Kali ini aku mendatanginya, berdiri dekat di hadapannya dan menatapnya lekat, peduli
amat bau keringat. “What is this, really? Kenapa kamu begitu keras kepala pengin
menahanku di sini?”
Nicky menatapku tanpa berkedip. Matanya yang bundar dan biru memancarkan rasa
panik. Terintimidasi. Bisa kulihat ia menelan ludahnya berkali-kali.
“You need help.” Suara itu tertahan.
Aku menggeleng. “No. You need your guinea pig.”
Nicky terdiam. Aku berhasil menyumpal mulutnya tanpa bantuan permen loli.
“Permisi, aku mau ganti baju dulu,” kataku.
Tanpa bersuara dan tanpa melihatku lagi, Nicky keluar dari kamar.
Seperti sudah kuduga, dr. Colin akan berkoalisi dengan Nicky untuk menahanku pergi.
Tegap, dr. Colin berdiri di antara aku dan pintu keluar.
“Alfa. Please. Let us help you.”
“Kalian mau bantu aku dengan cara apa? Menjejaliku dengan obat antidepresan?
Merujukku ke rumah sakit jiwa? Tidak, terima kasih.”
“Aku dan Nicky berdiskusi panjang lebar tentang kasusmu. Kami sepakat denganmu,
Alfa. Obat antidepresan, obat untuk melumpuhkan otot saat tidur, tidak akan
membantumu. Malah bisa lebih berbahaya pada kasusmu. Tapi, kami berpikir ada cara
lain yang bisa kamu coba. Tidak melibatkan obat dan zat eksternal apa pun.”
Satu hal yang kupelajari dari Wall Street. Dunia ini adalah arena judi besar. Suka tak
suka, sadar tak sadar, apa pun profesi dan standar moralnya, semua orang berjudi setiap
hari. Semua keputusan melibatkan konsekuensi yang harus ditaksir seberapa
menguntungkan dan seberapa merugikannya. Ada harga yang harus dibayar. Aku yakin
hal itu pun berlaku pada tawaran dr. Colin barusan.
“Melibatkan apa kalau begitu?” tantangku.
“Keberanianmu.” Dr. Colin mengatakannya dengan cepat dan mantap, seolah ia sudah
menunggu pertanyaanku.
Aku tak segera menyahut. Kulirik Nicky yang berdiri gelisah di sebelah dr. Colin seperti
anak perempuan kecil meminta perlindungan ayah.
“Kamu nggak mungkin dapat penawaran solusi alternatif seperti ini kalau kamu ke
rumah sakit besar. This may be your only chance, Alf,” kata Nicky pelan.
“Bagaimana kamu memandang hidupmu, Alfa?” tanya dr. Colin. “Apakah kamu merasa
punya kendali atas hidup atau kamu merasa sepenuhnya disetir takdir?”
“Tentu aku punya kendali. Seberapa besar aku tidak tahu. Apa hubungannya?”
“Kalau begitu, harusnya kamu memiliki keyakinan, sekecil apa pun, untuk punya
kendali di alam mimpimu.”
Sejauh ini pengalamanku belum terlalu meyakinkan untuk sanggup mengatakan “ya”
dengan segenap hati. Akhirnya, aku hanya mengedikkan bahu.
“Aku akan mengajarimu untuk mengambil kendali itu. Dan, kamu akan berhadapan
dengan siapa pun yang bertanggung jawab. Kamu akan bernegosiasi dengannya, atau
melakukan apa pun yang harus kamu lakukan untuk menghentikannya. Di alam
mimpimu.”
“Dengan cara apa?”
“Dengan belajar bangun dalam mimpi.”
Aku menatap lekat dr. Colin, menanti lelucon berikutnya. Kalimat konyol lanjutan yang
akan menggenapi nasib burukku sejak dibius perempuan misterius yang
menjungkirbalikkan duniaku dan kini raib entah ke mana. Namun, dr. Colin bergeming.
Ternyata ia tidak bercanda.
Di bagian belakang klinik Somniverse, ada sebuah ruang pertemuan berukuran sedang,
muat untuk lima puluhan orang berkumpul. Ruang itu berlantai kayu, polos tak berhias,
kecuali sekitar selusin kursi lipat yang disusun melingkar, pemanas ruangan, serta sebuah
mesin penguap minyak esensial di pojok ruangan yang menyebarkan wangi relaksasi
lavendel, melati, jeruk, dan entah apa lagi. Mungkin hanya dr. Colin, yang begitu
berambisi membuat orang-orang tertidur di klinik ini, yang tahu isi campurannya.
“Apa ini? Ruang pertemuan Insomniac Anonymous?” kataku kepada Nicky yang
mengantarku masuk ke ruangan itu.
“Hampir benar.” Nicky mendaratkan pantatnya di salah satu kursi, lalu menggeser kursi
di sebelahnya untuk aku duduk. “Nggak semua yang hadir nanti pengidap insomnia.
Malah sebagian besar sudah bukan. Kami berkumpul karena alasan lain yang jauh lebih
menarik daripada sekadar tidur.”
Satu per satu orang masuk. Mereka langsung mengetahui keberadaan orang baru di
ruangan itu. Beberapa melempar senyum kepadaku dan menyapa “hai” dari jauh.
Beberapa datang dan mengenalkan diri. Sepuluh orang berkumpul, termasuk aku dan
Nicky. Orang kesebelas, dr. Colin, masuk paling akhir dan langsung menutup pintu.
“Halo, semua. Selamat malam dan selamat datang,” sapanya sambil melihat sekeliling.
“Kita kedatangan tamu baru malam ini.” Ia lalu membuka tangannya, menyilakanku untuk
memperkenalkan diri.
“Alfa Sagala.” Aku berusaha keras terdengar antusias dan gagal total. Bahkan, tanpa
cermin sekalipun bisa kulihat jelas keengganan di mukaku. “I’m a glorified insomniac.
Thanks to Nicky for coining that term.”
“Are you a glorified oneironaut too, Alfa?” Seorang laki-laki muda berkulit hitam yang
duduk tepat di depanku bertanya.
“Excuse me?” aku balas bertanya.
Dr. Colin langsung memotong. “Saya mengundang Alfa ke sini karena pengalaman
mimpinya yang luar biasa. Alfa belum pernah mempelajari teknik mimpi sadar. Dan, saya
justru ingin kalian berbagi pengalaman dengan Alfa.” Dr. Colin lalu mengalihkan
perhatiannya kepadaku. “We are oneironauts. Dream navigators. Penjelajah alam mimpi.”
Menilai dari tempat mereka berkumpul, bagaimana mereka berpakaian, dan absennya
roket di pekarangan depan, aku menduga tidak ada hubungan antara oneironaut dan
astronaut.
Seperti membaca pikiranku, dr. Colin berkomentar, “We don’t wear suits nor fly in
rockets. But quite often we went beyond the galaxy.”
“… di dalam mimpi,” aku menekankan.
“Kekuatan alam bawah sadar jauh lebih besar daripada yang bisa manusia bayangkan,
Alfa. Mimpi adalah jalan cepat untuk memasuki dan mengenalnya. Barangkali kamu mau
berbagi cerita mimpimu?”
“I’ll pass, Doc,” jawabku.
“Oh, come on, Alf. Kita bisa belajar banyak dari pengalaman kamu.”
Aku menoleh kepada Nicky, tak tahu harus tertawa atau menganga.
“Aku tidak nyaman membicarakan mimpiku di depan orang-orang yang aku tidak
kenal,” kataku ketus. “Don’t push it, Nicky.”
“Tidak apa-apa, Alfa. Kalau belum nyaman, kamu bisa jadi pendengar dulu malam ini.”
Dr. Colin cepat-cepat menengahi. “Silakan yang lainnya.”
Malam itu, aku mendengar tentang mimpi balapan dengan meteor di atas selembar
karpet terbang, mimpi berbicara dengan nenek yang sudah meninggal dunia, mimpi masuk
ke perut Piramida Giza dan dicuci lahir batin oleh dewa-dewa Mesir, mimpi berlapis
mimpi yang berakhir dengan terpental keluar dari tubuh lalu mengapung di plafon, dan
beberapa mimpi yang lain terdengar seperti kisah Alice in Wonderland kualitas aspal.
Ketika akhirnya pertemuan itu bubar, yang tersisa di ruangan hanya aku, Nicky, dan dr.
Colin. Kami bertiga gotong royong membereskan kursi. Dari semua peserta yang datang
tadi, cuma aku yang malam itu menginap di Somniverse.
Aku mendekati Nicky, berkata pelan, “Daripada susah-susah mencekokiku dengan
triptofan, lain kali bikin pertemuan kayak tadi lagi, Nicky. Rasanya aku siap tidur sampai
besok siang.”
Nicky mendelik dengan tatapan pembunuh.
“Kamu baik-baik, Alfa? Bagaimana kesanmu tentang pertemuan tadi?” Dr. Colin
bertanya.
“Informatif, Dok.”
“Sampai dia nyaris mati bosan.” Nicky melengos.
Aku berbalik menghadap Nicky. “Segila-gilanya orang-orang itu bertualang di alam
mimpi sampai balapan pakai karpet Aladdin segala, nggak ada yang harus betulan
berjuang antara hidup dan mati, kan? Wajar kalau bagiku pertemuan tadi sangat berguna…
untuk dijadikan buku cerita anak-anak.”
“Stop acting like you’re special!” damprat Nicky.
“I don’t have to act it out. I know I am,” balasku sengit. “I am more cursed than others.
Dan, kamu pikir saya bangga?”
“Yang aku tahu, kamu itu lebih menyebalkan daripada kebanyakan orang. Dan, untuk itu
seharusnya memang kamu nggak bangga.”
“Sok tahu.”
“Kalau kalian sudah siap bicara seperti spesies yang berinteligensi dan berpendidikan,
kasih tahu saya.” Dr. Colin urung melipat kursi. Ia kembali duduk. Suara kaki kursinya
yang beradu dengan lantai kayu membungkam mulutku dan Nicky. “Kalian berdua,
silakan duduk lagi.” Nada itu sopan tapi memerintah.
Aku dan Nicky sama-sama menarik kursi.
“Alfa, aku tahu hari ini luar biasa berat untukmu. Maaf kalau kami di sini kurang peka
terhadap kebutuhanmu. Dan, Nicky, di luar dari segala kesulitan yang terjadi, aku tahu
kamu sudah berusaha yang terbaik untuk membantu Alfa. Apa pun masalah di antara
kalian berdua, aku harap kita tetap mengingat niat baik dan memaklumi keterbatasan kita
masing-masing. Jadi, bisakah mulai saat ini kita kembali berdiskusi dengan beradab?” Dr.
Colin gantian menatapku dan Nicky.
“Bisa,” gumamku.
“Fine,” gumam Nicky.
Dr. Colin beralih kembali kepadaku. “Sebagai peneliti tidur dan penekun mimpi, kami
harus mengakui bahwa kasusmu ini menantang. Begitu banyak pertanyaan yang ingin aku
ajukan, banyak percobaan yang bisa kita eksplorasi. Tapi, saat ini prioritas kita adalah
keselamatanmu. Secara eksternal, kami bisa membekalimu dengan skill dan teknik mimpi,
kami bisa mengawasi tidurmu untuk menghindari kejadian fatal. Tapi, aku merasa porsi
terbesar ada di tanganmu, Alfa. Solusi yang kita cari justru ada di dalam mimpi
terburukmu.”
“Tidak ada ‘terburuk’.” Aku menggeleng. “Semuanya sama. Sama buruknya.”
“Kalau kamu tidak nyaman menceritakan mimpimu di depan anggota klub yang tidak
kamu kenal, cukup nyamankah kamu menceritakannya sekarang kepadaku dan Nicky?”
Aku tahu saatnya akan tiba untukku bercerita. Aku pernah berkhayal menceritakan
perihal mimpiku kepada orang tuna rungu yang tidak kukenal, yang akan kutraktir makan
enak, dan kesan terakhirnya dari pertemuan itu adalah seorang tak dikenal yang mulutnya
tak berhenti bergerak telah mentraktirnya makan enak.
Satu-satunya orang berpendengaran normal yang ingin aku ceritakan soal ini adalah
Ronggur Panghutur. Aku tahu ia akan paham. Aku yakin ia bisa membantuku. Namun,
seperti banyak misteri yang muncul lalu tenggelam ditelan palung-palung danau, Ronggur
Panghutur lenyap dari hidupku begitu saja.
Sebagai gantinya, setengah globe dari tanah air, aku menemukan dua orang yang baru
kukenal sehari, yang mendekati alam mimpi dengan kabel dan mesin polisomnogram. Aku
tak yakin mereka bisa membantu, tapi pilihanku tidak banyak.
Maka, mengalirlah cerita mengenai mimpi pertamaku di lorong batu, yang dimulai
dengan kemunculan Si Jaga Portibi. Dalam penjelasan perdana ini, aku tidak ingin repot-
repot menjalinkan hubungan antara Si Jaga Portibi dengan figur mitologi Barat yang
mungkin lebih dikenal oleh dr. Colin dan Nicky. Aku sendiri belum pernah
menganalisisnya. Mungkin satu hari dr. Colin yang lebih tertarik melakukan itu pada
waktu senggangnya kalau sedang tidak sibuk meramu minyak esensial pemicu kantuk.
Aku hanya menerjemahkannya secara bebas menjadi “The Guardian of the Universe”.
Terserah mereka menyisipkannya ke logika seperti apa. Itulah Si Jaga Portibi yang kutahu.
Konon, ia menjaga semesta dan sepertinya punya tugas ekstra untuk menjagaku.
“Jadi, figur itu tidak cuma muncul di mimpimu, tapi juga saat kamu terjaga?” Dr. Colin
bertanya.
“Begitulah. Mungkin aku salah lihat. Halusinasi. Entah.”
“Kamu pernah dialog dengan dia?”
“Belum. Tapi, seorang tetua di kampungku dulu bilang kalau Si Jaga Portibi akan
muncul kalau aku sedang dalam bahaya.”
“Dan, benar begitu? Dia muncul untuk melindungimu?”
Gelap air Tao Silalahi sekelebat melintas. Memori yang selalu berusaha kukubur dalam-
dalam. Setelah itu, pojok kamar Hotel Peninsula. Aku tak tahu apa persisnya bahaya Ishtar
selain kemampuannya meninabobokanku hingga tidur lima jam lebih. Untuk itu, haruskah
Si Jaga Portibi muncul?
“Hampir selalu,” jawabku akhirnya. “Walau kadang-kadang aku nggak tahu bahayanya
apa. It’s not like I’m in the middle of a war or something.”
“Barangkali memang ada perang yang sedang terjadi, tapi belum sepenuhnya kamu
sadari. Perang internal dalam batinmu, misalnya,” kata dr. Colin.
“Mungkin.”
“But for the Guardian of the Universe to come down and protect you, it must be a huge
deal,” sahut Nicky. Ada penekanan pada ucapan “Guardian of the Universe” yang
terdengar penuh sangsi. “Something like an apocalypse should have Guardian of the
Universe involved. Tapi, kalau aku merasa duniaku hancur gara-gara cowok yang kutaksir
malah naksir cewek lain, agak berlebihan kalau Penjaga Semesta sampai turun tangan. Ya,
kan?”
“Kalian minta aku cerita, aku cerita apa adanya yang aku tahu. Kalau buat kalian nggak
masuk akal, itu problem kalian. Aku nggak mau repot-repot membuatnya terdengar lebih
logis supaya kalian mau terima. I’m not seeking for approval.”
“Aku paham,” kata dr. Colin. “Kami tidak sedang menghakimimu, Alfa,” lanjutnya
sambil melirik ke arah Nicky. “Kami hanya ingin mendengarkan. Silakan teruskan.”
Aku sudah kehilangan selera. “Sesudah itu mimpi yang lebih kurang sama berulang.
Kadang-kadang beda intro, beda intensitas. Tapi, aku selalu kembali ke tempat yang sama.
Akhir cerita yang sama,” paparku datar.
“Di dalam mimpi kita sering menemukan hal-hal absurd yang tidak punya tempat di
dunia nyata. Tapi, kadang-kadang ada panduan yang muncul seperti pengetahuan internal,
bisa berupa suara atau pikiran, yang menerangkan hal-hal tadi selagi mimpimu
berlangsung. Misalnya, kamu melihat seseorang yang tidak kamu kenal, tapi kamu tahu
bahwa orang itu adalah ayah atau ibumu.”
“Nggak ada panduan apa-apa.”
“Mungkin kamu yang kurang menyimak? Barangkali ada arti dari cahaya putih, tembok
abu-abu yang bertumbuh….”
“Aku nggak tahu, Dok.”
“Kamu bisa merasakan tempat itu punya emosi. Kamu bisa merasakan intensitas,
kemarahan. Dan, sebaliknya kamu juga bisa merasakan cahaya putih itu punya kualitas
menenangkan. Hal-hal begitu yang aku maksud, Alfa. Kamu punya kepekaan itu, tapi
mungkin kamu belum sepenuhnya percaya pada kemampuanmu.”
“Bisa jadi.”
“Ada lagi yang bisa kamu ceritakan?” Dr. Colin menatapku dengan sabar.
“Kamu belum cerita tentang pemicu tidur panjangmu,” celetuk Nicky.
“Does my sex life officially become an object of your interest, Nicky?” tanyaku pedas.
“Because you always seem to find your way to get back to it.”
Pipi Nicky memerah seperti disengat lebah.
Dr. Colin langsung sigap menetralisir. “Menurutmu sendiri, adakah pemicu khusus yang
membuat kamu bermimpi, Alfa?” tanyanya.
“Mimpi itu baru terjadi kalau aku sudah tidur di atas satu jam, Dok. Apalagi kalau baru
ada aktivitas fisik yang intens.” Aku mendelik ke arah Nicky dan mendapat kepuasan
melihat mukanya tidak keruan. “Makanya selama ini aku berusaha menghindari apa pun
yang membuatku tidur panjang.”
“Jadi, sejak sebelas tahun lalu, bisa dibilang itulah mimpi tunggal kamu selama ini?
Tidak pernah ada mimpi lain? Wow. Pasti ada pesan yang sangat penting, yang sangat
mendesak, dari alam bawah sadarmu.” Dr. Colin menggeleng-gelengkan kepala. “Dari
semua mimpi itu, apakah semuanya benar-benar identik, atau mungkin ada pembeda
khusus yang bisa kamu jadikan petunjuk?”
Aku terdiam. Ada yang kulewatkan. “Dua mimpiku yang terakhir. Kemarin malam dan
tadi sore. Dua mimpi itu berbeda,” kataku.
“Berbeda bagaimana?”
