The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by cheguridhwan81, 2021-06-02 23:15:56

SEPUTAR PEMIKIRAN ISLAM-hamid zakarsyi

SEPUTAR PEMIKIRAN ISLAM-hamid zakarsyi

SEPUTAR PEMIKIRAN ISLAM

HAMID FAHMY ZAKARSYI

Koleksi Arkib Chegu Ridhwan
mahasiswamenggugat.blogspot

Ekstremis Sebenar ialah individu atau
sekelompok individu yang biadap dan melampau
dalam berfikir, bercakap, menulis dan bertindak.
Ia ada dalam mana-mana aliran dan kelompok.
Pendidikan, tarbiyah, nasihat dan sabar sahaja
yang dapat mengatasi kelompok ekstrem. Ia
mengambil masa yang panjang.

Chegu Ridhwan, 23.8.2020

Wajah Barat
Ditulis Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
sumber dari insistnet.com

Suatu hari David Thomas, Pendeta dan Professor teologi di Selly Oak College,
Universitas Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim.

“Are you happy with the Western civilization?” “No, not at all” jawabnya tegas.

“Why?” tanyanya. Sebab, paparnya, Barat dan orang-orang Barat maju dan
berkembang bukan karena Kristen.

Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya mencontohkan, menyumbang dana jutaan
Poundsterling untuk membangun perpustakaan Selly Oak bukan karena ia
seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana sosial lebih.

Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan
Barat seperti Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill,
umumnya menganggap “Ionia is the cradle of Western civilization” dan Bukan
Kristen. Agama Kristen malahan telah ter-Baratkan. Thomas sepertinya ingin
mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.

Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja. Agama
dipaksa duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam ruang
publik. Diskursus teologi hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang

boleh teriak anti agama. Hegemoni diganti dengan hegemoni. Barat adalah alam
pikiran dan pandangan hidup.

Teriakan Nietzsche “God is dead” masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay
Science ia mengatakan, “ketika kami mendengar “tuhan yang tua itu mati” kami
para filosof dan “jiwa-jiwa yang bebas” merasa seakan-akan fajar telah
menyingsing menyinari kita”.

Kematian tuhan di Barat ditandai oleh penutupan diskursus metafisika tempat
teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi supreme being (Maha Kuasa). Tidak ada
lagi yang absolute. Semua relatif. Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar maka
orang lain berhak menghakimi itu salah. Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah
mati. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.

Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu
masyarakat, Nietzsche menganggap tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul).
Beriman pada tuhan tidak bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman
berarti sanggup menerima perintah, larangan atau peraturan yang mengikat.
Barat adalah alam pikiran pandangan hidup.

Sejarah Barat adalah sejarah pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran di
Barat lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk
ilmu, seni untuk seni. Sesudah “membunuh tuhan” Barat mengangkat tuhan baru
yakni logocentrisme atau rasionalisme. Tidak puas dengan tuhan baru mereka
mengangkat liberalisme. Namun kini liberalisme seperti moncong bedil.
Pandangan-pandangan yang tidak “setuju” harus keluar atau berhadapan. “You
are with us or against us”.

Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan,
(equal representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini
adalah sosok yang tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang
tanpa kebenaran (no truth), tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no
meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam pikiran Barat ini dihukumi
Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).

Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan kini sudah
tidak relevan. Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan theisme.
Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan
religion without god. Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi
memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi
menstruasi dsb. tidak lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme
tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh
permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas
imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe.

Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik semua. Kebenaran adalah illusi
verbal yang diteima masyarakat atau tidak beda dari kebobongan yang disepakati.
Etika harus di globalkan agar tidak ada orang yang merasa paling baik. Baik buruk
tidak perlu berasal dari apa kata Tuhan, akal manusia boleh menentukan sendiri.

Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam,
Hindu, bahkan Jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun
kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki
karakter dan elemennya sendiri-sendiri. Jika elemen-elemen suatu pandangan
hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain, maka akan terjadi con-fusion
alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam Jameelah), malah mengingatkan
jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam sistim kepercayaan Islam, tidak
lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa. Benar, ketika elemen-elemen

Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka mulut yang
membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran atheis. Tuhan yang Maha
Kuasa, bisa menjadi “tuhan yang maha lemah”, Al-Quran yang suci dan sakral
tidak beda dari karya William Shakespear, karena ia sama-sama keluar dari mulut
manusia.

Jika ummat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan
bukan seperti Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau
tangisan Tertulian yang sudah lapuk “Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem”.
[www.hidayatullah.com]

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilization (INSISTS)

Meninjau Kembali Gerakan Religio-Politik Islam
Ditulis Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
sumber INSIST

Pada tanggal 15-17 Oktober yang lalu Japan International Institute of
International Affairs (JIIA) mengadakan simposium tentang Islam in Asia,
Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam. Acara ini khusus untuk
menyoroti fenomena bergeliatnya politik umat Islam di Asia, pasca peristiwa
dramatis 11 september 2001.

JIIA mengundang berbagai tokoh dari umat Islam yang dapat mewakili cara
pandang umat Islam kebanyakan di masing-masing Negara. Simposium dibagi

menjadi tiga sesi: Pertama tentang dimensi politik dalam Islam dalam kaitannya
dengan demokrasi, sekularisme dan peraturan perundang-undangan (Rule of
Law). Kedua meninjau peran dan partisipasi organisasi, kelompok dan partai Islam
dalam politik negara yang memfokuskan pada studi kasus gerakan, organisasi dan
kelompok Islam di beberapa Negara dengan fokus Indonesia, Mesir dan
Singapore. Dan terakhir membahas tentang tingkat moderasi Muslim termasuk
meninjau kelompok-kelompok radikal dan ekstrim dalam masyarakat Muslim.

Diskursus dalam simposium ini diarahkan untuk mengidentifikasi kelompok-
kelompok dalam gerakan politik Islam baru kemudian mengkaji kelompok mana
yang akan memimpin dimasa depan. Namun, dalam mengidentifikasi kelompok
para peserta mempersoalkan klassifikasi umat Islam yang selama ini didominasi
oleh terminologi dan stigmatisasi Barat.

Undangan dibatasi masing-masing Negara satu orang. Kecuali Malaysia, dalam hal
ini IKIM (Institut Kefahaman Islam Malaysia) yang telah menjalin kerjasama
dengan JIIA selama 10 tahun. Total peserta sekitar 30 orang itu terdiri dari 7 orang
utusan Malaysia, 8 orang dari utusan universitas di Jepang dan 8 orang utusan
Negara-negara.

Diantaranta Wakil dari Negara Tunis Prof. Abdelmajid Bedoui, dari Turki Yasar
Yakis, dari Pakistan Dr. Sohail Mahmud, dari Iran Dr. Seyed Rassoul Mousavi, dari
Mesir Dr. Diaa Rashwan, dari Muslim Inggeris Dr. Azzam Tamimi, dari Singapore,
Dr. Syed Muhd. Kahirudin al-Juned, dari Jepang Dr.Takayuki Yokota dari Indonesia
diwakili oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur INSISTS (Institute for the Study
of Islamic Thought and Civilization) dan dari Amerika diwakili Dr. Angel Rabasa,
Senior Policy Analiysty, Rand Corporation. LSM yang selama ini menawarkan
strategi kepada pemerintah Amerika bagaimana meliberalkan negara-negara
Islam. Sementara wakil dari Malaysia diantaranya terdiri dari oleh Tun Datok Seri

Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, Dr. Syed Ali Tawfik al-Attas, Prof.Dr. Mohd Nor
Wan Daud, Dr. Mohd Sani Badrun dan lain-lain.

Demokrasi, Sekularisme dan Islam

Masalah yang mendasar sebelum mengkaji gerakan politik Islam adalah meninjau
hubungan konseptual demokrasi, sekularisme dan Islam. Yang menjadi
pertanyaan penting adalah apakah Islam dan demokrasi itu sesuai (compatible).
Bagi Dr. Syed Ali Tawfik al-Attas, istilah demokrasi dan juga sekularisme yang kini
mulai dipertanyakan sebagai standar kehidupan politik modern, sebenarnya
membingungkan ketika harus didefinisikan. Sebab definisi pun tergantung kepada
cara pandang masing-masing ilmuwan. Namun, kajian serius tentang kedua
prinsip itu ujung-ujungnya adalah kebebasan dan keadilan, kesimpulan yang sama
ketika orang mengkaji politik Islam, meskipun dalam pengertian yang berbeda.
Namun ini tidak berarti bahwa sistem demokrasi Barat sepenuhnya sesuai dengan
Islam, ungkapnya.

Dr. Azzam Tamimi, Direktur London Based Institute of Islamic Political Thought
(IIPT), London, dan Dr.Sohail Mahmud, Dekan Fakultas Politik dan Hubungan
Internasional di International Islamic University Islamabad Pakistan sependapat
bahwa prinsip-prinsip demokrasi telah terdapat dalam politik Islam. Bahkan
menurut Tamimi Barat telah memodifikasi sistim shura dalam Islam menjadi
demokrasi. Hanya saja jika Syed Ali Tawfik mempersoalkan teori demokrasi Barat,
Sohail memandang bahwa praktek teori demokrasi ini dalam sejarahnya selalu
saja bermasalah, sehingga tidak heran jika diantara umat Islam ada yang
menerima dan ada yang menolak.

Itulah sebabnya Yasar Yakis, Ketua Komisi Uni Eropah pada parlement Turki,
memandang bahwa hanya sekedar adanya prinsip shura kita tidak dapat

menyimpulkan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi, sebab dalam demokrasi
masih terdapat makna kebebasan, kejujuran, keterbukaan dalam pemilihan
umum. Berbeda dengan ketiga pendapat sebelumnya Yakis memandang bahwa
secara teoritis demokrasi dapat dilaksanakan di Negara Islam tanpa merusak
ajaran agama. Hanya saja prakteknya banyak Negara-negara Islam yang bukan
merupakan contoh Negara demokrasi yang baik, demikian pula banyak Negara
non-Muslim yang tidak dapat menjadi contoh demokrasi. Oleh karena itu tidak
adanya demokrasi tidak dapat selalu dikaitkan dengan Negara Islam.

