The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Perbandingan Efektifitas Antbakteri Lendir Bekicot (Achatina fulica) dan Lendir Keong Sawah (Pila ampullacea) Terhadap Staphylococcus aureus Sebagai Referensi Mata Kuliah Mikrobiologi



Penulis :
Rina Rizka


Pembimbing:
Mulyadi, S.Pd.I., M.Pd.
Zuraidah, S. Si., M. Si.


Editor :
Harir Rizky Tullah

Desain Cover :
Sv Production


Tata Letak :
Rina Rizka






Hak Cipta 2021, Pada Penulis

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2021-12-15 08:17:22

E-Book Rina Rizka ''Perbandingan Efektifitas Antbakteri Lendir Bekicot (Achatina fulica) dan Lendir Keong Sawah (Pila ampullacea) Terhadap Staphylococcus aureus Sebagai Referensi Mata Kuliah Mikrobiologi''

Perbandingan Efektifitas Antbakteri Lendir Bekicot (Achatina fulica) dan Lendir Keong Sawah (Pila ampullacea) Terhadap Staphylococcus aureus Sebagai Referensi Mata Kuliah Mikrobiologi



Penulis :
Rina Rizka


Pembimbing:
Mulyadi, S.Pd.I., M.Pd.
Zuraidah, S. Si., M. Si.


Editor :
Harir Rizky Tullah

Desain Cover :
Sv Production


Tata Letak :
Rina Rizka






Hak Cipta 2021, Pada Penulis

ANTIBAKTERI

Penulis :
Rina Rizka
Pembimbing:
Mulyadi, S.Pd.I., M.Pd.
Zuraidah, S. Si., M. Si.

Editor :
Harir Rizky Tullah

Desain Cover :
Sv Production
Tata Letak :

Rina Rizka

Hak Cipta 2021, Pada Penulis

KATA PENGANTAR

Saya mengucapkan syukur Alhamdulillah ke hadirat
Ilahi Rabbi, karena berkat perlindungannya saya telah
diberikan kesehatan sehingga buku Uji Aktivitas Antibakteri
dapat tersusun. Terima kasih pula saya sampaikan kepada
yang terhormat Bapak Mulyadi, S. Pd. I., M. Pd. Dan Ibu
Zuraidah, S. Si., M. Si. Yang telah banyak memberikan saran,
dan berbagai sumbangan pemikiran dalam penyusunan
buku ini. Serta pihak terima kasih juga kepada pihak-pihak
yang ikut membantu dan bekerjasama sehingga
memudahkan penulis mendapatkan data dan informasi guna
buku ini.

Buku ini adalah implementasi Penulis dari
penelitiannya, yang mengidentifikasi senyawa dalam lendir
bekicot (Achatina fulica) dan lendir keong sawah (Pila
ampullacea) apakah memiliki kandungan yang bermanfaat
atau tidak. Berdasarkan penelitian itu, ditemukan bahwa
lendir bekicot dan lendir keong sawah memiliki senyawa
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus.

Tujuan penulisan buku ini adalah untuk membantu
mahasiswa dalam melaksanakan pembelajaran teori

1

mikrobiologi secara tatap buka maupun daring, sehingga
diharapkan mahasiswa dapat memahami tentang uji
antibakteri menggunakan bahan berupa lendir bekicot dan
lendir keong sawah.

Akhir kata, saya mengharapkan adanya berbagai
masukan baik berupa saran maupun ide-ide kreatif lainnya
untuk perbaikan buku ini. Semoga dapat bermanfaat.

Penyusun

Rina Rizka

2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................i
DAFTAR ISI......................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN...................................................4

A. Bekicot (Achatina fulica)………………………..6
B. Keong Sawah (Pila ampullacea)………………..8
BAB II: ANTIBAKTERI………………………………….......10
A. Antibakteri………………………………………10
B. Uji Anribakteri…………………………………..11
C. Bakteri Staphylococcus aureus………………...13
BAB III: BAHAN, ALAT DAN PROSEDUR………………..15
A. Bahan…………………………………………..15
B. Alat……………………………………………..16
C. Prosedur ……………………………………….18
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN…………………......21
A. Hasil…………………………………………….21
B. Pembahasan…………………………………...31
C. Kesimpulan ……………………………………37
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………38
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………….47

3

BAB I
PENDAHULUAN

Penggunaan antibakteri yang dilakukan dalam
praktikum mikrobiologi kebanyakan menggunakan
antibakteri berbahan kimia, jarang sekali menggunakan
antibakteri alami. Banyak tanaman serta hewan yang dapat
menghasilkan metabolit sekunder berupa bahan antibakteri,
baik untuk faktor pertumbuhan dan perkembangan,
maupun sebagai bahan yang dapat merespon serangan dari
lingkungan.

Senyawa antibakteri merupakan senyawa yang dapat
menghambat pertumbuhan atau metabolisme antibakteri.
Berdasarkan sifat dari toksistasnya, antibakteri dapat bersifat
membunuh (bakterisidal) dan menghambat pertumbuhan
bakteri (bakteriostatik). Antiabakteri bakteriostatik hanya
dapat menghambat pertumbuhan namun tidak mematikan,
kecuali jika dalam konsentrasi yang tinggi. Sedangkan
bakterisidal dapat membunuh bakteri.

Mekanisme kerja antibakteri terdapat berbagai cara
diantaranya yaitu menghambat sintesis dinding sel,
menghambat metabolism sel mikroba, menghambat

4

keutuhan permeabilitas dinding sel, menghambat protein
dinding sel, dan menghambat sintesis nukleat. Senyawa
antibakteri yang berasal dari bahan alam kini secara terus-
menerus berkembang sekitar 300 lebih senyawa metabolit
alam yang menunjukkan aktivitas mikroba dan sekitar 145
senyawa berpotensi sebagai antimikroba dengan MIC
sebesar 0,02-10 µp/mL.

