The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sebuah novel sejarah karya Tito Charistio XII IPS 2

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by angelinaniecen, 2022-11-19 11:17:01

Masalah Apapun Itu

Sebuah novel sejarah karya Tito Charistio XII IPS 2

Keywords: Novel sejarah

Masalah Apapun Itu

Hari hari yang dilalui seperti hari hari berat lainnya. Perasaan yang biasa terjadi setiap
hari pada hati seorang anak berumur sekitar 14-15 tahun. Pola pikir yang masih berkembang
tidak tahu mana benar dan mana yang salah. Kesalahan yang dibuat pada anak yang belum
dewasa memanglah wajar dan mereka banyak belajar dari kesalahan yang dibuat olehnya.
Perlukah menceritakan semua hal yang menyakiti kita kepada orang tua, karena mulut dari
seorang anak kecil tidak dapat dipaksa dan biarkan dirinya sendiri yang membuka mulut yang
terbungkam tersebut. Aku, anak yang selalu membungkam semua masalah yang ada. Seperti
merasa tidak ada yang terjadi dan selalu membiarkan masalah yang aku hadapi berlalu begitu
cepat dan rasanya memang sebentar karena semua yang terjadi adalah proses dalam menjalani
hidup penuh pengalaman.

Banyak masalah yang memang sudah takdirnya terjadi di hidup seseorang dan
menjadikan masalah tersebut sebagai kenangan yang indah. Hujan yang terjadi saat kejadian itu
sangatlah mewakili perasaaan hati yang hancur dengan adanya petir yang menyambar. Disaat
hujan yang derasnya turun, diriku sendiri malah tidak berada di rumah dan entah pergi kemana
dengan sebuah motor tua yang dikendarai. Hari sabtu, hari dimana kewajibanku untuk
menyembah Tuhan Allah di surga. Aku mengingat waktu yang telah berputar sehingga
memutuskan untuk pulang ke rumah dan membersihkan diri untuk bersiap ke gereja.

Perasaan sudah hancur kacau saat tiba dirumah. Suasana rumah yang sudah hancur
karena masalah dengan orang tua yang tak kunjung selesai. Pintu pun dibuka dan mereka melihat
ku dengan sinis seakan aku membuat kesalahan terbesar di dunia. Lalu aku pun masuk ke dalam
kamar dan mempersiapkan untuk berangkat keluar kembali memenuhi kewajibanku sebagai
umat kristiani. Persiapan pun selesai dan aku mencari ibu untuk meminta uang persembahan
yang akan aku berikan saat beribadah. Aku berpikir bahwa aku belumlah bekerja dan kenapa aku
harus memberikan uang jajanku untuk dipersembahkan, dan bahkan temanku sendiri
mendapatkan uang persembahan dari orang tuanya, bukan karena iri tetapi karena masalah
pemikiran.

Berbicaralah aku kepada ibuku dengan nada suara yang sedikit lemas dan sangat
memohon agar diberikan, seperti anak pada umumnya saat meminta sesuatu kepada orang
tuanya. Ibuku tidak memberikan dan aku sudah menduga apa yang akan terjadi sebelum aku
meminta kepada ibu. Karena sudah menduganya aku pun tidak marah dan aku hendak ingin
pergi dan terkejutnya aku akan sesuatu yang hilang pada motor yang akan aku pakai, bahkan tak
hanya motor yang aku pakai tetapi motor yang ada saat itu pun juga kehilangan sesuatu. Kunci
lah yang aku cari-cari dan tidak ditemukan.

Pergilah aku untuk menanyakan kunci yang hilang tersebut, “mama.. kunci motornya
dimana?”. Jawaban yang tidak aku harapkan, ibu berkata bahwa aku terlalu banyak bermain dan
melakukan hal yang tidak berguna diluar sana. Sebagai seseorang yang penuh lelah terhadap
perjalanan hidup yang panjang dan sangat menyakitkan hati aku perlu adanya berjalan keluar
rumah menghabiskan waktu bersama teman ataupun tidak bersama teman dengan berkeliling di
kota menghirup udara yang sejuk saat pagi hingga siang hari menenangkan hati.