Bergandengan dan selalu digandengkan dengan demokrasi adalah sekularisme.
Setiap negara sekuler pasti demokratis, untuk menjadi demokratis suatu negara
harus menjadi sekuler sebeb demokrasi hanya dapat ditrapkan di negera sekuler.
Persoalannya sekularisme sebagai sebuah konsep juga dianggap bermasalah.
Tidak seperti demokrasi, sekularisme ditolak oleh semua pembicara sesi pertama
sebagai sebuah konsep yang sesuai dengan Islam. Konsep ini datang kedunia
Islam bersamaan dengan istilah-istilah lain seperti modernitas, Westernisasi, dan
modernisasi dalam kaitannya dengan kolonialisasme.

Bagi Syed Ali, sekularisme adalah produk worldview Barat yang tidak cocok
dengan Islam sama sekali. Sebab worldview Barat dan Islam kenyataannya
memang sangat berbeda. Menurut Sohail sekularisme di Barat digunakan untuk
memisahkan Negara dari otoritas agama, tujuannya agar kedamaian dapat
dipertahankan dalam masyarakat yang plural. Dengan menganut sekularisme juga
kewargaan Negara tidak ditentukan oleh agama dan kepercayaan, tapi tergantung
kepada hak dan kewajiban masing-masing warganegara. Namun, kenyataannya di
Negara-negara Islam sekularisme dipahami sebagai anti-agama dan anti-Islam.
Mensitir Fazlurrahman, bagi Sohail sekularisme adalah “kutukan modernitas”
yang menghancurkan universalitas dan kesucian semua nilai moralitas. Jadi
sekularisme adalah bersifat atheistik.

Tamimi juga melihat sekularisme sebagai pembebasan politik dari otoritas agama.
Kolonialis berperan sangat besar dalam menyebarkan sekularisme ini. Sebab
dengan konsep ini mereka dapat memarginalkan Islam atau menyingkirkan Islam
dari proses restrukturisasi masyarakat pada masa kolonial dan paska
kemerdekaan. Muslim yang terpengaruh oleh ide ini jelas berpandangan bahwa
agar maju, Muslim harus mengikuti Kristen. Muslim harus membatasi dirinya pada
masalah-masalah spiritiualitas dan kehidupan pribadi saja. Mereka juga beralasan
jika Islam dikaitkan dengan masalah sosial dan politik ia akan bertentangan
dengan sains dan teknologi. Padahal, lanjut Tamimi, kajian mutakhir menunjukkan
bahwa sains dan teknologi Barat bagi Muslim hanyalah bagian dari ilmu dan amal
yang dapat dipelajari dan digunakan tanpa harus menghilangkan identitas
keagamaan mereka.

Persoalannya kemudian apakah dengan sekularisme yang memisahkan agama
dari politik kemudian suatu Negara dapat dijamin dapat menghasilkan sistim
politik yang demokratis? Yasar Yakis menolak adanya kausalitas ini, artinya
sekularisme tidak menjamin wujudnya demokrasi. Masyarakat uni Sovyet,
contohnya, dibawah komunis adalah sekuler, namun bukan masyarakat
demokratis. Sebaliknya masyarakat atau Negara yang tidak sekuler seperti
Inggeris tidak dapat kita katakan sebagai Negara yang demokratis, katanya. Jika
suatu masyarakat dipimpin oleh pemuka agama, maka sekularisme dan
demokrasi sulit dilaksanakan, karena ada perbedaan tajam antara nilai-nilai
modern dan ajaran agama. Perbedaan tajam itu, katanya, karena wahyu dalam
Islam tidak relevan lagi untuk dunia modern sehingga syariah (hukum Islam) perlu
disesuaikan dengan nilai-nilai modern. Seperti kasus potong tangan bagi pencuri,
perbedaan bagian warisan laki-laki dan perempuan dsb. jadi satu-satunya jalan
untuk menghindari kontradiksi antara ajaran agama dan tuntutan modernitas
adalah sekularisme. Disini Yakis, yang mengakui tidak memiliki latar belakang
studi Islam, terjebak dalam pemahaman agama yang sempit.

Maka dari itu pendapat Yakis langsung mendapat tanggapan dari peserta lainnya.
Menurut Syed Ali, kita seringkali salah faham bahwa begitu menyebut syariah
yang terbenak dalam kepada kita hukum potong tangan, warisan, posisi wanita
dsb. Padahal inti tujuan hukum Islam itu universal. Inti dari syariah dalam Islam
adalah penjagaan nilai-nilai universal mengenai keadilan, kebebasan,
kemanusiaan, persamaan hak, perlindungan diri, harta, nyawa dsb. Bagi Rashwan,
dari Mesir, untuk menjembatani teks al-Qur’an dengan masalah-masalah
kontemporer sudah tersedia alatnya yaitu ilmu Usul Fiqh (legal philosophy). Azam
Tamimi sependapat dengan Rashwan menekankan bahwa persoalan di zaman
modern dapat diselesaikan melalui cara ijtihad dan pintu ijtihad tidak pernah
tertutup.

Jadi, karena Islam telah memiliki prinsip-prinsip sendiri yang tidak bertentangan
dengan demokrasi, politik Islam tidak perlu dikaitkan dengan konsep demokrasi
dan sekularisme. Namun, pertanyaan yang netral tapi cukup menyentak datang
dari Kunihiko Miyake, Presiden, AOI Foreign Policy Institute, Tokyo. Menurutnya,
jika hubungan konseptual antara Islam dan demokrasi bermasalah, nampaknya
kita tidak perlu mendiskusikannya. Dan kritikan Barat terhadap politik Islam juga
banyak yang tidak relevan. Anggap saja demokrasi adalah jalan atau sarana, tapi
masalahnya sekarang bagi Muslim adalah bagaimanakah dalam sistim Islam
sendiri masyarakat dapat mengoreksi kesalahan penguasa. Bagi Rasoul Mousavi,
Direktur Center for Studies of Central Asia and Caucasus, Iran, Muslim dapat
menerapkan demokrasi sekuler atau religious. Realitasnya di negara-negara Islam
demokrasi dengan pengertian yang berbeda-beda dapat berjalan dan dengan itu
memungkinkan bagi Muslim untuk mengoreksi penguasa. Mungkin, maksud
Mousavi adalah demokrasi dapat dilaksanakan dalam perspektif Islam.

Gerakan politik Islam

Lalu bagaimanakah gerakan politik Islam berpartisipasi dalam proses demokrasi?
Tiga Negara yang menjadi sorotan JIIA untuk di kupas secara khusus adalah
Indonesia, Singapore dan Mesir. Penulis mendapat tugas untuk memaparkan
fenomena kebangkitan politik Islam di Indonesia dan gerakan-gerakan yang
dianggap radikal dan ekstrim. Sementara Dias Rashwan mengupas mengenai
gerakan Islam di Mesir, khususnya Ikhwan Muslimun, sedangkan Kahiruddin al-
Juned membahas mengenai gerakan Muhamadiyah di Singapore. Kebangkitan
politik Islam di Indonesia paska Orde Baru penulis lacak pertama-tama dari
fenomena global kebangkitan Islam. Kemudian dari dampak yang ditimbulkan
oleh kebijakan depolitisasi umat Islam Orde Baru yang opressif, dan dukungan
terhadap ide pembaharuan yang membawa gagasan sekularisasi dan rasionalisasi.

Dari akibat fenomena global, Muslim Indonesia mengalami peningkatan
kesadaran keagamaan yang cukup tinggi, wanita berjilbab bertambah, shalat
Jum’at di masjid-masjid pernuh, ceramah kultum di kantor-kantor menjamur,
jumlah media massa Islam meningkat dsb. Sementara dampak dari depolitisasi
umat Islam dan juga mahasiswa Islam justru membangkitkan gerakan bawah
tanah. Gerakan mahasiswa berpindah dari student center ke masjid-masjid dalam
bentuk kelompok kajian. Sementara ormas-ormas Islam yang selama Orde Baru
ditekan menahan diri untuk tidak berpolitik, tapi ada pula yang bersifat gerakan
bawah tanah (underground) dan bahkan ada yang menjadi ekstrim dan radikal.

Gaya pemerintahan Orde Baru yang opressif dan sekularistis justru menelorkan
beberapa fenomena menarik: pertama bangkitnya partai-partai politik Islam
seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR dsb., suatu yang tak terbayangkan di zaman Orde
Baru. Ini juga merupakan bukti bahwa slogan Nurcholish Madjid tahun 70 an
“Islam Yes Partai Islam No” tak dapat dipertahankan lagi, artinya sekularisasi telah
gagal. kedua tumbuhnya gerakan-gerakan sosial Islam yang datang dari kampus

dan masjid-masjid, seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), FPI, Hizbuttahrir,
KAMMI dan sebagainya. Juga timbulnya gerakan-gerakan jihad seperti Majelis
Mujahidin Indonesia, Lasykar Jihad dan sebagainya. Dan ketiga timbulnya gerakan
liberalisasi yang merupakan kelanjutan proyek sekularisasi yang gagal.

Penulis kemudian membuat klassifikasi gerakan berdasarkan cara pemahaman
terhadap Islam menjadi dua: Liberal dan non-liberal. Gerakan liberal diprakarsai
oleh Jaringan Islam Liberal dan LSM yang sealiran dalam bidang pluralisme,
feminisme dan gender, kebebasan, dan sebagainya. Sedangkan non-Liberal adalah
organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain sebagianya
yang telah ikut berjuang mendirikan republik ini bersama dengan penganut
agama lain dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi. Kini kelompok non-liberal
bertambah dengan tumbuhnya partai-partai politik seperti PKS, PBB, PAN, PKB,
PBR dsb. Akhirnya penulis memprediksikan bahwa dimasa depan politik Islam
akan berada di tangan kelompok non-liberal dan bukan kelompok radikal atau
liberal.

Angel Rabasa dari Rand Corporation Amerika Serikat, memuji sistimatika paparan
penulis hanya saja ia tidak setuju dengan kesimpulannya dan mempertanyakan
klassifikasi liberal dan non-liberal. Penulis jelaskan bahwa Liberal mendahulukan
konteks, sedangkan non-liberal bervariasi ada yang mendahulukan teks, ada yang
mendahulukan teks tapi menggunakan akal, ada yang seimbang antara teks dan
konteks. Namun dari kelompok non-liberal terdapat kelompok yang tekstual yang
diantaranya cenderung bersikap ekstrim dan radikal. Maka dari itu terdapat dua
kutub ekstrim disini, pertama kelompok yang terlampau tekstual dan kelompok
yang terlalu kontekstual yaitu liberal. Namun non-liberal masih dalam domain
worldview Islam, sedangkan liberal telah dihegemoni oleh worldview Barat
postmodern. Kondisinya kini kelompok liberal berhadapan dengan kelompok non-
liberal yang tekstual maupun yang tekstual-rasional-kontektual. Konflik menjadi
memanas ketika diketahui bahwa kelompok liberal mendapat dukungan dana
besar dari Negara Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya. Jika dukungan ini

terus berlangsung dimasa depan, maka akan terjadi konflik yang berbahaya dan
akan memunculkan kebencian umat Islam Indonesia terhadap Amerika Serikat.

