asing ini pada umumnya hidup berkelompok membentuk permukiman menurut daerah asal atau bangsanya.62 Meilink Roelofsz mengatakan bahwa selama tidak melibatkan penguasa dan pejabat kerajaan, perdagangan yang membutuhkan modal dalam jumlah sangat besar dilakukan oleh pedagang dari luar negeri. Di sisi lain Roelofsz juga mengingatkan sampai dengan abad ke-16, tidak ada gejala yang menunjukkan adanya kelompok
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 28 63 M. A. P. Meilink-Roelofsz, 1500-1630 (Depok: Komunitas Bambu, 2016), hlm. 8. 64 “... ... (..., jika lebih dari itu boleh dikenai pajak untuk raja oleh banigrama dan banigrami, ...) Prasasti Gandhakuti 964 Saka lempeng 4A baris 2. 65 Liang Liji, Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), hlm. 28-29. 66 W. P. Groeneveldt, op cit., hlm. 73-76. 67 Kenneth R. Hall, “Eleventh Century Commercial Development in Angkor and Champa” Journal of South Asian Studies Vol. 10 No. 2 (1979), hlm. 422. pedagang pribumi yang melakukan perdagangan atas namanya sendiri.63 Mereka mengatasnamakan kerajaan atau mendapat perlindungan dari raja melalui hak-hak istimewa. Dalam beberapa prasasti dari masa Dyah Balitung sampai dengan Airlangga, disebutkan adanya komunitas pedagang (banigrama dan banigrami) yang berorientasi di sekitar bandar dagang. Mereka terdiri dari pedagang besar yang diberi hak untuk mengawasi dan menarik pajak perdagangan.64 Sebelum periode Majapahit, sumber prasasti sama sekali tidak menyebut adanya orang-orang asing dari Cina. Hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada hubungan dagang yang terjalin di antara Jawa dengan Cina. Perdagangan antara Cina dengan Jawa telah terjadi sejak pertengahan abad kedua masehi. Pada 131 Masehi, penguasa Jawa mengirimkan utusan untuk mempersembahkan upeti kepada kaisar Cina.65 Relasi dagang dengan Cina lebih ke arah hubungan diplomatik antara dua pemerintahan dalam bentuk pengiriman upeti berupa rempah-rempah dan barang mewah, kemudian Kaisar membalasnya dengan memberikan hadiah. Dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia Tenggara lainnya catatan Cina jarang sekali merekam kunjungan utusan Jawa. Selama periode Dinasti Song, Jawa tercatat hanya satu kali mengirimkan upeti ke Cina. Hubungan yang lebih dekat justru terbentuk antara Cina dengan Sriwijaya dan Champa. Sriwijaya tercatat lebih dari dua puluh kali mengirimkan utusan selama periode dinasti Song, bahkan penguasa Sriwijaya telah membangun kuil khusus di wilayahnya untuk menghormati dan mendoakan keselamatan Kaisar Cina.66 Pada akhir abad ke-10 atau awal abad ke-11, Cina berusaha menyatukan kembali wilayah kekuasaannya di bawah Dinasti Song dan membuka komunikasi dengan negeri-negeri di Laut Selatan (Nan-yang).67 Perdagangan maritim memiliki makna yang penting bagi pertumbuhan perekonomian Cina. Sektor itu memberikan 20 persen dari seluruh pemasukan dan menjadi sumber utama kas kerajaan. Begitu pentingnya perdagangan maritim bagi stabilitas perekonomian Cina, penguasa
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 29 68 Derek Thiam Soon Heng, Sino-Malay Trade and Diplomacy from the Tenth trough the Fourteenth Century (Athens: Ohio University Press, 2009), hlm. 40. 69 Liang Liji, op cit., hlm. 72-73. 70 G. R. Tibbets, “Early Muslim Traders in South-East Asia” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society Vol. 30. No. 1 (1957), hlm. 21. melakukan kontrol ketat terhadap segala aktivitas hubungan dagang internasional. Setiap penduduk dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing. Dinasti Song juga memberlakukan administrasi perdagangan maritim di setiap kantor dagang, melakukan pengawasan pengiriman barang, serta menjatuhi hukuman berat kepada siapa pun yang melakukan pelayaran dan perdagangan luar negeri tanpa izin.68 Sebab kebutuhan Cina terhadap komoditas asing tidak sebanding dengan ketersediaan barang, pemerintah Dinasti Song kemudian mulai mengurangi campur tangan mereka