The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by minifajariani9, 2022-04-01 07:21:59

PENULIS BELIA, covser

PENULIS BELIA, covser

PENULIS BELIA

PANDEMI COVID 19 DAN RAMADHAN 1441 H
PUTRA PUTRI IX SMPN 4 GUNUNG SUGIH
TAHUN 2020

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil alamin, puji syukur kehadirat
Allah SWT, tak terkira senang hati kami sebagai pelajar dan
guru SMPN 4 Gunung Sugih Lampung Tengah yang terjebak
dalam kondisi wabah pandemi covid 19 dan mengharuskan
beberapa waktu bersama belajar dari rumah, ternyata tidak
mematahkan semangat untuk berkarya. Sejumlah puisi dan
cerita pendek terkumpul dalam buku perdana PENULIS
BELIA. Buku ini wujud menuntaskan kemauan menulis karya
yang menyenangkan dengan membuat puisi bahasa Inggris,
cerita pendek yang berkaitan dengan situasi tersebut maupun
cerita bebas lainnya dari penulis penulis belia.

Cerpen dan puisi ini menyiratkan keresahan kami
“Haruskah diri ini bertanya kemana kemeriahan dulu dalam
bulan suci Ramadhan. Ramadhan dalam diam di rumah aja
adalah pilihan berat namun bermanfaat” (Suryo Sumpeno94).
Kejadian serem, kisah romansa dari kurun waktu memoles
penulisan karya sastra dari Penulis Belia. Kalimat kalimat
indah, dengan bait bait singkat dan pastinya kebermanfaat

kemauan menulis yang tak pernah padam dari jiwa jiwa belia
ini, didukung sepenuhnya dari keluarga besar bapak dan ibu
guru di sekolah, ayah dan ibu di rumah, telah mencipta
apresiasi yang membanggakan. Terus berkarya dari rumah.

Kritik dan saran tentu saja diharapkan demi
berkelanjutannya kebiasaan menulis para Penulis Belia ini.
Terima kasih sudah membaca karya kami. Doakan kami agar
menjadi bermanfaat bagi banyak orang. Wassalammualaikum
Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Penulis

Penulis Belia
SMPN 4 Gunung Sugih Lampung Tengah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
CERITA PENDEK
1. Susah Senang-Windy93
2. Story Mbah Muryat-Annisa93
3. Hari Raya Penuh Suka-DiniAz92
4. Kegembiraan Di Hari Raya-Rahma93
5. Malam Itu-Lingga94
6. Yola Atiya Wibisana-Dena92
7. Penyesalan Di Awal-Egga92
8. Sendiri Di Rumah-Resti93
9. Cerita Seram-Rahma93
10. Cinta Lama Bersemi-Rischa96
11. Aku Memang Suka Novel-FajarEk96
12. Sahur Sendiri-Ridho92
13. Penumpang Yang Tertinggal-SuryoPeno94
14. Dilabrak-Fina92
15. Singularity-Lutfie91

16. Sok Pede-Melisa92
17. Salah Sasaran-Melisu92
18. Fitnah-LailaRohma92
19. Konsekuen-AdhaFaj91
20. Korona-MisMini67

PUISI COVID 19 & RAMADHAN
1. Corona Quickly Go-Ega92
2. Covid Hero-Fina92
3. Covid 19-Resti93
4. Covid 19-Windy93
5. Corona Destroys Everything-Dini92
6. Corona Virus-Rahma93
7. Covid 19-Annisa93
8. Covid 19-Lia92
9. Covid 19-RidhoSy92
10. Fasting In Corona Season-SuryoPeno94
11. Ramadhan With Corona-SuryoPeno94
12. Ramadhan-Lia92
13. Ramadhan-Egga92
14. Different Ramadhan-Dini92
15. Ramadhan-Annisa93
16. Ramadhan-Resti93

17. Ramadhan-Dena93
18. Welcome Ramadhan-Rahma93
19. Ramdahan-Melisu92
20. Ramadhan During Pandemi-Lutfie91
21. Ramadhan-FajarEk95
22. Ramadhan-RidhoSy92
TENTANG PENULIS BELIA
SINOPSIS
PERSEMBAHAN

