Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
- Proses pencerahan tersebut didasarkan pada analisis scientific-based yang
menjadi ciri LSM konservasi, sehingga proses fasilitasi maupun pendampingan
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan ilmiah- atas dasar
ilmu sekolahan. Hal ini dilakukan dengan tanpa meninggalkan sumber-sumber
kebenaran yang berasal atau digali dari intelektual organik yang mendapatkan
ilmunya dari praktik langsung hidup bersama alam secara harmonis dan telah
berlangsung lama.
- Fokus pendampingan dapat dilakukan dalam tataran kebijakan, proses
pengambilan keputusan-keputusan pembangunan yang mempertimbangkan
kepentingan konservasi di satu sisi, lebih rasional, aspiratif, dan kepentingan
pembangunan kesejahteraan masyarakat di sisi yang lain. Bahkan
pendampingan juga dapat dilakukan secara konkret di tingkat lapangan; dengan
contoh-contoh upaya konservasi yang nyata dan membumi, bukan hanya teori
saja.
- Level pendampingan dapat dilakukan multi-layer approach, tergantung pada
kondisi dan situasi spesifik setempat; mulai dari tingkat akar rumput,
kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, dan global. Pendampingan akan
berhasil apabila pemerintah melakukan reposisi perannya untuk lebih bersikap
'tut wuri handayani', mendorong tumbuhnya dialog dan kesepahaman yang
sehat dan mencerdaskan.
- Cara melakukan pendampingan sejauh mungkin dilakukan dengan pola
partnership multi pihak dengan berpegang pada prinsip-prinsip saling
menghormati, saling menghargai, dan saling menguntungkan dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Agenda kemitraan ini merupakan salah satu hal yang
sangat strategis harus dimulai bersama-sama antara pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat, maupun langsung dengan masyarakat itu sendiri.
- Dalam pendampingan dapat sekaligus dilakukan dengan cara uji coba proyek-
proyek skala kecil atas dasar perencanaan bersama stakeholder. Proses dipantau
dan hasilnya dievaluasi secara bersama yang diharapkan akan bermanfaat untuk
proses pembelajaran multi pihak agar mampu saling menguatkan dan
mencerahkan. Keberhasilan skala kecil kemudian perlu didesiminasi melalui
jaringan kerja multi layer. Pola-pola shared-learning yang seperti ini yang mulai
dikembangkan oleh PILI dan CIFOR beberapa waktu lalu dan mendapatkan
sambutan yang sangat positif dari banyak pihak.
- Mengembangkan konsep-konsep baru strategi pendanaan konservasi melalui
trust-fund konservasi, baik di skala nasional maupun propinsi, atau
pengembangan inisiatif- inisiatif baru pendanaan konservasi melalui lobi
intemasional untuk menjamin ketersediaan pendanaan konservasi jangka
panjang. Ide-ide pengembangan kabupaten konservasi atau provinsi konservasi
sebaiknya didasarkan pada pemikiran-pemikiran tersebut di atas. Kebijakan
nasional harus memberikan suasana yang kondusif untuk berkembangnya
inisiatif di berbagai kabupaten/provinsi yang nyata-nyata mulai ada yang
berpihak konservasi.
443
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
- Pengembangan sistim reward and punishment bagi pelaku konservasi baik di
pemerintah maupun di LSM merupakan hal yang sangat penting untuk segera
dilakukan. Khususnya bagi pemerintah, insentif yang jelas dan transparan akan
memacu pelaku-pelaku konservasi di Balai Taman Nasional maupun di Balai
Konservasi Sumber daya Alam untuk melakukan yang terbaik di bidang
tugasnya. Di tingkat LSM, pola inipun semestinya juga dilakukan, sehingga
diharapkan akan mengkristal menjadi butir-butir ‘kode etik’ pelaku konservasi
yang semoga suatu saat dapat diberlakukan di seluruh Indonesia.
- Khusus bagi pemerintah, investasi pada pengembangan sumber daya manusia
konservasi perlu dilakukan dengan lebih terstruktur dan terbuka, mulai dari
proses recruitment, pembinaan, serta pola karier yang jelas. Inisiatif “Magang di
Kawasan Konservasi” bagi 200 calon pegawai negeri sipil Departemen
Kehutanan pada tahun 2004-2005, merupakan awal yang baik. Setelah magang,
biasanya mereka mendapatkan pengalaman spiritual dan teknis betapa
rumitnya mengelola hutan-hutan di kawasan konservasi. Ini bekal dan
pengalaman penting bagi masa depan mereka.
