DAFTAR PUSTAKA Afandi, A. (2016). Kepercayaan Animisme-Dinamisme serta Adaptasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Asli di Pulau LombokNTB. Jurnal Historis, 1(1), Article 1. Ahmad, T. A. (2010). STRATEGI PEMANFAATAN MUSEUM SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PADA MATERI ZAMAN PRASEJARAH. Paramita, 20. https://doi.org/10.15294/paramita.v20i1.1092 Anggara, A. D. (2019). Analisis Bawah Permukaan Situs Klanceng (Zaman Megalitikum) Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas 1D Konfigurasi Schlumberger. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/91805 Fahriani, I. (2019). PERMUKIMAN MASA PRASEJARAH DI SULAWESI UTARA. Tumotowa, 2(2), 60±71. https://doi.org/10.24832/tmt.v2i2.32 Firmansyah, H., & Ramdani, D. (2009). Ilmu Pengetahuan Sosial. Fitria, P. (2014). Kamus Sejarah dan Bahasa Indonesia. Nuansa Cendekia. Graham Harvey. (2017). Animism. Respecting the Living World. Hartanti, G., & Nediari, A. (2017). INSPIRASI MATERIAL LOGAM PADA ELEMEN INTERIOR RUANG PUBLIK UNTUK MENDUKUNG PELESTARIAN BUDAYA BANGSA. Journal of Design and Creative Industry, 2. Hartini, D. (2015). KEBUDAYAAN MASYARAKAT PRASEJARAH INDONESIA. Jati, S. S. P. (2013). PRASEJARAH INDONESIA: TINJAUAN KRONOLOGI DAN MORFOLOGI. Jurnal Sejarah Dan Budaya. http://dx.doi.org/10.17977/sb.v7i2.4744 Jati, S. S. P., & Wahyudi, D. Y. (2015). Situs-situs Megalitik di Malang Raya: Kajian Bentuk dan Fungsi. 6HMDUDKGDQ%XGD\Dࣟ-fflXUQDO6HMDUDK%XGD\D dan Pengajarannya, 9(1), 116±128. https://doi.org/10.17977/um020v9i12015p116-128 Jazeri, M. (2020). Mkan Tata Simbol dalam Upacara Pengantin Jawa. Akademia Pustaka. Kaltsum, L. U., Dasrizal, & Najib Tsauri. (2022). Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Muslim Nusa Tenggara Timur. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 24(1), 15±26. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas VII. Koentjaraningrat. (2015). Kebudayaan Mentalitas dan Pembagunan. PT Gramedia Pustaka Utama. M. Junaedi Al Anshori. (2011). Sejarah nasional Indonesia: Masa prasejarah sampai masa proklamasi kemerdekaan. PT Mitra Aksara Panaitan. Muhammad, G. M. (2019). JURUSAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019. 85. Mulia, T. (1952). India Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Balai Pustaka. Mulyaningtyas, D. (2019). Momen Perayaan Ritual 1 Suro di Gunung Kawi, Kirab Sesaji hingga Bakar Sangkala. liputan6.com. https://surabaya.liputan6.com/read/4052624/momen-perayaan-ritual-1- suro-di-gunung-kawi-kirab-sesaji-hingga-bakar-sangkala
Munawati, & Idris, M. (2018). SEBARAN RUMAH BATU DI DESA TEGUR WANGI KOTA PAGARALAM SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH. Jurna Sejarah Dan Pembelajaran Sejarah, 4(1). Noor, D. Y., & Mansyur. (2015). MENELUSURI JEJAK-JEJAK MASA LALU INDONESIA. Banjarmasin Pess, 142. Noor, Y., & Mansyur. (2015). MENELUSURI JEJAK-JEJAK MASA LALU INDONESIA. Nuryana, M. E. (2018). PERSEPSI SISWA TERHADAP PENGGUNAAN MEDIA FILM DOKUMENTER MATERI KEHIDUPAN MANUSIA PURBA PADA MATA PELAJARAN SEJARAH DI SMK NEGERI 6 PALEMBANG. JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARAN SEJARAH, 4. Perkins, M. K. (2019). What Is Animism? In Encyclopedia Britannica. Learn Religions. https://www.learnreligions.com/what-is-animism-4588366 Possamai, A., & Anthoni J, B. (2020). The SAGE Encyclopedia of the Soiology of Religion. SAGE. Prasetya, S. P. (2017). SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL. Puja, G. N. A. K. (2016). KAJIAN ELEMENTAL-KUANTITATIF TERHADAP KAPAK PERUNGU TIPE JANTUNG KOLEKSI BALAI ARKEOLOGI DENPASAR (BALI, NTT, NTB), MUSEUM BALI, DAN MUSEUM MANUSIA PURBA GILIMANUK. E-Jurnal Humanis, 15, 9±16. Sari, S. I. T. K. (2020). Perspektif Makna Simbolik Kembar Mayang di Desa Plaosan Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Fakultas Ilmu Sosial UM. Sarinastiti, A. (2018). Tradisi Pengalungan Jimat Kalung Benag pada Bayi di Dukuh Mudalrejo Desa Kedungsari Kecamatan Gebog Kebupaten Kudus [Skripsi Tidak Diterbitkan]. Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo. Setiawan, A. (2021). Upacara Entas-Entas. Wonderful Indonesia. https://wonderfulimage.id/read/535/upacara-entas-entas Setiawan, J., & Permatasari, W. I. (2019). PROSES MASUK DAN PERSEBARAN PENINGGALAN KEBUDAYAAN PROTO-DEUTERO MELAYU DI INDONESIA. Jurna Ilmu Sejarah Dan Pendidikan, 3. https://doi.org/10.29408/fhs.v3i1.667 Soejono, R. P., Jacob, T., Hadiwisastra, S., Sutaba, I. M., Kosasih, E. A., & Bintarti, D. D. (2010). Zaman Prasejarah di Indonesia. Balai Pustaka. Soekmoono, R. (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. PT Kanisius Yogyakarta. Sudrajat. (2012). Prasejarah Indonesia (p. 15). Sukardji, K. (1993). Agama-Agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya. Angkasa. Suputra, W. D. (2016). PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TERHADAP TRANSFORMASI ALAT PEMOTONG KAYU. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 2(2). https://doi.org/10.23887/jiis.v2i2.20182
Susilowati, N., & Nasoichah, C. (2019). IDENTIFIKASI DAN PEMAKNAAN SIMBOL-SIMBOL PADA GAMBAR CADAS DI NGALAU TOMPOK SYOHIAH I, NAGARI SITUMBUK, SUMATERA BARAT. Berkala Arkeologi Sangkhakala, 21(1), 56. https://doi.org/10.24832/bas.v21i1.324 Swancutt, K. A. (2019). Animism. The Cambridge Encyclopedia of Antropology, 4(1), 1±17. https://doi.org/10.29164/19anim Syafei, A. F. R. (2021). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Syarif, R. (2021). Rational Ideas Harun Nasution Perspective of Islamic Law. AlRisalah, 21(1), 11±23. Takdir, S. (1988). Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Dian Rakyat. Tunggul, F., Sasongko, I., & Reza, M. (2017). PENGEMBANGAN SITUS MEGALITIKUM UNTUK WISATA BUDAYA DI LEMBAH BEHOA KECAMATAN LORE TENGAH KABUPATEN POSO (DEVELOPMENT OF THE MEGALITHIC SITES FOR CULTURAL TOURISM IN THE HEART OF THE BEHOA LORE-CENTRAL POSO DISTRICT). Wijoto, R. (2019). Ritual Grebeg Tirto Aji: Desa dan Sumber Air Tertua di Malang. Beritajatim.Com. https://beritajatim.com/gaya-hidup/ritualgrebeg-tirto-aji-desa-dan-sumber-air-tertua-di-malang/ Yuwono, J. S. E. (1995). Rekontemplasi Periodisasi Prasejarah Di Indonesia. Berkala Arkeologi, 15(3), 144±149. https://doi.org/10.30883/jba.v15i3.687
BAB III PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN MODERN Pada pembahasan Bab 2 telah mengulas tentang (1) perkembangan kebudayaan pra sejarah (2) wujud kebudayaan animisme dan dinamisme di Malang Raya. Melalui pembahasan Bab 2 kalian tentunya telah memahami bagaimana pembabakan atau pembagian zaman praaksara serta apa saja hasil kebudayaannya. Namun kalian pasti masih penasaran kan tentang bagaimana perkembangan kebudayaan di era Modern. Pada pembahasan ini akan diulas mengenai perkembangan kebudayaan modern yakni sejak masa Hindu-Budha, Khong Hu Chu, Kristen, Katolik dan Islam di Malang raya. Pembahasan tentang kebudayaan tentunya akan semakin memperkaya wawasan kalian. Selain memperkaya wawasan, kalian diharapkan dapat saling menghargai dan bertoleransi. Toleransi tersebut diperlukan karena