Salah satu bahan alami yang dapat dijadikan
antibakteri yaitu berasal dari lendir bekicot dan lendir keong
sawah yang mana bahwa lendir bekicot dan lendir keong
sawah dapat digunakan sebagai bahan alam yang berpotensi
sebagai antibakteri dengan menunjukkan terbentuk zona
bening dalam uji efektifitas antibakteri pada penelitian ini.
Mengingat dapat mengurangi penggunaan bahan kimia
dalam praktikum maka perlu dilakukan penelitian tentang
uji efektifitas antibakteri dalam bahan alami lendir bekicot
dan lendir keong sawah.

5

A. Bekicot (Achatina fulica)

Bekicot merupakan salah satu hewan lunak yang memiliki

cangkang. Bekicot (Achatina fulica) termasuk hewan

invertebrata filum Mollusca kelas Gastropoda. Sebagian

banyak orang menggangap bekicot hewan yang menjijikan

karena tubuhnya yang lunak dan berlendir bahkan dianggap

sebagai hama. Bekicot memiliki cangkang yang berbentuk

runcing berwarna coklat yang dicangkangnya terdapat garis-

garis. Panjang cangkang bekicot berkisar 3-6 cm. Tubuhnya

terdapat tentakel kecil yang disebut dengan kaptakuala.

Pada umumnya bekicot merupakan hewan tropis yang

sering bermunculan saat musim hujan. disamping tubuhnya

yang lunak bekicot juga memiliki banyak manfaat salah

satunya yaitu lendir nya itu sendiri.

1. Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica)

Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Pulmonata
Famili : Achatinidae
Genus : Achatina
Spesies : Achatina fulica

6

Gambar 1.1 Bekicot (Achatina fulica)
2. Kandungan Lendir Bekicot

Lendir bekicot mempunyai banyak khasiat bagi
kesehatan diantaranya penyembuhan luka, goresan,
gingivitis, dan perawatan kulit. Lendir bekicot
mengandung protein yang mempunyai fungsi biologik
penting untuk penyembuhan luka pada kulit. Lendir
bekicot mengalir dalam tubuh bekicot memiliki aktivitas
sebagai pembasmian bakteri dan benda asing. Produksi
lendir bekicot pada dinding tubuh dan zat getah bening.
Kandungan-kandungan pada lendir bekicot diantaranya
yaitu zat analgesic, anti septik, dan anti peptide
antimikroba (Achasin). Achasin inilah yang bekerja
sebagai penyerang atau penghambat pembentukan

7

bagian-bagian yangumum dari strain bakteri yaitu:
lapisan peptidoglikan membrane sitoplasma.
B. Keong sawah (Pila ampullacea)
Keong sawah (Pila ampullacea) merupakan hewan
sejenis siput air tawar yang sering dijumpai di sawah, parit
dan danau. Keong sawah berbentuk menyerupai siput
murbai (keong mas), namun keong sawah memiliki warna
cangkang hijau pekat hingga kehitaman. Hewan ini
memiliki panjang sekitar 3-6 cm, bagian atas cangkang
keong sawah cenderung pendek sedangkang bagian
bawahnya membesar. Keong sawah memiliki garis-garis
horizontal pada cangkangnya, tipe apeks tumpul, dan
memiliki celah mulut yang lebar. Keong sawah banyak
dikonsumsi juga diberbagai daerah Asia Tenggara dan
memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung protein
yang tinggi.
1. Klasifikasi Keong sawah

Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Architaenioglossa
Famili : Ampullariidae
Genus : Pila
Spesies : Pila ampullacea

8

Gambar 1.2 Keong Sawah (Pila ampullacea)

2. Kandungan dan manfaat keong sawah
Keong sawah banyak mengandung protein yang

tinggi. Kandungan gizi keong sawah antara lain: protein
15%, serat 6,09%, lemak 2,4%, dan kadar abu 24%.
Keong sawah kaya akan protein dan rendah lemak juga
sehingga dapat dijadikan untuk alternatif makanan tinggi
protein yang rendah lemak. Keong sawah juga terdapat
kandungan vitamin A, vitamin E, niacin dan folat. Pada
lendir keong sawah juga mengandung senyawa
antibakteri, kandungan dari lendir keong sawah antara
lain: glikosaminoglikan, proteoglikan, protein hidrosilat
dan peptide antibakteri sebagai senyawa antibakteri.

9

BAB II
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI

A. Antibakteri
Antibakteri merupakan senyawa yang dapat

menganggu atau menghambat pertumbuhan dan
metabolisme bakteri, sehingga senyawa dapat menghambat
pertumbuhan, bahkan dapat membunuh bakteri.
Mekanisme kerja antibakteri antara lain dengan merusak
dinding sel, mengubah permeabilitas sel, menghambat kerja
enzim, menghambat sintesis asam nukleat dan protein, dan
mengubah molekul protein dan asam amino.

Pemakaian senyawa antibakteri yang berlebihan
dapat menyebabkan mikroba yang pada awal nya sensitif
terhadap antibiotik menjadi resisten, oleh karena itu,
antibakteri diperlukan untuk mengatasi bakteri resisten
tersebut. Resistensi sel adalah suatu sifat yang tidak
terganggunya kehidupan sel mikroba terhadap antimikroba.
Kondisi ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk
bertahan hidup resistensi terbagi dalam beberapa kelompok
yaitu resistensi genetik, resistensi nongenetik dan resistensi
silang. Mekanisme resisten terhadap mikroba antara lain:
perubahan tempat kerja obat pada mikroba, menurunkan
permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk ke dalam sel,

10

inaktivasi obat oleh mikroba, mikroba membentuk jalan
pintas untuk menghindari tahap yang dihambat
antimikroba, dan dapat meningkatkan produksi enzim yang
dihambat oleh antimikroba.
B. Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri secara umum dapat dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu: metode difusi, metode dilusi dan
metode bioautografi

a. Metode Difusi
Metode difusi adalah metode yang tidak membutuhkan

disperse yang homogen dari zar uji didalam media berair.
Zat uji diserapkan pada kertas saring dan kertas cakram atau
ditempatkan di media dan zat uji dibiarkan melakukan
kontak dengan kultur mikroba uji. Kelemahan dari metode
ini tidak dapat digunakan untuk semua jenis mikroba
misalnya mikroba yang pertumbuhannya lambat atau
anaerob obligat. Uji ini distandarisasi pada suhu inkubasi
berkisar 37○C, sehingga resistensi antimikroba tertentu yang
seharusnya terdeteksi pada suhu menjadi tidak terdeteksi.
b. Metode Dilusi

Metode dilusi merupakan metode yang memerlukan
disperse yang homogen dari zat uji dalam media berair.

