The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Strada Budi Luhur, 2023-09-13 00:48:54

Tere liye - berjuta rasanya

Tere liye - berjuta rasanya

Untuk kita, yang terlalu malu walau sekadar menyapanya, terlanjur bersemu merah, dada berdegup lebih kencang, keringat dingin di jemari, bahkan sebelum sungguhan berpapasan. Untuk kita, yang merasa tidak cantik, tidak tampan, selalu merasa keliru mematut warna baju dan pilihan celana, jauh dari kemungkinan menggapai cita-cita perasaan. Untuk kita, yang hanya berani menulis kata-kata dalam buku harian, memendam perasaan lewat puisi-puisi, dan berharap esok lusa dia akan sempat membacanya. Semoga datanglah pemahaman baik itu. Bahwa semua pengalaman cinta dan perasaan adalah spesial. Sama spesialnya dengan milik kita, tidak peduli sesederhana apapun itu, sepanjang dibungkus dengan pemahaman-pemahaman baik." Selamat membaca cerita-cerita Berjuta Rasanya. +++++ Kalian akan merasakan remuk seketika tepat di dada saat membaca buku ini. -- Fatimah Ratna Wijayanthi, Karyawan Cinta adalah sekumpulan paradoks yang membingungkan. Maka meskipun menyakitkan, cinta tetaplah membahagiakan. Bacaan yang tepat, bagi mereka yang ingin mengeja makna cinta, patah, dan hati. -- Galih Hidayatullah, Mahasiswa Saya bahkan sampai 5 kali membacanya tanpa bosan. Sebuah karya yang patut dinikmati lagi, lagi, dan lagi. -- Sulistyowati, Ibu Rumah Tangga Saya memang menyelesaikan membaca novelnya dalam waktu singkat. Tetapi setelah saya baca, membutuhkan waktu yang lama sekali merenungkan isi ceritanya. -- Rian Mantasa SP, Mahasiswa Buku galau, yang mengobati galau. --Hanif Khoiriyah, Mahasiswi


BERJUTA RASANYA – TERE LIYE 1. Kutukan Kecantikan Miss X Aku menuangkan dua sachet sekaligus gula rendah kalori ke dalam gelas plastik medium size di hadapanku, lantas mengaduknya perlahan-lahan hingga sempurna bercampur dengan aroma teh yang menyengat. Arloji di tangan menunjukkan pukul tujuh seperempat. Memang masih terlalu pagi untuk ukuran kelaziman, duduk sarapan di salah satu kedai fast food yang banyak berjejer diantara toko-toko souvenir di pelataran ruang tunggu ini. Musim penghujan membuat suasana hati terasa dingin dan lengang. Tapi sepagi dan sedingin ini, aktivitas bandara telah terlihat begitu sibukmencengangkan. Tak pernah terbayangkan kapasitas dua puluh juta penumpang per tahun itu harus segera ditambah karena semakin merakyatnya angkutan udara. Pesawat dari Frankurt yang membawa Bagus, sahabat dekatku, baru akan tiba tepat satu jam lagi. Waktu yang sangat lama untuk menunggu, lagi-lagi menurut ukuran kebiasaanku. Tapi tak mengapa, sebenarnya aku memang membutuhkan suasana ini sebelum bertemu dengannya. Ada banyak hal yang bisa diingat dengan nyaman selama satu jam ini. Barusan, dengan hanya melihat kembali fotonya yang tertawa lebar sambil memeluk istrinya yang menggendong bayi mereka, sepuluh menit menunggu pramusaji mengantarkan teh dan sepiring donut berlalu seperti angin lembut menyenangkan. Bagus mengirimkan foto itu sebagai attachment email terakhirnya minggu lalu, dan aku segera mencetaknya di atas kertas terbaik dengan setting kualitas super printer foto tercanggih milikku. Ia bercerita soal kedatangannya ke kota kami, salah satu kota terindah di dunia. Istrinya, Anna yang seratus persen asli Jerman sebenarnya memang sudah lama mendesak untuk berkunjung, “Ia bilang ingin sungkeman dengan mertuanya, tapi aku tahu ia sebenarnya ingin sekalian plesir,” tergelak Bagus menceritakannya dalam email enam bulan lalu. Dan sekarang kebetulan dalam suasana tahun baru, mereka bisa mengambil cuti akhir tahun yang cukup panjang. Apalagi Anton, bayi mereka sudah berumur setahun lebih, sudah tidak terlalu merepotkan lagi untuk diajak terbang berjam-jam melintasi benua. Aku pertama kali mengenal Bagus sebenarnya dalam situasi yang tidak menyenangkan, sepuluh tahun silam. Saat itu kami sama-sama sedang teraniaya di “ruang dosa” ospek kampus baruku, dan dalam suasana seperti itu orang-orang senasib seperti kami dengan segera bisa menjadi sahabat baik. Meskipun berbeda fakultas dengan jarak gedung kelas berjauhan, bisa dibilang hampir setiap hari kami bertemu, karena ternyata aku dan Bagus tinggal di rumah pondokan yang sama. Hingga lulus dan kemudian bekerja, kami memutuskan untuk tetap “menetap” di tempat tersebut. Tak pelak lagi, setiap malam adalah malam-malam percakapan, perdebatan, hingga curhat dan saling olokmengolok. Awalnya topik pembicaraan kami hanya berkisar soal kesibukan kuliah, aktivitas kampus, hobi masing-masing atau permasalahan ringan lainnya. Semakin ke sini, filosofi kehidupan, perjalanan percintaan, cita-cita hidup dan topik yang lebih berat serta beragam lainnya mulai bermunculan.


Bagus adalah teman terbaik dalam berdiskusi. Ia adalah pendengar yang baik, walaupun bisa dibilang selama ini akulah yang banyak mengambil inisiatif obrolan atau menceritakan masalah. Ia sangat terlatih untuk mencari solusi dalam segala persoalan, kecuali yang satu itu: soal wanita. *** Aku ingat sekali, malam itu jam sembilan kurang seperempat, laiknya serdadu perang tanpa salam apalagi ketuk pintu, Bagus menyerbu masuk ke dalam kamarku. “Cantik, cantik banget, Rik!” ia bahkan belum sempat melepas kaos kaki dan pakaian necis kerjanya seharian ini. Aku yang sudah sepuluh menit terpekur di hadapan laptopku, buntu mencari ide tulisan, menoleh dan menanggapi dengan ekspresi seadanya. “Siapa?” “Lu gak bakalan percaya. Lu tahu kan, hari ini gue dipindah ke HQ Sudirman, jadi tadi pagi gue naik bus 102. Lu tau apa yang gue temukan? Cewek, man. Gile! Sebelas dari nol sampai sepuluh,” aku merasa antusias Bagus membuat air mukanya terlihat bercahaya. Dengan sigap ia menjulurkan sepuluh jarinya,tentu saja bukan sebelas. Aku tersenyum, menutup laptop. Saatnya sekarang untuk membalas kebaikan yang selama ini sering ia lakukan untukku. Menjadi pendengar yang baik. Miss X, begitulah nama gadis itu. Ini kata Bagus di hari ke sepuluh semenjak malam ia menceritakannya untuk pertama kalinya. Tentu, aku yakin nama aslinya tak sependek itu, tapi karena hingga hari itu, ia belum berani juga menegurnya, apalagi bertanya soal namanya, maka untuk mempermudah penyebutan terpaksa kami menggunakan nama itu di percakapan rutin malam. Berambut sebahu, lurus bagai di-rebonding, hitam legam bercahaya. Matanya tajam dan indah dengan alis yang sempurna. Hidungnya elok dan proporsional. Bibirnya mungil merekah bagai buah merah delima. Kulitnya putih mulus berseri, dan ia memiliki tahi lalat kecil di dagunya yang belah, membuatnya berpadu semakin aduhai dengan lesung pipitnya. Gadis ini selalu mengenakan blouse warna gelap dengan rok di bawah lutut yang sewarna. Dan selalu duduk di kursi dekat jendela kiri baris dua bus patas AC tersebut. Deskripsi yang sangat baik untuk ukuran seseorang yang hanya sempat melirik selintas ketika melewatinya menuju kursi bagian belakang bus yang masih kosong. Akan tetapi jangan tanya soal tinggi tubuhnya dan parfum yang dipakainya, Bagus belum pernah melihatnya berdiri, karena ia turun lebih dulu dibandingkan gadis itu, dan ia juga belum pernah berkesempatan duduk di dekatnya, karena tempat duduk bagian depan biasanya sudah terisi penuh setiba di halte kampus. Meski aku tidak terlalu percaya dengan deskripsinya, masak iya ada cewek secantik itu, aku membesarkan hatinya dengan cerita-cerita percintaanku selama ini yang mengharu biru, tentang perasaanku ketika aku jatuh cinta pada pandangan pertama, walaupun di sana-sini lebih banyak olokolok yang kulemparkan padanya, karena sebenarnya aku selalu jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis-gadis cantik yang kukenal.


Dan Bagus menerimanya seperti anak kecil yang begitu senang didongengkan tentang sebuah epik. Nampaknya prospek topik pembicaraan malam kami satu bulan ke depan tidak akan bergeser dari isu Miss X ini, dan sialnya menilik keberanian Bagus selama ini serta dari cerita-ceritanya aku pesimis dengan sebuah kemajuan yang berarti dalam waktu dekat. Akan tetapi diakhir bulan, ternyata Bagus menceritakan sebuah perkembangan baru. “Lu tau gak Rik, tadi pagi gue berangkat jam enam pagi?” “Tahu, kamar lu udah sepi pas gue berangkat. Memangnya lu di pindah ke cabang jauh sana?” “Tetap HQ, fren. Gue tadi pagi nggak nyetop bus di halte kampus. Gue ke terminal dulu” “Loh bukannya nggak praktis seperti yang lu sering ceramah-in ke gue?” Aku malas sebenarnya mengajukan pertanyaan ini, karena sebenarnya aku tahu persis alasannya kenapa ia tiba-tiba memilih untuk berangkat lebih pagi, dan “membakar” setengah jam waktu paginya yang berharga, sesuatu yang amat dibencinya selama ini. Apalagi kalau bukan soal Miss X. Menunggu di terminal dan mencari kesempatan untuk duduk di sampingnya saat ia naik bus adalah strategi lumrah yang biasa aku lakukan selama ini untuk mencari cara berkenalan dengan wanita-wanita komuter, ini istilahku untuk wanita teman satu busku. Sayangnya ketika aku bertanya apakah ia akhirnya berhasil duduk di sebelah Miss X. “Gue nggak berani, Rik,” jawab Bagus mengenaskan. Bah! *** Aku salah besar. Topik pembicaraan ini ternyata menguasai dengan sempurna malam-malam diskusi kami di kost-kostan selama enam bulan berikutnya. Tiga bulan pertama sebenarnya masih mengasyikkan mendengar kepolosan Bagus menceritakan perasaannya yang galau, lantas aku memperolok-oloknya. Akan tetapi lama-kelamaan aku kehilangan kesabaran dan selera bermain-main lagi. Untuk ukuran kelazimanku, tingkah laku Bagus soal yang satu ini sangat memalukan. Aku bisa menerima alasan bahwa memang tidak mudah untuk menjalin hubungan dengan seorang gadis yang cantik, apalagi itu cinta pertama. Akan tetapi fakta bahwa ia menyadari sangat menyukai Miss X, dan berkali-kali berkata, “Tak bisa hidup tanpanya, Rik” ternyata tidak mampu membuatnya untuk membuat kemajuan yang berarti, selain menceritakan hal yang itu-itu saja (kecuali soal tinggi Miss X yang 160 cm, kurang lebih sedagunya—Bagus akhirnya memutuskan untuk membuntutinya hingga ia turun di salah satu halte jalan Thamrin) membuatku jengkel setengah mati. Aku kehilangan kesabaran atas kepengecutannya. Dan lebih gemas lagi ketika ia mencoba mencari-cari alasan untuk menjelaskan kepengecutannya itu. Capai sudah aku


menceramahinya soal Tania, macan kampus yang dulu aku taklukan dengan nekad berdiri di depan rumahnya berhari-hari, atau Dewi anak kost-kostan seberang rumah yang kupikat dengan pura-pura menyukai serial teleivisi Friends lantas mendapatkan alasan untuk meminjam koleksi DVD original miliknya. Belum lagi gadis-gadis lain yang pernah menjadi pacarku selama ini yang sebenarnya belum pernah kuceritakan ke orang lain. Tak kurang pula berpuluhpuluh buku referensi soal beginian kulemparkan ke kamarnya. Bulan depan, genap setahun malamku dihabiskan untuk membahas Miss X. Dan ketika aku dicemaskan kemungkinan setahun penuh ini malam-malamku mubazir dihabiskan hanya menjadi pendengar yang baik, malam itu Bagus datang ke kamarku, membahas soal lain. Minggu depan ia akan tugas belajar ke Jerman. Aku tercengang, bukan karena surprise terbebaskan dari topik yang selama ini menjengkelkanku, tapi lebih karena teramat mendadak. “Nggak juga sih Rik, sebenarnya sudah hampir enam bulan ini gue merencanakannya. Tapi, selama ini gue emang nggak sempat cerita ke lu,” Bah! Tentu saja tidak akan pernah sempat. *** Semenjak itu, pembicaraan kami soal Miss X tutup buku. Benar-benar tutup buku. Bagus bahkan tak pernah membahasnya dalam email-email yang dikirimkannya setelah ia benarbenar berangkat ke Jerman. Hanya ada satu email yang sempat menyinggung soal Miss X ini, dan itu dikirimkannya ketika ia mulai mengenal Anna sebagai partner risetnya di universitas Jerman enam bulan setelah ia berada di sana. “Rik, setelah gue pikir-pikir, gue rasa gue bukanlah cowok pengecut seperti yang selama ini lu olok-olokkan. Buktinya sekarang gue dengan mudah bisa mengenal dan dekat dengan Anna. Semuanya berjalan begitu lancar, gue sendiri nggak pernah merasa perlu menggunakan tips-tips dari lu. “Tapi kenapa waktu itu sangat sulit ya??? Gue juga nggak tahu persis kenapa. Mungkin gue pikir dialah yang menjadi masalahnya. Sosoknya terlalu kuat, fren, terlalu mempesona, membuat gue begitu terdeterminasi. Rik, gue berani bertaruh: semua pria yang pernah mengenalnya dan memiliki perasaan suka dengannya juga mengalami kejadian seperti gue. Mungkin dia adalah kutukan yang sempurna atas sebuah kecantikan.” Aku tersenyum sambil nyengir hambar sekaligus getir. *** Sekarang pukul delapan lewat dua puluh lima menit. Cangkir tehku yang kedua juga sudah habis. Pesawat yang membawa sahabat baikku sepuluh menit lalu sudah mendarat. Dan sekarang pasti Bagus sedang menggandeng istrinya sambil mendorong kereta bayinya menyelusuri lorong-lorong bandara. Aku berdiri beranjak meninggalkan kedai fast food. Kuletakkan selembar uang dua puluh ribuan sebagai tips di atas meja. Hari ini aku sedang ingin berbagi kebaikan.