wilayah Malang raya sebagai daerah multikultural. Multikultural baik dalam hal budaya maupun agama. Terkait penjelasan lebih lengkapnya mari simak pembahasan berikut ini: 1. Kebudayaan Hindu, Budha, dan Khong Hu Chu di Malang Raya Sebagai daerah yang berada pada persilangan antara dua benua dan samudra, nusantara merupakan pusat berkembangnya berbagai macam kebudayaan. Akulturasi antar kebudayaan juga menjadikan budaya yang berkembang di Nusantara memiliki corak dan unik tersendiri (Gumulya & Octavia, 2017). Sebagai salah satu agama yang pernah berkembang pesat dan masih bertahan sampai sekarang, Hindu, Buddha, dan Konghuchu juga ikut andil dalam mewarnai perkembangan kebudayaan nusantara. Sehingga, penting kiranya membahas mengenai pengaruh budaya tersebut masuk ke nusantara serta eksistensinya sampai sekarang ini. Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut. a. Hindu dan Budha Perkembangan agama Hindu di Nusantara merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi perkembangan masyarakat nusantara. Pasalnya dengan masuknya agama Hindu di Indonesia, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, juga merupakan awal masuknya nusantara pada masa Sejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Yupa yang merupakan peninggalan kerajaan Kutai
Kartanegara yang bercorak Hindu pada abad 4-5 M (Jati, 2015). Meskipun demikian tidak ada yang tahu pasti tentang kapan dan bagaimana pertama kali kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia. Melihat kebingungan tentang masuknya Hindu ke Nusantara, beberapa teori dikemukakan untuk menjawab hal tersebut. Adapun beberapa teori yang telah dikemukakan adalah mulai dari Teori Brahmana, Kesatria, Waisya, Sudra, dan Arus Balik (Mardiani et al., 2019; Sudrajat, 2012). Adapun untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut: 1) Teori Brahmana, menganggap bahwa masuknya budaya Hindu dan Budha ke Nusantara adalah diperantarai oleh pemuka agama (Brahmana) dari India. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan pada masa kerajaan Hindu-Budha banyak menggunakan bahasa Sanskerta dan Huruf Palawa yang mana hanya dipelajari oleh pemuka agama Hindu. Tidak hanya itu, alasan agama Hindu hanya boleh diajarkan oleh Brahmana juga merupakan salah satu alasan dikemukakannya teori Brahmana. 2) Teori Kesatria, menganggap bahwa masuknya kebudayaan Hindu di Nusantara dibawa oleh para kesatria. Teori ini didukung dengan adanya perebutan kekuasaan di India pada awal abad ke-2 Masehi. Dengan adanya kejadian tersebut, kerajaan-kerajaan yang kalah perang disinyalir melarikan diri ke Nusantara. Adapun teori ini juga menganggap bahwa adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia didirikan oleh kesatria. 3) Teori Waisya, menganggap bahwa masuknya kebudayaan Hindu dibawa oleh para pedagang dari India (Kasta Waisya). Hal ini diyakini disinyalir oleh adanya interaksi berupa perdagangan rempah yang sejak dulu terjadi dengan masyarakat Nusantara. Dengan adanya perdagangan tersebut, para pedagang dari India mulai mengenalkan budaya Hindu pada masyarakat Nusantara. 4) Teori Sudra, menganggap bahwa kebudayaan Hindu di Indonesia dibawa oleh para imigran yang merupakan budak (kaum sudra) ke wilayah Nusantara. 5) Teori Arus Balik, menganggap bahwa masyarakat Nusantara juga ikut berpartisipasi aktif dalam perkembangan budaya Hindu di Nusantara. Masyarakat Nusantara yang tertarik dengan kebudayaan Hindu pada masa itu mencari ilmu secara langsung ke negeri asal kebudayaan Hindu, yaitu India.