11

Metode difusi untuk menguji daya antibakteriberdasarkan
penghambatan pertumbuhan mikroorganisme pada media
cair setelah diberi antimikroba atau pada media pada yang
dicairkan setelah dicapur dengan senyawa antimikroba.
Metode ini dapat digunakan untuk menetapkan konsentrasi
Hambatan Minimum (KHM) dari suatu senyawa aktif.
Keunggulan dari metode ini yaitu dapat mendeteksi pada
resisten tertentu yang tidak dapat terdeteksi dengan metode
dilusi.
c. Metode Bioautografi

Metode ini adalah metode yang paling efisien untuk
mendeteksi adanya adanya senyawa aktivitas antimikroba
karsena letak dari bercak senyawa yang mempunyai
aktivitas dapat ditentukan, walaupun berada dalam
campuran yang kompleks, sehingga untuk melakukan
isolasi senyawa aktif tersebut dalam bioautografi lapis tipis
dan ekstraj yang dikehendaki, diletakkan menempel pada
permukaan media agar yang telah disemai dengan mikroba
yang sudah dipilih. Lempeng tetap dalam keadaan kontak
dengan media yang diuji selama periode inkubasi untuk
pertumbuhan mikroorganisme uji. Pada kasus ini sampel
dipisahkan dengan metode KLT, selanjutnya lempeng KLT
dikeringkan dari sisa-sisa larutan pengembang dan

12

kemudian dilakukan uji dilakukan di atas permukaan
lempeng KLT. Setelah waktu inkubasi zona hambatan akan
terbentuk pada nilai Rf (retardation faktor) senyawa aktif.
C. Bakteri Staphylococcus aureus
a. Staphylococcus aureus

1. Klasifikasi Staphylococcus aureus

Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Baciallales
Famili : Staphylococcocaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus berasal dari kata staphyle yang
berarti untaian dan coccus artinya bakteri yang memiliki
morfologi berbentuk bulat seperti untaian buah anggur yang
berdiameter 0,75-1,25 µm. Staphylococcus aureus
merupakan bakteri Gram positif, yang bersifat aerob atau
anaerob fakultatif, bersifat patogen yang selnya berbentuk
seperti peluru serta dapat bertahan hidup dalam keadaan
lingkungan yang mengandung garam dengan konsentrasi
tinggi, contohnya NaCI 10%. Hasil pewarnaan dari
perbenihan padat akan memperlihatkan susunan bakteri
yang bergerombol-gerombol seperti buah anggur,

13

sedangkan perbenihan cair bakteri terlihat seperti kuman
yang lepas sendiri-sendiri, berpasangan atau rantai pendek
yang berjumlah lebih dari empat sel. Cara membiakkan
bakteri Staphylococcus aureus dalam keadaan anaerob
dibutuhkan suhu optimal antara 28-38○C. Staphylococcus
aureus dapat tumbuh pada media yang biasa dipakai di
Laboraturium bakteriologi. Bakteri ini dapat menghasilkan
enterotoksin dalam keadaan mati pada makanan yang telah
membusuk. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan
penyakit melalui kerja toksin tanpa adanya infeksi inasif,
ditandai dengan mual muntah dan diare karena keracunan
makanan disebabkan adanya enterotoksin. Bakteri ini dapat
dijumpai juga pada kulit yang terluka atau pada jerawat
serta dapat berkembang dengan cepat sehingga akan
menimbulkan penyakit bagi manusia serta kemampuan
berkembang biak yang cepat bakteri ini juga mampu
menyebar dengan luas ke dalam jaringan.

14

BAB III

ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR

Pengujian Antibaketri dan Hasil dari Uji Efektifitas
Antibakteri Lendir Bekicot (Achatina fulica) dan Lendir
Keong (Pila ampullacea) Terhadap Staphylococcus aureus.
A. Pengujian Uji Antibakteri
1. Bahan

a. Penyiapan Sampel
Bekicot dan keong dikumpulkan, serta dipeliharan

dalam beberapa, kemudian pengambilan lendir dilakukan
dengan cara pencucian terlebih dahulu terhadap tubuh
bekicot dan keong yang akan diambil lendirnya, setelah
itu bagian cangkang dari keong dan bekicot dipecahkan
bagian ujung cangkangnya hingga lendirnya keluar
kemudian ditampung lendir bekicot dan lendir keong.
b. Mikroba uji

Mikroba uji yang digunakan adalah Staphylococcus
aureus yang diperoleh dari Laboraturium saintek Uin Ar-
Raniry Banda Aceh yang diremajakan pada media NA
(Nutrient Agar) yang diinkubasi salama 1x24 jam dengan
suhu inkubator 37○C dalam inkubator.

15

c. Media Uji

Media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri

Nutrient Agar (NA) sebanyak 7 gram, dan media Mueller

Histon Agar (MHA) sebanyak 9,8 gram.

Bahan tambahan lain yang digunakan

No. Bahan Fungsi

1. Alat tulis Untuk menulis data yang didapatkan

dari pengamatan

2. Klindamisin Untuk uji kontrol positif

3. Alkohol Untuk strerulisasi alat dan bahan

4. Aquadest Untuk sterilisasi alat dan bahan

5. Paper disc Untuk tempat menampung zat
antibakteri

2. Alat- alat yang digunakan

No Alat Fungsi

1. Autoklaf Untuk strerilisasi

2. Inkubator Untuk inkubasi dalam pertumbuhan

bakteri

3. Botol sampel Untuk wadah sampel lendir bekicot

dan keong

16

4. Tabung reaksi Untuk wadah larutan

5. Rak tabung Untuk meletakkan tabung reaksi yang

reaksi berisi larutan

6. Jarum ose Untuk menanam bakteri dalam

media agar (Tes Lengkap)

