CEDIS-CEDIS DAN RAKET TRIPLEKS
Hobi olahraga di keluarga Hermaya-Samini mengalir dari lingkungan yang dibentuk oleh bapak
dan ibu. Bapak bermain bulutangkis dengan baik. Bapak gemar nonton siaran olahraga
terutama bulutangkis, tinju, dan sepakbola. Sementara ibu dulu sering ikut lomba kasti.
Kegemaran bapak tersebut menular ke anak-anak sehingga kami juga suka olahraga. Ketika
saya berusia sekitar 14 tahun dan mas Gandung berusia 12 tahun, kami sering bermain bulu
tangkis di ruang tengah. Ruang itu berada di depan kamar ibu sekarang. Kami pasang selendang
cinde milik ibu sebagai net. Raketnya terbuat dari kayu atau triplek. Shuttlecock digunakan
sampai nyaris gundul.
Kami bermain selagi bapak tindakan (kerja). Permainan seperti itu bikin kami bahagia. Ibu
berpesan, "Mengko sakdurunge bapak kondur kabeh wis kudu diberesi. Nek ora kowe malah
didukani."
Kami dengarkan pesan ibu. Tapi namanya orang asyik bermain acapkali lupa waktu. Sampai
akhirnya terdengar suara motor bapak, kami memberesi semuanya dengan tergopoh-gopoh
agar ruang tengah kembali rapi.
Bapak masuk rumah dan kami menyambut sambil ngulungke bathuk untuk diberkati, seolah
tidak terjadi apa-apa.
Jidat berkeringat karena habis main, hati deg-degan takut ketahuan kalau habis bulutangkis di
dalam rumah.
Mungkin bapak pirsa, tapi memilih tutup mata, yang penting anaknya bahagia. Ibu tidak pernah
melarang meski rumah berantakan karena nanti pasti akan dibenahi.
Cedis-cedis tidak pernah mikir jasa, yang penting bahagia.
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
CEDIS-CEDIS PING PONG
Bapak selalu menyediakan sarana olahraga untuk anak-anaknya. Meski kadang tidak ideal tapi
cukuplah untuk bikin berkeringat dan bahagia.
Saat tinggal di Jeruksari saya dan Mas Wang sering main ping pong. Waktu itu saya SD kelas 2
dan mas Wang kelas 4. (Angkanya mungkin salah, tapi selisihnya pasti tepat. ✌✌✌).
Mejanya bukan meja ping pong tapi meja makan yang disandingkan. Bet-nya bikinan sendiri.
Yang ori hanya bolanya. Lumayanlah cethak-cethok. .. cethak-cethok.
Pernah waktu itu nyemes bolanya malah masuk anglo membara. Langsung... woossshhh.
Terbakar musnah.
Suatu hari saya main ping pong dengan Mas Wang. Waktu itu mas Wang masih cedis.
. Kami mainnya berimbang. Skor susul-menyusul. Ndilalah ada kesempatan bola
tanggung. Bola saya smash kenceng. Beeettt.... Thassss. Bola melayang entah kemana. Dan bet
saya mendarat di jidat mas Wang. Mas Wang terdiam 2 detik sebelum lari mengejar saya.
Kabuuuur....
Bapak: Wis... Kae mengko nek ana sing nangis lak lagi leren.
Cedis-cedis memang selalu bahagia.
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
CEDIS-CEDIS PESEPAKBOLA
Hobi sepakbola para cedis tersalurkan ketika pindah ke Mijahan karena disitu banyak lahan dan
banyak teman-teman sebaya. Kami main di tegalan yang sudah dipanen. Celakanya kalau
tegalan itu habis dipanen kedelai. Kalau tidak hati-hati kakinya kena tunggak tanaman kedelai.
Sakitnya hiyungalaaah.
Hujan merupakan favorit saya dan mas Gandhung. Tiap hujan turun saya dan mas Gandhung
ambil bola terus main di pojokan telaga. Waktu itu masih berupa tanah kosong berumput. Di
sebelah timurnya adalah lahan yang ditanami ketela, kacang, kedelai, jagung, dan lain-lain.
Hujan adalah waktu favorit karena tanahnya jadi lembek. Kalaut nlosor tidak sakit. Ya paling
kalau pas mandi baru terasa perih karena gesekan atau kena ri rendhet (putri malu).
Kemampuan main bola makin hari makin terasah. Tendangan makin kuat. Terbukti Cedis
bungsu saya tendang sampai nyemplung telaga. ✌✌✌✌
Masuk tim inti SMPN 1 Wonosari adalah awal saya main bola secara rutin. Sebagai pemain baru
saat itu saya langsung dipercaya oleh Pak Han (coach) sebagai kapten kedua.
Setelah itu saya rutin latihan dan dilanjut dengan terbentuknya PS Merpati, anggota divisi 2
Persig. Hal yang sangat berkesan adalah ketika Mas Kun memberi saya sepatu bola Adidas La
Plata warna hitam. Sepatu yang sangat keren pada waktu itu. Rasanya bahagiaaaa banget. Saya
makin semangat berlatih dan bermain. Kalau tidak salah Mas Kun membelinya di Sarthir (Pasar
Senthir) di komplek Sriwedani.
Karir amatir berlanjut ketika masuk tim inti SMAN 1 Wonosari dan 2 tahun berturut-turut
menjadi juara 2 tingkat SMA tahun 1986 dan 1987. Tahun selanjutnya saya masuk tim inti
Universitas Sanata Dharma dan sempat bermain di Stadion Mandala Krida.
Tahun 2006 reuni cedis-cedis antara saya, mas Gandhung, dan mas Nanung terjadi ketika kami
mengikuti turnamen antar paroki se DIY bertajuk Get One mewakili Paroki Minormartani. Saat
itu saya menjadi pemain tertua di tim dalam usia 35 tahun. Salah satu prestasi kami adalah
mengalahkan tim kuat Paroki Mlati dengan skor 1-0.
Cerita detailnya aku lali..
Mas Gandhung dan Mas Nanung lebih tahu karena mereka yang lebih banyak terlibat. Skill dan
stamina mereka juga masih sangat yahud.
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
CEDIS MASUK KAMPUS
Tahun 1988 saya mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Saya bersama
Sugeng Subiyantoro (teman SMA) menginap di rumah Mbah Adi di Guyangan karena tes
diadakan di gedung yang sekarang bernama SMM. Malam sebelum tes ada final Piala Thomas.
Kami asyik nonton bulutangkis dan akibatnya malas belajar karena sudah lelah. Paginya kami
berangkat tes dengan berboncengan sepeda yang Mbah Adi pinjamkan.
Waktu menunggu hasil tes Sipenmaru keluar, Mbak Rum bertanya, "Ora nyoba neng Sadhar?
Nggo jaga-jaga nek Sipenmaru ora lolos."
Saya, "Ora duwe dhuwit nggo ndaftar, mbak."
Mbak Rum,"Tak bayari."
Selepas SMA saya sebetulnya berniat masuk FPOK IKIP Negeri Yogyakarta karena hobi saya
dalam olahraga.
"Kuliah Bahasa Inggris Sadhar wae ning hobi balbalan diteruske. Eman-eman Bahasa
Inggrismu," kata Mas Kun memberi nasihat.
Akhirnya saya mendaftar ke Sadhar. Waktu itu hari Jumat, hari terakhir pendaftaran. Dengan
diantar Mas Wahyo naik Honda Pitung saya meluncur ke Bank Niaga di Jl. Cik Di Tiro untuk
membeli formulir. Setelah itu kami meluncur ke Mrican. Di jalan saya mengisi formulir dengan
alas punggungnya Mas Wahyo.
Saya diterima di PBI Sadhar dengan Uang Gedung Rp. 750.000,- (setara Rp. 22 juta sekarang)
dan Uang Kuliah Rp. 150.000,-/semester (sekitar Rp. 4,2 juta saat ini). Uang yang besar bagi ibu.
Ibu menghadap tim ad hoc agar biaya bisa diturunkan namun gagal. Konon gara-gara saya salah
mengisi formulir. Disitu saya tulis ibu punya ternak ayam. Maafkan saya, bu.
Saya pun memutuskan masuk PBI Sadhar. Selang beberapa hari pengumuman Sipenmaru
keluar. Saya diterima di FISIPOL UGM. Waktu itu biaya masuk total Rp. 160.000,-. Tapi karena
sudah masuk PBI, UGM dilepas.
Awal masa orientasi saya nunut keluarga Mas Wik di Mino. Setelah itu saya nunut di keluarga
Mbah Adi di Guyangan. Saya dipinjami sepeda midi untuk kuliah. Tiap hari saya naik sepeda dari
Guyangan ke kampus Mrican. Setelah beberapa lama di Guyangan, ada seorang teman dari
Baleharjo yang bermurah hati memberi tumpangan untuk kost di Mrican. Kami tinggal satu
kamar.
Disitulah titik balik kemandirian saya. Tiap Jumat saya pulang ke Mijahan. Senin pagi berangkat
ke Jogja naik bus. Turun di Rejowinangun dan pindah Kopata Jalur 3. Ibu membekali dengan
sayur, lauk, dan nasi. Cukup untuk makan siang dan malam. Mas Kun pada waktu itu buka
usaha strum aki dan sablon. Tiap mau berangkat saya disangoni Rp. 5.000,- (satu porsi
nasi,sayur dan telur Rp. 350,-) untuk makan selama satu minggu yakni Selasa-Jumat dan
transport kembali ke Mijahan hari Jumatnya.
Saya mencari cara bagaimana bisa memenuhi kebutuhan biaya kuliah dan biaya hidup. Saya
mulai mencari uang dengan menterjemahkan buku, bahan kuliah mahasiswa, instansi, dan lain-
lain. Saya juga mulai memberi les. Mas Wik membantu saya dengan memberi murid les di
daerah Jl. Magelang dan seorang anak difabel di daerah Bantulan. Mas Wik juga meminjamkan
motor untuk memberi les. Pada semester 3 saya pindah ke Wisma Sadhar. Pada tahun itu juga
saya mendapat beasiswa sebesar Rp. 25.000,-/bulan. Pas dengan uang kuliah per bulan.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Halleluya. Ibu sudah tidak perlu membayar kuliah lagi karena
kebutuhan hidup, bayar uang asrama, dan uang kuliah sudah terpenuhi dari kerja dan beasiswa.
☺☺☺☺
Beasiswa cair tiap bulan Agustus sementara uang kuliah harus dibayar bulan Juli. Saya minta
bantuan mbak Rum untuk mencarikan bantuan pinjaman atas nama mbak Rum dengan saya
mengangsur tiap bulannya. Bunga pinjaman dibayar mbak Rum. Hal tersebut dilakukan sampai
saya semester 8 (tahun 1992). Jadi tiap semester mbak Rum mengajukan pinjaman di bank
BTPN Bintaran.
Cedis itu akhirnya selesai kuliah dan memulai karir baru. ☺☺☺☺
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
CEDHIS RAGIL OPERASI AMANDEL
Ketika Seska masih belajar di TK St. Theresia Baleharjo, dia sudah mengalami bagaimana cara
untuk mandiri. Bapak sering menitipkan Seska ke kendaraan umum (colt) jurusan Munggi-
Wonosari. Pasti bapak dan ibu mengalami pergulatan batin antara tega dan tidak tega
menitipkan anak wedok yang kehadirannya dinanti-nanti ke sopir dan kernet colt.
Seska menderita gangguan amandel dan harus dioperasi. Ketika tiba jadwal untuk operasi,
Seska dibawa ke RS Jeruksari (sekarang RSUD Wonosari) untuk rawat inap. Malam itu dia
ditunggui ibu dan aku. Seska harus menjalani puasa dimulai pada pukul 22.00 malam sebelum
paginya menjalani operasi. Dia tidak boleh makan dan minum meski air putih sekalipun.
Seska bukanlah anak yang diam dan penurut. Namun saat diberitahu bahwa dia harus berpuasa
dia nurut.
Saat tengah malam dia terbangun. Dia merasakan haus dan minta minum.
Ibu,"Karo dokter ora pareng. Sesuk ndak operasine gagal."
Seska,"Aku ngelak banget, bu. Telakku garing."
"Diampet. Iki wis meh esuk," kata ibu berusaha menenangkan.
Seska merengek dan merengek. Nangis kenceng. Sampai akhirnya dia lelah menangis.
Dia merintih dan memohon,"Aku ngelak banget. Njaluk mimik setetes wae."
Ibu memeluk Seska.
"Diampet ya, wuk."
Aku lihat perjuangan ibu menenangkan Seska. Sabar. Ibu perempuan luar biasa.
Paginya aku pamit untuk masuk sekolah. Waktu itu aku sekolah di SMAN 1 Wonosari. Jarak RS
Jeruksari ke sekolah sekitar 1 km. Aku sudah menyiapkan seragam dan tas sekolah biar paginya
bisa langsung ke sekolah. Aku jalan kaki ke sekolah. Operasi amandel Seska dijadwalkan pagi itu.
Sepulang sekolah aku kembali ke RS. Ketika masuk bangsal, Seska sudah selesai menjalani
operasi. Aku dengar dia menangis dengan ditunggui ibu.
Melihat aku masuk kamar, Seska langsung berdiri dan memelukku kencang sambil menangis
keras. Nampaknya efek bius sudah habis dan dia merasakan sakit luar biasa. Dia nampaknya
mau bilang sakit tapi belum bisa. Bisanya hanya menangis sejadi-jadinya. Aku peluk dia untuk
mencoba menguatkan. Darah pasca operasi keluar dari mulutnya dan tertumpah di baju
seragamku.