(CERPEN)

CERITA
PENDEK

PENULIS BELIA

PANDEMI COVID 19 DAN RAMADHAN 1441 H
PUTRA PUTRI IX SMPN 4 GUNUNG SUGIH TAHUN 2020

1. Susah Senang

Oleh: Windy93

Tiba di penghujung bulan ramadhan, ada satu acara
yang ditunggu-tunggu. Apakah itu? Acara tersebut disebut
disebut sidang Isbat untuk menentukan hari Idul Fitri. Bila
Hilal tidak terlihat maka puasa diteruskan jika sudah terlihat
dan memenuhi syarat maka esok paginya sudah masuk 1
syawal atau idul fitri.

Sambil menikmati berbuka puasa, aku dan keluargaku.
menonton pengumunan sidang Isbat. Di sinilah kami
menikamati Idul Fitri bersama keluarga. Kami makan bersama,
ngobrol dan membicarakan banyak hal. Akhirnya
pengumuman dari pemerintah yaitu menteri Agama pun tiba
untuk disiarkan Hilal sudah yaitu Hilal sudah terlihat dan
memenuhi syarat. Itu artinya kami akan melaksanakan sholat
Ied berjamaah dan takbir pun berkumandang. Terkadang tak
jarang ada orang yg menyalakan petasan membuat suasana
semakin meriah.

Pagi harinya kami bersiap untuk shalat Ied. Aku dan
keluargaku berangkat menuju lokasi sholat Ied.Takbir terus
berkumandang dari malam hingga sholat Ied dimulai. Setelah

semua selesai para jama'ah berbebah untuk mkembali ke rumah
masing masing.

Momen ini yang paling aku tunggu karena bermaaf-
maafan sambil bersholawat. Suka duka pecah menjadi satu.
Tangisan haru menyelimuti suasana yang berkesan bagi semua
orang. Ketika sampai di rumah aku pun sungkem kepada ibu
bapak, meminta maaf dan doa. Ini yang membuat tangisan aku
pecah.

Lalu kami sekeluarga berlanjut halal bihalal ke rumah
nenek, saudara dan tetangga sekitar kampung. Saat di rumah
pun masih banyak tamu yang datang. Sorenya kami lanjutkan
halal bihalal ke tempat saudara yang tempatnya agak jauh.Tiba
di rumah sekitar jam 7 malam dan masih banyak tamu
berdatangan ke rumah kami. Dalam 1 hari tubuh terasa capek,
hati terasa senang dan perasaan bercampur aduk menjadi satu.

Dulu waktu aku berumur 8 tahun, aku pernah merengek
minta dibelikan sandal jinjit tapi ibu bilang, “Jangan! Nanti
kalau kamu jatuh gimana?”

Saat itu aku merasa seikit bingung, tapi aku menjawab
dengan tegas, “Tidak Bu! Aku bisa memakainya dengan hati
hati.” Ibu menatapku dengan pasrah.

“Ya sudahlah, nanti Ibu belikan.”
"Horeeee....."Aku berteriak kesengangan

. "Terima kasih Bu,” ucapku kepada ibu lalu ibu
tersenyum sambil memelukku

Hari yang kunanti pun tiba,aku sudah tidak sabar
menggunakan sandal jinjitku yang baru. Harapan sih, aku akan
berjalan dengan anggun bak seorang putri.

***
"Yah, ayo cepat keburu siang nanti!" teriakku lantang
pada semua anggota keluargaku yang akan berkunjung ke
rumah nenek yang tak jauh dari tempat tinggal kami.
"Tunggu Ibumu sebentar, sabar ya!" Ucap ayah. Aku
hanya mengangguk. Tak berapa lama, ibu selesai berdandan,
kami pun berjalan menuju rumah nenek. Disepanjang
perjalanan banyak orang yang aku jumpai termasuk teman-
teman ku. Kami saling mengucap salam lebaran dan saling
minta maaf.
Ketika sampai di rumah nenek, aku mengalami kejadian
yang tak terlupakan. Ceritanya begini, di halaman rumah nenek
ada tanah yang tidak rata. Aku menginjak tanah itu. Apa yang
akan kamu pikirkan kejadian selanjutnya?
Bruukk...... “Aduh...!" Aku terjatuh., Ibu membantu
berdiri. “Lain kali lebih hati hati, nduk!" Kata ibuku sambil
tersenyum geli. Ia tidak memarahiku. Ayahku juga hanya
tersenyum padaku. Aku hanya terdiam. Malu. Tak sedikit juga