Professor Hisae Nakanisihi dari Universitas Osaka mengejar dengan pertanyaan
sejauh mana perbedaan liberal dan non-liberal sehingga saling berhadapan begitu
serius. Penulis jawab dengan hanya satu contoh yang kini gencar di promosikan
pejuang gender bahwa menurut penafsiran kelompok liberal homoseksualisme
dan lesbianisme dibolehkan dalam Islam. Pandangan ekstrim yang tentu
bertentangan dengan pendapat mayoritas umat Islam dan bahkan umat manusia.
Jawaban ini ternyata cukup mengejutkan para peserta, khususnya dari utusan
Negara-negara Islam.

Dari jawaban penulis ini akhirnya Sohail, Tamimi, Badoui dan Wan Mohd Nur
menganggap masalah campur tangan AS kenegara-negara Islam sebagai sesuatu
yang negatif. Persoalannya campur tangan AS bukan hanya masalah politik tapi
sudah masuk dalam masalah pemikiran, khususnya dalam memahami konsep-
konsep penting dalam bidang sosial, politik dan bahkan keagamaan. Kerancuan
konsep akan mengakibatkan kesalah fahaman terhadap Islam. Hanya karena
mendukung prinsip demokrasi, kata Wan Daud, Muslim didorong untuk mengakui
kebenaran agama lain. Ini adalah suatu kesalah fahaman akibat kesalahan konsep
yang tidak semestinya terjadi. Sedangkan bagi Tamimi karena kesalahan
memahami standar moderasi telah mengakibatkan kesan pada orang Barat
bahwa semua Muslim adalah radikal, fundamentalis dan teroris.

Pertanyaan penting yang jawabannya ditunggu pihak JIIA adalah di tangan
kelompok manakah masa depan politik Islam? Jawabannya hampir serempak
ditangan kelompok moderat, yaitu kelompok Muslim mayoritas di negara-negara
Islam. Tidak ditangan liberal ataupun ditangan radikal. Pertanyaan selanjutnya
adalah mengenai konsep moderasi. Siapakah kelompok moderat itu?

Moderasi Muslim

Makna istilah moderat sebenarnya menjadi rebutan. Terdapat sedikit perbedaan
dikalangan cendekiawan Muslim tentang istilah ini, namun terdapat perbedaan
tajam antara cendekiawan Muslim kebanyakan dan peneliti Barat. Diaa Rashwan,
Direktur Program for the Study of “islamis” Movement al-Ahram Center for Politic
and Strategic Studies, Kairo, membuat klassfikasi berdasarkan gerakan.
Klasifikasinya juga sangat simple: “moderat vs ekstrim”, “radikal vs damai”.
Baginya gerakan-gerakan kelompok Islam yang oleh Barat disebut “islamis” itu
sebenarnya adalah gerakan sosial politik Muslim yang menganggap kerja mereka
berada dalam masyarakat Muslim yang memerlukan kebijakan politik
berdasarkan platform syariah. Sedangkan gerakan keagamaan Muslim yang
disebut “jihadi”, “salafi”, “takfiri” atau lainnya itu lebih fokus pada masalah
keimanan dan kepercayaan, dan menganggap masyarakat dimana mereka hidup
sebagai tidak Islami. Akhirnya kelompok ini berjuang untuk meng-Islamkan
masyarakat baik melalui pengajaran ataupun usaha-usaha dakwah atau
berperang. Bagi kelompok ini politik tidak penting, karena ia adalah sarana bukan
tujuan.

Dengan klasifikasi ini Rashwan meletakkan gerakan Ikhwan Muslimum kedalam
kategori gerakan sosial politik dengan platform Islam dan bukan gerakan
keagamaan yang menekankan pada masalah keimanan. Maka dari itu gerakan ini
tidak mempersoalkan keislaman individual atau masyarakat, tapi berjuang untuk
menggerakkan masyarakat Muslim dan Negara Muslim sesuai dengan platform
hukum Islam. Namun, Rashwan segera menggaris bawahi bahwa gerakan
keagamaan seperti jihadi, salafi dan takfiri itu pada mulanya tidak radikal dalam
pengertian Barat. Radikalisme hanyalah kelompok kecil dalam gerakan
keagamaan seperti salafi atau lainnya dan bukan dalam semua gerakan

keagamaan. Sedangkan moderat dalam gerakan Islam tidak selalu berarti
menerima ide-ide dari Barat, tapi lebih menempuh jalan hikmah.

Berbeda dari Dia Rashwan, Angel Rabasa membuat definisinya sendiri tentang
makna moderat yang khas Barat. Sebelumnya ia membedakan antara “islamis”
dan “moderat”. “Islamis” adalah gerakan politik Islam berdasarkan interpretasi
salafi. Gerakan untuk memobilisasi kekuatan politik dan ideologi politik.
Sedangkan moderat adalah gerakan yang tidak berusaha untuk merekonstruksi
masyarakat agar sejalan dengan idealisme masa lalu yang diidamkan, tidak
menyesatkan atau menindas suatu sistim kepercayaan yang berbeda atau
merasionalisasikan penggunaan kekerasan terhadap mereka yang dianggap kafir.
Yang lebih penting lagi menurut Rabasa moderat adalah mereka yang mendukung
demokrasi, persamaan gender, HAM, kebebasan beragama, menghormati
perbedaan, menerima sumber hukum yang tidak berasal dari agama atau mazhab
tertentu, dan yang paling penting adalah menentang terrorisme dan kekerasan
yang tidak mendasar.

Definisi Rabasa segera mendapat sanggahan dan karena itu Prof. Keiko Sakai dari
Department of Foreign Studies, Tokyo University mempertanyakan siapa
sebenarnya yang berhak menentukan definisi. Nampaknya ia melihat ada
perebutan definisi moderat antara Islam dan Barat definisi moderat. Penulis
segera merespon pertanyaan Sakai, bahwa moderat atau tidaknya suatu sikap
dalam kaitannya dengan Islam harus dilihat dari bagaimana ia memperlakukan
teks dan bersikap pada konteks. Moderasi adalah keseimbangan antara teks dan
konteks. Masalahnya dalam standar politik definisi moderat terlalu berpihak pada
konteks politik dan melupakan teks. Juga dalam bidang sosial keagamaan, seperti
kasus Aminah Wadud sholat Jum’at di gereja bukan pengamalan dan pemahaman
berdasarkan teks, tapi praktek keagamaan yang terlampau kontekstual hanya
untuk merespon faham gender dan feminisme Barat sehingga melupakan teks.

Rashwan setuju dengan tolok ukur penulis dan ia menambahkan bahwa
radikalisme baiknya dikaitkan dengan politik saja, ekstrimisme dikaitkan dengan
keagamaan dan politik, sedang konservativisme adalah bersifat sosial dan lebih
baik dikaitkan dengan masalah internal umat. Penulis juga mengkritik standar
moderasi yang ditentukan oleh Rabasa, karena hanya merujuk kepada konteks
gerakan politik masa kini dengan konsep-konsep yang didominasi Barat. Jika
merujuk kepada konsep-konsep Islam pengertian moderat itu tentu akan
berbeda. Sebab Islam memiliki definisinya sendiri mengenai HAM, kebebasan
beragama, hak-hak wanita dan lain sebagainya.

Bagi Sohail, sifat moderat tidak perlu didefinisikan, karena ia adalah watak Islam
itu sendiri yang dimasa lalu menyebar ke Asia Selatan dan Tenggara. Jika Islam
yang tersebar waktu tidak moderat tentu tidak akan sampai ke kawasan itu.
Namun, Wan Mohd Nor menyela, definisi istilah penting harus merujuk kepada
otoritas dimana masyarakat itu berada. Dan tidak wajar jika didefinisikan oleh
outsider, al-Biruni contohnya, ketika dia menulis tentang agama Hindu, ia
berkonsultasi kepada pemuka-pemuka Hindu tentang ajaran agama itu.

Secara kebetulan pendapat Prof. Wan sejalan dengan atau dikuatkan oleh
pendapat Prof. Badoui Abdelmajid, guru besar Peradaban Arab-Islam pada Higher
Training School di Tunis. Dalam makalahnya yang secara khusus mengkaji Islam
dan moderasi itu ia menegaskan bahwa moderasi adalah esensi Islam itu sendiri.
Moderasi dapat disifati dengan stablitas dan perubahan. Stabil dikaitkan dengan
masalah keimanan sedangkan perubahan berkaitan dengan interaksi sosial yang
memang terus berubah. Ajaran untuk bersikap moderat dalam Islam terdapat
dalam hal keyakinan, ibadah, hubungan social dan dalam kehidupan nyata. Inilah
yang menjadi tolok ukur moderasi dalam kaitannya dengan gerakan sosial dan
politik Islam.

Radikalisme

Istilah dan gerakan yang memiliki daya tarik tinggi adalah radikalisme dan
ekstrimisme. Sebenarnya radikalisme adalah fenomena global dan tidak hanya
berkaitan dengan Islam. Dalam agama Kristen terdapat gerakan radikal, dalam
agama Hindu perusak masjid Babri di India adalah Hindu radikal dan dalam agama
Yahudi, pembunuh Isaac Rabin adalah Yahudi radikal. Begitulah Seyed Rasoul
Musavi memulai presentasinya.

Ia kemudian membagi pemahaman terhadap radikalisme kedalam tiga
pendekatan: tekstual dan situasional. Pendekatan tekstual, menurutnya, adalah
pemahaman terhadap teks Al-Quran secara tekstual sehingga mengakibatkan
sikap radikal, dan ini merujuk kepada kelompok Salafi. Situasional maksudnya
radikal yang disebabkan oleh situasi umat Islam karena pengaruh kondisi internal
dan eksternal. Kondisi internal adalah kondisi politik Islam yang oppresif
sedangkan eksternal adalah campur tangan Barat kedalam ranah politik Islam.
Karena pengaruh ekternal inilah gerakan radikal yang bersumber pada
nasionalisme, liberalisme maupun sosialisme yang kesemuanya sekuler wujud
didunia Islam. Radikal dalam membela atau menolak Barat.