Semoga sehat selalu ya, wuk. Gek njil-njilan meneh.
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
CEDIS DAN UANG NYOTHOT
Sekitar tahun 1983 dan beberapa tahun sebelum dan sesudahnya, kami mengalami masa hidup
yang sulit. Ibu menanak nasi dengan ketel besar dan tebal menggunakan luweng (tungku api)
dengan bahan kayu bakar. Setelah nasi masak dan sayur siap, ibu membagi-bagi nasi ke piring-
piring. Satu anak satu piring. Pada waktu itu di rumah ada mbak Rum, mas Kun, mas Wang, aku,
mas Gandung, mas Nanung, dan Seska. Jadi satu ketel untuk 7 anak. Biasanya aku minta bagian
intip yang kemudian aku kasih kuah sayur. Itu menu favoritku. Tiap anak dapat jatah satu piring
saja karena hanya itulah jatah yang ada. Tidak bisa nambah karena memang sudah tidak ada
lagi.
Bapak dan ibu harus mengatur pengeluaran secara ketat agar kebutuhan satu bulan terpenuhi.
Salah satu caranya adalah pada awal bulan bapak membeli barang-barang kelontong dari
koperasi dan disimpan di rumah. Selain itu bapak juga mendapat jatah beras tiap bulannya.
Saya kadang disuruh mengambilnya di koperasi di Semanu dengan angkutan umum (colt).
Ketika tengah atau akhir bulan uang belanja habis, bapak atau ibu menyuruh kami menjual
barang-barang kelontong tersebut di sebuah warung di Baleharjo. Nampaknya bapak sudah
berpesan dengan pemilik warung agar mau membeli barang-barang kelontong dari kami.
Malam itu Mas Gandung dan aku diutus bapak menjual pasta gigi dan sabun ke warung di
Baleharjo Wetan.
Waktu itu sekitar pukul 19.00 jadi jalan sudah gelap. Lampu penerang jalan umum (LPJU) belum
ada sehingga kami hanya mengandalkan lampu motor yang tidak terang. Aku mengenakan jaket
tebal warna coklat pemberian Mas Wik. Itu jaket kebanggaan. Pasta gigi dan sabun aku
masukkan ke saku yang ada di jaket. Aman.
Kami pun berangkat menjalankan misi dengan harapan pulang membawa uang. Sampai di
dekat batas Baleharjo-Semanu (sekarang sebelah barat SPBU) tiba-tiba mak glodak...sroookkk...
glangsar. Aku jatuh tersungkur di aspal. Mas Gandung jatuh menimpaku dengan tangan tetap
pegangan di pingganggku. So sweet... ☺☺☺☺
Ternyata jalan tersebut baru saja ditambal dan diberi penghalang batang kayu.
Kami lalu bangkit dan menegakkan motor. Aku berjalan ke depan lampu motor untuk
memeriksa keadaan karena tangan dan kakiku lengket. Tangan, kaki, dan jaket kotor karena
aspal basah. Aku periksa komoditas ekspor yang kami bawa. Aku buka jaket. Sabun aman. Tapi
kok ada yang dingin-dingin semriwing. Ternyata odol sudah nyothot di baju dan jaketku.
"Duh... piye iki, nDhung? Odole nyothot,"
"Waaah, ra payu. Yo wis sabune wae sing didol."
"Mengko nek didukani bapak piye?"
"Yo nasib."
Mas Gandung dan aku hanya bisa pasrah dan kiwah-kiwih.
Kami pun melanjutkan misi dengan uang yang sudah terlanjut nyotot.
Mungkin nyothotnya odol merupakan karma bagi mas Gandhung yang kalau disuruh gosok gigi
selalu ngeyel. (Baca kisah: CEDIS DITHUTUK SIWUR)
✌✌✌✌
*Kisah nyata ini diceritakan kembali sesuai selera penulis.
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
CEDIS DAN LURUNG PENITENSI
Sebagai bentuk tanggung jawab orang tua terhadap perkembangan iman keluarga, bapak sering
mengajak doa bersama. Salah satunya adalah doa rosario. Kami diajak doa rosario dalam
bahasa Jawa. Meski kami orang Jawa tapi bukanlah perkara mudah untuk berdoa dalam bahasa
Jawa.
"Sembah bekti kawula Dewi Maria... Sami-sami wanita sang dewi pinuji plbmn@#$& .. "
"Nek sembayang ki sing cetha. Sang dewi pinuji njembabak ki apaaa? "kata bapak.
Duuuh....
Bapak itu kalau duka (marah) diam saja sudah medeni apalagi kalau ngendika.
Kebiasaan ibadat lain adalah pengakuan dosa (bih) menjelang Paskah atau Natal.
Sore itu aku bersama mbak Rum berangkat berboncengan naik sepeda untuk ikut pengakuan
dosa di gereja St. Petrus Kanisius Wonosari. Tempat itu merupakan sebuah kompleks gereja, SD
Kanisius II, SMP Kanisius, dan SPG Sanjaya. Mas Tri menjadi satu-satunya putra bapak-ibu yang
sekolah di SPG ini.
Kami selesai pengakuan dosa sekitar pukul 19.00. Hari sudah gelap. Aku boncengkan mbak Rum
dengan sepeda ontel. Jarak gereja-rumah sekitar 4km. Penerangan jalan mengandalkan lampu-
lampu di rumah-rumah yang terletak di kanan dan kiri jalan. Aku kayuh sepeda sambil ngobrol
dengan mbak Rum. Sampailah kami di timur perempatan Baleharjo Wetan. Sekarang ini
tepatnya di sebelah timur bangjo Baleharjo Timur. Rasanya lega karena jalanan akan menurun.
Aku kayuh agak cepat karena setelah itu adalah tanjakan Ngangkruk. Di depan kami ada
seorang anak yang mengendarai sepeda. Ketika sudah sampai di pertengahan turunan (yang
sekarang ada SPBU) anak tersebut tiba-tiba belok kanan. Seketika sepeda aku belokkan ke
kanan untuk menghindari tabrakan. Karena kecepatan yang cukup tinggi aku gagal
menghentikan dan mengendalikan sepeda. Kami pun pasrah. Sepeda terus melaju dan masuk
ke lurung (semacam selokan di pinggir jalan). Sepeda terhenti setelah menabrak batang pohon
yang habis ditebang. Aku dan mbak Rum terjerembab di lurung. Kaki kananku terantuk batang
kayu. Jempol kaki kananku tidak bisa digerakkan. Belakangan jempolku bengkak dan ternyata
bengkok.
Dalam pengakuan dosa, romo memberi penitensi (denda atas dosa) berupa doa-doa tertentu.
Mungkin kali ini Tuhan memberi kami penitensi dengan kejembrung di lurung.
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
CEDIS DITHUTHUK SIWUR
Bapak dan ibu sangat mengutamakan kebersihan tubuh. Rambut harus disisir rapi. Kalau perlu
pakai pomade. Ibu kalau memandikan anaknya detail. Diguyur, disabuni, dikosoki. Tidak boleh
dangkalen (berdaki) apalagi meko (dakinya tebal). Telinga bagian belakang, selangkangan,
punggung, sekitar tumit adalah bagian-bagian tubuh yang tidak pernah luput dikosoki oleh ibu.
Bapak menekankan pada anak-anaknya untuk merawat gigi terutama gosok gigi pada malam
hari. Bapak selalu memastikan anak-anaknya gosok gigi pada malam hari. Selambatnya jam 6
sore sudah harus gosok gigi karena kalau lebih dari itu sudah gelap. Dikhawatirkan gosok
giginya tidak bersih karena gelap atau buru-buru karena takut kegelapan. Maklum, pada waktu
itu kamar mandi ada di luar rumah.
Ketika masih SD, Mas Gandung boleh dibilang anak yang paling susah disuruh gosok gigi. Selalu
bilang mengko-mengko. ✌✌✌✌
Suatu malam, ketika itu keluarga kontrak rumah di keluarga Ramelan, bapak sedang tindakan.
Kami asyik bermain. Mas Gandung sudah diingatkan untuk gosok gigi. Takutnya nanti bapak
kondur belum gosok gigi. Tapi tetap saja tidak beranjak.
Benar saja. Tiba-tiba bapak kondur. Mas Gandung sontak berdiri untuk mengambil sikat gigi.
Bapak nampaknya sudah tahu gelagatnya. Bapak langsung cincing sarung.
"Mesthi rung sikataaaan!!! Ndhendheng!!!
Tahu bapak duka (marah) Mas Gandung lari ke belakang rumah. Bapak mengejar sambil
membawa siwur plastik. Mas Gandung sembunyi di kamar mandi berjarak sekitar 10m dari
rumah. Dia ndhepis di pojokan. Tapi lupa kalau dinding kamar mandi itu tingginya hanya sekitar
120cm.
Dari luar kamar mandi bapak melihat Mas Gandung.
" Naaah... Ploook..."
Punggung Mas Gandung dithuthuk siwur dari atas.
Ngono kok ra kapok-kapok.
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
PARABAN
Bapak piawai dalam memberi nama anak-anaknya dengan menggunakan kata-kata Sanskerta
yang dikombinasikan. Masing-masing anak mempunyai nama panggilan yang diambil dari nama
lengkap atau karakteristik anak. Hanya nama Gandhung dan Nanung yang masih belum
terungkap asal muasalnya.
Selain nama panggilan ada juga paraban. Paraban lebih bersifat unik, personal, dan kontekstual.
Paraban bisa diambil dari karakterisktik atau peristiwa khusus yang terkait dengan anak
tersebut. Atau bisa jadi tidak terkait alias asal.
Dalam keluarga Hermaya-Samini juga terdapat paraban. Yang paling terkenal adalah Cengik.
Selain itu ada yang dipanggil Ucok. Ucok adalah nama populer di Mijahan. Ada juga Kolem.
Kolem adalah anak perempuan di keluarga. Paraban Kolem pada masa itu acap digunakan
bersamaan dengan saudara tuanya yang bernama Solwel. Kolem punya anak 4 sedangkan
Solwel beranak 2.
Bagong adalah anak yang ora isa basa (krama). Konon waktu kecil Bagong kalau bicara dengan
orang yang lebih tua ngoko. Ada juga anak yang bernama Gleweng yang sudah bahagia
bersama bapak, ibu, dan mbak Ika. Ada lagi yang parabane Sembret. Anak ini dipanggil Sembret
karena pada waktu kecil disuruh bapak tidur siang tapi tidak mau. Dia mau tidur siang dengan
syarat diboncengkan sepeda dulu muter-muter. Solwel yang momong anak ini kemudian
mengajak muter naik sepeda mini yang memiliki sandaran di belakang. Celakanya mereka
terjatuh. Sembret bibirnya sobek dan harus dijahit. Sejak itu dia dipanggil Sembret. Sembret
dalam bahasa jawa artinye sobek.
Ucok, Bagong, Kolem, Gleweng, Sembret, Kolem... siapakah mereka?
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
TINGGAL DI DEKAT RESAN
Sekitar tahun 1976* keluarga pernah tinggal di Baleharjo di daerah yang terkenal dengan
sebutan Ngresan. Resan adalah sebutan lain untuk pohon beringin. Di pojok pertigaan ada
sebuah pohon beringin besar yang batangnya diselimuti kain mori. Sudah pasti tempat itu
angker. Keluarga kontrak rumah di sebelah tenggara resan tersebut. Sebuah rumah dengan
halaman lumayan luas.
Ketika tinggal disitu aku terkesan dengan seorang loper koran. Dia mengantar koran dengan
menggunakan pit lanang. Koran ditumpuk di boncengan dengan tumpukan cukup tinggi, sekitar
30cm. Loper tersebut selalu berpakain rapi. Meski mengenakan sandal, dia selalu mengenakan
celana cutbrey dengan kemeja lengan panjang warna putih. Kadang mengenakan kaos polo.
Dandanan ala Elvis Presley. Kumis tipis melintang diatas bibir. Tiap pagi dia mengantar koran di
sebelah rumah. Ketika naik atau turun dari sepeda, sepeda dalam keadaan jalan, kaki kiri
menginjak pedal dan kaki kanan diangkat tinggi diatas tumpukan koran. Jadi seperti split di
udara.
Di tempat ini Mas Tri berseteru dengan Mas Gondo, penyiar radio Geronimo Cabang Ndeso
alias GCD. Aku tidak tahu pasti permasalahannya. Nampaknya Mas Tri suka cari sparring partner
karena ketika tingal di Jeruksari Mas Tri juga berseteru dengan Pak Pratik. Yungalaaaah...
Pada waktu tinggal di dekat resan aku masih SD Kelas 1. Kami sering main petak umpet, kami
menyebutnya delikan atau jethungan, sebuah permainan yang tidak membutuhkan biaya.
Rumahnya lumayan luas jadi kalau untuk delikan seru.
Suatu malam kami main delikan. Aku lari ke sebuah ruangan untuk bersembunyi. Di situ ada
Mas Tri yang sedang santai. Melihat aku datang Mas Tri bilang, "Ndhelik kene."
Dia mengambil gulungan kepang. Diangkatnya kepang tersebut. Aku disuruh berdiri di pojok
lalu aku dimasukkan dalam gulungan kepang tersebut. Setelah terdengar suara "jethung" Mas
Tri mengeluarkan aku dari kepang. Mas Tri tertawa senang karena strateginya berhasil.