dari tamu yang berdaatangan tertawa dan bertanya tanya. Ngan
pasrahsejak itu aku berhenti menggunakan high heels dan
berekspetasi berlebihan.

***
Malam lebaran kedua, ayahku tiba-tiba sakit. Mungkin
terlalu kecapekan bekerja. Aku ketakutan setengah mati. Ia
pingsan sekujur tubuhnya kaku.
Lalu ibu bilang, “Windy, cepat panggil Ommu!”
Mendengar itu aku lari secepatnya, nafasku terengah
engah berteriak memanggil pamanku
"Om... Om...ayah... sakit!!”
Lalu pamanku bergegas ke rumahku. Bibiku bertanya
kepadaku, “Ayahmu bagaimana, Dek?”
“Ayah sesak nafas, Tante.” Kutinggalkan bibiku
sendirian. Aku lari sekencang mungkin menuju rumah nenek.
Nenekku ini adalah ibu kandung ayahku.
"Nek, Kakek! Ayah sakit!" Masuk ke rumah nenek
tanpa mengucapkan Assalammualaikum. Aku benar benar
panik dengan keadaan ayahku saaat ini.
“Sakit opo, Nduk?” Tanya kakek terkejut.
“Kepiye Ayahmu, Nduk?” Tanya nenekku dengan
gugup. Ia kaget mendengar berita mengejutkan ini.

“Gak tau, nek. Ayah tiba tiba sesak nafas. Tubuhnya
dingin dan kejang,” ceritaku sambil bernafas masih terengah-
engah. Aku dan nenek tergopoh gopoh menuju rumahku.
Kakek sudah lebih dulu berangkat melihat ayah.

Sampai di rumah bagai petir yang menyambar, aku
kaget melihat ayahku digotong dan sekujur badannya kaku.
Aku masuk kamar dan menatap datri belaik jendela kamar
depan perginya ayah dengan om dan kakekku. Aku menangis
menggigil. Takut sekali dengan keadaan ayahku seperti itu.

Bibiku datang sambil memeluku dan berkata, "Mbak
Indy jangan menangis, ya. Ayahmu gak papa kok."

Aku semakin histeris mendengar itu, aku takut kalau
suatu hal buruk akan terjadi. Tak pernah ayahku seperti ini.
Jadi jelas membuat kami ketakutan luar biasa. Apalagi
kudengar, tetanggaku juga mengalami hal yang sama. Sempat
beberapa hari di rawat di rumah sakit. Katanya gejalanya sama
dan mereka menyebutnya dengan “Angin Duduk”. Aku tak
tahu apa itu. Aku hanya berdoa semoga ayah segera mendapat
perawatan darai bidan dan sembuh kembali.

Ayah dirawat di rumah sakit “Demang Sepuluh Jagat”
rumah sakit besar yang ada di daerahku ini, Sidoarum. Selama
dua hari kami bolak balik menjenguk, menjaga dan merawat
ayah di rumah sakit. Apalagi wabah p

andemi Covid 19 yang melanda daerah kami ini pun, membuat
kami harus waspada terhadap gejala sakit sekecil apapun
bentuknya.

Beruntungnya ayahku segera pulih dan kembali ke
rumah dalam keadaan sudah lebih baik. Aku bersyukur karena
peristiwa itu hanya sekali terjadi. Aku, ibu, ayah dan adik
adikku dalam keadaan sehat hingga kini.