Kita dapat saja mengalahkan berbagai jenis gerakan radikal di atas, kata Mousavi
tapi kemudian akan timbul gerakan lain yang serupa atau yang lebih berbahaya.
Solusi yang ditawarkan Musavi cukup menarik, yaitu Barat, khususnya Amerika
Serikat (AS), perlu merubah kebijakan, pola fikir dan perilaku mereka. Jadi,
pendudukan, invasi, sanksi-sanksi dan intervensi harus diakhiri.

Sejalan dengan pandangan Mousavi, Prof. Wan Mohd Nor melacak sumber
radikalisme dari faktor internal dan ekternal. Yang internal disebabkan oleh de-
tradisionalisasi dan de-sufisasi dalam diskursus keislaman dan etika, serta

hilangnya otoritas keagamaan dan politik, sedangkan yang eksternal dipicu oleh
problem-problem umat Islam seperti masalah Palestina, Thailand Selatan, Filipina
Selatan, Asia Tengah, Kashmir. Selain itu sikap double-standard dan Islamphobia
Barat terhadap Islam juga memicu sikap radikal.

Solusi yang ditawarkan Prof.Wan lebih mendasar dari Mousavi yaitu perlunya
reformasi internal pendidikan umat Islam. Ini dilakukan dengan re-tradisionalisasi
pendidikan Islam dan menekankan pada penguasaan dan pengamalan nilai-nilai
moralitas. Jadi bukan westernisasi atau liberalisasi pendidikan Islam, karena
liberalisasi justru counter-productive. Selain itu perdamaian abadi di Timur
Tengah perlu diciptakan, problem Muslim minoritas juga harus diselesaikan, Barat
hendaknya mendukung pemerintah yang bersih, adil dan tidak korup, jika tidak
maka masyarakat akan membenci Barat.

Nampaknya, keberatan Muslim secara keseluruhan untuk dikaitkan dengan
radikalisme dan ekstrimisme dapat diterima peserta. Keiko Sakai setuju agar kita
tidak selalu mengkaitkan ekstrimisme dengan Islam, kita perlu memahami kasus
per kasus serta faktor-faktor yang memotivasi timbulnya tindak radikal dan
ekstrim. Namun, Rabasa tanpa sungkan-sungkan menuding bahwa gerakan
radikal dalam Islam disebabkan oleh adanya gerakan politik keagamaan dari
Mesir, yaitu gerakan Jihadi. Tudingan ini dibantah Rashwan, sebab, alasannya,
gerakan Jihad di Mesir itu asalnya tidak ada konotasi radikalisme atau
ekstrimisme yang menjurus kepada kekerasan fisik. Namun, setelah adanya
perang Afghanistan, gerakan Jihad berkembang menjadi gerakan radikal dan
ekstrim, dan apa yang terjadi di Afghanistan adalah karena hasil strategi AS.
Rabasa menolak tapi Rashwan tetap bertahan dan mengklaim bahwa dia tahu
banyak tentang gerakan Islam di Mesir sebelum tahun 90an.

Kesimpulan

Diskusi dalam siymposium diatas sangat penting bagi mendudukkan berbagai
posisi gerakan keagamaan dan politik Islam. Peninjauan kembali stigma yang
dilabelkan kepada gerakan politik Islam diharapkan dapat mengoreksi pandangan
negatif Barat terhadap Islam. Artinya sebelum menjelaskan tentang keadaan
sosial dan politik umat Islam serta masa depannya para pengamat perlu
memahami kedudukan masing-masing kelompok dalam peta hubungan Islam dan
Barat. Symposium ini cukup berhasil melakukan hal itu. Simposium dianggap
sukses oleh JIIA, karena semua partisipan aktif bertukar fikiran dalam suasana
dialogis yang hidup.

Nampaknya, JIIA telah memperoleh gambaran bahwa mayoritas di berbagai
negara Muslim adalah moderat. Yang tidak kalah penting adalah bahwa
simposium telah memberi banyak masukan kepada RAND corporation dari AS.
RAND adalah salah satu think tank pemerintah AS untuk mengatur strategi
penyebaran liberalisme kenegara-negara Islam pasca tragedi 11 september.
Diantara masukan terpentingnya adalah bahwa AS ternyata tidak hanya
menumpas teroris, tapi juga menumpas pemikiran umat Islam. Sebab ekstrimis
dan radikal hanyalah segelintir orang yang perlu diwaspadai bersama.

Sebenarnya, liberalisai yang ditebarkan AS tidak mampu meredam ekstrimis dan
teroris, tapi malah menggilas keyakinan dan pemikiran umat Islam. Bagi Muslim
bahaya teroris tidak sebesar bahaya intervensi AS dalam membantu kelompok
ekstrim liberal. Sebab dengan program liberalisasi pemikiran keagamaan
kebencian umat Islam terhadap AS menjadi semakin bertambah dan dapat
mengakibatkan konflik yang lebih serius dimasa depan.

“Kebenaran”

sumber hidayatullah.com

Untuk menguasai agama tidak perlu beragama, demikian kata kaum liberal. Itulah
sebabnya mereka membuat “teologi-teologi” baru. “Untuk menjadi wasit tidak
perlu menjadi pemain” itu logikanya

oleh: Hamid Fahmi Zarkasy *

“Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman
postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika. Ia
bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang,
tapi tanpa penguasa. Tepatnya dokrtin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu
memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik
buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa
adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat
modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan
mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang
tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan
persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran.
Aristotle rela memilih kebenaran dari pada persahabatan.

Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernisn lalu ingin menguasai
agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin
logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya
mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi
dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin

“teologi” pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan
Transcendent Unity of Religions mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga
menjadi global di ciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One, Tuhan semua
agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.

Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka
berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu
relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur
kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar
bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu
yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua
diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln,
“No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan
kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra’a minkum munkaran…dst bukan hanya
menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama
jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.

Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu
“haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan
penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus
dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing!
Sadar atau tidak mereka sedang men “dakwah”kan ayat-ayat syetan Nietzsche
tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar
orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau anda merasa agama anda
benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.

Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga
Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya
untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah
dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.

Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana
tidak ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran,
moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah
kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan “Tidak ada
kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda
mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “semua adalah relatif” atau
“Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias
tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “disana ada
kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “disana tidak ada
kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.

Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di
negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Krsiten missionaries dan 27%
atheis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara
dewasanya percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell
di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu
doktrin postmo pun berubah:“Anda boleh percaya yang absolut asal tidak
mencoba memaksakan kepercayaan anda pada orang lain”. Artinya tidak ada
siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini
sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap
pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan
amar ma’ruf nahi munkar.

Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “yang absolut
hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak.
Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif
(mumkin al-wujud). Tapi ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi. Al-
Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa manusia (Arab), Hadith yang disabdakan
Nabi, ijtihad ulama dsb. adalah relatif belaka. Tidak absolut. Sebab semua
dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah
berfirman al-haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada

Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada disini di
masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Yang manusiawi dan
menyejarah sebenarnya bisa mutlak.

Thomas F Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem,
menyatakan percaya pada Tuhan yang mutlak berarti percaya bahwa nilai-nilai
moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan
(hal 60). Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan
manusia,…tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa
berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya
yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah para hukama ’al-Nas a‘da ma jahila,
manusia itu benci terhadap apa yang tak diketahuinya. [www.hidayatullah.com]

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilization (INSISTS)

“Worldview”

sumber http://www.insistnet.com

Ditulis Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi

Adalah Samuel P.Huntington yang menamai konflik global sekarang ini dengan
clash of civilization melalui bukunya berjudul The Clash of Civilization and the
Remaking of the World Order (1996). Alasannya, sumber konflik ummat manusia
saat ini bukan lagi ideologi, politik atau ekonomi, tapi kultural. Sebab semua orang
kini cenderung mengidentifikasi diri dengan identitas kultural. Jika kultur atau
peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah
worldview. Jadi clash of civilization berindikasi clash of worldview.

Banyak yang tidak sepakat dengan Huntington. Mungkin karena superficial atau
provokatif. Seakan berbeda budaya bisa berarti perang. Namun Huntington bukan
tanpa pendukung. Peter Berger misalnya, setuju konflik politik sekarang ini adalah
collision of consciousness (benturan kesadaran atau persepsi), kata lain dari clash
of civilization. Tapi pilihan kata, clash dan collision memang vulgar, masih kalah
lembut dari kata-kata al-Attas divergence of worldviews. Tapi benarkah kini
sedang terjadi clash of civilization?

Hampir semua sepakat bahwa setiap peradaban mempunyai worldview. Jerman
lebih dulu memiliki istilah weltanschauung: welt = dunia, anschauung = persepsi,
berarti persepsi tentang dunia; di Italia digunakan istilah “konsepsi tentang
dunia”, di Perancis kata weltanschauung dipinjam dan diartikan dengan
“pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi kehidupan”, di Rusia disebut
mirovozzrenie berarti pandangan dunia. Dan semua setuju bahwa kata worldview
harus diikat oleh predikat kultural, religius, ataupun saintifik. Jadilah, misalnya
istilah Christian Worldview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern
worldview dan the Worldview of Islam. Semua mempunyai cara pandang yang
ekslusif. Tapi semua orang tahu disitu ada proses saling meminjam antar
peradaban, antar worldview. Mungkin ini sebabnya di Barat orang mudah
menerima denominasi berdasarkan worldview ketimbang “agama”. Hegel
misalnya ketika ia baca teologi Hindu ia spontan menerimanya sebagai Indischen
weltanschauung. Bahkan Ninian Smart menjadikan worldview sebagai alat untuk
mengekplorasi kepercayaan manusia (crosscultural explorations of human
beliefs).

Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas worldview bagaikan
berlayar kelautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Meskipun
begitu di Barat ia tetap hanya sejauh jangkauan panca indera. Luasnya worldview
bagi Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi (mundus
sensibilis).Tapi bagi Shaykh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi
darimana ia bermula, maka worldview adalah mabda’ (tempat bermula). Disitu

dapat diketahui spektrum makna worldview. Sedangkan worldview Islam seperti
yang digambarkan al-Attas tidak sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi
seluas skala wujud, ru’yat al-Islam lil wujud.