Setelah orang yang tertarik tersebut menimba ilmu tentang kebudayaan Hindu, mereka kemudian kembali dan menyebarkannya kepada masyarakat Nusantara. Sama halnya dengan Hindu, Budha juga merupakan agama yang kebudayaannya berpusat di India. Bahkan dalam penggunaan teori masuknya kebudayaan, Hindu dan Budha sering dibahas dalam satu kesatuan. Oleh karena itu juga tidak ada yang tahu pasti kapan Kebudayaan Budha mulai berkembang di Nusantara. Namun, dari catatan seorang Cina yang mendarat darurat di negeri Ya-Po-Ti (beberapa ahli menganggap sebagai Jawa) pada abad ke-4 kebudayaan Budha masih sedikit di negeri tersebut, akan tetapi Budha sudah berkembang di Kan-To-Li (dianggap sebagai Sumatra) (Busro, 2017; Fitriyana, 2015). Kebudayaan Budha di Nusantara kemudian berkembang pesat pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit (Anderson, 2019). Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa agama dan kebudayaan Budha pada dasarnya sudah masuk ke Nusantara sejak sebelum abad ke-5, namun baru menjadi sebuah institusi negara pada abad ke-5 seiring dengan berkembangnya Sriwijaya dan Majapahit (Busro, 2017). Sehingga, pasang surut Budha sebagai agama juga mengikuti pasang surutnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pada era sekarang ini, Agama Hindu dan Budha masih dianut oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Meskipun tidak sebanyak penganut Islam, Kristen, dan Katholik, penganut Hindu dan Budha setiap tahunnya mengalami peningkatan (Anderson, 2019). Tidak hanya itu, Hindu dan Budha juga merupakan 2 dari 6 agama yang diakui oleh pemerintah (Noviana, 2022). Sehingga, kegiatan-kegiatan keagamaan dan tempat peribadatan banyak kita temui di berbagai tempat serta perayaan hari raya kedua agama tersebut dijadikan sebagai hari libur baik nasional maupun lokal. b. Konghucu Konghucu atau biasa juga disebut sebagai Konfusianisme merupakan salah satu agama yang dikenal, berkembang, dan diakui di Negara Indonesia. Konghucu telah diakui sejak tahun 1965 sebagai salah satu dari enam agama resmi di Indonesia (Kellyn, 2021). Beberapa tulisan menyebutkan bahwa Kebudayaan Konghucu sudah ada dan berkembang sejak abad ke-17. Hal ini dibuktikan dengan adanya
peninggalan berupa tempat peribadatan di Pontianak dan di beberapa penjuru Nusantara (Kellyn, 2021; Saidi, 2009; Sulaiman, 2009). Masuknya kebudayaan Konghucu disinyalir sudah dimulai sejak zaman akhir prasejarah tepatnya pada tahun 300 Masehi. Hal ini sangat berkaitan dengan perdagangan oleh Masyarakat Cina ke Indo-China. Setelah itu, kebudayaan Konghucu yang dibawa oleh masyarakat etnis Tionghoa berangsur-angsur tertransfer ke masyarakat Nusantara bersamaan dengan adanya migrasi masyarakat (Adinata & Miskawi, 2017). Hal ini ditambah dengan adanya migrasi besar-besaran masyarakat Tionghoa ke Nusantara setelah jatuhnya dinasti Ming pada tahun 1683 Masehi (Sulaiman, 2009). Setelah runtuhnya Dinasti Ming migrasi masyarakat Tiongkok ke Nusantara semakin besar. Hal ini disinyalir kondisi politik yang tidak mendukung masyarakat Tionghoa serta kondisi alam yang kurang subur (Sulaiman, 2009). Kebanyakan masyarakat Cina bermigrasi ke Jawa dan Sumatra. Masyarakat yang bermigrasi ke Jawa kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, sementara di Sumatra kebanyakan berprofesi sebagai pengelola perkebunan. Tidak sampai itu saja, masuknya kebudayaan Konghucu juga diperkuat dengan adanya ekspedisi oleh perintah Kaisarnya. Seperti Laksamana Cheng Ho (1470 M) dan Lo Fong pada tahun 1772 Masehi (Sulaiman, 2009). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedatangan kebudayaan Konghucu dibawa baik oleh pedagang, imigran, maupun oleh perwakilan ekspedisi. Praktik budaya Konghucu di Indonesia, seperti budaya-budaya lain yang masuk ke Indonesia, mendapatkan akulturasi dan penyesuaian dengan budaya asli Nusantara. Hal ini karena bentuk universal agama yang sulit dipahami kemudian diterjemahkan oleh budaya lokal (Tanggok, 2020). Hal ini disinyalir bertujuan untuk memudahkan masyarakat penganut budaya Konghucu peranakan etnis Cina dengan masyarakat Nusantara. Eksistensi masyarakat dengan Kebudayaan Konghucu di Nusantara maupun Indonesia sempat mengalami naik turun. Peristiwa diskriminasi pada pemerintahan Orde Baru merupakan guncangan yang besar terhadap perkembangan kebudayaan Konghucu di Indonesia (Aprilia & Murtiningsih, 2017; Tanggok, 2020). Hal ini dipengaruhi oleh adanya pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965. Orang Cina