7. Laminar air flow Ruangan untuk melakukan

penanaman media

8. Mikro pipet Untuk mengambil larutan

9. Erlenmeyer Untuk tempat cairan

10. Kertas Buram Untuk membukus alat pada saat

pensterilan di autoklaf

11. Timbangan Untuk menimbang bahan-bahan

analitik yang digunakan

12. Kompor listrik Untuk pemanasan dan pemasakan

larutan

13. Kertas label Untuk memberikan keterengan

dibotol sampel

14. Lampu Bunsen Untuk mensterilkan penanaman

media tumbuh mikroba

15. Cawan petri Untuk tempat pertumbuhan bakteri

16. Pinset Untuk menjepit benda-benda

17

17. Vortex Untuk menghomogenkan cairan
18. Beaker glass konsentrasi

Untuk wadah penampung cairan

19. Jangka sorong Untuk mengukur jarak hambat
antibakteri

3. Prosedur Kerja
a. Pengambilan Lendir bekicot dan Lendir Keong

1. Bekicot dan keong dikumpulkan sekitar 20-40
bekicot maupun keong, kemudian dipelihara
beberapa hari

2. Dibersihkan tubuh bekicot dan keong terlebih
dahulu

3. Dipecahkan cangkang bagian ujung dari bekicot
dan koeng kemudian lendir yang keluar dari
ujung cangkang tersebut ditampung

b. Peremajaan bakteri
1. Sediakan medium Nutrient Agar (NA) yang
sudah disterilisasi kemudian dituangkan ke
dalam cawan petri.

18

2. Bakteri uji diinokulasi menggunakan ose dan
diinkubasi selama 18-24 jam dengan suhu rata-
rata 37○C di dalam inkubator.

c. Pemuatan Larutan MC Farland 0,5
1. Dicampurkan 9,95 ml H2SO4 1% dan 0,05 BaCl
1,175% ke didalam tabung reaksi.
2. Homogenkan menggunakan vortex, dan larutan
MC Farland siap digunakan sebagai standar
kekeruhan suspense bakteri uji.

d. Uji Efektifitas Antibakteri Lendir Bekicot dan Lendir
Keong
1. Disediakan media Muller Histon Agar (MHA)
sebagai media uji
2. Siapkan Klindamisin sebagai kontrol positif dan
aquadesh sebagai kontrol negatif.
3. Proses uji antibakteri dilakukan dengan
menyiapkan masing-masing 5 disk (cakram
kosong) yang telah ditetesi lendir bekicot dan
lendir keong dengan kosentrasi 20%, 40%, 60%,
80%, kontrol postif dan kontrol negatif

19

4. Diletakkan disk yang sudah mengandung
perlakuan diatas media Mueller Histon Agar
(MHA) dengan pinset steril

5. Inkubasi ke dalam inkubator dengan suhu 37○C
selama 18-24 jam.

6. Kemudian amati zona bening yang terbentuk lalu
diukur menggunakan jangka sorong dan dicatat
hasil dari pengamatan tersebut.

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Hasil Lendir Bekicot dan Lendir Keong Sawah

a. Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Lendir bekicot yang diambil dari bekicot yang hidup.
Lendir bekicot diambil dengan cara memecahkan ujung
cangkang bekicot, lalu ditempatkan pada wadah yang steril.
Lendir bekicot yang dihasilkan berwarna coklat kuning
kekeruhan dengan tektur sedikit kental. Berikut gambar hasil
dari lendir bekicot. Pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Lendir Bekicot

21

b. Lendir Keong Sawah (Pila ampullacea)
Lendir keong sawah diambil dari keong sawah yang

masih hidup. Lendir keong sawah diambil dengan cara
memecahkan ujung cangkang keong sawah, lalu
ditempatkan pada wadah yang steril. Lendir keong sawah
yang dihasilkan berwarna putih bening kekeruhan dengan
tektur sedikit cair. Berikut gambar hasil lendir keong sawah.
Pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Lendir Keong Sawah

22

2. Pengamatan Karakter Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus yang didapatkan

diperoleh dari Laboraturium Fakultas Saintek Biologi
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Sebelum melakukan
pengujian terhadap bakteri Staphylococcus aureus, bakteri
ini terlebih dahulu diremajakan dengan cara diinokulasi ke
Media Nutrient Agar (NA) yang baru seperti pada gambar
di bawah ini.

Gambar 4.3 Bakteri Staphylococcus aureus
Berdasarkan hasil isolasi bakteri di atas karakter
pertumbuhan yang diamati pada Staphylococcus aureus
yaitu morfologi dari permukaan koloni. Bentuk permukaan
dari koloni bakteri Staphylococcus aureus yaitu licin,
mengkilap, berwarna putih kekuningan. Pertumbuhan isolat
bakteri Staphylococcus aureus menunjukkan pertumbuhan

23

yang bagus. Ukuran bakteri tergantung media tempat
peremajaan. Media yang digunakan adalah Nutrient Agar
(NA) yang berukuran kurang lebih 0,35 mm, media ini
mengandung sejumlah nutrisi sebagai makanan untuk
pertumbuhan bakteri.
3. Hasil Pengukuran Daya Hambat Lendir Bekicot dan

Lendir Keong Sawah Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus

Pengukuran zona hambat lendir bekicot (Achatina
fulica) dan lendir keong sawah (Pila ampullacea) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dilakukan dengan cara
mengukur diameter zona hambat berupa zona bening yang
terbentuk. Pengukuran dilakukan pada media Mueller
Histon Agar (MHA) yang mengandung bakteri
Staphylococcus aureus yang telah di inokulasi selama 24 jam
pada suhu 37○C terbentuknya zona bening menjadi acuan
terhadap pengukuran zona hambat yang terbentuk pada
media.