Mas Tri gemati dengan adik-adiknya. Kalau malam aku sering dikeloni. Rasanya anget dan ayem.
*Tahun mungkin tidak akurat
Oleh:
Banu "Gendhut" Kunjana
TOURING DE CEDIS
Dalam urusan memacu adrenalin ketika mengendarai kuda besi, ada tiga anak yang berada
pada pole position: Mas Wang, Mas Gandung, Mas Tri.
Mas Wang kalau naik motor langsung gas pol. Ngebut. Tidak pernah pelan. Pada waktu itu helm
belum jadi kewajiban. Aku sering mbonceng Mas Wang yang kalau ngebut sampai keluar air
mata dan air nyiprat di mukaku. Suatu kali Mas Wang mboncengke bapak. Seperti biasa dia
ngebut. Belum lama ngebut kepalanya sudah dikethak bapak.
"Ora ngebut!!! " kata bapak.
Mas Gandung tidak kalah garangnya dengan Mas Wang. Kalau belok sampai miring-ring. Mas
Gandung pernah jatuh ketika naik motor Honda CB Glatik. Giginya sampai guwil karena
terantuk handle jok. ✌✌✌
Mas Tri memacu adrenalin bukan karena ngebut. Kalau ngebut masih kalah dengan Mas Wang
dan Mas Gandung. Mas Tri kalau naik motor sering ora dugo-dugo alias nekad. Itu yang bikin
hati yang mbonceng dadi sak menir.
Mas Wang dan aku pernah boncengan ke Jogja naik motor Honda CB Glatik warna putih. Kami
berangkat jam 10 malam untuk menghindari cegatan karena kami belum punya SIM. Kami
menikmati touring malam hari karena jalan sepi. Jalanan dari Bunder sampai Piyungan yang
berkelok-kelok jadi favorit Mas Wang. Sesampai di Sampak tiba-tiba motor gliyar-gliyur.
"Sang, kok gliyar-gliyur? Mandheg sik." kataku. Sang adalah panggilan akrab Mas Wang.
Kami pun berhenti. Kami cek ban belakang. Ternyata kempes. Bocor.
"Wah, bocor-e, nDut," kata Mas Wang sambil kukur-kukur.
"Sing ana tambal ban ngendi?" tanyaku.
"Coba dituntun dhisik. Mbok menawa ngarep kana ana tambal ban," kata Mas Wang.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan menuntun motor. Mas Wang pegang stang dan aku
mendorong dari belakang. Kira-kira 1 km kami belum menemukan tambal ban.
Mas Wang,"Cilaka mencit. Ra ana sing bukak."
"Lha terus piye iki?" tanyaku.
"Turu kene wae. Sesuk esuk golek tambal ban. Paling nek esuk wis ana sing bukak," kata Mas
Wang.
Jalanan antara Piyungan-Rejowinangun waktu itu masih sepi. Masih terdapat banyak sawah di
pinggir jalan.
Kami kemudian tidur di gubug di pinggir jalan. Di belakang gubug ada beberapa kolam ikan.
Paginya kami baru mencari tukang tambal ban. Waktu itu belum ada hp. Jadi pastinya ibu tidak
khawatir karena tidak tahu apa yang terjadi dengan kami.
"Wis penak to, Sang? Dikeloni bapak-ibu.
Oleh:
Sembret Kunjana ☺☺☺☺
NYECEP WIJI MAONI
Anak yang paling jahil dalam keluarga Hermaya-Samini adalah Mas Kun.
Suatu malam kami bercengkerama dan gojekan di ruang tengah. Seingatku disitu ada Mas Kun,
Mas Wang, Mas Gandung, Mas Nung dan aku. Karena sudah waktunya gosok gigi, Mas Gandung
mengambil sikat gigi dan pasta gigi. Pada waktu itu belum ada air ledeng. Kami gosok gigi
menggunakan air di gentong. Sementara bak mandi diisi dengan air telaga yang diberi tawas
agar kotoran mengendap dan air menjadi bening. Air telaga hanya untuk mandi dan cuci.
Mas Gandung membawa sikat gigi dan air dalam gayung kemudian menuju ke belakang rumah
untuk gosok gigi. Keadaan belakang rumah gelap gulita. Ketika Mas Gandung membuka pintu
belakang, Mas Kun sudah menyelinap dari pintu depan dengan membawa sarung dan
menunggu Mas Gandung keluar. Begitu Mas Gandung membuka pintu Mas Kun yang tadinya
jongkok langsung berdiri sambil tangannya membentangkan sarung dan berteriak,
"Yaaaaaa!!!!".
Mas Gandung yang waktu itu masih SD kelas bawah kaget dan menangis. Ketika Mas Gandung
masih menangis, bapak kondur.
" Senengane mbebengek Gandung!"
Kami semua didukani.
---------
Suatu siang Mas Kun, Mas Wang, dan aku mbolang ke alas di selatan desa. Kami berpetualang
untuk memenuhi rasa ingin tahu dan mengeksplorasi wilayah itu. Di situ ada beberapa pohon
jambu mete. Kami menikmati manis-sepetnya jambu mete yang sudah matang. Ada juga pohon
duwet. Kayu pohon duwet sifatnya getas (mudah patah) jadi kalau memanjat harus ekstra hati-
hati. Kami sampai di wilayah yang jauh dari penduduk.
Ketika aku lagi enak-enak jalan mendadak mak telep. Mulutku dimasuki sesuatu oleh Mas Kun.
Rasanya pahit nyethek di tenggorokan. Ternyata Mas Kun sudah menyiapkan isi buah
mahoni. Isinya yang berwarana putih itulah yang dimasukkan di mulutku.
Aku hoek-hoek pengin muntah, dia terpingkal-pingkal puas.
Padahal kami tidak bawa bekal apa-apa untuk menghilangkan rasa pahit.
Oleh:
Sembret Kunjana
CEDIS NGE-GYM
Sekitar tahun 1982-1988 bapak dan ibu buka warung kelontong dan kios bensin di depan rumah.
Di warung kelontong ini peristiwa horor terjadi. Waktu itu Mas Wang sedang dalam masa
pemulihan pasca kecelakaan. Kaki kanannya luka memanjang dan melebar pada betis dan paha
bagian luar. Kakinya dibalut perban seperti mummi. Dia sedang nunggu warung. Tiba-ada ODGJ
perempuan datang. ODGJ itu melongok di pintu. Mas Wang kaget. Mau lari tidak bisa karena
orang itu berdiri di pintu dan Mas Wang kakinya masih sakit. Jalan saja kakinya diseret. Mas
Wang ketakutan dan teriak-teriak. Untung ibu dengar. Ibu datang. Ibu memberi perempuan itu
baju dan menyuruhnya pergi.
Untuk keperluan warung, kami secara bergantian kulakan meski sedikit-sedikit. Yang
kulakannya agak kenceng adalah bensin. Pada waktu itu hanya ada satu SPBU yaitu yang ada di
Kranon. Kalau sudah waktunya kulakan bensin, Mas Kun, Mas Wang, Mas Gandung dan aku
secara bergantian membeli bensin di SPBU Kranon dengan sepeda ontel. Jerigen kaleng
dicantolkan di boncengan. Kadang kiri-kanan, kadang kanan saja. Satu jerigen isi 20 liter. Aku
biasanya kulakan bensin sepulang sekolah atau malam hari pukul 19.00 karena sorenya aku
biasanya main sepak bola atau voli. Jarak rumah-SPBU sekitar 7 km. Karena aku sering kulakan
bensin, teman-teman SMA menjuluki aku anggota Joxin alias Jok Bensin.
Kulakan dengan 2 jerigen meski lebih berat tapi lebih nyaman karena berimbang antara kanan
dan kiri. Kalau hanya bawa satu jerigen maka akan berat sebelah ke kanan, seperti Vespa.
Bedanya yang ini harus mancal. Tanjakan terberat adalah Ngangkruk. Tanjakannya tinggi
sehingga harus turun dari sepeda. Tak apalah. Itung-itung olahraga.
Untuk kebutuhan mandi kami menggunakan bak mandi yang relatif besar agar bisa mencukupi
orang banyak. Pada waktu itu belum banyak keluarga yang memiliki kamar mandi. Penduduk
Mijahan mandi dan mencuci pakaian di telaga, bareng dengan sapi. Sapi dimandikan di sudut
barat daya telaga. Tempat itu dangkal sehingga memudahkan orang untuk memandikan sapi.
Para perempuan mandi di sebelah selatan sementara laki-laki mandi di sebelah utara.
Bapak membuat kamar mandi agar kami tidak mandi di telaga. Mengisi bak mandi adalah tugas
anak-anak laki-laki. Kami ngangsu menggunakan ember yang kami jinjing dengan tangan kiri
dan kanan. Setelah bak penuh dengan air telaga kemudian diberi tawas yang kami beli di pasar
Argosari, Wonosari. Setelah ditunggu beberapa saat, air telaga yang berwarna coklat seperti
Milo berubah jadi bening karena lumpur sudah mengendap.
Untuk kebutuhan minum, masak, mencuci alat makan, dan gosok gigi kami menggunakan air
sumur. Kami ngangsu di sebuah rumah yang sekarang di sebelah barat SPBU Mijahan.
Penduduk sekitar menggunakan blek bekas wadah minyak goreng untuk mengusung air dengan
pikulan. Kami tidak punya blek jadi kami menggunakan jerigen plastik. Sumur di rumah itu
berkedalaman 35m dan menggunakan dhadhung untuk tali timba. Dhadhung adalah tali yang
terbuat dari kulit buah kelapa yang dipilin.
Setelah jerigen penuh terisi air, jerigen kemudian ditaruh di planthangan sepeda. Aku duduk di
boncengan sambil mengayuh sepeda.
Aku pernah ngangsu pakai blek pinjaman. Ternyata berat. Pundakku rasanya perih. Biar tidak
perih, pundak aku beri alas handuk.
Halaman depan itu dulunya tandus. Ditanami lombok dan lain-lain tidak subur. Ketika musim
kemarau tiba, telaga mengering. Lumpur di dasar telaga mengeras. Lumpur itu disebut waled.
Bapak menyuruh kami mengurug halaman depan dengan waled agar tanah menjadi subur.
Kami lakukan pengurugan berminggu-minggu karena hanya menggunakan tenggok dan ember.
Pengurugan kami lakukan sepulang sekolah dan pada hari libur. Beberapa bulan setelah itu
tanah menjadi subur. Halaman rumah pernah menjadi kebun pepaya (kates jingga) dengan hasil
melimpah. Hingga saat ini halaman rumah tetap subur. Kebetulan ibu tanganan (bertangan
dingin). Menanam apa saja menghasilkan, dari kelapa gading, mangga, jambu, jeruk, camcao,
pisang, bengkoang, hingga anggrek.
Begitulah, kulakan bensin, ngangsu, ngusungi waled, dan tentu saja jalan kaki rumah sekolah
dengan menempuh jarak 12 km melatih otot kami jadi bakoh. Keseharian kami diisi dengan
nge-gym a la cedis.
Oleh:
Sembret Kunjana
TEH JANGAN BENING
Pada akhir tahun 1970an kami pindah kontrakan di Trimulyo, Kepek, Wonosari. Waktu itu aku
masih SD kelas bawah. Pergi dan pulang sekolah aku jalan kaki. Jarak rumah ke sekolah sekitar
4km. Untuk mencukupi kebutuhan, ibu membuat tempe sendiri untuk dijual di pasar. Proses
merebus dan ngidak dele dilakukan sendiri. Aku sering membantu ibu membungkus kedele
yang sudah diberi laru. Laru adalah daun (biasanya daun waru) yang dilobangi dengan parutan
kelapa dan digunakan untuk membungkus tempe. Bagian dari tempe yang sudah mengalami
fermentasi akan menempel pada daun tersebut dan dapat digunakan untuk memberi ragi
dalam proses berikutnya. Laru juga dijual di pasar. Ibu menyimpan stok laru di dinding dapur.
Ibu berjualan tempe di lorong pasar Argosari yang berjarak 2 km dari rumah. Ibu juga berjualan
tahu. Pada sore hari Mas Kun dan Mas Wang berkeliling untuk jualan tahu. Tahu diperoleh dari
kulakan di tempat Pak Driyo di Jogja.
Jadwal sekolahku kadang masuk pagi, kadang masuk siang. Suatu ketika aku masuk sekolah
siang. Yang dimaksud siang adalah jam 10 dan pulang jam 1 siang. Sebelum berangkat aku
makan karena takut nanti kelaparan. Tapi baru beberapa suap aku sudah kenyang. Piring yang
masih berisi makan pagiku aku simpan di lemari dengan harapan nanti pulang sekolah akan aku
makan lagi. Lalu aku pun berangkat sekolah.
Sepulang sekolah aku langsung buka lemari makan dan ambil piringku tadi. Betapa terkejut dan
kecewanya aku melihat piring makanku.
"Iki kok krupukku diijoli sing cilik," kataku menuduh Mas Wang. Aku nangis. Waktu itu ada
krupuk ukuran besar dan kecil.
"Piye to? Kuwi ora diijoli. Krupuk nek diselehke neng ndhuwur sega ya suwe-suwe dadi cilik.
Mlempem. Wooo...cah bonto," kata Mas Wang menjelaskan.
Aku baru paham. Tiwas neting alias negative thinking. ✌✌✌✌
Di lain kesempatan aku juga dapat jadwal masuk siang. Seperti biasa aku jalan kaki ke sekolah
dan pulang pun jalan kaki. Waktu itu ada kegiatan ekstra kurikuler senam yang membuat aku
pulang sore. Senam adalah ekskul paling menyebalkan terutama kalau disuruh split. Apalagi
kalau sekarang.
