The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Membahas tentang sumber hukum Islam

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dwirohmatus58, 2022-11-05 22:31:52

Sumber-sumber hukum Syariah

Membahas tentang sumber hukum Islam

Keywords: Ushul Fiqh

E-BOOK

SUMBER-SUMBER
HUKUM
SYARIAH

DWI ROHMATUS SA'ADAH

Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan e-book ini. Tak lupa juga mengucapkan
salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW, karena berkat
beliau, kita mampu keluar dari kegelapan menuju jalan
yang lebih terang.
Kami ucapkan juga rasa terima kasih kami kepada
pihak-pihak yang mendukung lancarnya e-book ini mulai
dari proses penulisan, yaitu orang tua kami, rekan-rekan
kami, penerbit, dan masih banyak lagi yang tidak bisa kami
sebutkan satu per satu.
Adapun, e-book kami yang berjudul "Sumber-Sumber
Hukum Syariah" ini telah selesai kami buat secara
semaksimal dan sebaik mungkin agar menjadi manfaat
bagi pembaca yang membutuhkan informasi dan
pengetahuan mengenai bagaimana sumber hukum
syariah.
Kami sadar, masih banyak luput dan kekeliruan yang
tentu saja jauh dari sempurna tentang e-book ini. Oleh
sebab itu, kami mohon agar pembaca memberi kritik dan
juga saran terhadap karya buku ajar ini agar kami dapat
terus meningkatkan kualitas buku.
Demikian e-book ini kami buat, dengan harapan agar
pembaca dapat memahami informasi dan juga
mendapatkan wawasan mengenai sunber hukum syariah.

Trenggalek, 6 November 2022





Penulis

i

Daftar Isi
KATA PENGANTAR..................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................3

A.Pengertian Sumber Hukum Syariah...........................3
B.Menganalisis Al-Qur’an Sebagai Hukum Syariah.....6
C.Pengertian Hadits Sebagai Sumber Hukum Syariah9
D.Pengertian Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Syariah.15
E.Pengertian Qiyas Sebagai Sumber Hukum Syariah18
LATIHAN SOAL.....................................................................20
BAB III PENUTUP..................................................................21
Daftar Pustaka.....................................................................22

ii

BAB I
PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang mampu mengatur
kehidupan umat manusia secara sempurna dalam
semua segi kehidupan. Walaupun agama ini sudah
melalui sejarah panjang, sejak mulai diturunkannya oleh
Allah swt. kepada nabi Muhammad saw, lebih kurang
dari 14 abad yang lalu, hal ini tidaklah menjadikan Islam
kaku dalam menghadapi sejarah yang dilaluinya,
melainkan sebaliknya, mengakibatkan Islam semakin
“dewasa” untuk beraflikasi di tengah-tengah kehidupan
umat manusia. Keutamaan Islam yang membuatnya bisa
hidup sepanjang masa terletak pada kekuatan sumber
ajaran yang dimilikinya, yaitu al-Qur‟an, as-Sunnah dan
ar-Ra’yu. Dua sumber pertama disebut naqliy, sedangkan
satu sumber terakhir disebut sumber aqliy. Dalam
kontek ini, sudah pasti tidak akan terdapat pertentangan
antara sumber yang naqli dengan sumber yang aqli,
sebab islam adalah agama untuk seluruh umat manusia
sepanjang zaman serta dibina atas prinsip dasar yang
sesuai dengan akal dan fitrah manusia.

Al-Qur’an, sebagai sumber utama, memberikan
pedoman bagi agama Islam. Ayat-ayatnya tidak hanya
berbicara tentang masalah akidah serta akhlak, tetapi
juga berisi tuntunan bagi kehidupan yang bersifat
amaliah. Memuat hukum-hukum yang bersifat ibadah
dan muamalah. Sunnah Nabi, di samping al-Qur’an, juga
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Bila ditinjau
dari segi kehujahannya dalam pembentu kan hukum,
maka hubungan Sunnah Nabi dengan al-Qur’an
dipandang sebagai sumber kedua mengiringi al-Qur’an.

1

Sisi-sisi hukum yang datang dari Sunnah Nabi
adakalanya memiliki fungsi sebagai pengikut hukum
yang sudah ada dalam al-Qur’an, ada kalanya
berfungsi menjelaskan dan merinci hal-hal yang
mujmal yang disebutkan al-Qur’an, dan ada pula
kalanya as-Sunnah itu berfungsi mendatangkan
ketentuan-ketentuan hukum yang belum ada
ketetuannya dalam al-Qur’an.

