The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Afriman Oktavianus, 2022-08-05 22:39:45

Modul KULIAH TPPU AFO

Modul KULIAH TPPU AFO

Keywords: jawara,Afriman Oktavianus,Teknik Penyusunan Peraturan Peru'ndan-undangan

MODUL
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SEBAGAI UPAYA PEMERATAAN KUALITAS MAHASISWA
DI FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

COVER

Rancangan Aktualisasi Nilai - Nilai Dasar ASN BerAKHLAK
Di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pelatihan Dasar
Calon Pegawai Negeri Sipil

GOLONGAN III

Nama Disusun oleh:
NIP
Jabatan : Afriman Oktavianus, S.H., M.H.
Satuan Kerja : 198710222022031002
Nomor Presensi : Asisten Ahli Dosen
Mentor : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Coach : 01
: Nurikah, S.H., M.H.
: Drs. Dedi Karyana, M.Ed

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN

TEKNOLOGI
2022

i

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Modul Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Sebagai Upaya Pemerataan Kualitas Mahasiswa di Fakultas
Nama Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
NIP
Gelombang : Afriman Oktavianus, S.H., M.H.
Angkatan : 198710222022031002
Nomor Presensi :5
Jabatan : XVI
Unit Kerja : 01
: Asisten Ahli Dosen
: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Coach Jakarta, 10 Agustus 2022
Mentor

Drs. Dedi Karyana, M.Ed Nurikah, S.H., M.H.
NIP. 196409041992031003 NIP. 197612112001122001

Penguji

Agus Supriyono, S.S., M.A.P.
NIP. 196902082003121003

ii

Kata Pengantar

Puji syukur Kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat,
hidayah dan karunia-Nya, maka Modul Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan telah selesai di susun. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan
pada Nabi Muhammad SAW karena beliaulah sebaik-bainya panutan bagi Penyusun
dalam Akhlak dalam pergaulan dan semangat belajar dan menuntut ilmu.

Penyusunan buku Modul Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan ini dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi tugas Pelatihan Dasar
(Latsar) CPNS Golongan III Gelombang 5 Angkatan XVI Tahun 2022, dan seterusnya
dipersembahkan pada Civitas Akademika Fakultas Hukum dan Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa serta Civitas akademika Hukum pada umumnya. Modul ini
diharapkan dapat mempermudah mahasiswa menerima materi dari dosen
pengajar Matakuliah Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan
Modul ini juga dapat dijadikan acuan dosen dalam menyampaikan materi
perkuliahan.

Modul Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimulai dari
Rancangan proposal penyusunan yang dikaji dan disusun berdasarkan pemilihan
isu yang ada di unit kerja penyusun menggunakan metode APKL, USG, dan Fishbone
Diagram. Pembahasan modul berkenaan dengan 4 (empat) judul besar yaitu (1)
Peristilahan Ilmu Perundang-undangan; (2) Jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan; (3) Teknik Penyusunan Naskah Akademik; dan (4) Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya Penyusunan mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah mendukung terlaksananya Latsar CPNS dan terselesaikannya modul ini,
yakni:

1. Prof. Dr. H. Fatah Sulaiman, S.T., M.T., Selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada
Penyusunan mengikuti pelatihan ini;

2. Dr. Agus Prihartono Permana Sidiq, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan jajarannya yang telah menugaskan
Penyusunan untuk mengikuti pelatihan ini;

3. Amurwani Dwi Lestariningsih, S.Sos, M.Hum., selaku Kepala Pusdiklat SDM
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia beserta
jajarannya yang telah mengoordinasi terselenggaranya Latsar CPNS Golongan
III Gelombang 5 Angkatan XVI Tahun 2022 dengan baik;

iii

4. Nurikah, S.H., M.H., selaku mentor yang selalu membimbing dan memonitor
serta memotivasi Penyusunan dalam menyelesaikan rangkaian kegiatan
Latsar hingga penyusunan modul ini;

5. Hj. Lia Riesta Dewi, S.H., M.H., selaku Ketua Bidang Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan
banyak masukan dalam berkonsultasi terkait penyusunan modul ini dan saat
pelaksaan pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD);

6. Dr. Fatkhul Muin, S.H., LL.M. selaku penanggung jawab mata kuliah Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa yang senantiasa bersedia berkomunikasi langsung
maupun via telepon dan aplikasi meeting online untuk menyelesaikan modul
ini;

7. Drs. Dedi Karyana, M.Ed, selaku pembimbing/coach yang telah membimbing
Penyusunan dengan penuh kesabaran dalam menyusun rancangan
aktualisasi hingga menjadi modul;

8. Agus Supriyono, S.S., M.A.P., selaku Penguji yang telah memberikan arahan
agar rancangan aktualisasi yang akan menjadi modul dapat lebih baik;

9. Fajar Arian N., S.Pd. selaku satuan tugas di gelombang 5 Angkatan XVI yang
telah memberikan arahan koordinasi dan bimbingan untuk kelancaran Latsar.

10. Semua panitia, Widyaiswara dan penyelenggara pelatihan dasar yang telah
memfasilitasi Penyusunan dalam menyusun modul dan pelaksanaan Latsar;

11. Orang tua, Keluarga dan istri Penyusunan yang selalu memberikan doa,
dukungan, dan semangat sehingga Penyusunan dapat menyelesaikan
penyusunan modul ini;

12. Tim Dosen-dosen Muda Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
yang senantiasa membagikan pengalam Latsar CPNS yang sudah mereka
lewati dan senantiasa memberikan masukan untuk keberhasilan dalam
penyusunan modul ini;

13. Rekan-rekan peserta Latsar CPNS Golongan III Gelombang 5 Angkatan XVI,
yang senantiasa menjaga kekompakan dan kerja sama selama mengikuti
kegiatan Latsar;

14. Semua pihak yang tidak dapat Penyusunan sebutkan satu per satu yang telah
berperan dalam suksesnya penyusunan modul dan pelaksanaan Latsar CPNS
tahun 2022.

iv

Penyusunan sangat menyadari modul ini masih banyak kekurangan, oleh
karenanya Penyusun mengharapkan adanya saran sebagai solusi yang membangun
demi perbaikan modul ini. Semoga modul ini dapat digunakan dan bermanfaat.
Sehingga dapat terwujudnya pemerataan pengetahuan hingga kemampuan Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Mahasiswa Fakultas Hukum
UNTIRTA. Akhir kata, semoga modul ini persembahan awal dalam menjadikan
Penyusunan ASN yang BerAKHLAK dan Smart ASN menuju pelayanan yang prima
bagi bangsa.