dalam perdagangan dalam negeri. Pada periode awal pemerintahan kaisar pertama Dinasti Song, mulai didirikan Shi Po Si (Jawatan Urusan Dagang Pelabuhan) tahun 971 sebagai lembaga yang mengurus administrasi perdagangan antar bangsa. Lembaga itu didirikan di kantor-kantor dagang di pelabuhan besar, antara lain di dan Jiangyin. Dalam kurun waktu 1020 sampai 1050, terjadi penurunan jumlah kedatangan utusan negeri-negeri asing ke Cina. Pada tahun 1028, Kaisar Ren Zhong mengirim pembesar kerajaannya ke negeri-negeri di Laut Selatan untuk membujuk mitra dagang agar berkenan mengirimkan utusannya.69 Mengingat Cina sama sekali tidak disebutkan dalam sumber primer dari abad ke-9, perdagangan dengan Cina dilakukan dengan cara pengiriman upeti atau bisa jadi melalui pedagang perantara dari negeri lain. Champa sering kali disebutkan dalam sumber-sumber prasasti sejak masa Dyah Balitung sampai Airlangga. Sejak akhir abad ke-10, terjalin hubungan dagang yang begitu erat antara Cina dengan Champa dan Khmer sehingga banyak kapal dagang Muslim dari Cina yang berlabuh di pelabuhan kedua negeri tersebut.70 Di samping itu, penelitian Hall tentang kapal karam membuktikan adanya mobilitas barang dan pedagang yang berangkat dari pelabuhan di pantai utara Jawa ke pelabuhan Sriwijaya atau sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dagang yang terjalin adalah interaksi timbal balik yang sama-sama aktif di kedua pihak. Dengan cara ini produk Jawa bagian timur dapat masuk ke Cina, sedangkan porselen dan sutra dapat diperdagangkan di Jawa.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 30 Penyebutan jenis-jenis rempah dalam kitab pengobatan India dan Cina menunjukkan besarnya kebutuhan terhadap produk tersebut untuk keperluan pengobatan. Selain komoditas rempah, kedatangan orangorang asing ke Jawa bagian timur adalah berkaitan dengan pencarian terhadap komoditas-komoditas berbau harum seperti cendana, gaharu, dan kemenyan. Jawa bagian timur terletak di tengah jalur pelayaran yang menghubungkan bandar dagang internasional di Sriwijaya dan kawasan produksi rempah, khususnya pala dan cengkih di Kepulauan Timur. Pasca ekspansi Chola ke Sriwijaya, para pelaut dan saudagar lebih leluasa mengunjungi Jawa bagian timur yang berfungsi sebagai tempat pengumpulan rempah dari Kepulauan Timur. Penyebutan bangsa-bangsa asing dalam sumber prasasti dan keluputan orang-orang Cina dalam mencatat daerah asal rempah-rempah mengindikasikan bahwa mereka tidak memperolehnya dari tempat aslinya, tetapi telah melalui perantara. Distribusi produk rempah dari Kepulauan Timur terjadi secara dua arah. Bisa jadi kapal-kapal dagang dari Jawa berlayar ke Kepulauan Timur dengan membawa beras, sedangkan ketika kembali mereka mengangkut cengkih dan pala untuk diperdagangan kembali di Jawa bagian timur atau didistribusikan bandar dagang internasional Sriwijaya. Dalam kasus lain, para pedagang dari Kepulauan Timur yang berlayar ke Jawa dengan membawa produk unggulan, kemudian ketika pulang mereka mengangkut beras yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.Fenomena ini tergambar dalam Prasasti Kamalagyan, yang menceritakan aktivitas nahkoda dan saudagar dari kepulauan sekitar yag hilir-mudik menyusuri sungai untuk mengambil barang dagangan. Merujuk pada Prasasti Dinoyo, komoditas asing berupa kayu cendana telah digunakan di Jawa bagian timur setidaknya pada awal sampai pertengahan abad ke-8 Masehi. Saat itu, Arca Kalasaja yang dibuat oleh leluhur Raja Gajayana dari kayu cendana sudah rusak dan tidak mungkin digunakan kembali. Mengetahui hal tersebut, beliau kemudian memerintahkan pemahat untuk membuat arca yang sama dari batu hitam yang indah.71 Dalam literatur Cina, cendana bersama dengan gaharu merupakan produk Nusantara yang diperdagangkan secara global pada awal periode F. Catatan tentang Komoditas Perdagangan Global di Jawa Bagian Timur 71 Poerbatjaraka, Agastya in den Archipel (Leinden: E. J. Brill, 1926), hlm. 52-54.