Aku mulai menangkap apa yang dr. Colin bilang sebagai pengetahuan internal. Ada arus
informasi yang mulai mendesak keluar begitu aku mulai memberikan perhatian dan izin,
arus informasi yang menunjukkan koneksi antara hal-hal yang selama ini luput dari
pengamatanku.
“Ada orang baru yang muncul.”
“Kami menyebutnya figur mimpi. Jadi, ada figur mimpi baru?”
“Tadinya kupikir dia hanya variasi intro dari mimpi abu-abu yang sama. Tapi, dua kali
berturut-turut dia muncul dan menjadi signifikan. Aku merasa, figur mimpi yang baru ini
manifestasi dari kubu cahaya, atau mungkin dia ada untuk menambah kekuatan kubu
cahaya….”
“Sebentar. Kubu cahaya? Maksudmu, jadi ada kubu-kubu dalam mimpi itu? ”
“Ya. Mereka seperti… berperang.”
“An inner war.” Dr. Colin mengangguk puas. “Jadi, benar. Ada perang yang terjadi.
Kamu tahu konflik mereka apa?”
“Aku.” Jawaban itu terlontar begitu saja. Seolah aku mengetahuinya sejak lama.
“Mereka memperebutkan aku.”
“Apa kira-kira alasan mereka memperebutkan kamu?”
“Aku tidak tahu.”
“Kita akan mencari tahu. Kita akan cari cara untuk menggali informasi itu dari figur-
figur mimpimu.”
“Dok, dalam dua mimpi terakhir rasanya aku bisa berkomunikasi dengan mereka.
Setidaknya, mereka responsif. Di mimpiku terakhir sebelum masuk klinik, Si Jaga Portibi
bilang tiga hal. Pertama, ‘bukan begini caranya’, lalu ‘ini untuk kali terakhir’, dan sesudah
itu dia membentak, menyuruhku bangun.”
“Kamu tahu apa maksud kalimat-kalimat itu?”
Aku menggeleng. “Yang aku ingat, dia seperti kesal. Nggak kelihatan di mukanya, tentu.
Dia nggak punya muka. Aku cuma bisa merasakan marahnya.”
“Kamu tahu kenapa dia marah?”
Aku kembali menggeleng. Menceritakan ulang semua ini kepada orang lain membuatku
sadar betapa banyak yang tidak kumengerti, dan betapa lama aku membiarkannya tetap
tidak dimengerti.
“Bagus. Ini awal yang benar-benar bagus, Alfa.” Dr. Colin menepuk lututku. “Pilihanmu
memang cuma dua. Dikendalikan penuh oleh alam mimpimu atau kamu bernegosiasi.”
“Ada pilihan ketiga,” potong Nicky. “Kembali insomnia. Menghindar seumur hidupmu.
You’re pretty good at that. No additional skill needed.”
Aku menatapnya tajam. Pecandu permen loli itu pasti berpikir ia sudah menghajarku
balik dengan telak.
Aku melihat dr. Colin, menanti pembelaannya, tapi dr. Colin malah mengangguk.
“Nicky benar. Pertama-tama, kamu memang harus membuat pilihan itu dan konsekuen
menjalaninya. Harus kamu yang lebih semangat kepingin sembuh ketimbang kami.
Masalah tidurmu harus menjadi prioritasmu yang utama. Pada akhirnya, kamu yang akan
bekerja paling keras ketimbang kami semua.”
“Jalan untuk kabur akan semakin banyak dan menggoda, Alf. Termasuk godaan untuk
menyerah. Yakin kamu siap?” Nicky menyambung.
“Siap,” jawabku berat. Andai saja yang barusan bertanya adalah dr. Colin, mungkin aku
menjawabnya dengan lebih bersemangat.
“Sekarang kita akan membekalimu dengan teknik mimpi sadar. Teknik ini bisa
membuatmu bertahan lebih lama di kondisi REM. Pertama-tama, kamu harus punya objek
yang kamu pegang untuk panduanmu di dalam mimpi.”
“Objek seperti apa?”
“Sesuatu yang selalu bisa kamu lihat dengan mudah.”
“Aku selalu pakai tanganku,” celetuk Nicky.
“Oke. Katakanlah aku juga pakai tangan, lalu harus kuapakan?” tanyaku lagi.
“Sebelum tidur, kamu harus melihat tanganmu, terus-menerus, tanamkan dalam
pikiranmu bahwa kamu akan melihat kedua tanganmu dalam posisi yang sama dalam
mimpi nanti. Jika kamu sudah tidur dan mulai mimpi, kamu akan ingat untuk melihat
tanganmu, dan saat itu pula kamu akan ingat kalau kamu sedang mimpi. Paham?
Tanganmu menjadi jangkar bagi batinmu untuk tidak hanyut dalam arus mimpi. Tanganmu
menjadi pengingat,” jelas dr. Colin.
“Setelah itu?”
“Begitu kamu berhasil mengingat, mimpi sadarmu dimulai. Kamu bermimpi, tapi kamu
tahu bahwa itu cuma mimpi. Kekuatan sekarang berbalik, Alfa. Kamu tidak lagi diseret.
Kamu punya kendali.”
“That’s it?” sahutku. “Aku sadar sedang mimpi dan tahu-tahu aku nanti bisa
mengendalikan mimpi?”
“Dari pengalamanku, tidak ada yang bisa mengendalikan alam bawah sadar. Aku sudah
25 tahun menjadi oneironaut dan jika ada sebuah simpulan yang bisa kugenggam dengan
pasti dan kupertanggungjawabkan kepada siapa pun, alam itu tidak bisa dikendalikan.
Tapi, kamu bisa berdialog dengannya.”
“Kalau nggak muncul siapa-siapa?”
“Kamu bisa minta. Dalam mimpimu, niatkan untuk bertanya. Minta penjelasan. Kamu
berdialog dengan alam itu. Biasanya akan dimunculkan figur mimpi atau penjelasan dalam
bentuk lain.”
“Oke. Simpel, ternyata.”
Nicky langsung mendengus.
“Bagi pemula, butuh lusinan kali mimpi untuk akhirnya bisa ingat jangkar mereka.
Tanpa mengingat jangkar, jarang terjadi mimpi sadar. Kita cuma akan terseret arus. Kita
lihat bagaimana kemampuanmu nanti,” kata dr. Colin.
“Kalau ada buku-buku tentang teknik mimpi sadar yang bisa kubaca, aku nggak
keberatan belajar lebih banyak, Dok. I’m a speed reader with excellent memory,” kataku.
“Sure you are,” Nicky bergumam.
“Di perpustakaan kami banyak literatur yang bisa kamu pelajari. Silakan baca
sepuasmu,” sahut dr. Colin, “tapi, ingat, begitu kamu mulai mengantuk, jangan dilawan.
Langsung kabari staf jaga lewat interkom, kami akan siap.”
“Jadi, mulai sekarang kalau aku mengantuk, aku tidur. This is new.”
“Ini tempat terbaik untukmu bereksperimen, Alfa. Staf kami akan memonitor prosesmu
tidur. Kamu tidak perlu khawatir.” Dr. Colin tersenyum.
Akan tetapi, air muka dr. Colin berkata lain. Tidak ada yang bisa meramalkan apa yang
akan terjadi. Mereka belum pernah menghadapi kasus seperti ini. Ia sama butanya
denganku. Dr. Colin akan mengirimku, prajurit kelas teri tanpa pengalaman, ke medan
perang. Dan, aku harus memastikan artileriku memadai dalam semalam.
Menjelang tengah malam di kamarku yang sekarang tanpa bantal, aku memutuskan untuk
mengambil jeda setelah melalap lima buku, mengirim pesan singkat kepada Troy:
Any luck on Ishtar?
Tiga menit kemudian, balasan tidak terlalu singkatnya masuk:
Not yet. You’re in a sleep clinic for Anunnaki’s sake. Go to sleep.
Kali kedua aku menengok jam, jarum pendek menunjukkan pukul 5.00 pagi. Semua
buku tentang teknik tidur sadar dari dr. Colin habis kubaca. Tidur tak datang. Yang ada
cuma sadar. Malam pertamaku menginap di Somniverse dan aku menamatkannya dengan
main beronde-ronde Solitaire.
9.
Aku mengenal setapak ini. Barisan bambu rapat yang menjulang ke langit melambai ditiup
angin dan membunyikan suara yang mirip arus anak sungai. Angin yang sama
menggerakkan wangi rumput dan tanah yang akrab bagi penciumanku. Jauh, menyelisip di
antara gesekan daun bambu, kudengar lantunan meliuk sarune etek. Dalam, menyelinap di
antara bermacam perasaan, kurasakan rindu. Aku rindu tempat ini.
Suara lain menyalak dari arah depan.
“Birong!” seruku tertahan melihat seekor anjing kampung hitam dengan ekor bergoyang
liar sedang menggonggongiku.
Aku berlari ke ujung setapak menghampirinya. Entah di ayunan kakiku yang keberapa,
aku teringat sesuatu. Birong sudah mati. Martin mengabariku lewat telepon entah berapa
waktu lalu. Anjing di ujung setapak itu berarti bukan Birong.
Ayunan kakiku yang ringan berubah berat, seolah udara di sekitarku berganti menjadi
lumpur, dan aku terseok untuk menyelesaikan lariku. Aku melihat sekeliling. Gelap
bertumbuh. Dari bawah, kiri, kanan. Liukan sarune etek berubah pilu, sember, dan
menyakitkan di kuping. Anjing hitam itu hilang. Tapi, masih terdengar gonggongannya
yang sarat geram dan kebencian.
Aku dijebak. Perasaanku mengatakan tidak ada jalan keluar. Kali ini, aku benar-benar
dimusuhi. Mati. Mati. Dan, mati. Ada kekuatan yang menghantam jantungku berulang-
ulang dengan martil, mengatakan mati, mati, dan mati.
Ke atas. Itu satu-satunya yang melintas. Di atas ada jalan. Aku berusaha mendongak,
melawan gembok yang mengunciku sekujur tubuh. Bukan. Bukan ke atas. Ke bawah.
Lihat ke bawah. Aku terkesima mendengar petunjuk baru itu, yang disuarakan oleh
benakku sendiri, sekaligus penasaran ada apa di bawah sana. Aku cuma bisa melirik ke
bawah karena leherku sudah tak bisa digerakkan lagi. Yang bisa kulihat hanya tanganku.
Kedua telapaknya membuka kaku seperti cakar ayam dicelup air keras. Namun, perubahan
besar terjadi seketika.
Mataku melihat sekeliling dengan kesadaran baru. Ini hanya mimpi. Setapak tadi bukan
kampungku yang sebenarnya. Kegelapan ini juga tidak bisa membunuhku. Atau bisa?
Seketika, cengkeraman itu kembali lagi, mengunci tubuhku dan meremukkannya. Sakit ini
terasa nyata. Aku meraung sekencang-kencangnya, dan udara di sekitarku seolah hanya
sudi menerima sepersepuluhnya saja. Aku berteriak, tapi yang terdengar cuma bisikan.
Lihat ke bawah. Lawan. Lawan! Aku berusaha menggerakkan tanganku yang sudah tak
bisa kulihat lagi, tapi masih bisa kurasakan. Semakin tanganku berusaha bergerak, impitan
dari segala arah ini semakin berat. Rasanya tubuhku akan meledak sebentar lagi. Ini cuma
mimpi. Ini cuma mimpi. Aku mengulang-ulang dalam hati karena tinggal itu yang bisa
kulakukan. Aku mengucapkannya dengan tangis yang tidak terwujud dan lelah yang tidak
terbilang.
Sosok hitam besar tahu-tahu berkelebat menutupi pandanganku. Mata kuningnya hanya
berjarak sejengkal dari mataku. Ia tertawa. Aku tak bisa melihatnya, tapi aku bisa
merasakan kepuasannya. Mata kuningnya membesar, menelanku, dan dalam lorong
kuning itu aku mendengar suara lain memanggil namaku.
“Alfa… Alfa….”
Suara itu seperti kereta peluru yang menggiringku keluar dari sana dengan kecepatan
tinggi.
“Alfa….”
Mataku terbuka. Rasa sakit, lelah, putus asa, dan kaku sekujur tubuh masih
mengiringiku. Tapi, alam yang kulihat berubah. Aku mengenalinya sebagai kamarku di
Somniverse. Makhluk di depanku bukan lagi Si Jaga Portibi, melainkan Nicky. Tangannya
merangkulku, matanya membundar cemas. Ia memanggil namaku terus-menerus.
“Yes! Wake up! Oh my God, thank goodness, you’re awake! He’s awake!” Nicky
berteriak-teriak.
Perlahan, sendi-sendi tubuhku melonggar, menyisakan rasa lelah dan gelombang tangis
yang terlambat datang. Dalam dekapan Nicky, untuk alasan yang aku sendiri belum
paham, aku menangis tersedu-sedu.
Menyia-nyiakan sinar matahari pagi adalah kesalahan besar, terutama jika beberapa jam
sebelumnya engkau baru meregang nyawa.
Aku membayangkan akan menemukan kutipan itu suatu hari nanti, dalam sebuah buku
memoar yang teronggok di sudut rak toko buku yang jarang ditengok orang karena tak
semua sanggup mengerti betapa berharganya sesuatu yang diberikan cuma-cuma kepada
mereka yang nyawanya bersambung rapuh dari hari ke hari. Udara yang bergerak sejuk.
Nyanyian burung di pepohonan. Matahari yang bersinar murah hati.
Hangat menerpa kulitku dan aku hanya ingin menikmatinya dalam diam. Nicky pun
bungkam, duduk bersamaku di teras belakang sambil menggenggam cangkir kosong bekas
teh chamomile yang sudah habis sejak tadi.
“Kamu harus sarapan.” Suara seraknya mengisi sunyi.
“Nggak lapar.”
“Dr. Colin sebentar lagi datang.”
“Iya, tahu.”
“Aku harus siap-siap dulu.”
“Silakan.”
Akan tetapi, Nicky tidak beranjak. “Alf…” panggilnya ragu.
“Hmmm?”
“Aku minta maaf.”
“Untuk apa?”
“For pushing you, for giving you a hard time, for judging you… I don’t know… for a lot,
I guess.”
Aku tersenyum. “Don’t get soft on me. I like your edges.”
Nicky tampak berjuang untuk bisa ikut tersenyum. “Aku benar-benar pengin bantu
kamu.”
“Aku tahu.”
“You were in so much pain. Aku nggak bisa membayangkan sakitnya mimpi itu untuk
kamu. Betapa berbahayanya tidur selama ini untuk kamu.”
Mata Nicky menerawang, tapi aku tahu apa yang ia lihat. Ingatan tentang bagaimana ia
menemukanku terbujur di lantai. Sekujur tubuhku mengunci dan menegang seperti tali
yang diregang sampai ambang putus. Aku kejang berulang-ulang sebelum akhirnya
terbangun. Terbukti aku tidak butuh bantal untuk mati. Tubuhku akan berimprovisasi
menemukan caranya sendiri.
“Maaf kalau sebelumnya aku kurang berempati,” ucap Nicky.
“Dari kecil, ibuku bilang, badanku kuat kayak kerbau. Sekarang aku tahu kenapa.
Supaya aku kuat berkali-kali sekarat. Tampaknya aku masih harus hidup, entah untuk
alasan apa. Masalahnya, aku nggak tahu bisa bertahan sampai kapan dengan kondisiku ini.
Sakitnya betulan terasa di fisik. Semakin ke sini, semakin parah.”
“But, you managed to remember your anchor. You managed to stay lucid for a few
moments. It’s a progress. Right?” kata Nicky. Jelas ia pun berusaha meyakinkan dirinya
sendiri. “Aku butuh berpuluh-puluh kali untuk bisa mengingat jangkarku di mimpi sadar.
Kamu sudah bisa mengingatnya di percobaan pertama.”
“Tapi, aku nggak punya kesempatan puluhan kali mencoba seperti kalian, Nicky. Berapa
kali orang bisa selamat dari serangan jantung? Berapa kali orang bisa selamat dari kejang-
kejang kayak tadi? Mungkin badanku sekuat kerbau, tapi badan ini pasti punya batas. How
many more times can I push my luck?”
Nicky tidak menjawab. Ia hanya menatapku lama. Kegigihannya luruh. Tinggal iba yang
terbaca.
“Can I offer you a hug?” tanyanya pelan.
Aku membuka tanganku. Ia membuka tangannya dan mendekat. Aku tak tahu lagi siapa
yang berada di posisi menawarkan dan ditawarkan. Pada saat itu, kami sama rapuhnya.
“Terima kasih,” bisikku. “Kamu sampai nggak pulang dan bertahan di klinik.”
“I left my keys in the hospital, that’s why,” bisiknya balik.
Lagi, Nicky berhasil membuatku tersenyum dalam kondisi sulit. Suara sembernya dan
hangat matahari pagi cukup untuk sarapanku pagi ini.
Sekali lagi, aku merunutkan mimpi terakhirku kepada dr. Colin dan Nicky yang
mendokumentasikannya dengan perekam suara.
“Jadi, figur yang kedua tidak muncul?”
“Kali ini tidak.”
“Dan, figur pertama, figur pelindungmu, kali ini tidak melindungimu lagi?”
“Rasanya begitu. Melihat kondisiku, dia malah puas.”
“Kamu yakin dia ingin menyakitimu?”
Aku berpikir dan mengingat-ingat. “Nggak juga. Tapi, dia nggak membantuku seperti
biasanya.”
“Dan, kali ini yang berbeda dari mimpimu adalah kamu berhasil menyadari bahwa itu
mimpi. You were lucid, even though it was for a short while.”
“I didn’t lose my lucidity, Doc. Aku cuma tidak menemukan cara untuk bernegosiasi.
Tidak ada tanda-tanda mereka mau berkomunikasi.”
“Oke. Sori, tapi aku harus merunut sekali lagi. Jadi, kamu berhasil mengingat jangkar.
Kamu melihat tanganmu. Kamu tahu bahwa kamu bermimpi. Kamu merasa ada perubahan
besar. Dan, sesudah itu tubuhmu seperti dikunci….”
“Sebentar. Ada yang kulewatkan,” potongku. “Aku ingat, aku sempat yakin alam itu
tidak bisa membunuhku, dan saat itu juga cengkeramannya sempat melonggar, tapi begitu
aku ragu….”
“Kamu terkunci lagi. Lebih kencang daripada sebelumnya,” sahut dr. Colin.
“Kok, Anda bisa tahu?”
Dr. Colin meletakkan catatannya dan melempar punggungnya ke sandaran kursi.
“Apa yang salah, Dok? Harusnya aku nggak boleh ragu, ya? Damn it!” Tanganku
spontan terkepal. Aku benci situasi ini. Mencoba lagi berarti mengulang pertaruhan
nyawa.