Apa yang pertama kali akan kulakukan? Tersenyum lepas menyapa dan memelukya? Sekadar bersalaman menanyakan kabar? Atau mengungkapkan segala kejadian yang ia tidak ketahui setelah ia pergi ke Jerman? Tiba-tiba aku berdiri dengan sebuah perasaan yang tak kukenali lagi di depan pintu keluar penumpang itu. Ah, seandainya Bagus tahu, hari ini tepat dua tahun lamanya aku juga tersiksa. Seandainya ia tahu apa yang telah terjadi sehari setelah aku mengantar kepergiannya di bandara waktu itu. Aku begitu terpukul melihat air mukanya yang sangat kecewa saat itu, dan satu-satunya penyebab kekecewaan itu apalagi kalau bukan persoalan Miss X. Kesedihan itu semakin dalam karena Bagus tidak pernah lagi berkata-kata soal ini selama seminggu sebelum keberangkatannya, benarlah kata orang terkadang sembilu lebih tajam tanpa dihujamkan, dan karena itulah aku tiba-tiba menjadi begitu benci, begitu dendam pada gadis itu. Aku memutuskan untuk menemuinya di atas bus patas AC 102 pagi hari kemudian. Harus ada “perhitungan” berarti dengannya. Tetapi ternyata kamu benar Gus, gadis itu adalah sebuah kutukan. Hingga hari ini genap sudah dua tahun aku selalu “terpaksa” naik bus itu, padahal kamu tahu persis kantor redaksi majalahku bagaikan langit dan bumi dengan arah bus itu. Ada obsesi yang selalu memaksaku untuk melirik kursi dekat jendela sebelah kiri baris kedua dari depan itu. Ada berjuta kebahagiaan aneh-mengendalikan yang datang meski sebatas hanya memandang sekilas wajahnya yang begitu…. Ada sebuah ekstase di sana….. Dan ternyata aku tak mampu melakukannya lebih dari itu, hingga hari ini, meskipun sekadar untuk berkata, “Hi. Saya Erik, boleh kenalan?” ***


2. Cintanometer Di kota kami, walau terletak persis di tengahtengah gurun pasir maha luas, hujan bukanlah barang langka. Jika penduduk kota ingin merasakan hujan, maka tinggal bilang ke balai kota. Seperti kemarin, anak tetangga sebelah rumah, rindu berat berlari-lari di atas gelimang lumpur, di bawah atap langit yang mencurahkan beribu-ribu bulir air kesegaran. Maka orang tuanya segera memesan hujan. Selang dua belas menit kemudian, awan hitam datang berarak, guntur dan petir sambar menyambar, tak lama turunlah hujan sesuai pesanan. Jangan salah sangka dulu, kota kami memang terpencil jauh dari seluruh penjuru dunia, tetapi bukan berarti penduduk kota kami lebih primitif dibandingkan kalian. Kami tidak memanggil hujan lewat dukundukun, nyanyian-nyanyian, apalagi sesembahan tak berguna itu, sebaliknya kami memanggil hujan dengan teknologi tingkat tinggi. Maju sekali, malah jauh lebih maju dibandingkan dengan menerbangkan pesawat untuk menaburkan butiran pembuat hujan di awan-awan yang biasa ilmuwan kalian lakukan. Di sini banyak penemu. Yang terhebat di seluruh dunia, malah. Jadi jangankan soal hujan, soal rumit lainnya, seperti mobil terbang, rumah mengapung, lampu tenaga udara, pil anti lapar, suntikan seribu penyakit dan yang lebih sulit lainnya ada di sini. Dengan berbagai penemuan hebat itu, kehidupan berjalan amat baik dan berkecukupan. Tetapi suatu hari, dewan kota mendadak mengadakan pertemuan. Tentu ada hal super penting yang telah terjadi, karena rapat ini adalah rapat mendadak untuk pertama kalinya dalam lima ratus tahun terakhir. Para tetua risau sekali tentang sesuatu. Tentang mengapa angka pertumbuhan penduduk kota ini stagnan, bahkan dua tahun belakangan justeru minus sekian persen. Jika trend pertumbuhan penduduk tetap seperti itu, dikhawatirkan seratus hingga dua ratus tahun mendatang, penduduk kota ini akan musnah. Lama berdebat akhirnya ditemukanlah muasal permasalahannya. Yaitu karena angka pernikahan anakanak muda turun amat tajam. Kenapa angka pernikahan turun amat tajam? Karena anak-anak muda ternyata susah sekali menemukan jodohnya masing-masing. Kenapa anakanak muda amat susah menemukan jodoh? Karena angka penolakan cinta meningkat tajam. Dan kenapa angka penolakan cinta meningkat tajam? Karena anakanak muda itu terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya. Takut ditolak, takut ditertawakan, takut dihinakan, lebih sial lagi akan dikenang sepanjang masa: sebagai pecundang. Tetua kota ramai lagi berdebat mencari solusi masalah pelik ini. Bagaimana agar anak-anak muda itu tidak cemas dan takut lagi menyatakan cintanya? Akhirnya setelah berbagai usulan diterima, mulai dari yang sama sekali tidak masuk akal hingga yang malah tidak ada kaitannya sama sekali dengan akar permasalahan, solusi yang dimaksud disepakati. Dewan kota akan menciptakan alat pendeteksi cinta. Sebut sajalah namanya cintanometer. Bentuk fisiknya kurang lebih mirip freehand telepon genggam yang kalian kenal selama ini. Dicantolkan di telinga, dan ia dengan kecanggihannya akan memberitahukan perasaan yang sedang dipikirkan oleh lawan jenis di hadapanmu. Bagaimana caranya? Tidak jelas juga seperti apa. Terlalu rumit untuk dituliskan. Tetapi kurang lebih cintanometer akan mendeteksi gesture tubuh, kadar pheromon, getaran arus listrik yang timbul dari detak jantung pasangan Anda, medan elektromagnetik yang muncul dari sekujur kulitnya, sinyal alpha dari bola matanya, frekuensi dan lamda getaran suara saat


pasangan Anda berbicara dan berbagai pemicu kimiawi lainnya yang terus terang aku juga tidak terlalu mengerti. Dengan cintanometer itu, anak-anak muda tak usah malu lagi menyatakan cinta. Alat ini seratus persen akan menjamin kalkulasi variabel yang ditangkapnya benarbenar nyata. Deviasi kesalahannya kecil sekali, sehingga kalian tak usah lagi khawatir ditolak mentahmentah. Mendengar kabar tentang cintanometer, penduduk kota kami dilingkupi kegairahan yang luar biasa. Mereka belomba-lomba mencari tahu sejauh mana kemajuan ilmuwan terbaik mereka menciptakan alat pendeteksi cinta tersebut. Tak sabar lagi mereka menunggu hari H peredarannya di toko-toko kelontong. Malah di tengah-tengah kota dipasang penghitung waktu mundur (countdown) menunjukkan sisa hari peluncurannya. *** Dan ketika tiba hari H peluncuran cintanometer itu, kota kami heboh sekali. Inilah penemuan terbesar sepanjang masa. Muda-mudi berdiri mengantri membentuk kelokan puluhan kilometer di depan balai kota untuk mendapatkan alat pendeteksi cinta. Lelaki tua dan wanita tua yang tak laku-laku juga terselip hampir di setiap dua-tiga pengantri. Orang-orang tua yang sudah menikah pun ternyata ikut mengantri. Juga anak-anak di bawah umur. Rusuh sekali antrian itu. Saling menyelak. Jangan pernah kalian meleng sedikit saja, alamat tempat berdiri sudah diisi oleh tiga-empat orang yang tak dikenal. Semakin lama kerusuhan dalam antrian semakin meluas. Masalahnya ternyata pembagian alat tersebut agak sedikit terganggu karena baru saja tetua kota menyadari mereka sama sekali belum melakukan analisis dampak lingkungan atas cintanometer ini. Tak ada yang pernah berpikir hal ihwal yang akan terjadi akibat beredar bebasnya alat ini, apalagi lihatlah batasan umur para pengantri di depan sana. Semakin siang antrian semakin kusut. Maka tetua kota tak ada pilihan lain kecuali mulai membagikan cintanometer itu. Lupakan dulu soal analisis dampak lingkungan tersebut. Yang penting antrian penduduk kota tidak berubah menjadi anarki. Mereka berebut menyambar kotak-kotak kecil itu. Untunglah tak ada satu pun warga kota yang mengantri menginginkan benda tersebut yang tidak kebagian. Lepas senja semuanya bisa pulang dengan senyuman lega. Berharap banyak atas benda kecil tersebut. Tetapi, wahai, tahukah kalian apa yang terjadi sekejap setelah itu? *** Kota kami tiba-tiba berubah menjadi lautan cinta. Lihatlah anak-anak muda, mereka seolaholah sedang berlomba-lomba menyatakan cintanya. Di sepanjang jalan-jalan, di taman-taman kota, di kafekafe, di pelataran parkir dan pertokoan, di ruangruang kelas, di atas mobil-mobil dan gerbong kereta, di dalam lift dan toilet, hingga di altar-altar suci rumah ibadah yang seharusnya hanya dipakai untuk berdoa. “Clarice, aku cinta padamu?” seru seorang pemuda dari salah satu meja, di kafe tengah kota.


“Aku sudah tahu, Leonardo!” gadis itu juga berteriak sambil memperlihatkan alat itu di telinganya. Mereka berdua tertawa. Juga tertawa bersamaan dengan seluruh isi kafe lainnya. Anakanak muda yang dimabuk asmara. Bersemu merah saling menggenggam tangan. “Patrice, andai kau meminta bulan, tentu tak sungkan aku berikan….” “Sudahlah, Desovov….” dan gadis di meja satunya lagi itu melompat menyeberangi piringpiring. Sungguh. Padahal kemarin, kemarinnya lagi, minggu-minggu lalu, dan sepanjang hari selama setahun terakhir ini gadis itu hanya mampu berdiri menatap pemuda pujaannya lewat begitu saja di gang bawah sana dari balik teralis jendela. Terlalu gentar untuk mengakui. Terlalu takut untuk menyatakan cintanya. Kemanapun kau pergi malam itu, maka yang akan kau dapati hanyalah anak-anak muda dengan trendi mengenakan cintanometer di telinganya, berjalan kesana-kemari coba menemukan pasangannya. Saat alat di telinga mereka berkedip-kedip, mereka berseru kegirangan. Itu berarti ada seseorang yang mencintainya radius seratus meter darinya. Apa yang terjadi kemudian? Tergantung. Jika pasangan yang ditunjukkan oleh cintanometer itu ternyata tampan dan memang pujaan jantungnya selama ini, maka tak sungkan ia menggamit tangannya, menatap tersenyum dengan muka bersemu merah. Tetapi jika ternyata pasangan yang ditunjukkan oleh cintanometer itu ternyata jelek dan malah sosok yang dibencinya selama ini, maka dengan terbirit-birit ia akan lari menjauh. Amat beruntung seorang pemuda atau gadis yang berkali-kali cintanometernya berkedipkedip. Itu berarti ada banyak pilihan baginya untuk menyatakan cinta. Dan di tengah-tengah keramaian cinta ini, ironisnya, ada saja pecinta yang tidak sedikit pun cintanometernya berkedip-kedip. Awalnya mereka tidak terlalu panik. Mungkin alat miliknya rusak atau baterainya habis. Mereka buru-buru mencoba meminjam alat pendeteksi cinta milik temannya, berharap nasib akan berubah. Percuma. Semua alat yang dikeluarkan oleh balai kota selalu dalam kondisi seratus dua belas persen oke. Maka tinggallah mereka merana menjadi penonton pertunjukan cinta di kota kami. Tetapi siapa peduli dengan orang-orang yang tidak beruntung itu? Jumlah mereka sedikit. Dan bukankah dengan demikian, alat pendeteksi cinta itu membantu seleksi genetik kota kami. Pemuda atau gadis yang tak pernah dicintai oleh seseorang maka sudah sepatutnyalah tidak meneruskan keturunan genetiknya, demikian kesimpulan tetua kota. Mendengar laporan meningkatnya angka jatuh cinta anak-anak muda di kota kami, tetua kota tersenyum lega. Permasalahan besar itu nampaknya teratasi sudah. Mereka bersulang di balai kota, berseru bersama memuji kepintaran para penemu. Tanpa sedikit pun menyadari laporan itu ternyata belum lengkap benar. Karena pelahan-lahan muncullah berbagai masalah akibat cintanometer itu. ***


Vyrzas, lelaki baya berumur enam puluh tahun, duduk menangis di pojokan kota sambil mengelus kepala botaknya penuh penyesalan. Dengan alat itu, barusan ia tahu bahwa sesungguhnya semenjak empat puluh tahun silam hingga hari ini, Veronica, kembang kampus universitas kota kami, ternyata amat mencintainya. Ah, mengapa alat ini baru diciptakan sekarang? Sesalnya. Lihatlah, wanita tua itu sudah beranakpinak dengan pria lain. Ia dulu ternyata terlalu naif menganggap dirinya jelek, bodoh dan sama sekali tidak berguna bila dibandingkan dengan gadis itu yang amat cantik, pintar dan populer. Tetapi kesedihan Vyrzas bukan masalah serius bagi tetua kota saat ini. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Toh itu murni kesalahan Vyrzas. Yang lebih penting dan mendesak, lihatlah berbagai pertengkaran yang segera menyeruak di rumah-rumah penduduk. “Aku tak menyangka hatimu busuk selama ini!” Nenek itu berseru kencang dari salah satu rumah. “Apa maksudmu?” “Lihat ini!” Ia berseru sambil memperlihatkan telinganya. Kakek itu tersumpal mulutnya. “Pokoknya aku tidak mau lagi melihat mukamu di rumah ini. Pergi! Pergi bajingan!” Nenek itu menangis dalam marah. Ia tidak menyangka pemuda yang dinikahinya enam puluh tahun silam ternyata sedikit pun tidak mencintainya. Jangankan berkedip, mendesing pun tidak cintanometer di telinganya. Ternyata suaminya menikahinya semata-mata karena kedudukan dan harta orang tuanya. Segeralah berbagai borok suami terbongkar. Berbagai aib istri terbuka lebar-lebar. Banyak sekali pemuda yang menikahi istrinya hanya karena harta, kekuasaan, atau kecantikan wajah. Dan sebaliknya gadis-gadis yang menikah hanya karena tebalnya kantong suaminya, rumahrumah, mobil-mobil terbang dan berbagai kemewahan dunia lainnya. Mereka bertengkar hebat malam itu. Cintanometer benar-benar menelanjangi para pelaku selingkuh. Suami-suami yang tidak cinta lagi melihat tubuh istrinya. Suami-suami yang lebih suka menghabiskan malam-malan di barbar kota. Alat itu juga membantu anak-anak yang tak beruntung menerjemahkan perasaan sesungguhnya dari ayah atau ibu tiri mereka. Dengan segera di tengah-tengah lautan cinta yang terjadi di jalanan, harmoni rumahrumah tangga penduduk kota kami satu demi satu rontok. Tetua kota segera berembug membahasnya. Satu dua tetua kota berkata pelan di tengah keramaian: ia memang dari dulu sudah khawatir sekali dengan alat pendeteksi cinta ini, sudah terlalu banyak penemuan tidak pantas yang telah mereka buat selama ini. Penemuan yang menebas tata aturan kehidupan. Cinta adalah urusan langit dan tidak sepantasnya mereka mencoba mengakalinya. Tetapi mayoritas tetua kota kami mengabaikan keluhan itu. Jika ada masalah yang muncul dari cintanometer itu maka anggap saja harga yang harus dibayar untuk mengatasi permasalahan pertambahan penduduk kota. Dan bukankah lebih banyak anakanak muda yang akan segera melangsungkan pernikahannya dibandingkan dengan rumah tangga yang hancur berantakan?


Malam itu juga putus. Cintanometer akan terus diedarkan. *** Hari-hari berlalu menjadi setahun, setahun berjalan dirangkai hari-hari. Siang ini genap lima tahun semenjak penemuan itu pertama kali diluncurkan dulu. Lihatlah apa yang terjadi di kota kami. Bayibayi mungil kelihatan di mana-mana. Jumlah penduduk double. Krisis kepedendudukan itu lewat sudah. Cintanometer selama lima tahun berturut-turut mendapat penghargaan Penemuan Terbaik Tahun Ini. Setiap tahun fiturnya di tambah, dibuat lebih gaya dengan model dan warna-warni mutakhir. Penggunaannya pun semakin friendly user, tidak berkedip, tetapi berbisik. Bisikan cinta yang bisa di setting sedemikian rupa, termasuk menggunakan suara artis favorit kalian. Malah cintanometer oleh sebagian besar penduduk kota di usulkan agar ditetapkan sebagai penemuan terbaik sepanjang abad ini. Melihat situasi yang sedang berkembang dalam masyarakat, sepertinya wacana itu akan benar-benar menjadi kenyataan. Masalahnya di tengah-tengah kegembiraan tetua kota, dan leganya perasaan anak-anak muda, ada sesuatu yang tanpa disadari pelahan-lahan merubah kehidupan kota itu. Alat itu bagi sebagian orang ternyata dari hari ke hari secara pasti membuat kehidupan mereka menjadi sangat sistematis, terukur dan tidak menarik lagi. Tidak ada lagi seorang pemuda atau seorang gadis yang berdiri cemas menunggu di halte, berharap idaman jantungnya datang dan mereka bisa pergi satu bus, syukur-syukur bisa duduk bersebelahan. Tidak ada lagi degup jantung penasaran saat seorang pemuda menyatakan cintanya, menyajak puisi-puisi, menggenggam tangan sang kekasih. Tidak ada lagi lipatan suratsurat yang secara sembunyi-sembunyi dititipkan atau diselipkan di lemari sekolah, sekuntum bunga mawar yang dikaitkan di pintu rumah, atau seorang pemuda yang memetik gitar bernyanyi keraskeras di halaman rumah gadis idamannya. Semakin lama, malah tidak ada lagi cokelat berbentuk jantung sebagai hadiah penanda cinta, tidak ada lagi balon-balon merah itu, tidak ada lagi cupid si peri cinta. Tidak ada lagi syairsyair kerinduan, soneta pujaan hati, tidak ada lagi irama ratapan kesendirian. Penduduk kota ini tidak memerlukan itu semua. Cinta pelahan-lahan namun pasti telah berubah menjadi barang instan. Jika cintanometer berkedip-kedip itu artinya cinta. Jika tidak berkedip-kedip maka tidak ada cinta. Lama-lama penduduk kota mulai lupa apa itu cinta, bagaimana sesungguhnya perasaan seseorang saat jatuh cinta? Mereka hanya mengerti soal kedip dan tidak mengedip. Bisik atau tidak berbisik. Lama-lama mereka malah kehilangan kosa kata cinta? Siapa lagi yang perlu kata cinta jika kau bisa menterjemahkannya dengan mudah melalui sebuah alat mungil yang canggih? Berbisik berarti oke, tidak berbisik cari yang lain. Sesederhana itu. Maka kata cinta dihapuskan dari kamus besar bahasa kota kami, karena tak ada lagi yang mengerti apa maksudnya. Berikut kata-kata yang menyerupai dan menyertainya. Kalian tak akan lagi menemukan kata: kasih, sayang, rindu, bertepuk sebelah tangan, pungguk merindukan bulan, bujang tua, jomblo dan kata-kata lainnya. Dan ketika aku sempat berkunjung ke kota itu minggu lalu. Dalam ramainya ruang pesta di balai kota, aku tersenyum bersalaman dengan penduduk kota. Berkata mengenalkan diri,