- Konservasi merupakan pertarungan perebutan ruang publik dalam jangka
panjang. Tantangan akan selalu berubah sesuai dengan dinamika perkembangan
politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan di berbagai tingkatan. Oleh karena itu,
perlu dibangun strategi pendanaan konservasi yang melibatkan berbagai
kepentingan baik pemerintah maupun LSM. Pendanaan harusnya dibangun
bukan saja pada tataran nasional maupun global, tetapi perlu dibangun
mekanisme pengumpulan pendanaan yang mandiri dan bersifat lokal, dan
dikelola oleh stakeholder setempat. Ketergantungan pada pendanaan nasional
dan bahkan pada tataran global sering kali menjadi jebakan konservasi, yang
membuat masyarakat manja dan bergantung pada pendanaan dari luar. Hal
yang tidak sehat dan telah kita buktikan bersama dari kasus-kasus proyek
konservasi yang didanai oleh World Bank dan Asian Development Bank (ADB)
di Indonesia. Large-scale and high cost investment di konservasi haruslah sudah
ditinggalkan, karena terbukti tidak berhasil dan menimbulkan efek
ketergantungan sekaligus penolakan yang tinggi.***
Tulisan ini dimuat pada Jejak Leuser Vol 2. Nomor 5 Tahun 2006
444
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
Tantangan Melakukan Kolaborasi
Oleh banyak pejabat Ditjen PHKA diakui bahwa dana pemerintah dalam
membangun kawasan-kawasan konservasi semakin terbatas. Sementara itu,
persoalan pengelolaan kawasan konservasi semakin kompleks dan rumit.
Perubahan tata guna lahan 30 tahun misalnya telah membuat kawasan-kawasan
konservasi dikepung oleh perkebunan skala besar (sawit) dan skala kecil (karet,
kopi), serta perambahan oleh masyarakat untuk kepentingan jangka pendek. Citra
Landsat Pulau Sumatera 2006, menunjukkan kawasan-kawasan hutan alam yang
masih tersisa tinggal di kawasan-kawasan konservasi. Perubahan-perubahan ini
termasuk kebijakan khususnya selama otonomi daerah sejak 1998, telah pula
merubah pola-pola pengelolaan kawasan konservasi. Dengan keadaan yang
demikian akan semakin berat untuk hanya bekerja sendiri tanpa mitra. Walaupun
sudah agak terlambat, dengan diterbitkannya Permenhut P.19 tentang Kolaborasi
merupakan suatu langkah awal yang cukup strategis. Yang kita perlukan
jawabannya adalah apakah para pengelola kawasan konservasi sudah mulai
berubah mindset-nya? Beberapa pemikiran tentang kolaborasi, oleh karenanya,
akan diulas pada tulisan berikut ini.
Definisi yang cukup bagus dari “kolaborasi” adalah sebagai berikut, “Suatu
hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dalam mencapai tujuan bersama
dengan saling memberikan tanggung jawab, otoritas, dan tanggung gugat untuk
mencapai hasil”. Dengan demikian kolaborasi bukan sekedar bekerja sama atau
sama-sama bekerja, tetapi di dalamnya terkandung common vision atau tujuan
bersama. Hal ini dapat dilakukan melalui proses shared vision, yang dalam
praktiknya tidak mudah dilakukan. Tujuan tersebut juga saling menguntungkan
bagi para pihak yang bekerja sama. Dalam konteks kerja sama tersebut harus ada
kejelasan pembagian tanggung jawab, kewenangan, dan tanggung gugat.
Dalam pembangunan dan pengembangan organisasi, maka kolaborasi
menjadi satu langkah yang sangat strategis, khususnya untuk membangun “Visi
Bersama”. Banyak organisasi yang secara internal menghadapi perbedaan
pendapat, pandangan, prioritas, ukuran keberhasilan, dan bahkan ke mana
organisasi harus dibawa. Kolaborasi ini hanya bisa dibangun melalui proses kerja
sama yang menumbuhkan kepercayaan (trust) atau sebaliknya, dengan adanya
trust, maka kerja sama akan meningkat dan selanjutnya menumbuhkembangkan
tingkat-tingkat kepercayaan yang semakin tinggi. Grafik di bawah menunjukkan
445
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
hasil resultan antara semakin tingginya kerja sama dengan semakin dalamnya
tingkat kepercayaan.
Pada grafik di atas dapat dilihat, pada tahap awal, dimana tingkat
kerjasama rendah dan rendahnya tingkat kepercayaan akan membuahkan situasi
defensif (atau seringkali disebut sebagai situasi “menang”- “kalah” atau “kalah”-
“menang”). Pada tahapan berikutnya ketika situasi kerja sama membaik dan mulai
menumbuhkan rasa saling kepercayaan yang semakin membaik akan mengarah
pada tumbuhnya rasa saling percaya, saling menghormati, dan saling menghargai.