“Alfa. Tidak ada yang eksak dalam alam mimpi. Memang, ada skill dan teknik. Tapi,
alam itu hidup, dan jauh lebih cerdas daripada yang kita bisa bayangkan. Ia berdansa
dengan seluruh responsmu, sekecil apa pun itu. Lengah sedikit, emosi yang berlebih
sedikit, keraguan, ketakutan, apa pun, dampaknya bisa besar. Apalagi, kasusmu ini luar
biasa.”
“Kalau begitu, apa langkah kita selanjutnya?”
“Kamu masih mau mencoba lagi?” tanya dr. Colin.
Aku langsung melirik Nicky yang menatapku balik dengan muka cemas.
“Kalau kamu mau mencoba lagi, kamu bisa melakukan pendekatan yang berbeda.
Begitu kamu mulai mimpi sadar, jaga emosimu, Alfa. Kamu harus datang ke sana dengan
mental seorang pengamat yang netral. Kalau kamu meragu, sadari kamu meragu, tapi
jangan ladeni. Kalau kamu takut, sadari kamu takut, tapi jangan lawan. Kamu mau coba
lagi?” tanya dr. Colin hati-hati.
“Mungkin Alfa harus istirahat dulu, Dok. Badannya baru mengalami shock besar. I don’t
think it’s wise for him to go back to his dreamscape right away.”
“Aku bisa,” timpalku. Tidak ada cara lain.
“Alf, don’t do this to yourself. Your dreamscape is not a game,” sahut Nicky.
“Kalau aku berhenti sekarang, aku cuma bakal mengulang pola lama hidupku. Kerja
lagi, berusaha sibuk lagi, bertahan nggak tidur sampai batas kemampuanku. Aku mau coba
lagi bukan demi punya jam istirahat seperti orang normal, Nicky. Aku cuma pengin
mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku selama ini.”
Nicky terdiam, lalu membuang matanya ke arah lain.
“Take a break as long as you need. Kalau kamu siap, kita bisa mulai lagi,” ujar dr. Colin
sambil menepuk bahuku lembut. “Aku sangat menghargai keputusanmu untuk bertahan.”
“Pola tidurku berantakan, Dok. Tidur panjang ini mengacaukan polaku. Aku tidak bisa
meramalkan kapan kantukku datang.”
“Jangan terlalu khawatir soal itu. Badanmu sedang adaptasi. Kapan pun kamu siap,” kata
dr. Colin lagi. “We’re here for you.”
“Aku sudah membaca habis semua buku di sini. Aku nggak bisa balik ke kantor. Aku
nggak bisa balik ke apartemen. Bingung harus ngapain lagi.”
Ternyata bagian sulit dari ini semua adalah menghadapi waktu kosong. Aku tak tahu
cara menghadapinya tanpa jadi sinting.
“Tempat ini bukan penjara,” sahut dr. Colin. “Kamu bisa jalan-jalan, pergi ke tempat
lain, melakukan apa yang kamu inginkan. Yang penting kamu ingat untuk kembali kemari
begitu ada kebutuhan istirahat.”
“Yuk, kita jalan-jalan,” celetuk Nicky.
“Bukannya kamu harus kerja?” tanyaku.
“For my favorite guinea pig, I took a day off.”
“Sampai nanti, kalau begitu.” Dr. Colin membereskan catatan dan alat perekamnya.
“Finally. Peace is in the air,” cetusnya sambil tersenyum melihat kami berdua.
“For now,” Nicky menyambar gesit.
10.
Setidaknya ada dua museum, dua toko musik, dan dua kafe yang aku singgahi bersama
Nicky, belum lagi dengan beberapa kali perhentian di taman karena hobi Nicky memberi
makan burung. Ia menuduhku biadab dan nyaris menonjok perutku ketika aku bilang
burung-burung gereja di Amerika Serikat saking besarnya bisa kugoreng dan kusantap jadi
lauk. Nicky tidak sadar bahwa Amerika adalah negeri raksasa. Di sini, seperti ada sihir
yang membuat segalanya membesar. Dari mulai benda sampai manusia. Bahkan, burung
gereja mereka sebesar ayam muda di kampungku. Wajar kalau status mereka naik menjadi
santapan.
Nicky lantas mengajakku ke sebuah toko buku bekas langganannya di Upper East Side.
Belum setengah jam kami di sana, aku harus menghentikan langkahku di tengah-tengah
gang antar-rak.
“Nicky,” panggilku.
Nicky, yang berada di ujung gang, menghampiriku. “Ada apa?”
“Aku ngantuk,” jawabku, takjub.
“Dan… masalahnya adalah…?”
“Ini ngantuk yang benar-benar ngantuk. Rasanya badanku mau roboh.” Aku melihat jam
tangan. “Gila. Bahkan belum jam lima. Aku pikir aku bakal ngantuk lagi besok subuh.”
“You had a rough morning, Alf. Aku nggak kaget kalau badanmu sekarang tahu-tahu
kepingin istirahat total. Kita pulang ke klinik sekarang, oke?”
Aku menahan tangannya. “Jujur, Nicky. Menurutmu aku siap kembali ke sana?” Aku
yakin kami sama-sama tahu tempat yang kumaksud bukanlah Somniverse.
Nicky menatapku lekat sebelum akhirnya menggeleng. “Belum.”
Sepanjang jalan di taksi kembali ke Nassau, aku menutup mata karena sudah tidak kuat
lagi. Begitu turun dari taksi dan memasuki pekarangan Somniverse, kantukku menguap
tanpa bekas.
“Sori, Nicky. Kayaknya hari ini aku cuma buang-buang waktumu,” kataku menyesal.
“Nonsense. I had fun,” bantah Nicky. “Gara-gara seharian bareng tadi, aku jadi tahu
kamu barbarian pemakan burung gereja tak berdosa yang selera games-nya sama kayak
anak umur sepuluh tahun.”
“Perspektifmu yang ngaco. Games yang bagus itu mentransendensi usia. Nggak ada
istilah games untuk usia tertentu. Dan, sekali lagi, bukan salahku ingin buka warung
burung goreng. Burung di sini yang gedenya keterlaluan.”
“Selamat sore,” sapa dr. Colin yang baru keluar dari ruangannya. “I see you guys are
back to your peace-loving selves. Bagaimana kondisimu, Alfa?”
“Kantukku baru saja hilang, Dok. Mungkin lain kali aku nggak pergi jauh-jauh.”
“Tenang saja. Kantukmu akan kembali. Dan, kami punya banyak cara untuk
mengundangnya lagi. Linda bisa membantumu dengan protokol dua jam body work
andalannya.”
“Aku ini terapis pijat bersertifikat. Spesialisasiku Zen Shiatsu dan teknik pijat Swedia,”
ujar Linda dari mejanya dengan bangga.
“You’re very resourceful, Linda,” pujiku. “Tapi, bolehkah aku baca satu buku dulu? Aku
penasaran pengin baca.”
“Kamu dapat dari mana buku itu?” tanya dr. Colin, matanya tertuju pada sampul depan
buku yang kubawa. Buku oranye terang dengan judul Milam Bardo dalam huruf kapital
warna hijau adalah satu-satunya barang yang kubeli dari tripku seharian bersama Nicky.
“Di toko buku bekas di Upper East Side. Anda sudah baca?” tanyaku sambil
menyerahkan buku itu ke tangannya.
Dr. Colin membolak-balik buku dua ratusan halaman itu. “Bukan hanya pernah. Aku
bahkan pernah bertemu dengan penulisnya. He’s an accomplished oneironaut, a master,
even though they don’t use that term in Tibet.” Dr. Colin mengembalikan buku itu ke
tanganku. “Itu buku langka. Sudah tidak pernah dicetak ulang.”
Aku membaca nama penulis buku itu. “Dia betulan dokter?” tanyaku.
“Dr. Kalden Sakya adalah dokter dari sistem medis Tibet. Sistem mereka luar biasa.
Dan, mimpi adalah salah satu alat penyembuhan yang mereka gunakan ribuan tahun. In
terms of understanding the dreamscape, they are way more advanced than us the
Westerners.”
“Di mana dia sekarang?”
“Dr. Kalden? I wish I knew. Back in the 80’s, his book was a big hit among the Western
oneironauts. Sebelum dia, belum pernah ada yang menjelaskan mimpi di luar dari
pemahaman Freud dan Jung. Sayangnya, dr. Kalden sudah lama hilang dari peredaran.”
“Jadi, dr. Kalden pernah ke Amerika?”
“In our very own New York City. Dia tinggal di sini selama sepuluh tahun, menulis buku
itu, lalu hilang begitu saja. Ada yang bilang dia kembali ke Tibet.”
“Mencurigakan,” gumamku.
“Satu jam waktumu membaca, Alfa. Selesai tidak selesai, setelah itu kamu milikku,”
Linda menunjukku tepat di dada.
“He’s a speed reader with excellent memory, Linda. Dalam setengah jam dia sudah cari
buku lain,” celetuk Nicky sambil menyikutku.
Kenyataannya tidak. Buku itu bagaikan pasir isap yang tarikannya sudah menyedotku
sejak aku melihatnya bertengger di rak toko buku, dan aku terus tenggelam. Aku tidak
ingin membacanya dengan cepat. Aku berhenti berkali-kali, membacanya ulang, mencoba
teknik-teknik yang dianjurkan. Ada rasa yang familier, seolah aku menemukan apa yang
telah lama hilang.
Sejam kemudian, Linda datang ke kamar, dan aku belum menutup buku. Linda tentu
tidak peduli. Ia langsung menyuruhku menutup buku dan berbaring tengkurap.
“Boleh aku cek badanmu sebentar? Aku perlu tahu teknik apa yang kira-kira cocok
untukmu saat ini.”
“Terserah kamu, Linda. Aku pasrah.”
Linda terpana, tangannya terus memencet-mencet otot-otot punggungku sambil sebentar-
sebentar berkomentar, “Oh, my. Oh, dear. Oh, gosh.” Sampai pada satu titik aku merasa
dia kesal bukan main. “Ini badan paling tegang yang pernah kupegang. Kamu apakan
badanmu selama ini, Alfa? How could you possibly live with this kind of tension?”
“No idea,” gumamku. Aku cuma kepingin memejamkan mata dan menikmati pijatan
tangannya.
“Aku akan mengambil handuk panas sebentar. Dua jam dari sekarang badan kakumu
yang seperti boneka kayu ini akan relaks seperti boneka kain.” Linda menepak
punggungku keras sampai aku terbatuk kecil.
Sambil menunggu Linda datang dengan handuk panasnya, aku meraih ponselku,
mengirim teks untuk Troy sebelum alat ini pun kumatikan:
Still nothing? I thought you were a real journalist.
Balasan dari Troy masuk dengan cepat:
A journalist is not a PI, asshole. Nuthin yet. How’s your sleep?
Aku mengetik balik satu kata:
Worse.
Linda masuk, bertepatan dengan bunyi bip pesan balasan Troy. Aku membacanya sekilas
sebelum menekan tombol untuk memutus daya sekaligus menutup hariku di tangan Linda:
Hang in there.
Jarum pendek menunjukkan angka sembilan, jarum panjang bergantung di antara angka
tiga dan empat. Pandanganku sudah mengabur. Selama setengah jam terakhir, aku
melakukan semua protokol yang kubaca dari buku dr. Kalden Sakya meliputi gerak tubuh
dan pernapasan. Tubuhku menyamping ke kiri, sesuai yang dianjurkan dr. Kalden Sakya
untuk sirkuit maskulin pria. Aku pun menutup mata. Pikiranku berlari acak dari satu
tempat ke tempat lain, memunculkan ide, komentar, muka orang, persoalan, dan seperti
pemain sirkus yang meniti di tengah tali, aku menjaga keseimbanganku mengamati itu
semua.
Rel panjang, riuh, dan berliku itu tiba-tiba menghunjam curam dan aku meluncur jatuh.
Rasanya aku diempaskan ke sebuah tempat. Terjerembap di tanah, aku menengok ke
sekelilingku, menggesekkan jari-jariku. Tanah itu berpasir. Sesuatu dalam kandungan
tanah menyebabkannya berkilau.
Aku bangkit berdiri. Tempat itu asing, belum pernah kulihat sebelumnya. Anehnya,
dengan cepat muncul rasa akrab seperti pulang ke rumah. Tidak cuma ada satu bangunan
di hamparan luas yang kelihatannya semacam kompleks itu. Ada setidaknya enam yang
kulihat.
Aku berjalan melewati bangunan itu satu demi satu. Bangunan-bangunan itu mirip, tapi
tidak identik. Bentuknya serupa segi enam, tapi atapnya berlainan. Ada yang seperti
piramida, ada yang seperti kubah, ada yang seperti kelopak bunga dengan ujung-ujung
runcing yang mencuat keluar. Aku tahu apa yang kucari. Bangunan tempatku tinggal.
Letaknya di paling ujung.
Seseorang tiba-tiba muncul di depanku. Perempuan tinggi semampai dengan garis muka
tajam. Ia mengenakan baju serupa gaun sederhana berwarna kelabu muda dengan tepian
garis putih. Gaun itu dibebat kain putih di pinggang. Kemudian, kusadari bahwa aku pun
mengenakan baju yang sama.
“Asko?” kataku spontan. Dan, aku tahu itu bukan namanya, melainkan nama tempat ini.
Perempuan itu tersenyum tipis, seperti puas mendengar kata itu terlontar dari mulutku.
Detik itu juga, aku teringat untuk melihat kedua telapak tanganku, menyadari bahwa aku
sedang bermimpi.
“Ini cuma mimpi,” desisku. Aku melihat sekeliling, menanti perubahan. Namun, tak ada
yang berubah.
“Kamu figur mimpi,” kataku kepada perempuan itu. Ia membalasku dengan senyum geli
seolah ucapanku adalah lelucon.
“Kamu yang pertama datang, seperti biasa,” sahutnya. “Yang lain hampir sampai.”
Ini cuma mimpi, tegasku sekali lagi dalam hati. Ini saatnya bernegosiasi.
“Apa yang mau kamu rundingkan?” perempuan itu tahu-tahu bertanya.
“Siapa… siapa yang berusaha membunuhku selama ini?” Gelagapan, aku bertanya. Ia
seperti bisa membaca isi kepalaku.
Kepala perempuan itu menggeleng pelan. Ia lalu berbalik dan berjalan pergi. Buru-buru,
aku mengikuti langkahnya. “Siapa pun itu, tolong, bilang sama dia untuk berhenti. Tidak
mungkin aku hidup begini terus.”
Perempuan itu menyetop langkahnya. Menatapku tanpa berkata apa-apa. Namun, aku
mendengar suaranya dalam kepalaku. “Aku tidak bisa menghentikan apa yang sudah
kamu tanam.”
“Tidak mungkin kamu tidak bisa,” bantahku. “Pasti ada caranya.”
Ia mengangguk. “Kamu caranya. Kamu yang harus mengeset ulang program yang kamu
rancang. Dan, kamu harus memahami alasanmu sendiri saat merancang program itu.”
“Program apa…?”
Perempuan itu menengok ke atas. Mataku mengikuti arahnya. Langit itu putih,
berpendar lembut seperti kapas ditaburi bubuk kemilau. “Semakin lama semakin tebal.”
Aku mendengar suaranya lagi dalam kepalaku. “Kamu belum sanggup bertahan lama di
Asko, kami semua mengerti. Aku senang kamu sudah berhasil sejauh ini.”
“Sebentar.” Aku menahannya. “Jadi, aku harus bicara dengan siapa di sini?”
“Bukan bicara. Tidak perlu bicara. Kamu cuma perlu ingat,” katanya lembut. “Banyak
yang akan terunggah begitu kamu berhasil sampai di Asko. Kamu akan tiba di tujuanmu,
Gelombang.”
Arus ingatan yang bercampur dengan emosi membanjiriku seketika. Aku mengenali
perempuan itu. Aku mengenali semua ini. Ada yang berusaha menggapaiku dan aku
berusaha menggapainya balik seperti kata yang bergantung di ujung lidah, menanti
koordinasi sensorik dan motorik untuk bisa mengingat dan mengucapkannya sempurna,
tapi yang terjadi adalah kemacetan. Karut-marut. Saat itu juga aku tahu bahwa aku telah
kehilangan keseimbanganku.
Perempuan itu lenyap, tempat itu berubah mendung dan muram. Dimensi ruang yang
mengelilingiku menyempit dengan cepat. Keparat. Not again, makiku. Aku berusaha
melihat tanganku. Damn it. Aku tahu ini mimpi. Wake up, Alfa. Wake up! Belitan rantai tak
kasatmata yang mengunci dari dalam merambati sendi-sendiku. Aku mengencangkan
rahang, mengumpulkan tenaga sebisaku, dan menolak belitan itu sekuat yang kusanggup.
“Jangan lawan.”
Tiba-tiba, aku mendengar suara. Aku menengok ke sumber suara yang ternyata datang
dari hadapanku sendiri. Si Jaga Portibi.
“Bantu aku, tolong, sekali ini lagi,” aku memohon.
“Tidak perlu lagi. Kamu bisa.”
Aku menatapnya tak percaya. Ia pikir apa ini? Belajar naik sepeda? “Kampret! Babi!
67
Bodat! Aku mau bangun!” Aku terus meronta, memaki, menggeram, menggerung, dan
berteriak kencang.
Si Jaga Portibi, dalam waktu yang rasanya tidak bergerak, hanya mematung. Ia terhibur.
Aku bisa merasakannya dan itu membuatku semakin murka.
Tidak lagi-lagi. Ini yang terakhir. Aku harus berhasil. Aku harus bangun. Dan, mataku
terbuka.
Kunci-kunci itu langsung sirna dari persendianku. Lega bukan main. Aku melihat ke
sekitarku dari atas lantai tempat tubuhku terbaring. Kamar ini tidak segelap yang kuingat.
Mungkin pagi sudah datang. Aku mencoba bangkit, memanjat kembali ke tempat tidur.
“Alfa… kamu jatuh lagi?”
Aku terkesiap melihat Ishtar menyapaku dari atas tempat tidur.
“Come here, I’ve got you.” Ia menarik tanganku naik.
Aku serta-merta mendekapnya. “Kamu ke mana saja? Aku cari-cari kamu setengah
mati.” Aku pererat pelukanku, merasakan tubuhnya, membaui wangi rambutnya.
“Aku di sini. Selalu di sini,” jawabnya. “Kamu pasti mimpi lagi.”
“Aku capek,” keluhku seraya membenamkan kepala di lekukan lehernya. “Capek mimpi
lagi.”
“Kamu nggak harus mimpi lagi,” bisiknya.