Yurisprudensi Islam pada mulanya didasarkan pada
al-Qur’an, as-Sunnah, Ijtihad. Ini semua merupakan
sumber-sumber dasar hukum, yang tampaknya berdiri
sendiri dan terpisah satu sama lain. Sumber-sumber
yang utama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijma’ dan
Qiyas pada kenyataannya, adalah prinsip-prinsip
tambahan. Ijma’ dan Qiyas umumnya diterapkan kalau
sumber-sumber pokok (al-Qur’an dan as-Sunnah) tidak
memberi ketentuan mengenai masalah tertentu.

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Hukum Syariah
Syariah menurut bahasa artinya jalan menuju mata

air. Sedangkan menurut istilah syariah merupakan
aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah
untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia,
dan hubungan antar manusia dengan alam semesta.
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu,
yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk dan patuh
kepada Allah SWT. Ketaatan, ketundukan, dan
kepatuhan kepada Allah dibutuhkan dalam bentuk
pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur
sedemikian rupa oleh syariah islam.

Syariah dinamakan Ad-Din, yaitu memiliki
pengertian bahwa ketetapan peraturan Allah yang
wajib ditaati. Syariah dinamakan Al-Millah yang
mempunyai makna bahwa agama bertujuan untuk
mempersatukan para pemeluk dalam suatu
perikatan yang teguh, dapat pula bermakna
pembukuan atau kesatuan hukum-hukum agama.
Syariah sering juga disebut dengan syara’, yaitu
aturan yang dijalani manusia, atau suatu aturan
agama yang wajib dijalani oleh manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun
kelak di akhirat. Meurut kamu bahasa Indonesia
pengertian syariah adalah “Hukum agama yang
diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara
yang bertalian dengan agama islam, palu memalu,
hakekat balas membalas perbuatan baik/jahat
dibalas dengan baik/jahat.

3

Didalam syariah islam mengatur perbuatan seorang
muslim, terdapat hukum yang terdiri atas :
a.) Wajib, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan
mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat
dosa.
b.) Sunnah, yaitu suatu perkara yang apabila
dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan
tidak berdosa.
c.) Mubah, yaitu suatu perkara yang boleh dikerjakan
atau ditinggalkan karena tidak diberi pahala atau
berdosa.
d.) Makruh, yaitu suatu perkara apabila ditinggalkan
mendapat pahala dan jika dikerjakan tidak berdosa,
seperti : makan bawang merah
e.) Haram, yaitu suatu perkara yang apabila
ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakan
berdosa. Contohnya : mencuri, zina, dan sebagainya.

Menurut pengertian yang bersifat umum, syariah
islam berati ketentuan ajaran agama islam yang
bersumber pada al-Qur’an san sunnah Rasulullah
SAW. Dari pengertian ini menunjukan bahwa syariah
mencakup seluruh ajaran agama islam yang meliputi
bidang aqidah, akhlaq, dan ‘amaliyyah (perbuatan
nyata). Menurut pengertian khusus, syariah berati
ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan
agama islam yang hanya mencakup bidang amaliyyah
(perbuatan nyata) dari umat islam. Dalam pengertian
khusus tersebut syariah adalah ketentuan-ketentuan
atau peraturan-peraturan hukum yang mengatur
segala perbuatan serta tingkah laku orang-orang
islam.

4

Diturunkannya syariah islam kepada manusia tentu
memiliki tujuan sangat mulai, diantaranya :

Memelihara kemlasahatan agama (hifzh al-din)
agama islam harus dibela dari ancaman orang-
orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak
maerusak aqidah, iabadah, dan akhlak umat.
Memelihara jiwa (hifzh al-nafsi) agama islam sangat
mengahargai jiwa seseorang.
Memelihara akal (hifzh al-‘aqli) kedudukan akal
manusia dalam pandangan islam amatlah penting.
Memelihara keturunan dan kehormatan (hifzh al-
nashli) islam secara jelas mengatur pernikahan, dan
mengaharamkan zina.
Memelihara harta benda (hifzh al-mal) dengan
adanya syariah islam, maka para pemilik harta
benda akan merasa lebih aman, karena islam
mengenal hukum had, yaitu potongan tangan
dan/atau kaki
Melindungi kehormatan seseorang termasuk
melindungi nama baik seseorang dsb.
Melindungi rasa aman seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa
lapar dan takut.
Melindungi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara islam menetapkan hukuman yang keras
bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta”
terhadap pemerintahan yang sah dipilih oleh umat
islam “dengan cara islami”.