***
~selesai~

2. Story Mbah Muryat

Oleh: Annisa93

Tak terasa puasa 30 hari sudah berlalu. Semua terasa
begitu cepat, karna kita ikhlas menjalankan puasa Ramadhan
semata mata hanya Allah SWT. Hari Idul Fitri adalah hal yang
paling ditunggu bagi seluruh umat muslim di dunia.

Seperti sebuah rutinitas hari raya, ketika menjelang hari
raya hampir seluruh keluarga besar Mbah Muryat datang
berkunjung. Hingga rumah Mbh Muryat dipenuhi oleh para
anak-anak dan cucu-cucunya. Mbah Muryat memiliki 6 orang
anak, 11 orang cucu dan 2 buyut. Jadi jika ditotal jumlah orang
saat lebaran sekitar 25 orang (belum ditambah dengan saudara
yang datang).Semua tidur ditempat seadanya, ada yang di
depan TV, ada yang di kursi, ada yang di kamar, berdesak-
desakan, berebut bantal, guling, selimut, ku lembut, rtbahkan
saling berebut kamar mandi.

“Dik, buruan!” Teriak seorang laki laki remaja yang
tinggi langsing dan punya lesung pipit ini kepadaku yang
sedang di kamar mandi

“Sabar, Kak. Aku lagi gosok gigi.” Jawabku sekenanya.
Padahal tadi aku sedang memainkan air dan sabun yang di bak
mandi. Tampak busa yang membuih membuatku berlama lama

di kamar mandi yang luas ini. Aku memang suka bermain buih
sabun yang menurutku lembut wangi dan seperti di awan.
Padahal aku kan belum pernah merasakan awan. Tapi
kuanggap seperti itu lah. Awan putih nan bersih

“Buruan,” kembali kakakku memanggilku sambil
menggedor pintu kamar mandi.

“Sabar kenapa sih, kakaku yang tampan nan bawel”
kataku sambil keluiar dari kamar mandi dan tertawa kecil
melihat ekspsresi wajahnya yang kesal . Aku cepat cepat
berlalu dari hadapannya. Aku tak tahu kakakku berkata apa
lagi.

Setelah pukul 07.00 antrian kamar mandi akhirnya
selesai dan hanya tersisa satu orang, yaitu bapakku. Bapakku
adalah orang yang paling santuy dalam keluarga Mbah Muryat
dan sering tertinggal rombongan saat hendak Sholat IdulFitri.

Saling berebut channel teve juga sering terjadi di
keluarga Mbah Muryat. Dari yang tua hingga anak-anak pun
tidak ada yang mau mengalah karena saat lebaran banyak
sekali film-film bagus. Aku suka sekali Film Home Alone ke 5.
Tokoh ciliknya tampan menurutku. Dia juga cerdik dan kaya.
Terlebih jalan ceritanya menghibur sekali. Gambar yang
disajikan begitu mewah menurutku. Lumayan melihat orang
kaya dalam film.

. Saat sedang asik nonton teve tiba-tiba keponakanku
yang tengah berumur sekitar 4 tahun memberi tebak-tebakan.

“Mbak, main tebak tebakan yuuk. Bahasa Lampungnya
ayam apa hayo?” Ucap Fawwas nama anak kecil itu.

“Gak tau. Kebo (Sapi), kale “ jawabku asal sambil
berpura pura berfikir.

“Apa? Ngawur bener lho, “ dia tampak agak kesal
dengan jawabanku yang sembarang itu.

“Salah, Mbak Icha!. Bahasa Lampungnya ayam itu
pitek,” dia mulai menyebutkan kunci jawaban tebak
tebakannya

“ Haduhh... Itu bahasa Jawa, sayang.” sahutku cepat.
Tampak raut wajah Fawwas si hitam manis ini puas dengan
pernyataannya. Ia terkekeh,

“Hehehehe, Mbak asal, yo aku ngasal juga.”
Dilanjutkan dengan kegiatan kami dengan masak dan
menikmati makan yang dimasak bersama. Sudah menjadi
sebuah rutinitas daun pisang ditata memanjang memenuhi
ruang dapur. Hal yang sangat rusuh adalah tumpahnya air
minum seteko yang membuat semua masakan menjadi sup.
Meskipun sederhana dan penuh kerusuhan, hal ini lah
yang membuatku rindu akan hari raya. Saling berkunjung

sanak saudara, tetangga dan saling memaafkan antar sesama.
Begitu indahnya hari Idul Fitri.