“Aku nggak tahu cara menghentikannya.”
“Just embrace me, like you always did. Like now,” bisiknya lagi.
“Aku ingin selamanya begini.” Aku mengecup lehernya. “Jangan pergi lagi, Ishtar.”
“Aneh. Aku nggak pernah pergi. Kamu yang selalu berusaha pergi.”
Dekapannya melonggar. Begitu juga dekapanku. Aku menarik tubuhku, melihat wajah
cantiknya yang begitu rumit untuk dibaca. Ada luka, ada rindu, ada benci, dan ada cinta.
Ishtar seperti ingin membunuhku dan bercinta denganku sekaligus. Aku yakin cuma ia
yang mampu melakukan keduanya secara simultan.
“Kenapa?” tanyanya. “Kenapa kamu selalu pergi?”
Aku menggeleng. “Aku nggak ke mana-mana… kamu yang….”
“Bohong!” Ishtar menyentak.
Dengan tenaga yang tidak kuantisipasi, Ishtar mendorongku. Kedua tangannya yang
lentik mengepal kencang, memukuliku dengan gerakan cepat seperti hendak melemaskan
selembar daging. Rambutnya menutupi sebagian muka, tapi dari bagian yang terkuak bisa
kulihat ia menangis. Aku tidak menangkis, aku menangkap punggungnya, menariknya ke
tubuhku sedekat mungkin, dan kemarahannya menjadi-jadi ketika sadar ia terkunci.
Ishtar berteriak-teriak, memaki dalam bahasa yang tak kukenal, dan anehnya aku
mengerti. Aku tak bisa mengucapkannya balik, tapi setiap kata yang Ishtar ucapkan lewat
dalam kepalaku seperti melalui mesin penerjemah. Ia bilang dirinya bodoh, aku penipu, ia
merasa dimanfaatkan, aku tidak pernah mencintainya, dan seterusnya. Tubuhnya
berangsur lunglai, suaranya semakin menurun, dan akhirnya ia hanya diam mendekapku.
Aku menciumi rambutnya, membelai lengan-lengannya yang terkulai. Aku tak
memahami alasan di balik segala tuduhannya karena itu aku tak ingin membela diri
dengan kata-kata. Aku hanya ingin menunjukkan kerinduanku yang meregang.
Ishtar mulai merespons. Ia mendongak, menempelkan pipinya yang basah, dan
menciumiku balik dalam isak halusnya. Rambut halus di tengkukku meremang.
Panas tubuhnya, setiap lekukannya yang bersentuhan dengan tubuhku, wangi mulutnya
setiap kali bibir itu terbuka dan bergesekan dengan penciumanku, Ishtar mengirimku ke
dalam ekstase melalui setiap hal kecil yang ia lakukan.
Secepat itu dinamika kami berubah. Dari kekasih menjadi musuh lalu kembali menjadi
kekasih.
Ishtar mendaki di atas dadaku, menempelkan mulutnya ke kupingku. “Kamu janji nggak
pergi lagi?” bisiknya. Ia lalu duduk dengan luwesnya, kedua pahanya mengapit pinggulku.
“Janji?” tanyanya lagi, matanya yang masih berjejak air mata mengerling genit. Ia meraih
satu tanganku lalu mengecupnya kecil-kecil seperti mencumbu kuncup bunga.
Dalam satu bingkai, aku tiba-tiba menyadari tiga hal tentang pemandangan yang
kuhadapi. Pertama, wajah Ishtar yang menggemaskan dan ingin kulumat seperti orang
belum melihat makanan seminggu. Kedua, tanganku, yang seketika mengaktifkan alarm
siaga dan menyadarkan aku atas keganjilan di ruangan itu karena, ketiga, kamera yang
seharusnya terpasang di atas tempat tidur, yang sekarang seharusnya terlihat di atas kepala
Ishtar, tidak ada.
Aku mengedarkan pandangan. Tidak ada jam dinding. Tempat tidur ini lebih besar
daripada yang seharusnya. Kamar ini seharusnya gelap karena lampu tadi kumatikan.
Apakah hari sudah pagi? Tak kutemukan jendela maupun terang lampu. Kamar ini
berpendar kebiruan seperti diterangi langit dini hari tapi tak ada sumber cahaya yang
terlihat.
Ishtar berhenti bergerak, seolah bereaksi terhadap kebingunganku.
Ini cuma mimpi. Sialan. Ini masih mimpi. “Aku ingin bangun,” gumamku.
Mata Ishtar menyalang oleh amarah. “Benar, kan? Kamu yang selalu pergi!”
Gempa mengguncang kami. Entah gempa itu terjadi di ruangan atau dalam kepalaku.
Segalanya bergoyang keras dan kepalaku sakit luar biasa. Rahangku mengencang sampai
gigiku mau rontok rasanya. Aku menggeram menahan sakit dan getaran itu mengoyak
ruangan, mengaburkan segalanya.
Dan, mataku terbuka.
Kamera di atas. Itu hal yang kusadari duluan. Lalu, jendela yang mengantarkan terang
pagi lewat kisi-kisi panel vertikal. Jam dinding adalah objek yang kucari berikutnya.
Mataku terbelalak melihat jarum pendek ada di angka enam dan jarum panjang bergantung
tak jauh dari situ.
Aku duduk tegak di atas ranjang. Mengecek keutuhan tubuhku. Di luar dari kepalaku
yang masih berdenyut dan rahangku yang masih pegal, jantungku rasanya baik-baik saja,
napasku tidak memburu seperti dikejar hantu, sendi-sendiku tidak lagi seperti ditusuk-
tusuk pisau.
Tanganku berhenti di bawah perut. Ada yang tidak beres. Telapak tanganku lalu
mengecek kasur. “Oh, shit.”
11.
Nicky menerangkan kepadaku dalam bahasa statistik. “Delapan puluh persen pria
mengalaminya sampai usia dewasa, Alf,” katanya dengan nada bijak dan muka sabar
seperti guru TK teladan. “Pada usiamu sekarang, masih normal untuk mengalaminya
sampai sebulan sekali.”
“Aku tetap mau cuci seprai itu. Dan bajuku.”
“Di sini kamu klien. Staf kami yang bertanggung jawab untuk mencuci. No need to make
a huge deal out of it.”
“Aku bukan pasien lumpuh. Aku bisa cuci sendiri. Ini adalah kebiasaan yang sudah
ditanamkan orangtuaku, generasi demi generasi dari mulai nenek moyang.”
“Really?” Nicky memiringkan kepalanya.
“Yes, we should be responsible for our own dirt, stain, and… stuff.”
Ujung alis Nicky naik.
“Nicky, please.”
“Kenapa harus malu, sih? Nocturnal emission is a normal bodily function….”
“It was a frikking wet dream, okay? Use humane term! You’re not making it any better!”
Kemampuan Nicky bersandiwara tampaknya sudah mencapai batas maksimal. Wajah
aslinya mulai terlihat. Dari sebuah senyum kecil yang tak bisa ia bendung, melebar
menjadi cengiran yang mengisi seluruh mukanya, dan setelah itu meledak menjadi tawa
terbahak-bahak.
“I’m so gonna tell dr. Colin! Alf wet his beeed!” teriaknya sambil berlari pergi.
Alat perekam itu sudah dimatikan, tetapi dr. Colin sepertinya masih mencerna semua yang
sudah kusampaikan pada sesi pertemuan kami kali ini.
“Ini luar biasa,” katanya berkali-kali. “Kamu sadar ini kemajuan yang sangat besar?
Kemarin kamu masih bangun tidur dengan kejang-kejang, hari ini kamu bangun normal.”
Aku hampir keselak mendengarnya, tapi juga bersyukur dr. Colin masih menganggapnya
“normal”.
“Bukan saja kamu berhasil tetap sadar sebegitu lama, bahkan kamu berhasil menemukan
tempat lain, figur mimpi baru, terjadi dialog. Luar biasa, Alfa.”
“Tapi, banyak yang belum aku mengerti. Kenapa sampai ada mekanisme itu
sebelumnya? Pasti ada sebab.” Aku masih bisa membayangkan dengan jelas tempat yang
bernama Asko, tanahnya yang berkilau, jajaran bangunan di kiri dan kanan. “Ada di
paling ujung, Dok.”
“Paling ujung?”
“Di bangunan paling ujung. Aku yakin jawabannya ada di sana.”
“Artinya, penjelajahan berikut kamu harus bisa masuk ke bangunan itu. Tapi, ingat.
Mimpimu berikut bisa saja mengambil lokasi di tempat lain. Bergantung pada
kebutuhanmu. Alam bawah sadarmu akan memunculkan apa yang kamu butuhkan, bukan
yang kamu inginkan.”
“Aku punya pertanyaan tentang figur mimpi, Dok. Kalau mereka memang produksi
alam bawah sadarku sendiri, seharusnya aku bisa mengendalikan mereka, kan?”
Dr. Colin sejenak terdiam. Pertanyaanku seperti mengusiknya. “Dulu juga kupikir
begitu. Tapi, pengalamanku membuktikan lain.”
“Persis!” Aku nyaris berteriak. “Perempuan pertama yang kulihat, misalnya. Dia seperti
terganggu waktu aku menyebut dia figur mimpi. Semua figur mimpi yang selama ini
sempat kuajak bicara juga seperti tidak setuju kalau diperlakukan sebagai ilusi. Mereka
bersikap seperti mereka itu otonom.”
“Kamu tahu berapa tahun untukku bisa menemukan itu? Sepuluh tahun. Baru sepuluh
tahun terakhir aku punya kejelian itu. Kamu punya bakat luar biasa, Alfa. Aku harap kamu
menyadari potensimu ini.”
“Justru itu membuatku semakin bingung, Dok.” Aku geleng-geleng. “Mereka
membutuhkanku untuk sesuatu yang penting, entah apa. Mekanisme sabotase itu juga
belum sepenuhnya hilang. Aku masih jauh. Aku belum mengerti apa-apa….”
“Hey. Take it easy, okay? You did great. Bayangkan, pertama kali dalam sebelas tahun,
kamu bisa tidur enam setengah jam.”
“I miss my sleeplessness, I must say.” Aku tersenyum kecut. “Life was simpler that
way.”
“Kamu punya tugas penting. Sesuatu yang besar berusaha memanggilmu dari alam
mimpi dan bertahun-tahun kamu menghindarinya, tapi sekarang tidak lagi.” Dr. Colin
bangkit dari kursinya. “Aku anjurkan kamu tetap di sini sampai setidaknya mekanisme
sabotasemu terbukti tidak terjadi lagi, dua-tiga kali lagi tidur dalam pengawasan. Bisa?”
“Aku sudah cuti dari kantor, Dok. Nggak masalah,” jawabku. “Aku cuma perlu pulang
ke apartemenku sebentar.”
“Silakan.”
Kami berdua sudah keluar dari pintu ruangannya ketika bayangan Ishtar mendadak
berkelebat, memunculkan kecurigaan baru. Langkahku berhenti.
“Dok, bagaimana kalau mimpiku itu ternyata memori? Bagaimana kalau aku benar-
benar pernah mengenal mereka sebelumnya? Bukan di kehidupan sekarang, tapi tidak tahu
kapan?”
“Sangat mungkin, kalau kamu percaya adanya kehidupan lampau.”
“Anda sendiri percaya?”
“To some extent, yes, although I never really focused on that field.”
Kecurigaan berikutnya muncul, tapi rasanya aku belum punya keberanian cukup untuk
bertanya. Namun, dr. Colin membaca ekspresiku.
“Kemungkinan apa lagi yang kamu pikirkan?” tanyanya.
“Bagaimana kalau itu bukan mimpi?”
Dr. Colin tidak menjawab. Matanya menerawang, memandang sesuatu di belakang
kepalaku, seperti berusaha mengekstraksi jawaban dari udara. Akhirnya, ia hanya
mengedikkan bahu. “Soal itu, aku tidak tahu.”
Kami tak sempat bertemu di apartemen. Carlos masih tertahan di kantornya. Troy masih
harus wira-wiri lintas distrik. Saat seperti ini membuatku merindukan masa-masa kami di
Cornell. Masih banyak waktu dan ruang untuk nongkrong dan omong kosong. Aku
bahkan tak bisa lama-lama sentimental karena Carlos dan Troy harus kembali bekerja.
Aku hanya bisa menahan mereka sebentar di satu-satunya meja kosong di gerai Starbucks
kecil dekat kantor Carlos, tepat pada jam mereka bisa beralasan rehat untuk pemenuhan
dosis kafein. Kafein dan udara segar adalah dua alasan yang selalu mendapat pemakluman
di Amerika. Sama esensialnya dengan hak asasi manusia.
“Selamat, Alfie. Aku dengar kamu tidur enam setengah jam di sana. And you have
nurses to take care of you 24 hours, cute doctor, sophisticated machines, damn, I wanna
try to stay there one day,” kata Carlos setelah menyeruput latte-nya.
“Aku sudah bilang sama Carlos soal petualanganmu dengan NSA,” Troy berkata
setengah berbisik, yang mana hal itu sama sekali percuma.
“You’re most welcome.” Carlos tersenyum lebar. “Kerja keras kami nggak sia-sia.”
“Guys, about that, I need your help,” kataku.
Mata Carlos langsung berbinar. “You want another shot? Whoa. You’re on a roll!
Finally, Alfie’s enjoying life!”
“Bukan itu,” kataku cepat. “Perempuan yang kutemui malam itu. Ishtar. Aku benar-
benar butuh ketemu dia lagi.”
Troy garuk-garuk kepala, kemungkinan besar untuk menggaruk rasa bersalahnya.
“Pekerjaanku lagi gila-gilaan, ngerti? Aku nggak punya banyak waktu untuk mencari.”
“Aku sudah bisa baca polanya.” Carlos tersenyum. “Kamu resmi terobsesi. Perempuan
misterius bernama Ishtar adalah hobi barumu.”
“Bukan itu juga,” kataku gemas. “Kalian mungkin menganggapku sinting. Tapi, aku
nggak yakin pertemuan kami itu kebetulan. Aku butuh mengontak siapa pun yang
menghubungkanku dengan dia.”
“Itu nggak mungkin. Siapa pun yang jadi broker malam itu sekarang ini pasti sudah
ganti peran. Ganti identitas. Mereka berotasi secara acak. Broker itu juga belum tentu
kenal dengan Ishtar atau orang-orang yang ia hubungkan. And it was a burner phone. You
can only call it once,” balas Carlos.
“NSA bukan CIA atau Illuminati. I’m sure it was run by some breathing, living, ordinary
geeks. It’s just a game. Masalahnya, itu satu-satunya koneksi yang kita punya ke Ishtar.”
“Kamu berharap apa dari kami? Kami bukan detektif,” sahut Troy.
“Apa saja. Aku sudah bilang, petunjuk apa pun akan sangat membantu. Carlos, aku
yakin di firmamu ada yang pernah pakai jasa detektif. Bisa kamu carikan buatku, nggak?”
Latte di mulut Carlos hampir muncrat. “Ini serius, ya?”
“Kalau aku nggak harus terapi lagi di Somniverse, aku akan cari informasi sendiri. Aku
nggak akan merepotkan kalian. But, now my hands are tied. I need someone else’s help.
So, hire a real PI, if you must. I’ll pay for it.”
“Okay, amigo,” Carlos menepuk bahuku. “Kalau itu memang penting buatmu, dan
perempuan bernama Ishtar itu sedemikian esensialnya untuk kebahagiaan dan kegilaanmu,
akan kami usahakan. Ya, kan, Troy?”
“Is this one of those ‘All for One’ moments?” Troy menghela napas sambil membuang
kepalanya ke sandaran kursi.
“Satu lagi. Aku juga butuh informasi tentang seorang dokter Tibet yang pernah tinggal
di New York.” Aku meraih selembar tisu, mengambil pulpen yang mencuat di kantong
kemeja Carlos, lalu menuliskan nama Kalden Sakya.
“What drugs did they give you in that clinic, man?” Carlos menerima tisu itu sambil
geleng-geleng kepala.
“Kapan kamu kembali kerja?” tanya Troy.
“Belum tahu. Aku harus bereskan ini dulu. Lebih cepat lebih baik. Bantuan kalian akan
sangat, sangat berarti.”
Dengan suara parau yang menyakitkan kuping dan hati, Troy bersenandung, “Let’s make
it all for one… and all for love….”
12.
Untuk paling tidak kali kelima dari sejak buku itu ada di tanganku, aku membaca ulang
Milam Bardo. Berbaring dalam posisi yang disebut posisi singa, menghadap kanan,
memvisualisasikan empat simbol berbeda di keempat chakra. Seberapa pun eksentrik
konsep-konsep ini, terbukti mereka membawa hasil. Aku memejamkan mata dan tidak lagi
ngeri dengan apa yang akan menyambutku. Aku malah ingin segera bertemu.
Proses yang serupa berlangsung. Meniti tali di tengah letupan pikiran-pikiran yang acak
dan singkat, yang berangsur menjadi semakin panjang, berpindah seperti masuk dari satu
pintu ke pintu lain, dan bagaikan jatuh tersandung, tahu-tahu aku tiba di sana.
Pasir yang berkilau. Aku segera mendongak. Langit putih tanpa awan. Aku mengecek
kedua tanganku. Ini mimpi. Tidak ada yang bisa menyakitimu di sini, Alfa. Aku menengok
ke sekitar. Bangunan-bangunan yang masih sama sebagaimana aku mengingatnya kali
terakhir. Tidak salah lagi. Ini Asko.
Bangunan paling ujung adalah tujuanku. Aku berjalan ke arah depan. Hanya beberapa
saat sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak melangkah. Aku maju dalam
keadaan melayang. Tubuhku menolak ke atas dan seketika itu juga aku terbang. Ringan
dan tanpa usaha yang berarti, seolah udara menahanku di atas sana sesuai dengan
kehendak pikiranku.
Aku terus bergerak maju. Melihat bangunan-bangunan itu dari perspektif yang berbeda.
Barisan atap yang menyusun bentuk-bentuk geometris. Aku tahu aku pernah melihatnya,
tapi semakin berusaha kuingat semakin penat rasanya dan itu mengganggu
penerbanganku. Aku putuskan untuk melewatkannya dan kembali fokus ke bangunan
paling ujung.
Atapnya sudah terlihat. Dari atas sini, aku melihat bentuk lingkaran yang ujungnya
berputar ke dalam lalu naik seperti ombak. Hatiku melonjak persis seperti didorong
ombak. Ada haru, puas, dan bahagia, bahkan ketika cuma atapnya yang terlihat. Aku tahu
telah kutemukan rumah yang kucari. Tempat segala jawaban dari pertanyaan yang
membuatku sekarat selama ini.