Zona bening yang terbentuk pada masing-masing
perlakuan menghasilkan ukuran yang berbeda-beda
sehingga pengamatan dilakukan menggunakan rumus rata-
rata dengan cara mengukur diameter horizontal dan
diameter vertikal dari zona hambat yang terbentuk di

24

sekitar disc. Hasil pengukuran diameter zona hambat dari
masing-masing lendir dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel
4.2.

a. Lendir bekicot
Tabel 4.1 Pengukuran Zona Bening Dengan Menggunakan

Lendir Bekicot (Achatina fulica)

No Konsentrasi (%) Ulangan (mm) Rata-rata
I II III (mm)

1 20 0,16 0,14 0,21 0,17
2 40 0,2 0,2 0,26 0,66
3 60 0,92 0,73 0,52 0,72
4 80 1,92 1,8 1,11 1,61
5 Klindamisin (K +) 15,40 15,02 12,52 14,31
6 Aquadest (K -) 0.00 0.00 0.00 0.00

Data pada tabel 4.1 terlihat bahwa zona bening
terbesar terdapat pada perlakuan 80% di bandingkan
perlakuan lainnya. Namun pada kontrol (+) dengan
antibiotik Klindamisin lebih kuat menghambat
Staphylococcus aureus dengan zona bening terbentuk (14,31
mm) di bandingankan dengan perlakuan pada konsentrasi
80%. Berikut diagram deviasi rata-rata zona bening lendir
bekicot.

25

Diameter Zona Hambat (mm)16 14.31
14

12

10

8

6

4 Rata-rata
zona hambat
2 0.17 0.66 0.72 1.61 0
0 Perlakuan

20 40 60 80 K (+) K (-)

Gambar 4.4 Rata-rata Zona Bening dengan Menggunakan
Lendir Bekicot

Hasil Gambar 4.4 di atas menunjukkan diameter
rata-rata zona bening yang terbentuk dari tiap konsentrasi
dapat dikategorikan kuat pada daya hambat kontrol positif
menggunakan antibiotik (14,31 mm), kategori lemah
ditunjukkan pada konsentrasi 80% (1,61 mm), 60% (0,72
mm), 40% (0,66 mm), dan 20% (0,17 mm). Pada kontrol
negatif (0 mm). Kontrol positif menggunakan Klindamisin
memiliki daya hambat yang lebih besar dibandingkan
perlakuan lendir bekicot dan kontrol negatif menggunakan
Aquadest. Kontrol positif yang digunakan berupa
Klindamisin merupakan antibiotik pada pertumbuhan

26

Staphylococcus aureus. Pada Gambar 4.5 menunjukkan
bahwa daya hambat yang paling baik dari lendir bekicot
ditunjukkan pada konsentrasi 80%, berikut gambar hasil
pengamatan pertumbuhan bakteri pada setiap pengulangan.

\

A B
A

C
Gambar 4.5 Hasil Daya Hambat Lendir Bekicot

A. Pengulangan 1
B. Pengulangan 2
C. Pengulangan 3

27

b. Lendir Keong Sawah
Tabel 4.2 Pengukuran Zona Bening Denga Menggunakan

Keong Sawah (Pila ampullacea)

No Konsentrasi (%) Ulangan (mm) Rata-rata
I II III (mm)

1 20 0,015 0,15 0,045 0,07
2 40 0,01 0,015 0,01 0,011
3 60 1,17 0,03 0,125 0,44
4 80 0,115 0,12 0,62 0,285
5 Klindamisin (K +) 16,15 18,05 16,51 16,90
6 Aquadest (K -) 0.00 0.00 0.00 0.00

Data tabel 4.2 memperlihatkan bahwa rata-rata zona
bening terbesar (16,90 mm) terdapat pada kontrol (+)
dengan antibiotik Klindamisin dalam menghambat bakteri
Staphylococcus aureus di bandingkan dengan perlakuan
konsentrasi lainnya. Keseluruhan hasil pengukuran dapat
dilihat pada diagram berikut.

28

18 16.9
Diameter Zona Hambat (mm)
16

14

12

10

8 Rata-rata
zona…
6
Perlakuan
4

2 0.07 0.011 0.44 0.28 0
0

20 40 60 80 K (+) K (-)

Gambar 4.6 Rata-rata Zona Bening dengan Menggunakan
Lendir Keong Sawah.

Hasil Gambar 4.6 diatas menunjukkan diameter rata-
rata konsentrasi dapat dikategorikan kuat ditunjukkan pada
konsentrasi kontrol positif dengan menggunakan antibiotik
Klindamisin (16,90 mm), kategori lemah ditunjukkan pada
kosentrasi 80% (0,285 mm), 60% (0,44 mm), 40% (0,011
mm), dan 20% (0,07 mm). Pada kontrol negatif (0 mm).
Hal ini menunjukkan bahwa daya hambat yang paling baik
dari lendir bekicot ditunjukkan pada konsentrasi 60%.
Berikut gambar hasil pengamatan pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus setiap pengulangan.

29

AB

C
Gambar 4.7 Hasil Daya Hambat Lendir Keong Sawah

A. Pengulangan 1
B. Pengulangan 2
C. Pengulangan 3

30

B. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui zona

hambat dari lendir bekicot dan keong sawah terhadap
Staphylococcus aureus dengan metode cakram yang
bertujuan untuk mengetahui zona bening dari antibakteri
lendir bekicot dan lendir keong sawah. Pengambilan lendir
bekicot dengan cara memotong ujung cangkang dari
bekicot kemudian lendir yang keluar dari ujung cangkang
nya ditampung dan disimpan terlebih dahulu agar terjaga
kesterilannya. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu
yang diteliti oleh Ertati Suarni dan Putri Rizki Amalia Badri
tahun 2016 menyatakan bahwa pengambilan lendir bekicot
dilakukan dengan memecahkan ujung cangkang untuk
mendapatkan kandungan lendir yang diinginkan.
Begitupun perlakuan dengan keong sawah ujung cangkang
nya dipecahkan kemudian ditampung lendir dan disimpan
agar tetap steril.

Lendir bekicot (Achatina fulica) mengandung senyawa
Achasin yang dapat menghambat bakteri Staphylococcus
aureus, sesuai dengan penelitian menurut Titiek Berniyanti
dan Suwarno Achasin tahun 2007 menyatakan bahwa dapat
bekerja dengan menyerang atau menghambat pembentukan
bagian-bagian umum dari strain bakteri seperti, lapisan

31

peptidoglikan dan membran sitoplasma. Lendir keong (Pila
ampullacea) mengandung senyawa peptide yang dapat
dijadikan sebagai antibakteri. Staphylococcus aureus
merupakan mikroorganisme yang banyak mengakibatkan
penyakit kulit seperti jerawat. Hal ini disebabkan kurangnya
kesadaran untuk memelihara kebersihan. Bakteri
Staphylococcus aureus dapat dihambat pertumbuhannya
dengan menggunakan lendir bekicot dan lendir keong
sawah.