“Namaku Jun. Aku pengelana hati. Datang dari jauh mencari cinta. Adakah gadis rupawan di kota ini yang masih sendiri dan mau menghabiskan sisa hidup bersamaku?” mereka menatapku aneh sekali. Seperti kalian sedang menatap mahkluk dari galaksi lain. ***


3. Pandangan Pertama Zalaiva Zalaiva dengan pakaian kanak-kanaknya berjinjit pelan membawa dua butir telur ayam di genggaman tangan kanannya, sementara tangan kirinya meraba-raba selusur papan kandang. Rok bersulam kupu-kupunya terkena bercak lumpur di mana-mana, sementara pipi montok menggemaskan itu sekarang seperti muka prajurit indian, tercoreng dua saput kotoran. Entah oleh apa, bisa jadi oleh tahi ayam. Tampangnya serius sekali membawa telur-telur itu, sementara kakeknya berdiri mengamati tersenyum sambil memungut telur di rak yang lebih tinggi. Sayang sekali sebelum ia tiba di ember besar yang diletakkan di sebelah kaki kakeknya, seekor ayam jantan entah dari mana asalnya, terbang masuk kandang. Berkotek menyergap tubuh mungil Zalaiva. Gadis kecil itu berseru kaget. Telur-telur di genggaman tangannya terlepas, terlontar entah kemana. Zalaiva untuk sepersekian detik bisa mendengar telur itu satu per satu jatuh menghantam lantai semen, seperti kalian bisa melihat tetesan air jatuh dari langit secara patah-patah. Dan telur-telur ringkih itu pecah tak karuan. Sambil menahan sakit di lututnya gadis kecil itu mencoba berdiri, matanya yang tak berbintik hitam berkaca-kaca, ia merabaraba tertatih melangkah mendekati kaki kakeknya takut-takut, sebentar lagi gadis itu pasti menangis. Tetapi kakeknya tidak marah. Justeru duduk jongkok menyambut tubuh mungil itu. Tersenyum, menghapus buliran air mata di pipi Zalaiva, menatapnya amat bijak, kemudian memegang bahunya dengan lembut. “Jangan dipikirkan. Hanya telur, sayang!” Tetapi Zalaiva tetap terisak. Kakeknya sambil menghela nafas dalam-dalam, pelahan duduk selonjor di lantai lorong kandang ayam. Ia menepuknepuk bulu ayam di pakaian bidadari kecilnya, lantas mendudukkan Zalaiva di pangkuannya. Topi jerami itu ia sangkutkan sembarang tempat. Di peternakan ini, Zalaiva hanya tinggal dengan kakekknya seorang. Tidak ada siapa-siapa lagi. Dulu pernah ramai sekali, tetapi satu persatu penghuninya pergi dengan kenangan getir dan tak pantas diingat lagi, apalagi oleh Zalaiva yang sedang tumbuh dengan segala kepolosan hidup. Rumah besar itu sekarang berdiri suram seolah-olah penuh kutukan. Tetapi Zalaiva tidak tahu dan tidak peduli. Ia punya kakek yang selalu pandai bercerita. “Tahukah, sayang. Jika kau melemparkan sebutir telur dari atas awan, saat jatuh menimpa tanah sedikit pun telur itu takkan retak sepanjang kau punya sesuatu!” Kakeknya berbisik di telinga Zalaiva. Beginilah yang selalu ia lakukan jika Zalaiva tiba-tiba menangis sedih. Ia selalu membisikkan kisah-kisah indah, karena suatu saat ia yakin Zalaiva berhak atas manisnya kehidupan ini. Dan gadis mungil itu seperti biasa, mendongakkan kepalanya penuh rasa ingin tahu, mengerjap-ngerjapkan mata bulatnya, lantas menggeleng. Saat-saat seperti ini selalu menyenangkan baginya. “Dan tahukah kau apakah sesuatu itu?” Zalaiva menggeleng lagi. “Sesuatu itu adalah cinta!”


Kakek menyebut pelahan dan penuh perasaan kata itu. Seperti menggantungnya menjadi bintang di langitlangit kandang. Zalaiva justeru berpikir tentang hal lain. “Kalau begitu cinta itu seperti kasur, ya Kek? Yang saat Zalaiva loncat-loncat di atasnya tidak terasa sakit?” “Bukan. Cinta itu tidak seperti kasur, sayang” “Jadi bagaimana ia membuat telur itu tidak pecah?” “Karena cinta itu akan memberikan sepasang sayap yang indah kepada telur itu, sayang.” Kakeknya tersenyum sambil menciumi ubun-ubun gadis mungil itu. “Jadi cinta itu seperti burung!” “Ya. Seperti burung, ia akan membawamu terbang kemana saja. Membuatmu bisa memandang seluruh isi dunia dengan suka cita, bahkan terkadang kau merasa seluruh dunia ini hanya milikmu seorang.” Gadis mungil itu ikut-ikutan mendongakkan kepala menatap kosong langit-langit kandang. Membayangkan mendengar kepak-kepak sayap burung yang sama sekali berlum pernah dilihatnya. Sepertinya itu amat menyenangkan. “Kakek, Zalaiva ingin cinta!” *** Kemudian, hari-hari berikutnya Zalaiva jadi sering sekali bertanya tentang cinta. Suatu pagi saat ia berlatih bernyanyi do-re-mi sambil belajar berdansa, patahpatah memegang tangan renta kakeknya, Zalaiva menyela, “Kakek, apakah cinta itu menyenangkan seperti musik?” “Ya. Ia seperti musik, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.” “Kalau begitu, Zalaiva ingin cinta!” Kakeknya tersenyum meringis sambil memijatmijat pinggangnya. Gadis mungilnya tidak tahu, berputar-putar menari seperti ini membuat encoknya kumat lagi. Ketika Zalaiva duduk menggigil malam-malam ketakutan, badai mengamuk di luar sana. Angin menderak-derakkan jendela, kilat dan guntur susul menyusul memekakkan. Zalaiva yang baru terbangun dari mimpi buruk hantu-hantu, mendongak ke arah kakek yang sedang memeluknya, “Kakek, apakah cinta itu menakutkan seperti hantu?”


“Ya, cinta sejati seperti hantu. Semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benarbenar pernah melihatnya.” Zalaiva mengernyitkan dahinya. Mengkerut takut dalam pelukan kakeknya, “Kalau begitu, Zalaiva tidak ingin cinta lagi!” Kakeknya tersenyum merasa bersalah. Malam ini ia terlalu lelah, dari tadi ingin rasanya segera tidur, tetapi gadis kecilnya yang sedang ketakutan sepertinya tak akan beranjak menutup matanya. Mungkin dengan begini gadis kecilnya bisa segera terlelap. Ketika paginya mereka berdua berendam dalam sejuknya air sungai di belakang peternakan. Zalaiva yang senang sekali memukul-mukul air ke arah kakeknya, di antara percikan air yang bening, tiba-tiba menyela, “Kakek apakah cinta sesejuk air sungai ini?” “Ya. Cinta sejati memang seperti air sungai, sejuk menyenangkan dan terus mengalir. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar, karena semakin lama semakin banyak anak sungai yang bertemu. Begitu juga cinta, semakin lama mengalir semakin besar batang perasaannya” “Kalau begitu ujung sungai ini pasti ujung cinta itu?” “Cinta sejati adalah perjalanan, sayang. Cinta sejati tak pernah memiliki tujuan” “Kakek, apakah cinta itu memberi, seperti yang selalu Kakek lakukan saat memberi makan ayamayam?” “Tidak. Karena kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun memiliki perasaan cinta, tetapi kau takkan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.” “Kakek, dari kota manakah cinta datang?” “Tidak ada yang tahu, sayang. Cinta sejati datang begitu saja, tanpa satu alasan pun yang jelas!” “Kalau begitu bagaimana Zalaiva tahu itu cinta?” “Kau akan tahu ketika ia datang. Tahu begitu saja. Dulu orang-orang menyebutnya cinta pada pandangan pertama. Cinta sejati selalu datang pada pandangan pertama. Cinta sejati selalu datang pada saat yang tepat, waktu yang tepat, dan tempat yang tepat. Ia tidak pernah tersesat. Cinta sejati selalu datang pada orang-orang yang berharap berjumpa padanya dan tak pernah berputus asa. “Kelak saat kau dewasa, kau akan melihat banyak sekali orang-orang yang begitu saja jatuh cinta. Bagi mereka cinta seperti memungut bebatuan di pinggir kali. Banyak betebaran. Bosan bisa dilemparkan jauh-jauh. Kurang, tinggal masukkan batu yang lain ke dalam kantong lainnya. Apakah perangai seperti itu disebut cinta? Tentu saja bagi mereka juga cinta. Tetapi ingatlah selalu Zalaiva-ku, cinta sejati tak sesederhana bebatuan.


“Suatu saat jika kau beruntung menemukan cinta sejatimu. Ketika kalian saling bertatap untuk pertama kalinya, waktu akan berhenti. Seluruh semesta alam takzim menyampaikan salam. Ada cahaya keindahan yang menyemburat menggetarkan jantung. Hanya orang-orang beruntung yang bisa melihat cahaya itu, apalagi berkesempatan bisa merasakannya.” “Apakah kakek pernah bertemu dengan cinta?” Kakeknya tertawa pelan sambil mengelus rambut panjang hitam legam gadis kecilnya. Zalaiva tersenyum, ia sudah terbiasa dengan jawaban tawa pelan seperti itu. “Apakah cinta memerlukan mata untuk memandang?” “Tentu tidak, sayang!” Kakek itu mencium khidmat ujung-ujung jari mungil Zalaiva. Zalaiva tersenyum, ia juga sudah terbiasa dengan jawaban cium ujung-ujung jari seperti itu. *** Gadis berambut panjang hitam legam itu berdansa anggun sekali di tengah-tengah aula. Gaun merah yang membungkus ketat tubuh indahnya membuat ia terlihat mencolok di antara puluhan pasangan lainnya. Kakikakinya bergerak dengan irama teratur, posisi badannya sempurna sudah. Dan ketika musik terhenti, para hadirin beramai-ramai tak kuasa menahan diri untuk tidak bertepuk tangan. Dengan anggun gadis itu membungkuk membalas, lantas dibimbing pelahan oleh sang tuan rumah menuju kursi di sudut ruangan. Pesta akan dipotong sebentar dengan sambutan dan jamuan. Tidak. Tidak ada bercak lumpur di bagian bawah gaun pestanya, apalagi dua carik coreng tahi ayam di pipi montoknya. Zalaiva sungguh sudah berubah mempesona. Gadis berbilang dua puluh tahun. Matang dan dewasa. Ia tumbuh menjadi pedansa terkenal. Dari satu kastil ke kastil lain. Dari satu pesta ke pesta lain. Berpendidikan dan terhormat berkat bimbingan kakeknya. Pengharapan kakeknya sedikit banyak sejauh ini sudah terwujud: Zalaiva mengecap manisnya hidup, yang tak pernah dikecap oleh kedua orang tuanya, tak pernah dikecap oleh anggota keluarga lainnya, dan juga oleh kakeknya sendiri. Seorang pelayan berseragam datang mendekati Zalaiva, membungkuk menawarkan segelas anggur. Zalaiva tersenyum mengulurkan tangan menerimanya dengan sopan. Tetapi sayang sekali, belum sampai bibirnya menyentuh gelas kristal itu, seorang pemuda yang entah datangnya dari mana, terburu-buru lewat di hadapannya, menyenggol tidak sengaja tangan mungil Zalaiva. Gadis itu berseru kaget. Gelas anggur di genggaman tangannya terlepas. Pecah berantakan membasahi karpet, juga gaun merahnya.


Pemuda terburu-buru itu jangankan meminta maaf, malah buru-buru pergi menghindar dari tatapan ingin tahu banyak orang. Tinggallah Zalaiva tertegun, memerah mukanya tak tahu berbuat apa. Tangannya menjulur ke bawah hendak meraba-raba memungut beling gelas, ketika tiba-tiba tangan seorang pemuda lain lebih dahulu menyentuh ujung jarinya dengan lembut. “Jangan dipikirkan, hanya sebuah gelas!” Suara itu datang bagai angin sorga. Menyergap rasa malu dan kecemasan Zalaiva, lantas melemparkannya jauh-jauh ke masa-masa menyenangkan dulu. Zalaiva mendongak mencari tahu muasal suara. “Tahukah kau, jika kau melemparkan sebuah gelas dari atas awan, saat jatuh menimpa tanah sedikit pun gelas itu takkan retak sepanjang kau punya sesuatu!” Zalaiva di tengah keterpanaannya menggangguk begitu lemah. Ia bisa merasakan hembusan nafas pemuda itu di wajahnya yang semakin merah. “Tahukah kau apakah sesuatu itu” Zalaiva tidak tahu apakah ia mengangguk atau tidak saat itu. Yang ia tahu secara pasti tibatiba jantungnya seperti terseret ke dalam putaran perasaan yang sungguh tidak ia mengerti. Ketika pemuda itu dengan khidmat mencium ujung-ujung jarinya. Ia merasa seluruh semesta alam, tiba-tiba ikut takzim memberikan salam. Waktu berhenti. Semburat cahaya yang menggetarkan muncul menyeruak dari tubuhnya. Zalaiva tiba-tiba merasa berdiri di atas padang rumput maha luas, semua orang tersaput hilang, semua benda tersingkir jauh-jauh kecuali sebatang pohon mahoni dengan kicau burung-burung dan sebuah rumah mungil beratap rumbia berdinding papan berwarna putih. Ia dan pemuda itu berdiri saling menatap dan saling berpegangan tangan, dari jauh terdengar suara gemerincing air sungai. Lama sekali Zalaiva mempercayai kata-kata kakeknya dulu. Setiap pagi, saat ia menyiram kembang setaman di bawah jendela kamarnya, Zalaiva menatap langit biru dan berbisik pelan pada semilir angin: ia rindu berjumpa cinta sejatinya dan tak akan pernah berputus asa. Dan hari ini, setelah sekian lama, kesabaran itu akhirnya berbuah. Tuhan mengirimkannya. Ia datang begitu saja, tanpa satu alasan pun yang jelas. “Apakah kau sakit? Mukamu pucat sekali?”