Aku turun dari ketinggian itu, mulus menapak darat dan langsung berlari menuju pintu
bangunan. Jantungku berdebar-debar.
“Sthirata!” Terdengar suara perempuan berseru.
Aku menoleh dan mendapatkan perempuan tinggi dalam baju kelabu itu lagi, yang
kembali menyadarkanku bahwa aku pun mengenakan baju yang sama.
“Kamu belum cukup punya sthirata untuk masuk ke sana,” katanya sambil menjajarkan
langkahnya denganku.
Sthirata. Rasanya aku pernah mendengar kata itu.
“Buku yang sedang kamu baca. Kamu harus punya cukup sthirata untuk bisa bertahan
lama di Asko, untuk sanggup menerima informasi dari dalam sana.” Perempuan itu
menahan langkahku.
“Bagaimana kamu bisa tahu buku yang sedang kubaca…?”
“Setiap kali kamu masuk ke sini, kamu mengunggah semua informasi yang kamu
simpan. Setiap kali kamu keluar dari sini, kamu akan mengunduh semua informasi yang
sanggup kamu terima. Untuk sementara, kamu belum bisa masuk.”
“Aku punya banyak pertanyaan. Banyak sekali.” Aku berusaha merunut daftar
pertanyaanku dan mendadak otakku seperti buntu. Sulit sekali berpikir. Sulit sekali
mengingat apa yang kubutuhkan. Semakin aku berusaha, kepalaku mengencang. Pening
dan sakit.
Perempuan itu menggeleng pelan, seolah prihatin melihat kondisiku. “Aturan main di
sini berbeda. Segala sesuatu yang berupa perlawanan tidak akan berhasil.” Suaranya
menembus ke dalam batinku. Mulutnya sendiri tidak bergerak.
“Kamu siapa?” Akhirnya, cuma itu pertanyaan yang terlontar. Yang lain kena macet dan
terbelit kekusutan di kepalaku.
“Gugus sebelum kalian. Aku menjaga kandi ini sampai kalian semua datang.”
“Nama. Aku butuh nama. Nama kamu siapa?”
“Di sini aku disebut Bintang Jatuh. Sama seperti kamu disebut Gelombang. Bukan nama
dalam makna yang kamu pahami. Sebutan itu menunjukkan fungsi. Kode.”
“Ini cuma mimpi. Ya, kan? Kamu figur mimpi.”
Ia tersenyum samar. “Buat kami di sini, kamu adalah mimpi.”
“Bullshit,” desisku.
“Proses ini tidak pernah mudah. Kita semua mengalami apa yang kamu alami.”
“Aku ingin bangun tanpa rasa sakit. Alam abu-abu itu, aku ingin tahu cara
menghadapinya. Beri tahu caranya. Sekarang.”
Ekspresi mukanya berubah. Ia tampak geli atas sikapku yang otoriter. “Antarabhava,
maksudmu?”
“Jadi, itu namanya?”
“Ya dan tidak. Tempat itu tidak punya nama. Sebutan itu hanya menunjukkan fungsi.
Kode.”
Sebelum pertanyaanku berikut meluncur, perempuan itu sudah berbicara lagi.
“Tergantung program apa yang kita pilih, setiap dari kita punya Antarabhava versi
masing-masing. Berhenti melawan. Hadapi yang kamu takuti.”
“Bagaimana caranya aku bisa terus kembali ke sini dan tidak kembali ke Antarabhava?”
“Begini paradoksnya: semakin dalam kamu jatuh dan membiarkan dirimu tenggelam,
kamu akan tiba di tujuanmu. Kesakitanmu muncul ketika kamu berusaha pergi. Tidak
pernah ke atas, Gelombang. Lihat ke dalam.”
“Jadi, Asko ada di dalam Antarabhava?”
“Ya dan tidak. Kamu tidak perlu menghindari Antarabhava. Tepatnya, kamu tidak bisa.”
Sebuah citra seperti dikirim ke benakku, dan untuk kali pertama aku menemukan
kejelasan. Bersamaan dengan itu, ada yang berubah. Aku tahu persis apa. Waktu. Aku
merasa waktuku di sini menyusut seperti telepon umum kehabisan koin.
“Ishtar. Siapa dia? Apa hubungannya dengan tempat ini?” tanyaku tergesa.
“Segalanya.” Perempuan itu mengabur dari pandanganku, menipis seperti kabut.
Pertanyaanku memicu sesuatu di alam ini. Aku mulai merasakan gempa mengguncang
kami.
“Sthirata.” Dengan kata yang sama saat ia menyambutku, Bintang Jatuh melepasku
pergi. “Tanpa itu, kamu tidak bisa bertahan di sini. Sebentar lagi kamu pecah.”
Aku mendengar suara itu tanpa bisa lagi melihat wujudnya. Segalanya bergoyang,
meluruh menjadi gelap. Kepalaku kembali mengencang, menghadirkan sakit yang
kukenal. Sensasi terkunci, tenggelam, membelesak, terisap oleh pusaran yang cepat dan
menakutkan.
Dalam waktu yang rasanya berlangsung abadi, aku merasakan ketakutanku, begitu besar
dan berkuasa, melumat dari segala arah. Kali ini, aku tidak melawan. Aku membiarkan
pusaran itu mengisapku hingga ia menciutkanku menjadi sebuah titik. Dan, dari titik itu,
aku melihat cahaya.
Butuh waktu bagi mataku untuk beradaptasi. Perlahan, cahaya itu melebar, memberi
penerangan pada sekelilingku, begitu juga kepadaku. Bersimpuh di jalanan berlapis
susunan batu abu-abu, bisa kurasakan dingin dan kasar permukaannya menyentuh telapak
tangan. Aku mengenali tempat ini. Tempat yang sekarang punya nama. Antarabhava.
Ada yang berbeda. Bukan dalam tampilannya, melainkan kualitasnya. Tempat ini
menjadi begitu geming. Ia kehilangan energi amarah yang biasanya meradang hingga
menembus tulang. Aku berdiri dan mencoba menapaki jalan ini, meraba dinding batu yang
berjajar tinggi seolah tanpa tepi.
Aku ingin berbicara, tapi tidak tahu harus dengan siapa. Di langkahku yang kesekian,
barulah aku menyadari sosok yang mengikutiku dari belakang. Si Jaga Portibi.
“Memangnya ada bahaya apa? Kenapa kamu muncul?” tanyaku.
Ia diam. Tapi, aku bisa mendengar permintaannya. Ia memintaku meletakkan tanganku
lagi di dinding batu. Merasakannya.
Awalnya, tak kurasakan apa-apa selain suhunya yang dingin dan teksturnya yang kasar,
tapi lambat laun, aku menyadari sebuah pergerakan halus. Dinding itu bernapas. Naik-
turun seperti abdomen yang melambung dan melandai sesuai udara yang mengalirinya.
“Dinding ini… hidup?” tanyaku. Berharap Si Jaga Portibi mau menjawabnya.
Jawabannya kembali terdengar dalam pikiranku. Rasakan terus.
Aku kembali diam dan terus merasakan tanganku yang melekat ke dinding itu. Aku
mulai merasakan ada hubungan antara kami, yang pada satu titik membuatku terkesiap
dan menahan napasku. Sesuai kecurigaanku, dinding itu pun berhenti bergerak, seakan
napasnya ikut tertahan.
Aku menoleh lagi ke Si Jaga Portibi. “Dinding ini terhubung denganku?”
Aku melihat sekeliling dan menyadari implikasi hubungan itu bukan terjadi pada
sebidang dinding saja, melainkan seluruh konstruksi Antarabhava.
Kepalaku mendongak, menemukan celah langit nun jauh di sana, yang tampak putih dan
kontras dibandingkan suramnya alam ini. Sepotong informasi tahu-tahu menghantamku.
“Kamu mulai mengerti,” ucap Si Jaga Portibi.
Suaranya tidak lagi bergaung dalam kepalaku. Aku mendengarnya lewat indra
pendengaran. Lebih jauh lagi, aku mengenali suara itu, yang entah bagaimana tidak pernah
kusadari sebelumnya, seolah ada tirai besar yang selama ini menyembunyikan apa yang
jelas-jelas terjadi di depan mata.
Suara itu adalah suaraku sendiri.
13.
Somniverse gempar lagi untuk kali kesekian. Nicky dan dr. Colin langsung berangkat ke
Nassau ketika menerima laporan dari staf Somniverse. Mereka melaporkan bahwa aku
terbangun dengan normal dan kemudian menunjukkan perilaku tidak normal, yakni kalap
mencari kertas dan alat tulis.
“Alfa belum berhenti menggambar sejak tadi, Dok,” kata Linda. “Dia sudah
menghabiskan puluhan kertas.”
“It’s only because I didn’t get it right,” sahutku. “No need to lower your voice, Linda. I
can hear you clearly.”
Dari cuma berdiri di pintu, dr. Colin akhirnya masuk. Nicky mengikuti dari belakang.
“Alfa, kamu baik-baik saja?” tanya dr. Colin.
“Iya, Dok. Semua orang menanyakan hal yang sama dari tadi pagi dan untuk keseratus
kalinya: aku baik-baik saja.”
“Bisa kita bicara di ruanganku?”
“Sebentar, Dok. Sedikit lagi. Duluan saja. Nanti aku menyusul.”
“Boleh aku tahu, kamu sebetulnya sedang apa?”
“Aku sedang menggambar peta. Some sort. I’ll explain.” Aku tidak mengangkat mukaku
dari kertas dan terus menggambar.
Dr. Colin dan Nicky menyerah dan membiarkan aku menyelesaikan apa yang harus
kuselesaikan.
Jika ada satu hal di dunia ini yang tidak becus kulakukan, itu adalah menggambar. Kalau
ada waktu luang, aku harus mulai mempertimbangkan untuk ikut kursus menggambar atau
minimal memborong buku dan video tutorialnya. Sementara itu, aku terpaksa
menggunakan kemampuanku seada-adanya sambil berharap dr. Colin dan Nicky punya
imajinasi cukup tinggi untuk mentransendensi coretan-coretanku yang buruk.
“Alfa, mungkin sebaiknya kamu cuci muka dulu, biar lebih segar,” kata dr. Colin sambil
menyambut kertas-kertas dariku.
Aku melihat bayanganku dari pantulan kaca dan langsung memaklumi permintaan dr.
Colin. “Nanti saja, Dok.”
“Oke. Jadi, apa semua ini?” tanyanya ragu.
“Yang ini dulu, Dok.” Aku menunjuk halaman yang paling atas. “Perlu dimaklumi aku
sudah berusaha semaksimal mungkin menggambar seperti M.C. Escher dan gagal total.
Tapi, mudah-mudahan kalian paham maksudnya.”
Aku menunjuk konstruksi di tengah kertas, yang terhubung dengan konstruksi di
sekitarnya menggunakan tangga-tangga. Ada orang menyerupai tongkat lidi yang
kugambar menaiki tangga.
“Katakanlah ini realitas yang kita kenal. This our waking world. Pada saat aku mimpi,
aku seperti naik tangga ke alam abu-abu yang sekarang aku sudah tahu namanya.
Antarabhava. Lalu, dari sana, aku seolah bisa naik tangga lagi ke alam yang bernama
Asko. Tapi, seperti kalian lihat, tangga ini sebenarnya mengarah ke bawah, dan berputar.
Jadi, aku harus jatuh dari Antarabhava untuk bisa ke Asko, walaupun Antarabhava
letaknya ada di atas Asko, sama seperti aku harus jatuh dari dunia riil menuju
Antarabhava. Tapi, naik turun ini hanya berlaku kalau kita melihatnya dari persepsi tiga
dimensi. Sebetulnya, Asko dan Antarabhava adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Is
this mind-boggling enough?”
Mereka tidak menjawab. Sunyi yang menjengahkan dan memaksaku untuk cepat
menyudahinya.
“This may not be the actuality of how things are, okay? Poinku adalah, bagaimana kalau
alam mimpi yang kualami selama ini bukan mimpi dalam arti umum yang sifatnya acak?
Bagaimana kalau ternyata ada pola, ada rute, ada konstruksi, yang saat ini persepsiku
terlalu terbatas untuk memahaminya karena ada aturan ruang waktu yang beda total?
Bagaimana kalau ternyata itu bukan mimpi, tapi dimensi lain?”
“Ow-kay,” Nicky menggumam pendek.
“Perempuan yang kutemui di sana, dia menyebut dirinya Bintang Jatuh. Dan, dia
menyebutku Gelombang. Dia bilang, itu bukan nama sebenarnya, tapi semacam kode yang
menjelaskan fungsi kami. Fungsi apa? Aku tidak tahu. Dia bilang, dia ada di sana untuk
menunggu kami. Sebuah tim. Entah apa. Tapi, lihat ini….” Aku mengeluarkan dua benda
yang sudah bersamaku lebih dari satu dekade. “Lihat simbol di dua batu ini. Seseorang
memberiku dua batu ini waktu aku kecil, tepat setelah mimpi-mimpi burukku dimulai.
Dan, aku menemukan simbol yang sama ada di atap bangunan di Asko.” Tergesa aku
mengeluarkan kertas-kertas yang sudah kugambari simbol-simbol.
“Dua simbol ini jelas mirip,” lanjutku. “Tapi, kemiripannya terbatas karena beda
dimensi. Simbol di batu ini dua dimensi. Sementara itu, bentuk yang kulihat di atap adalah
tiga dimensi yang, anehnya, bangunan itu seperti berubah-ubah, tergantung dari sisi mana
aku melihatnya. Jangan-jangan itu juga bukan tiga dimensi. Nggak tahulah. Aku pengin
bisa menjelaskan dengan lebih jernih, tapi susah. Segalanya di Asko seperti biasa, tapi luar
biasa.”
“Jadi, ada empat simbol lain,” kata dr. Colin.
“Orang yang sama, yang memberiku dua batu ini, pernah berkata bahwa aku akan
menemukan kelompokku. Dugaanku, ada empat orang lain.”
“Enam simbol. Enam orang,” sahut dr. Colin lagi. “Termasuk kamu.”
“Lalu, tentang Antarabhava.” Aku mengambil kertas lain. “Ini yang kutemukan di
mimpiku yang terakhir. Alam abu-abu ini terhubung denganku. Dan, ini menjelaskan apa
yang Bintang Jatuh sampaikan sebelumnya kepadaku, bahwa kami punya Antarabhava
masing-masing. Di sana aku bertemu lagi dengan Si Jaga Portibi, dan aku menyadari
sesuatu yang luput dari perhatianku selama ini. Setiap dia bersuara, suara yang keluar
adalah suaraku.”
“Yang artinya adalah?” tanya Nicky.
“Aku belum tahu. Tapi, sekarang aku punya perspektif yang berbeda tentang
Antarabhava. Bagaimana kalau selama ini aku salah? Alam itu tidak berusaha
membunuhku. Sebaliknya, alam itu berusaha menyelamatkanku.”
“Dari apa?” Dr. Colin bertanya.
“I don’t know yet.” Kepalaku kembali menggeleng. “Dr. Colin, aku ingin percaya bahwa
ini mimpi biasa. Itu akan membuat hidupku jauh lebih mudah. Tapi, kenyataannya, ini
mimpi yang kualami, yang sudah membuat hidupku abnormal selama sebelas tahun,”
kataku sambil mengumpulkan kertas-kertas itu di satu sisi meja.
“Dan ini, adalah realitas yang kualami dalam kondisi terjaga,” lanjutku sambil
meletakkan dua batu hitam itu di sisi sebelahnya. “Orang yang memberiku batu ini adalah
manusia hidup, bukan figur mimpi. Batu-batu ini bukan ilusi. Jadi, apakah aku terlalu
mengada-ada jika kutarik kesimpulan kalau selama ini mimpiku itu ternyata BUKAN
mimpi?”
Dr. Colin menghela napas panjang. “I’m open to that possibility. But, you don’t need my
conclusion. This is your experience. This is empirical to you.”
“This is a big breakthrough for me. Tapi, masih banyak yang belum aku mengerti. Aku
harus bicara dengan satu orang. Aku sedang berusaha menemukan lokasinya.”
“Siapa?”
“Dr. Kalden Sakya.”
“Kenapa harus dia?”
“Jangan salah sangka, Dok. Aku berutang budi kepadamu dan Somniverse. Kalian sudah
luar biasa membantuku. Tapi….”
“Alfa, please,” sela dr. Colin. “Bukan soal itu sama sekali. Aku paham betul, ada hal-hal
yang di luar kemampuan kami. Somniverse tentunya bukan akhir dari perjalananmu. Kami
sudah sangat senang bisa membantumu sejauh ini. Aku hanya ingin tahu alasanmu ingin
mencari dr. Kalden.”
“Di Asko, Bintang Jatuh berkali-kali mengatakan sthirata. Itu sebuah kata yang aku baca
dari buku dr. Kalden, hanya disebut satu kali di bagian akhir bukunya. Di dalam buku
yang dipenuhi terminologi Tibet, tiba-tiba diselipkan satu kata Sansekerta. Buatku itu
aneh. Anyway, Bintang Jatuh bilang aku harus memperkuat sthirata untuk bisa bertahan
lama di Asko. Bangunan yang di ujung belum berhasil kumasuki. Siapa tahu dr. Kalden
bisa membantu.”
“Ada hal yang perlu kamu ketahui tentang dr. Kalden.”
Aku menangkap kekhawatiran tebersit di wajah dr. Colin.
“Dr. Kalden berhasil memperkenalkan sistem medis Tibet yang selama ini tidak banyak
diketahui kalangan medis Barat. Tapi, setelah Milam Bardo terbit, dr. Kalden terlibat
sebuah kasus. Tidak ada konfirmasi yang jelas, kemungkinan besar karena ada campur
tangan diplomatik, tapi isu yang beredar adalah, dr. Kalden bertanggung jawab atas
lenyapnya satu warga negara Amerika. Aku tahu masalah itu karena orang yang hilang
adalah salah satu oneironaut dalam klubku. Apa yang pastinya terjadi, aku tidak tahu.
Orang itu lenyap sampai hari ini. Tidak pernah ditemukan mayat. Yang jelas, penelitian
polisi terakhir mengaitkan dr. Kalden ke kasus itu.”
“Terima kasih untuk peringatannya. Aku akan berhati-hati. I’ll keep you posted.”
Terdengar suara ketukan. Muka Linda menyembul dari pintu. “Alfa, kamu kedatangan
tamu.”
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dengan tas dokumen besar berdiri menyambutku
di ruang resepsionis Somniverse.
“Mr. Sagala?” Ia menjulurkan tangan.
Aku menyambut tangannya. “Betul.”