Pengujian daya hambat lendir bekicot dan lendir
keong dilakukan dengan metode difusi cakram. Alasan
penggunaan metode difusi dengan cara paper disk (kertas
saring) yaitu kertas saring diletakkan pada lempeng agar
yang telah diinokulasi mikroba uji, kemudian diinkubasi
pada waktu 24 jam dan pada suhu 37○C untuk
menentukan kepekaan antibakteri dengan menunjukkan
adanya zona bening yang terbentuk disekeliling kertas
saring.

Menurut Misna menyatakan bahwa Media yang
digunakan untuk pertumbuhan bakteri yaitu media
Nutrient Agar (NA) yang merupakan salah satu media yang
sering digunakan mengandung nutrisi untuk pertumbuhan

32

bakteri dan untuk mengisolasi organisme dalam kultur
murni.

Pada hasil pengukuran zona hambat terbentuk pada
hari pertama selama 24 jam. Sediaan lendir bekicot dan
lendir keong sawah masing-masing dibuat variasi konsentrasi
yaitu 20%, 40%, 60%, dan 80% untuk mengetahui
efektivitas daya hambat minimum lendir bekicot dan lendir
keong sawah, digunakan aquadest sebagai kontrol negatif
dan Klindamisin sebagai kontrol postif untuk pembanding
terhadap sediaan lendir bekicot dan lendir keong sawah
sehingga dapat mengetahui konsentasi optimum lendir
bekicot dan lendir keong sawah yang memberikan efek
antibakteri dengan adanya zona hambat/zona bening.
Digunakan Klindamisin sebagai kontrol positif karena
merupakan jenis antibiotik yang digunakan untuk
mengobati penyakit akibat infeksi bakteri aerob gram positif
salah satunya Staphylococcus aureus dan banyak juga
digunakan sebagai antijerawat baik sediaan oral maupun
topikal. Pengambilan bahan uji kontrol sesuai dengan
penelitian sebelumnya oleh Husnul Warnida, dkk
menunjukkan bahwa zona hambat menggunakan kontrol
klindamisin memiliki presentase 100% dengan diameter
paling besar 21 mm. Konsentrasi yang berbeda mengandung

33

tingkat senyawa aktif yang berbeda juga oleh karena itu
tingkat konsentrasi menjadi salah satu alasan terbentuknya
zona bening yang berbeda-beda.

Hasil pengujian daya hambat pada masing-masing
lendir bekicot (Achatina fulica) dan lendir keong sawah (Pila
ampullacea) menunjukkan adanya perbedaan daya hambat
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada
tabel 4.1 dan tabel 4.2 memperlihatkan diameter zona
hambat yang berbeda. Konsentrasi yang berbeda
mengandung zat aktif yang berbeda pula oleh karena itu hal
ini dapat menjadi salah satu alasan terjadinya perbedaan
dalam menghambat dan perbedaan zona bening yang
terbentuk tergantung pada kemampuan lendir bekicot
(Achatina fulica) dalam menghambat bakteri, hal tersebut
dipengaruhi oleh senyawa Achasin yang terdapat dalam
lendir bekicot.

Hasil pengujian daya hambat menggunakan lendir
bekicot yang diuraikan pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa
zona hambat dengan kategori kuat terjadi pada daya
hambat kontrol positif antibiotik Klindamisin (14,31 mm),
kategori lemah ditunjukkan pada konsentrasi 80% (1,61
mm), kategori sangat lemah ditunjukkan pada konsentrasi
60% (0,72 mm), 40% (0,66 mm), 20% (0,17 mm), dan

34

kontrol negatif (0 mm). Dari hasil tersebut memperlihatkan
bahwa lendir bekicot memiliki nilai rata-rata lebih kecil
dibandingkan nilai rata-rata kontrol positif namun dari rata-
rata kontrol negatif menunjukkan sehingga terdapat
penghambatan dari lendir itu sendiri.

Pada pengujian lendir keong sawah yang diuraikan
pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa zona hambat
konsentrasi dengan kategori yang kuat ditunjukkan pada
daya hambat kontrol positif (mm), kategori lemah
ditunjukkan pada konsentrasi 80% (mm) dan 60% (mm),
kategori sangat lemah pada konsentrasi 40% (mm) dan
20% (mm), dan kontrol negatif (0 mm).

Pengujian konsentrasi yang paling efektif dalam
menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus
ditunjukkan pada konsentrasi 80%. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang telah diteliti sebelumnya oleh Citra Dewi,
Ahmad Saleh, dkk, tahun 2018 menyatakan bahwa
peningkatan konsentrasi lendir bekicot (Achatina fulica)
mempengaruhi konsentrasi Hambat Minimum (KHM) yaitu
semakin tinggi konsentrasi lendir bekicot maka semakin
besar pula KHM yang ditimbulkan pada media. Sedangkan
pada kontrol positif klindamisin menunjukkan zona hambat
besar dibandingkan dengan sediaan uji lendir bekicot dan

35

lendir keong sawah. Hal ini terjadi karena Klindamisin
merupakan suatu antimikroba yang spektrumnya
menyerupai linkomisin namun aktivitasnya lebih besar
terhadap organisme sensitif. Hal ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang diteliti oleh Susi Novaryatlin tahun 2016
menyatakan bahwa mekanisme kerja klindamisin yaitu
dengan menghambat sintesa protein bakteri dan mengikat
subunit ribosom 50S yang mampu menghambat
terbentuknya ikatan peptide. Menurut jawetz, E, J
menyatakan bahwa klindamisin aktif terhadap
Staphylococcus aureus, D. Pneumoniae, Streptococcus
pyogenes dan Streptococci (kecuali Streptococcus faecalis).
Konsentasi negatif aquades tidak mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus sehingga tidak
menunjukkan adanya zona hambat.