Pemuda itu membantu Zalaiva duduk kembali di atas sofa. Melambaikan tangan memanggil pelayan agar membersihkan beling tajam di atas karpet. Menarik sapu tangan putih dari lipatan jasnya. Berusaha membantu membersihkan gaun merah Zalaiva. “Ah, biar. Biar kubersihkan sendiri.” “Tidak nona. Biarkan aku menghinakan diri dengan membersihkan gaun indahmu.” Zalaiva terkesima lagi. Jantungnya berdetak tak karuan saat merasakan tangan pemuda itu menyentuh gaun pestanya. Tubuhnya gemetar. “Aku akan memulai perjalanan panjang itu,” desah Zalaiva dalam diam. *** Nasib! Aku harus menyalahkan siapa, jika perjalanan mendebarkan itu ternyata tidak terlalu panjang. Panjang aliran sungai itu ternyata hanya sepelemparan batu. Kemudian kandas dihadang dam raksasa. Benar-benar sepelemparan batu, karena malam itu juga semuanya berakhir. Malam itu, setelah keributan kecil itu berhasil diselesaikan dengan baik. Pemuda itu menawarkan diri menemani Zalaiva berdansa bersama untuk putaran kedua. Andaikata bisa kulukiskan dansa mereka berdua, maka lukisan itu cukup untuk membuatmu tenggelam dalam keagungan perasaan cinta hanya dengan menatap cahaya muka Zalaiva. Saat Zalaiva malu-malu berpamitan pulang, pemuda itu membantunya menaiki kereta kuda. Saat kereta kuda itu membelah dinginnya malam musim salju, sais kereta, satu-satunya bekas pembantu kakeknya yang masih tersisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang pemuda itu. Jawaban dengan suara tertahan, layaknya seseorang yang sedang kedinginan mengendalikan laju kereta. Tetapi bagi Zalaiva, suara tertahan itu seperti berubah menjadi sembilu yang tanpa ampun mengirisiris jantungnya. Ia tidak peduli dengan seberapa tampan dan seberapa kuasanya pemuda itu, fakta singkat yang tiba-tiba membuatnya menggigil adalah saat sais kereta mengatakan: pemuda itu minggu depan akan menikah. Tak penting dengan siapa. Tak penting siapa wanita itu. Tak penting semua itu. Zalaiva merasa amat merana. Bohong. Kakeknya berbohong. Cinta tidak seperti air sungai, sejuk dan menyenangkan. Baginya sekarang cinta lebih seperti moncong meriam. Sesaat lalu


melontarkannya tingi-tinggi sekali hingga ke atas awan, tetapi sekejap kemudian menghujamkannya dalamdalam ke perut bumi. Terhempaskan. Tidak. Cinta tidak memberikannya sepasang sayap indah. Ia bukan hanya tidak bisa terbang sekarang, untuk bergerak sedikit pun terasa menyakitkan sekali. Zalaiva menangis dalam diam. Cinta tidak membuat ia merasa memiliki dunia ini, ia justeru merasa kehadirannya di dunia sia-sia belaka. Cinta memang lebih mirip hantu, semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benarbenar pernah melihatnya. Dan ketika kau berhasil melihatnya kau lari sungguh ketakutan. Kakeknya jelas lupa mengajarkannya soal akhir sebuah percintaan. Cinta sejati tidak selalu seperti musik yang membuatmu tetap menari meskipun sudah lama berhenti. Ia sekarang justeru mengharapkan musik itu tidak sedetik pun pernah dimainkan. Zalaiva merintih dalam sunyi. Kakeknya hanya benar satu hal. Hanya satu hal. Kalian sama sekali tidak memerlukan mata untuk memandang cinta sejatimu. Tidak memerlukan kelopak mata untuk mengenalinya. Ia selalu datang, tak pernah tersesat. Zalaiva sekali lagi dalam diam menyeka kedua matanya. Mata yang sama sekali tak terdapat bintik hitam di bolanya. Zalaiva buta. ***


4. Harga Sebuah Pertemuan Korban 1: Laki-laki; 178cm/80kg; usia, 45 tahun; golongan darah, AB; pekerjaan, wiraswasta dan politisi sukses; tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol, tidak menggunakan obatobatan terlarang; tampan, kaya raya, memiliki kekuasaan dan pengaruh politik besar; kepala rumah tangga yang baik dan bertanggung-jawab. Menurut tetangga sekitar, korban sehari-hari dikenal ramah-bersahabat, memiliki keluarga yang terlihat amat bahagia. Ditemukan tewas oleh room boy di kamar 709 salah satu hotel ternama, 28 Februari tahun ini. Hasil diagnosis laboratorium forensik menunjukkan korban positif tewas karena kesengajaan. Meskipun belum bisa dipastikan bagaimana dan oleh siapa. Kemungkinan besar diracun. Korban 2: Perempuan; 164cm/55kg; usia, 39 tahun; golongan darah, O; pekerjaan, perancang busana (pakaian wanita); dua kali dalam seminggu rutin fitness dan berendam lulur madu; cukup cantik dan menarik (untuk ukuran wanita yang sepuluh tahun lagi menginjak usia setengah abad); ibu rumah tangga yang baik meskipun pernikahannya sekarang memaksa istri pertama suaminya pergi entah kemana. Korban adalah istri korban 1. Ditemukan tewas oleh pembantu rumah tangga di kamar tidurnya di lantai dua, 7 Maret tahun ini (satu minggu setelah suaminya meninggal). Hasil diagnosis laboratorium menunjukkan korban positif tewas karena diracun (brucine). Korban 3: Perempuan; 170cm/52kg; usia, 27 tahun; golongan darah, O; pekerjaan, artis dan model ternama; bintang iklan salah satu produk sabun dan shampo terlaris di seluruh negeri; cantik, single dan masih muda. Korban adalah adik sepupu korban 2, satu tahun terakhir tinggal bersama di rumah besar mewah suami-istri (korban 1 dan korban 2) tersebut.


Ditemukan tewas oleh anak sulung suami-istri tersebut di kamar mandi, 14 Maret tahun ini (satu minggu setelah kakak sepupunya tewas dan atau dua minggu setelah suami kakak sepupunya ditemukan mati). Hasil diagnosis laboratorium menyimpulkan korban positif tewas karena diracun (arsenik). Skenario 1: Semenjak pertemuan pertama mereka setahun silam, Ardem Asmoro sudah jatuh hati dengan gadis itu. Amat cantik, segar mengundang di usia mudanya. Apalagi kondisi pernikahan keduanya saat ini semakin lama semakin menyebalkan. Sofia sangat possesif dan Ardem Asmoro kehilangan semua kepercayaan dan kebebasannya, dua kemewahan yang sangat penting bagi seorang pengusaha dan politisi sukses seperti dirinya. Lihatlah istrinya sekarang, sama sekali tidak terlihat menarik, bahkan dibandingkan dengan sekretaris pribadinya yang gendut sekalipun. Padahal daya tarik itulah yang dulu membuatnya menggebu-gebu menceraikan istri pertamanya dan nekad menikahinya. Ironisnya Ardem Asmoro bertemu dengan gadis muda itu pada acara ulang tahun pernikahannya dengan Sofia yang kesepuluh. Gadis itu menyempatkan diri datang setelah pemotretan sebuah produk lokal yang tidak terkenal. Dengan malu-malu dituntun sendiri oleh Sofia, ia memperkenalkan dirinya: Ajeng, adik sepupu jauh Sofia. Seketika Ardem melupakan resepsi dan seluruh undangan yang memadati ruang convention besar hotel. Sepanjang sisa malam itu, matanya tak lepas menatap wajah berhias senyuman Ajeng, yang lemah gemulai menyeruak di antara kerumunan orang-orang, serta suaranya yang terdengar bak buluh perindu. Dengan kekuasaan bisnis dan pengaruhnya, Ardem Asmoro dengan mudah membawa gadis itu menuju puncak ketenaran karir modelnya. Dan entah karena memang Ardem Asmoro terlihat tampan, kaya, serta berkuasa atau karena Ajeng ingin membalas budi baiknya, mereka berdua terlibat affair panas. Istrinya yang merasa telah menguasai dan me-monitor segala aktivitas suaminya, sedikit pun tidak curiga dan menyetujui begitu saja saat Ajeng memutuskan untuk pindah ke kota megapolitan ini, tinggal bersama dengan mereka. Jangankan istrinya, media massa yang terkenal amat ganas di kota ini pun tak mampu mendeteksi hubungan gelap tersebut. Andaikata tahu, mereka bagaikan mendapatkan durian runtuh: gosip terpanas yang pernah ada, perselingkuhan seorang kandidat kuat penguasa kota dengan seorang artis dan model ternama, yang tak lain adalah adik sepupu jauh istrinya sendiri.


Malam itu mungkin karena nafsu liar mereka yang menggebu-gebu, Ardem Asmoro dan Ajeng bertindak tidak hati-hati. Ia lupa istrinya sedang mengadakan pargelaran adibusana di tempat yang sama. Diduga Sofia menangkap basah mereka berdua tengah mabuk bersama di lorong hotel tanpa sedikit pun menyadarinya. Malam itu juga, Sofia yang sakit hati, terhinakan dan terkhianati membayar salah seorang service room untuk membubuhkan racun di minuman yang dipesan oleh mereka. Dan hasilnya segera terlihat, Ardem Asmoro ditemukan tewas membeku keesokan harinya. Kenapa Ajeng bisa selamat? Penyidik menduga mungkin karena ia tidak sempat meminum minuman mematikan tersebut, atau mungkin ia pulang lebih awal dari biasanya. Entahlah. Tetapi dipastikan Ajeng mencurigai keterlibatan Sofia atas pembunuhan Ardem Asmoro malam itu. Ia merasa perselingkuhan mereka berdua sudah diketahui oleh Sofia dan itu menjadi musabab pembunuhan. Ia menyadari setiap saat posisinya terancam. Hubungan mereka di rumah besar-mewah itu menjadi tegang, meskipun itu luput dari perhatian puluhan wartawan dan penyidik yang ramai meliput dan bertanya. Malam itu, satu minggu setelah kematian Ardem Asmoro, Ajeng memutuskan untuk membunuh Sofia terlebih dahulu sebelum ia yang malah dibunuh. Racun yang dimasukkan secara hati-hati ke dalam tablet obat peramping badan yang rajin diminum Sofia setiap malam, benar-benar pamungkas. Sofia ditemukan tewas membeku esok paginya. Ternyata Ajeng tidak menyadari perbedaan beban psikis antara saat seseorang tengah merencanakan membunuh, kemudian mengeksekusinya dengan setelah melakukan kejahatan itu sendiri. Ia ketakutan sepanjang hari, apalagi wartawan dan penyidik semakin gencar mencercanya dengan ribuan pertanyaan. Berbagai hipotesis digelar media massa, berbagai skenario digelar oleh penyidik. Meskipun tak satu pun yang menyinggung-nyinggung keterlibatannya, Ajeng merasa kejahatannya setiap saat bisa terungkap. Tak tahan membayangkan berbagai kemungkinan yang akan menimpanya, malam itu Ajeng nekad memutuskan untuk menenggak sebotol racun lainnya. Ia ditemukan tewas dengan mulut berbusa pagi itu. Seminggu setelah kakak sepupunya ditemukan tewas di kamar tidurnya. Dua minggu setelah suami kakak sepupunya ditemukan mati di kamar hotel. Skenario 2:


Malam itu Ajeng berteriak histeris meminta pertanggung-jawaban Ardem Asmoro. Ia sudah berbadan dua, tetapi sebaliknya Ardem Asmoro dengan ringannya bersikukuh menolak, dan malah memilih menggugurkan kandungan tersebut. Banyak hal penting yang harus dilakukannya enam bulan mendatang. Pemilihan penguasa kota, ekspansi bisnis besarbesaran, hingga memulai kampanye nasional agar ia bisa menguasai organisasi besar itu. Affair ini tidak akan mungkin berlanjut menjadi sebuah pernikahan. Seberapa besar pun otak warasnya tergoda pada Ajeng. Situasinya amat berbeda dengan ketika ia dulu memutuskan untuk meninggalkan istri pertamanya. Resikonya terlalu besar. Maka membuallah Ardem Asmoro soal betapa ia masih mencintai Sofia. Tentang hubungan mereka selama ini yang hanya selingan belaka, baginya sedikit pun ia tidak mencintai Ajeng. Pertengkaran itu berakhir ketika Ajeng berurai air mata berlari keluar dari kamar hotel yang terasa seperti neraka. Tetapi sebelum pergi meninggalkan hotel itu, di tengah rasa kecewa yang membelit, putus asa yang menggantung, dan rasa malu yang mencoreng paras cantiknya, tanpa pikir panjang Ajeng masih sempat mengupah seorang service room untuk membubuhkan racun di minuman yang dipesan oleh Ardem Asmoro. Dan hasilnya, Ardem Asmoro ditemukan tewas membeku pagi itu. Seluruh media massa ramai memberitakan pengusaha dan penguasa yang ditemukan mati mengenaskan di kamar hotel yang secara bersamaan entah kebetulan atau tidak ternyata juga tengah menggelar pargelaran adibusana koleksi istri tercintanya. Kemarahan Ajeng ternyata tidak cukup hingga disitu. Merasa Sofia-lah yang menjadi penghalang baginya memiliki Ardem Asmoro, seminggu setelah kematian pasangan selingkuhnya, Ajeng nekad memasukkan racun ke dalam tablet obat peramping Sofia. Racun itu bekerja efektif dan cepat, Sofia ditemukan beku tak bernyawa esok paginya di kamar tidurnya. Penduduk kota semakin heboh. Belum genap mereka membangun dugaan penyebab kematian misterius pertama tuan rumah, sekarang ditambah lagi dengan kejadian yang lebih misterius di keluarga yang selama ini dikenal bahagia dan jauh dari gosip media. Dan ternyata pembunuhan berantai itu belum usai. Menyadari semuanya sudah tak tersisa lagi. Masa depannya, kekasih pujaan hatinya, harga dirinya, dan beribu perasaan dicampakkan, dihinakan dan lain sebagainya, malam itu Ajeng gelap mata, nekad memutuskan untuk menenggak sebotol penuh racun lainnya. Dan seperti seminggu lalu dan atau dua minggu lalu, tubuh Ajeng ditemukan membeku dengan mulut berbusa telentang di atas tegel mewah kamar mandinya. Meninggalkan berjuta pertanyaan.


Skenario 3: Dua skenario itu menjadi favorit media massa, apalagi setelah penyidik laboratorium forensik memastikan bahwa Ajeng dipastikan memang tengah mengandung tiga bulan. Tetapi bagi masyarakat kota kami, sulit sekali membayangkan Sofia dan Ajeng yang selama ini dikenal sebagai figur baik hati dan dermawan mampu melakukan kejahatan sebesar itu. Bagaimana mungkin kalian akan mencurigai tetangga baik kalian yang selama ini dikenal amat santun, respek, dan pandai membawa diri. Untuk menuduhnya membunuh seekor anjing dengan sengaja pun kalian takkan tega. Maka berkembanglah skenario ketiga yang melibatkan orang luar. Skenario yang hingga hari ini sama sekali tidak bisa dibuktikan, meskipun harus diakui lebih menyenangkan untuk menjawab rasa penasaran dan ketidakpercayaan publik atas dua skenario sebelumnya. Malam itu, istri pertama Ardem Asmoro yang sepuluh tahun lalu diusir oleh suaminya dan lari entah kemana, kembali pulang ke kota ini. Pulang membawa dendam yang membinasakan. Malam itu, dengan menggunakan jaket tebal dan topi yang menutupi separuh muka ia menyelinap ke ruang pargelaran adibusana Sofia. Ia menatap penuh kebencian Sofia yang amat anggun duduk tersenyum menerima kilau jepretan puluhan kamera. Wanita itu sungguh telah merampas seluruh kebahagiaannya. Maka sesuai rencananya, di tengah-tengah acara pertunjukkan ia naik ke atas, menuju kamar bekas suaminya yang tengah menginap. Ia juga yang pagi hari sebelumnya berpura-pura menjadi Sofia, menelepon kantor bekas suaminya, meminta Ardem Asmoro agar mau menginap di hotel tempat berlangsungnya pargelaran adibusana Sofia. Ia mencegat service room yang datang menghantarkan hidangan makan malam. Membubuhkan sebotol racun yang menjadi simbol sakit hatinya selama ini di minuman yang dipesan oleh suaminya. Dan keesokan harinya, Ardem Asmoro ditemukan mati membeku di kamar hotel itu.


Dendam percintaan yang terkhianati itu ternyata sangat mengerikan. Mantan istri Ardem Asmoro juga memutuskan untuk membunuh Sofia seminggu kemudian. Dengan dingin ia membayar petugas apoteker langganan Sofia untuk mengganti isi tablet obat peramping tubuh dengan bubuk racun brucine. Keesokan paginya Sofia ditemukan tewas mengenaskan. Yang menjadi pertanyaan kenapa Ajeng menjadi sasaran berikut pembalasan dendam mengerikan tersebut? Besar kemungkinan mantan istri Ardem Asmoro itu tahu hubungan gelap mereka selama ini. Ia tidak peduli apakah Ajeng memiliki kaitan yang membuatnya terusir sepuluh tahun silam atau tidak, baginya semua pihak yang memiliki affair dengan mantan suaminya harus dibinasakan. Maka malam itu ia membayar orang upahan untuk memasukkan sebotol racun lainnya ke dalam santap malam Ajeng. Pagi itu, model dan artis terkenal itu ditemukan mati tertelentang di tegel mewah kamar mandinya. *** Hujan gerimis membasahi pemakaman. Orang-orang berjalan pelahan dengan pakaian serba hitam merapat mendekati buncahan tanah merah. Beberapa di antaranya memegang sapu tangan, menyeka buliran air mata, membuang hingus, atau sekadar basa-basi agar terlihat turut bersimpati. Imam membacakan doa-doa, berharap langit berbaik hati menerima kembalinya sang anak manusia. Tragis sekali. Ini adalah pembunuhan ketiga di rumah keluarga terkenal itu. Seminggu yang lalu nyonya rumah yang dikenal masyarakat luas sebagai perancang busana ternama juga ditemukan tewas diracun di kamar tidurnya. Dua minggu sebelumnya sang tuan rumah, seorang pengusaha dan politisi sukses, lebih mengenaskan ditemukan mati terbunuh di kamar hotel tempat berlangsungnya pargelaran adibusana istrinya. Dan tadi pagi, artis serta model ternama, sekaligus adik sepupu nyonya rumah yang kebetulan tinggal bersama dengan mereka ditemukan tertelentang mati dengan mulut berbusa di lantai kamar mandi. Peti mayat itu pelahan-lahan diturunkan. Orang-orang menahan nafas. Aku menaburkan rangkaian bunga melati sambil tak henti melirik kesana-kemari. Akulah, putri sulung Ardem Asmoro, anak tiri Sofia, yang tadi pagi menemukan mayat Ajeng membeku di kamar mandi itu. Akulah yang berteriak histeris memanggil bantuan, seperti yang juga aku lakukan saat menemukan mayat biru Sofia sebelumnya.