Serang, 28 Juli 2022
Penyusun,

Afriman Oktavianus, S.H., M.H.
NIP. 198710222022031002

v

Daftar Isi

COVER .......................................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................ ii
Kata Pengantar...................................................................................................................... iii
Daftar Isi...................................................................................................................................vi
Daftar Tabel..........................................................................................................................viii
Daftar Gambar........................................................................................................................ix

MODUL
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.............................................1

A. Pendahuluan ............................................................................................................................1

KEGIATAN BELAJAR 1
Peristilahan dan Perkembangan Ilmu Perundang-undangan..........................4

A. Tinjauan Umum Peristilahan Ilmu Perundang-undangan.....................................4
B. Tinjauan Umum Perkembangan Ilmu Perundang-undangan...............................6
C. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ......................................9

KEGIATAN BELAJAR 2
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan ............................................. 16

A. Hierarki Peraturan Perundang-undangan ................................................................ 16

KEGIATAN BELAJAR 3
Teknik Penyusunan Naskah Akademik....................................................................... 26

A. BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 27
B. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ............................................... 28
C. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT................................................................................................................................. 29
D. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS.............................. 30
E. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ............................................................ 30
F. BAB VI PENUTUP ................................................................................................................ 31
G. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 31
H. LAMPIRAN ............................................................................................................................. 31

vi

KEGIATAN BELAJAR 4
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.......................................... 35

A. JUDUL....................................................................................................................................... 35
B. PEMBUKAAN ........................................................................................................................ 39
C. BATANG TUBUH.................................................................................................................. 52
D. PENUTUP ............................................................................................................................... 75
E. PENJELASAN......................................................................................................................... 77
F. LAMPIRAN ............................................................................................................................. 80
Kunci Jawaban Tes Formatif ........................................................................................... 86
Daftar Pustaka...................................................................................................................... 87

vii

Daftar Tabel

Tabel 1.
Perbandingan jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Tahun 1966 s.d 2011 …………………………………………………………………………... 19

viii

Daftar Gambar

Gambar 1.
Piramida Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia ………………………… 21
Gambar 2.
Keterangan Teknis Judul ……………………………………………………………..………. 39
Gambar 3.
Keterangan Teknis Pembukaan …………………………………………………………… 51
Gambar 4.
Keterangan Teknis Diktum …………………………………………………………….…… 52

ix

MODUL

Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan

Afriman Oktavianus, S.H., M.H.

PENDAHULUAN

M A.Pendahuluan
odul adalah satu unit program pembelajaran yang terencana dan
didesain dalam bentuk printed material guna membantu Mahasiswa
dalam mencapai tujuan/kompetensi pada setiap Mata Kuliah (MK).
Model pembelajaran dengan menggunakan Modul ini merupakan model
pembelajaran yang menerapkan sistem dan teknologi instruksional.

Modul berbeda dari handout, buku teks, atau bahan tertulis lainnya yang
sering digunakan dalam proses pembelajaran biasa. Modul ini merupakan model
pembelajaran mandiri yang menuntut Mahasiswa belajar lebih aktif, sehingga
teknik penyusunan modul berbeda pula dengan penyusunan bahan tertulis
lainnya.

Modul ini berjudul “Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan”
yang menguraikan tentang bagaimana proses dan cara penyusunan peraturan
perundang-undangan berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan yang
beraku saat ini.

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari
Ilmu Perundang-undangan. Ilmu Perundang-undangan adalah ilmu yang
berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law, terutama di
Jerman sebagai negara yang pertama kali mengembangkan. Secara konsepsional
Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) merupakan cabang dari “Ilmu
Pengetahuan Perundang-undangan” (Gesetzgebungswissenschaft), yaitu terdiri dari
“Teori Perundang-undangan” (Gesetzgebungstheorie) dan “Ilmu Perundang-
undangan” (Gesetzgebungslehre).

Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) menurut Burkhardt Krems
adalah ilmu pengetahuan yang interdisipliner dan berdiri sendiri tentang
pembentukan hukum negara Lebih lanjut Burkhardt Krems membagi Ilmu
Perundang-undangan dalam tiga wilayah:1
1. Proses Perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren lehre);

1 Maria Farida Indrati, Kumpulan Tulisan A. Hamid S. Attamimi Gesetzgebungswissenschaft
Sebagai Salah Satu Upaya Menanggulangi Hutan Belantara Perundang-undangan, (Depok: Badan
Penerbit FH UI, 2021), hlm. 22.

1

2. Metode Perundang-undangan (Gesetzgebungsmethodenlehre); dan
3. Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebungstechniklehre).

Dari perkembangan konsep yang diperkenalkan oleh Burkhardt Krems.
Lebih lanjut, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan kemudian diperkenalkan
oleh beberapa pemikir atau ahli hukum yakni Hans Kelsen, Adolf Merkl, dan Hans
Nawiasky yang secara khusus menyoroti tata susunan norma hukum negara (die
Theorie von Stufenaufbau der Rechtsordnung). Dengan adanya berbagai pemikiran
dan pandangan akan bahasan-bahasan dalam Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan ini menunjukkan adanya keberagaman pemikiran. Hal ini tentunya
membawa suatu kenyataan normatif bahwa Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan senantiasa mengalami perkembangan yang niscaya membawa
pencerahan akademis yang bersifat konstruktif.

Berdasarkan pendapat Burkhardt Krems tersebut yang membagi Ilmu
Perundang-undangan menjadi 3 (tiga), mulai dari proses, metode dan teknik
perundang-undangan itu sendiri maka dalam hal ini Penyusun bermaksud untuk
menjelaskannya dalam modul Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan beserta teori tambahan yang dianggap berguna untuk penunjang
pemahaman dan keahlian sebagai hard skill mahasiswa tentang bagaimana
penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar.

Pembahasan dalam modul ini akan menjadi landasan dan fondasi bagi
mahasiswa dalam mempelajari dan mendalami rangkaian alur materi teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan. Pembahasan yang baik dan
penyajian simpel serta disesuaikan dengan Rencana Pembelajaran Semester
(RPS) Mata Kuliah Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan pada
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) pada modul ini
akan mengantarkan mahasiswa untuk dapat menjelaskan dan mampu menguasai
serta menerapkan dalam praktik penyusunan peraturan perundang-undangan
yang akan berguna bagi mahasiswa dan negara dikemudian hari. Oleh karena itu,
modul ini akan mengantarkan mahasiswa mengetahui, mempelajari dan
memahami hal-hal berikut ini sebagai bagian dari kemampuan atau kompetensi
untuk menjadi seorang perancang peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. Peristilahan Ilmu Perundang-undangan;
2. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan;
3. Teknik Penyusunan Naskah Akademik; dan
4. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.

Modul ini juga dilengkapi dengan contoh dari masing-masing pembahasan
yang disajikan dalam kerangka akademis yang substantif dengan tujuan agar
mahasiswa menguasai pengetahuan terkait sistematika penyusunan “rancangan”
peraturan perundang-undangan, praktik penyusunan Naskah Akademik,

2

penjelasan dan lampiran peraturan perundang-undangan. Sehingga dengan
mendalami modul ini secara seksama dan komprehensif diharapkan mahasiswa
dapat mengidentifikasi, mengenal, memahami dan mampu dalam pembentukan
produk hukum yang berkualitas secara drafting, berguna, dan bermanfaat secara
substansi.

“Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga
soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan"
(Shakuntala Devi)

Apa pun yang dapat dipikirkan dan diyakini oleh pikiran manusia,
itu dapat dicapai

Selamat belajar dan semoga berhasil !

3

KEGIATAN BELAJAR 1

Peristilahan dan Perkembangan
Ilmu Perundang-undangan

MATERI

A. Tinjauan Umum Peristilahan Ilmu Perundang-undangan

Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft) atau
science of legislation (wetgevingswetenschap) merupakan ilmu interdisipliner
yang mempelajari tentang pembentukan peraturan negara. Tokoh-tokoh
utama yang mencetuskan bidang ilmu ini adalah Peter Noll (1973) dengan istilah
Gesetzgebungslehre, Jurgen Roodig (1975) dengan istilah wetgevingsleer atau
wetgevingskunde, dan W.G. van der Velden (1988) dengan istilah
wetgevingstheorie, S.O. Van Poelje menyebutkan sebagai wetgevingsleer atau
wetgevingskunder berarti ajaran atau pengetahuan perundang-undangan,
Burkhardt Krems dan W. Maihofer menyebutnya Gesetzgebungswissenschaft.2

Kata perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
diartikan sebagai yang bertalian dengan undang-undang atau seluk-beluk
undang-undang, sedangkan kata undang-undang diartikan ketentuan-ketentuan
dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan
eksekutif, dan sebagainya) disahkan oleh parlemen (dewan perwakilan rakyat,
badan legislatif, dan sebagainya). Ditandatangani oleh kepala negara (presiden,
kepala pemerintahan, raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat.