5

B. Menganalisis Al-Qur'an Sebagai Sumber Hukum
Syariah

Pengertianal-Qur’an menurut bahasa adalah isim
mashdar dari kata kerja qoroa yang bermakna talaa
yang berati membaca, atau berkmakna jama’a yang
berati mengumpulkan atau mengoleksi. Makna kata
quran sinonim dengan qira’ah yang keduanya berasal
dari kata qara’a yang dari segi makna lafal quran
bermakna bacaan. Sedangkan pengertian al-Qur’an
menurut segi terminologi adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui
malaikat jibril, yang diawali dengan surah al-Fatihah
dan di akhiri dengan surah an-Nas. Kata kalam
meliputi seluruh perkataan, namun istilah itu
disandarkan kepada Allah SWT akhirnya menjadi
kalamullah. Perkataan yang berasal dari selain Allah
seperti perkataan manusia, jin maupun malaikat tidak
dinamakan al-Qur’an. Allah juga telah menjamin untuk
menjaga al-Qur’an dari upaya merubah, menambah,
mengurangi, ataupun menggantinya.

Al-Qur’an diturunkan tidak secara langsung,
melainkan secara berangsur-angsur sedikit demi
sedikit, baik berapa ayat, ataupun satu surat. Turunya
ayat dan surat pun disesuaikan dengan kejadian yang
ada atau sesuai dengan keperluan. Lama al-Qur’an
diturunkan dibumi sekitar 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Allah SWT. Menurunkan al-Qur’an gunanya untuk
dijadikan dasar hukum dan disampaikan kepada umat
manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan
ditinggalkan segala laranganya, sebagaimana firman
Allah Q.S Az-Zukhruf : 43.

6

Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi
sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh
ajaran islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-
Qur’an juga membimbing dan memberikan petunjuk
untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatnya.

Kerena kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumber
utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka
apabila seseorang ingin menemukan hukum maka
dilakukan penyelesaiannya terlebih dahulu
berdasarkan dengan al-Qur’an. Dan jika menggunakan
sumber lain selain al-Qur’an maka harus sesuai
petunjuk dan tidak boleh bertentangan dengan al-
Qur’an. Hal ini berati bahwa sumber-sumber hukum
selain al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa yang telah
ditetapkan al-Qur’an.

Al-Qur’an juga mengatur hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT,
hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan
manusia dengan alam. Isi pokok al-Qur’an adalah 1)
Tauhid; 2) Ibadah; 3) Janji dan ancaman; 4) Jalan
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat; 5) Riwayat
dan cerita (qishah umat terdahulu). Dasar kehujjahan
al-Qur’an dan kedudukan sebagai sumber hukum
Islam. Sebagaimana kita ketahui al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw. dan disampaikan
kepada umat manusia adalah untuk wajib di amalkan
semua perintahnya dan wajib ditinggalkan segala
larangan-nya sebagaimana firman Allah Swt dalam (QS.
An-Nisa’ [4]:105) dan (QS.Al-Maidah [5]:49).

7

Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hukum
Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hukum sesuai
dengan perkembangan kemampuan manusia, baik
secara fisik maupun rohani. manusia selalu berawal
dari kelemahan dan ketidak kemampuan. Untuk itu al-
Qur’an berpedoman kepada tiga hal, yaitu :
a. Tidak memberatkan,
b. Meminimalisir beban, dan
c. erangsung-angsur dalam menetapkan hukum

Sementara itu hukum yang terkandung dalam al-
Qur’an ada 3 macam yaitu : hukum-hukum akidah
(keimanan), hukum-hukum Allah, dan hukum-hukum
amaliyyah. Maka hukum selain ibadah dalam istilah
syara’ disebut hukum muamalah. Sedangkan menurut
istilah modern hukum muamalah telah bercabang
sesuai dengan hal-hal yang berhubungan dengan
muamalah manusi, yakni : hukum badan pribadi,
hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum
ketatanegaraan, hukum internasional, dan hukum
ekonomi keuangan.