Networking
Di samping kolaborasi dalam rangka membangun kemitraan, suatu mekanisme
yang lebih luas adalah dengan membangun jaringan atau network,. Network dalam
konteks konservasi alam dan lingkungan mungkin memang belum didefinisikan
secara konkrit. Apalagi, bila network itu merupakan multilevel stakeholders, seperti
antara Pemerintah –NGO - Masyarakat, sampai kini pun masih dalam tahapan trial
and error, dan dalam tahapan mencari identitas bersama. Merupakan suatu yang
tidak pernah terbayangkan dapat terjadi di masa lalu. Jaringan ini dapat dipakai
sebagai kendaraan oleh organisasi dalam melaksanakan kegiatan- kegiatan yang
telah disepakati dalam rencana strategis yang telah disusun bersama.
Namun demikian, kita perlu mulai mendefinisikan apa yang disebut
network itu. Dalam konteks konservasi alam dan lingkungan, network didefinisikan
sebagai berikut: “Sistim kolaborasi multi-level stakeholder yang didasarkan pada
kesamaan titik pandang tentang tujuan bersama yang hendak dicapai dan cara
mencapainya, atas dasar kesadaran kolektif, dengan bertumpu pada semangat
kebersamaan, saling pengertian, kesetaraan peran, saling menghormati dan
menghargai, serta kemanfaatan bersama”.
a. Mengapa Network
446
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
Banyak alasan kita perlu mulai membangun network, terutama mereka yang
bergerak di bidang konservasi alam dan lingkungan. Beberapa latar belakang dan
alasan dapat dikemukakan sebagai berikut;
Terbukti bahwa di masa lalu, upaya konservasi alam dan penyelamatan
lingkungan gagal dilakukan secara parsial oleh pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah kompleksitas
permasalahan konservasi alam, dan segala keterbatasan (sumber daya
manusia, teknis, dana, sistim perencanaan, sistim kerja, komitmen) lembaga
pemerintah yang ditugasi pengelola sumber daya alam. Akibat dari kegagalan
itu, masyarakat yang paling dekat dengan sumber daya alam itulah yang
pertama menanggung akibatnya (banjir, tanah longsor, pencemaran air, tanah,
eksplosi hama dan penyakit), selain juga ditanggung oleh masyarakat luas baik
nasional maupun internasional (punahnya berbagai spesies satwa liar yang
dilindungi, habitat alami yang rusak dan tidak bisa dipulihkan, dan
sebagainya);
Pemerintah di masa lalu sering meragukan kemampuan masyarakat akan
upaya konservasi alam dan perlindungan lingkungan hidup. Dari sebagian
besar pemenang Kalpataru adalah para individu anggota masyarakat biasa;
seringkali korelasi antara tingkat pendidikan dengan kesadaran lingkungan
tidak selalu linear;
Permasalahan konservasi alam dan lingkungan terlalu kompleks untuk
ditangani secara parsial, baik di tingkat bawah maupun di level advokasi.
Penanganan di tataran policy maupun di level lapangan perlu melibatkan
multidisipliner dan multi-level stakeholders. Pengalaman melakukan sistim kerja
seperti ini belum pernah dilakukan oleh pihak pemerintah, namun pada skala
tertentu telah dimulai justru dari lembaga swadaya masyarakat;
Dengan menggunakan kendaraan bemama network, maka dapat mulai
dibangun kesadaran kolektif yang nantinya diarahkan pada membangun
agenda bersama yang menjadi komitmen untuk collective actions. Yang
diharapkan adalah terbangunnya sinergi antar stakeholder dalam menyelesaikan
masalah maupun mengembangkan potensi-potensi yang ada untuk
kesejahteraan masyarakat di level akar rumput;
Secara tidak langsung, proses pencerahan atau enlightment dapat dilakukan di
dalam simpul-simpul network. Hal ini Dapat dilakukan karena keran
komunikasi asertif dikembangkan oleh fasilitator dalam network. Pencerahan
perlu dilakukan karena dalam menangani isu-isu lingkungan banyak terjadi
distorsi informasi, manipulasi informasi, sehingga masyarakat secara perlahan
mengalami proses pembodohan, tidak pernah memperoleh informasi yang
benar dari pihak-pihak yang berkompeten. Dengan demikian proses
“penyuluhan yang mencerahkan” secara terus menerus berlangsung di dalam
network, dalam rangka membangun tingkat kesadaran baru dengan tata nilai
baru, yang merupakan awal dari tahapan “tangga koneksi”, untuk menuju
pada tingkatan “komitmen”.