Menurut teknis hukum (yuridis), kata/istilah peraturan perundang-
undangan merupakan terminologi hukum yang mempunyai pengertian sendiri.
Apabila kata/istilah tersebut merupakan terjemahan dari kata wetgeving atau
wettelijke regelingen. Istilah “perundang-undangan” mengandung makna yang
sebanding dengan luas pengertian sistem hukum dalam makna luas, karena ia
meliputi juga proses kegiatan pembuatan peraturan hukum (melalui kerjasama
antara DPR dan pemerintah sehingga lahir Undang-Undang di pusat dan perda di
daerah), dan juga meliputi peraturan hukum yang menjadi produk kegiatan ini,
bahkan termasuk juga sarana dan prasarana penunjangnya.3

Istilah “perundang-undangan” menurut sejarahnya adalah terjemahan dari
istilah Belanda “wetgeving” yang bermakna pembuatan peraturan (misalnya “wet”

2 A. Hamid S. Attamimi, “Teori Perundang-undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman”, pidato
Pengukuhan sebagai guru besar Universitas Indonesia, Jakarta.

3 Op.Cit. Hamid S. Attamimi

4

yakni Undang-Undang). Istilah ini adalah panduan antara kata “wet” (Undang-
Undang) dan “geven” (yang berarti memberi atau membuat). Wetgever ialah pihak
pembuatnya sendiri yakni DPR dan Pemerintah yang biasa disebut sebagai
legislatif dan eksekutif. Wetgeving (law making) berarti pembuatan Undang-
Undang.

Produk kegiatan perundang-undangan itu, bukan hanya terbentuk
“undang-undang” saja, tetapi ada juga dengan bentuk hukum (juridischvorm) yang
lain yaitu peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan daerah, peraturan, keputusan, dan sebagainya. Menurut
“teori hukum”, konstitusi atau UUD pun adalah termasuk kategori undang-undang
dalam makna luas, sedangkan undang-undang yang kita sebut dan dikenal sehari-
hari adalah “undang-undang” dalam makna “sempit”. Dengan kata lain, peraturan
perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian
kegiatan “perundang-undangan” (hasil perbuatan).4

Perundang-undangan dalam arti luas, meliputi sub sistem yang luas pula,
mulai dari paradigma dan jenisnya, aparat pelaksana perundang-undangan,
sarana dan prasarana penegakan hukum itu sendiri, revisi (peninjauan kembali:
perbaikan peraturan-peraturan yang ada). Perundang-undangan merupakan
kegiatan pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara baik di
tingkat pusat maupun daerah. Peraturan Perundang-undangan adalah segala
peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik
di tingkat pusat maupun daerah.

Makna kata regulation mempunyai konotasi yang lebih luas dengan
legislation karena legislation hanya terbatas kepada produk-produk parlemen
sebagai lembaga legislatif. Namun, terkadang justru legislation yang dianggap
lebih luas, karena regulasi merupakan salah satu bentuk saja dari legislasi,
misalnya, ada di antara peraturan yang disebut regulasi itu merupakan
kewenangan pengaturannya oleh undang-undang (legislation). Peraturan
pelaksanaan hasil delegasi kewenangan itu biasa disebut juga dengan delegated
legislation. Maka legislation dapat dikatakan lebih luas maknanya daripada
regulation.

Kata legislation seperti diuraikan dalam Oxford Dictionary Of Law biasanya
dikaitkan dengan “Act Of Parliament”, jadi dalam arti sempit, legislasi berarti
produk atau proses pembuatan undang-undang, sedangkan dalam arti yang lebih
luas menyangkut pula peraturan pemerintah dan peraturan lain yang mendapat
delegasi kewenangan dari undang-undang. Jika kita membatasi diri pada
pengertian sempit dari legislasi (legislation) seperti tersebut di atas, yaitu hanya
terkait dengan Act of Parliament, maka legislasi itu dapat dipahami sebagai

4 Ibid

5

produk parlemen atau produk lembaga legislatif. Sehingga legislasi itu dapat
disebut sebagai legislative act atau undang-undang yang ditetapkan dari executive
act, yaitu peraturan yang dibuat oleh eksekutif atau pelaksana undang-undang.

Peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan adalah setiap
putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh lembaga
dan/atau pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislative sesuai
dengan tata cara yang berlaku.5 Peraturan perundang-undangan sebagai bagian
dari hukum tertulis dan merupakan bagian dari sistem hukum maka pengertian
sistem peraturan perundang-undangan Indonesia adalah suatu rangkaian unsur-
unsur hukum terpadu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya yang terdiri
atas : asas-asas; pembentuk dan pembentukannya; jenis; hierarki; fungsi; materi
muatan; pengundangan; penyebarluasan; penegakan; dan pengujian, yang
semuanya dilandasi oleh falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.6

B. Tinjauan Umum Perkembangan Ilmu Perundang-undangan

Istilah Ilmu PengetahuanPerundang-undangan di Indonesia diajukan oleh A.
Hamid S. Attamimi (1975).7 Ilmu tersebut melahirkan istilah Perundang-
undangan yang sekarang banyak digunakan dalam ilmu hukum. Hamid S.
Attamimi, mengatakan bahwa dirinya cenderung mengikuti apa yang
dikemukakan oleh Burkhardt Krems tentang Gesetzgebungswissenschaft, yang ia
terjemahkan menjadi “ilmu pengetahuan perundang-undangan (dalam arti luas)”
yang menurut pendapatnya mengandung dua cabang atau sisi, yakni:
a. Sisi yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman yang

disebut Gesetzgebungstheorie, dan sifatnya kognitif, dan inilah yang
diterjemahkan menjadi “teori perundang-undangan”.
b. Sisi yang bertujuan menjelaskan perihal tindak pelaksanaan yang disebut
Gesetzgebungslehre yang sifatnya normatif, dan inilah yang diterjemahkan
menjadi “ilmu perundang-undangan”.8

Selain itu di Indonesia, dalam berbagai literatur banyak dikenal berbagai
istilah seperti perundangan, Perundang-undangan, peraturan Perundang-
undangan, dan peraturan negara. Dalam Belanda biasa dikenal istilah wet,
wetgeving, wettelijke regels, atau wettelijke regeling(en). Istilah Perundang-

5 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum
Nasional, (Bandung: Armico, 1987), hlm. 13.

6 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press dan
Tatanusal, 2008), hlm. 18.