8

C. Menganalisis Sunnah Sebagai Hukum Syariah
Secara terminologi hadit/sunnah menurut ilmu

hadits, segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi
Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun
ketetapannya. Sedangkan secara etimologi sunnah
berasal dari bahasa arab yang berati “jalan yang biasa
dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” atau
“kebiasaan yang selalu dilaksanakan”. Pengertian
sunnah secara etimologi ini dapat dikemukakan dalam
sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, yang artinya”barang siapa yang membiasakan
sesuatu yang baik maka ia menerima pahalanya dan
pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya,
dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang
buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa
orang mengikuti sesudahnya.”

Berdasarkan definisi-defini sunnah dikemukakan
diatas, sunnah menjadi sumber hukum islam
(mashadir al-ahkam) dan dalil hukum islam kedua
(adillat al-ahkam), ada tiga macam, yaitu: Sunnah
Fi’liyyah, Sunnah Qauliyyah, dan Sunnah Taqririyyah.
Ketiga sunnah tersebut disampaikan dan disebar
luaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima, dan
mengalaminya dari nabi secara berantai melalui
pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada
orang yang mengumpulkan, menuliskan dan
membukuannya sekitar abad ketiga hijriyah.
Selanjutnya para ulama mengklarifikasi sunnah itu
berdasarkan kekuatan khabar tersebut.

9

Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membagi
khabar kepada tiga tingkatan:
1) Khabar Mutawatir
2) Khabar Masyhur;
3) khabar ahad.

Perbedaan yang jelas di antara ketiganya adalah
sebagai berikut. Khabar mutawatir diterima dan
disampaikan dari pangkal sampai keujung secara
mutaatir. Khabar masyhur yaitu khabar yang diterima
dan disampaikan pada tingkat awal secara perorangan,
kemudian dilanjutkan sampai keujungnya secara
mutawatir. Khabar ahad diterima dan disampaikan
kemudian secara berantai sampai keujung secara
perorangan. Ketiga berbeda dari tingkat kebenaranya.
Tingkat kebenaran yang paling tinggi adalah khabar
mutawatir, kemudian khabar masyhur, dan yang paling
rendah tingkat kebenaranya adalah khabar ahad.

Untuk mengetahui secara konkrit fungsi dan
kedudukan hadits dalam islam, perlu mengetahui dulu
tentang tugas-tugas yang dibebankan kepada nabi
Muhammad SAW. Dalam al-Qur’an bahwa nabi SAW
mempunyai tugas dan wewenang, sebagai berikut:
menjelaskan kitab Allah (al-Qur’an), Nabi SAW wajib di
taati, menetapkan hukum dan memberikan teladan.
Tugas nabi berdasarkan firman Allah “sesungguhnya
telah terdapat pada diri Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu”. Nabi SAW bertugas memberikan
suri teladan kepada umatnya, sementara umatnya
wajib mencontoh dan meniru teladan-teladan itu.

10

Setelah mengetahui tugas dan wewenang nabi,
maka dapat diketahui bahwa kedudukan sunnah itu
sebagai berikut:
1.Sunnah sebagai penguat al-Qur’an
2.Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an, dalam Q.S an-

Nahl : 44. Kehadiran sunnah sebagai penjelas
terhadap hal-hal yang global, penguat secara mutlak,
sebagai taksis terhadap dalil al-Qur’an yang masih
umum.
3.Sunnah sebagai Musyar’i (pembuat syari’at). Memuat
hal-hal yang belum ada dalam al-Qur’an, tidak
memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam al-Qur’an
tapi membuat hal-hal yang landasanya ada dalam al-
Qur’an.

Dasar kehujjahan al-Hadis dan kedudukannya
sebagai sumber hukum Islam, yaitu:

1.Dalil al-Qur’an. Banyak kita jumpai ayat al qur’an
yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai
dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul
kepada umatnya untuk di jadikan pedoman hidup
sehari hari. Diantara ayat-ayat yang maksud adalah
firman Allah SWT (QS. Ali-Imran (3):179)

2.Dalil al-Hadis Mari kita pahami dalam salah satu
pesan Rasulullah Saw. berkenaan dengan
kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman
hidup, disamping al-Qur’an sebagai pedoman
utamannya, beliau bersabda : Aku tinggalkan dua
pusaka untukmu kalian, yang kalian tidak akan
tersesat selagi kamu berpegang pada keduanya,
yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. (
HR. Malik )

11

D. Menganalisis Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Syariah
Ijma’ secara etimologi berati kesepakatan, ada juga

yang mengatakan mengumpulkan seperti yang
terdapat pada penafsiran ayat 71 surah Yunus. Ijma’
ditinjau dari segi bahasa berati sepakat, setuju,
sependapat (Abd. Aziz, 1988: 28). Adapun menurut
istilah, ijma’ ialah kesepakatan seluruh ulama
mujtahidin dari kaum muslimin pada suatu masa
sesudah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum
syara’ (Az Zuhaili, 1986: 490).