Dalam perspektif ekonomi, dengan keberhasilan membangun network, maka
biaya dan waktu akan dialokasikan sangat efektif dan efisien. Namun
447
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
demikian, diperlukan komitmen dan semangat yang tinggi dalam memulai
membangunnya. Demikian juga, diperlukan waktu yang cukup lama agar
proses interaksi dan komunikasi asertif itu berlangsung.
b. Langkah Membangun Network
Dalam membangun network, dapat ditempuh berbagai cara dan tahapan.
Pengalaman membangun network konservasi alam di Yogyakarta, selama hampir
satu tahun, memberikan beberapa pelajaran yang sangat berharga. Tahapan yang
dapat dipertimbangkan untuk dilalui adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi Simpul Network
Yang dimaksud dengan simpul sebenarnya adalah para stakeholder itu. Identifikasi
dapat dilakukan secara internal oleh organisasi di mana kita bekerja. Data dan
informasi sekunder akan sangat membantu pada tahapan awal ini. Data dan
informasi sekunder dapat diperoleh dari beberapa stakeholder yang telah dikenal,
baik melalui forum formal maupun informal. Dari daftar stakeholder itu, maka mulai
dilakukan sortir untuk mengelompokkan ke dalam beberapa kelompok,
berdasarkan minat dan pengalaman. Dapat pula berdasarkan level
kepentingannya, misalnya ada yang aktif di grass-root, ada yang membatasi diri di
tingkat advokasi, ada yang keduanya.
Pengelompokan awal mi kemudian dilakukan pendalaman dengan cara
membangun dialog awal dengan mereka. Pengalaman menunjukkan bahwa dialog
tidak mudah. Kita hanya bisa membangun komunikasi setelah beberapa kali
pertemuan. Seminar, lokakarya, diskusi-diskusi perlu diikuti karena pada forum-
forum seperti itu kita dapat mencatat banyak hal dari calon simpul dari network
yang akan kita bangun. Terkadang banyak terjadi bahwa figur NGO maupun
pecinta alam sangat tergantung pada pimpinannya. Kesulitan kadang timbul
karena interest yang sangat beragam dan berubah-ubah, sehingga kita sulit
mengelompokkannya. Modal awal untuk mendapatkan informasi adalah hanya
mendengarkan (listening skill). Namun hal ini sering sulit, karena secara tidak sadar
kita ingin menunjukkan eksistensi kita di forum dengan banyak bicara. Penyakit
lama birokrat adalah dalam hal-hal seperti ini.
Hasil pengelompokan ini penting dalam hubungannya dengan
kemungkinan kita akan masukan mereka pada simpul primer dalam network yang
akan dibangun itu. Simpul-simpul mana yang sekiranya cukup strategis dalam
mendukung gagasan kita itu. Sangat sering terjadi, hasil interpretasi kita ternyata
tidak benar dan harus dikoreksi ulang. Diperlukan kemampuan melakukan banyak
dinamika, review, dan seterusnya sampai kita menemukan simpul-simpul yang
sudah cukup mengkristal dan berperan strategis.
2. Membangun Komunikasi Asertif Antar Simpul
Setelah melakukan identifikasi simpul-simpul mana yang potensial dan strategis
untuk bersama-sama membangun network, langkah selanjutnya adalah mencoba
mengetahui lebih dalam tentang kiprah dan potensi-potensi yang dimiliki masing-
masing simpul. Melalui komunikasi yang asertif, yang saling menghargai dan
mendorong berkembangnya dialog yang setara dan mendalam, maka potensi dan
448
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
pokok perhatian masing-masing simpul itu akan terdata. Komunikasi dapat
dikembangkan melalui forum-forum dialog bulanan atau berdasarkan topik-topik.
Tidak selalu pihak pemerintah yang mengundang. Setiap kesempatan di mana
berbagai simpul berkumpul, kita dapat secara tidak langsung melakukan
identifikasi, pendekatan, dan dialog secara terbuka tetapi intens dengan beberapa
simpul yang potensial. Dalam mengembangkan dialog asertif itu, diperlukan
kemampuan komunikasi dalam hal listening skill, dan yang lebih penting adalah
membangun iklim dialog yang kondusif untuk tumbuhnya saling percaya atau
trust building. Membangun kepercayaan ini merupakan modal awal
berkembangnya hubungan yang lebih mendalam. Tanpa adanya kepercayaan dan
frekuensi komunikasi yang tinggi, maka tidak akan pernah tercapai situasi menang-
menang.