Waktu pulang hari sudah mulai remang-remang. Rasa lapar sudah merajalela. Sesampai di
rumah aku langsung masuk ke ruang makan yang gelap karena waktu itu belum ada listrik dan
lampu belum dinyalakan. Aku ambil piring dan mengambil nasi dari cething. Setelah itu aku
ambil jangan bening. Pasti rasanya seger, pikirku. Sambil berjalan keluar aku ambil sesendok
nasi dan sayur. Mak leeppp. Aku kaget. Kok rasanya anyep? Aku ke belakang rumah ke tempat
yang lebih terang. Jreeeeng... Ternyata yang aku ambil bukan jangan bening tapi cem-ceman
teh.
Oleh:
Sembret Kunjana
CEDIS-CEDIS NGLINDUR
Konon waktu masih kecil aku gampang sakit. Tidak pakai sandal saja terus nafasnya mengkis-
mengkis. Aku kalau demam suka mengigau.
Pernah suatu kali ketika aku demam, aku tidur siang di kamar. Waktu itu kami kontrak di rumah
Pak Ramelan. Tiba-tiba aku mimpi dari kejauhan ada gulungan kasur kapuk. Gulungan itu
bergerak. Makin lama makin besar dan makin dekat. Aku ketakutan dan lari keluar rumah
sambil teriak-teriak, "Mbak Rum.. Mbak Rum....!!!" Dalam mimpi itu ada Mbak Rum. Sampai
diluar aku baru sadar kalau mengigau. Aku tidak ingat siapa saja yang ada di rumah. Yang jelas
mereka pada heran dan geli.
"Wis kana bobok meneh," kata salah satu dari mereka.
Aku terus klunthuh-klunthuh masuk kamar lagi sambil menahan malu.
Peristiwa lain terjadi ketika sudah pindah ke rumah yang sekarang. Waktu itu belum ada listrik
jadi keluarga masih menggunakan lampu petromax untuk ruang tengah dan lampu teplok untuk
kamar-kamar. Di keluarga aku dapat tugas menyiapkan lampu-lampu tiap harinya. Aku
bersihkan lampu teplok dengan ngoroki semprong menggunakan sogok semprong yang
bentuknya mirip rambutku waktu kecil. . Setelah itu sumbu diperiksa. Kalau kurang rata
perlu diratakan ujungnya dengan gunting agar nyalanya rata. Tabungnya diisi minyak tanah
sampai setengah dhuwur atau hampir penuh. Lampu petromax butuh perawatan berbeda.
Kalau kondisi normal tinggal membersihkan kacanya dan mengisi minyak. Kalau kaos lampu
bolong maka harus diganti. Cara menggantinya harus hati-hati agar kapur rendemnya tidak
ambrol. Kapur rendem adalah dudukan untuk memasang kaos lampu. Biasanya sebelum jam 3
sore lampu-lampu sudah siap. Karena tugasku itu aku dijuluki menteri penerangan. ☺☺☺
Waktu itu aku kurang enak badan. Aku tidur lebih awal dari biasanya yakni sebelum jam 9
malam biar lekas sehat. Sekitar jam 10.30 malam aku terbangun. Beberapa orang masih belum
tidur. Seingatku di situ masih ada Mas Kun, Mas Wang, Mas Gandung. Aku turun dari tempat
tidur, lalu berjalan pelan-pelan. Aku turunkan lampu teplok yang menempel pada tiang rumah
(saka).
Mas Kun,"Lho... Arep dikapakke?"
Aku,"Arep tak pompa."
Spontan pada ketawa. Aku baru sadar kalau aku sedang nglindur. Bayanganku itu adalah lampu
petromax yang sudah mbleret dan perlu dipompa. Padahal lampu petromax sudah dipadamkan.
Begitulah... Aku terlalu menghayati tugas.
Lain lagi dengan nglindurnya Mas Gandung. Waktu itu kami bareng-badeng tidur di lantai
dengan alas tikar. Lagi enak-enaknya tidur kami terbangun karena Mas Gandung nglindur
sambil mbukaki tikar.
"Ngapa nDung?" tanyaku.
"As wajik... As Wajik," jawabnya sambil terus mbrengkali tikar.
♦♦♦♣♣♠♠♥♥
Oleh:
Sembret Kunjana
MOTOR
Pada masa tahun 70an, motor termasuk barang mewah. Aku tidak ingat persis kapan keluarga
punya motor. Seingatku motor pertama adalah Vespa yang dibeli ketika keluarga tinggal di
Jeruksari.
Ada beberapa jenis sepeda motor yang pernah dimiliki: Vespa, Suzuki bebek, Yamaha V80,
Kawasaki Binter Joy, Honda CB Glatik, Yamaha RX 100 (bukan King), dan Suzuki RC 100. Pernah
ada DKW tapi seingatku motor itu milik Mas Wik.
Ibu sempat memakai Suzuki bebek selama beberapa waktu. Ibu kalau naik motor anggun.
Badannya tegak. Pada zaman itu tidak banyak ibu-ibu di Mijahan yang naik motor. Ibu
perempuan hebat.
Suzuki RC 100 sangat melekat dengan bapak, ibu, dan Seska. Motor ini sering membawa
mereka bertiga kemana-mana. Salah satu rute terpanjang adalah Mijahan-Guyangan-
Sendangsono PP. Pada waktu itu kami ziarah berlima: bapak, ibu, Seska, Mas Wang, dan aku.
Mas Wang dan aku naik sepeda balap (roadbike). Mas Wang naik sepeda merk Shimano warna
hitam, aku naik Jemboly merah. Kami berangkat dari Mijahan kemudian menginap di rumah
Mas Wik di Guyangan. Paginya kami berangkat ke Sendangsono lewat Sentolo. Turunan
jembatan Bantar menjadi tempat memacu sepeda dan memacu adrenalin. Jalanan menurun
menjadi kesempatan untuk mencapai kecepatan maksimal. Saat itu aku lihat di speedometer
mencapai 60km/jam.
Aku berlatih naik motor dengan Suzuki bebek ketika masih SD kelas 5. Aku sempat jatuh
menabrak batu-batu pembatas jalan dengan pekarangan. Jalan dari halaman rumah ke jalan
raya menanjak. Aku tarik gas tapi kebablasan jadi langsung bruukk nabrak batu-batu pembatas.
Aku cuma bisa kiwah-kiwih wong sakit.
Mas Wik mengajariku cara berkendara secara nyaman. Pada waktu itu aku SMP atau SMA kelas
1. Kami boncengan dari Guyangan ke Mijahan. Motor Mas Wik baru, Suzuki FR 100 Family
warna hitam. Kinclong. Suzuki Family termasuk motor favorit yang kemudian booming pada
waktu itu. Suaranya halus dan suspensinya empuk. Sesampai di Piyungan Mas Wik berhenti lalu
turun dari motor.
"Nyoh... Saiki kowe neng ngarep," kata Mas Wik.
Aku terus naik. Aku deg-degan karena pakai motor baru. Habis Piyungan terus naik tanjakan
Pathuk. Di jalan mas Wik memberi nasihat-nasihat.
"Nek numpak motor ki sing penting kecepatan stabil. Aja ngeram-ngerem. Nek pas dalane sela
arep banter ora papa. Sing penting ngati-ati. Mengko mesthi penak. Nek boncengan sing
mbonceng mesthi ya kepenak, ora wedi. Tur ora mbingungke pengendara liyane," wejang Mas
Wik.
"Ashiiiiaaap!!!"
Petuah itu aku pegang sebagai cara berkendara sampai sekarang.
Akhirnya kami tiba di Mijahan. Itu menjadi pengalaman naik motor terpanjang dan menjadi
milestone dalam caraku berkendara.
Oleh:
Sembret Kunjana
ALIRAN DARAH SENI
Darah seni mengalir dari bapak yang dulu adalah pelatih kesenian dari jathilan, tari tradisional,
kethoprak, kawaritan, dan slawatan Katolik. Anak-anak bapak-ibu yang piawai tari Jawa adalah
Mas Tri, Mbak Rum, dan Mas Kun. Juaranya adalah mbak Rum, yang pernah ikut sekolah tari
Among Beksa dan tampil solo di berbagai pentas.
Selain kesenian tradisional bapak juga tidak melarang anak-anaknya belajar seni kontemporer.
Pernah suatu kali bapak pulang dari Jogja. Seperti biasa bapak membawa oleh-oleh buku dan
majalah bekas yang dibeli di kios buku bekas di Sriwedani, dekat TBY. Aku liat bapak turun dari
colt dan menenteng gitar warna hitam. Kami berlari menyambut bapak dan membawakan oleh-
oleh. Setelah itu kami pun tenggelam dalam keheningan karena asyik membaca buku dan
majalah. Favoritku adalah buku cerita Karl Winnetou dan majalah Scala.
Mbak Rum dan Mas Kun orangnya gaul. Lagu-lagu yang didengarkan updated dan berselera.
Aku mengenal dan menyukai lagu-lagu barat karena Mbak Rum dan Mas Kun suka
mendengarkan radio yang memutar lagu-lagu barat. Penyanyi yang sering melintas di radio
adalah Chicago, Olivia Newton John, Stevie Wonder, ABBA, Peter Cetera, Freddie Mercury,
serta beberapa penyanyi Indonesia seperti Mus Mulyadi, Atiek CB, Gito Rollies. Acara favorit
kami waktu itu adalah Jogjakarta Top Hits, acara yang sampai sekarang masih eksis.
Saat SMP aku diajari main gitar oleh Mbak Rum menggunakan gitar hitam yang dibeli bapak
dari Jogja. Lagu pertama aku belajar gitar adalah Naik-naik ke Puncak Gunung. Aku rajin latihan
gitar. Ora ngerti wayah: esuk, awan, wengi, sore sampai dikomen oleh Mas Wahyo: Arep pentas
po kok mempeng le latihan?
Mas Wang juga suka gitaran sambil menyanyikan agu-lagunya Iwan Fals dan Franky Sahilatua.
Tidak ada lagu lain. Mungkin bagi Mas Wang lagu-lagu lain dianggap haram.
Mas Wang suka bermain gitar sambil main harmonika. Semua anak dalam keluarga bisa
bermain gitar.
Pada kiprah kegiatan gereja ketika sudah dewasa, Mas Wik, Mbak Rum, dan Mas Gandung
adalah pelatih koor di lingkungan St. Ignatius Minomartani secara bergantian. Ketika Mas Wik
masih tinggal di Mino, dialah pelatihnya. Ketika Mas Wik pindah rumah, Mbak Rum yang jadi
pelatih. Ketika Mbak Rum pindah rumah ke Paten, Mas Gandung yang jadi pelatih koor
lingkungan. Sampai sekarang yang jadi misteri adalah mengapa dari Mbak Rum langsung
lompat ke Mas Gandung, bukan aku, padahal aku tidak bisa melatih.
Back to cedis, sewaktu aku, Mas Gandung, Mas Nanung masih SD kami sering mengisi acara
syawalan yang diadakan oleh dinas pendidikan kecamatan Semanu. Pentas yang kami lakonkan
adalah Panakawan, dengan dilatih bapak tentunya. Mas Gandung jadi Gareng, Mas Nanung jadi
Bagong, dan aku memerankan Semar. Kami juga pernah mementaskan lakon Abunawas. Ada
dua hal yang menyiksa ketika akan pentas. Pertama, saat memakai jarik pasti diabani
"klengketke! " Perut harus ditarik kedalam dengan menahan nafas kemudian dipasang jarik dan
stagen dengan kencang agar jarik tidak melorot. Kedua, kalau sudah pakai benges (lipstik) tidak
berani makan dan minum, takut bengesnya hilang. Jangankan makan minum, mingkem saja
tidak berani.
Oleh
Sembret Kunjana
DIBUANG AMRIH BASUKI
Aku anak laki-laki yang lahir dari seorang ibu bernama Francisca Romana Samini dan bapak
Franciscus Xaverius Hermaya pada hari Jumat Paing,10 Februari 1961 di rumah sakit Pugeran
dengan nama Tjatur Subagya Murdowo. Dibesarkan di Padokan Kidul Dk.VII Kelurahan
Tirtonirmolo Kec.Kasian Kab. Bantul. Bapak menjadi guru bantu di SD Negeri Padokan I
Cempung. Gedung sekolah belum ada masih numpang di rumah warga (mbah Haji) tidak jauh
dari kali Bedog.
Orang tua kontrak rumah milik Pak Pawiro Surip berdekatan dengan mbok Mangun istri Pak
Mangun. Mbok Mangun sering membantu asah-asah, nyapu dan masak di rumah juga
mengasuh dan menggendong aku bagai saudara bagi keluarga. Mas Wi masih umur 4 tahun dan
mas Tri 2 tahun ketika aku lahir. Kehidupan keluarga boleh dibilang makmur berkecukupan
karena bapak sambil kerja di asuransi Bumi Putera dengan penghasilan boleh dibilang lumayan.
Masa kecilku sering sakit-sakitan. Aku sering berobat ke rumah sakit bahkan opname. Pulang
dari rumah sakit tak lama kemudian kambuh lagi, penyakit menyerang silih berganti. Sampai
orang tua judeg karena aku bola-bali sakit. Akhirnya ada musyawarah keluarga. Eyang
menyarankan kepada bapak untuk memisahkan aku dari orang tua sebagai sarana
penyembuhan. Menurut kepercayaan Jawa kalau neptone padha antara anak dan bapak harus
dipisahkan supaya tidak rebutan awu. Lalu diputuskan bahwa aku diberikan kepada mbok
Mangun untuk dimong.