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 31 perdagangan dengan India. Sebab, kualitasnya rendah, gaharu asal Nusantara tidak pernah menjadi komoditas yang terkenal dari Nusantara, tetapi cendana. Para pedagang membawa cendana dari Nusa Tenggara dengan kapal-kapal dagang mereka untuk didistribusikan ke Jawa dan Sumatra sebelum pada akhirnya dikirim ke India. O. W. Wolters lebih antalum album L.) di peroleh dari Jawa bagian timur.72 Berabad-abad setelah peresmian Prasasti Dinoyo, tidak banyak informasi tentang komoditas perdagangan global yang dapat ditemukan di sumber-sumber lokal. Komoditas perdagangan muncul kembali dalam naskah-naskah kakawin yang digubah pasca perpindahan pusat kekuasaan Mataram dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur. Zoetmulder mengatakan kakawin dapat menjadi penuntun bagi para pembaca untuk memahami kondisi kehidupan masa Jawa Kuno yang menjadi latar belakang lahirnya karya tersebut.73 Sebagaimana tercantum dalam naskah Agastyaparwa yang digubah pada abad ke-10, dupa dan cendana adalah dua bahan penting yang dalam upacara keagamaan.74 Penggunaan bahanbahan harum ketika pelaksanaan upacara keagamaan terdokumentasikan Delta Brantas pada abad ke-10 melakukan persembahyangan di bangunan dan menyalakan . 75 sebagai serbuk berbau harum mungkin kemenyan, getah damar atau damar itu sendiri.76 Kemenyan dihasilkan oleh getah pohon Styrax benzoin yang tumbuh di Sumatra di sekitar khatulistiwa, tetapi tidak sampai ujung pulau tersebut. 72 O. W. Wolters, (Depok: Komunitas Bambu, 2017), hlm. 63 & 248. 73 P. J. Zoetmulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 239. 74 J. Gonda, “Agastyaparwa een Oud-Javaansch Prozageschrift” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 90 No. 1 (1933), hlm. 357. Zoetmulder mengidentifikasi bahwa dupa terbuat dari bahan kemenyan atau getah damar. P. J. Zoetmulder (b), Kamus Jawa Kuna Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 236. 75 ) yang sebagian besar berada di wilayah Delta Brantas. J. L. A. Brandes, Oorkonden Negelaten Transcripties (Batavia: Albrecht & Co.,1913), hlm. 243-247; Van Stein Callenfels, “Stukken Betrekking Hebbend op Oud-Javaansche Opschriften in de Bibliotheque National te Parijs” dalam Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Oudheidkundig Verslag 1924 (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1925), hlm. 25-28. 76 P. J. Zoetmulder (b), op cit., hlm. 236.