Kesadaran Kolektif
Melalui komunikasi yang asertif dan penuh dengan empati, akan dibangun suatu
kesadaran kolektif, yaitu kumpulan dari kesadaran-kesadaran individu, kelompok,
atau institusi sebagai hasil dari komunikasi asertif tersebut, yang telah
berakumulasi dan mengkristal. Kesadaran kolektif adalah kesadaran bersama dari
berbagai komponen masyarakat di berbagai level. Kesadaran tentang apa? Yaitu
kesadaran tentang kerusakan lingkungan hidup, kerusakan kawasan- kawasan
konservasi, kesadaran tentang perlunya usaha bersama dalam mengatasinya,
kesadaran bahwa bila dilakukan secara parsial terbukti tidak akan membawa
manfaat yang substansial dan cukup signifikan.
Kesadaran kolektif ini merupakan awal dari berkembangnya suatu
collective actions, suatu gerakan bersama yang tentunya akan memberikan dampak
yang sering luar biasa dan dampak bergandanya juga sering tidak terduga.
Kesadaran kolektif ini juga dipicu dan didorong oleh suatu fakta bahwa di mana-
mana ternyata banyak orang yang merasakan hal yang sama, dan melakukan hal
yang sama pula, tetapi belum ada sinergi, dan efek dari usaha-usaha yang parsial
itu, sangat kecil. Sehingga, di sana-sini mulai timbul kekecewaan. Banyak dicetak
sarjana, pasca sarjana, doktor; banyak dibangun pusat-pusat studi, namun juga
diketahui tidak ada relevansinya dengan peningkatan kesadaran masyarakat,
perbaikan kualitas lingkungan hidup dan konservasi alam.
Sinergi
Salah satu hasil dari proses kolaborasi dan networking tersebut adalah sinergi.
Sinergi adalah suatu keadaan dimana secara keseluruhan lebih besar daripada
jumlah bagian- bagian penyusunnya. Sinergi merupakan intixsari dari
kepemimpinan yang berpusat pada prinsip. Ia juga merupakan jalan tengah atau
jalan yang lebih tinggi, seperti puncak dari sebuah segitiga. Perbedaan merupakan
inti sari dari apa yang disebut sebagai “sinergi”.
Ternyata, sinergi merupakan situasi menang-menang. Dalam konsepsi
tingkatan komunikasi seperti yang disajikan dalam gambar di atas tadi, posisi
“sinergi” menduduki peringkat paling atas. Sinergi ini merupakan suatu keadaan
yang ditimbulkan dari resultante tingginya tingkatan kerja sama (saya lebih
449
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
menyukai “tingkatan kolaborasi”) yang secara bertahap meningkatkan
kepercayaan atau trust.
Dalam pengembangan organisasi, shared vision hanya bisa dibangun
apabila pemimpin dalam organisasi itu mampu mendorong tumbuhnya kerja sama
di antara komponen dalam organisasi itu atau dengan pihak luar sehingga minimal
dapat menumbuhkan situasi saling percaya. Tetapi fakta menunjukkan tidak
mudah membangun situasi yang seperti itu. Diperlukan seorang yang memiliki
kapasitas leadership yang cukup untuk dapat melakukannya.
Tantangan Kolaborasi
Secara teoritis, membangun kolaborasi dan jaringan seakan- akan mudah. Namun
dalam kenyataannya, banyak sekali hambatan dan tantangan yang harus diatasi.
Pertama, sering kali tahapan membangun kolaborasi tidak dilakukan dengan
benar. Mitra menyusun proposal untuk suatu proyek tertentu tanpa melakukan
cukup konsultasi dengan pengelola kawasan konservasi. Ketika proposal telah
didanai dan baru dilakukan pertemuan dengan pengelola kawasan konservasi,
terjadi perbedaan pandangan atau prioritas investasi.
Dalam kasus di atas, common vision atau common goal tidak dibangun
bersama, dan kemudian pihak pengelola kawasan seolah-olah ditodong untuk
bekerja sama. Akibat lanjutan dari pola ini, tentu saja dukungan menjadi sangat
minimal. Pengelola enggan mengalokasikan pendanaan sebagai dana pendamping.
Ketika mitra kehabisan dana, kegiatan yang mungkin sangat bagus akan berhenti
sama sekali atau stagnan. Apabila sejak awal sudah dibangun kesepahaman, maka
dana dan staf dapat dialokasikan secara bertahap, sehingga terjadi transfer of
knowledge and skill dari mitra ke pengelolaan kawasan. Ketika mitra telah
menghentikan proyeknya, pengelola sudah siap melanjutkan kegiatan-kegiatan
tersebut secara mandiri. Kedua, kolaborasi dibangun dalam kondisi antara mitra
dan pengelola kawasan konservasi tidak dalam posisi yang seimbang-sejajar.