Kunci yang ternyata disita dan aku pun sangat marah saat itu, aku tidak bisa berpikir
jernih saat marah dan keadaan dirumah saat itu kacau ditambah aku yang sangat kecewa terhadap
perlakukan ibu kepadaku yang membutuhkan perhatian lebih. Hati yang rapuh telah hancur
berkeping keping dan hancur seperti pecah saat jatuh. Perasaan kecewa yang mendalam karena
masalah yang lalu belumlah berakhir dan ini aku menghadapi masalah yang aku tidak tahu
apakah selesai dikemudian hari.

Aku yang saat itu berteriak dan mengucapkan kata kata yang aku pun tidak tahu apa yang
aku ucapkan dan aku menangis dengan kencang. Tangisan kencang tersebut mungkin didengar
oleh tetangga yang berada di seberang rumah karena rumah tetangga yang sangat dekat dengan
ventilasi rumahku yang banyak dan besar sehingga suara kecil pun dapat keluar sampai jalanan.

Aku yang saat itu kecewa berat terhadap perlakuan ibuku aku pun berlari mengambil
pakaian dan memasukannya kedalam plastik besat yang saat itu sudah berada di dekat tempat
tersebut. Aku tak tahu apakah ini memang sudah dikehendaki atau tidak tetapi aku yang tidak
bisa berpikir jernih langsung meninggalkan rumah dengan membawa baju, sepatu, buku, beserta
alat tulis dan lain-lain. Kakakku yang saat itu juga mendapati masalah denganku berkata, “mah..
dia mau pergi.” Jawaban yang diucapkan sangat menyakiti hati seorang anak yang tidak tahu
letak salahnya dimana. Ibuku berkata bahwa aku anak durhaka.

Memang dunia itu berputar sedemikan rupa dan ada saatnya orang akan dihadapkan
sesuatu yang bahkan dirinya tidak tahu hal apa itu dan tidak mau hal tersebut terjadi. Keadaan
rumah sangat kacau karena aku berlari ke sana kemari memasukan baju ke dalam plastik yang
besar, apapun yang menghalangiku akan ku tabrak tanpa rasa sakit seperti aku saat menabrak
meja makan yang diatasnya terdapat beberapa piring dan gelas, seketika berantakan karena aku
menyeenggol sangat keras pada saat itu.

Kukira dalam hati bahwa aku akan dihentikan langkah kakiku keluar dari rumah ternyata
aku dibiarkan begitu saja keluar dari rumah membawa dua tas plastik besar berisi tas, baju, dan
lain lain. Betapa beruntungnya aku mempunyai saudara nenek, tante, dan om yang tinggal
beberapa meter saja darj rumah orang tuaku. Aku membayangkan jika aku pergi dari rumah, aku
akan pergi ke mana dengan membawa baju yang sangat banyak.

Air mata yang sangat berharga tersebut tercurah ke jalanan sangat deras. Sempat panik
terhadap lingkungan sekitar yang akan melihatku berjalan sambil menangis membawa dua tas
plastik besar dan takut saat ditanya kenapa menangis. Tidak sesuai dugaan saat itu, dan aku tetap
berjalan sampai ke rumah nenek yang dekat dengan rumah orang tua. Dan pastinya mereka tahu
bahwa pelarianku akan ke rumah nenekku.

Saat menangis pun aku tak mengira bahwa om yang dulunya tidak mau berbicara
denganku akhirnya membuka mulut untukku dan bertanya, “kenapa?” Aku sudah di sambut
didepan pintu oleh om yang saat itu sedang beberes rumah di teras. Tak terjawab pertanyaan
mengapa lalu aku masuk kedalam dan membanting barang-barang yang aku bawa dan aku
menangis sekencang-kencangnya dihadapan tante saat itu.

Ditanya mengapa, aku menjawab dan menceritakan apa masalah yang timbul sampai aku
bisa menangis dan meninggalkan rumah dengan membawa baju sebanyak itu. Masalah yang aku
hadapi karena kakakku yang tidak mau meminjamkan laptopnya karena suatu perkara kecil
disamping itu aku harus mengerjakan tugas dari sekolah yang belum terselesaikan. Memang
sepele tetapi untuk aku yang belum di beri fasilitas oleh orang tua apakah baik jika kakakku
menolak permintaanku untuk meminjam laptop miliknya, sedangkan laptop yang dia miliki
berjumlah 3 dan aku tidak mendapat apapun sama sekali.