yang pada masa itu dianggap memiliki keyakinan sama dengan Tiongkok pada umumnya, mendapatkan tekanan sosial termasuk aktivitas keagamaan. Sehingga, Konghucu sebagai agama yang dipeluk oleh kebanyakan orang Cina juga sangat dibatasi aktivitasnya, seperti beberapa Kelenteng yang disamarkan menjadi Gereja dan Vihara, penutupan sekolah berbahasa Tionghoa, dan dilarangnya berbagai macam tradisi Tionghoa pada tahun 1967(Aprilia & Murtiningsih, 2017). Agama dan Kebudayaan Konghucu kemudian diakui kembali setelah usainya pemerintahan orde baru. Puncaknya adalah dengan munculnya keputusan presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak sipil penganut agama Konghucu (Aprilia & Murtiningsih, 2017; Saidi, 2009). Setelah itu, pagelaran kebudayaan Konghucu seperti Barongsai kembali boleh untuk dipertunjukkan. Tidak hanya itu, Imlek sebagai hari raya agama Konghucu kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional. Sehingga, pada era sekarang ini kita tidak jarang bisa menikmati pagelaran, pariwisata, bahkan perayaan hari raya Konghucu. 2. Kebudayaan Kristen dan Katholik di Malang Raya Sudah tidak asing lagi bahwa Indonesia mengakui 6 agama yang di peluk oleh masyarakatnya, yakni agama islam, budha, konghucu, hindu, kristen katholik, dan kristen protestan. Sebagian besar agama di Indonesia dapat di saksikan penganutnya di kota-kota besar yakni penganut agama hindu, budha, kristen protestan, katolik, islam dan khonghucu (Jamaluddin, 2006). Menurut (Nurhasanah, 2020) mengacu pada Sudirman (2014) masuknya agama kristen di Indonesia tidak akan pernah lepas dari sejarah bangsa Portugis yang datang ke Malaka dengan membawa misi 3G (Gold, Glory dan Gospel) di abad ke -16. Penyebaran agama kristen di Indonesia meningkat disaat masa kontra reformasi yang dibarengi tibanya jesuit pertama di Asia yakni Francis Xaverius di tahun 1542, pada masa inilah terjadi pengkristenan secara besar-besaran di luar benteng portugis, terutama dibagian wilayah Indonesia timur (Nurdin, 2019). Setelah Portugis mengusai Malaka dengan monopoli perdagangan serta menyebarkan agama katolik di bagian wilayah timur yakni Tidore, Ternate, Ambon dan Halmahera, yang mana pada masa ini terdapat satu zandeling katolik bernama Franciscus Xaverius dari ordo Yesuit yang di anggap sebagai pelopor penyebaran agama katolik di Indonesia (Setiyono, 2017). Menurut (Rismawidiawati, 2019)
mangcu pada Van Den End (1980) di bidang keagamaan, penyebaran agama kristen di Indonesia dilakukan oleh organisasi misi dan zending, penginjilan yang terjadi di Indonesia di mulai dari daerah Minahasa, Maluku, Irian Jaya, Sangir Talaud, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Halmahera. Gereja muncul di Indonesia pada akhir abad ke-18, di Eropa sendiri muncul gerakan kebangunan atau revival yang nantinya akan membawa hidup kerohanian atau barau, tentunya gerakan tersebut memunculkan semangat dalam mengabarkan injil (Watania, 2015). Perkembangan agama kristen di Indonesia dibagi menjadi 2 bagian yakni kristen protestan dan kristen katolik, penyebarannya dilakukan dalam bentuk perdagangan dan pelayaran (Piay et al., 2021). Kebudayaan agama Kristen dan Katolik di Malang Raya terdiri dari tiga bentuk yakni; (1) gagasan/ide, (2) Aktifitas, dan (3) Karya. Gagasan berupa Ide atau pemikiran, Aktivitas sebagai tindakan berpola dalam masyarakat, sedangkan karya merupakan wujud fisik dari hasil aktivitas (Mukminan et al., 2017). Supaya kalian lebih memahami apa yang dimaksud, mari pahami pembahasan berikut ini dengan seksama: (1) Wujud kebudayaan Kristen dan Katholik berupa gagasan Wujud berupa gagasan atau ide tampak ketika moment idul fitri. Pengurus Gereja Katolik Hati Kudus Yesus atau Gereja