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 32 77 Andri Setyo Nugroho, op cit., hlm. 109-110. 78 Friedrich A. Fluckiger & Daniel Hanbury, Pharmacographia: A History of the Principal Drugs of Vegetable Origin Second Edition (London: Macmillan and Co., 1879), hlm. 405. 79 Roderich Ptak, “China and the Trade in Cloves, Circa 960-1435” Journal of the American Oriental Society Vol. 113 No. 1 (1993), hlm. 7. 80 Manuel Komroff, (Newyork: Garden City Publishing Co., Inc., 1953), hlm. 272. 81 (kapur) dapat digunakan sebagai obat untuk meredakan pilek. Peter Worsley, S. Supomo, Thomas M. Hunter, Margaret Fletcher (ed.), (Leiden: Boston, 2013), hlm. 224. Pelabuhan Sriwijaya menjadi bandar ekspor komoditas kemenyan, sedangkan Sumatra bagian utara (Tapanuli) merupakan sumber produksi, diikuti Palembang dan ujung barat Jawa.77 Orang-orang India dan Timur Tengah menggunakan asap kemenyan sebagai pengharum rumah atau tempat ibadah. Di Jawa, kemenyan sering kali digunakan sebagai salah satu sarana ketika melakukan peribadatan. Begitu maraknya penggunaan kemenyan di Jawa, orang-orang Arab yang datang sering kali menjuluki Styrax benzoin sebagai (kemenyan Jawa).78 Jaringan perdagangan mendorong terjadinya pertukaran komoditas perdagangan antarwilayah. Sayangnya, tidak banyak sumber informasi dari Jawa yang menceritakan cengkih dan pala, sebagaimana data tekstual menyebut tentang cendana dan gaharu. Dalam catatan Dinasti Song, tahun 992 terdapat utusan dari Jawa yang mempersembahkan barangbarang mewah termasuk cengkih kepada Kisar Cina. Meskipun dikenal sebagai tempat re-export komoditas-komoditas dari Kepulauan Timur, jumlah cengkih yang diekspor dari Jawa ke Cina sangat kecil, yaitu sekitar 10 chin, sementara Champa 50 chin pada 986 dan Sriwijaya 30 chin pada 1017.79 Sampai dengan abad ke-12 dan ke-13, orang-orang asing sering kali terkecoh dengan banyaknya volume rempah di Jawa bagian timur sehingga mereka mencatat sebagai produksi wilayah ini. Marco Polo dalam catatan perjalanannya menyusuri Jalur Sutra mencatat lada, pala, spikenard, lengkuas, kemukus, cengkih, dan berbagai macam rempah obat-obatan diproduksi di Jawa bagian timur.80 Senada dengan Marco Polo, Cina pun juga menulis hal demikian yang mengindikasikan bahwa orang-orang asing selama ini tidak memperoleh komoditas rempah langsung di sumbernya, tetapi dari Jawa bagian timur. Rempah pada awalnya diperdagangkan sebagai obat-obatan.81 Kapur barus bermanfaat untuk mengatasi masalah bau mulut. Para biksu terbiasa memakan pinang dan pala yang dicampur dengan cengkeh dan kapur barus
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 33 82 Shinta Lee, dkk.(Penerjemah), Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Cina Selatan (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), hlm. 157. 83 Stuart O. Robson, The Marriage of Arjuna of Mpu Kanwa (Leiden: Koninklijk Institute voor Taal, Land, -en Volkenkunde, 2008), hlm. 52 & 168. 84 R. A. Donkin, Dragon’s Brain Perfume: An Historical Geograaphy of Camphor (Leiden: Brill, 1999), hlm. 209-211. 85 Soewito Santoso, Ramayana Kakawin Volume 3 (New Delhi: Hauzkhas Enclave, 1980), hlm. 618. 86 Paul Wheatley, op cit., hlm. 32. 87 W. P. Groeneveldt, op cit., hlm. 20. 