“Nama saya Samuel. Saya dikirim untuk mensketsa orang yang Anda cari.”
“Maaf, saya belum paham….”
“Mr. Martinez sent me. I’m a sketch artist.”
“Ah, I see. Kita bisa mulai sekarang juga,” ucapku bersemangat. Carlos akhirnya
menepati janji.
Kurang dari sejam kemudian, selembar sketsa pensil disodorkan ke hadapanku. Aku
tertegun memandangnya. Ngeri dan rindu bercampur jadi satu.
“Wow. You’re very good, Samuel. This is… impressive.”
“Thank you. Mr. Martinez will have it sent to the police.”
“Saya boleh simpan kopi gambar ini?”
“Di sini ada mesin fotokopi?”
“Pasti ada!”
Aku berlari ke belakang. Seorang staf akhirnya berhasil membuat fotokopi sketsa itu
memakai mesin faks.
Sam pergi meninggalkan cendera mata yang sangat berharga. Wajah Ishtar.
Buru-buru aku menelepon Carlos ke ponselnya. “Hola hombre,” 68 sapaku hangat.
69
“Hola, hermano loco. What’s up?”
“Thanks for taking my request seriously. A sketch artist just came by. He completely
nailed it.”
“Sketch artist?”
“Ya. Namanya Samuel. Katanya dia dikirim oleh Mr. Martinez.”
Ada jeda sekian detik sebelum Carlos mengeluarkan bunyi “aaah” panjang. “Oh, ya, ya,”
sambungnya. “Pasti dia orang suruhan Rodrigo.”
“Rodrigo? Apa hubungannya dengan Rodrigo?”
Ada jeda yang sedikit lebih panjang sebelum Carlos memulai kalimatnya dengan, “Jadi,
begini….” Perasaanku langsung tidak enak.
“Kamu tahu, kan, sejak aku masuk Cornell, Rodrigo berusaha menata hidupnya.
Kakakku itu sebetulnya cukup cerdas dan punya bakat. Kalau saja nasibnya lain, aku
yakin dia bisa jadi polisi yang hebat. Tapi, tentu, mendaftar jadi polisi agak terlambat di
usianya sekarang. Jadi, beberapa tahun terakhir ini dia mencoba kursus komputer, kuliah
terbuka jurusan kriminologi, ….”
“Carlos,” potongku. “What’s Rodrigo got to do with this?”
“Kamu tahu berapa duit tarif detektif swasta langganan firmaku? 110 dolar per jam!
Insane! Rodrigo setuju mengerjakan kasusmu cuma dengan 45 dolar per jam. Sweet deal,
right?”
“I can afford 110 dollar per hour, hell, if they doubled their price, I still can afford it!”
Aku nyaris berteriak.
“Alfie. Chillax.” Carlos bicara dengan nada semerdu mungkin, mengeluarkan tawa
serenyah mungkin. “Rodrigo butuh kesempatan. Lagi pula, dia sangat semangat bisa
membantumu. Kamu, kan, sudah bagian dari keluarga. Rodrigo bilang, kalau dalam empat
belas hari kamu nggak puas dengan pekerjaannya, uangmu akan dikembalikan utuh.”
“Aku nggak punya waktu empat belas hari!”
“Oke, oke. Aku akan suruh dia bekerja secepat-cepatnya. Kalau perlu, aku dan Troy ikut
membantu.”
“I want results, okay? I need it fast. Terserah kalau seluruh keluarga besarmu harus
70
turun tangan. Comprendes? ”
71
“¡Cómo no! Kami akan bekerja seprofesional mungkin.” Carlos membuatnya
terdengar semakin tidak meyakinkan.
“Aku check-out dari Somniverse hari ini.”
“Hari ini? Memangnya kamu sudah sembuh?”
“I wasn’t sick to begin with.”
“Yes, you were.”
“Pokoknya aku pulang. Aku harus meneruskan ke tempat lain.”
“Ke mana?”
“Belum tahu. Semuanya tergantung Rodrigo.” Mengucapkannya pun membuatku ingin
menjeduk-jedukkan kepala ke tembok.
“Alright! See you at home!” Carlos mengucapkannya sangat cepat sampai terdengar
seperti sepotong bahasa asing. Telepon pun ditutup.
14.
Pagi keduaku kembali di apartemen. Dua pagi berturut-turut aku menyiapkan sarapan
lengkap untuk kami bertiga. Carlos dan Troy bangun disambut meja yang sudah penuh
dengan piring-piring berisi baked beans, omelet, roti panggang, lembaran ham asap dan
keju, dan semangkuk besar selada.
“Terpujilah Somniverse!” seru Troy sambil menyendokkan makanan ke piringnya.
“We loved you before, Alfie. But we love you now even more,” sahut Carlos.
“Asal kalian tahu, aku melakukan semua ini hanya gara-gara kurang kerjaan. Not out of
affection.”
“I don’t give a damn,” balas Troy di tengah-tengah kunyahan. “This omelette is too
good.”
“Aku terpikir untuk balik ke kantor besok. Sehari lagi begini aku bisa gila.”
“Ini kerjaan orang normal di hari libur, Alfie. Kamu tidur panjang, bebas dari mimpi
buruk, memasak sarapan enak. This is life! Anggap saja kamu sedang berakhir pekan.”
“Sekarang mimpiku sudah bukan mimpi buruk lagi. Ada informasi penting yang selama
ini aku terima lewat mimpi dan sekarang jadi keputus. Iya, aku bisa tidur enak kayak
kukang dikasih morfin, tapi aku lagi butuh mimpi itu.”
“You’re the most twisted, sickest son of a bitch I’ve ever known,” Troy menepuk
punggungku.
“Mungkin aku harus kembali ke Somniverse. Di sana aku selalu dapat mimpi. Di sini
enggak.”
“Then it must be the cute doctor factor,” sahut Troy. “By the way, can I ask for her
number?”
“Sudah sampai mana perkembangan dari Rodrigo?” Aku membalas pertanyaan Troy
dengan pertanyaan.
Mendadak, mulut-mulut cerewet itu bungkam dan fokus mengunyah. Aku sabar
menunggu sampai salah seorang dari mereka menyerah. Carlos yang duluan bangkit dari
tempat duduknya.
“Aku telepon Rodrigo sebentar.” Ia lalu hilang masuk ke kamar.
Troy juga mulai salah tingkah. “Aku ikut membantu Rodrigo. Kami semua ikut
membantu,” katanya, lalu buru-buru menyeruput kopi. “Aku sudah telat, nih.”
Carlos nongol dari pintu kamarnya. “Alfie! Rodrigo akan kemari siang nanti.”
“Akhirnya. Ada orang bertanggung jawab yang bisa kuajak bicara.”
Kudengar Troy mengembuskan napas panjang. “Kayaknya aku masih ada waktu untuk
setengah cangkir lagi.” Punggungnya kembali merapat ke sandaran kursi.
“No, you don’t.” Aku mengambil sesendok kacang haricot berlumuran saus tomat lalu
menenggelamkannya di mug kopi Troy.
Rodrigo datang setelah aku selesai membersihkan apartemen, menyedot debu dari setiap
celah dan pojok, mencuci baju, mencuci tumpukan piring kotor sisa semalam dan tadi
pagi. Kedatangannya membangunkanku dari kerasukan roh ibu rumah tangga yang terjadi
sejak aku pulang ke apartemen.
“Did you just work out?” tanya Rodrigo.
“Nggak, cuma baru bersih-bersih sedikit. Silakan duduk,” kataku sambil mengelap lapis
keringat tipis dari tepi dahi.
“Pertama-tama, terima kasih kamu sudah mempercayakan pekerjaan ini kepadaku. This
means a lot, Alfie.”
“Sure.” Aku berusaha mengenyahkan jauh-jauh bayangan seringai Carlos yang minta
disodok gagang penyedot debu. “Ini kasusmu yang keberapa, Rodrigo?”
“Yang kedua. Yang pertama, sepupuku minta aku menyelidiki istrinya. Dia curiga
istrinya selingkuh dengan pelatih sepak bola di sekolah keponakanku, Raoul. Kamu ingat
Raoul, kan? Satu-satunya keponakanku yang rambutnya kribo? Of course, it was an
unpaid gig. Tapi, setidaknya aku berhasil mencegah lebih banyak perpecahan piring di
rumah mereka.”
“Hebat.” Aku mencoba tersenyum.
“Aku sudah berhasil menemukan lokasi salah seorang yang kamu cari.”
Dudukku langsung menegak. “Yang mana?”
“Kalden Sakya. Dia di Tibet.”
“Kamu tahu Tibet itu negara, kan? Texas digabung dengan California? Tibet masih lebih
besar daripada itu. Got the idea?”
“Of course I know it’s a country!” Rodrigo mendengus. “Seperti keteranganmu, dr.
Kalden Sakya memang sempat menghilang dari radar. Tapi, berhubung keahlian dan
reputasinya yang bagus di Tibet, jasanya tetap dibutuhkan. Namanya cukup terkenal. Aku
nggak terlalu sulit mencari jejaknya. Ada dua rumah sakit besar dan satu sekolah
kedokteran yang pernah memakai jasanya setelah dia pulang dari Amerika, setidaknya
sampai lima tahun yang lalu.” Rodrigo membuka tas berkasnya. Benar-benar
pemandangan yang aneh. Tidak pernah kubayangkan Rodrigo dan tas semacam itu bisa
berdampingan.
“Carlos bilang kamu harus menemui orang itu. Jadi, mana mungkinlah aku
membiarkanmu pergi ke Tibet tanpa tujuan. Paling tidak kamu bisa memulai dari tiga
alamat ini. Semuanya di Lhasa. Yes. I know Lhasa. Surprised?” Rodrigo menyerahkan
setumpuk kertas hasil cetak komputer yang dijepit di ujung. “Also, some background
check on dr. Kalden Sakya. See if you find anything useful.”
“How do you come up with all this?”
“I have my sources. Do you think I jump into the PI world like a blind man?”
“Rodrigo, jujur, tadinya aku memang meragukan kemampuanmu. Sori, aku sudah salah
sangka.”
Rodrigo hanya mengedikkan bahu. “Now, about the pretty lady. I got some help from my
boys downtown to run her sketch. So far, I’ve got nothing.”
“Nggak mungkin,” gumamku. “Orang seperti dia nggak mungkin tidak terdeteksi. Kalau
dia jalan di trotoar mana pun dia pasti jadi sorotan.”
“Ini nggak sama, Alfie. Kalau seseorang terdaftar di database, mau kayak apa pun
bentuknya, ya, dia ada. Perempuan ini nggak ada.”
“Mungkin ada yang mendekati? Bagaimana dengan namanya? Any match or…?”
“Nothing,” Rodrigo menggeleng. “Maybe she’s not a US citizen. But, that’s the whole
different ball game. We’re talking about international database. I don’t have access to that
kind of information.”
Aku tak menyangka Ishtar sebegini sulit dicari. Tampaknya ia lebih mudah ditemui di
alam mimpi daripada di alam nyata. “Coba selidiki NSA kalau begitu.”
“I’m on it. Aku sudah coba gali NSA, tapi sejauh ini, belum ada petunjuk yang berarti.
Moga-moga dalam 24 jam ke depan aku bisa dapat informasi lebih.”
“Mungkin kamu harus melaporkannya via telepon atau e-mail. Aku akan ke Tibet.”
“K… kapan?” Rodrigo terkejut, mendekap tas berkasnya.
“I’ll check my travel agent.” Aku segera berdiri menuju pesawat telepon.
Sejak menginjakkan kaki di Amerika Serikat, inilah kali pertama aku akan keluar dari
perbatasannya. Bukan untuk pulang ke tanah airku, melainkan mengunjungi sebuah
negara asing yang tak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Aku mengepak koper
dengan perasaan ganjil.
Kusempatkan untuk menelepon Tom dan ia pun kaget bukan main. “Aku sudah pernah
menawarimu liburan ke Maui, Maladewa, kepulauan Karibia, dan kamu malah pilih
Lhasa?” serunya di telepon.
“Aku sedang mencari seseorang di Lhasa. Ada dokter Tibet yang bisa menolongku lebih
jauh.”
“Apa sakitmu sebenarnya? Kanker? HIV?”
“Aku nggak sakit, Tom.”
“Wait. Please, don’t tell me you had a calling to be a monk or to be some enlightened
shithead. Because that is WORSE. Those exotic places can do things to your mind, you
know? We miss you at the office, Sagala.”
“I’ll be back before you know it,” kataku semantap mungkin. Berusaha supaya Tom
tidak mengendus keraguanku atas perjalanan ini. Atas semua ini.
Tom baru mengakhiri percakapan telepon kami setelah ia berhasil memaksaku menerima
tawarannya untuk membiayai perjalananku ke Tibet. Bukan Tom Irvine namanya kalau
tidak berhasil membuat orang mengatakan “ya”.
Aku mendengar bunyi bel. “Troy! Kamu pesan pizza, ya? Bagus! Aku lapar!”
“Aku nggak pesan apa-apa!” Troy berteriak balik dari ruang tamu. Terdengar
langkahnya ke arah pintu.
Tak lama, Troy muncul di balik pintu kamarku yang setengah terbuka. “Ada yang cari
kamu.” Lalu, kulihat mulutnya monyong-monyong berusaha mengeluarkan kata-kata
dengan suara minimal, “CUTE-DOC-TOR.”
“Nicky?” Aku meninggalkan koperku dan bergegas ke ruang tamu, menemukan Nicky
sedang duduk di sofa. Masih mengenakan mantelnya. Mukanya gusar.
“Kamu tahu alamatku dari mana?”
Dan, aku langsung tersadar betapa konyolnya pertanyaanku. Selama aku tidak
menuliskan alamat palsu di formulir pasien Somniverse, Nicky bisa menemukan
apartemenku dengan mudah.
Aku langsung melanjutkan ke pertanyaan yang lebih cerdas dan penting, “Kamu ngapain
ke sini?”
“Aku baru dapat laporan dari dr. Colin kalau kamu mau ke Tibet.” Bibirnya mengerucut,
tangannya terlipat di depan dada. “Kenapa kamu bisa-bisanya pergi tanpa ajak aku?”
Dengan ekspresi, kelakuan, dan pertanyaannya, Nicky menjelma menjadi balita ngambek
karena tidak diajak orangtuanya beli es krim.
“Sebentar. Sejak kapan aku harus ajak kamu?”
“We’re a team, Alf!” tukasnya.
“What team?”
“Team Alfa.” Terdengar celetukan pelan Troy.
“Nicky, ini bukan untuk liburan atau senang-senang, ngerti?”
“Siapa juga yang kepingin liburan?” balas Nicky cepat. “Aku harus mendampingimu.
Aku yang memegang kasusmu dari awal. Aku yang harus memonitor perkembanganmu.”
“Kupikir ini kasusnya dr. Colin.”
“Well, technically it’s ours. Tapi, secara de facto, kamu kasusku.”
“Yeah, but this is Tibet. You CAN’T just leave.”
“Oh, yes, I can. And I’m going to. My travel agent said the visa will due in two days. I
already booked my ticket.”
“You… what?” Aku berkacak pinggang.
“More is merrier. Kalau aku juga bisa cuti, aku mungkin ikut berangkat.” Tahu-tahu
Carlos sudah menjadi bagian dari penonton.
“Definitely. Tibet is always in my bucket list,” Troy menimpali.
“You could really use my company, Alf. I’m a doctor, I can be like your medical team, or
your assistant, I can give you second opinion, I can share technical knowledge of your
case to that Tibetan doctor….” Nicky berusaha keras menjual dirinya. Upaya putus asa
yang membuatku iba dan ingin mengikatnya di tiang totem.
“Dia benar, Alfie.” Carlos mengangguk-angguk. “Tidak ada ruginya Nicky ikut
denganmu ke Tibet.”
“Dan, dia sudah beli tiket,” kata Troy sambil mengangkat bahu.
“I don’t like this, Nicky.” Aku menggelengkan kepala.
“I’ll behave.”
“Kalau kamu sampai bikin aku repot di sana….”
“Kamu boleh mengusirku. Aku akan pulang lagi ke Amerika.” Tangan Nicky masih
terlipat di depan dada, tapi mulutnya tak lagi memberengut. Parasnya mulai bersinar
penuh harap.
Malam itu, aku meneruskan mengepak dengan perasaan ganjil berlipat ganda. Bukan
cuma aku akan pergi ke negara asing yang tidak pernah terpikir sebelumnya, melainkan
seorang perempuan akan ikut menemaniku. Bukan sembarang perempuan. Dia Nicky
Evans. Manusia aneh, sok tahu, hiperaktif, yang kuduga membuat sendiri permen lolinya
dan mencampurkan daun koka ke dalam adonannya.
“You’re done, dude? Ada yang bisa kubantu?” Troy kembali muncul di pintu kamarku.
“Nggak usah. Sudah beres semua.”
“Baik-baik di sana, ya. Terus berkabar, oke?”
“Kalian juga. Kabari aku kalau ada perkembangan tentang Ishtar.”
Troy mengangguk. Tak lama, kudengar ia menghela napas panjang. “Oh, man.
Someone’s heart will be broken. And I’m afraid it’s not gonna be yours.”
“Maksudmu?”
Troy merangkul bahuku. “Itulah, Alfa. Sudah sering kubilang. Kamu adalah orang
paling pintar yang pernah kutahu. Tapi, untuk beberapa hal, kamu bisa sangat polos
cenderung goblok. You take care, buddy. Be gentle.” Ia menepuk bahuku pelan lalu keluar
dari kamar.
Lhasa – Zedang
Dari jendela di sampingku, aku mengira-ngira apakah seperti ini rasanya mendarat di
planet asing, apakah seperti ini wujud Mars jika punya sumber air dan langit biru.
Bentangan kontur batu yang mengerucut dan berkeriput, bersanding dengan lahan polos
tanpa pohon dan manusia, diselingi sungai berjalur-jalur seperti jemari biru menggaruk
Bumi. Indah dan tak tersentuh. Tak ada rekam jejak manusia selain partisipasiku sebagai
penonton. Aku kemudian mengira-ngira, apakah seperti ini rasanya mati. Melayang tinggi
sebagai pengamat tanpa harus lagi terlibat.
Suara pramugari berkata-kata dalam bahasa Mandarin, yang mengingatkan penumpang
untuk mengenakan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi, juga
mengingatkanku bahwa kami masih di planet yang sama.
Pesawat Boeing ini tidak menukik rendah sebagaimana biasanya pesawat umumnya
mendarat, ia seolah-seolah menemukan celahnya di antara gunung-gunung. Kalau saja
kututup mataku sepanjang perjalanan, aku akan mengambil simpulan bahwa pesawat ini
hanya turun sedikit dari ketinggiannya, lalu menepi di salah satu gunung.