*** Acara pemakaman yang menjemukan ini sudah hampir berakhir, tetapi pria yang kutunggutunggu itu belum kelihatan juga. Aku mendesah dalam hati. Pura-pura menghentikan taburan bunga melati untuk menghapus air di kelopak mataku. Ketika ayah mati dua minggu lalu, yang aku yakin sekali itu memang pilihannya, di sore pemakamannya, pria itu datang entah dari mana. Begitu tegap dan gagah. Ia mengenakan tuksedo hitam legam, dasi hitam kelam, sepatu hitam mengkilat, dan kacamata hitam hebat. Aku terkesima melihat kehadirannya. Seperti para pelayat lainnya, ia mengecup tanganku takzim, berbisik tentang duka cita. Dan hatiku entah mengapa sebaliknya tiba-tiba goncang berbisik soal cinta. Ia melepas kaca mata hitamnya, dan kami berdua untuk beberapa kejap bertatapan dalam sekali. Aku tiba-tiba lunglai dalam putaran perasaan yang tidak aku mengerti. Pria gagah itu, siapapun dia, telah membunuh jantungku seketika. Sayang sekali, setelah acara pemakaman ayah, ia raib begitu saja ditelan bumi. Berhari-hari aku mencoba melacak keberadaannya. Siapa dia? Dari mana asalnya? Tak satu pun yang bisa memberikan jawaban. Malam-malam kuhabiskan dengan menyebut parasnya, pagi-sore kubakar dengan meratapi tubuhnya, dan siang kubunuh dengan membayangkan bisikan suaranya. Hingga entah dari mana, di ujung rasa rindu dan keputusasaan untuk menemukannya, tiba-tiba muncul gagasan gila tersebut. Gagasan yang benar-benar gila. Pria itu mungkin akan datang kembali, jika di keluarga ini ada pemakaman berikutnya. Ya, kenapa tidak. Pasti ia akan datang kembali, jika di keluarga ini ada pemakaman berikutnya. Aku tak bisa menghentikan otak jahatku berpikir tentang gagasan tersebut. Semakin lama semakin keras menghantam jantungku. Dan bukankah dari dulu aku memang tidak menyukai anggota keluarga lainnya. Harus ada yang mati di keluarga ini sebagai harga pertemuan dengannya. Maka malam itu aku memasukkan bubuk racun brucine ke dalam tablet obat peramping tubuh Sofia. Ia berhak mendapatkannya. Terlebih aku berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk bertemu kembali dengan pria misterius itu.


Di sore hari pemakaman Sofia, di tengah-tengah kesedihan para pelayat, pria gagah itu kembali datang. Dengan tuksedo hitam legam, dasi hitam kelam, sepatu hitam mengkilat, dan kacamata hitam hebat. Aku terkesima melihat kehadirannya lebih dari saat pertama kali dulu bertemu. Seperti para pelayat lainnya, ia mendekatiku mengecup tanganku takzim, berbisik tentang duka cita. Dan hatiku tiba-tiba entah terbang kemana. Ia melepas kaca mata hitamnya, dan kami berdua untuk beberapa kejap bertatapan dalam sekali. Tidak hanya itu, ia bahkan memelukku erat-erat. Gemetar badanku menahan luapan perasaan itu. Aku benar-benar dimabukkan, sama sekali tidak peduli dengan kenyataan bahwa pertemuan ini sangat mahal harganya. Sayang sekali, ketika acara pemakaman Sofia berakhir, pria gagah itu untuk kedua kalinya hilang entah kemana. Aku semaput dalam perasaan rindu. Aku ingin menghambakan diri dalam pelukannya. Aku menginginkannya, tetapi tidak tahu harus mencarinya kemana. Dan tidak mengejutkanku ketika cepat sekali gagasan yang sama itu muncul kembali di otakku. Pria itu akan datang jika ada pemakaman berikutnya di keluarga ini. Jika ada pemakaman itu berarti harus ada yang mati di keluarga ini. Dan Ajeng, yang selama ini memanfaatkan ayah untuk mengejar popularitasnya layak menjadi tumbal pertemuanku dengan pria itu. Malam itu aku membubuhkan sebotol racun arsenik dalam minuman Ajeng. Keesokan paginya, pura-pura aku hendak membangunkannya, dan persis seperti dugaanku, gadis binal itu ditemukan mati tertelentang di kamar mandinya. Menjadi harga yang harus dibayar. *** Satu dua para pelayat meninggalkan pemakaman. Senja semakin kelam. Hujan turun semakin deras. Aku gemetar memegang payungku. Menatap nanar sekeliling. Pria gagah itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Deru mobil distarter terdengar ramai, kemudian dengan pelan dan khidmat meninggalkan tanah merah pemakaman, menyisakan deretan kendaraan yang sekarang bisa dihitung dengan jari tangan. Pria misterius itu belum juga datang. Petugas pemakaman membenahi peralatan hatihati, takut mengganggu kesendirianku. Malam datang menjelang. Hujan turun semakin gila. Petir sambarmenyambar diselingi dengan hentakan guruh.


Pria itu belum juga datang. Mungkin ia sudah terbiasa dengan satu pemakaman. Mungkin sekarang dibutuhkan dua pemakaman sekaligus untuk membuatnya datang. Otak jahatku tak terkendali bergemuruh mencari alasan. Ya, dua pemakaman sekaligus. Memikirkan itu, aku menyeringai tersenyum lebar: kedua anak kembar Sofia sekarang pasti sedang tertidur pulas di kamarnya. ***


5. Antara Kau dan Aku Lantai sebelas sepi. Nyaris semua penghuninya keluar makan siang, hanya ada dua-tiga orang saja yang masih berkutat di depan komputer masingmasing. Dan salah dua di antaranya adalah gadis dan pemuda yang duduk jauh berseberangan itu. Terpisah oleh meja-meja dan partisi setinggi pundak, juga dispenser dan printer sentral multi fungsi di tengahtengah ruangan. Tetapi entah siapa yang menyusun berbagai halangan tersebut, disengaja atau tidak, mereka berdua tetap masih bisa saling melihat dari sela-sela berbagai barang. Untuk ukuran sejauh itu tidak jelas benar memang paras muka masing-masing, tetapi kalian masih bisa dengan mudah memahami gerak tubuh orang di seberangnya. Seperti yang sedang terjadi saat ini. Gadis itu melirik berkali-kali ke depan, ia sedang menunggu. Menunggu pemuda itu beranjak berdiri, kemudian turun untuk makan siang. Resah sekali ia. Seperti kemarin, hari ini gadis itu ingin berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing. Tetapi nampaknya pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri pekerjaannya. Detik demi detik, waktu berjalan terasa amat lambat. Istirahat siang tinggal tiga puluh menit lagi. “Ayolah, lakukan saja,” bujuk separuh jantungnya. “Bodoh! Kau hanya akan mempermalukan dirimu saja!” separuh jantungnya lagi menyela dengan sinisnya. Dan setelah sekian menit lagi berkutat dengan keraguannya, akhirnya gadis itu nekad memberanikan diri berjalan menghampiri, toh ia bisa berpura-pura menuju toilet yang memang harus melewati meja pemuda itu jika rencananya terpaksa berubah. Sedikit gugup, seperti hari-hari yang lalu, melangkahlah kakinya mendekat. “Nggak makan siang, Zhar?” gadis itu berusaha menegur senormal mungkin, tersenyum selepas mungkin. Pemuda itu mengangkat kepalanya. Balas tersenyum. Menggeleng. “Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?” “Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum mengangkat bahu, menanti harapharap cemas reaksi pemuda itu. Si pemuda ternyata hanya balas mengangkat bahu, “Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!” Begitulah. Gadis itu sekian detik kecewa, sia-sia sudah, tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain beranjak lemah melangkah menuju pintu keluar. “Seharusnya, si bodoh itu bilang, ‘Ah, kebetulan sekali. Aku juga belum makan. Mau kutemani?’ Dasar bodoh!” umpatnya dalam hati. Atau karena ia kurang jelas menyampaikan maksudnya? Seharusnya ia bilang saja langsung, “Kamu mau menemaniku?” seperti yang seringkali dilakukan Susi saat menggoda manajer lantai sepuluh.


Tetapi itu tidak mungkin dilakukannya kan? Ia bukan type Susi yang agresif. “Seharusnya si bodoh itu cukup mengerti,” umpatnya sekali lagi. *** Berkali-kali ia melirik gadis di seberangnya. Menunggu tak sabaran. “Kapan lagi ia akan turun makan siang?” serunya dalam diam. Apakah ia harus melangkah mendekatinya, lantas mengajaknya makan siang bersama, seperti yang selalu dianganangankannya? Tidak. Ia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Kegelisahaan pemuda itu semakin memuncak, istirahat siang tinggal tiga puluh menit. “Ayolah, berdiri,” mohonnya dalam-dalam. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya. Dan akhirnya wanita itu berdiri juga dari tempat duduknya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku. Please, God!” si pemuda bersorak penuh harap. Tentu saja gadis itu harus melewatinya, karena pintu keluar terletak dekat mejanya. Suara sepatu gadis itu terdengar memenuhi gendang telinganya. Si pemuda dengan segala upaya terus berpura-pura menatap layar komputer, mengisikan sembarang angka ke dalam kotak kosong. Tentu saja semua pekerjaannya sudah rampung setengah jam yang lalu. Sedari tadi ia sudah ingin turun makan siang, tetapi seperti dua hari lalu, ia ingin sekali berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing. Gadis itu semakin dekat, detak jantung si pemuda semakin kencang. Ia bersiap-siap hendak bangkit dari duduknya. Paling sial jika ia tidak berani mengikutinya, mungkin ia bisa berpura-pura menuju toilet, bukankah letaknya searah dengan pintu lift? Yang penting ia bisa sekadar tersenyum menyapanya. “Nggak makan siang, Zhar?” ternyata gadis itu justru menegurnya, sambil tersenyum. Meluncurlah sepuluh kembang api besar di jantung si pemuda. Ini diluar rencananya, apalagi dengan senyum itu. Ya Tuhan, gelagapan si pemuda bingung hendak menjawab apa. “Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekadar menggeleng patah-patah, dan tersenyum dengan muka kebas. “Semoga ia tidak melihat tampang tololku,” keluh pemuda itu dalam hati. “Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum sambil mengangkat bahu. Separuh jantungnya sontak berteriak, come on man, sekaranglah waktunya, ajak ia makan siang bersama. Bukankah ia “mengundang”mu? Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar tak tahu harus bilang apa. Senyuman dan kerlingan gadis itu telah mematikan otaknya berpikir, dan di tengah kegaguan ia justru berkata, “Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!” Ya ampun, apa yang telah kukatakan, si pemuda menekuk lututnya. Perutnya tiba-tiba melilit menyesali kebodohannya. Dan gadis itu dengan amat anggun hilang dari pandangan.


*** Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Gadis itu sudah merencanakan untuk berlibur keluar kota, tapi undangan pernikahan anak direktur membatalkan rencananya. Lagipula bukankah itu berarti semua orang akan hadir di sana, dan jika semua orang hadir itu berarti pemuda itu juga akan datang. Ia senyumsenyum sendiri. Otaknya terbungkus oleh harapanharapan. Setidak-tidaknya di sana ia bisa mencari berbagai alasan untuk duduk di dekatnya. Berbincang tentang apa saja. Dan jika sedikit beruntung mungkin saja bisa pergi-pulang ke tempat pesta bersama-sama. Membayangkannya saja gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Tetapi semenjak undangan itu dibagikan seminggu yang lalu, pemuda itu dalam sedikit kesempatan mereka bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai pemuda itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu pemuda itu membereskan mejanya sebelum turun pulang) pemuda itu sedikit pun tidak pernah menyinggung soal pesta pernikahan. Bagaimana hendak menyinggungnya, jika selama ini mereka sekadar saling ber-hai apa kabar saja. Berkali-kali gadis itu membujuk jantungnya agar berani bertanya, “Minggu depan, kamu datang gak ke tempat pernikahan Vania?” tapi ia selalu gagal. Jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya jika tidak maka musnah sama sekali harapan itu. Dan setelah bergulat habishabisan meneguhkan diri, gadis itu beranjak mendekati pemuda itu. Gemetar kakinya melangkah, “Ya Tuhan, tolonglah….” seru batinnya lirih. “Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?” Kentara sekali kata-katanya bergetar saking gugupnya. Gadis itu membujuk jantungnya segera tenang. Tersenyum amat kaku. Pemuda itu mengangkat kepalanya, balas tersenyum. Menghembuskan nafasnya dalam-dalam. “Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!” “Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?” Gadis itu berdiri sambil diam-diam menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Please, God. “Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?” “Belum ada teman. Malas kalau sendirian!” Ya Tuhan, orang bodoh sekali pun tahu apa maksud hatinya. Tetapi pemuda itu hanya menatapnya lamat-lamat, kemudian sambil menggeleng, pelan berkata, “Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!” Lumat sudah harapan gadis itu, dengan lemah ia berkata, “Ya, ibunya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”


“Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh sekali,” umpat gadis itu dalam hati. Jika sudah begini apalagi yang harus dilakukannya? “Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia. “Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!” Gadis itu hendak mengangkat bahunya: keberatan. Tetapi hatinya yang berkali-kali mengumpat, “Dasar bodoh, harusnya kau melakukannya seperti Andrei. Harusnya kau menyela dan berkata, ‘ia tidak akan pergi bersamamu, ia akan pergi bersamaku’” kesal sekali, dan tanpa disadarinya ia justeru menganggukkan kepalanya. Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa, dandan yang cantik.” *** Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Sudah seminggu ini pemuda itu menanti-nanti kesempatan untuk bertemu lebih lama dengan gadis itu, sekadar untuk bilang, “Hai, kamu mau pergi bareng aku ke pernikahan Vania, gak?” ia butuh waktu kurang lebih lima menit untuk berbincang dan mengajaknya pergi bersama. Dengan hanya bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai gadis itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu gadis itu membereskan mejanya sebelum beranjak turun) itu sama sekali tidak cukup untuk membicarakan masalah ini. Apalagi mereka hanya saling ber-hai apa kabar, tersenyum kaku, lantas berdiam diri dalam dengungan suara lift yang bergerak. Berkali-kali ia membujuk jantungnya untuk mendekati meja gadis itu. Bertanya langsung padanya, “Apakah kau mau pergi bersamaku,” tapi berkali-kali pula ia gagal meneguhkan diri. Sore jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya, jika tidak ia akan menyesalinya seumur hidup. “Lakukan sekarang juga, Zhar,” bisikan itu semakin kencang. Dan pemuda itu di ujung keputus-asaan akhirnya nekad juga memutuskan. Tetapi saat ia siap berdiri dari duduknya, gadis itu justeru terlihat berdiri dari mejanya. Melangkah menujunya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku, please God.” Desak batinnya kuat-kuat. “Jika ia melewatiku, aku berjanji akan menanyakan soal itu,” janjinya untuk kesekian kali. Suara sepatu gadis itu terdengar semakin keras di telinganya. Ia semakin dekat, dan debar jantungnya semakin kencang. Dengan meneguhkan hati pemuda itu bersiap untuk menyapa, “Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?” Gadis itu sambil tersenyum ternyata lebih dahulu menyapanya. Pemuda itu kaku seketika. Kata-katanya hilang menyentuh udara. Berusaha tersenyum senormal mungkin. Menarik nafas dalamdalam.