Diutuslah Lik Rabiyo untuk memanggil mbok Mangun menghadap Bapak dan Eyang. Lik Rabiyo
adalah adik laki-laki ibu. Pergilah Lik Rabiyo ke rumah mbok Mangun.
Sesampainya di rumah mbok Mangun Lik Rabiyo berkata,”Mbok kula diutus mas Her supados
njenengan sowan, ngendikanipun penting sanget.”
Mbok Mangun,”Lho onten napa mas kok nimbali kula?”
Lik Rabiyo,”Nggih duka wong ngendikanipun penting kok.”
Mbok Mangun,”O nggih nek ngaten kula tak klamben riyin.”
Mbok Mangun kemudian menghadap bapak dan Eyang.
Mbok Mangun,”Kula nuwun. Onten napa kok ndalu-ndalu ngaten nimbali kula?”
Bapak,”Ngaten mbok. Sampun dangu Tjatur sering lelaranen. Mila kangge sarana kedah dipisah
dimomong tiyang sanes, mugi enggal pinaringan bagas kesarasan.”
Mbok Mangun,”Lajeng dospundi?”
Bapak,”Umpami lare punika kula paringke mbok Mangun dospundi? Purun mboten?”
Mbok Mangun,”Estu napa?”
Bapak,”Nggih tenan ta, mugi samangke dimong mbok Mangun saget waras wiris. Niki kangge
sarana supados ilang le lelaranen.”
Atas saran dari Eyang namaku diganti Basuki.
Mbok Mangun merasa sangat bahagia karena dengan mengasuh anak bias mengusir rasa sepi
hanya berdua dengan Pak Mangun karena Mas Sutoto ikut tantenya ke Singaraja, Bali. Sesudah
SMP baru kembali ke Padokan. Mas Totok adalah anak gawan Mbok Mangun hasil pernikahan
dengan suami pertama orang yang berasal dari Plurugan sebelah utara Padokan Lor.
Pernikahan dengan Pak Mangun tidak memiliki keturunan. Kasih sayang kepadaku kadang
melebihi anak kandungnya.
Dituturkan oleh: Mas Bas
PAK-MBOK MANGUN DAN KELAHIRAN DUA CEDIS
Konon pada waktu masih sangat belia Mas Bas "dibuang" dan diasuh oleh keluarga Pak Mangun.
Mas Bas "dibuang" sesuai ritual Jawa karena netonnya sama dengan Bapak sehingga sering
sakit-sakitan. Mas Bas diganti namanya dari Catur Subagya Murdawa menjadi Basuki. Basuki
dalam bahasa Jawa artinya selamat, sedangkan dalam bahasa Indonesia artinya pembawa
keberuntungan. Mas Bas tinggal bersama keluarga Pak Mangun di Padokan, sebelah barat PG
Madukismo. Sewaktu kecil aku beberapa kali diajak ke rumah Pak Mangun. Aku diajak Mas Bas
dan Mas Totok main di Kali Bedog untuk ciblon. Mbok Mangun orangnya ramah dan semanak.
Mas Bas menjadi saksi kebaikan Pak dan Mbok Mangun kepada keluarga Hermaya pada saat
kelahiran Mas Wang dan aku.
Kesaksian Mas Bas dituturkan pada kisah berikut.
Wektu kuwi tahun 1967. Umurku 6 tahun. Aku weruh simbok ngetoke jarik 2 isih anyar dibuntel
taplak terus nyidhuk beras 3 beruk (sekitar 3-4kg) diwadhahi kanthong gandum terus dicaoske
Pak Her karo buntelan isi dhuit mbuh piro aku ora ngerti.
Pak Her pamit Bapak lan Simbok terus kondur nitih pit. Bareng Pak Her wis ora ketok aku takon
simbok.
Aku : Mbok ngapa kok nyaosi Pak Her jarik, beras karo dhuit?
Simbok : Adhimu lair neng Sentolo ora kuat nebus
Aku : Adhiku sapa mbok, aku rak anake simbok to? Aku ra duwe adhi....
Simbok : Kowe ki janjane anake Pak Her, dudu anakku (simbok njlentrehke)
Aku : (isih maido) dudu...aku dudu anake Pak Her......aku anake simbok (aku protes karo
mbrebes mili)
Simbok ngeneng-nengi aku.
"Yo wis, kowe anaku, rasah nangis yo...."
Iki penggalan crita kala lahire Mas Wang.
Rong taun candhake 1969
Sore udakara jam 3 Mas Wik sowan mbok Mangun neng Padokan karo ngaturake layang saka
Pak Her (bapak). Gandheng mbok Mangun ora bisa maos terus aku sing maca. Surasane layang
nyuwun bantu pitulungan lahire mas Gendhut (om Banu) ya kaya sing 2 tahun kepungkur caos
bantuan.
Sawetara wektu dicawiske maem.
Simbok : Nggo den Joko dhahar riyin rak nggih pun ngelih to? (Mas Wik biyen diundang Joko)
Mas Wik : Nggih mbok matur nuwun
(gage lenggah kursi ngadhep meja makan krasa dhahar enak)
Sawise dhahar ngloroti piring lan sak panunggalane arep asah-asah ning mbok Mangun
menging.
Simbok : Nggih niki kula ming isa mbantu niki lho den.(karo ngulungke jarik, beras lan duit)
Mas Wik : Nggih mbok niki kemawon pun matur nuwun sanget.
Simbok : Nggih diaturke bapak kula ra isa sowan ngrika, lha pripun malih wong dodol ratengan
nggih ngaten niki.
Mas Wik : Sampun cekap kula nyuwun pamit mindhak kedalon, mbok.
Simbok : Oh...nggih ngatos-ngatos lho den.
Mas Wik : Nggih mbok.
Mas Wik nyedhaki aku arep pamit.
"Wis ya mas Bas aku arep kondur."
Mas Wik maringi tanda salib ana bathukku karo ngambung pipiku kiwa tengan.
Aku mung meneng wae wong angger dipamiti mbrebes mili.
Mas Wik nyengklak pit nggendring kondur Gamplong ngasta bantuan seka keluarga Pak
Mangun kanggo kelairane Mas Gendut neng Gamplong. Ya mung Mas Gendut sing laire dibantu
dhukun, dudu bidan. Mulane bocah iki sangar merga wiwit lair ceprot wis urusan karo dhukun.
Oleh:
Sembret Kunjana
*Berdasar kesaksian Mas Bas dan buku KEH tulisan Mas Wik.
CEDIS-CEDIS BELAJAR SIKAP KSATRIA
Suatu malam aku berjalan bersama bapak dan beberapa orang. Waktu itu kami akan latihan
kesenian di rumah Pak Noto. Bapak berjalan di depan. Aku di belakang bapak selang satu orang.
Ketika akan masuk gerbang halaman, Sutar mengkal batu. Waktu itu memang anak-anak
sedang senang-senangnya main pengkal watu. Caranya adalan dengan menempatkan kaki
kanan di belakang kaki kiri. Jempol kaki kanan digunakan untuk melontarkan batu ke arah kiri.
Sutar berada di kananku. Ketika dia mengkal batu, batu mengenai mata kaki kiriku. Mak
theeenggg... Sakit banget. Aku nangis. Bapak berhenti dan menoleh ke belakang.
"Ora nangis!"
Aku yang waktu itu masih SD kelas IV berusaha menahan tangis dan sakit. Cedis belajar jadi
bandel (jawa: tangguh, tidak cemen).
Suatu hari Mas Nanung dan teman-temannya sedang mancing di telaga. Ada temannya yang
bernama Triyono Jenggleng. Rumahnya di selatan telaga. Nampaknya dia sudah jenuh mancing
karena umpannya tidak kunjung disambar ikan. Dia kemudian memutar-mutar gayahan
(walesan). Celakanya pancing nyangkut di lengan kiri Mas Nanung yang waktu itu masih kelas II
SD kalau tidak salah. Pastinya saki. Mas Nanung dibawa pulang. Bapak baru saja tindakan. Mas
Nanung baru diperiksakan ketika bapak kondur sore harinya.
Malam harinya Triyono datang diantar ke rumah oleh bapaknya untuk meminta maaf. Bapak
tidak marah namun memaafkan karena orang tua Triyono mau datang dan mengakui
kesalahannya. Cedis belajar sikap memaafkan.
Peristiwa serupa terjadi ketika keluarga tinggal di Jeruksari. Mas Gandung bermain bersama
Jaya dan Endro. Jaya ini dulu ketika ulang tahun diberi kado sama Mas Nanung. Mas Nanung
mengulurkan kado sembari bilang,"Nyo Ya.... " ☺☺☺
Mereka bertiga main di sebelah rumah seorang simbah-simbah yang tinggal di selatan rumah
kami. Sampai akhirnya mereka iseng-iseng melempari rumah simbah tersebut dengan kerikil.
Nampaknya simbah tersebut wadul pada bapak ketika bapak sudah kondur. Bapak kemudian
menyusul Mas Gandung ke warung dimana ibu berjualan. Mas Gandung yang kala itu masih TK
dijewer dan dicengkiwing bapak menuju rumah simbah tersebut. Bapak tidak mau memintakan
maaf atas kesalahan Mas Gandung. Mas Gandung sendiri yang harus meminta maaf atas
kesalahan yang dilakukan. Cedis ini belajar untuk bersikap ksatria.
Oleh:
Sembret Kunjana
PANGANAN JAMAN RA ENAK
Kreasi kuliner bukanlah hal asing bagi kami, terutama ketika kami pindah ke Mijahan. Disini
kami mengenal bahwa belalang, uler jati dan uler besi (ulat pohon besi) enak dimakan. Pun
demikian dengan sompil (kerang kecil-kecil seukuran kacang atom) yang ditemukan di bebatuan
dasar telaga. Kuliner ular dan bekicot diperkenalkan oleh Mas Tri dan Mas Bas.
Awalnya aku geli memegang uler besi meskipun sebelumnya sudah belajar dengan mengamati
cara penduduk setempat dalam memegang, memasak, dan mengkonsumsi. Suatu kali aku
bermain bersama Seska di tepi telaga waktu dia masih usia 2 tahunan. Seska melempari kerikil
ke telaga. Dia merasa senang. Tiap kali melempar dia tertawa. Habis melempar kerikil ke telaga,
dia aku beri kerikil lain. Kadang aku beri kreweng. Setelah berkali-kali melempar aku berniat
untuk berimprovisasi. Aku ambil benda untuk dilempar dan aku ulurkan ke Seska. Dia terima
benda itu dengan tangan kanan. Dia sudah siap melempar, tapi urung. Mungkin Seska merasa
ada yang aneh dengan benda di genggamannya. Kok gerak-gerak. Dia buka telapak tangannya.
Melihat benda yang ada di tangannya, Seska begidik-begidik karena benda itu adalah uler besi.
Uler besi tidak menyebabkan gatal, hanya genyuk-genyuk.
Bahan pangan yang mudah didapat di Mijahan adalah singkong. Dulu kami sering membuat
makanan seperti lemet. Singkong dikupas kemudian diparut. Parutan singkong diberi sedikit
garam kemudian dibungkus dengan daun plikacu (daun kupu-kupu) dengan cara ditlangkupkan.
Parutan singkong yang sudah dibungkus kemudian dipanggang diatas kaleng tutup roti. Apinya
menggunakan ranting-ranting kayu kering yang dibakar dengan batu-batu sebagai tungku.
Hasilnya? Nikmaaat.... Antara kreatif dan nggragas.
Ibu pernah membuat lemet dalam jumlah banyak. Lemet dibuat berlapis dengan warna hijau,
putih, kuning, merah. Bahan ditaruh di angsang soblok. Ibu membuat lemet sambil masak sayur
dan lauk. Aku membantu ibu membuat lemet. Karena keburu lapar, aku nduliti bahan lemet.
Sedikit demi sedikit. Enak. Tapi lama-lama aku merasa kepalaku pening. Ternyata aku mendem.
Bicara tentang singkong aku teringat peristiwa makan tela pendhem (ubi jalar). Waktu itu aku
diajak bapak ke rumah pakdhe yang tinggal di Pakuncen. Pakdhe adalah seorang seniman.
Bapak sibuk berbincang-bincang dengan pakdhe. Aku duduk di sebelah bapak. Ketika bapak dan
pakdhe sedang berbincang, budhe masuk kamar tamu membawa suguhan. Budhe menaruh
segelas teh untuk bapak dan segelas teh lain untuk pakdhe. Cuma 2. Aku tidak disuguhi.
Mungkin karena aku masih kecil jadi tidak dihitung. Budhe kemudian meletakkan sepiring tela
pendhem godhog di meja. Beberapa saat kemudian bapak dan pakdhe ngunjuk teh.
"Ayo lik dimaem," kata pakdhe menyuruh aku menyantap tela pendhem.
"Gek dimaem," kata bapak.
Sejurus kemudian bapak dan pakdhe melanjutkan perbincangannya. Aku kemudian
menjulurkan tanganku untuk mengambil sepotong tela pendhem. "Waaah... Mesthi enuk,"
batinku.