88 Paul Wheatley, op cit., hlm. 101. sehingga mulutnya menjadi harum, serta dapat menghilangkan lendir.82 Dalam Kakawin Arjunawiwaha, kapur barus tidak hanya digunakan sebagai pengharum mulut, tetapi juga parfum pakaian.83 Di sisi lain, naskah pengobatan India tidak banyak menyebutkan penggunaan kapur barus sehingga hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut selain berkhasiat juga merupakan barang langka dan bernilai mahal.84 Aroma kapur barus bersama dengan bahan harum lainnya seperti gaharu, getah damar, kemenyan, dan kemukus dianggap membawa kebaikan dan termasuk kemurahan hati dari para dewa.85 Sumber berita Cina Dinasti Song mencatat komoditas penting yang datang dari Jawa bagian timur antara lain cendana, lada, getah kemenyan, kapulaga, damar, lak, kapur barus, jahe, kemukus, kayu secang, dan kayu laka.86 Groeneveldt menyarankan agar tidak serta-merta mempercayai sepenuhnya catatan orang-orang Cina tentang daerah asal komoditas rempah.87 Kapur barus berasal dari Barus, dihasilkan oleh getah dari beberapa tumbuhan, yaitu Dryobalanops aromatica dan Cinnamomun zeylanicum. Keluputan ini dapat menjadi petunjuk besarnya volume komoditas-komoditas asal Kepulauan Timur yang tersedia di Jawa bagian timur. Paul Wheatley mengoreksi keterangan dari berita Cina bahwa Jawa bukanlah sumber produksi barang-barang tersebut, melainkan hanya tempat penyimpanan.88 Kendati keberadaan rempah-rempah di Jawa bagian timur telah tercatat dalam sumber tekstual sejak abad ke-8, aktivitas perdagangan rempah baru dibicarakan dalam sumber prasasti pada abad ke-11. Ada beberapa rempah yang dihasilkan di Jawa bagian timur dan telah mencapai pasaran global yaitu merica, kacang, adas, , dan mengkudu.89 Komoditas beraroma dan bercita rasa kuat seperti lada pada awalnya merupakan tanaman yang berasal dari Asia Selatan. Orang-orang India mengenalnya sebagai
PERAN JAWA (BAGIAN) TIMUR DALAM JARINGAN JALUR REMPAH Sejak Periode Kuno sampai Abad ke-18 34 89 W. F. Stutterheim, “Transcriptie van een Defecte Oorkonde op Bronzen Platen uit het Malangsche” dalam Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Oudheidkundig Verslag 1928 (Weltevreden: Albrecht & Co., 1929), hlm. 107. 90 B. Laufer, “Vidanga and Cubebs” T’oung Pao Second Series Vol. 16 No. 2 (1915), hlm. 283. 91 Koninklijk Bataviaasch Genootschap, Oudheidkundig Verslag 1918 (Weltevreden: Albrecht & Co., 1919), hlm. 176. 92 Paul Wheatley, op cit., hlm. 100. 93 Dalam naskah Sri Tanjung, disebutkan beberapa jenis masakan yang dihidangkan untuk tamu yaitu pindang ( ), sayur-sayuran yang direbus (janan kulub) dipadukan dengan sambal jahe ( ), sate ( ), kare ( ), daging merpati yang dibalur bumbu ( ), dan olahan berbahan hati ( ). Prijono, (‘s Gravenhage: N. V. Nederlandsche Boek en Steendrukkerij v. h. H. L. Smits, 1938), hlm. 4. (Embelia ribes Embelia robusta) yang dijemur di bawah sinar matahari sehingga berwarna coklat gelap, para pedagang seringkali mencampurkan kedua komoditas tersebut.90 Tingginya minat pasar global terhadap rempah turut berdampak pada meningkatnya permintaan komoditas rempah yang diproduksi di Jawa bagian timur, antara lain (lada/ Piper nigrum L.), cabe (cabe jawa/ Piper retrofractum Vahl), kumukus (kemukus/ Piper cubeba L.), kapulaga (kapulaga/ Amomum compactum), kapas. 