“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!” Ya Tuhan, padahal pekerjaan untuk minggu depan pun sudah kurampungkan. “Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?” Gadis itu tersenyum semakin manis. Pemuda itu duduk semakin kebas. Ayolah katakan. Ajak dia. Ayolah katakan. Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar ketakutan. Kau hanya akan mempermalukan diri sendiri, bodoh. Bagaimana kalau dia menolak? “Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?” Ya Tuhan, apa yang telah kukatakan, pemuda itu mengumpat berkali-kali. Seharusnya langsung saja mengajaknya pergi bersama. Senyuman gadis ini membuatnya sedikit pun tidak bisa berpikir sehat lagi. “Belum ada teman. Malas kalau sendirian!” Ayolah katakan. Ajak dia. Bukankah ia telah memberikan kode padamu. Sedikit lagi…. tak terlalu susah. Pemuda itu mencengkeram keras-keras kursinya. Apa sulitnya mengatakan itu, bentak separuh jantungnya. Dan tanpa ia sadari, di tengah usahanya membujuk separuh jantungnya yang lain, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia teringat Sinta, mungkin dengan menyela pembicaraan ini dengan kabar soal Sinta akan sedikit membantu, maka tanpa menyadari akibatnya sedikit pun pemuda itu justeru berkata, “Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!” Tidak. Ia sama sekali tidak bermaksud menolaknya. Tetapi gadis itu dengan tetap tersenyum berkata pelan, “Ya, katanya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.” Ya Tuhan, kerusakan apa yang telah kuperbuat? “Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia. “Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!” “Tolonglah. Jangan. Jangan katakan setuju,” pemuda itu memohon dalam hatinya. “Jangan sampai kau pergi dengan bajingan ini. Ia playboy kelas kakap, dan kau akan terperangkap.” Tetapi gadis itu justeru tersenyum menganggukan kepalanya. Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa dandan yang cantik.” *** Ia mengharapkan pagi ini pemuda itu yang datang menjemputnya. Tetapi justru Andrei yang datang parlente memencet bel. Tak tahu malu, Andrei mengaku sebagai pacarnya. Dan gadis itu dengan terpaksa tersenyum masam menanggapi godaan ibu dan bapaknya, “Akhirnya, anak gadis kami pergi dengan teman lelakinya. Nak Andrei jangan sampai kau membuatnya


menangis, loh!” Itu kata ayah gadis itu sambil tersenyum di balik pagar. Dan pemuda playboy ini tersenyum begitu meyakinkan menggandengnya. Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi, Susi pun sempat berbisik pelan, “Gila lu, katanya pemalu. Ternyata yang kakap begini berhasil juga lu gaet!” mukanya memerah. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, gadis itu merasa di dahinya seakanakan tertempel baliho besar yang menunjukkan kalau mereka berdua benar-benar pasangan hebat. “Bodoh, seharusnya kaulah yang bersamaku sekarang,” umpatnya dalam hati, mencari sosok pemuda itu dalam keramaian. Dan si bodoh itu ternyata berdiri tak acuhnya di pojok ruangan. Menyendok koktail. Seolah tak peduli kehebohan yang sedang terjadi. Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai saat mereka berkumpul, si bodoh ini justeru semakin tak peduli. “Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!” “Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!” Yang lain tertawa ramai sekali. “Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan. Gadis itu kusut sekali dengan senyum tanggungnya. Berkali-kali ia melirik pemuda itu. “Ya Tuhan, seharusnya yang kau lakukan saat ini memegang kerah Andrei, dan menonjoknya kuatkuat, dasar bodoh, dan bukan justru sebaliknya ikutikutan tertawa.” Gadis itu tersenyum getir. *** Pagi ini seharusnya ia-lah yang sambil bersiul datang memencet bel rumah gadis itu. Tersenyum takzim menyapa calon mertua. Tetapi lihatlah, ia justeru kacau berdandan seadanya, memakai kemejakusut dasi-berdebu, berjalan gontai menghidupkan kendaraan, berpikir gadis itu pasti sedang tertawa bahagia bersama playboy kelas kakap itu. Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, mereka benar-benar kelihatan seperti pasangan hebat. Gadis itu terlihat tersenyum kemana-mana, mengumbar kebahagiannya. “Begitu mudahkah ia terpikat dengan playboy itu?” dengan masam pemuda itu menyendok koktail di pojok ruangan. Jantungnya pedih sekali. Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai ketika mereka berkumpul, gadis itu justeru terlihat tersenyum semakin bahagia. “Ia benarbenar menikmatinya,” bisiknya lirih.


“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!” “Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!” Yang lain tertawa ramai sekali. “Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan. Gadis itu tersenyum, semakin mengembang. “Bah. Ia sedikit pun sama sekali tidak menatapku,” bisik pemuda itu dalam hening. Berkali-kali melirik mencoba memberikan kode. “Lihatlah aku, Dahlia. Please. Bukankah aku lebih baik darinya? Sesungguhnya apa yang kau cari?” terluka pemuda itu meratap dalam diam. Dan ketika mereka berfoto bersama. Bajingan itu merengkuh lebih erat lagi bahu gadis itu. Dan ketika semua teman-teman lantai sebelas turun, mereka berdua masih berdiri di sana, berfoto berempat bersama kedua mempelai. Gadis itu sekali lagi tersenyum amat bahagia. “Senyum mempelai wanita saja kalah,” umpat pemuda itu dalam hati. Maka semenjak detik itu, si pemuda dengan jantung tercabik-cabik mengubur dalam-dalam segenap cintanya. “Cinta memang tak pernah adil,” keluhnya terluka. *** Extended: “Hai!” Gadis itu tersenyum. “Hai!” Pemuda itu juga tersenyum. Pintu lift menutup pelan. Keheningan kemudian menyelimuti. Tak pernah ada yang bisa mendengar dengung lift bergerak, tetapi bagi mereka berdua yang sedang takzimnya, bekas telapak tangan di kaca lift pun terlihat amat jelas. Si gadis sembunyisembunyi melirik. Si pemuda batuk-batuk kecil berusaha mengendalikan perasaannya. Mereka bertatapan sejenak. Gelagapan bersama. “E, mau makan di mana?” si pemuda pura-pura merapikan dasinya. Mukanya merah kebas. Ia tahu persis gadis itu selalu makan di basemen itu. Gadis itu juga tahu persis pemuda itu lebih suka makan di lantai satu. “Lanti satu! Lu, mau makan dimana, Zhar?” “Basemen!” Ya ampun, ia sungguh tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Basa-basi saling melambaikan tangan, mereka berpisah saat pintu lift terbuka. Berharap seharusnya mereka saat ini justeru sedang bergandengan menuju kafe di menara atas. Kafe para pencinta.***


6. BILA SEMUA WANITA CANTIK! Alkisah, ada anak super-gendut yang selalu diganggu teman-temannya. Setiap hari diteriaki, “Gendut! Gendut! Badak! Badak!” Anak itu menangis. Tersedu. Berlari menjauh dengan gelambir lemak di perut. Mengadu. Ibu-nya bilang tentang, “Jangan marah. Jangan diambil hati. Mereka hanya bergurau. Besok juga berhenti!” Tetapi esok-lusa kelakuan temantemannya tak pernah kunjung reda. Berbilang hari malah menjadi-jadi. Cubit sana. Cubit sini. Maka semakin sering bersedihlah anak itu. Hingga suatu malam, di tengah senyapnya gelap, sang anak mengangkat kedua tangannya, tengadah ke langit buram, “Ya Tuhan, kurus-kan-lah aku. Aku mohon….” Anak itu menangis tersedu, bersimpuh penuh harap, “Atau kalau Kau tidak berkenan membuatku kurus, maka buatlah gendut seluruh teman-temanku…. Aku mohon! Biar kami sama…. Biar kami sama….” Maka malam itu, sempurna sudah langit terbolak-balik. Do’a itu bagai melempar sebutir dadu dengan seluruh enam sisinya sempurna bertuliskan kata: Amin! Vin tertawa lebar, bahkan sebelum Josephine sempat menyelesaikan ceritanya. Hampir tersedak oleh makanan, buru-buru meraih gelas orange-juice, minuman favoritnya. “Nah, lu bisa bayangin kan kalau semua teman-temannya gendut! Mana asyik lagi coba harihari mereka. Tidak ada saling olok satu sama lain. Tidak ada saling ejek. Hambar, persis seperti steak ini!” Jo nyengir, ikut menahan tawa sambil malas mengiris-iris daging sapi di hadapannya. “Tapi itu tetap tidak menjelaskan masalahnya….” Vin meletakkan gelas, lantas memperbaiki anak rambut yang mengenai ujung-ujung mata. “Analogi yang buruk! Buruk banget malah!” “Lah, come-on! Bukankah itu menjelaskan semuanya. Lu pikir semua orang di dunia ini akan cantik? Akan seksi? Nggak, kan? Pasti ada yang tidak cantik, kurang seksi—” “Ya seperti kita-kita ini.“ Vin memotong pelan. “Lu selalu berpikiran negatif. Selalu pesimis. Lagian siapa bilang lu tuh jelek?” Vin menyeringai tanggung. Jelek? Kalau saja Jo bukan teman baiknya, cerita Jo yang nyebutnyebut gelambir lemak di perut tadi sudah jadi alasan baik untuk menjitaknya. “Gw nggak pesimis, Jo…. Tiga puluh tahun hidup di dunia ini…. Tiga puluh tahun menjejak semua proses kehidupan…. Meski tiga puluh tahun itu juga tak satu pun cowok melirik lu…. Tidak pernah menemukan cowok yang menganggap lu exist! Menganggap lu ada di dunia ini…. Well, jadi bagaimana mungkin gw akan pesimis, kan?” Vin tertawa kasar. Josephine meletakkan pisau dan garpu. Putus asa. Satu, untuk bumbu daging steak yang memang hambar. Dua, untuk kalimat sinis bin sarkas dari Vin barusan. Urusan ini lama-lama sedikit menyebalkan. Ia mengenal benar tabiat Vin. Ia berteman baik dengan Vin sejak dua belas tahun silam. Dipertemukan tidak sengaja di salah-satu acara. Pesta perpisahan sekolah. Prom-night! Cepat sekali akrab.


Bagaimana tidak? Mereka berdua hanya jadi penonton di acara tersebut. Memandang sirik cewek-cewek berpakaian seksi berlalu-lalang bersama pasangan. Ratu-pesta? Tidak masuk kamus mereka, kecuali ada nominasi baru yang dibuat khusus dalam penghargaan tersebut, seperti, ‘best-badut-custome’! Jadi mereka saling menyapa kaku di pojok ruangan sepanjang sisa acara. Saling menjulurkan tangan. Berkenalan. Lantas berusaha mengisi malam dengan ngemil makanan yang berserak. Dua belas tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari pertemanan mereka. Vin tingginya hanya bertambah dua senti, celakanya yang bertambah banyak justru volume dan lebar-nya. Tidak proporsional. Sedangkan Jo? Sama buruknya, semakin jerawatan, tubuhnya ringkih, muka tirus, rambut keriting tak-tertolong. Benar-benar dua sahabat yang menarik untuk dilihat. Tadi saja pelayan kafe tega mengabaikan, seperti tak melihat mereka duduk di situ. Masalahnya, berbeda dengan Jo yang tumbuh lebih dewasa, mapan dengan karir, cerdas dalam pekerjaan, Vin semakin tenggelam dalam mimpi-mimpi cinderella masa kecilnya dulu. Bagi Jo, ada atau tidak ada cowok yang melirik mereka, ada atau tidak ada cowok yang jatuh hati kepada mereka, itu tidak penting. Hidup ini tetap indah meski tanpa kehidupan percintaan yang mengharu-biru. Tapi bagi Vin tidak. Ia bosan dengan kesendiriannya. Bosan dianggap tidak ada oleh cowok-cowok. Celakanya Vin justru mengidolakan cowok terkeren kota ini. Teman satu kantornya. Maka belakangan, setiap kali mereka bertemu, semakin seringlah Vin mengeluhkan soal itu. Bertanya hal-hal prinsip seperti, “Apakah wajah itu penting saat kau jatuh cinta?” “Bukankah banyak yang bilang, karakter nomor satu, fisik nomor dua?” Bahkan kadang berteriak sebal tentang: “Omong kosong! Semua itu bohong! Siapa bilang kita selalu terlahir dengan takdir jodoh bersama kita? Itu hanya untuk membesar-besarkan hati saja!” Kemudian menutup pembicaraan dengan keluh-kesah-resah. Seperti malam ini. Di SkyCafe! Kafe yang memiliki slogan, “Kamilah kafe tertinggi di kota ini!” Memang benar slogan tinggi itu. Kafe ini persis di atas gedung tertinggi. Tapi soal menu dan rasa makanan, Jo sejak tadi malah mendesis dalam hati, tidak akan pernah datang lagi. Dan Vin sibuk berkeluh-kesah lagi. “Lihatlah! Cowok-cowok itu seperti laron mengelilingi gadis cantik di meja besar itu. Semua berebut seperti anak kecil yang dijanjikan permen. Menyebalkan!” Vin mengkal menunjuk kerumunan di sudut ruangan. Jo tertawa kecil. Menatap keramaian yang membuat sirik Vin tersebut. Bahkan, hei! Erik Tarore, cowok tampan idola satu kantor Vin ikut mengerubung. Pasti itu yang membuat Vin tambah keki. “Gw pikir hidup gw akan sepi selamanya…. Selamanya….” Vin pelan mengaduk-aduk minumannya. Nelangsa. Jo menatap prihatin, nyengir, “Yaaa, lu kan sudah terbiasa menjomblo selama tiga-puluh tahun, jadi gw yakin lu pasti bisa terus menjomblo selama tiga puluh tahun lagi!” Mereka berdua tertawa. Getir.


“Tapi yakinlah, Vin, tak selamanya lu pikir menjadi cantik dan seksi itu menyenangkan….” Jo menghentikan tawanya. Vin mengangkat bahu. Tidak terlalu tertarik dengan kalimat Jo barusan. Setiap kali mereka bertemu, sebulan terakhir, Jo selalu bilang soal itu. Mencoba membesarkan hatinya. Percuma. Omong-kosong. Ia sudah tak percaya lagi. “Cantik itu kan hanya terlihat dari luar, Vin…. Coba lu lihat kafe ini, keren banget, kan? Tapi makanannya? Masih mending warung sate di perempatan depan kantor lu! Jadi seperti lu, dari luar sih kumuh, nggak higienis, tapi dalamnya? Wuih! Legit!” Tertawa lagi. Semakin getir. “Atau seperti teman-teman kita yang gw ceritakan minggu lalu…. Friska bercerai dengan suaminya, Mitha ketahuan berselingkuh, Lala berapa kali coba disakiti pacarnya…. Si Uthi nyandu,” Jo menghitung jari, “Kurang apa coba mereka? Cantik! Tapi kehidupan mereka tidak menyenangkan. Mending seperti lu, kan? Sendiri tapi hepi! Jomblo tapi bahagia.” Vin mengangkat bahu. Ia memang bahagia dengan hidupnya (sepanjang tak ada hubungannya dengan cowok). Tapi kesendirian ini menyesakkan. Vin semakin malas mendengarkan ceramah Jo. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Sesuatu…. “Lu pikir menjadi cantik itu menyenangkan, Vin? Sama sajalah! Bahkan dalam banyak kasus malah menyebalkan…. Lu mesti rajin merawat diri. Peduli benar dengan penampilan tubuh setiap inchi-nya, setiap mili-nya…. Lagi pula menurut penelitian bahaya pelecehan seksual yang mengancam wanita yang terlihat menarik lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan wanita yang terlihat biasa-biasa saja…. Bisa dimengerti sih, siapa pula yang tertarik untuk iseng ke kita-kita?” Jo tertawa, melambaikan tangan ke pelayan, meminta bon tagihan. Vin tetap tidak terlalu memperhatikan, ia semakin sibuk dengan sesuatu yang sedang dipikirkannya. “Mereka pasti memiliki masalah dengan kecantikannya, sama seperti kita yang memiliki masalah dengan penampilan kita…. Masalahnya kita tidak pernah dalam posisi mereka, kan? Tidak pernah dalam posisi orang-orang yang dicemburui. Percaya nggak, terkadang mending kita dalam posisi yang mencemburui dibanding sebaliknya, tapi kita tidak pernah tahu. Anyway, dengan tidak tahunya, tidak mesti kita merasa kehidupan mereka lebih oke, kan?” Jo menyerahkan kartu-kredit ke pelayan yang mendekat. “Lagi pula ukuran cantik-jelek itu relatif, Non! Karena cowok-cowok itu bersepakat cantik dan seksi itu harus ramping, perut datar, mata hitam menggoda, rambut seperti ini, kulit harus putih, bibir mesti merah, mesti sensual, dan seterusnya maka cewek otomatis harus seperti itu untuk dibilang cantik. Coba kalau cowok-cowok bersepakat cantik itu gendut, pendek, hitam, keriting, lu kan bisa masuk kriteria cantik banget, Vin…. Ah-sudahlah, yuk!” Jo berdiri setelah menerima kembali kartu-kreditnya. Tidak tega melanjutkan gurauan. Lihatlah Vin sudah mengusap matanya. Nah-loh, daripada seperti minggu lalu Vin nangis-sedih gara-gara kalimatnya, mending buru-buru pulang. Vin mengangguk. Berdiri lemah mengikuti Jo. Matanya kelilipan. Tidak. Tentu saja Vin tidak ingin menangis seperti minggu lalu. Selepas makan dan ngobrol bareng Jo malam ini, hatinya