Ijma secara terminologi didefinisikan oleh beberapa
ahli diantaranya (1) Al Ghazali: Ijma’ yaitu kesepakatan
umah Muhammad SAW secara khusus atas suatu
urusan agama; definisi ini mengindikasikan bahwa
ijma’ tidak dilakukan pasa masa Rasulullah Saw, sebab
keberadaan Rasulullah sebagai syar’i tidak
memerlukan ijma’. (2) Al Amidi: Ijma’ adalah
kesepakatan ahlul halli wal’aqdi atau para ahli yang
berkopeten mengurusi umat dari nabi Muhammad
pada suatu masa atau hukum suatu kasus.(Amir
Syarifuddin, 1997). Dari beberapa pendapat mengenai
definisi ijma’ pada prinsipnya mereka berpendapat
bahwa ijma’ dapat terjadi dengan kesepakatan para
mujtahidin, adanya permasalahan yang tidak terdapat
dalam nash qoth’i, dan terjadinya pada masa tertentu.

Ijma’ di pandang tidak sah, jika:
1.Ada yang tidak menyetujui,
2.Hanya ada seorang mujtahid,
3.Tidak ada kebulatan yang nyata, dan
4.Sudah jelas terdapat dalam nash.

12

Dari kesepakatan ulama biar bisa dikatagorikan

sebagai ijma harus memenuhi rukun dan syarat ijma’.

Yang menjadi rukun dalam ijma’ harus satu, yaitu

kesepakatan ulama’, apabila tidak ada kesepakatan

maka itu bukan ijmak’. Sementara syarat-syarat ijma’

menurut Wahba Zuhaili ada enam, yaitu:
1.Haruslah orang yang melakukan ijma’ itu dalam
jumlah banyak, dan tidak dikatakan ijma’ apabila
hanya satu orang mujtahid, tidak dikatakan sebuah
kesepakatan apabila dilakukan hanya satu orang
ulama. Akan tetapi, pada saat terjadinya peristiwa
tersebut tidak ada seorangpun mujtahid sama
sekali, atau ada tetapi hanya satu saja. Tidaklah bisa
dikatagorikan sebagai ijma’ yang dibenarkan oleh
syara’.
2.Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang
telah mereka putuskan dengan tidak memandang
negara, kebangsaan dan golongan mereka.
3.Mujtahid yanag melakukan kesepakatan mestilah
terdiri dari berbagai daerah Islam. Tidak bisa
dilakukan ijma’ apabila hanya dilakukan oleh ulama
satu daerah terentu saja seperti ulama Hijaz atau
ulama Mesir, atau ulama Iraq.
4.Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh dari
masing-masing mereka secara tegas terhadap
peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun
perbuatan.
5.Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid
yang bersifat dan menjauhi halhal yang bid’ah:
karena nash-nash tentang ijma’ mensyaratkan hal
tersebut.
6.Hendaklah dalam melakukan ijma’ mujtahid
bersandar kepada sandaran huku yang disyari’atkan
baik dari nash maupun qiyas.

13

Apabila rukun dan syarat-syarat ijma’ tersebut telah
terpenuhi, hasil dari ijma’ itu merupakan undang-undang
syara yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya
tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati
itu sebagai obyek ijma’ yang baru. Oleh sebab itu,
hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma’ itu telah
menjadikan hukum syara’ yang qath’i, hingga tidak dapat
ditukar atau dihapus dengan ijtihad lain.

Macam-macam ijma’ Menurut para sarjana hukum
Islam, dilihat dari cara memperolehnya ijma’ dibagi
menjadi dua, yaitu:

1.Ijma’ sharih adalah kebulatan yang dinyatakan oleh
mujtahidin (para mujtahid).