Pengelola kawasan konservasi dalam kondisi lemah dan mati suri, dengan
berbagai alasannya. Dalam kondisi seperti ini, mitra sebaiknya menarik dan
memberikan motivasi agar pengelola “bangun dari tidur” panjangnya. Hal ini
tentunya sangat tidak mudah. Diperlukan political will, energi dan waktu yang tidak
sedikit. Biasanya mitra tidak sabar dan meninggalkannya. Dalam kondisi ini
kemitraan atau kolaborasi hanya lip service saja, dan hanya sekedar kerja sama di
atas kertas. Faktanya, mitra bekerja sendiri dan pihak pengelola kawasan
konservasi menjadi sekedar penonton. Akibat lanjutannya, dan sering kali hal ini
lebih parah adalah bahwa seolah-olah mitra yang berkibar benderanya dan
pengelola kawasan konservasi tenggelam dalam ketidakjelasan peran dan otoritas.
Salah satu dari upaya untuk menjawab tantangan ini antara lain adalah
dengan memilih leader pengelola kawasan konservasi yang memiliki kapasitas
leadership yang cukup, sehingga mampu membangun komunikasi dan proses
belajar yang terus menerus. Leader yang kuat juga akan mampu membangun kinerja
staf pada tingkatan kedua atau second layer staff. Kebuntuan kolaborasi dapat
450
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
disiasati dengan mendorong kolaborasi pada tataran teknis staf level kedua,
khususnya staf fungsional.
Upaya lain adalah dengan mendorong upaya kolaborasi menjadi bagian
dari penilaian kinerja pengelola kawasan konservasi. Selama ini, kinerja pengelola
kawasan konservasi juga tidak jelas bagaimana dievaluasi. Pengelola yang berhasil
membangun kolaborasi multi pihak seolah-olah sama saja dengan pengelola yang
bekerja sendiri. Hal ini merupakan tugas Jakarta, khususnya untuk melakukan
pemantauan lapangan secara mendadak, dengan menggunakan prinsip triangulasi.
Kinerja pengelola kawasan konservasi di-cross check dengan para mitra atau melalui
staf level 2 dan 3. Dengan demikian, akan semakin dapat dibangun penilaian
kinerja pengelola kawasan konservasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan
credible. Penilaian ini kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan
dalam menerapkan reward and punishment. Suatu tantangan yang tidak mudah
namun bukan tidak mungkin dilakukan secara bertahap dan konsisten.***
Tulisan ini dimuat pada Jejak Leuser Vol 1. Nomor 4 Tahun 2005
451
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
Rencana Strategis TN Gunung Leuser
Pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa masih perlu menyusun
Rencana Strategis (Renstra) di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)? Apakah
Rencana Pengelolaan TNGL yang berjangka panjang (20-25 tahun), dan menengah
(5 tahun) yang telah disusun, bahkan telah pula di-review tidak dapat digunakan
lagi? Jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah benar. Rencana-rencana yang
disusun di masa lalu sebagian sudah tidak layak dipakai sebagai acuan untuk
membuat rencana tahunan saat ini.
Perkembangan geopolitik dan perubahan tata guna lahan, kebijakan
nasional dan daerah di era otonomi yang sedemikian cepat yang mengepung
TNGL, memaksa pihak pengelola saat ini untuk mengkaji ulang, khususnya isu-isu
strategis baru dalam kaitannya dengan peningkatan efektivitas pengelolaan taman
nasional saat ini dan ke depan. Atas perubahan keadaan inilah maka Renstra perlu
disusun kembali, agar dapat menjadi koridor kerja dan menentukan arah kerja
organisasi. Dalam bahasa yang sederhana, Renstra harus bisa menjawab minimal
empat pertanyaan fundamental, yaitu:
1. Kemana kita akan pergi (vision- mission),
2. Bagaimana kita sampai ke sana (strategies),
3. Resource apa yang kita miliki untuk melakukan aktivitas (SDM dan budget),
4. Bagaimana kita tahu bahwa kita pada jalur yang benar (pemantauan, control,
evaluasi).
Menyikapi perubahan-perubahan peta seperti itu, maka Renstra TNGL
akan disusun melalui proses-proses bertahap, dengan mempertimbangkan secara
detail dan melakukan analisis terhadap Lingkungan Eksternal (Ancaman dan
Peluang), yaitu perkembangan geopolitik dan perubahan tata guna lahan di
seluruh kabupaten sekitar TNGL; Lingkungan Internal (Kekuatan dan Kelemahan)
yang ada di dalam Balai TNGL. Renstra berbeda dengan perencanaan
konvensional, minimal dari hal-hal sebagai berikut: tahapan penyusunan,
konsultasi dan pelibatan para pihak, kajian isu-isu strategis, dan strategi bagaimana
Balai TNGL bersikap terhadap berbagai isu strategis yang diidentifikasi tersebut.