Kayutangan memiliki gagasan untuk membuka pagar nya dan mengizinkan umat muslim melaksanakan Ibadah Sholat Idul Fitri di pelataran Gereja (Ramadan, 2022). Yoris pengurus gereja menuturkan penyediaan pelataran gereja Kayutangan telah dilakukan setiap tahun, agar kerukunan antar umat beragama dapat terjaga. Gagasan tersebut menunjukkan toleransi yang sangat tinggi antar umat beragama di Kota Malang (Cahyana, 2019b). (2) Wujud kebudayaan Kristen dan Katholik berupa aktivitas Wujud kebudayaan berupa aktivitas pada agama Kristen dan Katolik salah satunya yaitu Ziarah. Ziarah memiliki arti sebagai suatu kunjungan ke tempat yang dianggap suci atau mulia. Implementasi ziarah salah satunya adalah Misa di Paroki Tidar yang menjadi tempat taman doa melakukan ziarah sejak 30 November 2007. Guna melestarikan tradisi ziarah Gereja St Andreas tidar menyelenggarakan misa
ziarah pada Jumat pekan ketiga setiap bulan di Gua Maria Regina Pacis (Paroki, 2020). Pada kegiatan ziarah umat Katolik Gereja St.Andreas melakukan penghormatan dan pujian kepada Bunda Maria di Gua Maria Regina Pacis. Ziarah selain bertujuan meningkatkan doa dan penghormatan kepada Bunda Maria, misa ziarah juga menjadi upaya untuk meningkatkan tingkat spiritualitas hidup guyub dan rukun antar sesama umat (Paroki, 2020). Agar tujuan tersebut tercapat maka setiap akhir misa ziarah diadakan agenda makan bersama, acara tersebut menjadi sarana warga untuk saling mengenal dan mengakrabkan diri, Terkait makanan yang disajikan sederhana dan biasanya disediakan oleh lingkungan secara bergantian. (3) Wujud kebudayaan Kristen dan Katholik berupa karya Kebudayaan berupa artefak atau karya merupakan peninggalan berbentuk fisik yang dapat dilihat dan disentuh (Hidayat & Rusman, 2022). Peninggalan berupa artefak agama Kristen dan Katholik di wilayah Malang Raya diantaranya adalah (a) Gereja dan (b) Dekorasi Khas Natal. Agar kalian lebih memahami mari simak pembahasan berikut ini; a. Gereja Gereja merupakan tempat beribadah umat beragama Kristen dan Katolik. Gereja memiliki ruang yang sangat beragam selain ruang ibadah di dalamnya juga memiliki ruang pendeta, pengelolaan, rapat, arsip dsb. Meskipun ruang di gereja sangat beragam namun ruang Ibadah menjadi sebuah tempat yang memiliki kesakralan yang tinggi dibandingkan ruang lainnya serta menjadi ruang utama dalam sebuah gereja (Estika et al., 2017). Gereja di wilayah Malang sendiri jumlahnya cukup banyak, namun diantara semua gereja ada 3 gereja yang memiliki sejarah paling panjang di wilayah Malang. Ketiga gereja tersebut adalah 1) Gereja Immanuel alias Gereja Jago., 2) Gereja Katedral Ijen dan 3) Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus alias Gereja Kayutangan. Gereja Immanuel alias Gereja Jago merupakan tempat ibadah umat beragama Kristen. Gereja ini terletak di dekat alun-alun kota Malang tepatnya di Jl. Merdeka Barat, Kiduldalem, Kec. Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Gereja Immanuel ditetapkan sebagai cagar budaya di Kota Malang tahun 2018 . Gereja ini Dibangun sekitar tanggal 30 Juli 1861 namun baru bisa digunakan pada 31 Oktober 1861
(Aminudin, 2022). Bentuk bangunan gereja Immanuel dapat dilihat melalui gambar di bawah: Gambar 1. Gereja Immanuel Malang (Santoso, 2019) Pada awal berdirinya gereja ini bernama Protestanche Gemente te Malang. Seiring dengan perubahan masa kini disebut dengan gereja Immanuel atau jago. Arsitektur dari gereja Immanuel bergaya gotik yang identik sebagai gereja masa pertengahan Abad ke-19 (Cahyana, 2019a). Gereja Katedral Ijen didirikan pada 28 Oktober 1934 di wilayah Buring, Oro-oro Dowo, Kec. Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Gereja ini diberkati dan diresmikan dengan nama Gereja Katedral Santa Theresia oleh Romo Linus Hecnken, O.Carm. Gereja ini pada peresmian awal hanya bisa menampung umat dengan jumlah terbatas, namun kini umat dapat beribadah dengan bebas tanpa ada batasan. Ruangan gereja dapat dilihat melalui gambar di bawah: Gambar 2. Gereja Katedral Ijen Malang (Tanjung, 2018) Gereja Katedral Ijen Sejak tahun 1961 sesuai dengan Konstitusi Apostolik XXIII, tentang Hirarki Gereja Katolik Indonesia, maka nama Gereja Katedral Malang yang awalnya a Gereja Katedral Santa Theresia, diubah namanya menjadi Gereja Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel. Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus alias Gereja Kayutangan. Letak gereja ini tidak jauh dari Gereja Immanuel, berada di di Jl. Jenderal Basuki Rahmat,