Aku gigit tela itu dan aku kunyah lalu aku telan. Yang terjadi kemudian... tela mandeg di
tenggorokanku. Aku kesereden. Tela pendhem itu susah ditelan. Aku sampai melotot-melotot
sementara bapak dan pakdhe asyik ngobrol. Aku berusaha mati-matian untuk mendorong
masuk gigitan tela pendhem itu. Rasanya seperti sakratul maut. Mau minum tidak ada yang
diminum karena yang disuguhi hanya bapak.
Beruntung akhirnya aku bisa menelan gigitan tela pendhem itu. Duuuh... rasane jaman ra enak.
Oleh
Seret Kunjana
CEDIS NGGEMBOL WATU
Jarak rumah ke SD Kanisius Wonosari II sekitar 5km. Sekolah ini terletak di belakang gereja St.
Petrus Kanisius Wonosari. Di sebelah barat sekolah ada TK St. Theresia tempat Mas Nanung dan
Seska pernah sekolah. Di selatan gereja terdapat SMP Kanisius tempat mas Tri, mas Bas, mbak
Rum dan mas Nanung menempuh ilmu. Di sebelah timur gereja ada SPG Sanjaya tempat Mas
Tri belajar menjadi guru. Di sekolah ini Mas Tri menjadi ketua OSIS.
Aku berangkat dan pulang sekolah dengan jalan kaki. Biasanya ada barengan teman-teman SD
sampai sekitar proliman, markas Rekoprol alias Remaja Kompleks Proliman.
Selepas dari situ aku bersama mas Wang dan mas Gandung sudah tidak ada barengan teman
sekolah lagi. Dalam perjalanan kami kadang kebelet, pengin BAB. Namanya juga masih anak
kecil. Kami harus jalan super cepat agar bisa segera sampai rumah "dengan selamat". Bapak
memberi tips untuk bisa menahan BAB sampai rumah, yaitu dengan ngesaki watu item
(mengantongi batu di saku celana). Benar juga, suatu kali ketika aku kebelet dalam perjalanan
pulang, aku ambil watu item dan aku kantongi, rasa kebelet hilang dan selamat sampai rumah.
Tips bapak manjur.
Ketika SD-SMA aku kadang mengalami anyang-anyangen. Gejala itu sering aku alami kalau habis
kecapekan main bola. Gejala lain adalah kram betis. Anyang-anyangen aku rasakan malam hari
sekitar pukul 10 atau 11. Aku jengkel karena harus keluar masuk rumah untuk pipis. Tidur pun
jadi tak nyenyak. Apalagi waktu itu aku tidur di tempat tidur susun dan aku tidur di bed atas.
"Ngapa nDut kok meta-metu?" tanya ibu.
"Anyang-anyangen," jawabku.
"Wetenge diolesi minyak angin. Terus jempol sikilmu talenana merang. Mengko rak mari," kata
ibu memberi saran.
Aku lakukan apa yang disarankan ibu. Lambat laun anyang-anyangen hilang, demam turun dan
aku merasa nyaman. Tips ibu manjur.
Aku dulu boleh dibilang tekun belajar. Aku kadang iri dengan beberapa temanku yang
nampaknya tidak rajin tapi nilainya bagus, karena mereka cerdas. Aku merasa tidak cerdas
maka aku harus tekun.
"Bapak ibu ora bisa menehi warisan banda. Isane nyekolahke anak-anakke bapak ben isa
mandiri. Sesuk arep sukses apa ora gumantung usahamu. Bapak karo ibu mung bisa
nyekolahke," pesan bapak suatu hari.
Selama sekolah di SMA, aku gunakan buku-buku bekas dan aku ambil lembaran-lembaran yang
kosong. Buku ini aku bawa tiap hari ke sekolah untuk mencatat semua pelajaran hari itu, di satu
buku. Sesampai di rumah ketika saatnya belajar, bisa sore atau malam jam 7, aku salin catatan
di buku tersebut ke buku-buku tulis tiap mata pelajaran. Dengan begitu hari itu aku belajar dua
kali, di sekolah dan di rumah. Selain itu, buku catatanku jadi lengkap dan rapi. Suatu malam aku
menyiapkan diri untuk ulangan keesokan harinya. Materi yang harus dipelajari lumayan banyak.
Aku belajar sampai larut malam.
"Kok durung bobok?" tanya bapak.
"Sesuk ulangan. Le sinau durung rampung," jawabku.
"Nek wis kesel leren le sinau, diteruske sesuk esuk," lanjut bapak.
"Aku wedi nek kerinan dadi malah le sinau ra rampung," kataku menjelaskan.
"Sakdurunge bobok, wudelmu oser-oserana curekmu. Terus sembayang, matur Gusti sesuk
pengin digugah jam pira," saran bapak. Waktu itu belum ada alarm.
Aku turuti apa yang dikatakan bapak. Daaan....esok paginya aku bangun jam 4 seperti yang aku
harapkan.
Oleh:
Sembret Kunjana
NATALAN BERSAMA FRATER TRI WIRATMAYA
Setiap natal bapak selalu mengajak anak-anak merayakan bersama-sama terutama pada misa
malam Natal (Vigili). Kami biasanya mengikuti misa terakhir yang usai sekitar pukul 11 malam.
Waktu itu tidak ada kendaraan, jadi kami jalan kaki dari rumah ke gereja pergi pulang. Ketika
pulang dari gereja kami berjalan berbondong-bondong bersama umat lain yang satu arah.
Semakin ke timur umat yang bersama kami semakin sedikit. Selepas perempatan Baleharjo
wetan tinggal kami sekeluarga. Kami melanjutkan perjalanan dengan mendorong stroller secara
bergantian karena waktu itu Seska masih bayi. Sampai di puncak Ngangkruk kami berhenti
untuk sekadar melepas lelah setelah tanjakan yang tinggi sambil menikmati langit malam yang
cerah.
Mas Tri setelah menyelesaikan studi di SPG Sanjaya Wonosari kemudian melanjutkan ke
Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan dan masuk program Kelas Persiapan Atas
karena lulusan SLTA. Mas Wik juga pernah belajar di seminari ini. Setelah menyelesaikan
seminari menengah Mas Tri melanjutkan ke Seminari Tinggi St. Paulus di Kentungan hingga
memasuki Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Seminari Sanjaya, Jangli Semarang. Tempat ini
diperuntukkan bagi para calon imam Projo Keuskupan Agung Semarang. Mas Tri yang bernama
asli Tri Murdawa Santosa ketika menjadi frater menggunakan nama Tri Wiratmaya. Bapak yang
memberi nama tersebut. Ketika perayaan Natal dan Paskah Frater Tri Wiratmaya diberi
kesempatan oleh romo untuk berada di panti imam dengan mengenakan jubah putih. Pada
perayaan Malam Paskah Fr. Tri Wiratmaya pernah dipercaya untuk membawa salib dan
melantunkan upacara cahaya dengan lagu "Pepadhang Dalem Sang Kristus".
Selepas misa, Fr. Tri Wiratmaya berdiri di samping romo untuk menyalami umat yang akan
pulang. Aku berada tidak jauh dari tempat itu sambil mengamati Frater Tri dengan perasaan
haru dan bangga.
SUGENG NATAL KELUARGA TRAH HERMAYA.
Oleh:
Sembret Kunjana
PENITI PHOBIA
Phobia adalah ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu atau keadaan.
Aku punya phobia terhadap lenga mambu (minyak tanah). Awal mula terjadi phobia ini adalah
ketika suatu sore aku berada di teras tetangga. Waktu itu kami tinggal di Baleharjo. Aku masih
kelas I SD. Keadaan sudah gelap. Ketika aku sedang duduk di teras, datanglah seorang
perempuan berkulit gelap, berbadan besar, berambut keriting, memakai daster. Ketika dia
mendekat, aku mencium bau minyak tanah. Tiba-tiba perutku terasa mual dan aku ingin
muntah. Entah waktu itu aku sedang masuk angin atau apa, yang jelas sejak itu aku jika
mencium bau minyak tanah merasa mual.
Mbak Rum punya phobia pocong. Suatu malam kami sedang kumpul di ruang tengah, ngobrol
dan canda. Disitu ada Mbak Rum, Mas Kun, Mas Wang, Mas Gandung dan aku. Mas Nanung
juga ada tapi barangkali tidak ikut ngobrol karena belum cukup umur.
Ketika mereka sedang asyik ngobrol, aku diam-diam masuk kamar. Kamarku ada di pojok yang
sekarang digunakan untuk menaruh meja setrika. Aku kemudian keluar kamar sambil
membopong guling yang aku selimuti kamli (selimut putih motif lurik yang biasa digunakan di
rumah sakit). Aku jalan pelan-pelan sambil berdehem. Mbak Rum melihat ke arahku dan
menjerit.
"Aaaaah... "
Mungkin yang dibayangkan adalah pocong.
Phobia yang paling fenomenal adalah phobia peniti yang dialami Mas Wang. Cerita awalnya
sampai Mas Wang phobia peniti aku tidak tahu.
Pada suatu siang kami sedang berada di rumah mbak Rum di Jl. Gurameh I/3. Ketika kami
sedang sibuk dengan aktivitas kami masing-masing mendadak terdengar suara motor berhenti
di depan rumah. Yang datang adalah Mas Wang bersama dengan mbak Kentin dengan
mengendarai Yamaha bebek V 80 Robot. Mas Wang datang tergopoh-gopoh. Ciiiit... Jeglek...
Gedebug-gedebug... Hoooeeek..... Hoeeeeek. Mas Wang muntah-muntah di kamar mandi.
Setelah keadaan reda, mbak Kentin cerita kalau waktu mencoba baju pengantin, Mas Wang
melihat ada peniti di baju pengantinnya. Makanya dia langsung lari lintang pukang.
Oleh:
Sembret Kunjana
CELANA KOMUNI PERTAMA
Komuni pertama aku terima di gereja St. Petrus Kanisius Wonosari. Waktu itu aku kelas III SD.
Pelajaran komuni pertama aku ikuti sore hari di gereja.
Suatu sore aku bersama dengan 3 temanku mencari suster sebelum pelajaran komuni pertama,
waktu itu istilahnya wulangan. Kami mencari di susteran yang letakknya di utara SMP Kanisius.
Kami masuk ke lorong kompleks susteran. Belum jauh kami masuk lorong, kami melihat anjing
susteran di ujung lorong.
Temanku bilang,"Rapopo. Rasah wedi. Mengko rasah mlayu."
Anjing itu melihat kami dan mulai bangkit. Terdengar suara kuku yang menyentuh jobin (lantai
abu-abu).
Kami berbalik.
"Rasah mlayu," kata temanku sambil jalan agak cepat.
Ketika dia sudah di depan dia langsung lari.
Woooh...trondolo...kurang ajaaar...
Anjing itu mengejar kami. Kami lari kencang, sekencang-kencangnya. Aku yang lemu ipel-ipel
lari paling belakang. Sampai di teras SMP Kanisius kami tersusul. Betisku sempat diendus meski
tidak digigit. Rasanya anyep kena liurnya.
Anjing itu berhenti dan kami terus berlari sampai halaman gereja. Ketika sudah dirasa aman,
kami berhenti. Lututku masih gemetaran. Ngewel.
Pelajaran komuni pertamaku didampingi oleh Sr. Neria OP. Suster ini adalah favorit anak-anak
SD Kanisius. Tiap kali suster datang anak-anak pasti teriak... "Susteeeeerrr...."
Pelajaran komuni sudah aku tuntaskan dan waktunya untuk menerima komuni pertama.
Komuni pertama adalah momen paling berharga dan berkesan bagi anak katolik. Anak katolik
penasaran tiap kali misa dan melihat orang dewasa menerima komuni. Komuni pertama adalah
saat yang dinanti-nanti.
Ibu membuat sendiri celana putih untukku. Celana pendek. Ibu membuat pola dan memotong
kainnya. Ketika kain hendak dijahit, ibu baru menyadari kalau ibu keliru membuat polanya. Kain
luar dan dalamnya terbalik. Namun apa boleh buat. Kain sudah terlanjur dipotong dan tidak ada
kain cadangan. Maka jadilah celana dengan saku arah terbalik. Harusnya arah saku dari dalam
keluar, celanaku sakunya dari luar ke dalam. Mingkup. Awalnya aku malu memakainya, namun
belakangan celana itu malah menambah kesan pada komuni pertamaku. Hingga sekarang.
SUGENG NATAL IBU.
We love you, as always. Aku sudah mulai kangen ibu.
Oleh:
Sembret Kunjana
WANG AENG HUNG
Wang Aeng-Hung adalah plesetan dari tokoh film kungfu Wong Fei-Hung.
Dalam keluarga Mas Wang adalah seorang jagoan bukan karena suka berkelahi tapi karena
badannya besar. Mas Wang sempat dijuluki Hulk.
Mas Wang adalah anak yang anti mainstream. Pendapat dan pemikirannya acapkali beda
dengan anak-anak lainnya. Saking anehnya bapak kadang bilang kalau Mas Wang penemune
aeng (pendapatnya aneh).
Suatu kali ada perdebatan berkepanjangan tentang cara membaca. Waktu itu ada truk dengan
tulisan TARUNA DJAJA. Tulisan dalam ejaan lama tersebut dibaca taruna jaya. Mas Wang
berpendapat lain.
"Kuwi diwaca Taruna Jaja," sanggahnya.
"Ya ora. Kuwi ejaan lama. DJ diwaca J, nek J diwaca Y. Dadi macane Taruna Jaya," terang Mas Tri
dan Mbak Rum yang sudah lebih paham tentang bahasa. Mas Wang waktu itu baru awal bisa
membaca.