Renstra hanya menunjukkan bagaimana isu-isu strategis pada saat ini yang
tertuang dalam kajian “Keadaan Saat Ini” dapat dikelola, digarap, dan
ditransformasikan ke “Keadaan Yang Diinginkan”, minimal dalam tempo lima
tahun ke depan. Keadaan yang diinginkan itulah yang disebut sebagai Visi atau
“impian” organisasi yang ingin dicapai dalam lima tahun ke depan.
Proses penyusunan Renstra yang lebih terbuka, lebih transparan, lebih
452
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
akomodatif, dengan melibatkan para pihak kunci bukan tanpa maksud. Proses
komunikasi multi arah seperti itu diharapkan dapat membangun kesepahaman
tentang banyak hal. Perencanaan taman nasional yang tertutup harus sudah
ditinggalkan. Paling tidak, para pihak dapat mengetahui ruang lingkup kegiatan
atau program-program TNGL. Kelebihan dan kekurangan masing-masing pihak.
Kesepahaman tentang perlunya melakukan upaya bersama dalam bidang
konservasi. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah menepiskan ego sektoral
dan kelembagaan serta bagaimana meningkatkan rasa saling menghargai (mutual
respect) antar lembaga atau antar instansi.
Apabila prinsip transparan dan keterbukaan tersebut dapat dicapai dalam
rangkaian proses penyusunan Renstra, maka tahapan berikutnya adalah
bagaimana secara internal, Balai TNGL membangun visi-nya. Visi adalah
representasi keyakinan kita tentang bagaimana seharusnya bentuk dan mandat
organisasi ke depan dalam pandangan staf dan masyarakat. Visi Balai TNGL ini
diarahkan dan harus mempertimbangkan tugas pokok dan fungsi sebagaimana
ditetapkan dalam surat keputusan menteri kehutanan. Menurut Harefa (2000), visi
harus bisa memberikan inspirasi, menggugah emosi, membangkitkan entusiasme,
dan menyuntikkan motivasi.
Ketika visi telah ditetapkan, langkah selanjutnya adalah membangun misi
organisasi. Misi adalah garis besar langkah-langkah yang harus dilalui untuk
waktu tertentu oleh organisasi dalam mencapai visi. Misi juga menunjukkan daftar
“ruang lingkup” kegiatan utama organisasi. Pakar perencanaan G.L. Morrisey
(1997) menyatakan bahwa Misi sekurang-kurangnya memuat: konsep organisasi,
alasan keberadaan organisasi, pihak-pihak yang dilayani, prinsip dan nilai
organisasi yang menjadi pegangan ketika menjalankan organisasi.
Pernyataan tentang Misi memiliki dua fungsi. Pertama, ia menetapkan
sasaran organisasi. Kedua, ia mengkoordinasikan tindakan dan usaha. Lebih
lengkap lagi apabila pernyataan Misi tersebut ditambah dengan kemampuan
pemimpin menjawab empat pertanyaan B. Wall (1999), mengenai organisasi:
1. Siapa kita?
2. Apa yang kita lakukan?
3. Untuk siapa kita melakukannya?
4. Mengapa kita melakukannya?
Tahapan penting setelah menetapkan Visi dan Misi secara bersama, adalah
tahapan menyusun strategi. Strategi digunakan oleh organisasi untuk mencapai
Visi dan Misi Organisasi. Cukup menarik apa yang diuraikan oleh ahli manajemen
dari Filipina, yaitu Prof Eduardo A. Marato. Ia mengidentifikasi 14 ciri-ciri strategi
yang efektif. Strategi dapat dikatakan efektif bila:
1. Dapat mengenali trend dan arah dari lingkungan dominan, apa yang organisasi
dapat/ tidak dapat lakukan; apa yang organisasi miliki/tidak dimiliki;
2. Mampu menentukan skenario ke depan yang paling mungkin terjadi dalam
kaitannya dengan reposisi organisasi;
3. Mengidentifikasi strategi berdasarkan visi, nilai, dan preferensi;
4. Menembak sasaran terpilih, tidak menghamburkan sumber daya;
453
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
5. Organisasi mengarahkan sumber dayanya untuk melaksanakan strategi
terpilih;
6. Seluruh komponen organisasi harus bergerak mendukung tercapainya strategi
terpilih;
7. Mampu menghindari mismatch antara alokasi sumber daya manusia, struktur
organisasi, sistem, tujuan, strategi terpilih, dan tugas dari organisasi;
8. Mampu menetapkan tujuan yang terjangkau dalam durasi waktu tertentu;
9. Harus do-able atau dapat dilaksanakan oleh organisasi;
10. Diantara variabel yang dipekerjakan harus saling mendukung, bukan saling
menjatuhkan;
11. Mampu memantau apakah “action” bergerak menuju tujuannya;
12. Strategi harus diterjemahkan ke dalam impact yang dapat dirasakan atau
dikenali;
13. Perlu melakukan perubahan, modifikasi, atau merubah seluruh strategi terkait
dengan perubahan lingkungan;
14. Organisasi harus bertanggung jawab terhadap hasil dan bertanggung gugat
bagi target grup. Organisasi tidak berorientasi pada inputs dan tasks. Harus
yakin bahwa inputs dan tasks mengarah pada outputs dan outcomes.