tidak sesedih minggu-minggu lalu. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Dan itu memberinya semangat. *** Malam itu langit terlihat amat buram. Bintang sempurna terusir awan kelam. Rembulan sabit bersembunyi malu. Langit pekat. Angin mendadak takut bertiup. Sepi. Seluruh kehidupan seperti sedang tertidur lengang. Di lantai dua sebuah rumah, jendelanya memang sudah redup, tapi penghuninya sedang takjim menatap langit luar. Penghuninya adalah Vin. Vin yang mengangkat kedua-belah telapak tangannya. Inilah yang dipikirkannya sepanjang sisa malam. Sesuatu itu…. Vin yang berkata lirih! Sedang khidmat berdoa. “Ya Tuhan, buatlah aku cantik…. Aku mohon!” Vin bersimpuh penuh harap, “Atau kalau kau tidak berkenan membuatku cantik, maka buatlah seluruh wanita di dunia ini se-jelek diriku….” Satu tetes air mata Vin mengalir di pipinya yang tembam. Air-mata penuh pengharapan. Meluncur deras ke atas kasur. Persis saat air itu menerpa seprai putih, persis saat bulir air itu meresap di lembutnya seprai, saat itu petir mendadak menyambar menggetarkan hati. Guntur menggelegar. Angin kencang membungkus langit. Langit sempurna terbolak-balik. Malam itu, doa Vin bagai melempar sebutir dadu dengan seluruh enam matanya sempurna bertuliskan kata: Amin. *** Vin bangun pagi dengan perasaan segar! Mandi lama-lama. Duduk di atas toilet lama-lama. Ritual paginya yang hebat. Sebenarnya hanya duduk doang. Manyun menatap pintu kamar mandi. Setengah jam kemudian mengenakan blouse kerja terbaiknya. Dulu ia berpikir, pakaian bisa membuat seseorang terlihat lebih cantik. Sayang, otak negatifnya juga sudah lama sekali membuat kesimpulan: Kalau dasarnya orang itu nggak cantik, maka mau dikasih permata lima ton tetap saja tidak akan menarik (kecuali permatanya). Iklan-iklan sabun mandi, shampoo, lotion, dan apalah itu bohong! Jelas-jelas modelnnya memang sudah cantik dari sono-nya. Dikasih baju robek seadanya juga tetap cantik. Puh! Tapi hari ini Vin lagi hepi. Tidak peduli ketika kepalanya membenak hal buruk berkali-kali. Berangkat kerja dengan semangat. Ditegur adiknya di ruang tengah. Hei! Ada yang berubah? Matanya mendadak melihat sesuatu yang ganjil. Entahlah! Bertemu Mama di meja makan. Hei? Bukankah Mama-nya sungguh terlihat beda! Vin malas berpikir. Menjepit tas kerjanya. Naik feeder-bus yang selalu on-time berkeliling di komplek perumahan. Hei! Hei! Mengapa semua orang terlihat sungguh berbeda sepagi ini? Lihatlah! Sopir bus (sopir pertama wanita) yang selama ini hanya menatap dingin dibalik kaca-mata hitam kebesarannya sekarang tersenyum renyah. Memamerkan gigi putih yang cemerlang. Di man-na gigi kuning berlapis kawat logam itu? Penumpang bus? Hati Vin mendadak mencelos. Seperti sebatang besi panas dicelupkan ke dalam seember air es. Atau seperti Vin yang sedang ketangkap basah mencuri pandang Erik (dengan tatapan 100 watt penuh penghambaan itu). Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin?


Hati Vin tiba-tiba menggigil. Sungguh, seluruh penumpang cewek bus terlihat begitu… begitu cantik. Can-tik? Yaps! Bukan main…. Bukankah adiknya yang tidak kalah gendut dengannya juga terlihat cantik tadi pagi? Mamanya yang seperti paus biru terlihat laksana artis umur dua puluh tahunan? Singset? Apa yang terjadi. Mata Vin mendadak berkunang-kunang. Doa itu? Apa doa semalam itu manjur? Tapi kenapa jadi begini? Bukankah ia berdoa sebaliknya? Kenapa semua wanita pagi ini mendadak terlihat begitu cantik. Atau jangan-jangan. Ia juga berubah…. Jangan-jangan…. Vin buru-buru bangkit dari duduknya. Berlari ke depan dengan semangat. Itu sungguh akan jadi kabar yang menyenangkan…. Vin berlari ke arah cermin di atas kepala sopir bus (yang lazim dipakai untuk melihat situasi di belakang bus). Menatap wajahnya penuh antusiasme. Tapi ia terpaku. Seketika. Bagai batu pualam. Ya ampun? Ini pasti ada kesalahan. Vin gemetar memegang tiang besi. Ini benar-benar kesalahan besar. Lihatlah sepagi ini. Di atas bus, di trotoar jalanan, di lobi gedung, di dalam lift, di layar kaca (Vin yang tidak percaya menghidupkan teve), seluruh gadis di dunia mendadak berubah cantik. Sempurna! Sempurna seperti Vin membayangkan kecantikan itu sebagaimana-mestinya. Cleaning service yang rutin pagi-pagi mengantarkan minuman untuknya, mbak-mbak yang cerewet dan jelek itu saja sekarang berubah sintal dan menggairahkan. Ibu-ibu peminta-minta yang sering Vin temui di jembatan penyeberangan bahkan terlihat seperti model-super-hot. Vin jengah menatapnya, dengan pakaian seadanya yang robek di sana-sini, pengemis itu seperti sedang pose menggoda untuk majalah pria dewasa. Memamerkan pahanya yang putih-mulus (meski tangannya tetap terjulur sambil berkata lirih, “Recehnya, Mbak! Sudah dua hari tidak makan”). Aduh, semua ini benar-benar membingungkan…. Dan yang amat menohok bagi Vin, ketika seluruh gadis terlihat cantik pagi ini, kenapa ia seujung kuku pun tidak berubah? Vin menggigit bibir di depan komputernya. Hampir sejam berlalu Vin hanya mematung di meja kerja. Berusaha sembunyi dari kerumunan gadis-gadis yang mendadak begitu bahagia melihat wajah dan tubuh baru mereka. Ya Tuhan! Bukankah doanya semalam tidak seperti ini? Bukankah ia bilang kalau Tuhan tidak mau membuatnya cantik, maka buat jelek-lah seluruh wanita di muka bumi ini. Tapi sekarang? Semua malah terlihat cantik, kecuali dirinya…. Apakah langit kejam sekali padanya…. Vin tersungkur dengan hati pilu. *** Seminggu berlalu. Jadwal pertemuan berikutnya dengan Jo. Vin sepanjang minggu enggan sekali menelepon Jo. Ia malah cemas bertemu dengan Jo. Amat cemas. Bagaimana mungkin ia siap bertemu dengan Jo setelah apa yang terjadi? Bertemu dengan teman-teman sekantornya, Mama, adiknya, dan gadis mana pun Vin malu. Dulu saja Vin sudah terlihat berbeda dengan tubuh gendut dan muka lebarnya. Sekarang?


Dengan seluruh kecantikan yang mendadak menjejali seluruh kota, maka tubuhnya terlihat semakin berbeda. Ini semua benar-benar nyata. Seperti kalian yang bisa menyentuh tulisan ini. Setiap wanita terlihat begitu cantik. Bumi seperti diisi sejuta bidadari. Kalian bayangkan di pasar tradisional yang becek. Sempurna pasar itu diisi oleh ibu-ibu yang cantik sedang berbelanja. Guru-guru yang cantik di sekolah. Suster-suster yang cantik di rumah-sakit. Pengunjung yang cantik di pusat-perbelanjaan. Penumpang yang cantik di kendaraan umum. Semuanya cantik. Hanya cowok-cowok itu saja yang tidak berubah sedikit pun. Tetap seperti sebelumnya. Dan cowokcowok itu terlihat bahagia sekali dengan seluruh kecantikan ini. Bagaimana tidak? Tiba-tiba kalian menemukan istri yang begitu manisnya saat bangun tidur? Mengusap mata, khawatir salah kamar malam ini. Dunia benar-benar terlihat jadi lebih indah seminggu terakhir. Tapi tidak bagi Vin. Hidup semakin menyakitkan baginya. Ia bolos kerja. Buat apa? Hanya menjadi bahan tertawaan. Ditatap dengan tatapan merendahkan (bahkan dari ibu-ibu cleaning service yang dulu rajin setiap hari bertanya, “Vin sudah punya pacar belum, sih?”). Ia juga malas berkumpul dengan keluarganya? Hanya untuk menjadi bahan olok-olok mereka? Meskipun sejauh ini Mama dan adik-nya tidak pernah mengolok-olok dirinya. Vin semakin sering menangis. Ia enggan bertemu Jo! Tidak akan ada lagi Jo yang menghiburnya. Jo pasti sudah berubah begitu cantiknya. Tapi malam ini Jo yang justru datang menemuinya. Mengetuk pintu kamar berkali-kali. Enggan dibuka. “Vin, buka pintunya! Atau aku ledakkan!” Jo tertawa. Vin membenamkan mukanya di sela-sela bantal. “Vin, kalau ada orang di dunia ini yang bisa mengerti perasaanmu sekarang, maka itu adalah aku!” Jo membujuk. Vin tidak peduli. “Vin, aku tidak bergurau. Aku sungguh tidak tahu mengapa seminggu terakhir seluruh dunia mendadak berubah! Terus terang saja, seminggu terakhir, aku enggan sekali bertemu denganmu, karena aku khawatir kau juga mendadak berubah seperti wanita lainnya….” Suara Jo terhenti. Vin mengangkat kepalanya. Tidak mengerti. Apa maksud kalimat Jo barusan? “Kau tahu, Vin…. Malam ini aku sungguh memberanikan diri untuk menemui-mu. Berpikir berkali-kali…. Hingga akhirnya memutuskan datang karena aku tidak peduli meski kau berubah cantik seribu kali, kau tetap mau menganggapku sebagai sahabat, bukan?” Vin beranjak turun dari tempat tidurnya. Senyap sejenak. Gemetar membuka pintu. Dan saat daun pintu sempurna tersibak lihatlah! Jo ternyata juga sama seperti dirinya. Tidak berubah sedikit pun. Tetap jelek jerawatan. Mereka bersitatap satu-sama lain. Membuat terhenti detak jam di dinding. Membuat sepasang cecak menatap curiga (“Ternyata masih ada ya dua cewek


jelek di dunia ini?” Salah satu cicak itu berbisik jahil). Mereka berdua yang tidak mengerti decak cicak menghela nafas panjang. Kemudian berpelukan. Vin menangis tersedu…. “Kenapa kau tidak berubah, Jo? Kenapa kau tidak cantik? Harusnya kau berubah seperti mereka….” Vin bertanya sesak. Jo mengangkat bahu, sedikit tidak mengerti meski banyak tidak peduli, “Tidak penting kita cantik atau jelek, Vin! Sudahlah! Andaikata seluruh gadis di dunia ini terlihat cantik, dan hanya menyisakan kita sendirian yang jelek, hidup ini tetap terasa indah, bukan? Setidaknya aku masih punya kau, Vin!” *** Sebulan berlalu. Tidak pernah Vin dan Josephine merasa sedekat ini sepanjang hidup mereka. Setiap hari bertemu. Kemana-mana selalu berdua. Kejadian ini persis seperti di pesta perpisahan itu. Bedanya dulu hanya dalam satu ruangan, sekarang mereka berdua terlihat berbeda di seluruh sudut kota. Bahkan di seluruh dunia. Lelah Jo membesarkan hati Vin, “Cantik itu relatif, Vin! Peduli amat dengan tatapan mata mereka….” Maka Vin seperti biasa akan mendesis lirih, penuh kesedihan, “Ya! Cantik itu relatif, tapi jelek itu absolut!” Membuat terdiam sejenak langit-langit meja-makan mereka. Menyisakan denting sendok yang terdengar sungkan dan tanggung. Malam ini lagi-lagi mereka berkunjung ke SkyCafe. Lupakan makanan buruknya. Vin sekarang sering pergi ke sana hanya untuk menatap dari kejauhan Erik-nya tercinta yang berkunjung bersama gadis cantik itu. Dulu saja gadis itu terlihat cantik, apalagi setelah malam ganjil tersebut. Dibandingkan Vin, gadis itu malam ini cantik bangeto! Membuat Vin yang menatap sendu Erik bagai pungguk merindukan bulan (tapi sekarang bulannya bukan yang biasa yang sering kalian lihat, tapi yang di galaksi Andromeda, satu juta tahun kecepatan cahaya sana!) “Tuhan kejam sekali….” Vin terisak menangis. “Tidak! Kita hanya tidak tahu apa maksudnya, Vin!” Jo menggenggam jemari Vin. Berusaha mendiamkan. Dan inilah yang sungguh tidak diketahui Vin. Sebulan terakhir, ketika seluruh gadis di dunia terlihat sama cantiknya. Perlahan-lahan ada pemahaman yang berubah. Pelan tapi pasti ada ukuran yang berubah. Hei! Cowok-cowok itu mulai bosan melihat “kecantikan” yang itu-itu saja. Bagaimana tidak? Mereka sekarang bisa melihat kecantikan itu di mana saja. Membuka pintu, langsung bertemu wanita cantik, naik angkutan umum, banyak. Di jalanan, lebih banyak lagi. Apalagi saat menyaksikan karnaval hari ibu dua hari lalu, banyaaak banget wanita cantik. Pria di dunia sungguh mulai bingung. Kalau semua terlihat cantik, jadi di mana lagi ukuran cantik itu? Kalau semua terlihat menarik, apa lagi ukuran hakiki menarik tersebut? Bukankah


mereka selama ini ingin merasakan memiliki pasangan yang terlihat lebih “oke” dibandingkan pasangan temannya. Sekarang? Aduh, sama semua. Bertemu di pesta, tidak ada lagi pembicaraan soal lebih-ini, lebih-itu dari pasangannya antar bujang-bujang metropolitan tersebut. Tidak ada lagi saling menyombongkan diri. Casting film juga membosankan. Apa yang mesti dipilih kalau semuanya sama cantiknya? Miss Universe? Benar-benar lucu menyimak acara live tersebut seminggu lalu, bagaimana mungkin gadis penjual permen dengan pakaian lusuh dan kotor di luar gedung mewah pertunjukan tersebut sama cantiknya dengan pemenang lomba? Dan, tentu saja sama seksinya dengan ibu-ibu pengemis di jembatan penyeberangan yang berpakaian seadanya itu? Maka malam ini, saat Vin menangis tersedu atas nasibnya, seluruh pria di kota kami juga sedang amat-bingungnya. “Aku lebih baik mati saja….” Vin tersungkur di atas meja. “Sudahlah, Vin!” Jo berbisik, berusaha membujuk. Membelai pelan rambut Vin yang pecahpecah dan ber-ketombean. “Biarkan aku sendiri….” Vin benar-benar putus-asa. “Kau hanya menarik perhatian orang lain dengan menangis seperti ini,” Jo mencengkeram lengan Vin. “Peduli amat? Bukankah kita sudah menarik perhatian dengan wajah dan tubuh jelek ini?” Vin mendesis seperti ular. Jo salah-tingkah. Ya ampun, bagaimana sekarang? Suara tangis Vin mengeras. Membuat wajah-wajah tertoleh. Jo semakin bingung hendak melakukan apa agar Vin diam. “Maukah kau menghapus air-matamu dengan sapu-tangan ini?” Tiba-tiba terdengar suara yang begitu berwibawa dan gagah di sebelah mereka. Memotong sedu-sedan itu. Jo menoleh. Vin mengangkat kepalanya. Ya Amplop? Apa yang terjadi? Mata Vin mendadak berkunang-kunang. Jo menelan ludahnya. Lihatlah! Erik, pemuda keren idaman hati tengah menjulurkan sapu-tangan sutera berenda indah ke arah Vin. Tersenyum amat jantan-nya. “Aku akan tersanjung sekali kalau kau mau memakainya untuk mengelap air-matamu!” Erik menatap Vin yang berderai dengan mata terpesona. Seperti malaikat cinta. Vin seketika gemetar. Bagaimana mungkin? Seumur-umur hidupnya ia mendambakan Erik mendekatinya. Bahkan pernah sekali mereka bertabrakan di depan pintu lift, lantas ia dibentak-bentak Erik, “Dasar gendut! Mata di taruh di mana? Mata tuh digedein, jangan perut!” Vin merasa bahagia sekali saat itu. Sekarang? Apa yang terjadi? Apakah dunia semakin aneh? Apakah ia sekarang mendadak terlihat lebih cantik?