7 Maria Farida Indrat Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
hlm. 1-6.

8 Ibid

6

undangan berasal dari istilah wettelijke regels. Berbeda dengan istilah peraturan
negara yang merupakan terjemahan dari staatsregeling, istilah staats berarti
negara, dan regeling adalah peraturan. Istilah ‘perundangan’ berasal dari kata
‘undang’, bukan berasal dari kata ‘undang-undang’. Kata ‘undang’ tidakmemiliki
konotasi dengan pengertian ‘wet’ atau ‘undang-undang’, karena istilah ‘undang’
mempunyai arti tersendiri. Adapun yang dimaksud dengan peraturan negara
adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi baik
dalam pengertian lembaga atau Pejabat tertentu, sedangkan yang dimaksud
dengan peraturan perundangan adalah peraturan mengenai tata cara pembuatan
peraturan negara.9

Di sisi lain, Perundang-undangan sering diartikan sebagai wetgeving, yaitu
pengertian membentuk undang-undang dan keseluruhan daripada undang-
undang negara.10 Dalam Juridisch woordenboek, wetgeving diartikan sebagai:
pertama, proses pembentukan atau proses membentuk peraturannegara, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah; kedua, segala peraturan negara yang
merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah.11 Definisi ini juga diperkuat oleh H. Soehino yang menyatakan bahwa
peraturan Perundang-undangan memiliki makna sebagai: pertama, proses atau
tata cara pembentukan peraturan Perundang-undangan negara dari jenis dan
tingkat tertinggi yaitu undang- undang sampai yang terendah, yang dihasilkan
secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan Perundang-undangan; kedua,
keseluruhan produk peraturan- peraturan perundangan tersebut. Namun
sebenarnya, Soehino lebih sering menggunakan istilah “Peraturan
Perundangan”.12 Bersamaan dengan Soehino, Amiroeddin Syarief juga
menggunakan istilah yang sama dengan alasan bahwa istilah itu lebih pendek dan
oleh karenanya sangat ekonomis.13 Istilah tersebut pernah digunakan dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagaimana tercantum pada judul
ketetapan tersebut yaitu Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Selain itu, beberapa
Ketetapan MPR RI yang menggunakan istilah “Peraturan Perundang-undangan”
adalah sebagai berikut:14

9 Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit Mandar Maju,
1989), hlm. 1-2.

10 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru vanHoeve, 1985),
hlm. 802.

11 S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, ( Groningen/Batavia: J.B. Wolters,
1948), hlm.

12 Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan, ( Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1981), hlm. 1.

13 Amiroeddin Syarief, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknis Membuatnya, (Jakarta:
Penerbit Bina Aksara , 1987), hlm. 4-5.

14 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-undangan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
hlm. 21.

7

a. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dalam program pembangunan hukum menyebutkan “upaya
penggantian peraturan Perundang-undangan yang bersumber pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”

b. Reformasi MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional sebagai Hukum Negara, pada huruf C Bidang Hukum yang
menyebutkan, “Pembangunan hukum khusus yang menyangkutperaturan
Perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden
belum memadai. Oleh karena itu, perlu pengkajian terhadap fungsi lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

c. Ketetapan MPR-RI No IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004, antara lain:
1. Pasal 3 menyebutkan, “dengan adanya ketetapan ini, materi yang belum
tertampung dalam dan tidak bertentangan dengan Garis-garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004 ini, dapat diatur dalam peraturan
Perundang-undangan.”
2. Dalam arah kebijakan bidang hukum, Pasal 7 menyebutkan,
“mengembangkan peraturan Perundang-undangan yang mendukung
kegiatan perekonomian dalam menghadapi eraperdagangan bebas tanpa
merugikan kepentingan nasional.

Istilah ini juga digunakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD) 1945 setelah perubahan, yaitu:
a. Dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung

berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-
undangan di bahwa undang-undang terhadap undang- undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
b. Pasal 28I ayat (5) UUD NRI1945 menyebutkan untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan Perundang-undangan.
c. Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 menyebutkan “segala peraturan
Perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.15

Istilah tersebut juga pernah digunakan dalam Konstitusi RIS 1949
sebagaimana dimuat dalam Pasal 51 ayat (3) dengan rumusan ‘Perundang-
undangan federal’ dan dalam UUD Sementara 1950 sebagaimana dimuat dalam
Bagian II dengan judul ‘Perundang-undangan’ dan dalam Pasal 89 yang menyebut

15 Ibid.

8

“kekuasaan Perundang-undangan”.16

C. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Asas-asas Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu Asas-asas dalam pembentukan
peraturan Perundang-undangan yang baik, dan Asas-asas dalam materi
muatan Peraturan Perundang-undangan. Dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: 17
a. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan adalah bahwa

setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila
dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas
kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
d. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah
bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dan yang dimaksud dengan Asas kejelasan rumusan
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika
dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
f. Keterbukaan. adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan

16 H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indoneisa, (Bandung: PT.
Mandar Maju, 1998), hlm. 17.

17 Lihat pasal 5 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan penjelasan pasal 5

9

pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-
undangan.

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas sebagai
berikut:18
a. Pengayoman; adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus

berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Kemanusiaan; adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan; adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan; adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan; kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila.
f. Bhineka tunggal ika; adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
g. Keadilan; bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; adalah materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.

18 Lihat pasal 6 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan penjelasan pasal 6

10

i. Ketertiban dan kepastian hukum; adalah bahwa setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. adalah bahwa materi muatan
setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat
degan kepentingan dan negara.

Menurut Bagir Manan, suatu Peraturan Perundang-undangan yang baik
setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal, yakni:19
a. Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya

kewenangan dari pembuat Peraturan Perundang-undangan. Setiap Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
Kalau tidak, Peraturan Perundang-undangan itu batal demi hukum (van
rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal
secara hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in formelezin)
dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang
tidak merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR adalah batal demi
hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Dasar dan sebagainya
harus pula menunjukkan kewenangan pembuatnya. Kedua, keharusan adanya
kesesuaian bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan dengan materi
yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidaksesuaian bentuk ini dapat
menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-undangan tersebut.
Misalnya kalau UUD 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa
sesuatu diatur dengan undang-undang, maka hanya dalam bentuk undang-
undan ha itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan
Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan
(vernietigbaar). Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata
cara tersebut tidak diikuti, Peraturan Perundang-undangan mungkin batal
demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Kalau
ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal
demi hukum. Dalam undang-undang tentang pengundangan (pengumuman)
bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara
sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan mengikat. Selama
pengundangan belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum
mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang

19 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992), hlm.
39.

11

tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian
pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih
bawah.
b. Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya (baca:
Peraturan Perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat
berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti
masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya.
c. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai cita hukum
(rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: Peraturan
Perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban,
kesejahteraan dan sebagainya. Rechtsidee tersebut tumbuh dari sistem nilai
mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan
individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan
wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya Semuanya ini bersifat filosofis,
artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum
diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang
melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah
laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat,
sehingga setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-undangan
harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau
Peraturan Perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut
telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-
teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila.
Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-
undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee
yang terkandung dalam Pancasila.

LATIHAN

Kerjakanlah Latihan berikut ini !

1. Sebutkan nama tokoh yang menjelaskan ilmu perundang-
undangan dan gagasannya?

2. Jelaskan asas peraturan perundang-undangan di Indonesia!

12

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 1 membahas seputar peristilahan dan
perkembangan Ilmu Perundang-undangan, diawali dengan membahas
Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft)
atau science of legislation (wetgevingswetenschap) merupakan ilmu
interdisipliner yang mempelajari tentang pembentukan peraturan
negara. Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini adalah
Peter Noll (1973) dengan istilah Gesetzgebungslehre, Jurgen Roodig
(1975) dengan istilah wetgevingsleer atau wetgevingskunde, dan W.G.
van der Velden (1988) dengan istilah wetgevingstheorie, S.O. Van Poelje
menyebutkan sebagai wetgevingsleer atau wetgevingskunder berarti
ajaran atau pengetahuan perundang-undangan, Burkhardt Krems dan W.
Maihofer menyebutnya Gesetzgebungswissenschaft.