2.Ijma’ sukuti, yaitu kebulatan yang dianggap seorang
mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui
oleh mujtahidin lainnya, tetapi mereka tidak
menyatakan persetujuan atau bantahannya.
Sementara dilihat dari dalalahnya (penunjuk) juga

terbagi dua macam, yaitu:
1.Ijma’ qat’i dalalah terhadap hukumnya; artinya,
hukum yang ditunjuk sudah dapat dipastikan
kebenarannya, atau bersifat qat’i sehingga tidak perlu
diperdebatkan lagi dan tidak perlu diijtihadkan
kembali.
2.Ijma’ zanni dalalah terhadap hukumnya; artinya,
hukum yang dihasilkannya kebenarannya bersifat
relatif atau masih bersifat dugaan. Karena itu, masih
terbuka untuk dibahas lagi dan tertutup
kemungkinan ijtihad lainnya, hasil ijtihadnya bukan
merupakan pendapat seluruh ulama mujtahid.

14

E. Menganalisi Qiyas Sebagai Sumber Hukum Syariah
Dari segi bahasa Qiyas adalah mengukurkan sesuatu

atas lainnya dan mempersamakannya, sedangkan Qiyas
menurut istilah adalah menetapkan hukum sesuatu
perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Menurut
Abdul Wahab Al-Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih
berpendapat bahwa Qiyas adalah mempersamakan
suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan
suatu kasus yang ada Nash hukumnya (dalam hukum
yang ada nashnya), karena persamaan kedua itu dalam
illat hukumnya.

Pendapat lain mengatakan bahwa Qiyas menurut
bahasa adalah mengukurkan sesuatu atas yang lain, agar
diketahui persamaan antara keduanya. Sedangkan,
menurut istilah adalah menggabungkan sesuatu
pekerjaan kepada yang lain tentang hukumnya karena
kedua pekerjaan itu ada persamaan sebab (illat) yang
menyebabkan hukumnya harus sama. Pada masa
sahabat Qiyas itu diartikan dengan mengembalikan
sesuatu kepada tujuan syara’ kepada kaedah-kaedah
yang umum dan kepada illat-illat yang cepat dipahami
sehingga tidak diperselisihkan lagi. Imam Rasyid Ridha
berkata: Hal inilah yang dikehendaki dengan
mengembalikan soal-soal yang diperselisihkan kepada
Allah dan Rasul-Nya apabila terjadi perselisihan paham
antara ulul amri.

Adapun secara terminologi (istilah), kalangan ulama
Ushul mengemukakan beberapa definisi diantaranya:

15

1.Menurut Muhammad Abdul Gani Al-Bayiqani
menyebutkan Qiyas merupakan hubungan suatu
persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di
dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah
disebutkan oleh nash karena di antara keduanya
terdapat pertautan (persoalan), illat hukumnya.

2.Sementara Syaikh Muhammad alKhudari Beik
menyebutkan Qiyas adalah memberlakukan
ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal)
kepada cabang (persoalan baru yang tidak
disebutkan nash-nya) karena adanya pertautan illat
keduanya.

Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang
membicarakan tentang alQiyas dengan patokan
kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan
mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan Al-
Qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat
rumusan patokan kaidah dan asasasasnya bahkan
dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai
patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil
ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disinilah
Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode al-qiyas
serta memberikan kerangka teoritis dan
metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional namun
tetap praktis. Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud
“kembalikan kepada Allah dan Rasul” itu ialah Qiyas
kanlah kepada salah satu Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurut Imam Syafi’i peristiwa apapun yang dihadapi
kaum muslimin, pasti terdapat petunjuk tentang
hukum-hukumnya dalam Al-Qur’an.

16

Kehujjahan Qiyas dan kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam:

1.Adapun dalil al-Qur’an antara lain firman Allah Swt.
sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (QS. AnNisa’ [4]:59)

2.Dalil al-Hadis. (Rasul bertanya) bagaimana kamu
kan menetapkan hukum apabila dihadapkan
padamu sesutu yang memerlukan penetapan
hukum ? Mu’adz menjawab : “ saya akan
menetapkannya dengan kitab Allah “ lalu Rasul
bertanya : “ seandainya kamu tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah , Muadz
menjawab; “ dengan sunnah Rasulullah” Rasul
bertanya lagi, “ seandainya kamu tidak
mendapatkanya dalam kitab Allah dan juga tidak
dalam sunnah Rasul ?” Mu’adz menjawab; “ saya
akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”.
Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan
Mu’adz seraya mengatakan :“ segala puji bagi Allah
yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul
dengan sesuatu yang Rasul kehendaki “. (HR.Abu
Daud dan Al-Tirtimidzi).