"Ya nek ngono le maca Taruna Yaya," lanjut Mas Wang tak mau kalah.
"Lha lak ngarepe ana D, Dj diwaca J. Dadi Ja," sambung Mas Tri.
"Lha ning J lak diwaca Y. Dadine Yaya," bantah Mas Wang penuh keyakinan.
Ya wis kono sak karep-karepmu. Sak bahagiamu.
Dalam pekerjaan, Mas Wang juga termasuk anti mainstream. Keputusannya untuk masuk ke
sekolah maritim yang waktu itu kampusnya terletak di Jl. Munggur menandakan hal itu. Mas
Wang mengenal sekolah ini dari Mas Tri karena Mas Tri pernah mengajar di sekolah ini. Setelah
lulus sekolah maritim, Mas Wang bekerja di pelayaran.
Mas Wang adalah pekerja keras. Pekerjaan di kapal barang adalah pekerjaan kasar yang
mengandalkan fisik. Tiap kali kapal mendarat, Mas Wang menggunakan waktu untuk mendapat
uang dari membantu bongkar muat barang. Dari pekerjaan inilah Mas Wang mampu membantu
ibu bahkan menjadi tulang punggung keluarga dan memiliki tabungan dan sebagian untuk
membeli tanah seluas 100m² di Warak.
Suatu hari Mas Wang pulang ke Minomartani. Waktu itu ibu tinggal di rumah Mbak Rum. Mas
Wang membawa pulang sebuah televisi besar merk Grundig berukuran 32 inch. Pasti berat
karena pada waktu itu yang ada baru TV tabung. Mas Wang sangat bersemangat untuk
membahagiakan ibu dan keluarga. Ya, Mas Wang adalah pribadi yang sregep tur gemi.
Ketika kerja di kapal, Mas Wang pernah meminta tolong ke aku untuk menerjemahkan sebuah
buku manual mesin kapal. Buku tersebut aku terjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia. Sekembalinya Mas Wang dari berlayar teks terjemahan sudah selesai. Teks
terjemahan aku ketik di lembaran kertas HVS. Mas Wang kemudian menjilid teks tersebut
menjadi sebuah buku.
Pada bagian sampul Mas Wang menulis: Diterjemahkan oleh R. V. Banu Hastha Kunjana.
Aku terharu dengan cara Mas Wang menghargai karyaku. ☺☺☺
Oleh:
Sembret Kunjana
NASGOR DALAM CEPUK B29
Sekitar tahun 1975 kami tinggal di dekat kantor Kepanewon Semanu. Di halaman kantor ini
terdapat sebuah pesawat televisi untuk umum. Pesawat televisi diletakkan pada sebuah
penyangga setinggi sekitar 2m. Masyarakat sekitar sering ngumpul untuk nobar acara
kethoprak disitu.
Di Semanu inilah aku mulai mengenyam sekolah. Aku disekolahkan di TK Pertiwi yang jaraknya
sekitar 400m dari rumah. Pada saat TK aku diikutkan lomba menggambar tingkat kabupaten
dan meraih Juara I. Yeeeee....
Hadiahnya adalah mangkok alumunium (mirip tempat makannya Chicho ). Penyerahan
hadiah dilakukan di pendapa Sanggar Bhakti yang terletak di utara kompleks pemda. Aku
dijemput Colt Station T120 ke rumah. Rasanya bahagiaaaa bisa naik mobil. Aku tidak ingat hasil
karyaku seperti apa tapi Mas Tri pernah cerita kalau gambarku berupa pemandangan. Menurut
Mas Tri, yang membuat karyaku juara adalah karena gunungnya satu, biasanya anak kalau
menggambar pemandangan selalu ada dua gunung, sawah, sungai, matahari, awan, dan
beberapa burung terbang. Mas Tri selalu bangga dengan keluarga.
Selepas TK aku disekolahkan di SD Kanisius Wonosari yang berjarak sekitar 15km dari rumah.
Pada saat itu tahun ajaran dimulai pada bulan Januari. Tiap pagi Mas Tri, Mbak Rum, Mas Kun,
Mas Wang, dan aku harus berangkat pagi-pagi benar biar tidak ketinggalan bus Baker. Awal aku
masuk SD, ibu membekali aku dengan uang untuk naik bus pulang dan nasi goreng yang
dimasukkan dalam cepuk bekas wadah sabun cuci merk B29. Bekal ini aku makan sepulang
sekolah sambil menunggu Mas Kun dan Mas Wang selesai sekolah karena aku belum berani
pulang sendiri. Setelah itu barulah kami naik bus/colt arah Munggi. Munggi adalah daerah di
Semanu dimana pasar dan terminal berada.
Pasar Munggi adalah tempat horor bagi Mas Wang dan aku karena disitu ada Mbah Dar. Mbah
Dar suka mencegat kami kalau kami lewat depan warungnya.
"Naaaaah...ikiii...," kata Mbah Dar, yang suka mengenakan celana kombor warna hitam dan
kaos oblong putih merk Swan, girang sambil mengejar kami.
Kami lari mlipir menjauhi warung. Tapi apa daya kami masih kecil. Tidak bisa berbuat banyak.
"Kecekel koweeee!!," teriak Mbah Dar.
Mbah Dar membopongku.
"Hoooro ketekuuukk. ..hooooro ketekuuuuk...," kata Mbah Dar menirukan suara burung
perkutut sambil memainkan burungku.
Mas Wang dan aku selalu jadi target operasi tiap kali lewat tempat itu.
Kegiatan tunggu menunggu ketika pulang sekolah berlanjut ketika aku duduk di bangku SMP.
Sepeda aku titipkan di rumah Eyang Yogo yang rumahnya di sebelah barat gereja. Mas Gandung
dan Mas Nanung setia menunggu aku pulang. Setelah aku sampai disitu, kami pun pulang
berboncengan bertiga ke Mijahan. Tak jarang Mas Gandung dan Mas Nanung menunggu
dengan perut keroncongan karena tidak ada bekal.
Bonceng membonceng juga berlanjut bahkan ketika aku sudah kuliah. Mas Gandung acapkali
mau tak mau, rela tak rela bangun jam 03.30 pagi untuk mengantar aku ke Wonosari naik
sepeda ketika aku akan berangkat ke Jogja lagi untuk kuliah di Senin pagi. Pada waktu itu
terminalnya berada di depan pasar Argosari. Sepulang dari mengantar, Mas Gandung mandi
dan bersiap untuk sekolah di SMAN 2. Naik sepeda lagi.
Oleh:
Sembret Kunjana
PITHIL JAGUNG
Keluarga Pak Noto adalah tuan tanah. Tanah milik keluarga itu berada dimana-mana. Banyak
yang ditanami pohon jati sebagai investasi. Sebagian digunakan sebagai pertanian dengan
sistem tadah hujan. Ketika musim panen, hasil panenan berupa jagung, kacang tanah, padi, dan
kedelai berlimpah. Hasil panenan tersebut dijemur diatas kepang di halaman rumah. Setelah
kering, jagung dan kacang tanah dipithili (biji jagung dipisah dari bonggol/janggelnya, kacang
tanah diambil dari batangnya). Warga sekitar jadi buruh pithil jagung atau kacang dengan upah
dihitung per kg hasil.
Aku bersama dengan teman-teman mainku juga ikut buruh pithil. Uangnya lumayan buat jajan
atau beli gambar untuk tekpo atau jemeh. Aku semangat untuk pithil jagung. Tahu-tahu jempol
kananku kulitnya mengelupas. Rasanya perih.
"Athik nganggo jempol neh. Mlicet. Nganggo janggel," ujar temanku.
Maklum itu kali pertama aku pithil jagung.
"Carane ngene iki. Delok. Jagunge sak baris dipithili. Terus bar kuwi digosrok nganggo janggel.
Ngene iki. Cobanen," lanjut temanku sambil memperagakan. Aku mencobanya. Ternyata
mudah dan cepat.
Sebetulnya bapak dan ibu tidak akan mengizinkan aku ikut buruh pithil karena bapak sangat
menjaga praja. Tapi aku diam-diam ikut buruh, ikut-ikutan teman-temanku.
Hal lain yang pasti akan dilarang bapak dan ibu adalah ikut truk Pak Noto karena berbahaya.
Pak Noto adalah blantik atau penjual sapi. Sapi di kandang ada sekitar 60 ekor. Kotoran sapi
dikumpulkan di satu kandang untuk keperluan sendiri atau untuk dijual sebagai pupuk. Sapi-
sapi ini membutuhkan pakan yang banyak. Pegawai Pak Noto biasanya membeli pakan berupa
daun jagung di berbagai tempat di Gunungkidul dengan menggunakan truk. Kalau jarak dekat
biasanya sopirnya memperbolehkan anak-anak untuk ikut.
Suatu sore aku ikut truk untuk ambil pakan di Munggi bersama dengan anak-anak lain. Kami
naik melalui samping dengan cara memanjat ban kemudian ke bak truk, lalu masuk. Truk
kemudian melaju ke timur menuju Munggi. Setelah sampai, truk dimuati pakan berupa
tanaman dan pohon jagung. Setelah penuh kami pun naik dan duduk diatas pakan tersebut.
Truk melaju dan kami merasakan sensasi tiupan angin kencang yang menerpa muka dan badan
kami.
Truk pun tiba kembali di halaman rumah Pak Noto. Kami turun dari truk dan para pegawai
menurunkan pakan dari atas bak truk.
Setelah beberapa saat aku baru merasakan gatal-gatal di paha, pantat, tangan, dan tubuhku
karena duduk diatas daun jagung. Aku pun terus pulang dan nyegur telaga untuk mandi.
Untung tidak ketahuan bapak. Kalau ketahuan pasti didukani, itu kalau beruntung. Kalau lagi
sial ya disabet.
Tak apalah, sekali-sekali mbeling. Masak yang boleh mbeling cuma Mas Kun. Yang boleh aeng
cuma Mas Wang. Yang boleh ndhendheng cuma Mas Gandung. ✌✌✌✌
Oleh:
Sembret Kunjana
NJAREM SAMPAI CANGKLAKAN
Mas Gandung, Mas Nanung, dan aku adalah trio cedis yang paling suka berburu walang.
Dijedhet suthang adalah hal biasa, meski tetap sakit tapi kami sudah tahu tekniknya. Waktu
favorit untuk berburu walang adalah ketika hujan sudah agak reda. Biasanya ketika habis hujan
walang terbangnya lebih pelan dan tidak bisa terbang tinggi karena sayapnya basah. Walang
biasanya hinggap di pohon turi, bisa di batang, dahan, atau ranting yang merupakan tempat
yang baik untuk berkamuflase. Walang kayu berwarna coklat. Walang yang relatif mudah
ditangkap adalah walang yang sedang gancet/kawin. Apalagi kalau sedang hujan. Pohon turi
digedhok dengan kaki. Dengan hentakan beruntun walang gancet akan jatuh dan tinggal
ditubruk. Suthang dan bulunya diambil kemudian walang disandhati dengan ranting manding.
Ranting manding yang daunnya sudah dibuang kemudian diselipkan melalui leher walang.
Kami punya teknik lain agar berburu walang menjadi lebih mudah yakni menggunakan raket.
Raket digunakan untuk mencegat atau mengejar belalang yang terbang. Kalau walangnya
terbang agak tinggi kami perlu melompat. Memukul (nyemesh) walang perlu kekuatan yang
tepat karena kalau terlalu kuat walang akan hancur, tapi kalau terlalu pelan walang akan lolos.
Walang dimasak dengan dibuang isi perutnya lebih dahulu. Caranya dengan menarik kepalanya.
Dengan begitu usus dan kotoran akan ikut tertarik keluar. Setelah itu walang dicuci kemudian
digoreng. Masakan favorit kami adalah sambel walang. Cara membuatnya seperti membuat
sambel tempe. Biasanya kami masak sendiri. Kami beruntung bisa masak karena sejak kecil
bapak mendidik kami untuk membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah seperti nyapu,
ngepel, cuci baju, cuci piring, dan memasak. Sambel walang rasanya lezat banget. Ini yang bikin
ibu was-was karena trio cedis ini makannya sedikit tapi nambahnya banyaaak.
Suatu sore ketika hujan mulai reda kami berangkat berburu walang. Kami menyusuri tegalan
arah barat. Hujan rintik-rintik memudahkan kami untuk menangkap walang. Kami berhasil
menangkap beberapa walang dan kami sandati. Belum banyak memang karena baru menjelajah
beberapa tempat. Sampailah kami di tegalan dekat wates. Yang dimaksud wates adalah gapura
yang merupakan batas antara kecamatan Wonosari dan Semanu. Aku melihat ada walang di
dahan pohon turi yang batangnya seukuran lengan orang dewasa. Pohon aku tiyungke (ditarik)
agar aku bisa meraih walang tersebut. Satu tekukan... dua tekukan daaan... nyaaasss. Jari
tengahku terasa sakit dan panas. Ternyata ada seekor kalajengking yang menyengat (ngentup)
jariku.
Rasanya sakit sekali. Harusnya jari aku tali dengan karet gelang agar racunnya tidak menjalar.
Tapi apa daya aku berada di tengah alas. Aku memutuskan untuk bergegas pulang sambil
memegangi pergelangan tanganku. Aku baru dapat tangkapan beberapa ekor tapi aku sudah
tidak kuat menahan sakit.
Sesampai di rumah aku langsung mandi. Setelah badan bersih dan kering aku olesi jariku
dengan minyak kayu putih. Jari aku ikat menggunakan karet gelang. Aku demam. Rasa njarem
terasa dari pergelangan sampai ketiak. Kaku.