Demikianlah, strategi sangat menentukan efektivitas dan efisiensi
organisasi dalam mencapai tujuannya, yaitu mencapai “keadaan yang diinginkan”
untuk lima tahun ke depan. Dalam penyusunan Renstra TNGL ini, telah dilakukan
orientasi lapangan ke tiga Seksi Konservasi Wilayah (SKW) di Lembah Alas-Gayo,
Besitang, dan Bukitlawang. Sementara SKW IV Tapaktuan di Aceh Selatan belum
dapat ditempuh karena aspek keamanan. Keempat Seksi Wilayah tersebut memiliki
karakter biofisik, sosial, ekonomi, budaya, dan geopolitik yang berbeda-beda.
Unsur eksternal lainnya adalah perkembangan tekanan terhadap kawasan
TNGL paska gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, akan sangat berpengaruh
terhadap upaya-upaya pelestarian Leuser. Bahkan perkembangan politik lokal
seperti pilkada akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana ke depan upaya
pelestarian ini mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah.
Oleh karena itu, Renstra TNGL diharapkan menjadi dokumen perencanaan
yang selalu diacu dan dijadikan pedoman oleh seluruh staf dalam melaksanakan
tugas. Dengan jumlah staf sebanyak 217 orang yang tersebar di 4 SKW pada 9
kabupaten, maka upaya membangun Visi, Misi, dan Strategi bersama bukanlah hal
yang mudah. Ketidakjelasan arah organisasi di masa lalu dan faktor keamanan
khususnya kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara menjadi
hambatan dalam membangun sinergitas kerja dan kesepahaman. Mobilitas sumber
daya ke semua SKW yang terdiri dari 27 Resort dan 2 stasiun penelitian
memerlukan pendanaan yang besar. Oleh karena itu, penggunaan teknologi
penginderaan jauh, Geographic Information System dan Remote Sensing merupakan
keharusan untuk dapat melakukan pemantauan detil dan periodik di tingkat
lapangan.
Renstra juga merupakan dokumen terbuka yang harus dilakukan evaluasi
setiap tahunnya untuk menentukan arah dan identifikasi isu-isu strategis yang
harus ditangani pada tahun-tahun ke depan. Evaluasi oleh para pihak diharapkan
454
Catatan Wisata Intelektual (2005-2020)
akan membangun kesepahaman dan proses pembelajaran multi pihak yang efektif.
Keterbukaan bukan tanpa risiko, yang justru dapat mengarah pada konflik internal
dan eksternal di antara berbagai pihak yang mengklaim ikut melestarikan atau
mendapatkan berbagai manfaat dari TNGL selama ini. Hal tersebut memerlukan
seorang pemimpin (leader) yang dapat mengawal proses pelaksanaan Renstra
tersebut untuk kepentingan semua pihak.***
Rujukan:
Harefa, A., 2000. Menjadi Manusia Pembelajar. Pemberdayaan Diri, Transformasi
Organisasi dan Masyarakat Lewat proses Pembelajaran.Penerbit Harian Kompas.
Morato, E.A., Prof. Manual on Strategic Planning Process. Asian Institute of
Management.
Morrisey, G.L., 1997. Pedoman Perencanaan Taktis. Prenhallindo. Jakarta.
Morrisey, G.L., 1997. Pedoman Perencanaan Jangka Panjang. Prenhallindo, Jakarta.
Morrisey, G.L., 1997. Pedoman Pemikiran Strategis. Prenhallindo, Jakarta.
Smith, Bucklin and Associates., 1994. The Complete Guide to Nonprofit
Management. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Tulisan ini dimuat dalam Jejak Leuser Vol. 1 No. 1 Tahun 2005
455