91 Lada dengan kualitas terbaik dihasilkan oleh Sunda dan Sriwijaya, kemudian dibawahnya adalah produk yang datang dari Tuban (Ta-pan—dalam teks lain disebut Jung-ya-lu) dan Patjiran.92 Masyarakat Jawa Kuno mencampurkan berbagai macam rempah dalam setiap masakan, terutama yang disajikan ketika acara besar.93 Saat pelaksanaan upacara penetapan tanah , terdapat banyak makanan yang sengaja dihidangkan untuk para tamu, antara lain olahan berbahan dasar daging (kambing, kerbau, kijang, ayam), dendeng, telur, dan ulam. Beberapa rempah yang tersebut dalam sumber naskah dan sering digunakan sebagai bumbu adalah bawang merah (jasun), bawang putih ( / jasun putih), lengkuas (laja), kencur ( ), dan ketumbar (tumbara). Perdagangan global dan hubungan antarbangsa tidak hanya menyebabkan pertukaran komoditas, tetapi juga teknik produksi atau pengolahan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai barang konsumsi. Orangorang dari India dan Cina memegang peran penting dalam proses tersebut. Bawang (Crinum asiaticum), ketumbar ( ), jinten (Cuminum cyminum), dan jahe ( ) adalah tanamantanaman dari India yang tumbuh di Jawa seiring dengan perdagangan global. Sementara itu, interaksi dengan Cina turut membawa tanaman
BAB II Rempah Pada Masa Kerajaan Kahuripan 35 94 Fadly Rahman, Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 19. 95 Wolters menempatkan Tan-tan terletak di perbatasan antara Jawa bagian tengah dengan Jawa bagian timur. O. W. Wolters, op cit., hlm. 248. 96 Trigangga, Tiga Prasasti Batu Jaman Raja Sindok (Jakarta: Museum Nasional Indonesia, 2003), hlm. 39. 97 Chau Ju-Kua, “Chu-fan-chi” dalam Friederich Hirth & W. W. Rockhill (Penerjemah), Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuris, Entitled Chu-fan-chi (Taiwa: Literature House, Ltd., 1965), hlm. 78. 98 Siti Maziyah, “Nama Menunjukkan Asal: Studi Kasus Nama Jenis Kain pada Prasasti dan Susastra Berbahasa Jawa Kuno” dalam Tjahjono Prasodjo & D. S. Nugrahani (ed.), Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna (Yogyakarta: Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2019), hlm. 191-194. bawang putih ( ) dan kedelai (Glycine soja).94 Tidak begitu jelas sejak kapan tanaman-tanaman tersebut sampai di Jawa, tetapi dalam catatan perjalanan I-Tsing, bawang putih dan bawang merah beserta kayu cendana putih, kayu sapan, serta lobak tertulis sebagai hasil bumi Tantan. 95 Interaksi antarbangsa akibat perdagangan global telah mendorong terjadinya pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan. Prasasti-prasasti sejak abad ke-10 menyebutkan penduduk yang berprofesi sebagai pabisar, berarti pemetik daun murbei. Trigangga menjabarkan istilah pabisar identik dengan orang-orang yang mengambil daun murbei untuk makanan ulat sutra. Dengan kata lain pabisar adalah pembuat kain sutra.96 Selain beternak ulat dan membuat kain sutra, penduduk juga memproduksi jenis kain lain yaitu sutra brokat dan damask.97 Kain lokal yang diproduksi di Jawa harus bersaing dengan tekstil buatan asing. Maraknya perdagangan global menyebabkan Jawa bagian timur dibanjiri dengan kain-kain buatan asing. Beberapa jenis kain buatan asing yang tercatat dalam data tekstual, antara lain wdihan buat waitan (kain buatan timur), randi (sutra dari Cina atau Siam), bot lor (kain buatan utara/ Cina), (katun halus atau kain produksi Melayu), (muslin), (produksi India), jamanika (dariIndia), kambala (kain wol), kujyarata (kain dari Gujarat), dan mañjeti (kain merah berkilau).98