Dari situlah aku mulai timbul rasa benci terhadap keluarga yang aku miliki, aku memiliki
ayah, ibu, dan satu kakak. Keterbatasan dalam materi memang menjadi masalahku dan
keluargaku. Aku seorang yang tak bisa belajar dan tidak mau belajar jika tidak didasarkan
kepada kemauan dan niat dari diri sendiri. Sedangkan dia kakakku, seorang yang pintar dalam
bidang apapun dan aku hanya bisa melihatnya saja tidak bisa mencontoh dirinya. Inilah yang
menyebabkan masalah muncul dikit demi sedikit, konflik mulai muncul dalam keluargaku. Aku
merasa hanya kakakku yang di perhatikan karena dia seorang yang pintar. Tentu, kenapa tidak?
Kenapa kita tidak memanjakan yang pintar karena prestasi yang dibuatnya?

Aku tak bisa mendapatkan apa yang aku mau dalam hidupku, bahkan teman sekalipun
saat aku sendiri aku tidak bisa datang kepada siapa siapa, mereka menghilang di benak
pikiranku. Fasilitas yang memumpuni kakakku telah melebihi apa yang seharusnya sudah jadi
porsinya.

Ayah ku tak mengerti masalah yang sudah terjadi saat sore hari menjelang Maghrib. Dia
hanya mengetahui bahwa aku telah pergi dari rumah karena hanya ingin menginap di rumah
nenek dan itu sebuah kewajibanku sebagai seorang cucu yang paling dekat dengan nenek.
Ayahku selalu menyuruhku menginap di rumah nenek karena beberapa faktor, nenek jarang
dikunjungi oleh cucu-cucu yang lainnya sehingga harus aku yang menjadi korban untuk
menghibur dan menemaninya dimasa tua. Rumah yang begitu dekat pun jadi faktor utama
kenapa aku selalu menginap di rumah nenek.

Cerita tak kunjung selesai karena bersamaan dengan airmata yang masih tercurah dan hati
yang begitu dalam sakitnya melebihi diputuskan pacar. Tawaran makanan tidak mempan untuk
membuatku beranjak dari ranjang yang menjadi tempat menangis menenangkan hati. Nenek,
tante, om mereka sudah tahu akan masalah masalah yang terjadi melalui aku yang selalu
bercerita tentang buruknya keadaan dirumah. Mereka bertanya tentang ayah, ayah pada saat
kejadian tersebut tak kunjung kembali dengan urusan pekerjaanya dan bisa dibilang bahwa ayah
tidak tahu apa yang terjadi.

Berjalan lah waktu dengan cepat, malampun tiba aku mengganti pakaian ku dengan baju
rumah karena pada saat itu aku sudah memakai baju untuk pergi ke gereja. Kamar sudah tersedia
sebab seringnya aku berkunjung dan hampir setiap hari menginap. Rasa nyaman ditemukan
dalam rumah yang akan kutempati itu. Tetapi masalah besar ketika aku pindah adalah ketika
disaat di dalam kamar yang begitu berbeda, adanya suhu udara yang sangat jauh beda dari kamar

di rumah orang tua dengan kamar di rumah nenek. Suhu yang begitu panas kurasakan saat tidur
dengan baju yang basah ketika aku bangun dan meninggalkan jejak keringat di kasur. Walaupun
fasilitas yang memadai tetapi satu hal yang tidak aku sukai saat berada di rumah nenek yaitu
tentang suhu yang tinggi.

Hari minggu pun tiba aku tidur dengan perasaan tidak enak karena menangis selama yang
diperlukan. Pikiran kosong membuatku menjadi melamun memikirkan masalah dan memikirkan
apakah aku benar dengan keluar dari rumah, apakah bisa untuk membuat ibu mengerti.