Tapi memakai worldview sebagai matrik agama, peradaban, kepercayaan atau
lainnya sah sah saja. Sebab worldview bisa diukur dari apa yang ada dalam pikiran
orang. Oleh sebab itu dilapisan dalam worldview terdapat conceptual framework
(kerangka kerja konseptual). Tidak salah jika kemudian Dilthey menjadikannya
sebagai asas formulasi epistemologis yang obyektif. Worldview lalu berfungsi
sebagai asas ilmu-imu sosial (Dilthey), dan ilmu-ilmu alam (Kant). Thomas S Kuhn
(1922-1996) bahkan menyulap worldview menjadi paradigma yang menyediakan
nilai, standar dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik. Ia
bahkan menyebutnya matrik disipliner (disciplinary matrix) yang memiliki elemen
yang tersusun. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Husserl dalam Crisis of
European Sciences, bahwa worldview itu akhirnya mirip dengan kepercayaan
keagamaan yang bersifat individual. Di satu sisi ini merupakan dinamika pemikiran
yang positif. Ringkas kata, paradigm dan worldview memiliki variable-variable
konsep yang terstruktur, yang berproses menjadi framework pemikiran, dan
disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu menjadi sarat nilai, alias tidak
netral.

Dalam Islam, sejauh apapun fikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi
obornya. Al-Qur’an sendiri sarat dengan sistim konsep (conceptual scheme). Ilmu-
ilmu seperti fiqih, hadith, tafsir, falak, tabi’ah, hisab, dsb, adalah derivasi dari
konsep-konsep dalam wahyu. Artinya worldview Al-Quran telah menghasilkan
framework dan disiplin ilmu yang juga ekslusif. Orang Barat, misalnya, tidak bisa
mengadopsi metode ta’dil dan tajrih ilmu hadith, atau mengadopsi ilmu fara’id
dalam Islam, dst. Sebaliknya orang Islam juga tidak bisa terima teori kebenaran
dikhotomis: obyektif dan subyektif. Tidak juga bisa menerima doktrin pan-
seksualisme Freud, doktrin evolusi Darwin dsb. Setiap teori atau konsep
berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview.

Kalau saya terpaksa setuju dengan Huntington, maka saya hanya setuju pada
dataran epistemologis. Itupun kalau ini termasuk dalam thesis Huntington. Pada
dataran ini memang seperti tidak terjadi apa-apa, tidak terlihat pula konflik sosial,
lebi-lebih senjata. Senjatanya adalah pena-pena para pemikir, yang dalam Islam
dihitung baik pedang syuhada. Akibatnya, tidak kasat mata. Hanya saja disana sini
terjadi kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of
identity). Namun disini istilah clash of worldview lebih tepat disebut worldview
intrusion.

Banyak contoh yang bisa membuktikan bahwa pemikiran ummat Islam kini
sedang dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak cendekiawan Muslim atau
“ulama” memuji habis Immanuel Kant, Karl Marx, Thomas S Kuhn, Derrida dkk.,
tapi mengkritik al-Ash’ari, al-Ghazzali, al-Shafi’i dll. Ada pula yang ragu apakah al-
Qur’an benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya rukun Iman. Kini malah
ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan begitu maskulin.
Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang hitam, juga
seorang Marxist. Ia memahami makna Tawhid, tapi tidak tahu berfikir tawhidi.
Imannya tidak didukung oleh akalnya sehingga ilmunya tidak menambah
imannya. Muslim tapi worldview dan framework berfikirnya tidak. Itulah dampak
worldview intrusion.

Bagi yang tidak percaya thesis Huntington, boleh jadi ia percaya pada Derrida
(1930-..). Sebab tradisi intelektual Barat yang oleh Derrida disebut logocentrism
telah dirobohkan (deconstructed). Zaman postmodern telah menjadi post-
worldview era. Tidak ada lagi worldview. Tidak ada kepastian akan kebenaran
tentang alam, apalagi framework. Semua bebas memahami semua. Jadi tidak ada
clash of worldview. Tapi bukankah Derrida sedang mengusung worldview dan
framework dia sendiri?

Humorpun bagi Witgenstein masih termasuk worldview, meski ia hanya ilusi
manusia tentang dunia. Dalam teologi Kristen sendiri konflik kebaikan dan
kejahatan dianggap sebagai konflik worldview. Konflik antara kerajaan Tuhan
dengan kerajaan Setan. Jadi clash of worldview atau intrusion of worldview
bukanlah skenario peperangan, karena ia terjadi dalam diri kita sehari-hari, dalam
akal dan hati kita. Oleh sebab itu kita tidak hanya perlu ditunjukkan tentang
hakekat kebenaran tapi juga jalan menuju kebenaran. “Allahumma arina al
haqqan warzuqnat tiba’ah, wa arinal bathila-bathilan warzuqnaj tinabah.”
[www.hidayatullah.com]

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilizations (INSISTS)

PANDANGAN HIDUP ISLAM SEBAGAI FRAMEWORK STUDY ISLAM
Ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi

1) Pendahuluan

Islam adalah nama agama yang lahir dari sebab turunnya wahyu ilahi kepada Nabi
Muhammad saw, yang kemudian difahami dan disebarkan oleh akal dan intuisi
manusia. Islam kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban baru dengan
struktur konseptualnya yang kokoh dan universal. Perkembangan Islam keluar
dari jazirah Arab merentasi berbagai suku bangsa di dunia dengan tanpa
mengalami perubahan pada prinsip-prinsip dasarnya adalah diantara bukti bahwa
Islam adalah agama untuk seluruh ummat manusia. Prinsip-prinsip dasar Islam
yang telah turun sempurna itulah sebenarnya yang menjadi titik tolak
perkembangan peradaban Islam dikemudian hari. Artinya Islam yang turun

membekali manusia seperangkat ritus peribadatan untuk beribadah kepadanya
dan pada saat yang sama juga mengajarkan pandangan-pandangan (view)
fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, iman, ilmu,
amal, akhlak dan lain sebagainya. Dengan bekal seperti itu Islam kemudian
merupakan agama (din) dan sekaligus peradaban (madaniyyah) nyang memiliki
bangunan konsep (conceptual structure) yang disebut pandangan hidup
(worldview). Pandangan hidup (worldview) memiliki peran sebagai cara pandang
terhadap segala sesuatu dan secara epistemologis dapat berfungsi sebagai
framework dalam mengkaji segala sesuatu. Dalam kaitannya dengan poin yang
terakhir makalah ini akan mengupas pandangan hidup Islam sebagai sebuah
konsep dan framework kajian Islam. Hal ini penting dilakukan sebab Islam telah
dipahami dengan menggunakan pandangan hidup dan framework Barat seperti
yang telah dilakukan oleh orientalis [1] ataupun Islamolog-Islamolog yang memilik
cara pandang sendiri terhadap Islam.

[1] Kajian Edward Said terhadap orientalisme menghasilkan tiga kesimpulan
bahwa 1) kajian orientalis tentang Islam lebih merupakan gambaran tentang
pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient); 2) bahwa
orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan
Arab dan Islam; 3) bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa
interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Keith
Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” dalam The New Criterion Vol.
17, No. 5, January 1999, hal. 5.

2) Pengertian

Untuk memahami teori tentang pandangan hidup yang pertama-tama perlu
dijelaskan adalah definisi atau pengertian pandangan hidup itu. Sebenarnya istilah
umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian ideologis sekuler,
kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin teologis yang ber visi

keduniaan. Namun terdapat agama dan peradaban yang memiliki spectrum
pandangan yang lebih luas dari sekedar visi keduniaan maka makna pandangan
hidup dalam konteks Islam diperluas. Karena dalam kosa kata bahasa Inggeris
tidak terdapat istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih luas dari
sekedar realitas keduniaan selain dari kata-kata worldview, maka cendekiawan
Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspressi bahasa Inggeris)
untuk makna pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau realitas
keduniaan dan keakheratan dengan menambah kata sifat “Islam”. Namun
dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang
khas yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk
menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat bangsa
atau agama maka beberapa definisi tentang worldview yang juga
menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya dapat dikemukanan disini.
Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa
yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi
keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” [1] Hampir serupa dengan
Smart, Thomas F Wall mengemukakan bahwa worldview adalah sistim
kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang
makna eksistensi (An integrated system of basic beliefs about the nature of
yourself, reality, and the meaning of existence).[2] Lebih luas dari kedua definisi
diatas Prof.Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku
manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas
manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam
pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan
hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific and
technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its
worldview, and as such it is reducible to that worldview.[3]

Ketiga definisi diatas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun
definisi untuk Islam mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya
yang luas dan menyeluruh. Sebagai contoh akan disampaikan definisi worldview
Islam oleh beberapa tokoh ulama zaman modern. Dalam tradisi Islam klasik terma
khusus untuk pengertian worldview belum diketahui, meski tidak berarti Islam
tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk
pengertian worldview ini, meskipun berbeda antara satu dengan yang lain.
Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision),
Sayyid Qutb menggunakan istilah al-TaÎawwur al-IslamÊ (Islamic Vision),
Mohammad AÏif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Islamic Principle),
Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil wujËd (Islamic
Worldview). Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para
ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri
terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah
ini sejatinya adalah netral. Artinya agama dan peradaban lain juga mempunyai
Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga al-Mabda’ juga dapat dipakai untuk cara
pandang komunis al-Mabda’ al-Shuyu’i, Western worldview, Christian worldview,
Hindu worldview dll. Maka dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan kata
worldview, Vision atau Mabda’ maka makna etimologis dan terminologis menjadi
berubah.

Manurut al-Mauwdudi, yang dimaksud Islami Nazariyat (worldview) pandangan
hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi
pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah
adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya
dalam kehidupannya secara menyeluruh.[4] Shaykh Atif al-Zayn mengartikan
mabda’ sebagai aqidah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan
pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman kepada hakekat wujud Allah,
kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-
hal yang ghaib……..itu berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal
sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai Din yang
diturunkan melalu Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia

dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.[5] Sayyid Qutb mengartikan al-
tasawwur al-Islami, sebagai akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk
dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang
wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.[6] Bagi Naquib al-Attas worldview
Islam adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak
oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang
dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti
pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).[7]

Definisi diatas menunjukkan dua makna yang saling melengkapi. Pertama, yang
disampaikan al-Mawdudi dan Atif al-Zain, menekankan bahwa cara pandang
Muslim terhadap segala sesuatu dimulai dari keimanan pada Tuhan yang
direfleksikan dalam keseluruhan aktifitas kehidupan. Sedangkan kedua, yang
disampaikan Syed M.N. al-Attas dan Sayyid Qutb, menekankan bahwa Islam telah
mengandung gambaran dan cara pandang terhadap realitas (wujud). Bahkan al-
Attas, seperti yang tertuang dalam karya-karyanya, melihat padangan hidup Islam
secara metafisis dan epistemologis sehingga dapat menjadi basis bagi framework
mengkaji segala sesuatu.