Kiduldalem, Kec. Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Pada awalnya gereja ini merupakan bagian dari Paroki Surabaya. Gereja Kayutangan berdiri pada tanggal 4 Juni 1897. Gereja ini dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus, Didirikan berkat kemurahan hati Monseigneur Edmundus Sybrandus Luypen, Gambar 3. Gereja Kayutangan Malang (Tempo, 2019) Bangunan gereja ini bergaya Neo Gothic tertua di Malang. Bangunan gereja memiliki panjang 41 meter, lebar 11,4 meter dan tinggi ruangan 15,2 meter. Sekarang gereja Paroki Hati Kudus Yesus Malang atau gereja Kayutangan berada di Keuskupan Malang dan pengelolaannya diserahkan kepada para romo Ordo Karmelv (Media Paroki HKY Kayutangan Malang, 2021). b) Dekorasi Natal Berupa Kandang Tradisi mendekorasi hiasan natal berupa kandang sejak lama telah dilakukan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus atau yang lebih dikenal dengan nama Gereja Kayutangan. Pengurus gereja memilih untuk mengingat kelahiran Yesus dengan membuat dekorasi Natal berupa kandang. Dekorasi ini dipilih karena Yesus dilahirkan di sebuah kandang hewan. Di kandang tersebut, Maria menidurkan Yesus dalam palungan. Palungan merupakan yaitu tempat makanan bagi keledai dan binatang-binatang lain (Izzah, 2018). Pembuatan dekorasi kandang oleh pengurus gereja juga sangat ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena menghindari penggunaan bahan plastik. Semua bahan yang dibuat untuk membangun kandang binatang ini merupakan bahan yang berasal dari alam seperti jerami, bambu, dan bunga-bunga. Pengurus gereja mengungkapkan "Bahan baku pembuatan dekorasi dari jerami, bambu, dan bungabunga hidup semua. Semua memakai tumbuhan hidup agar tidak ada bahan plastik, supaya lebih segar. Di samping itu, sekarang kan banyak sampah plastik. Jadi, kami
juga berusaha mengurangi penggunaan plastik," ungkap pengurus gereja (Izzah, 2018). EVALUASI SOAL PILIHAN GANDA Pilihlah 1 Jawaban yang tepat! 1. $GDEHUDSDDJDPD\DQJGLDNXLROHKQHJDUD,QGRQHVLD« a. 4 Agama b. 3 Agama c. 7 Agama d. 5 Agama e. 6 Agama 2. Penyebaran agama kristen di Indonesia dilakukan oleh organisasi misi dan zending, lalu penyebaran agama kristen di Indonesia di mulai dari daerah mana saja « a. Minahasa dan Maluku b. Madura dan Jawa Timur c. Aceh dan Bali d. Papua dan Bali e. Surabaya dan Banyuwangi 3. Gereja muncul di Indonesia pada akhir abad ke« a. Abad ke-20 b. Abad ke- 18 c. Abad ke- 15 d. Abad ke- 19 e. Abad ke-2 1 4. Penyebaran agama kristen di Indonesia rata-UDWDGLODNXNDQGHQJDQFDUD« a. Perdagangan dan Pelayaran b. Pernikahan dan Kesenian c. Permusuhan dan Perkelahian d. Perdagangan dan Pemaksaan e. Kesenian dan Tasawuf 5. Perkembangan agama kristen di Indonesia dibagi menjadi 2 bagian yakni « a. Protestan dan Katolik b. Hindu dan Budha c. Katolik dan Hindu d. Protestan dan Budha e. Hindu dan Konghuchu
6. Siapakah zandeling katolik dari ordo Yesuit yang di anggap sebagai pelopor penyebaran agama katolik di Indonesia « a. Franciscus Xaverius b. Paus Fransiskus c. Paus Benediktus XVI d. Paus Yohanes Paulus II e. Santo Linus 7. Setelah Portugis mengusai Malaka dengan monopoli perdagangan serta menyebarkan agama katolik di bagian wilayah timur yakni « a. Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera b. Tidore, Ternate, Ambon dan Halmahera c. Papua, Kalimantan Barat, Kalimanta Timur dan Sulawesi d. Aceh, Sumatera, Jawa Timur dan Ambon e. Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera SOAL ESAI Jawablah soal dibawah ini! 1. Jelaskan secara singkat maksud dari misi yang di bawa oleh portugis mengenai 3G (Gold, Glory dan Gospel) di abad ke-16! 2. Mengapa Portugis melakukan monopoli perdagangan di Malaka dalam menyebarkan agama katolik?