Malam tiba dan ternyata di ponsel aku mendapatkan pesan dari ibu yang menyuruhku
pulang karena keesokan harinya aku harus pergi ke sekolah. Berpikir sebentar apakah aku akan
pergi dan apakah aku akan pulang? Tentu, jawabanku tetap tidak sampai aku benar benar tenang
di rumah nenek. Di sisi lain saat aku pergi ke sekolah apakah aku tidak akan ditanyakan oleh
ayah kenapa aku tidak pulang dan membawa baju sekolah ke tempat nenek, aku menunggu saat
ayahku datang membawa motor lalu dia hanya diam dan tidak menanyakan hal apapun itu.
Hatiku lega tapi tidak selega itu, dugaanku bahwa ibu sudah menceritakannya dirumah saat ayah
pulang kerja. Jika memang iya, tetapi dia tidak berbicara dan bertingkah seperti biasanya.

Pulang sekolahpun tiba dan melupakan sesuatu yang membuat canggung, bahwa setiap
pulang sekolah yang menjemput adalah ibu. Seketika perasaan hancur kacau dan merasa ingin
pulang jalam kaki saja, tapi tidak masuk akal sedangkan jarak rumah ke sekolah sejauh hampir
10 km. Apakah bisa jalan kaki saat teman tetanggaku dahulu sudah pernah jalan kaki dari rumah
sampai sekolahnya sejauh 13 km, demam langsung menyerangnya karena terlalu capek dan
panas yang menyengat.

Tibalah ibu didepan sekolah untuk menjemput. Mata sinis sudahku berikan terhadap dia,
perasaan kesal masih menyelimuti tubuh. Aku naik dengan terpaksa dan sepanjang perjalanan
mulut tak berkata apapun, sunyi disepanjang jalan hanya ada suara kendaraan lalu lalang dengan
angin kencang yang menabrak telinga.

Sesampainya didesa tempat tinggalku, ibu mengantarkan ku ke rumahnya. Sedangkan
aku ingin tinggal di rumah nenek untuk memberi pelajaran sesuatu kepada ibu. Dengan kesal
saat motor berhenti didepan garasi motor rumah aku langsung turun untuk berjalan kaki ke
rumah nenek, sekali lagi aku merasa beruntung memiliki nenek yang tinggal dekat dari rumah
walaupun banyak konsekuensinya. Konsekuensinya seperti aku harus rajin menjenguk walaupun

sedang lelah berkegiatan sekolah atau apapun itu, harus menginap di tempat nenek agar tidak
melupakannya dan agar tidak kesepian serta agar tetap dekat dengan cucunya.

Sungguh lelah berjalan saat pulang sekolah, berbeda saat aku sedang menangis. Rasa
kesal memicu kekuatan untuk bisa melakukan apapun itu, saat aku tidak menangis aku
menabrakkan diri ke meja makan itu terasa sakit, tapi di lain kejadian aku melakukannya saat
emosiku meluap dan menangis kencang aku menabrakkan diri ke meja dan tidak terasa sakit
bahkan saat mengangkat baju yang begitu banyaknya satu lemari aku tidak merasa membawa
beban terlalu berat.

Hari hari awal masih berjalan baik dirumah nenek. Aku masih membantunya berjaga
toko yang dia punya, dan aku bebas mengambil makanan yang ada di toko tersebut.

Beberapa hari kemudian aku melihat bahwa yang mengantarkanku ke sekolah berbeda
dan ternyata adalah ibu yang hendak mengantar aku ke sekolah. Kita sama sama marah karena
sikap. Dan aku tahu bahwa ibu mengantarkanku ke sekolah sejujurnya dalam lubuk hati ibu dia
sangat malas dan tidak mau mengantarkanku. Perjalanan dimulai dan tetap tidak berbicara, walau
berbicara pun pasti ibu yang memulai tetapi apakah aku menjawab? Tentu tidak, aku akan diam
sepanjang perjalanan sampai sekolah dan bahkan sesampainya disekolah, seperti culture anak
anak kepada orang tua yaitu menyalami tetapi aku tidak menyalimi tangan ibu. Aku bergegas
langsung masuk ke sekolah dan aku tidak menengok sama sekali ke pada ibu saat itu. Memang
durhaka tapi bagaimana aku bisa menerima perlakuan orang tuaku kalau seperti itu?