Dalam studi keagamaan modern (modern study of religion) istilah worldview
secara umum merujuk kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler, [8]
tapi dalam Islam pandangan hidup merujuk kepada makna realitas yang lebih
luas, oleh sebab itu terma yang diperkenalkan al-Attas adalah ru’yat al-Islam li al-
wujud “pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang wujud.[9] Oleh
sebab itu ia menjelaskan lebih lanjut bahwa pandangan hidup Islam itu,

….bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan
manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural…tapi mencakup
aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat

dan mendalam dengan aspek akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan
sebagai aspek final”.[10]

Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah
“visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang
arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable)
bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi”.[11] Ini
berarti bahwa pandangan hidup Islam merupakan seperangkat konsep dasar
(basic concept) yang berguna untuk melihat berbagai obyek kajian. Adapun
konsep-konsep dasar itu dapat digambarkan dalam elemen pandangan hidup
yang juga merupakan struktur konsep dibawah ini.

3) Pandangan Hidup sebagai Bangunan Konsep

Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup itu saling terkait erat dan merupakan
kesatuan pemikiran maka pandangan hidup adalah bangunan konsep yang
terdapat dalam pikiran seseorang atau jaringan berfikir (mental network) yang
berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Bangunan
konsep itu terbentuk dalam alam pikiran seseorang secara perlahan-lahan (in a
gradual manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang
dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya
membentuk framework berfikir (mental framework).[12] Secara epistemologis
proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu
akumulasi pengetahuan a priori dan a posteriori.[13] Proses itu dapat dijelaskan
sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu
terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-
lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan
dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network). Jaringan ini membentuk
struktur berfikir yang koheren yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan.
Maka dari itu pandangan hidup seseorang itu terbentuk tidak lama setelah

pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu
keseluruhan yang saling berhubungan.[14] Konsep-konsep yang terakumulasi itu
sudah tentu melalui proses dan mekanisme mengetahui yang menerima dan
menolak pengetahuan yang diperolehnya secara selektif. Artinya ketika akal
seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami, dimana
pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan
yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang
dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak menjadi bagian dari
pandangan hidup. Orang bisa saja mengetahui faham sekularisme, misalnya, tapi
ia tidak mesti menerima faham itu dan menjadi sekuler.

Jika struktur konsep yang masuk kedalam pikiran seseorang itu dilacak secara
alami maka maka akan kita bahwa konsep yang pertama kali masuk dalam pikiran
seseorang adalah tentang kehidupan, termasuk didalamnya konsep hubungan
antar sesama arti dan tujuan hidup (dalam kasus Islam bisa bertambah menjadi
arti hidup dunia dan akherat), cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan
sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya.[15] Sesudah
konsep hidup dan kehidupan berkembang dalam pikiran seseorang maka secara
alami pula konsep mengenai dunia dimana manusia hidup akan terbentuk.
Pandangan dan konsep mengenai dunia di sekitarnya ini akan melahirkan konsep
ilmu pengetahuan. Gabungan dari konsep kehidupan, dunia dan pengetahuan ini
melahirkan konsep yang lebih canggih lagi yaitu konsep nilai dan moralitas.Dari
kombinasi itu semua konsep yang tidak kalah pentingnya adalah konsep tentang
diri manusia itu sendiri.

Meskipun pengetahuan yang diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun
ketika ia terstruktur dalam pikiran manusia dalam bentuk konsep-konsep ia dapat
diindetifikasi. Professor Alparslan mengkategorikan struktur pandangan hidup
menjadi lima bidang konsep:

1) Struktur konsep tentang kehidupan,

2) Struktur konsep tentang dunia,

3) Struktur konsep tentang manusia,

4) Struktur konsep tentang nilai dan

5) strutktur konsep tentang pengetahuan.[16]

Proses akumulasi struktur konsep diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu
berurutan, atau bahkan mungkin dalam beberapa aspek simultan, tapi yang
penting kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konsep.
Kesatuan konsep ini berfungsi sebagai kerangka umum (general scheme) dalam
memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, dan bahkan mendominasi
cara berfikir kita. Maka dalam pengertian ini pandangan hidup merupakan
framework berfikir. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan
oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan merupakan produk dari
struktur konsep diatas.

Bagi seseorang yang memiliki agama atau kepercayaan sudah tentu konsep Tuhan
akan masuk kedalam pandangan hidupnya.[17] Bagi al-Attas elemen pandangan
hidup Islam adalah seluruh konsep yang terdapat dalam Islam. Diantara yang
paling utama adalah Konsep tentang hakekat Tuhan, Konsep tentang Wahyu (al-
Qur’an), Konsep tentang penciptaan, Konsep tentang hakekat kejiwaan
manusia, Konsep tentang ilmu, Konsep tentang agama, Konsep tentang

kebebasan, Konsep tentang nilai dan kebajikan, Konsep tentang
kebahagiaan,[18] dsb. Disini konsep menurut al-Attas sangat penting dalam
pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu
sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik yang dapat
berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Konsep-
konsep itu bagi al-Attas merupakan sistim metafisika yang dapat berguna untuk
melihat realitas dan kebenaran. Sebab menurutnya sistim metafisika yang
terbentuk oleh worldview itulah yang berfungsi menentukan apakah sesuatu itu
benar dan riel dalam setiap kebudayaan. Elemen-elemen mendasar yang
konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan
(development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini
berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata
kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk
worldview.[19] Dengan konsep seperti ini dapat dikatakan bahwa pandangan
hidup adalah merupakan sebuah framework untuk mengkaji sesuatu.

4) Pandangan Hidup Islam sebagai Asas Epistemologi

Karena pandangan hidup telah menjadi konsep-konsep yang terstruktur dalam
pikiran seseorang maka ia akan mempengaruhi proses berfikir seseorang atau
dapat digambarkan sebagai vicious circle (lingkaran setan), dimana yang satu
dapat mempengaruhi yang lain. Kepercayaan terhadap pengetahuan tentang
Tuhan, misalnya, membuat pengetahuan non-empiris menjadi mungkin
(possible). Sebaliknya ingkar terhadap pengetahuan tentang Tuhan dapat
berakibat pada menafikan pengetahuan non-empiris (metafisis). Demikian pula
dalam masalah moralitas. Dalam kajian Thomas F Wall kaitan konsep dalam
worldview dan moralitas sangat jelas, ia menyatakan:

It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important
element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are

more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are
consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human
convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will
have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that
there is a higher reality – the supernatural world. ..if on the other hand, we
believe that there is no God and that there is just this one world, what would we
then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and
after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.[20]

Arti bebasnya, kepercayaan kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin
elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama jika kita percaya
bahwa Tuhan itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa disana ada arti
dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten kita akan percaya bahwa sumber
moralitas bukanlah sekedar kesepakatan manusia tapi kehendak Tuhan dan
Tuhan adalah nilai tertinggi. Selanjutnya, kita harus percaya bahwa ilmu dapat
lebih dari apa yang dapat diamati [empiris, pen] dan disana terdapat realitas yang
lebih tinggi yakni alam supernatural. Sebaliknya jika kita tidak percaya pada Tuhan
dan alam itu hanya satu, lalu apa akan kita percayai tentang arti hidup, hakekat
diri kita, hidup sesudah mati, sumber standar moralitas, kebebasan dan tanggung
jawab dan sebagainya.

Kutipan diatas menjelaskan adanya kaitan antara worldview dengan realitas, ilmu
dan moralitas. Secara konseptual hubungan pandangan hidup dengan
epistemologi melibatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip ontologi, kosmologi
dan aksiologi.

Prinsip ontologi dalam Islam dapat disebut juga sebagai visi metafisis tentang
wujud dan realitas tertinggi yang diambil dari wahyu. Wujud Tuhan sebagai
realitas tertinggi dalam Islam adalah sentral. Dalam Islam realitas alam fisik yang
nampak (sensible world) dipandang sebagai realitas relatif yang berhubungan dan

bergantung pada realitas metafisis yang absolut. Struktur ontologi yang dalam
terminologi Islam dikategorikan menjadi Élam al-mulk dan Élam al-shahÉdah,
menunjukkan bahwa pencarian ilmu dalam Islam tidaklah sekedar persoalan
indera dan akal yang analitis yang bidang operasionalnya dalam sains modern
dibatasi oleh realitas alam dan pengalaman inderawi. Ia melibatkan realitas yang
tertinggi, sebab hanya dalam konteks realitas inilah maka hakekat dan pentingnya
realitas alam yang nyata ini dapat dipahami. Maka dari itu dalam sains Islam,
pengetahuan pragmatis horizontal (diskriptif dan prediktif) tentang realitas alam
berada dibawah pengetahuan vertikal kontemplatif dan apresiatif tentang makna
kedua alam itu.[21] (inna fi khalqi al-samawat) (QS….). Ini berarti bahwa
bertambahnya ilmu tentang alam semesta membawa pada bertambahnya ilmu
tentang alam transenden dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.