Istilah Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan di Indonesia
diajukan oleh A. Hamid S. Attamimi (1975). Beliau cenderung mengikuti
yang dikemukakan oleh Burkhardt Krems tentang
Gesetzgebungswissenschaft, yang ia terjemahkan menjadi “ilmu
pengetahuan perundang-undangan (dalam arti luas)” yang menurut
pendapatnya mengandung dua cabang atau sisi, yakni: (1) Sisi yang
bertujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman yang
disebut Gesetzgebungstheorie, dan sifatnya kognitif, dan inilah yang
diterjemahkan menjadi “teori perundang-undangan”. (2) Sisi yang
bertujuan menjelaskan perihal tindak pelaksanaan yang disebut
Gesetzgebungslehre yang sifatnya normatif, dan inilah yang
diterjemahkan menjadi “ilmu perundang-undangan”.

TES FORMATIF 1

1. Berikut adalah tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu
pengetahuan perundang-undangan, kecuali ….
A. Peter Noll
B. S.O. Van Poelje
C. W.G. van der Velden
D. Jeremi Bentham

2. Gesetzgebungswissenschaft merupakan istilah yang dikemukakan
oleh ….
A. Peter Noll dan W.G. van der Velden
B. S.O. Van Poelje dan W. Maihofer

13

C. Burkhardt Krems dan W. Maihofer
D. Burkhardt Krems dan Jurgen Roodig

3. Menurut sejarah istilah perundang-undangan merupakan
terjemahan dari ….
A. Istilah Jerman ”Gesetzgebungslehre“
B. Istilah Belanda “wetgeving”
C. Istilah Inggris “law making”
D. Istilah Indonesia “Ilmu Perundang-undangan”

4. Kata perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), diartikan sebagai
A. Seluk-beluk undang-undang
B. Ilmu tentang undang-undang
C. Pengetahuan tentang undang-undang
D. Semua undang-undang

5. Berikut ini adalah Perundang-undangan dalam arti luas, kecuali ….
A. Aparat pelaksana perundang-undangan
B. Hakim pemeriksa perkara di pengadilan
C. Paradigma dan jenisnya
D. Sarana dan prasarana penegakan hukum

6. Istilah Ilmu PengetahuanPerundang-undangan di Indonesia diajukan
oleh ….
A. Amiroeddin
B. Bagir Manan
C. A. Hamid S. Attamimi
D. Soehino

7. Proses atau tata cara pembentukan peraturan Perundang-undangan
negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang- undang sampai
yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari
kekuasaan Perundang-undangan merupakan makna peraturan
Perundang-undangan yang dikemukakan oleh ….
A. Amiroeddin
B. Bagir Manan
C. A. Hamid S. Attamimi
D. Soehino

14

8. Istilah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia pernah
digunakan dalam, kecuali ….
A. Ketetapan MPRS Nomor. XXV/MPRS/1966
B. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993
C. Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1999
D. Reformasi MPR-RI Nomor X/MPR/1998

9. Menurut Bagir Manan, suatu Peraturan Perundang-undangan yang
baik setidaknya didasari pada hal berikut ini, kecuali ….
A. Dasar formil
B. Dasar yuridis
C. Dasar filosofis
D. Sociologische gelding

10. Berikut ini adalah asas pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik di Indonesia, kecuali ….
A. Kejelasan tujuan
B. Keterbukaan
C. Ketetapan
D. Dapat dilaksanakan

15

KEGIATAN BELAJAR 2

Jenis dan Hierarki Peraturan
Perundang-undangan

MATERI

TA. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
eori hierarki norma hukum dikemukakan oleh Hans Kelsen berpendapat
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif,
yaitu norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi
dalam sistem norma tersebut, tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih
tinggi lagi tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai
norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma yang berada di bawahnya.20

Masih menurut Kelsen, hukum merupakan norma yang dinamik, di mana
hukum merupakan sesuatu yang dibuat suatu prosedur tertentu dan segala
sesuatu yang dibuat melalui cara ini adalah hukum. Lebih jauh Kelsen menjelaskan
tentang karakter khas dan dinamis dari hukum, yakni :

“Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum
menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga
sampai derajat tertentu menentukan isi norma lainnnya
tersebut....hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma
dari norma lainnya digambarkan sebagai hubungan “superordinasi”
....kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan
norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, dan
bahwa regressus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi
dasar tertinggi validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan
tata hukum"21

20 Beberapa penulis menyatakan bahwa teori hierarki norma dipengaruhi oleh teori Adolf Merkl,
atau paling tidak Merkl telah menulis teori terlebih dahulu yang disebut Juliae dengan Stairwell structure
of legal order. Teori Merkl adalah tentang tahapan hukum, yaitu bahwa hukum adalah suatu sistem
hierarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan dan tindakan hukum. Norma yang
mengkondisikan berisi kondisi untuk pembuatan norma yang lain atau tindakan. Pembuatan hierarkis
termanifestasi dalam bentuk regresi dari sistem ke sistem tata hukum yang lebih rendah. Proses ini
selalu merupakan merupakan proses konkretisasi dan individualisasi. Lihat Jimly Assiddiqie & M. Ali
Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 109; Maria Farida
Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Kanisius: Yogyakarta,
1998), hlm. 25.

21 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif-Deskriftif, (Jakarta: Rimdi
Press, 1995), hlm. 110-125.

16

Salah seorang murid Kelsen bernama Hans Nawiasky mengembangkan teori
yang dikedepankan Kelsen. Nawiasky dalam bukunya berjudul Algemeine
Rechtlehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma
hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana
norma yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang
lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang lebih tertinggi yang disebut norma dasar.
Tetapi Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok. Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara
itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yang terdiri dari:22

Kelompok I : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II : Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan

otonom)

Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang mengikat secara umum. Sebelum menuju pada poin utama Tata Urutan
Perundang-undangan Indonesia menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, tak
ada salahnya kita juga mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi
sebelumnya. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Indonesia di masa sebelumnya.

Jika kita teliti secara seksama Indonesia sebetulnya menganut teori jenjang
norma hukum Kelsen-Nawiasky. Hal ini dapat dirujuk dari Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3)
dan peraturan yang sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Pancasila merupakan
sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini tak pelak identik dengan norma
fundamental negara (staatfundamentalnorm) atau norma dasar (grundnorm, basic
norm)23 yang menempati urutan tertinggi di puncak piramida norma hukum,
kemudian diikuti oleh UUD 1945, serta hukum dasar tidak tertulis atau konvensi
ketatanegaran sebagai aturan dasar negara (staatgrundgesetz), dilanjutkan
dengan Undang-Undang/Perpu (formell gesetz), serta peraturan pelaksanaan dan

22 Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Garfiti, 1997), hlm. 30-32

23 Ibid.

17

peraturan otonom (verordnung und autonome satzung) yang dimulai dari
Peraturan Pemerintah, Peraturan, dan Peraturan Daerah.