Hawa sejuk dan angin dingin yang menggigit menerpa wajahku saat menuruni tangga
pesawat.
“Mesmerizing, isn’t it?” kata Nicky yang berjalan di belakangku. Mungkin ia
mendeteksi langkahku yang melambat karena bengong melihat pemandangan yang
terhampar di hadapan kami.
“Aku ingat abang-abangku,” jawabku.
Waktu kami kanak-kanak, aku, Uton, dan Eten berkhayal untuk mendaki puncak
Gunung Sibuatan demi melihat Danau Toba dari titik tertinggi di Sumatra Utara. Hampir
seribu meter lebih tinggi daripada Sibuatan, tanpa keringat dan otot kram, aku mendarat di
Bandara Gonggar, salah satu landasan pacu tertinggi di dunia dengan ketinggian 3.570
meter yang masih dikelilingi lagi oleh barisan gunung yang lebih tinggi daripada Sibuatan.
Napasku diisap oleh kemegahan vista batu dan juga oleh tipisnya oksigen.
Mendadak, denyutan kuat terasa di kepala sebelah kanan. Langkahku melambat.
“Kenapa?” tanya Nicky.
“Nggak apa-apa,” gumamku. Denyut itu semakin menggigit. Mata kananku menyipit
menahan nyeri.
“Pasti kemarin kamu nggak minum Diamox seperti anjuranku, kan? Dasar. Waspadai
perubahan tubuhmu, ya. Pada ketinggian ini kamu bisa kena acute mountain syndrome.
Aku bawa stok Diamox dan Ginkgo biloba. Kasih tahu kalau butuh,” Nicky mencerocos.
“Aye, aye, Doc.”
Baru saja lepas dari gedung terminal, Nicky mulai terengah-engah, mengeluh pusing dan
nyaris ambruk. Ia harus kupapah untuk masuk ke mobil pemandu yang menjemput kami.
Kaleng-kaleng oksigen sudah disiapkan di mobil sebagai barang wajib. Nicky langsung
menyambar salah satu kaleng, mengisapnya lebih sungguh-sungguh daripada biasanya ia
mengisap permen loli.
Pemandu kami, seorang pria bernama Pemba Kyab, menyodorkan satu kaleng untukku.
“Beginilah risikonya kalau datang ke Tibet lewat jalur udara. Banyak orang tidak sempat
aklimatisasi. Perlu juga?”
Sakit kepalaku masih membayang, tapi perasaanku mengatakan nyeri itu bukan karena
proses aklimatisasi. “Tidak usah, terima kasih.”
Mobil kami pun mulai bergerak meninggalkan parkiran bandara.
“Need your meds now?” tanyaku kepada Nicky.
Matanya merem melek. Ia cuma mengangguk. Tapi, meski kepayahan, sempat-
sempatnya ia mengumpulkan tenaga untuk bertanya, “How… come… you’re not…
affected?”
“Sudah kubilang, badanku itu kayak kerbau, atau yak, karena kita lagi di Tibet.”
“They… eat… yak… here… yak burgers.”
“Just shut up and breathe, Nicky.”
Satu setengah jam kemudian, kami tiba di jantung Kota Lhasa.
Di atas salah satu ranjang, Nicky teronggok. Pernapasannya tersambung dengan tabung
oksigen yang tergantung di atas tempat tidur sebagai fasilitas standar hotel, selain televisi,
handuk bersih, dan lainnya. Aku terpaksa membatalkan reservasi dua kamar yang kami
pesan sebelumnya dan menggantinya dengan satu kamar twin bed. Melihat kondisinya,
aku tidak yakin tega membiarkan Nicky sendirian. Proses aklimatisasi bisa berlangsung
beberapa hari, meliputi gejala sakit kepala, sesak napas, dan muntah-muntah. Semua
gejala itu Nicky alami.
Pemba, dengan halus dan persuasif juga menganjurkanku untuk beristirahat pada hari
pertama di Lhasa. Sebagai mantan pemandu di Himalaya, Pemba bertubuh fit dan tegap di
usianya yang sudah mendekati 50 tahun. Tingginya hanya sedaguku. Kuda-kudanya
tampak mantap menjejak. Gerak-geriknya gesit.
“Saya baik-baik saja, Pemba-la.” Aku meyakinkannya lagi untuk kali kesekian.
“Lebih baik lagi kalau kamu istirahat dulu, Alfa. Yang penting saya sudah datang dan
memperkenalkan diri. Besok kita bertemu lagi. Saya jemput kamu pagi-pagi.”
“Tapi, ini masih pagi.”
“In Tibet, we have all the time that we need. Tenang saja. Saya sudah mengatur jadwal
kita, pokoknya tidak akan ada yang terlewat. Hari pertama ini memang khusus
diperuntukkan bagi kalian istirahat. Semua tur di Tibet juga biasanya selalu dimulai pada
hari kedua.”
“Kita, kan, bukan tur wisata. Kita cari orang.”
“Your body will appreciate this restful day. Percayalah.”
“Pemba-la, saya mohon. Cuma tiga alamat. Begitu saya ketemu dengan orang yang saya
cari, saya akan bikin janji dengannya besok pagi, lalu saya istirahat seharian seperti
anjuranmu.”
Lhasa jauh lebih kecil daripada New York atau Jakarta, dan tampak jauh lebih jinak.
Tiga alamat yang ada di tanganku ini juga institusi besar yang pastinya mudah dicari. Aku
yakin pencarianku akan berlangsung singkat.
“For God’s sake, just let him go, Pemba-la,” gumam Nicky dari balik selimut. “Kalau
dia di sini dalam keadaan gelisah begitu, dia bakal bikin saya tambah sakit kepala.”
Pemba akhirnya menyerah. “Oke, saya antar sekarang.”
Kuraih satu barang dari tas tanganku, mengantonginya. Jika nanti aku bertemu dr.
Kalden, barang inilah yang pertama ingin kutunjukkan.
“Kamu nggak apa-apa aku tinggal pergi?” tanyaku kepada Nicky. Basa-basi. Aku sudah
tidak sabar ingin memelesat keluar dari pintu.
“Just go,” gumamnya lagi.
Hotel kami terletak di pusat kota. Bentuknya seperti hotel yang masa jayanya telah
berlalu sepuluh tahun silam, tapi inilah akomodasi terbaik yang saat ini Lhasa miliki.
Kamar kami memiliki air panas, pemanas ruangan, kasur bersih yang nyaman, dan
letaknya strategis. Rasanya tak perlu waswas meninggalkan Nicky di hotel.
Dalam sepuluh menit, kami sudah tiba di alamat pertama. Rumah Sakit Mentsikhang.
“Ini rumah sakit langganan saya sekeluarga,” kata Pemba sambil memarkir mobil di
depan gedung tua bercat putih dengan pintu-pintu besar itu. “Ramai sekali di sini setiap
hari. Siang nanti sudah tutup, makanya saya dahulukan kemari.”
Kami melewati altar berukir warna merah-emas dengan patung-patung dewa
bermeditasi. Di tembok, terpasang tabel medis tradisional dalam bentuk thangka 72 .
Beberapa dokter dengan tutup kepala putih hilir mudik di antara pasien yang tersebar di
mana-mana. Dari ruangan yang pintunya setengah terbuka, aku melihat seorang dokter
pria sedang memeriksa nadi, sementara dipan-dipan di belakangnya terisi oleh pasien-
pasien dengan sumbu-sumbu kecil yang berasap tertancap di tungkainya.
“Seperti inilah pengobatan tradisional kami,” Pemba menjelaskan kepadaku sambil
tersenyum. “Dokter kami menggunakan jarum, moksa, herbal, mantra, bahkan melalui
analisis mimpi.”
“Mimpi?”
“Ya. Berminat mencoba?” Pemba tersenyum. Ia lalu menghampiri sebuah meja yang
ditunggui seorang ibu bertopi hitam. “Saya akan tanyakan dokter yang kamu cari.”
Kudengar Pemba bercakap-cakap dengan perempuan itu. Dari bahasa tubuh mereka,
sepertinya aku bakal mendapat kabar buruk.
“Maaf, Alfa. Katanya, dr. Kalden Sakya sudah lama tidak praktik di sini. Pantas saja
saya tidak pernah dengar namanya, padahal saya kenal banyak dokter di rumah sakit ini,”
kata Pemba.
“Kira-kira dia tahu di mana dr. Kalden sekarang? Mungkin alamat rumahnya?”
“Dia tidak tahu.”
“Ada lagi orang yang bisa kita tanya?”
Pemba mengedarkan pandangan. Jelas ada ketidakseimbangan jumlah pasien dan staf.
Semua yang kelihatannya staf tampak sibuk, sementara semua yang kelihatannya pasien
tampak menunggu. Kalau betul rumah sakit ini tutup siang hari, kedatangan kami tepat
pada puncak lalu lintas pasien. Pemba menggeleng. “Mungkin besok kita bisa datang lagi
lebih pagi. Bagaimana kalau kita teruskan ke tempat lain dulu?”
Kami lalu berangkat ke alamat kedua. Rumah sakit terbesar di Lhasa bernama TAR
People’s Hospital. Bangunan besar dan modern, lebih mirip dengan rumah sakit yang
kukenal. Aku yakin data staf yang mereka miliki lebih lengkap.
Kembali Pemba bertanya kepada resepsionis, dan lagi-lagi pencarian kami menemui
jalan buntu. Dr. Kalden Sakya sudah hampir lima tahun berhenti dari TAR People’s
Hospital. Kembali aku mendesak Pemba untuk bertanya lebih jauh, ke lebih banyak orang,
dan kembali kami menerima gelengan kepala.
“Tolong tanya, seperti apa, sih, mukanya?”
Pemba menerjemahkan permintaanku ke dalam bahasa Tibet, dan satu-satunya ciri
berarti yang kudapat adalah berkacamata dan rambutnya panjang.
“Seberapa panjang?” tanyaku lagi.
Orang yang kami tanya membuat garis di paha belakangnya.
“Coba, kurang aneh apa itu dokter? Susah dicari, lagi.” Aku menyalurkan frustrasiku
kepada Pemba.
“Sebenarnya, itu tidak aneh, Alfa. Apalagi kalau dr. Kalden Sakya seorang Bonpo, yang
datang dari tradisi Bon. Yang rambutnya panjang sampai sebetis juga ada,” jelas Pemba
kalem. “Mungkin, persepsimu terhadap ‘dokter’ yang harus disesuaikan. After all, this is
Tibet.”
Sepanjang perjalanan menuju kampus Universitas Tibet, alamat ketiga sekaligus
petunjuk terakhir yang kupunya, Pemba menjelaskan figur dokter dalam tradisi Tibet yang
mirip seperti syaman. Masyarakat menempatkan mereka di posisi yang sangat terhormat
karena pengetahuan dan peran mereka yang luar biasa. Mereka tidak hanya dituntut untuk
mengerti fisik manusia, tapi juga mental dan spiritualnya. Dokter tradisional Tibet
lazimnya adalah praktisi spiritual tingkat tinggi walau belum tentu menjalankan kehidupan
monastik.
“Dokter di Tibet bisa juga tahu-tahu seorang yogi, seorang rinpoche, seorang lama,”
Pemba lanjut menjelaskan.
“Yang artinya dia susah dicari?”
“Yang artinya dia punya pengetahuan dan praktik yang sangat luas. Bukan untuk
melayani orang lain saja, melainkan untuk praktik spiritual pribadinya juga. Mungkin dr.
Kalden sedang menjalankan praktik yogi, dan dia sedang dalam pengasingan entah di
mana?”
Ucapan Pemba mulai mengusikku. “Mungkin seperti itu, ya?”
“Sangat mungkin.” Pemba melirikku. “Kamu butuh oksigen, Alfa?”
“Nggak, makasih.” Aku mengatur napas.
“Kalau sesak, sebaiknya jangan ambil napas panjang-panjang, justru pendek-pendek
saja. Bernapas seperti anjing.”
Aku masih tak yakin sesakku ini sindrom ketinggian. Aku juga tak yakin terengah-engah
di samping Pemba akan menolong. Aku sesak karena membayangkan apa jadinya kalau
perjalanan sejauh ini tidak membuahkan hasil apa-apa selain memborong gantungan kunci
untuk oleh-oleh.
Toyota Land Cruiser warna krem yang kami tumpangi memasuki area parkir. Dilingkupi
Pegunungan Himalaya sebagai latar, Universitas Tibet gagah berdiri dengan cat putih
beraksen maroon.
“Saya berani taruhan, ini kampus dengan pemandangan terbaik di seluruh dunia.” Aku
berdecak kagum.
“Kami menikmati pemandangan seperti ini setiap hari, Alfa. Dan, jujur, saya sering
memandangi pemandangan ini sambil mengkhayalkan pantai dan pohon kelapa.” Pemba
terkekeh sambil menutup pintu mobil.
Dalam waktu singkat, Pemba berhasil menemukan Fakultas Kedokteran dan mencari
informasi tentang dr. Kalden. Dari hasil bertanya kepada petugas administrasi, kami tahu
bahwa dr. Kalden tidak pernah menjadi pengajar tetap di sana, tetapi sebagai dosen tamu
yang diundang khusus untuk topik-topik spesifik.
“Salah satunya pasti tentang mimpi. Betul, Pemba-la?” tanyaku.
Pemba mengonfirmasi, dr. Kalden diundang mengajar untuk topik dream yoga dan
interpretasi mimpi.
“Katanya, dr. Kalden terakhir mengajar di sini….”
“Lima tahun yang lalu?” Aku menebak.
Pemba mengangguk.
“Dan, dia tidak punya catatan alamat atau nomor teleponnya?”
Pemba mengangguk lagi.
“Retreat.” Tahu-tahu, petugas administrasi itu berkata dalam bahasa Inggris. “He…
retreat… mountain,” lanjutnya patah-patah.
“What mountain?” tanyaku.
Laki-laki itu mengangkat tangannya dan tangan itu bergerak seperti menyapu langit.
“Mountain… somewhere.”
Aku menelan ludah. Jika yang dimaksud adalah pegunungan yang melatari kampus ini
seperti benteng, yang dari ujung ke ujungnya tersebar dari Pakistan hingga Bhutan, lebih
baik aku minta diturunkan di pasar sekarang dan memborong gantungan kunci.
Pemba melanjutkan percakapannya dengan petugas itu, lalu kembali kepadaku.
“Dugaanku sepertinya benar, Alfa. Kabarnya, dr. Kalden sedang retret panjang. Menurut
dia, orang seperti dr. Kalden bisa melakukannya selama bertahun-tahun. Entah di gua atau
di gunung atau di biara. Kita bisa coba cari keluarganya, cari info lokasi bertapanya, tapi
kalau dr. Kalden ternyata menjalankan praktik yogi berkelana, aku tidak yakin ada yang
tahu di mana dia sekarang. Dia baru memunculkan diri kalau dia sudah selesai, dan kalau
dia mau.”
“Jadi, kita tidak bisa melakukan apa-apa?”
“Kita bisa cek ke beberapa tempat retret yang sudah dikenal di sini. Ada beberapa yang
di dekat Lhasa, seperti Drak Yerpa. Ada yang jauh di pegunungan, seperti Lapchi. Tapi,
untuk itu, kita butuh waktu. Kamu butuh persiapan fisik,” jawab Pemba.
Kami meninggalkan kampus itu dalam keadaan lebih buta daripada sebelumnya. Pemba
menawarkan untuk berjalan-jalan ke Kuil Jokhang atau kembali ke hotel, dan aku benar-
benar kehilangan selera.
“Kalau boleh tahu, apa yang mengharuskanmu bertemu dr. Kalden?” tanya Pemba
setelah sekian lama aku berdiam diri dengan muka tertekuk. “Apakah soal dream yoga?
Atau berobat? Di sini banyak ahli lain yang bisa menolongmu. Saya bisa bantu
mencarikan.”
“Saya pikir-pikir dulu. Terima kasih.”
Ketika tiba di sini, barulah aku tersadar sesuatu yang tidak kuantisipasi sebelumnya di
New York. Bukan keahlian dr. Kalden Sakya yang kucari, melainkan orangnya. Ada
rangkaian yang belum bisa kubahasakan, tapi bisa kurasakan mengait antara bukunya,
mimpiku, latar belakangnya; bagaimana dia bisa ke New York, kasus misterius yang
melibatkannya, dan bagaimana ia kini lenyap lagi dari peredaran. Semua itu seperti sinyal
yang berpendar spesifik, mengaktivasi sesuatu dalam diriku. Aku harus menemukannya.
Dia orang yang kucari.
“Saya akan cari dr. Kalden,” kataku.
Pemba melepaskan pandangannya dari jalanan untuk menengokku.
“Berapa pun lamanya persiapan yang dibutuhkan, ke mana pun itu di Tibet, saya akan
cari. Kamu bisa bantu?”
“Saya usahakan.” Pemba mengangguk meski di wajahnya tebersit ragu.
Di dekat pusat keramaian di Barkhor, aku akhirnya minta diturunkan. Hotelku tinggal
sepuluh menit berjalan kaki.
“Yakin tidak ingin ditemani?” tanya Pemba dari jendelanya yang masih terbuka. Sudah
lebih lima langkah aku berjalan meninggalkan mobilnya dan Pemba belum bergerak juga.
“Tidak usah, Pemba-la. Saya mau cari udara segar sambil berpikir,” seruku sambil
memajang senyum lebar.
Alasan goblok. Tidak ada udara tidak segar di Tibet. Di sini, lebih masuk akal untuk
seseorang mencari oksigen daripada udara segar, dan di mobil Pemba setidaknya ada lima
kaleng oksigen siap pakai.
“Sampai ketemu besok!” seruku lagi seraya melambaikan tangan.
Pemba membalas, dan akhirnya mobil itu bergerak.
Aku cuma ingin sendiri. Duduk diam mencicipi teh mentega di salah satu pojokan kedai
di Barkhor dan merenungi pencarian yang rasanya tak berujung ini.
Cangkir kayu yang lebarnya mendekati ukuran mangkuk sup ini sudah diisi ulang dua
kali. Sebelum berangkat kemari, Nicky sudah memperingatkanku tentang po cha atau teh
yang dicampur dengan susu nak, sebutan orang Tibet untuk yak betina. Nicky
mendeskripsikannya sebagai minuman aneh yang asin, berminyak, bergumpal, dan lebih
baik dijauhi oleh mereka yang tidak punya kenekatan kuliner dan lidah tahan banting. Ia
sendiri belum pernah mencobanya. Tapi, cukup dengan membayangkan teh dicampur
lemak kuning sudah membuatnya bergidik.