LEMBAR KERJA MAHASISWA Kelompok Kegiatan Keagamaan Kristen dan Katolik Nama Kelompok ǥ Ketua Kelompok ǥ Anggota Kelompok 1. ǥ 2. ǥ 3. ǥ Deskripsi kegiatan Kelompok ini melakukan pengamatan pada kegiatan keagamaan kristen dan katolik di lingkungan sekitar Identitas produsen Kegiatan Keagaaman yang diamati ǥ Alamat ǥ Hal yang diamati 1. Apa saja yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan kegiatan keagamaan kristen dan katolik di lingkungan kalian? ǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥ 2. Apakah ada waktu tertentu dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan kristen dan katolik di lingkungan kalian? ǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤǤ 3. Bagaimana pengaruh kegiatan keagaaman kristen dan katolik terhadap kehidupan masyarakat setempat? ǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǤ 4. Siapa saja yang terlibat dalam kegiatan keagamaan kristen dan katolik di lingkungan kalian? ǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǥǤǤ
Lembar Jawaban LKM «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««« Bukti dokumentasi Pengamatan
DAFTAR PUSTAKA Aminudin, M. (2022). Gereja di Malang Simpan Alkitab Berusia 400 Tahun. detikjatim. https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6096998/gereja-dimalang-simpan-alkitab-berusia-400-tahun Cahyana, L. (2019a, December 24). Gereja Immanuel Malang: Tempat Ibadah dan Rahasia Negara. Tempo. https://travel.tempo.co/read/1287285/gerejaimmanuel-malang-tempat-ibadah-dan-rahasia-negara Cahyana, L. (2019b, December 25). Gereja Kayutangan, 26 Tahun Memfasilitasi Hari Besar Islam. Tempo. https://travel.tempo.co/read/1287632/gerejakayutangan-26-tahun-memfasilitasi-hari-besar-islam Estika, N., Kurniati, F., E. Kusuma, H., & Widyawan, F. (2017). Makna Kesakralan Gereja Katolik. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 6, 195 202. https://doi.org/10.32315/jlbi.6.3.195 Hidayat, S., & Rusman, A. (2022). PERLINDUNGAN HUKUM CAGAR BUDAYA. PROCEEDING JUSTICIA CONFERENCE, 1(0), Article 0. Izzah, I. (2018). Gereja Tertua di Kota Malang Tetap Pertahankan Tradisi Ini untuk Merayakan Natal. Malang TIMES. https://www.malangtimes.com/baca/34407/20181224/140600/gereja-tertua-dikota-malang-tetap-pertahankan-tradisi-ini-untuk-merayakan-natal Jamaluddin. (2006). Hukum perkawinan beda agama tinjauan: Agama agama yang di akui di Indonesia. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Media Paroki HKY Kayutangan Malang. (2021). Sejarah ± Paroki Hati Kudus Yesus Malang. https://parokikayutangan.org/sejarah/ 0XNPLQDQ0XO\DQL(1XUVD¶EDQ0 6XSDUGLIlmu Pengetahuan Sosial. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud. Nurdin, M. (2019). MEMETAKAN PERKEMBANGAN AGAMA KRISTEN DI NUSANTARA. Jurnal Ilmiah Indonesia, 4. Nurhasanah. (2020). Peranan H. Himyar Abbas Dalam Menangkal Kristenisasi di Desa Wanasalam Lebak Banten Tahun 1985-2012 [UIN SMH BANTEN]. http://repository.uinbanten.ac.id/id/eprint/5464 Paroki, T. (2020, October 17). Gua Maria dan Taman Doa Regina Pacis²Paroki Tidar, Malang. https://parokitidarmalang.org/gua-maria-dan-taman-doa-reginapacis/ Piay, F. L., Stevianus, D., & Nixon, G. (2021). Agama Kristen sebagai Opium Masyarakat danImplikasi terhadap Integrasi Nasional. Prosiding Pelita Bangsa, 1, 1±8. https://doi.org/10.30995/ppb.v1i2.522 Ramadan, A. A. M. (2022). Pelataran Gereja Kayutangan Malang Jadi Tempat Sholat Idul Fitri²Suaramalang.id. https://malang.suara.com/read/2022/05/02/105031/pelataran-gerejakayutangan-malang-jadi-tempat-sholat-idul-fitri Rismawidiawati. (2019). Perkampungan Kristen Di Muna (1920 ± 1998). Seri Penerbitan Penelitian Sejarah Dan Budaya, 19(2). https://doi.org/10.52829/pw.144 Santoso, B. (2019). Cerita Gereja dan Masjid Agung Malang 150 Tahun Memelihara Toleransi²Suarajatim.id. https://jatim.suara.com/read/2019/08/10/071719/cerita-gereja-dan-masjid-agungmalang-150-tahun-memelihara-toleransi Setiyono, B. (2017, Desember). Masuknya Kristen di Indonesia.
Tanjung, F. (2018). Wisata Sejarah Gereja Santa Perawan Maria. https://www.jawapos.com/jpg-today/09/11/2018/menengok-gereja-bergaya-neogothik-peninggalan-belanda/ Tempo. (2019). 900527_720.jpg (720×495). https://statik.tempo.co/data/2019/12/25/id_900527/900527_720.jpg Watania, A. K. (2015). SEJARAH PERKEMBANGAN GEREJA PANTEKOSTA DI INDONESIA (GPDI) PUSAT SILIAN (1956-2014). Jurnal Elektronik Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi, 3(3).