Ada juga ahli yang tidak sepakat menempatkan UUD 1945 yang terdiri dari
pembukaan dan batang tubuhnya dan TAP MPR yang berisi garis-garis pokok
kebijakan negara sifat dan norma hukumnya masih secara garis besar dan
merupakan norma hukum tunggal tidak termasuk dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi termasuk dalam staatfundamental norm dan staatgrundgesetz
sehingga menempatkan keduanya ke dalam jenis peraturan perundang-undangan
sama dengan menempatkannya terlalu rendah.24

Penempatan hierarki peraturan dalam peraturan perundang-undangan
sebagaimana dianut di Indonesia sejak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
hingga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terbilang cukup unik, karena tidak
ada suatu sistem hukum positif di dunia ini yang secara khusus mengatur tata
urutan peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturan hanya sebatas
pada asas yang menyebutkan misalnya : Peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya” atau dalam UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”.
Mengapa tidak diatur? Antara lain karena tata urutan mempunyai konsekuensi.
Bahkan setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Peraturan perundang-undangan
tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tingkatannya, peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum. Konsekuensi
ini telah dianggap ada walaupun tidak diatur, kecuali ada ketentuan sebaliknya,
misalnya dalam UUD (UUDS 1950 dan KRIS) disebutkan “undang-undang tidak
dapat diganggu gugat” bertalian dengan ajaran “supremasi parlemen”. Di sini UUD
lebih dipandang sebagai “asas-asas umum” dari pada sebagai kaidah hukum.25

Faktor lain yang menyebabkan tidak ada kelaziman mengatur tata urutan
peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum positif tidak hanya berupa
peraturan perundang-undangan, melainkan meliputi juga hukum tidak tertulis
(yurisprudensi, hukum adat, hukum kebiasaan). Kaidah-kaidah hukum tidak
tertulis ini dapat juga digunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan
atau sebaliknya, walaupun tidak bertalian dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan. Di Inggris, peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang (delegated legislation) dapat diuji dengan common law dan
prinsip-prinsip umum seperti “bias, ultra vires” dan lain-lain. Di Belanda peraturan

24 Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 49
25 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004) hml. 201-202

18

atau keputusan administrasi dapat diuji terhadap asas-asas umum
penyelenggaraan administrasi negara yang baik.

Tabel 1.

Perbandingan jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
Tahun 1966 s.d 2011

TAP MPRS No. TAP MPR No. UU Nomor 10 UU Nomor 12 Tahun
XX/MPRS/1966 III/MPR/2000 Tahun 2004 2011

1. Undang-Undang 1. Undang- 1. Undang-Undang 1. Undang-Undang
Dasar RI Tahun Dasar RI Tahun
Dasar 1945 Undang 1945 1945

2. Ketetapan MPR RI Dasar 1945 2. Undang- 2. Ketetapan MPR
3. Undang- 2. Ketetapan Undang/Peratur RI
Undang/Peratura MPR RI an Pemerintah
n 3. Undang- Pengganti 3. Undang-Undang/
Pemerintah Undang Peraturan
3. Undang-Undang Pemerintah
Pengganti 4. Peraturan (Perpu) Pengganti
Undang-Undang Pemerintah Undang-Undang;
(Perpu) Pengganti 4. Peraturan
4. Peraturan Undang- Pemerintah 4. Peraturan
Pemerintah;
Pemerintah Undang 5. Peraturan
5. Keputusan (Perpu) Presiden 5. Peraturan
Presiden 5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Pemerintah 6. Peraturan
Daerah 6. Peraturan
peraturan 6. Keputusan a. Perda Daerah Provinsi;
pelaksana lainnya Presiden Provinsi; dan
Seperti : 7. Peraturan b.Perda
- Peraturan Daerah Kab/Kota 7. Peraturan
c. Peraturan Daerah
Menteri Desa Kabupaten/Kota.
- Instruksi Menteri
- Dll

Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Ketetapan MPRS/MPR
dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undangan dan mengembalikan
kedudukan Perpu setingkat dengan Undang-Undang. Penghapusan Ketetapan
MPR dari tata urutan dari peraturan perundang-undangan dinilai tepat karena
setelah UUD 1945 mengalami perubahan makin berkembang pengertian bahwa
format peraturan dasar ini terutama menyangkut kedudukan ketetapan MPR yang
sejak lama mendapat kritik dari ahli hukum tata negara, mengalami perubahan.
Kedudukan Ketetapan MPR sebagai salah satu bentuk peraturan tidak dapat
dipertahankan, format peraturan dasar yang dapat dipertahankan secara

19

akademis hanya Naskah UUD dan Naskah Perubahan UUD, yang keduanya sama-
sama merupakan produk MPR.26

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 dapat membawa
perubahan positif di masa depan karena telah mengganti nomenklatur keputusan
presiden dengan peraturan presiden, karena selama ini presiden menerbitkan
produk hukum yang berisi peraturan (regeling) dengan yang bersubstansi
keputusan (Beschikking) sama-sama dinamakan keputusan presiden sehingga
mempersulit orang awam untuk membedakan mana yang termasuk
peraturan(regeling) dengan mana yang termasuk keputusan (Beschikking).

Namun demikian, Konstruksi hukum tata urutan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tetap saja
mengandung beberapa kelemahan. Jimly Asshiddiqie27 Pakar Hukum Tata Negara
UI misalnya menyebutkan ada beberapa kelemahan, diantaranya:

(1) karena naskah UUD 1945 sekarang dibuat terpisah maka seharusnya
penyebutan UUD 1945 tersebut dilengkapi dengan “….dan Perubahan
UUD”; (2) hanya karena pertimbangan bahwa Tata urutan peraturan
cukup ke tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk
peraturan menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut, padahal
Peraturan Menteri penting ditempatkan di atas Peraturan Daerah,
karena peraturan tingkat menteri itu dalam praktik banyak sekali
ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan
memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.

Jauh sebelum berlangsung pembahasan dan pengesahan Undang-Undang No.
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jimly
Asshiddiqie merekomendasikan agar pengaturan mengenai tata urutan peraturan
perundang-undangan dalam Ketetapan MPR sebaiknya ditiadakan, sebaiknya
ketentuan mengenai bentuk peraturan dan mengenai hierarkinya diatur dalam
UUD bukan hanya dalam bentuk undang-undang.28

Pada tanggal 12 Agustus 2011, pemerintah mengundangkan Undang-Undang
yang sebelumnya telah dibahas dan disetujui bersama dengan DPR yakni Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

26 Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 Pasca Amandemen menyatakan bahwa “Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

27 Jimly Asshiddiqie, “Tata Urut Perundang-Undangan dan Problematika Peraturan Daerah”
Makalah yang disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD Se-Indonesia, di selenggarakan di
Jakarta oleh LP3HET, Jum’at 22 Oktober 2000.

28 Jimly Asshiddiqie, “Telaah Akademis Atas Perubahan UUD 1945” dalam Jurnal Demokrasi &
HAM Vol 1. No. 4 September-November 2001, hlm. 9-32.

20

Gambar 1. Piramida Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia

Menelisik substansi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka ada
beberapa perubahan, antara lain : pertama, Ketetapan MPR yang di dalam Undang-
Undang No. 10 Tahun 2004 dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-
undangan, dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dimunculkan kembali dan
berada di bawah UUD 1945 seperti yang pernah diatur dalam Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000. Di dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) huruf b dijelaskan yang
dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2001 tanggal 7
Agustus 2003.

Kedua, Peraturan Desa yang dahulu masuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan, sekarang di Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undangan. Tetapi keberadaannya
tetap diakui dan masih mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan berdasarkan Pasal 8 ayat (1 dan 2) Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011.

Ketiga, materi muatan undang-undang lebih diperluas, selain berisi
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan perintah suatu Undang-Undang untuk diatur
dengan Undang-Undang, juga sudah diakomodir mengenai pengesahan perjanjian
internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

21

pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Keempat, dalam pembentukan
peraturan daerah harus dilakukan pengkajian dan penyelarasan yang dituangkan
dalam Naskah Akademik.

Di dalam Penjelasan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga ditegaskan
bahwa yang termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang
berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat. Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang
berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.