Pengalaman serupa aku dapatkan ketika aku dipatil lele lokal. Dulu di pinggir jalan depan
halaman ada buk. Di bawah buk ada gorong-gorong yang merupakan aliran limpahan air telaga.
Pada saat kemarau ada genangan air di bawah buk. Aku iseng-iseng turun. Ternyata di situ ada
ikannya. Aku langsung mengambil ember dan mulai gogoh. Girang rasanya dapat rejeki
nomplok. Aku berhasil menangkap ikan gabus (kutuk), mujair, tawes, dan lele lokal. Aku
tangkap ikan lele dengan tangan kananku. Tiba-tiba.... jedheeet. Jariku kena patil. Aku kaget
tapi masih meneruskan gogoh. Beberapa waktu kemudian aku merasakan rasa sakit yang makin
kuat di jariku. Malamnya aku demam dan tangan kananku njarem sampai ketiak (cangklakan).
Oleh:
Sembret Kunjana
WEDESING
"Organisasien" ucapku ketika belajar reading.
"Kuwi macane ORGENAISEISIEN" timpal Mbak Rum membetulkan pelafalan (pronunciation)
kata organization.
Minatku untuk bisa bahasa Inggris sudah ada sejak kecil. Mas Wang, Mas Gandung, dan aku
ketika usia SD suka menonton film Combat, film tentang perang. Film ini tayang di hari Minggu,
selang-seling dengan film The Little House on the Prairie. Kami biasanya sudah siap di depan TV
untuk menonton film Combat, tapi kadang kecewa karena yang tayang film The Little House.
Kami sudah membayangkan aksi tembak-tembakan dan perkelahian ternyata yang muncul film
lain. Menunggu aksi laga di film The Little House itu seperti mendung tanpo udan
alias tidak kunjung muncul. Kalaupun ada aksi Michael Landon dalam bertarung wagu alias
ackward.
Ketika Mas Wang, Mas Gandung, dan aku main perang-perangan menirukan adegan dalam film
Combat, aku sering menirukan dialog dalam film. Tapi karena tidak tahu dialognya dan tidak
paham bahasa Inggris maka yang keluar dari mulutku adalah wedesing...wedesing...wadesong.
Mas Wang dan Mas Gandung mengangguk tanda paham.
Tahun 1982 aku masuk SMPN 1 Wonosari. Disinilah aku mulai belajar bahasa Inggris. Guru
bahasa Inggrisku yang pertama adalah Bu Kusdarini. Guru muda berkacamata ini disukai oleh
para siswa karena cara mengajar dan cara berkomunikasinya yang menarik. Karena aku
memang sudah berminat belajar bahasa Inggris sejak kecil, maka aku termasuk siswa yang aktif
di kelas.
Bu Kusdarini sering memberi kesempatan pada para murid untuk menirukan, membaca, atau
menjawab.
"Next, Banu...," kata Bu Kusdarini menyuruhku.
"Yeeeee..... ," tepuk tangan dan teriak teman-teman sekelasku bergemuruh.
Aku dipacokke sama Bu Kusdarini tanpa aku tahu sebabnya. ☺☺☺☺☺
Aku baru bisa menjawab setelah kelas menjadi reda.
"Very good... ," puji Bu Kusdarini karena jawabanku benar.
"Yeeeeeeeee.... ," sekali lagi kelas bergemuruh.
Dho ra genah.
Kemampuan bahasa Inggrisku bertambah karena di rumah Mbak Rum dan Mas Kun sering
memutar lagu-lagu barat.
Kegemaranku dengan bahasa Inggris terus berlanjut. Sumber yang belum tentu bisa dipercaya
menyebut bahwa aku berhasil meraih NEM tertinggi di SMA untuk mata pelajaran bahasa
Inggris. ☺☺☺☺✌✌✌
Cedis itu terus lanjut wedesing.
Oleh:
Sembret Kunjana
CEDIS DIGAWAKKE BENDHO
Aku masuk SD tahun 1975 dan lulus tahun 1982. Jenjang SD aku selesaikan selama 6,5 tahun
karena ada perubahan awal tahun ajaran yang mulanya Januari menjadi Juli pada tahun 1975
akibat munculnya kurikulum 1975. Seharusnya aku naik kelas bulan Desember 1975 namun
diundur menjadi Juli 1976.
"Ra sida munggah," begitu gerutu banyak teman sekolah pada waktu itu.
Setamat SD Kanisius II, aku mendaftarkan diri ke SMPN 1. Aku tidak perlu banyak pertimbangan
karena Mas Kun dan Mas Wang sudah lebih dulu masuk ke sekolah itu. Mas Gandung masuk
sekolah ini pada tahun 1984. Pada waktu itu aku benar-benar mendaftarkan diri, sendiri. Aku
bersama dengan beberapa teman SD naik sepeda ke SMPN 1 Wonosari dengan membawa
syarat-syarat. Setelah itu kami datang untuk mengerjakan tes sesuai jadwal. Yang diujikan
adalah matematika, bahasa Indonesia, dan IPA. Dan, akhirnya aku diterima.
Waktu itu Mas Wik juga mendaftarkan aku ke SMPN 12 Yogyakarta untuk cadangan kalau tidak
diterima di SMPN 1 Wonosari. Mas Wik ingin memastikan bahwa adiknya tidak putus sekolah.
Aku menginap di tempat kos Mas Wik di Sutodirjan. Mas Wik pernah mengajar di SMPN 1
Wonosari.
Awal masuk sekolah aku kenal dengan teman-teman sekolahku melalui kegiatan orientasi
sekolah. Kelas-kelas di SMPN 1 ditentukan berdasarkan agama siswanya. Kelas A dan B untuk
siswa beragama Islam. Kelas C dan D untuk siswa beragama Islam dan Kristen Protestan. Kelas E
dan F untuk siswa beragama Islam dan Katolik. Pembagian kelas ini memudahkan sekolah
dalam memberikan pelajaran agama. Aku masuk di kelas E.
Ketika pelajaran bahasa Indonesia, guru melakukan perkenalan. Siswa dipanggil satu persatu.
Sampailah pada giliranku.
"Iki adhine Goci," kata guruku.
Goci adalah panggilan untuk Mas Kun di sekolah itu karena mbeling. Beling goci. Nampaknya
Mas Kun adalah murid beken di sekolah.
Waktu itu zaman susah. Kondisi keuangan keluarga sedang buruk. Aku berangkat dan pulang
sekolah jalan kaki karena tidak ada sepeda apalagi motor dan tidak ada uang untuk naik colt.
Jarak rumah-sekolah sekitar 6 km. Aku harus berangkat dari rumah selambatnya jam 6 pagi agar
tidak telat. Kalau hari Jumat aku harus berangkat jam 5.45 karena ada senam.
Suatu hari aku dipanggil ke kantor TU. Aku diberitahu kalau aku nunggak membayar SPP selama
beberapa bulan. Aku diberi surat dan saat itu juga disuruh pulang padahal pelajaran belum
selesai. Aku pun pulang. Jalan kaki. Aku sudah biasa jalan kaki pergi dan pulang sekolah. Tapi
hari itu rasanya aneh karena aku jalan sendirian.
Sesampai di rumah ibu kaget.
"Ngapa nDut kok wis bali?" tanya ibu.
"Dikon bali. SPP-ne kon mbayar," jawabku sambil menangis.
"Yo wis kana wijik terus maem," kata ibu menenangkan.
Bapak marah mengetahui perlakuan sekolah terhadapku. Menurut bapak soal membayar SPP
adalah urusan orangtua, tidak boleh melibatkan anak apalagi sampai menghukum anak.
Memulangkan anak karena alasan SPP yang belum lunas adalah tindakan yang keliru, apalagi di
mata bapak, dimana praja (martabat keluarga) adalah hal utama.
Bapak kemudian berkirim surat ke Kedaulatan Rakyat dan dimuat di rubrik Pikiran Pembaca
berisi kritikan terhadap kebijakan sekolah. Pihak sekolah gempar membaca tulisan bapak yang
dianggap mencemarkan nama baik sekolah.
Saat istirahat sekolah, Pak Bambang yang adalah guru olahraga mendatangi kelasku. Saat itu
aku kelas 2. Dia datang membawa bendho sambil menyerahkan surat panggilan untuk bapak.
"Nanti diberikan bapak. Besok bapak dipanggil kepala sekolah," kata Pak Bambang.
Meski Pak Bambang membawa bendho tapi aku tidak takut. Mungkin karena Pak Bambang
perutnya buncit dan mukanya imut, jadi malah lucu.
Hari berikutnya bapak memenuhi panggilan. Bapak berhadapan dengan kepala sekolah dan
beberapa guru. Terjadilah perdebatan. Bapak juga kepala sekolah jadi tahu bagaimana
mengelola sekolah. Kepala sekolah naik pitam dan menggebrak meja. Bapak menggebrak meja
dua kali. Bapak tidak gentar sekalipun masalah ini dibawa ke ranah pengadilan. Bagi bapak
harga diri adalah harga mati.
Esok harinya aku sudah diperbolehkan masuk sekolah lagi.
Hari Sabtu berikutnya, sepulang dari gereja aku diajak ngobrol oleh Pak Bambang. Pak Bambang
juga beragama Katolik. Beliau mengatakan sebetulnya bapak tidak perlu menulis di pikiran
pembaca, bisa dibicarakan baik-baik. Aku hanya menjawab "Ya Pak". Aku tidak mau berdebat
dengan beliau karena beliau juga menunjukkan sikap ramah.
Begitulah, bagi bapak harga diri adalah harga mati.
Oleh:
Sembret Kunjana
HERSAM XXI
"Ana sing ngentuuut!!" kata bapak dengan nada tinggi.
Peristiwa itu terjadi ketika warga sekitar sedang nonton ketoprak di rumah. Tiap Selasa Malam
(Malem Rebo) ada siaran ketoprak di TVRI Yogyakarta. Pada waktu itu baru beberapa keluarga
yang memiliki pesawat televisi. Jadi para tetangga terutama yang sudah tua pada kumpul untuk
nonton siaran ketoprak. Maka rumah menjadi semacam bioskop, Hersam XXI alias Hermaya-
Samini.
Warga sekitar tidak ambil pusing dengan orang kentut, paling cuma menggerutu sambil
menutup hidung. Tapi bagi bapak ini masalah etika. Bapak sendiri sering kentut di rumah, tapi
kalau di tempat umum beda. Bapak sangat mementingkan etika.
Pada waktu itu kami masih menggunakan aki untuk daya televisi karena listrik baru masuk pada
tahun 1982. Jadi menjelang hari selasa strum aki dipastikan cukup agar ketika siaran ketoprak
semua bisa menikmakti karena jika aki sudah lemah maka gambar di televisi akan mleyot-
mleyot. Kami biasa nyetrumke aki di Baleharjo. Yang nyetrumke bergantian antara Mas Kun,
Mas Wang, Mas Gandung, aku naik motor atau sepeda. Kalau nyetrumke harus hati-hati karena
air aki dapat menyebabkan iritasi kulit. Celana atau baju bisa bolong kalau kena air aki. Jadi
kalau naik motor harus jaga jarak dan aki dibungkus dengan kertas koran dobel. Kalau dengan
sepeda, aki diikat di boncengan, dibungkus kertas koran biar tidak meleset-meleset, lalu ditali
dengan ban dalam.
Kami juga pernah menggunakan aki ukuran besar. Jadi kami harus naik colt untuk
mengangkutnya dan untuk mengangkatnya perlu dua orang. Suatu hari Mas Wang didhawuhi
bapak mengambil aki dengan naik colt ke Baleharjo. Ketika Mas Wang datang aku berada di
depan rumah bersama beberapa orang dewasa.
"Kae diewangi ngusung akine," kata bapak pada orang-orang yang ada disitu.
"Nggih pak, " kata mereka. Lantas dua orang diantara mereka bergegas ke seberang jalan untuk
mengangkat aki warna hijau berukuran besar tersebut. Satu di sisi kanan, satu lagi di sisi kiri.
"Nek melu ndelok tivi neng kene kudune weruh ngono kui rasah dikongkon, langsung menyat,"
kata bapak kepadaku, menjelaskan tentang perlunya sikap peka.
Pesawat televisi ukuran 14 inch diletakkan di ruang tengah sisi barat. Beberapa saat sebelum
siaran ketoprak dimulai para tetangga sudah duduk manis sambil menonton bagian akhir
sebuah film detektif yang disiarkan oleh TVRI Nasional sebelum siaran ketoprak.
"Gek oro. Selak pengin ndelok kethoprak," kata seseorang tidak sabar.
"Sabar to yu. Durung jam-e," timpal yang lain.
Nonton bareng siaran kethoprak menjadi sarana bersosialisasi dengan warga sekitar. Bagi
bapak pesawat televisi adalah barang penting agar kami membuka wawasan sekaligus
mendapat hiburan.
Mas Gandung dan aku punya film serial favorit: The A-Team. Mas Gandung membayangkan
dirinya sebagai Murdock karakter berbadan kurus, tengil, dan cerdas. Dan aku sebagai B. A.
Baracus, karakter kulit hitam berbadan besar dan brewok, kokoh, tapi takut naik pesawat
sehingga kalau ada misi jarak jauh dan harus naik pesawat, Baracus dibuat pingsan agar bisa
dinaikkan ke pesawat.
Oleh:
Sembret Kunjana