Pada kelompok uji lendir bekicot (Achatina fulica) dan
kelompok uji lendir keong sawah (Pila ampullacea)
menunjukkan zona hambat yang terbentuk masih
tergolong kataeri lemah karena diameter zona hambatnya
kurang dari 5 mm.

36

KESIMPULAN

1. Lendir bekicot mengandung senyawa aktif
antibakteri berupa Achasin

2. Lendir keong sawah mengandung zat aktif
antibakteri peptide

3. Karakteri pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus diketahui berwarna kuning dan permukaan
mengkilap, licin.

4. Kosentrasi yang paling besar menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
konsentrasi positif dengan antibiotik klindamisin
sebesar 14,31 mm dan konsentrasi lendir bekicot
paling besar 80% yaitu 1,61 mm.

5. Konsentrasi paling besar dalam menghambat bakteri
Staphylococcus aureus pada lendir keong sawah
yaitu konsentrasi kontrol positif Klindamisin sebesar
16,90 mm dan konsentrasi lendir yaitu konsentrasi
40% 0,44 mm.

37

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim. 2015. “Etika Pemanfaatan

Keanekaragaman Hayati Dalam Perspektif Al-Qur’an”.

(Jurnal Hermeneutik). Vol. 9. No. 2.

Adun Rusyana. 2016. Zoologi Invertebrata (Teori dan

Praktik). Bandung: ALFABETA.

Afrina, dkk. 2016. “Konsentrasi Hambat dan Bunuh

Minimum Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus

aurantifolia) terhadap Anggregatibacter

actinomycetemcomitans Secara In Vitro”. Cakradonya

Dent J. Vol. 8. No. 1.

Agus Mawardi H, dkk. 2007. Mudah dan Aktif Belajar

Biologi. Jakarta: Setiapurna.

Ahmad Mundzir Romdhani. 2016. Keanekargaman

Gastropoda Hutan Mangrove Desa Baban Kecamatan

Gapura Kabupaten Sumenep Sebagai Sumber Belajar

Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia. Vol. 2.

No. 2.

Amalia Karim, dkk. 2018. Phylum Mollusca. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Anthikomkulchai, S., and R. Watthanachaiyingcharoen.

2008.The Development of Anti-Acne Product from

38

Eucalyptus globules and Psidium guajava Oil, Journal,
Health
Res.Ardina Y. 2007. Pengembangan Formulasi Sediaan Gel
Antijerawat Serta Penentuan Konsentrasi Hambat
Minimum Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya Linn),
Thesis. Bandung: Sekolah Farmasi ITB.
Barda Nawawi Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana.

Bandung: Citra Aditya Bakti.
Berniyati dan Suwarno. 2007. Karakteristik Protein Lendir

Bekicot (Achasin) Isolat Lokal Sebagai Faktor
Antibakteri [artikel penelitian]. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga.
Brown, G.R dan Burns, T. 2005. Lecture Notes Dermatologi
Edisi VIII. Terjemahan dr. M. Anies Zakaria, M. Kes.
Jakarta: Erlangga.
Citra Dewi, Ahmad Saleh, dkk. 2018. Evaluasi Formula
Emulgel Lendir Bekicot (Achatina fulica) dan Uji
Aktivitas Antibakteri Terhadap Bakteri Staphylococcus
epidermidis Penyebab Jerawat. Jurnal Mandala
Pharmacon Indonesia. Vol. 4. No. 2.
Cut Pah Nurul Asiah, dkk. 2016. Keanekaragaman
Gastropoda di Zona Litoral Kawasan Rinon Pulo

39

Breuh Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar
Nasional Biotik.
Denyer, dkk. 2009. Hugo and Russell’s Pharmaceutical
Microbiology. India: Blackwell Publishing
Dewi Santosaningsih, dkk. 2020. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Yogyakarta: Deepublish
Diana Anggraeni. 2018. Profil Protein dan Daya Anti
Mikroba Lendir Bekicot (Achatina fulica) Terhadap
Methicillin ResistantStaphylococcus aureus (MRSA).
Prosiding Seminar Nasional Mahasiswa Unimus. Vol.
1. No. 1.
Dwi, S Sulietyowati, Meri Oktariani. 2015. Perbandingan
Efektifitas Lendir Bekicot (Achatina fulica) dengan
Kitosan Terhadap Penyembuhan Luka. Jurnal
KesMaDaSka. Vol. 6. No. 2.
Dwi Mentari, dkk. 2018. Pengembangan Media
Pembelajaran E-book Berdasarkan Hasil Riset
Elektroforesis 2-d Untuk Mengukur Kemampuan
Berpikir Kreatif Mahasiswa. Jurnal PENDIPA of Science
Education. Vol. 2. No. 2.

40

Ersa Sugari Purnama. Formulasi Gel Anti Jerawat Ekstrak
Kayu Secang (Caesalpina sappan L.) dan Uji
Aktivitasnya Terhadap Bakteri Propionibacterium
acnes. Skripsi: Universitas Islam Bandung, Diakses 06
Maret 2021.

Ertati Suarni dan Putri Rizki Amalia Badri. 2016. Uji
Efektifitas Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Dibandingkan dengan Povidon Iondine 10% terhadap
Penyembuhan Luka Sayat (Vulnus Scissum) pada
Mencit (Mus musculus). Jurnal Syifa Medika. Vol. 7.
No. 1.

Fahri Bian, dkk. 2015. Daya Hambat Ekstrak Etanol
Schismatoglotis sp. Terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli, Jurnal Ilmiah Sains. Vol.
15. No. 2.

Hudziki, J.. 2009. Kirby-Bauer Disk Diffusion Susceptibility
Test Protocol. American Society for Microbiology.

Husnul Warnida, dkk. 2018. Efektivitas Ekstrak Etanol Daun
Mahang (Macaranga triloba) Sebagai Obat Anti
Jerawat. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa.
Vol. 4, No. 1.