Prinsip kosmologis artinya adalah visi tentang struktur, proses dan fungsi realitas
fenomenal. Dalam prinsip ini alam dilihat sebagai ciptaan yang sejalan dengan al-
Qur’an yang tidak diciptakan. Sebab keduanya mempunyai sistem ÉyÉt yang
integral yang memberi petunjuk kepada manusia tentang Penciptanya. Alam
semesta ini adalah kitab yang tak tertulis sedangkan al-Qur’an adalah kitab yang
tertulis. Dalam hal ini al-Attas menyatakan bahwa “alam dunia ini terdiri dari ayat-
ayat Tuhan, yang makna-makna simboliknya diilhamkan kepada manusia dan
memberi kesempatan kepada manusia untuk mengamati dan melibatkan dirinya
dalam mengetahui aspek Realitas ini agar dapat memahami hakekatnya yang
tertinggi”.[22] Karena susunan dan sistim kebendaan pada alam ciptaan adalah
analog dengan susunan dan sistim kata dalam wahyu, maka benda-benda pada
dunia empiris harus diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang
terdapat dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu
kesatuan organis yang merefleksikan al-Qur’an itu sendiri.[23]

Karena struktur ontologis dan kosmologis Islam yang sedemikan itu maka realitas
dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia
yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Ini berbeda

dari pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran yang dibentuk
berdasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan
berbagai fenomena sosial. Meskipun pandangan ini tersusun secara coherence,
tapi sejatinya bersifat artificial. [24]

Pendekatan integral terhadap realitas fisik dengan realitas metafisik, antara ayat-
ayat kawniyyah dengan ayat-ayat qauliyyah, inilah sejatinya framework
epistemologi dalam Islam. Dan disinilah sejatinya pandangan hidup Islam terkait
secara konseptual dengan epistemologi. Untuk lebih detailnya ilustrasi berikut ini
menunjukkan peran pandangan hidup terhadap cara pandang seseorang terhadap
realitas alam nyata. Contoh yang paling sederhana adalah pandangan seorang
pengamat peristiwa alam. Orang pertama mengatakan “Saya melihat gunung dan
melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang terjadi”;
orang kedua menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari
dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang saya lihat”; orang ketiga
menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan semua
itu bukan apa-apa kecuali setelah saya menyebutnya”. Masing-masing cara
pandang diatas menunjukkan pandangan tentang bagaimana kita mengetahui.

Di Barat cara pandang orang pertama disebut dengan cara pandangan realisme;
yang kedua dinamakan anti-realisme dan yang ketiga dinamai realisme kritis.
Penjelasannya adalah sbb: Realisme berdalih bahwa pemahaman terhadap
cosmos adalah langsung dan akurat serta tidak dipengaruhi oleh presupposisi dari
worldview ataupun pengaruh-pengaruh subyektif lainnya. Pandangan ini
berdasarkan pada empat premis dasar 1) realitas obyektif dan independen itu ada
2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan bebas dari pengamat 3) manusia yang
mengetahui memiliki kemampuan kognitif untuk memahami realitas yang tetap
ini tanpa dibebani oleh tradisi atau kecenderungan personal 4) kebenaran dan
pengetahuan tentang alam adalah ditemukan dan pasti, dan tidak diciptakan dan
relatif. Ringkasnya, bagi seorang realis menolak masuknya (interposition) apapun
dari pikiran kedalam diri pengamat dan obyek yang diamati.

Sedangkan anti-realisme adalah pandangan yang memisahkan secara radikal apa
yang ada disana dan berbagai pandangan tentang itu. Disini worldview
mendominasi dan sistim kepercayaan tidak ada kaitannya dengan realitas,
danbahkan realitas dianggap tidak ada. Pandangan ini dapat dicirikan menjadi
empat 1) meski mengakui bahwa dunia yang nampak ini mungkin saja ada, ciri-ciri
obyektifnya tetap saja kabur 2) pengetahuan manusia memilik kelemahan dalam
memahami alam seperti apa adanya 3) apa yang dianggap realitas adalah sesuatu
yang dibentuk secara linguistik, produk akal manusia yang idealistis dan 4)
konsekuensinya, kebenaran dan pengetahuan tentang alam, tidak ditemukan
(dicovered) dan pasti, tapi diciptakan (invented) dan relatif.

Adapun realisme kritis (critical realism) menerima realitas obyektif dan
kemungkinan diperoleh ilmu yang dapat dipercaya tentangnya, bahkan juga
mengakui adanya presupposisi yang menyertai manusia ketika mereka
mengetahui sesuatu yang mendorong pembahasan kritis tentang esensi
pengetahuan seseorang tentang itu. Proposisi aliran ini ada empat 1) realitas
obyektif dan endependen itu ada 2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan
independen dari pengamat 3) seseorang yang tahu, memiliki kemampuan kognitif
yang dapat dipercaya untuk mengetahui realitas yang tetap ini, namun pengaruh
presupposisi dan pandangan hidup serta tradisi individu menjadi prasyarat dan
merelatifkan proses mengetahui itu dan 4) karena itu kebenaran dan
pengetahuan tentang alam, sebagiannya ditemukan dan pasti dan sebagian yang
lain diciptakan dan relatif.[25]

Metode mengetahui dalam tradisi intelektual Barat seperti yang dipaparkan
diatas dan juga metode-metode lain seperti metode rasional, empiris, dan
kombinasi antara realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai asas-asas kognitif
mempunyai kesamaan dengan tradisi keilmuan Islam. Namun kesamaan dengan
realisme kritis dan juga metode-metode lain hanya dalam aspek-aspek

eksternalnya saja. Keduanya menggunakan medium yang sama untuk
mengetahui, seperti panca indera eksternal yakni indera raba, bau, rasa, lihat dan
dengar, dan panca indera internal seperti indera umum, representasi, estimasi,
retensi, rekoleksi dan imaginasi. Keduanya sama-sama bersandar pada akal
sebagai alat dan sumber pengetahuan. Selain itu realisme kritis menggunakan
pandangan hidup (worldview) untuk mengetahui sesuatu dan tidak bisa
menerima realisme karena menafikan kaitan antara worldview dengan realitas
dan juga berseberangan dengan anti-realisme yang melepaskan pandangan hidup
dan kepercayaan dari realitas. Realisme kritis menggabungkan obyektifisme dan
subyektifisme, mengakui alam nyata dan juga realitas manusia yang ingin
mengetahui alam. Tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan kognitif manusia,
tapi mengakui apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh
manusia.

Perbedaannya akan nampak pada prinsip epistemologi yang dilatar belakangi oleh
pandangan hidup. Jika realisme kritis mencoba menengahi cara pandang realisme
dan anti-realisme, cara pandang dalam pandangan hidup Islam telah bersifat
tawhÊdi (integral), tidak dichotomis, tidak membedakan antara obyektif-
subyektif, tekstual-kontektual, historis-normatif, dsb. prinsip epistemologi
tentang kesatuan subyektif-obyektif dalam Islam, misalnya, berdasarkan pada
konsep manusia dalam Islam bahwa jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan
persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan
menerjemahkan dunia indera dan pengalaman indrawi, dan dunia imaginasi.
Artinya ketika seorang subyek yang memiliki pandangan hidup Islam akan melihat
obyek sesuai dengan prinsip-prinsip ontologi dan kosmologi dalam Islam dan akan
memahami obyek itu dengan cara pandangnya sebagai seorang Muslim. Cara
pandang yang dichotomis dalam cara berfikir Barat tidak dapat diterima dalam
epistemologi Islam karena ia memisahkan dua hal yang saling berhubungan yang
mengakibatkan timbulnya paham-paham ekstrim seperti materialisme dan
idealisme atau metodologi-metodologi yang sama ekstrimnya seperti
empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme dan lain-lain.

Perbedaan prinsip epistemologis lainnya menurut Prof. Naquib al-Attas adalah
dalam masalah sumber ilmu pengetahuan. Islam menerima wahyu sebagai
sumber ilmu pengetahuan tentang Realitas dan kebenaran Tertinggi. Penerimaan
ini, yang sudah tentu disertai pada keimana pada Tuhan, mempengaruhi cara
pandang Muslim terhadap benda-benda ciptaan dan Penciptanya. Cara pandang
inilah yang memberi kita asas bagi framework metafisis yang dapat menjelaskan
filsafat sains sebagai sistim yang integral yang menggambarkan realitas dan
kebenaran. Hal ini berarti bahwa dalam Islam ilmu pengetahuan itu berasal dari
Allah dan selain melalu media panca indera dan akal yang sehat, ia diperoleh dari
berita yang benar dari sumber yang otoritatif dan dari juga diperoleh dari
intuisi.[26] Dengan kata lain epistemologi dalam Islam berkaitan erat dengan
struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu,
hadith, akal, pengalaman dan intuisi.[27]

Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu wahyu al-
Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alam semesta sebagai kitab tidak tertulis, maka
pada keduanya terdapat ayat-ayat yang perlu dipahami dengan metodologi
masing-masing. Al-Attas memperkenalkan suatu analogi metodologis antara
bahasa wahyu dan bahasa penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan
tafsir.[28] Seperti halnya kitab al-Qur’an, alam semesta ini juga mempunyai ayat-
ayat yang jelas dan pasti (muhkamÉt) dan ada pula ayat-ayat yang mutasyabihÉt
(ambigu). Untuk memahami ayat-ayat yang jelas dan pasti dipergunakan metode
tafsir, sedangkan untuk memahami ayat-ayat yang ambigu digunakan metode
ta’wil. Dalam pandangan al-Attas tafsir bukanlah pemahaman yang final, ia masih
memerlukan ta’wil agar makna lebih umum dan lebih tinggi dapat diperoleh.

Jika metode ini ditrapkan dalam memahami realitas fisik dan spiritual, maka
pemahaman realitas fisik yang bersifat empiris melalui metode tafsir itu
dikembangkan dengan metode pemahaman dengan menggunakan metode ta’wil.

Jadi ta’wil adalah perluasan intensif dari tafsir dan tidak pernah berlawanan,
sebab ta’wil harus didasarkan pada tafsir. Yang pasti tafsir adalah syarat bagi
ta’wil, jika tafsir terhadap suatu obyek itu benar maka ta’wilnya akan benar pula.
Penggunaan metode ini menurut al-Attas berkaitan dengan konsep realitas dalam
Islam. Realitas memiliki beberapa tingkatan dari realitas yang artinya terbukti
dengan sendirinya (self evident) oleh adanya pengelaman langsung indera hingga
makna-makna yang abstrak yang meningkat menjadi makna yang tidak dapat
diindera kecuali dengan intuisi. Dalam hal ini al-Attas menyatakan:

… disana ada sesuatu yang makna sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh
intelek; dan mereka yang memiliki ilmu yang dalalm menerima itu semua apa
adanya melalui kepercayaan yang kita sebut iman. Ini adalah pandangan yang
benar: artinya disana ada batasan-batasan dalam makna sesuatu dan tempat
sesuatu itu terikat secara mendalam dengan batasan kepentingannya.[29]

Islam mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi
dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu
yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun
dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian ilmu dalam Islam memiliki
beberapa kesamaan dengan Barat, namun secara mendasar dibedakan oleh
pandangan hidup. Oleh sebab itu metode filsafat rasionalisme sekuler dan
empirisisme filsafat dan sains modern yang merupakan produk pandangan hidup
Barat tidak bisa dianggap sama dengan metode filsafat dalam Islam. Perbedaan
utamanya terletak pada asumsi dasar keduanya, dan asumsi dasar itu dipengaruhi
oleh konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing seperti
misalnya konsep tentang alam, manusia, ilmu, nilai, kehidupan dan sebagainya.