17

Macam-macam qiyas ada 5 yaitu:
1. Qiyas Aula yaitu apabila illat mewajibkan adanya
hukum dan keadaan far’un lebih utama mendapatkan
hukum (tersebut) daripada ashl. Contoh; mengqiyaskan
memukul orang tua dengan mengatakan “ah” kepada
keduanya adalah haram hukumnya karena sama-sama
menyakiti. Firman Allah Swt. Yang artinta: “Maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah". (QS. Al-Isra’ [17]:23)

2. Qiyas Musawi yaitu apabila ‘illat mewajibkan adanya
hukum dan keadaan far’un sama dengan ashl untuk
mendapatkan hukum. Contoh ; mengqiyaskan
membakar harta anak yatim dengan memakannya
tentang haram hukumnya dengan ‘illat rusak dan habis
Firman Allah Swt. Yang artinya: “Sesungguhnya orang-
orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya
dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka)”. (QS. An-Nisa’ [4]:10)

3. Qiyas dilalah yaitu apabila illat yang ada menunjukkan
kepada hukum, tetapi tidak mewajibkannya. Contoh ;
mengqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang yang
sudah baligh dalam hal wajib membayar zakat dengan
‘illat samasama berkembang dan bertambah.

18

4. Qiyas syabah yaitu qiyas yang keadaan far’un padanya
bolak balik antara dua ashl lalu ia dihubungkan dengan
ashl yang lebih banyak persamaannya dengannya.
Contoh ;hamba sahaya yang cacat karena kejahatan
orang lain, apakah dalam masalah wajib dhaman (ganti
rugi), ia diqiyaskan dengan orang merdeka karena sama-
sama anak Adam atau diqiyaskan dengan benda karena
harta milik. Persamaannya dengan harta lebih banyak
dari pada persamaannya dengan orang merdeka, karena
ia dapat dijual, dipusakai, dihibahkan dan diwakafkan.
5. Qiyas adwan atauadna yaitu qiyas yang far’unnya lebih
rendah kedudukannya dari pada ashl untuk
mendapatkan hukum (yang sama). Contoh;
mengqiyaskan perhiasan perak bagi laki-laki dengan
perhiasan emas tentang haram hukumnya, dengan ‘illat
berbangga-bangga.

19

Ayo Berlatih!!

A. Berilah tanda (x) pada jawaban yang benar!
1. Nama lain dari Syariah adalah?
a. Al-yaum c. Ad-Din
b. Al-Adl d. As-Syarkiyah
2. Ada berapa hukum dalam Islam?
a. 4 c. 6
b. 5 d. 3
3. Ijma' dipandang tidak sah, kecuali....
a. Sudah jelas terdaoat dalan nash
b. Hanya ada seorang Mujtahid
c. Tidak ada orang yang tidak menyetujui
d. Tidakk ada kebulatan yang nyata
4. Dibawah ini yang merupakan macam-macam qiyas adalah...
a. Aula, Musawi,Yaum, Din, Aula
b. Aula, Musawi, Dilalah, Syabah, Adwan
c. Din, Musawi, syaban, yaum, Aula
d.Aula, Dilalah, Adl, Adwan
5. Manakah yang bukan kedudukan Sunnah?
a. Sunnah sebagai penjelas dalan Al-Qur'an
b. Sunnah sebagai perunyam kehidupan
c. Sunnah sebagai penguat Al-Qur'an
d. Sunnah sebagai Musyar'i (pembuat syariat)

B. Isilah pertanyan dibawah ini dengan uraian
1.Jelaskan pengertian Syariah menurut pendapatmu!
2.Sebutkan macam-macam qiyas beserta penjelasannya
dan contohnya
3.Jelaskan pengertian ijma' menurut pendapatmu
4.Sebutkan dan jelaskan syarat-dyarat ijma'

20

BAB III
PENUTUP

Syariah menurut bahasa artinya jalan menuju mata air.
Sedangkan menurut istilah syariah merupakan aturan atau
undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan
sesama manusia, dan hubungan antar manusia dengan alam
semesta.