Jenis peraturan perundang-undanga selain yang telah disebutkan dalam
Pasal 7 Ayat (1) di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, yakni: peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat ,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga
atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah
atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Isi ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ini sesungguhnya
sama dengan Penjelasan Pasal 7 Ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004.
Tetapi patut disayangkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 juga tidak
menentukan secara pasti apa saja materi muatan dari berbagai jenis peraturan
tersebut, serta bagaimana penjenjangan atau hierarki dari peraturan-peraturan
tersebut dan bagaimana kedudukan dari peraturan-peraturan tersebut terhadap
peraturan yang telah ditetapkan penjenjangannya dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011.

LATIHAN

Kerjakanlah Latihan berikut ini !
1. Jelaskan hierarki norma hukum menurut Hans Kelsen !
2. Jelaskan Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara) yang

dimaksud oleh Hans Nawiasky dan berikan contohnya yang
diterapkan di Indonesia !

22

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 2 membahas seputar Jenis dan Hierarki
Peraturan Perundang-undangan atau yang sering dikenal dengan istilah
Teori Jenjang Norma yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan muridnya
bernama Hans Nawiasky. Pendapat Hans Kelsen bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki
tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm). Diteruskan oleh
Hans Nawiasky dengan mengelompokkan norma-norma hukum dalam
suatu negara itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yang terdiri dari:
Kelompok I: Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara);
Kelompok II : Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara); Kelompok
III : Formell Gesetz (Undang-undang formal); Kelompok IV : Verordnung
& Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom).

Kemudian Jika kita teliti secara seksama Indonesia sebetulnya
menganut teori jenjang norma hukum Kelsen-Nawiasky. Hal ini dapat
dirujuk dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3) dan peraturan
yang sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-
undangan dan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

TES FORMATIF 2

1. Berikut ini adalah tokoh yang menjelaskan teori hierarki norma
hukum ….
A. Hamid S. Attamimi dan Burkhardt Krems
B. Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
C. Jimly Asshiddiqie dan Maria Farida Indrati Soeprapto
D. Hans Kelsen dan Hamid S. Attamimi

2. Menurut Hans Kelsen, hukum masuk ke dalam kategori sistem
norma....

23

A. Statik
B. Dinamik
C. Eksternal
D. Internal

3. Apakah jenis yang dimaksud dengan Formell Gesetz dalam
kelompok norma Hans Kelsen …
A. Pancasila
B. UUD NRI 1945
C. Undang-undang
D. Peraturan Pemerintah

4. Norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif menurut Hans Kelsen adalah …
A. Norma dasar
B. Aturan dasar
C. Aturan otonom
D. Undang-undang formal

5. Berikut ini adalah peraturan perundang-undangan yang pernah
mengatur tentang hierarki norma hukum di Indonesia, kecuali …
A. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
B. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
C. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
D. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

6. Kenapa tidak diatur “the supreme law of the land” dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia ….
A. Karena tidak Penting bagi Negara Republik Indonesia
B. Karena Peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi
C. Karena DPR dan Presiden sepakat tidak akan melanggar
ketentuan tersebut
D. Karena Konsekuensi ini telah dianggap ada walaupun tidak
diatur

7. Produk hukum ada yang bersifat Regeling dan bersifat
Beschikking, berikut ini adalah yang bersifat Regeling, kecuali ….
A. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
B. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
C. Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2021 tentang Perubahan

24

atas Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2020 tentang Komite
Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi
Birokrasi Nasional Periode Tahun 2020-2024
D. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
8. Berikut ini adalah peraturan Perundang-undangan yang diakui
dalam hierarki peraturan Perundang-undangan di masa sekarang,
kecuali....
A. Keputusan Presiden
B. Peraturan Presiden
C. Peraturan Pemerintah
D. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
9. Manakah yang bukan peraturan perundang-undangan ….
A. Peraturan Bank Indonesia
B. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
C. Peraturan Desa
D. Peraturan PSSI
10. Pilihlah hierarki norma hukum yang berlaku di Indonesia saat ini
A. Pancasila, UUD 1945, Undang-Undang, Perpu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah, dan Peraturan Desa
B. UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Kepres, Peraturan Menteri,
dan Peraturan Daerah
C. UUD 1945, TAP MPR, UU, Perpu, Peraturan Pemerintah,
Perpres, dan Peraturan Daerah
D. UUD NRI 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah,
Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kab/Kota

25

KEGIATAN BELAJAR 3

Teknik Penyusunan Naskah Akademik

MATERI

Menyusun naskah akademik memiliki teknik tersendiri yang telah diatur
dan harus dijadikan pedoman dalam Lampiran 1 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan kedua
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Teknik penyusunan naskah akademik terdiri dari
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum
dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.29

Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut:

JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH

PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

BAB VI PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Uraian singkat setiap bagian dalam naskah akademik sebagai berikut ini :

29 Bambang Sudaryana, Teknis Penyusun Naskah Akademik, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2017),
hlm. 1.

26

A. BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan,
identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.

A. Latar Belakang

Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya
penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar
belakang menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan
memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai
teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan
dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan
argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau
tidak perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang
akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada
dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4
(empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,

bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan
tersebut dapat diatasi.
2) Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti
membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut.
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan.

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan

berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi
permasalahan tersebut.

27

2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan
dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.

4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu,
kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau
referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah.

D. Metode Penyusunan

Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik
yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian
hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode
yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian
sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang
menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-
undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum
lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya.
Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis
empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian
normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan
(normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta
penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum
yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-
undangan yang diteliti.

B. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas,
praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi,
keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan
Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bab ini dapat
diuraikan dalam beberapa sub bab berikut:
A. Kajian teoretis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma.

28

Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai
aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan
yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru akan diatur dalam
Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan
masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru dilakukan dengan
menganalisis dampak dari suatu norma dalam Undang-Undang atau
Peraturan Daerah untuk memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan
dan manfaat yang diperoleh dari penerapan suatu Undang-Undang atau
Peraturan Daerah. Kajian tersebut didukung dengan analisis yang
menggunakan metode tertentu, antara lain metode Regulatory Impact
Analysis (RIA) dan metode Rule, Opportunity, Capacity, Communication,
Interest, Process and ldeology (ROCCIPD).30

C. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT

Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan
terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang
dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain,
harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan
Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan
yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-
undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan
Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan
Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau
materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-
Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan
tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada
serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari
terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini
menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari
pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

30 Lihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lampiran I, hlm. 25.

29

D. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

E. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

F. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

G. Landasan Yuridis

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan
hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang
tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah
dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya
sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali
belum ada.

E. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup
materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan
dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan,
dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan.
Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab

30

sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya
mencakup:
H. Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian

istilah, dan frasa;
I. Materi yang akan diatur;
J. Ketentuan sanksi; dan
K. Ketentuan peralihan.

F. BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.

A. Simpulan

Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan
dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang
telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
B. Saran

Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu

Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-
undangan di bawahnya.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program
Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.

G. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan

jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.

H. LAMPIRAN
RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

LATIHAN

1. Jelaskan sistematika Naskah Akademik berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 !

2. Jelaskan apa fungsi Naskah Akademik !

31

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 3 membahas seputar Teknik Penyusunan
Naskah Akademik yang telah diatur dan harus dijadikan pedoman dalam
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan kedua Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Teknik penyusunan naskah akademik terdiri dari Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Naskah Akademik merupakan konsepsi pengaturan suatu
masalah yang dikaji secara teoritis dan sosiologis. Secara teoritik dikaji
dasar filosofis, dasar yuridis dan dasar politis suatu masalah yang akan
diatur sehingga mempunyai landasan pengaturan yang kuat. Karena
kajiannya bersifat teoritis maka metode yang digunakan harus ilmiah
agar dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.