Orang yang seharusnya mengerti keadaan anak tetapi dia tidak mengerti keadaan anak
dan terus menerus ingin di mengerti bagaimana aku akan berkembang jika seperti itu caranya.
Dan bagaimana aku tidak banyak pikiran jika aku dirumah tidak menemukan kedamaian dan
diluar pun aku tidak menemukannya.

Beberapa hari telah berlalu dengan hati panas yang belum mereda. Merasakan bagaimana
hidup di culture yang berbeda adalah sebuah proses yang sakit. Adaptasi tidak bisa dilakukan
oleh diri ku sendiri yang memang susah untuk bertahan.

Rasa tidak enak mulai muncul saat aku lama berada di rumah nenek. Aku yang hanya
menumpang tidak membantu apapun selain menjaga toko. Menjaga toko setelah pulang sekolah
sangatlah melelahkan. Apalagi aku masih duduk di bangku SMP kelas 9. Ya memang aku pergi
dari rumah saat aku duduk di kelas 9 semester 2. Masalah tak kunjung selesai dan aku kembali

mendapatkan masalah saat aku digereja bersama teman. Ruangan yang sebetulnya dipakai hanya
untuk anggota gereja tetapi aku bersama teman teman ku memasuki ruangan tersebut karena
merasa dekat dengan pemilik ruangan tersebut. Dan suatu saat aku bersama teman ku saja di
ruang tersebut lalu aku hanya sekedar ingin tahu apa yang ada di dalam printer. Aku membuka
penutup dan lupa untuk menyingkirkan barang barang yang ada di atas penutup. Dan boom! Aku
menjatuhkan peniti kedalam printer dan usahaku sia sia saat ingin mengeluarkannya.

Usaha demi usaha dan waktu demi waktu telah habis dilakukan. Sempat melihat peniti
yang keluar tetapi tak tahu apa yang telah aku lakukan aku mengguncang guncangnya kembali
dan masuk kembali. Keadaan yang sangat serius kuhadapi saat itu. Perasaan takut dan cemas
telah melingkupi seluruh tubuh dan membuat merinding. Memang salah dan aku dengan pikiran
yang berlebihan pulang mencoba tidak memikirkan hal tersebut. Tetap, perasaan takut selalu
muncul apalagi disaat teman teman sekolah membahas tentang printer yang rusak tersebut.

Salah satu teman berkata dan bertanya tentang printer yang sudah rusak, “bagaimana sih
kamu padahal aku kemarin mencoba menggunakan printer yang kemarin kok tidak bisa
digunakan? Katanya bisa digunakan.”

Hati yang bergejolak ingin pergi dari dunia itu ada dan aku tak bisa menghindarinya
bahwa kesalahan itu ada pada ku. Aku hanya bisa lari dari kenyataan dan tidak datang ke gereja
tersebut. Sangat lucu bahwa lari dari kenyataan adalah solusi.

Kembali kepada keluarga, hidup yang dipikir enak ternyata tak sesuai dengan
ekspektasiku. Perasaan dikekang oleh tante itu ada, sejatinya mereka bukan yang merawatku dari
kecil tetapi merekalah bagian hidupku yang pernah menjagaku dan memberikanku fasilitas selain
orang tuaku.

Kekangan tante dan om membuat ku menjadi orang yang berubah dan berbeda saat
menjalani hidup berada di bawah tangan keluarga nenek. Beberapa kali sindiran terus datang
kepadaku dan aku menyadari hal tersebut bahwa aku memang menjadi beban dalam rumah
nenek.

Perubahan dilakukan semuanya di rumah nenek mulai dari perubahan fisik dan tingkah
laku kebiasaan sehari hari. Badan yang dahulunya gemuk lalu aku merubahnya menjadi kurus
tetapi ternyata apa yang aku lakukan berlebihan dan pengurangan berat badan yang terlalu
ekstrim membuat tubuhku terlalu kurus. Pribadi yang malas Berubah menjadi seorang rajin

membereskan rumah. Pekerjaan berat tersebutku lakukan demi meringankan beban tante dalam
merawatku entah sampai kapan.