Turunya ayat dan surat pun disesuaikan dengan kejadian
yang ada atau sesuai dengan keperluan. Lama al-Qur’an
diturunkan dibumi sekitar 22 tahun 2 bulan 22 hari. Isi pokok
al-Qur’an adalah 1) Tauhid; 2) Ibadah; 3) Janji dan ancaman; 4)
Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat; 5) Riwayat dan
cerita (qishah umat terdahulu). Pedoman al-Qur’an dalam
menetapkan hukum Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan
hukum sesuai dengan perkembangan kemampuan manusia,
baik secara fisik maupun rohani. manusia selalu berawal dari
kelemahan dan ketidak kemampuan.

Ijma’ secara etimologi berati kesepakatan, ada juga yang
mengatakan mengumpulkan seperti yang terdapat pada
penafsiran ayat 71 surah Yunus. Ijma’ ditinjau dari segi bahasa
berati sepakat, setuju, sependapat.

Macam-macam ijma’ Menurut para sarjana hukum Islam,
dilihat dari cara memperolehnya ijma’ dibagi menjadi dua,
yaitu: Ijma’ sharih dan Ijma’ sukuti. Sementara dilihat dari
dalalahnya (penunjuk) juga terbagi dua macam, yaitu: Ijma’ qat’i
dan Ijma’ zanni.

Dri segi bahasa Qiyas adalah mengukurkan sesuatu atas
lainnya dan mempersamakannya, sedangkan Qiyas menurut
istilah adalah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang
belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah
ada ketentuan hukumnya. Kehujjahan Qiyas dan
kedudukannya sebagai sumber hukum Islam.

21

Daftar Pustaka

Andullah Ahmad Madjid, Mata Kuliah Ushul Fiqh
(Pasuruan: Garoeda Buana Indah)

Aziz, Amir Abd, 1986. Ushul Fiqh al-Islamy, (Siria: Dar el
Fikr)

Bey Khudhary, 1981. Ushul Fiqih (Jakarta: Widjaya)
Daut Muhammad Ali, 2011. Hukum Islam (Jakarta:

Rajawali Pers).
Hamid, M. Arfin, 2011. Hukum Islam (Makassar: Umitoha

Ukhuwah Grafika.
Hasan, Ahmad, 1985. Ijma’, (Bandung: Pustaka)
Idris Mohd. Ramulyo, 2004. Asas-asas Hukum Islam

(Sejarah Timbul dan Berkembanganya Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia),
Edisi Revisi, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika)
Jumantoro, Totok, dan Amin, Samsul Munir, 2009. Kamus
Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzar)
Kaawoan Selviyanti, 2015. Memahami Ushul Fiqh,
(Gorontalo: Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai)
Khisni A, Perkembangan Pemikiran Hukum Islam,
Pertama (Semarang: UNISSULA PRESS, n.,d.)
Khalaf, Abdul Wahhab, 1976. Ilm Ushul Fiqh, (Kairo: Dar
Al-Kuwaitiyah)
Khallaf, Abd. Wahab, 1989. Kaidah-kaidah Hukum Islam
(Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: Rajawali)
Khatib, Muhammad Ajjaj, 1989. Ushul al-Hadits: Ulumuh
wa Mushthalatuh, (Dar al-Fikr)
Manzur Ibnu, Lisan al-Arab (Dar al-Shadr, tth.)
Masyithoh Dewi Masyithoh, 2019. Buku Fiqih kelas XII MA
Peminatan Ipa, Ips, Bahasa, dan Kejurusan Ma
Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT))

22

Mustofa, Imam,2010. Optimalisasi Perangkat dan
Metode Ijtihad sebagai Upaya Modernisasi Hukum
Islam (Studi Pemikiran Hanafi Dalam Kitab Min
An_Nash Illa Al-Waqi,”JH19, no. 2

Romli, 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul (Jakarta: Gaya
Media Pratama)

Sulaiman Abdullah, 1996. Dinamika Qiyas Dalam
Pembaharuan Hukum Islam Kajian Konsep Qiyas
Imam Syafi’i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya)

Syarufuddin, Amir, 1997. Ushul Fiqh Jilid 1 (Jakarta: PT
LOGOS Wacana Ilmu)

Tohari, Chamim, 2019. Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fiqh
dan Klaim Gerakan Islam, JURNAL QALAM-Journal of
Islam and Plurality-Volume 4, Nomor 2.

Wahab Abdul Al-Khallaf,2018. Ilmu Ushul Fiqih
Seemaramg: Dina Utama), Jurnal Aksioma Al-
Musaqoh Vol.1 No.1

Yaqub, Ali Mustafa, 2008. Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, Cet-V)

23


Click to View FlipBook Version