Tidak. Vin tetap sama jeleknya. Hanya saja karena sebulan terakhir Erik bosan dengan gadisgadis cantik di sekitarnya. Selama sebulan bingung mencari makna baru arti kata sebuah kecantikan, malam ini saat dia tidak sengaja melirik Vin yang menangis di meja-makan seberangnya, hati Erik langsung berdenting. Duhai, gadis ini berbeda sekali. Lihatlah! Badannya yang besar, rambutnya yang berantakan? Pakaiannya yang berbeda? Apakah ini sebuah kecantikan? Entahlah! Apa ini yang disebut bidadari? Entahlah! Tapi gadis ini sungguh terlihat berbeda dengan wanita-wanita di sekitarnya. Gadis ini sungguh terlihat menarik. Maka Erik melangkah dengan hati kebat-kebit, persis seperti remaja tanggung yang sedang melihat gadis pujaan hati untuk pertama kalinya. Lihatlah! Ia sedang menangis, maka Erik bergetar meraih sapu-tangan, bersimpuh mengulurkan sapu-tangan itu. Membuat Vin sekarang sempurna membeku. Erik, pemuda idaman hatinya duduk di depannya? Waktu seolah berhenti bagi Vin malam ini. “KAU! Kau pria tidak tahu malu! Bagaimana mungkin kau meninggalkan aku sendirian di meja untuk mendekati gadis gendut ini? Mendekati badak yang sedang menangis?” Wanita yang bersama Erik sejak tadi di SkyCafe berteriak marah, berusaha menarik Erik. “Tutup mulutmu!” Erik mendadak menoleh, melotot sekaligus mendesis, “Jangan bilang wanita terhormat ini badak! Jangan sekali-kali! Ia wanita yang amat menarik. Aku justru bosan melihatmu berhari-hari…. Kau sama saja dengan gadis-gadis lain. Standar banget! STANDAR!” Vin dan Jo sempurna melongo. Mulut mereka terbuka lebar. Ya ampun? Bagaimana mungkin Erik meneriaki gadis secantik itu di hadapannya dengan sebutan: standar banget? Malam itu kehidupan Vin sempurna berubah. Ah-ya, tidak hanya kehidupan Vin, tapi kehidupan seluruh dunia. *** Dan inilah yang terjadi enam bulan kemudian. Ketika cowok-cowok di kota kami kehilangan definisi kata cantik, kehadiran Vin (dan Jo) seketika melegakan. Lupakan kesapakatan selama ini soal ukuran cantik dan seksi (yang diwariskan leluhur jutaan tahun silam). Itu kekeliruan besar. Cantik itu seperti Vin dengan wajah berminyak dan pipi tembam. Seksi itu seperti Vin yang memakai celana berukuran 42. Lihatlah, muka sendu Vin begitu memesona. Begitu menarik. Membuat hati berdebar tak henti ingin melihatnya. Membuat kepala tak kuasa untuk tertoleh walau sejenak. Maka malam itu Erik merasa pemuda paling beruntung sedunia, saat Vin mau berbicara dengannya. Perubahan pemahaman atas kata cantik itu bagai badai yang menyapu seluruh sudut dunia. Wusss! Seminggu berlalu, cantik berarti Vin. Seksi berarti Vin. Wanita-wanita yang selama ini merasa dirinya paling cantik mulai tidak pede. Bagaimana tidak? Saat di kamar tidur,


suaminya mengeluh, “Yang, tubuhmu tidak se-seksi Vin! Coba deh dibikin gendut sepertinya!” Saat berduaan di taman kota, pasangan cowok mereka mendadak bagai magnet tertoleh menatap Vin dan Jo yang sedang lewat. Ampun! Vin berubah menjadi maskot kecantikan baru! Stasiun teve berebut menjadikannya bintang. Casting film juga begitu. Ini berbeda. Artis yang benar-benar berbeda dengan gadisgadis selama ini. Sungguh menarik! Dan enam bulan kemudian ketika ukuran baru tentang cantik itu benar-benar mengambil-alih bisnis hiburan dan industri penampilan, maka terjadilah hal yang mencengangkan tersebut. “Shampoo 3 in 1 baru. Membuat rambut Anda pecah-pecah dan berketombe! Cobalah!” Ada Vin di situ menjadi modelnya. “Anda ingin terlihat gendut? Datanglah di fitness-center kami! Menyediakan layanan istimewa. No exercises. No barbel. Banyak makanan penuh lemak. Dan pijat relaksasi untuk membuat lemak itu bertahan lamaa….” Di iklan itu, ada artis pendatang baru (yang berhasil sedikit menggemukkan badannya) menjadi modelnya. “Hot-Flower! Sabun mandi yang membuat kulit Anda hitam seketika! Anda akan terlihat begitu cantik dengan kulit hitam-legam!” Lagi-lagi artis pendatang baru yang sedikit berhasil membuat hitam badannya menjadi model. Tapi artis-artis itu jelas kalah ’seksi’ dibanding Vin. Maka Vin menikmati popularitas takterkatakan. Dan lebih hebat dari itu semua, pemuda idamannya, pemuda yang dipujanya sepanjang masa, Erik Tarore sekarang sempurna menjadi miliknya. Benar-benar kehidupan yang hebat. Benar-benar takdir yang menakjubkan. Hidup seolah-olah tidak akan bisa lebih baik lagi bagi Vin. *** “Kita semakin jarang bertemu, Vin!” Jo mendesah pelan. “Aku sibuk, Jo! Kau tahu itu, kan! Ah-ya seharusnya kau mau menjadi bintang-iklan produk kecantikan itu, Jo. Tidak ada muka yang paling berjerawat se-dunia dibanding mukamu….” Vin melambaikan tangannya, sibuk menekan tombol telepon genggam. Menyuruh Erik menjemput. Jo menggeleng prihatin. Jo juga sama seperti Vin menjadi maskot kecantikan baru. Diburuburu untuk menjadi model iklan. Tapi Jo yang sejak dulu amat dewasa menghadapi kehidupan (termasuk soal takdir fisiknya), menolak. Baginya hidup tetap indah meski tanpa penampilan fisik “hebat” tersebut. Dulu indah, sekarang tetap indah, tidak peduli berapa kali ukuran relatif cantik-jelek itu mengalami perubahan. “Lihatlah, kau sekarang amat memperhatikan tubuhmu, Vin. Sibuk mengukur lingkar perut, sibuk membuat muka berminyak, kau kehilangan waktu-waktu menyenangkan seperti dulu….” Vin tertawa, mengangkat bahu. Peduli apa dengan masa-masa lalu? Bukankah semua ini menyenangkan?


“Kapan terakhir kali kau bengong di atas dudukan toilet. Merasa senang menatap pintu kamar mandi? Atau menikmati segelas orange-juice dengan santai?” Vin benar-benar tertawa sekarang. Jo ada-ada saja. Buat apa coba mengenang hal aneh tersebut? Memang dulu menyenangkan sih, bengong sendirian, minum sendirian, tapi lihatlah kehidupannya sekarang? “Kau juga semakin jarang bertemu dengan keluargamu, kan? Bukankah dulu kau amat dekat dengan Mama dan adikmu? Punya keseharian keluarga yang hebat….” Jo terus mendaftar keluhan berikutnya. “Sudahlah!” Vin melambaikan tangannya. Erik terlihat melangkah mendekat. “Bye, Jo! Aku pulang dulu, ya!” Vin memeluk mesra Erik. *** Masalahnya dengan standar kecantikan yang baru tersebut, gadis-gadis lain di seluruh sudut dunia dengan cepat menyesuaikan diri. Enam bulan pertama, kecantikan Vin tetap tidak terkalahkan, tetapi enam bulan berikutnya, mulai bermunculan tubuh-tubuh gendut, wajahwajah jerawatan, rambut kusut-masai, dan seterusnya dan seterusnya. Apa yang pernah dibilang tetua bijak? Wanita selalu merasa ingin tampil cantik, apapun itu bentuk standar barunya. Maka dimulailah penyesuaian besar-besaran dalam sejarah kecantikan dunia. Mengalahkan migrasi terbesar binatang yang pernah ada dalam sejarah kehidupan saat Ice Age jutaan tahun bahuela. Istri-istri yang dulu menangis tersedu saat suaminya sibuk membandingkan tubuhnya dengan Vin, menyeka air-matanya, dan mulai melakukan serangkaian perubahan diri. Gadis-gadis yang diabaikan pasangannya di taman kota melempar rasa iri-hati jauh-jauh, mulai beramairamai ikut fitness ’gaya baru’, mengonsumsi makanan berlemak, dan semangat menggunakan kosmetika yang tokcer membuat wajah berjerawat. Setahun berlalu, Vin perlahan mulai ditinggalkan. Apa mau dikata, cowok-cowok kota kami memiliki pilihan baru sekarang. Vin tetap terlihat paling cantik sih, tapi bukankah kata Jo ukuran cantik itu relatif. Vin soal gendut sih memang paling oke, tapi soal jerawat mah jauh! Soal muka berminyak sih oke, tapi soal wajah tirus? Soal rambut bercabang dan berketombean? Aduh, sekarang yang lagi trend rambut keriting hancur-hancuran, bukan seperti rambut Vin. Lagian soal pipi tembam itu sama saja dengan saat dulu pria sibuk membandingkan gadis mana yang lebih seksi, (maaf) berbuah-dada besar atau kecil. Itu semua relatif. Tergantung selera. Maka Vin mulai bergulat mempertahankan posisinya. Tidak pernah terbayangkan, ia yang dulu berusaha mati-matian mengusir jerawat di wajah, sekarang malah sengaja semangat menumbuhkannya. Demi karir-nya sebagai bintang iklan. Sebagai selebritis. Lupakan kehidupan menyenangkan dulu. Lupakan hari-hari tanpa beban miliknya dulu. Sekarang Vin sibuk mematut sana, mematut sini. Ia benar-benar dalam posisi di cemburu-i. Sibuk mengurus hal-hal yang dulu dengan rileks ia pikir buat apa coba diurus?


Dan celakanya, saat Vin mulai merasa lelah dengan kehidupan cantik-nya, Erik yang selama ini menjadi tempatnya berkeluh-kesah mulai bertingkah. Erik mulai berani larak-lirik wanita lain. “Apa aku kurang cantik?” Vin berteriak marah saat Erik malam itu lupa menjemputnya. Untuk pertama kalinya Erik tidak merasa perlu buru-buru minta maaf. Bagaimana tidak? Persis seperti lelaki normal lainnya sebelum urusan ganjil ini terjadi, Erik toh sekarang bisa mencari alternatif gadis yang lebih oke, bukan? Lihatlah! Sudah banyak ini…. Jadi kalau Vin bilang “putus”, masih ada banyak gadis gendut lainnya. *** Dan malam itu Vin benar-benar menangis. Tangisan pertamanya sejak setahun terakhir. “KAU! Bagaimana mungkin kau mengkhianatiku, Jo!” Vin tersungkur di samping ranjang. Lelah sekali ia selama seminggu mencari tahu dengan siapa Erik berselingkuh. Ia pikir dengan gadis ‘cantik’ yang dulu sering dilihatnya di SkyCafe bersama Erik (sekarang gadis itu juga terlihat ‘sama-cantiknya’ dengan dirinya, maksudnya sudah berubah gendut). Ia pikir gadis-gadis itu. Ternyata bukan. Erik ternyata berselingkuh dengan teman terbaiknya. Jo! “Maafkan aku, Vin…. Aku sungguh tak ingin melakukannya. Erik yang menggodaku. Bilang wajahku cantik tiada tara!” Jo menyeka wajahnya yang berjerawat. Ikut menangis tertahan. “BOHONG! Kau lah yang menggoda Erik!” Vin mendesis, menatap dengan mata merah. “Aku tidak melakukannya. Sungguh, Vin! Percayalah.” Jo berusaha memegang jemari Vin. Vin mengibaskannya, “JANGAN SENTUH AKU!” Jo tertunduk, air-matanya jatuh berderai. Ia memang tidak pernah memulainya, meskipun selama ini tanpa sepengetahuan Vin ia juga menyimpan hasrat kepada Erik. Pemuda itu juga pemuda idamannya sepanjang masa. Jadi bagaimana ia menolaknya saat Erik datang semalam (dan juga malam-malam sebulan terakhir)? Memuji rambut keriting taktertolongnya? Tadi pagi Vin yang sedih mengunjungi Jo, akhirnya tidak sengaja menemukan bukti perselingkuhan itu. Jo dan Erik sedang berduaan. Lihatlah! Erik sekarang berdiri terdiam seribu bahasa di sudut. Menatap mereka bergantian. Persis seperti remaja tanggung yang tertangkap basah berselingkuh. Dan sekarang bingung menatap dua gadis cantik di hadapannya yang sebentar lagi pasti akan memberikan “soal pilihan ganda” baginya. Tentu saja ke siapa lagi Erik akan berselingkuh? Meski begitu banyak wanita cantik hari ini, hanya Vin dan Jo yang orisinil dari sono-nya. Bukan cantik setelah melalui serangkaian terapi dan proses. Rambut keriting tak-tertolong Jo seksi benar di pandangan matanya. Apalagi muka tirus itu…. “BAIK! Sekarang biarkan Erik yang memutuskan. MEMILIHMU ATAU AKU!” Vin berteriak kalap.


Jo menggigit bibir. Hendak bilang, jangan. Erik mengusap rambutnya. Sungguh pilihan yang sulit! Satu punya body oke dengan gelambir lemak. Satu punya wajah menawan dengan jerawatnya. *** Malam itu langit terlihat amat buram. Bintang sempurna terusir awan kelam. Rembulan sabit bersembunyi malu. Langit pekat. Angin mendadak takut bertiup. Sepi. Seluruh kehidupan seperti sedang tertidur lengang. Di lantai dua sebuah rumah, jendelanya memang sudah redup, tapi penghuninya sedang takjim menatap langit luar. Penghuninya adalah Vin. Vin yang mengangkat kedua-belah telapak tangannya. Vin yang berkata lirih…. Urusan ini sebenarnya amat sederhana. Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk. Maka Vin berdoa amat takjimnya, “Tuhan, selama ini aku keliru, sungguh keliru… semua kecantikan ini…. Malam ini demi segala janji kebaikan yang masih tersisa, ajarkan aku untuk selalu memiliki hati yang cantik, hati yang cantik… Tidak peduli meski orang-orang tidak pernah sekali pun menyadari kecantikan hati tersebut….” Malam itu langit tidak terbolak-balik. Tetap lengang. Tanpa petir. Tanpa geledek. Enam belas dadu dilemparkan. Sayang, tidak ada yg tahu sisi mana dari dadu-dadu itu yang bertuliskan kata: Amin! ***


7. HIKS! KUPIKIR KAU NAKSIR AKU Ini benar-benar menyebalkan, tabiat Putri mirip banget dengan cewek lain yang sedang jatuh cinta. Selalu membesar-besarkan sebuah kejadian. Tertawa riang saat menceritakan kejadiankejadian sepele tersebut. Seolah-olah itu pertanda cinta yang sempurna kalau yang sedang ditaksirnya benar-benar juga menyukainya. Bayangin, cowok itu lagi kentut saja, mungkin bisa diartikan Putri kalau tuh cowok grogi saat ketemu dengannya. Apalagi pas lihat mukanya memerah. Keringatan. “Aduh, aku nggak nyangka dia bakal se-nervous itu, Tin! Kayaknya dia juga suka ke aku, deh!” Mata Putri berbinar-binar macam bintang kejora saat menceritakannya. Padahal kalau Putri mau waras sedikit, jelas-jelas cowok itu sedang kebelet mau ke belakang. Pengin puf! Tapi mana ada coba rasionalitas bagi orang yang sedang jatuh-cinta setengah mampus seperti Putri? Mungkin ada benarnya juga buku-buku itu bilang. Orang-orang yang jatuh-cinta terkadang terbelenggu oleh ilusi yang diciptakan oleh hatinya sendiri. Ia tak kuasa lagi membedakan mana yang benar-benar nyata, mana yang hasil kreasi hatinya yang sedang memendam rindu. Kejadian-kejadian kecil, cukup sudah untuk membuatnya senang. Merasa seolah-olah itu kabar baik…. Padahal saat ia tahu kalau itu hanya bualan perasaannya, maka saat itulah hatinya akan hancur berkeping-keping. Patah-hati! Menuduh seseorang itu mempermainkan dirinya. Lah? Siapa yang mempermainkan siapa, coba? Untuk menjelaskan urusan ini, dan agar kalian paham betapa menjengkelkan tabiat Putri selama seminggu terakhir, akan aku daftar berbagai kejadian remeh-temeh yang justru bagi Putri seperti pertanda terbesar dalam kehidupan cintanya. Semoga setelah itu kalian juga bisa membandingkannya dengan tabiat kalian selama ini. Ternyata perasaan itu semua hanya ada di hati kalian doang. Dia? Nggak sedikit pun! Kalian apa mau dikata hanya bertepuk sebelahtangan, hihi. *** Kejadian Pertama. Rio. Ganteng? Jangan ditanya. Rio satu kampus denganku dan Putri. Sejak dulu Putri sudah menjadi penggemar beratnya. Hanya saja selama ini belum ada kesempatan. Belum ada pemicunya. Jadi ya Putri sebatas pengagum rahasia. Paling hanya celetukan di warung tenda sepanjang jalan depan kostan saat kami makan malam. Hanya itu. Putri belum naksir berat dengan Rio. Sama-lah seperti temanteman cewek lainnya yang asyik membicarakan cowok keren. Celakanya, persis seminggu lalu dimulailah seluruh rangkaian kejadian menggelikan ini. Perasaan terpesona Putri tercungkil sudah. Malam itu selepas dari warung tenda, aku dan Putri berkunjung ke Bubu! Kafe buku dekat kostan. Tempat yang asyik buat baca buku. Konsepnya separuh kafe, separuh toko-buku. Cozy. Menyenangkan menghabiskan waktu di sana. Duduk nyaman dengan segelas jus segar. Koleksi mereka nggak sekomplet toko-buku besar, tapi untuk novel-novel pop cukup memadai. Sari teman kostan juga ikut ke Bubu.


Click to View FlipBook Version