Irianti, R. N. T., dkk. 2016. Mengenal Anti Tuberkulosis.
Yogyakarta

41

I W. A. Ambhara Sanuaka, dkk. 2017. Pengembangan Media
Pembelajaran Electronic Book (E-Book) Interaktif
Multimedia Dalam Mata Pelajaran Teknik Animasi 3D
dan Teknik Animasi 2D Di Jurusan Multimedia SMK
Negeri 3 Singaraja. Jurnal Pendidikan Teknik Elektro
Undiksha. Vol. 6. No. 1.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg. 2008. Mikrobiologi
Kedokteran. (H. Hartanto, C. Rachamn, A. Dimanti,
A. Diani). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Kirana Aling Permadani. 2019. Uji Daya Hambat Lendir
Bekicot (Achatina fulica) Terhadap Aktivitas Bakteri
Mycobacterium tuberculosis dan Staphyloccocus
aureus. Karya Tulis Ilmiah. Palembang: Peliteknik
Kesehatan Palembang Jurusan Farmasi.

Lysa Angrayni, SH., MH, dan, Dra. Hj. Yusliati, MA. 2018.
Efektivitas Rehabilitas Pecandu Narkotika Serta
Pengaruhnya Terhadap Tingkat Kejahatan Di
Indonesia. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.

Megananda Hiaranya Putri. 2017. Bahan Ajar Keperawatan
Gigi: Mikrobiologi, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan.

42

Merie Afnizar, Nursalmi Mahdi, dan Zuraidah. 2016. Uji
Aktivitas Bakteri Ekstrak Daun Mahkota Dewa Phaleria
macrocarpa terhadap Bakteri Staphylococcus aureus.
Prosiding Seminar Nasional Biotik. Vol. 3. No. 1.

Misbahul Huda, Marhamah. 2016. Pengaruh Lendri Bekicot
(Achatina fulica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Gram
Positif dan Bakteri Gram Negatif. Jurnal Analis
Kesehatan. Vol. 5. No. 2.

Moh. Adam Mustafa. 2014. Tumbuhan Senyawa
Penghambat Bakteri. Gorontalo: Ideas Publishing.

Naimatil Jannah, dkk. 2017. Pengembangan E-Book
Interaktif Berbasis Fenomena Kehidupan Sehari-hari
Tentang Pemisahan Campuran. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Kimia. No. 6. Vol. 1.

Nastiti Oktasari. 2021. Pemanfaatan Keong Sawah (Pila
ampullacea) Pada Pembuatan Nugget Seabagi
Alternatif Makanan Berprotein Tinggi Di Desa Jurug
Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali. Skripsi
Universitas Negeri Semarang. (Diakses pada 14
Sepetember 2021)

Ngatirah. 2017. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: Instiper
Yogyakarta.

43

Nurhadi dan Febri Yanti. 2018. Buku Ajar Taksonomi
Invertebrata. Yogyakarta: Deepublish.

Nursafiah. “Tanggapan Siswa Terhadap Model
Pembelajaran Inkuiri Terbimbing pada Materi
Fhotosintesis di SMP Negeri 8 Banda Aceh”.

Puguh Surjowardojo, dkk. 2015. Daya Hambat Dekok Kulit
Apel Manalagi (Malus sylvestrs Mill.) Terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas sp. Penyebab Mastitis pada Sapi Perah.
Jurnal Ternak Tropika. Vol. 16. No. 2.

Purwadarmitha. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Jakarta: Balai Pustaka.

Rodiah, dkk. 2017. Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun
Cabai Rawit (Capsicum Frutescen L.,) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes dan
Implementasinya Sebagai Media Pembelajaran. E-JIP
BIOL. Vol. 5. No. 1.

Rollando. 2019. Senyawa Anti Bakteri dari Fungi Endofit.
Malang: CV. Seribu Bintang

Rusymand dan simamora. 2009. Buku Ajar Pendidikan
dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.

44

R. Kartika Zahra, dan Nofha Rina. 2018. Pengaruh Celebrity
Endoser Hamidah Rachmayanti terhadap Keputusan
Pembelian Produk Online Shop Mayoufit di Kota
Bandung. Jurnal Lontar. Vol. 6. No. 1.

Septiani, ddk. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Lamun
(Cymodecea rotundata) Terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal
Saintek Perikanan. Vol. 13. No. 1.

Prastiana Dewi. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir
Bekicot (Achatina fulica) dan Gel Bioplacenton
Terhadap Penyembuhan Luka pada Tikus Putih.
Skripsi: Bandung.

Sulistyo Anggoro dan Chandra A.P. 1998. Kamus Besar
Lengkap Inggris-Indonesia. Solo: Delima.

Sugiono. 2015. Metode Penelitian & Pengembangan
(Research and Development. Bandung: Alfabeta.

Suprapto Ma’at. 2009. Sterilisasi dan Disindeksi. Surabaya:
Airlangga Press.

Susi Novaryatlin. 2018. Identifikasi Bakteri dan Resistensinya
Terhadap Antibiotik Di Poli Gigi RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya. Jurnal Surya Medika. Vol. 1.
No. 2

45

Syahrurachman, A, dkk. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran, Jakarta: Binarupan Aksara

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002 Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Titiek Berniyanti dan Suwarno. 2007. “Karakterisasi Protein
Lendir Bekicot (Achasin) Isolat Lokal sebagai Faktor
Antibakteri”. Jurnal Media Kedokteran Hewan. Vol.
23. No. 3.

Widoyoko, Eko Putra. 2016. Teknik Penyusunan Instrumen
Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yusnimar. 2014. E-Book dan Pengguna Perpustakaan
Perhuruan Tinggi di Jakarta. Jurnal Al-Maktabah. Vol.
13. No. 1.

Zakiah Hilma Mardiana, dkk. 2015. Formulasi Gel yang
Mengandung Lendir Bekicot (Achatina fulica) serta Uji
Aktivitas terhadap Propionibacterium acnes.
Penelitian: Prosiding Penelitian SPeSIA Unisha

46

Lampiran 1
Penimbangan bahan media Pensterilan alat dan bahan

Pemasakan bahan media penanaman peremajaan
bakteri

47

Pengujian Mac Farland

Pembuatan konsentrasi Penaruhan kertas cakram
48 tiap konsentrasi


Click to View FlipBook Version