Aku menikmati setiap teguknya. Ada wangi khas yang mengingatkanku akan susu
kerbau di kampung. Kombinasi rasa asin dan sedikit asam menciptakan rasa gurih yang
membuatku ingin menyesapnya lagi dan lagi. Teh mentega adalah segalanya bagi rakyat
Tibet dan mereka bisa meminumnya seharian penuh. Tidak sulit membayangkan diriku
melakukan hal yang sama.
Sejak kali pertama mendarat di Gonggar, aku dirasuki perasaan rindu. Segala hal di Tibet
terasa akrab. Aku menduga itu bermuara dari rasa rinduku pada masa-masa sebelum
merantau ke Jawa, sebelum pindah ke Benua Amerika. Kehidupan yang berjalan pelan,
khidmat, bernapas bersama gunung dan alam.
Semangkuk mi tiba-tiba diletakkan begitu saja di mejaku. Buru-buru, aku memanggil
orang yang mengantarkannya, yang dari gerak-geriknya sejak tadi kucurigai adalah
pemilik kedai.
73
“Excuse me… uhm, Sir… gong ta ….” Entah bagaimana harus menjelaskannya.
Pelajaran frase bahasa Tibet dari buku sakuku belum mencakup perkara salah order di
tempat makan.
“Yes?” Laki-laki itu berbalik. Berbalut chuba 74 putih, tampak punggungnya yang
melengkung dan bungkuk. Jalannya sedikit pincang. Meski kelihatan renta, matanya
bersinar terang, penuh keingintahuan.
Aku sedikit lega mengetahui laki-laki itu tampaknya mengerti bahasa Inggris. Inilah
keuntungannya makan di daerah turis. “I didn’t order this,” kataku sambil tersenyum
sopan.
“You did,” balasnya mantap.
“No, I didn’t.”
“You like it. Your favorite. You always order.”
Aku menatap mangkuk berisi mi jelai bertabur irisan daging yang kuduga kuat adalah
daging yak. Lelucon macam apa ini? Apakah ini cara terbaru mengerjai turis?
“I’ve never been here before.” Aku menatapnya tajam, senyumku memudar.
Kening pria itu berkerut, seperti tak bisa menerima penjelasanku. Dan, tanpa diduga-
duga, seolah ada makhluk tak kelihatan yang membisikinya sesuatu, pria itu terbahak-
bahak.
Ia menepuk bahuku. “Ah. You forget. It’s okay. Eat. No pay.”
Ia lalu kembali ke tempatnya, membungkuk kepadaku dari jauh.
Aku ikut membungkuk tanpa mengerti apa maksudnya. Barangkali tampangku mirip
seseorang yang ia kenal. Hanya itu penjelasan yang masuk akal.
Ragu, aku mencicip sesendok. Di luar dari kesalahan yang terjadi, aku betulan menyukai
mi itu. Aku mulai melahapnya dengan sungguh-sungguh. Perpaduan teh mentega dan mi
jelai ini seperti obat rindu. Ada cita rasa yang akrab meski baru kali ini kucicipi keduanya.
Kalau saja masih ada kesempatan lebih lama di Lhasa, tak keberatan rasanya kembali ke
kedai ini.
Tak terbayangkan berapa lama pencarian dr. Kalden Sakya akan menahanku di Tibet.
Yang bisa kulakukan pada jangka pendek ini adalah menjelaskan kepada Nicky tentang
pencarian yang ternyata lebih berbelit daripada yang kuduga, dan memborong gantungan
kunci.
Ketika melihatku selesai makan dan siap berdiri, pemilik kedai itu langsung datang
menghampiri. “Kalau kamu sudah mulai ingat lagi, mulai berhati-hatilah. Sarvara ada di
mana-mana,” katanya.
Ucapannya membingungkan, ditambah lagi dengan kembalinya serangan sakit kepala
yang nyerinya seketika menusuk. “Sarvara? Apa itu?”
“Cepat pergi.” Ia mendorongku pelan.
“I’m looking for someone,” kataku spontan.
Intuisiku mengambil alih. Aku mencium sesuatu. Rangkaian kejadian aneh di kedai ini,
entah bagaimana, rasanya berhubungan dengan pencarianku.
“Of course you are,” balasnya. “But, not me. I give you food. But, I cannot tell you
anything.”
“Kalden Sakya. Do you know him?” todongku langsung.
Ia menghela napas, berat. “Pergi ke Barkhor. Berkelilinglah di situ.”
“Jadi, Anda kenal dr. Kalden? Dia ada di Barkhor? Di sebelah mananya?”
“Cannot say more.” Kepalanya menggeleng pelan.
“Please. Saya datang jauh-jauh dari Amerika. Sudah tiga alamat yang saya cari dan
belum ada petunjuk yang berarti….”
“Satu-satunya alasan saya bisa tahu makanan yang kamu mau adalah karena kamu sudah
memesannya lebih dulu.” Tiba-tiba, ia berkata. Cepat dan lancar. “Kamu ada di sini karena
sudah saatnya. Kami hanya menjalankan apa yang sudah kamu rencanakan, Gelombang.
Secangkir po cha dan semangkuk thukpa adalah yang kamu minta dariku. Tugasku
selesai.”
Aku tersentak hingga tergagu.
“Barkhor. Sekarang.” Ia mendorongku keluar seperti mengebas tikar.
Leburnya ritual spiritual dengan kehidupan sehari-hari orang Tibet bagaikan mentega
melebur dengan air teh ditampung dalam cangkir Barkhor. Ratusan kios pedagang berbaur
dengan turis, penduduk, peziarah, pengemis, dan biarawan. Semua menjalankan kegiatan
masing-masing dengan sama khusyuknya dan sama santainya.
Gelisah, aku menapaki lempengan batu alam yang tersusun rapi melapisi jalanan
Barkhor. Mataku memindai semua wajah. Semua sudut. Bagaimana mungkin aku bisa
menemukan orang yang belum pernah kulihat di keramaian seperti ini?
Di satu pojokan, tungku dupa besar dengan tinggi cerobong membalap atap rumah
meniupkan wangi dupa dan aroma doa ke penjuru Barkhor. Kobaran apinya hangat
menembus jaket. Melangkah di depanku, sekelompok ibu-ibu tua dalam pakaian
serbamerah sesekali bercakap-cakap, melepas tawa dari mulut yang sudah tak bergigi, lalu
sebentar kemudian kembali jatuh ke dalam mantra sambil memutar roda doa dengan
tangan kanan dan menggeser manik mala 75 dengan tangan kiri. Dua domba putih yang
mereka bawa untuk berziarah melenggang tenang beberapa langkah di depan. Bahkan,
domba-domba yang dibawa ke Barkhor sepertinya sudah tahu bagaimana menempatkan
diri.
Beberapa kali langkahku terhenti demi memberi kesempatan peziarah yang bersujud di
setiap langkah, meluncur dengan seluruh tubuhnya menempel lantai. Mereka berputar
searah jarum jam mengelilingi Kuil Jokhang, jantung dari Barkhor, mengukur bumi sujud
demi sujud.
Beberapa kali pula aku terpaksa berhenti untuk mengatur napas, menyesuaikan diri
dengan udara minim oksigen yang akan menjadi jatah paru-paruku selama di sini. Meski
tergoda, aku menahan diri untuk tidak membeli oksigen kalengan yang bisa dibeli di
mana-mana semudah air minum botolan. Menggunakan oksigen kalengan memang
melegakan, tapi sekaligus memperlambat proses adaptasi. Melihat orang-orang lokal yang
beraktivitas dengan ringan memotivasiku untuk terus melangkah.
Sebuah instrumen tiup dari tembaga berhias emas mencuri perhatianku. Tidak cuma
satu. Instrumen yang sama dengan berbagai ukuran bergelantungan di satu kios. Ragu, aku
menghentikan langkahku. Urusan dr. Kalden mungkin bisa ditunda sejenak.
“Tashi delek 76 ,” sapa penjaga kios, pria berpakaian chuba berwarna oker, sambil
menangkupkan tangannya di dada.
Aku melakukan hal yang sama sebelum memegang alat musik yang kuincar sambil
bertanya, “Gong gâtsay ray?” 77
78
“Are you Tibetan? Kayrang phö shing-giy yawbay? ”
Warna kulit dan fitur mukaku memang cukup untuk membuatku berbaur dengan
lingkungan, tapi aku harus jujur dengan status turisku walaupun itu mungkin artinya aku
harus membayar lebih mahal.
79
“La mê, la mê. I’m a tourist.” Sepuluh kalimat lagi, aku pasti menyerah.
Ia tertawa sambil mengangguk-angguk.
“Rag-dung,” katanya sambil mengelus alat tiup yang kutaksir. Merah tembaga, bertutup
ukiran dari kuningan dengan batu-batu hias mungil berwarna biru muda di buku-bukunya.
“Good quality. Good sound,” lanjutnya. “Try, try,” ia menyuruh.
Kalau aku nekat meniupnya, paling mentok cuma sampai meniru suara kucing kawin
yang berpotensi mengundang kucing berahi lainnya datang ke kios ini. Namun, di tangan
Bapak, alat musik seperti rag-dung akan bernyanyi merdu sebagaimana mestinya.
“Four hundred dollars.” Pria itu membuat angka empat dengan jarinya untuk
memperjelas.
80
“Gong chêtasha,” sahutku cepat.
Pria itu tertawa, mungkin terpukau dengan kecepatanku kembali berbahasa Tibet untuk
urusan-urusan strategis.
“You take dollars?” tanyaku.
“Dollar yes, yuan yes,” jawabnya.
“Three hundred.” Aku gantian membuat angka tiga dengan jariku. Tanganku langsung
bergerak mengambil dompet, siap membukanya.
Pria itu lalu mengangkat bahu, berceloteh entah apa dalam bahasa Tibet, dan tahu-tahu ia
sudah membawa dus untuk membungkus. Melihat dia menyerah begitu gampang, aku jadi
tahu seharusnya aku menawar setengah lebih rendah daripada tiga ratus.
Tiba-tiba badanku berguncang. Dengan kecepatan pencopet, seorang anak laki-laki
berjaket cokelat tebal menubrukku dengan keras hingga dompetku nyaris terjatuh. Aku
bisa merasakan kantong celanaku dijamah. Sejenak aku tertegun, menyadari bahwa
dompetku masih selamat dalam pegangan. Aku meraba kantongku. Yang tidak ada adalah
kantong kain yang sengaja kubawa untuk menemani pencarian dr. Kalden. Barulah otakku
menyimpulkan anak itu memang pencopet.
“Copeeet!” aku berteriak spontan. Sial. Bahasa Indonesia tidak berguna. Aku lalu
berteriak lagi, “Thieeef!” Tidak sempat kupelajari “copet” dalam bahasa Tibet. Aku dan
pedagang terompet rag-dung hanya saling berpandangan dan tercipta kesepakatan instan
bahwa transaksi kami harus ditunda. Langsung aku berlari memburu anak itu.
Sekilas pandang, anak itu umurnya tak lebih dari sepuluh tahun. Berlari seperti kijang,
menyelip seperti ular di tengah orang-orang, dan seperti orang Lhasa lainnya, paru-
parunya sudah terlatih dengan udara ini. Aku tidak.
Dalam kondisi normal, aku bisa berlari sepuluh kilometer nonstop dan aku tahu teknik
sprint yang bisa melejitkan kecepatanku dalam waktu singkat, tapi kondisi ini jauh dari
normal. Tiga ribu lima ratus meter dari normal.
Kecepatanku sama sekali tidak mengimbanginya. Tinggal mataku yang berusaha
mengikuti arah anak itu berlari. Di sebuah gang, ia menghilang.
Bangsat kecil itu membawaku ke celah antara dua bangunan berdinding batu. Bangunan
tiga lantai yang tampaknya gabungan dari toko dan rumah. Jalan di gang itu dialasi batu
templek warna abu-abu. Aku menengok ke atas, mengecek beberapa jendela yang
sebagian besar terbuka. Mengecek ke depan dan kiri kanan. Anak itu tidak terlihat.
Pilihanku adalah maju terus. Batu-batu itu tidak boleh hilang. Saat ini aku lebih rela
dompetku yang digondol daripada kantong kain tenun itu. Dan, aku mulai menyadari
keganjilan yang terjadi. Mengapa kantong itu yang diambil? Jelas-jelas ia melihat dompet
di tanganku. Risikonya sama, tingkat kesulitannya mirip, tapi kenapa ia malah memilih
berjudi antara dompet yang jelas berisi uang dengan benda entah apa yang ada di
kantongku? Dari mana ia bisa tahu ada sesuatu di kantong kiri? Batu kecil itu seharusnya
tidak menonjol karena ukurannya yang kecil dibandingkan kantong celanaku.
Tanganku refleks memeriksa ulang kantongku. Ayunan kakiku seketika melambat ketika
tanganku bersentuhan dengan satu benda yang tampaknya ditinggalkan di kantong
celanaku. Benda yang tidak ada di situ sebelumnya. Aku berdiri terpaku dengan napas
naik turun. Jantungku rasanya makin menciut begitu melihat langsung benda yang
ditinggalkannya. Sebatang kapur tulis.
Pergi ke polisi. Pergi ke hotel dan membuat Nicky tambah sakit kepala. Pergi menelepon
Pemba untuk minta bantuan. Kembali ke bundaran Barkhor. Atau, bertahan dalam
pencarian batu-batuku. Kugenggam kapur itu erat-erat.
Ini tidak mungkin kebetulan. Itu yang berulang-ulang kucamkan dalam hati. Berharap
dengan mengulangnya sampai otakku kebas akan memberikan pencerahan atas apa yang
terjadi. Pasti ada maksudnya benda ini sampai di tanganku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengulang apa yang terjadi dalam mimpiku sebelas
tahun silam. Mimpi perdana yang mengawali segalanya, termasuk tiba di Tibet hari ini.
Kugoreskan kapur itu di dinding. Setiap kira-kira sepuluh langkah, aku mengulang hal
yang sama.
Setiap membuat satu coretan, aku mempertanyakan logika apa yang bisa memvalidasi
manfaat dari berjalan mengikuti intuisi sambil menggarisi tembok dengan kapur. Entah
apa ujung dari semua ini selain membakar kalori dan menguji paru-paru.
Aku sudah keluar dari lingkaran Barkhor sejak tadi, memasuki gang demi gang dengan
kapur yang mulai menyusut. Matahari berangsur meninggi hingga di atas kepala. Meski
udara dingin, panas matahari ini sungguh menyengat. Aku mulai terpikir untuk berhenti,
setidaknya demi segelas air. Dari kejauhan aku melihat beberapa restoran berjajar.
Barangkali sudah saatnya menghentikan kegilaan ini dan melakukan tindakan waras,
yakni mengaso dan minum.
Sedikit lagi, Alfa. Setelah itu baru minum. Batu-batu itu harus kutemukan, apa pun yang
terjadi. Aku kembali memasuki liku-liku jalan kecil.
Bau busuk yang menyengat mendadak menyergap penciumanku. Gerombolan lalat yang
membentuk awan hitam kecil di sana sini mengonfirmasi sumber bau. Terpisah beberapa
meter di kiri dan kanan, terlihat dua bangkai anjing kecil yang sedang diurai oleh
longgokan belatung. Di sepanjang gang, tumpukan kotoran yang dibekukan angin
mendekorasi tempat yang tampaknya memang didedikasikan untuk limbah pembuangan
ini. Entah dari siapa dan apa kotoran-kotoran itu berasal mula. Aku tak punya motivasi
untuk menganalisisnya lebih jauh.
Segera aku balik badan untuk mencari jalan lain. Namun, sesuatu yang lebih kuat
daripada bau bangkai menahan langkahku. Ada garis putih berbedak yang tampak baru
dan kontras dengan dinding abu kusam di sampingku. Masalahnya, bukan aku yang
membuat coretan itu.
Mataku jelalatan mencari jejak kapur lainnya. “Damn it,” desisku.
Kutemukan garis yang kucari, menggores tepat di atas bangkai anjing yang pertama.
Rapat, kubekap hidungku, membuka mulutku sedikit untuk mengais oksigen. Gores
berikutnya samar terlihat, menggiring semakin dalam ke gang pembuangan yang terus
menyempit dan menggelap.
Pertaruhan ini begitu buruknya. Tempat asing, bahasa asing, udara asing, ditambah
barang hilang, orang hilang, dan gang beraroma kematian. Pada saat yang sama,
pertaruhan ini begitu cemerlangnya karena tidak menyisakanku pilihan. Sebatang kapur
memberiku instruksi untuk bergerak dan ia menjadi satu-satunya petunjuk yang kupunya
di dalam misteri ini.
Bau jahanam itu seperti menembus pori-pori, menyerang penciumanku dari dalam
hingga rasanya aku bisa mencecapnya di lidah. Anehnya, bernapas pendek-pendek melalui
mulut malah memanjangkan stamina paru-paruku. Jangan-jangan, saran Pemba memang
jitu. Andai saja aku melakukannya sejak tadi dan bukan hanya untuk menghindari bau
bangkai.
Sudah tiga coretan kuikuti dan gang ini belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Hanya pintu-pintu kayu yang menempel lapuk di dinding dan kelihatannya sudah
bertahun-tahun tak dibuka. Sinar matahari diblok oleh julangan tembok dan atap bangunan
di gang sebelah, mewujudkan lembap dan remang di tengah siang yang terik. Namun, dari
sisa cahaya yang ada, cukup jelas terlihat sebuah gambar yang dipulas cat oranye di
tembok kiriku. Simbol melingkar dengan cuatan ombak di pusat. Kali terakhir aku melihat
simbol itu, aku tengah melayang di atas Asko.
Gambar itu bersisian dengan sebuah pintu kayu berwarna hijau tua kusam berhias plang
besi yang sudah diukir karat. Selingkar cincin besi hitam terpaku di tengah pintu.
Saat itu, semua keraguanku gugur. Kehadiranku sudah ditunggu. Aku menarik cincin itu
dan mengetuk dua kali.
2.
Deritan engsel yang menyayat menghadirkan sesosok muka polos dengan pipi bersemu
merah di celah pintu. Aku mengenali jaket cokelatnya.
“Halo,” sapaku ketus.
Ia tak menjawab, tapi sorot matanya mengenaliku. Mengenali maksud dan tujuanku.
Lidahnya lalu terjulur. Aku tahu itu adalah tanda salam sekaligus hormat dalam tradisi
Tibet. Aku pun menjulur balik. Berharap ia tahu bahwa juluranku barusan punya makna
yang berbeda. Bagaimanapun, dia masih terdaftar dalam kepalaku sebagai pencopet yang
telah membuatku berjalan kaki keliling kota sampai megap-megap.