Meskipun pengaruh pandangan hidup terhadap epistemologi sangat besar,
namun pengaruhnya terhadap setiap disiplin ilmu berbeda-beda. David K Naugle
dalam karyanya Worldview, History of Concept menyatakan:

..the epistemic implication of the worldview vary per discipline. Worldview seem
to be least influential (which is not to say noninfluential) in the so-called exact and
formal sciences, but are much more telling in the the humanities, the social
science, and the fine arts.[30]

Artinya, implikasi epitemologis dari pandangan hidup berbeda-beda pada setiap
disiplin ilmu. Pandangan hidup nampak kurang berpengaruh (tidak untuk
mengatakan tidak berpengaruh) dalam apa yang disebut ilmu eksak dan formal,
tapi lebih banyak berpengaruh pada ilmu humniora, ilmu sosial dan seni halus.
David juga menjelaskan impak asumsi-asumsi pandangan hidup nampak lebih
berkurang dalam praktek ilmu Kimia dibanding ilmu sejarah, misalnya, dan
bahkan lebih kurang lagi dalam bidang mathematika dibanding filsafat. Kecuali
jika pembahasan menyangkut filsafat kimia atau matematika, karena yang
dibahas bukan soal prakek ilmu ini tapi mengenai prinsip-prinsip utamanya atau
filosofinya. Dalam kasus ini peran pandangan hidup sangat penting. Jika
pandangan hidup tidak banyak berpengaruh terhadap sains keras (hard science)
maka unsur realisme meningkat dan diskusi kritis mengenainya berkurang secara
proporsional. Ketidak sepakatan diantara para praktisi bidang sains keras ini juga
kurang meskipun mereka berbeda pandangan hidup.

5) Worldview Islam basis Peradaban

Jika pandangan hidup dibahas dalam konteks pembentukan peradaban, maka ia
harus dikaitkan dengan tradisi keilmuan. Meskipun pandangan hidup Islam lahir
dan berkembang menjadi sebuah peradaban, namun ia tidak didahuli oleh
masyarakat ilmiyah (scientific society). Artinya pandangan hidup Islam tidak
bermula dari adanya suatu masyarakat yang mempunyai mekanisme yang canggih
bagi menghasilkan pengetahuan ilmiah. Konsep keilmuan dalam Islam tidak

terdapat dalam masyarakat ketika Islam datang, tapi terdapat dalam wahyu yang
dijelaskan oleh Nabi. Konsep-konsep dalam wahyu itu baru berupa konsep-
konsep seminal yang hanya mempengaruhi kondisi berfikir (mental environment).
Pandangan hidup Islam mulai disebarkan ketengah masyarakat oleh Nabi di
Makkah melalui penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap
kali Nabi menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an, beliau menjelaskan
dan menyebarkannya kemasyarakat. Pandangan hidup yang lahir dengan cara ini
disebut ‘quasi-scientific worldview’ sedangkan pandangan hidup yang lahir oleh
adanya masyarakat ilmiyah dinamakan scientific worldview.[31] Yang terakhir
adalah pandangan hidup Barat yang dilahirkan oleh scientific society. Oleh sebab
itu pandangan hidup yang menguasai masyarakat Barat modern adalah
pandangan hidup ilmiyah (scientific worldview).

Jadi pandangan hidup Islam lahir dari pancaran konsep-konsep fundamental yang
terdapat dalam wahyu. Proses turunnya wahyu sendiri dari sejak di Makkah
hingga Madinah ternyata menyimpan kronologi pembentukan ide dan pandangan
masyarakat Muslim pada waktu itu. Kronologi dari sejak turunnya wahyu hingga
terbentuknya tradisi intelektual dan peradaban Islam dapat dibagi menjadi tiga
periode penting: periode pertama, dimulai dari periode Makkah disaat turunnya
wahyu dan peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu itu.
Periode ini penting karena hampir 75 % wahyu turun di Makkah (yakni 85 surah
dari 113 surah al-Qur’an). Karena itu dengan merujuk kepada konsep-konsep yang
terdapat dalam wahyu maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode:
Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan
umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya,
hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik
dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting
dalam struktur worldview Islam.

Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih
luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dÊn, ibÉdah dan lain-lain.[32]

Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena sepertiga dari al-Qur’an
diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta
partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah membentuk
struktur konsep tentang dunia (world-structure) baru yang merupakan elemen
penting dalam pandangan hidup Islam. Karena sebelum Islam datang struktur
konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam
(Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam
menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.[33] Terminologinya
mungkin sama tapi maknanya telah dirubah (di islamkan). Konsep karam,
misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya
anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna
akramukum inda AllÉh atqÉkum).

Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-
tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam,
sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat;
termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim
dengan ummat beragama lain, dan sebagainya.[34] Secara umum dapat dikatakan
sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim.
Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang
diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah
masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada
beberapa prinsip dasar aqÊdah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya
adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-
prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam
konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi
pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang
berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific
conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.

Periode kedua adalah periode ketika masyarakat mulai menyadari bahwa wahyu
yang turun dan dijelaskan Nabi itu mengandung struktur fundamental scientific
worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang
dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang
kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah
konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta’wil, fiqh, khalq,
halal, haram, iradah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai
kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga
berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan
hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur
pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan
munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih
beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.

Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini
memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti diketahui tradisi
keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur
pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya
keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan mencanangkan bahwa untuk
menggambarkan tradisi keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan
wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama
dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam
(Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan
aktif dalam tradisi keilmuan itu.[35]

Sejarah membuktikan bahwa masyarakat ilmuwan dalam bentuk kelompok
belajar yang disebut AÎÍÉb al-Øuffah di Madinah,[36] merupakan masyarakat yang
berupaya untuk memahami wahyu. Sebab disitu kandungan wahyu dan hadith-
hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. [37] Yang jelas,
AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-
mengajar dalam Islam dan merupakan tonggal awal tradisi intelektual dalam

Islam.[38] Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang
menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-
GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, ‘Abd AllÉh ibn Mas’Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah
berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.

Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode diatas
dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang
mendorong pengkajian terhadap ilmu pengetahuan. Ajaran tentang Ilmu
pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep-konsep kunci dalam
wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya
berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh didukung oleh tradisi
intelektual yang berbasis pada wahyu.

Framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu
adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme).
Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk
menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-
istilah yang di derivasi dari kosa-kata al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk
diantaranya: ‘ilm, fiqh, usul, ijtihad, ijma’, qiyas, ‘aql, idrak, wahm, tadabbur,
tafakkur, hikmah, yaqin, wahy, tafsir, ta’wil, ‘alam, kalam, nutq, zann, haqq, batil,
haqiqah, ‘adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, azal, abad,
fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah dan lain
sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.

Dari keseluruhan istilah teknis tersebut istilah ‘ilm, yang berulang kali disebut
dalam berbagai ayat al-Qur’an,[39] adalah istilah sentral yang berkaitan dengan
keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Istilah ‘ilm itu sejatinya adalah ilmu
pengetahuan wahyu itu sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau
yang berkaitan dengan wahyu, meskipun kemudian dipakai untuk pengertian
yang lebih luas dan mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga
sangat sentral adalah istilah Fiqh, yang dalam al-Qur’an (9:122) menggambarkan

kegiatan pemahaman terhadap dÊn, termasuk pemahaman al-Qur’an dan hadith,
yang keduanya disebut ‘ilm. Jadi ‘ilm dan Fiqh berkaitan erat sekali.

Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi
berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah
muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan,
seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah
(d.81/700), Ma’bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz ( d.102/720)
Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723), Hasan al-Basri (d.110/728), Ghyalan al-
Dimashqi (d.c.123/740), Ja’far al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767),
Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi’i (204/819) dan lain-
lain.

Perlu dicatat bahwa meskipun wahyu telah dijelaskan oleh Nabi, namun disana
masih terdapat beberapa masalah[40] yang terbuka untuk difahami secara
rasional yang dalam tradisi Islam disebut ra’y.[41] Jadi Fiqh (tafqquh) pada
periode ini, bukan dalam pengertian hukum adalah kegiatan ilmiah untuk
memahami ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dari sumber wahyu. Dalam
kegiatan ini ummat Islam telah memiliki metode tersendiri dalam memahami
wahyu baik dengan memahami makna ayat demi ayat, membandingkan suatu
ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat dengan hadith ataupun memahami ayat
dengan dengan ra’y. Dengan adanya metode dan obyek materi yang khusus Fiqh
sudah dapat dikatakan sebagai ilmu. Karena luasnya obyek materi yang dibahas
maka Fiqh, pada periode awal Islam dapat dianggap sebagai induk dari segala ilmu
dalam Islam, yang daripadanya kemudian lahir berbagai disiplin ilmu yang lain.
Lahirnya disilplin ilmu-ilmu Fiqih, kalam, hadith, tafsir, faraidh, falak, dlsb,
membuktikan wujudnya tradisi ilmiah dalam Islam.

Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman
(tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal,

permanen (thawÉbit) dan dinamis (mutaghayyirÉt), pasti (muÍkamÉt) dan samar-
samar (mutashÉbih), yang asasi (uÎËl) dan yang tidak (furË‘). Oleh sebab itu
pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis: historis-
normatif, tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-
tama harus difahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa
pandangan hidup baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan
dan ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan
realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam wahyu
yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka
epistemologi merupakan bagian terpenting didalamnya. Tak diragukan lagi jika
tradisi intelektual dalam peradaban Islam dapat hidup dan berkembang secara
progressif. Jadi peradaban Islam itu bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap
wahyu yang kemudian berkembang menjadi tradisi intelektual yang melahirkan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam dan akhirnya menjadi peradaban
yang kokoh. Disitu pandangan hidup atau worldview dan epistemologi sama-sama
bekerja.

Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama
(din) dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam
telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan
kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama
seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta
sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh
Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai
sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan
penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka
ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas.

Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi pemikiran,
seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern tidak dikenal dalam


Click to View FlipBook Version