Hari demi hari bulan demi bulan berlalu dan semua berjalan seperti biasanya, tapi saat
suatu hari tiba tiba ibu mengirim pesan dan ingin aku pulang. Rasa benci yang masih mendalam
tidak menuntunku untuk pulang ke rumah tetapi tetap berlanjut dirumah nenek. Setiap minggu
ibu datang dan membawakan uang untuk ditabung, dan bahkan tabungan berbentuk ayam
dibawanya dan ditaruh di kamar tempat ku tidur. Setiap minggu seperti jadwal dia datang
membawakan uang dan tabungan mulai penuh. Penuh kelicikan aku melubangi tabungan tersebut
dan aku mengambil uang yang sudah terkumpul dan menggantinya dengan uang 2 ribu rupiah
agar tidak diketahui oleh ibu. Uang tersebut digunakan untuk membeli barang secara online dan
tentunya untuk sebagai pegangan karena tidak mendapat uang saku saat aku tinggal di rumah
nenek.

Pandemi yang datang merubah segala peraturan rumah dan semua harus bersih. Peraturan
rumah nenek seketat peraturan negara yang tak tercela. Banyak yang harus diberi masukan agar
tidak terlalu memberatkan tingkah laku.

Adaptasi lah yang membiasakan diri dengan peraturan baru dan kerasnya pendidikan
dalam rumah nenek. Hari dimana aku baru sadar bahwa sudah satu tahun aku meninggalkan
rumah yang menjadi tempat kediamanku selama 15 tahun. Dan sama sekali melihat rumah itu
saja aku tidak pernah. Pasti perubahan Sudah terjadi pastinya.

Kebutuhan yang melonjak mengharuskan tante memberikan fasilitas lebih berupa WiFi
dan printer yang harganya sangat melebihi ekspektasi ku, tetapi aku sangat dimanja oleh tanteku.
Apapun diberikan asalkan hanya ingin tidur di rumah nenek dan menemaninya supaya tak
kesepian saat ditinggal dirumah.

1,5 tahun pun berjalan lancar dan akhirnya aku beranjak ke kelas 2 SMA dan tak terasa
waktu yang cukup lama bagiku untuk pergi dari rumah dan menemukan pengalaman berharga.
Ibu mengatakan bahwa aku akan dibelikan sebuah motor, karena sesuai janji keluarga seperti
kakak yang dahulunya dijanjikan dibelikan motor saat SMA, begitu pula dengan diriku yang
hendak dibelikan motor. Diantarkanlah aku dengan ibu ke dealer motor langganan dan aku
memilih motor yang akan aku pakai selama beberapa tahun kedepan. Iya, hanya beberapa tahun
dan aku akan membeli kembali dengan uang yang akan aku kumpulkan sendiri setelah lulus dari
SMA. Dan pilihan motor pun di tentukan saatnya mengurus surat surat dan membayar. Sebelum

pulang ibu berkata hendak makan sejenak di rumah makan karena lapar. Tentu dia memilihkan
tempat makan yang menyediakan makanan yang kusuka, yaitu mie ayam. Saat makan dia
berkata jika motor yang sudah dibeli sampai dirumah maka dia akan mengantarkannya ke rumah
nenek. Akupun membantah dan aku memutuskan untuk pulang kerumah saja daripada terus
memerus menyusahkan di rumah nenek.

Sampailah aku dirumah orang tua dan betapa terkejutnya diriku saat mendapati bahwa
kamar pribadi ku sendiri telah berubah menjadi gudang dan banyak debu dimana mana serta ada
perubahan yang terjadi di rumah tersebut. Ibu berkata bahwa kamar pribadiku akan dibersihkan
dikemudian hari dan aku tidur di lantai 2 rumah, walaupun kamar di lantai 2 sangat
menyeramkan. Perdamaian pun terjadi hanya karena sebuah motor dan perasaan benci yang
masih ada walaupun masih dapat direndam dalam benak hati agar tak menimbulkan perasaan
aamarah yang berkepanjangan lagi.


Click to View FlipBook Version