TES FORMATIF 3

1. Ketentuan pembuatan Naskah Akademik diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan berikut ini, kecuali ….
A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
B. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022
C. Perpres Nomor 78 Tahun 2014
D. Perpres Nomor 87 Tahun 2014

2. Identifikasi masalah Naskah Akademik memuat rumusan
mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam
pokok masalah, yaitu …. kecuali ….
A. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan
tersebut dapat diatasi.
B. Mengapa pengaruh Naskah Akademik terhadap keuangan
negara/daerah
C. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah.
D. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan.

32

3. Berikut ini adalah metode yang dapat digunakan dalam
penyusunan Naskah Akademik ….
A. Metode Penelitian Kuantitatif dan Metode Penelitian kualitatif
B. Metode Penelitian gabungan dan Metode Penelitian survey
C. Metode Penelitian terapan dan Metode Penelitian evaluatif
D. Metode Penelitian yuridis normatif dan metode Penelitian
yuridis empiris.

4. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat terdapat dalam BAB ….
A. BAB I Huruf D
B. BAB II Huruf A
C. BAB II Huruf B
D. BAB II Huruf C

5. Landasan Filosofis, Sosiologis, Dan Yuridis terdapat dalam BAB ….
A. BAB IV
B. BAB III
C. BAB II
D. BAB I

6. Kajian Teoretis Dan Praktik Empiris terdapat dalam BAB ….
A. BAB I
B. BAB II
C. BAB III
D. BAB IV

7. Alasan-alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai
acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah tertentu dimuat dalam ….
A. Latar Belakang
B. Landasan Filosofis
C. Landasan Sosiologis
D. Landasan Yuridis

8. Pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat,
merupakan ….
A. Landasan Filosofis
B. Landasan Sosiologis

33

C. Landasan Yuridis
D. Latar Belakang
9. Berapa batasan jumlah BAB dalam Naskah Akademik ….
A. Minimal 5 BAB dan Maksimal 6 BAB
B. Minimal 4 BAB Maksimal 5 BAB
C. Harus 5 BAB
D. Harus 6 BAB
10. Berikut ini adalah fungsi lampiran dalam Naskah Akademik
A. Lampiran sebagai penempatan Rancangan Peraturan

Perundang-Undangan
B. Lampiran Sebagai penempatan contoh format surat
C. Lampiran Sebagai penempatan foto penelitian
D. Lampiran Sebagai penempatan data lapangan

34

KEGIATAN BELAJAR 4

Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan

MATERI

Dalam menyusun draf rancangan peraturan perundang-undangan memiliki
Teknik penyusunan tersendiri. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
telah diatur secara jelas dalam Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan yang tercantum dalam Lampiran 2 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta
Lampiran 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Berikut ini adalah Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangannya :
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN

A. JUDUL
B. PEMBUKAAN

1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)

A. JUDUL

1. Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis,
nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan
Perundang-undangan.

2. Judul Peraturan Perundang-undangan di tingkat pusat memuat keterangan
mengenai jenis, nomor, tahun atau penetapan, dan nama Peraturan

35

Perundang-undangan dengan mencantumkan frasa Republik Indonesia.
Judul Peraturan Perundang-undangan di tingkat daerah memuat
keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan,
dan nama Peraturan Perundang-undangan dengan mencantumkan nama
daerahnya.
3. Penomoran Peraturan Perundang-undangan ditulis hanya menggunakan
angka Arab tanpa penambahan huruf, angka Romawi, dan/atau tanda baca.
Penomoran tidak mengikuti aturan penomoran tata naskah dinas.
4. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya
telah mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu)
kata:

- Paten;
- Yayasan;
- Ketenagalistrikan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan frasa:
- Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
- Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
- Cipta Kerja
5. Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus
dapat menggunakan nama baru yang tidak sama dengan nama Peraturan
Perundang-undangan yang diubah atau dicabut yang dibuat secara singkat
dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa, tetapi secara esensial
maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan
yang menggunakan metode omnibus.
Contoh: Cipta Kerja
6. Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG

KEIMIGRASIAN
b. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG

CIPTA KERJA
c. PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS

IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007

36

TENTANG
KETERTIBAN UMUM
d. QANUN KABUPATEN ACEH JAYA
NOMOR 2 TAHUN 2010

TENTANG
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

7. Untuk judul Rancangan Peraturan Perundang-undangan, sebelum judul
ditambahkan kata RANCANGAN yang ditulis dengan huruf kapital dan
untuk nomor dan tahun hanya ditulis tanda baca berupa 3 (tiga) titik
(elipsis).
Contoh:
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR... TAHUN...
TENTANG
CIPTA KERJA

8. Nama Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan
singkatan atau akronim kecuali terdapat hal sebagai berikut:
a. belum diserap dalam bahasa Indonesia atau belum ada padanan kata
dalam bahasa Indonesia;
b. merupakan istilah teknis yang baku;
c. Jika tidak disingkat dapat mengubah makna bahasa tersebut; dan/atau
d. sudah merupakan istilah yang baku dan digunakan secara
internasional.
Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan:
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim:
b. PERATURAN DAERAH KOTA SERANG
NOMOR ... TAHUN …
TENTANG
PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA)
Contoh yang diperbolehkan dengan menggunakan akronim:
c. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2020
TENTANG
PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM RANGKA
PERCEPATAN PENANGANAN CORONA VIRUS
DISEASE 20019 (COVID-19)

37

9. Pada nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa
perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang
diubah.
Contoh:
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG PARTAI POLITIK
b. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA
NOMOR 14 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2007
TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

10. Jika Peraturan Perundang–undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali,
di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang
menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa
merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN
KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Contoh Peraturan Daerah:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
NOMOR 3 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 6
TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

11. Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai nama
singkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat menggunakan
nama singkat Peraturan Perundang–undangan yang diubah.

12. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan ditambahkan kata
pencabutan di depan judul Peraturan Perundang– undangan yang dicabut.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2010

38

TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Contoh Peraturan Daerah:
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG

PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN
SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN
TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN DARATAN

LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA
13. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang

ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di
depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri
dengan frasa menjadi Undang-Undang.
Contoh:

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG– UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG

JENIS
PERATURAN

NOMOR TAHUN
PENGUNDANGAN
NPAEMNAGU

PERATURAN

Gambar 2. Keterangan Teknis Judul

B. PEMBUKAAN

1. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
c. Konsiderans;
d. Dasar Hukum; dan
e. Diktum.

39

B.1 Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang–undangan

sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan
dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

Jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin
dan diakhiri dengan tanda baca koma.
Contoh jabatan pembentuk Undang-Undang:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi:

GUBERNUR JAWA BARAT,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten:

BUPATI GUNUNG KIDUL,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota:

WALIKOTA DUMAI,

B.3 Konsiderans
Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. Konsiderans

memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–
undangan.

Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan
Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat
unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan
dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara
berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Peraturan Perundang-
undangan lainnya juga dapat memuat unsur filosofis, sosiologis, dan/
atau yuridis.
a. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Unsur filosofis paling banyak terdiri dari 2 (dua) konsiderans,
termasuk yang mengandung historis.
b. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek. Unsur sosiologis paling banyak terdiri dari 2 (dua)
konsiderans.

40


Click to View FlipBook Version