Menjadi yang sangat disayangkan, wabah Covid-19
saat ini belum juga mereda, korban semakin hari makin
bertambah. Idul Fitri tahun ini akan terasa begitu sepi, tidak
ada sanak saudara yang datang berkunjung, semua harus
mematuhi peraturan pemerintah untuk tetap di rumah saja dan
jangan mudik. Semua saling merayakan Hari Idul Fitri di kota
dan di rumahnya masing-masing. Ini semua dilakukan demi
keselamatan kita bersama.

Semoga keadaan segera membaik dan kita dapat
berkumpul bersama meskipun bukan pada saat hari raya.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah.Minal aidzin wal
Faizin mohon maaf lahir dan batin.

***
~selesai~

3. Hari Raya Penuh
Suka

Oleh: DiniAz92

Cerita ini aku ambil saat hari Idul Fitri. Tepatnya,
tanggal 3 Juni 2019. Tahun dimana COVID-19 belum tersebar
luas di Indonesia. Okee Deh! Langsung ke ceritanya aja yuk!

Jam sudah menunjukkan pukul 04:00 subuh. Namun
aku belum bangun dari tempat tidurku. Ibu memanggilku untuk
segera bersiap sholat subuh agar tidak telat saat akan
melaksanakan sholat Ied nanti.

"Dini..,cepat bangun ini sudah subuh!" Kata ibuku.
"Iya Bu, sebentar lagi."Jawabku sambil berusaha
bangun walaupun tubuhku serasa tak seimbang. Setelah itu,
aku langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka agar
nampak segar. Kemudian aku membantu ibu agar pekerjaannya
cepat selesai.
Selang beberapa menit, adzan subuh pun
berkumandang. "Alhamdulilah…" Batinku. Setelah adzan, aku
langsung menuju kran air untuk segera berwudhu dan
menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.

Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, aku
langsung bergegas untuk menyiapkan kue-kue dan
meletakkannya di atas meja. Karena jam sudah menunjukkan
pukul 06.00 pagi,akhirnya aku bergegas mandi agar tidak
terlambat untuk melaksanakan sholat Ied nanti. Setelah mandi
dan berwudhu, aku dan keluarga langsung menuju masjid dekat
rumah. Ternyata di sana sudah ramai sekali jamaah yang hadir.
Rasanya bahagia sekali aku masih bisa merasakan berlebaran
bersama keluarga dan sanak saudara. Kemudian, aku duduk di
samping kakakku.

Selang beberapa menit sholat Ied pun dimulai. Jamaah
yang hadir pun langsung berdiri mengikuti imam termasuk juga
aku dan keluargaku.Suasana di masjid terlihat hening dan
sangat khusyuk. Selesai sholat Ied, kami dengan seksama
mendengarkan tausiyah dari ustadz yang berasal dari daerah
tempat tinggal ku. Aku melihat disekelilingku ada yang sampai
menitikkan air mata ketika mendengar tausiyah yang
bertemakan tentang perjuangan Islam. Aku menoleh kearah
kakakku dan berkata, "Kok pada nangis ya?" Tanyaku dengan
sedikit tertawa.

"Hus, diem!" Ucap kakakku sambil mencubit tanganku.
Aku langsung mengelus tanganku yang tadi dicubit oleh
kakakku dan sedikit menyengir karena menahan sakit.

Tausiyahnya selesai, aku dan jamaah lainnya langsung berdiri
untuk bersalaman.

Ketika tangan sudah berjabat dan saling meminta maaf,
seketika air mata pun menetes. Entah mengapa jadi
mengharukan seperti ini? Sebenarnya saat itu aku juga mau
menangis tapi aku berusaha menyembunyikan tangisanku ke
yang lain. Setelah bersaliman, aku dan keluarga beranjak
pulang dan diikuti oleh jamaah yang lainnya.

Tak lama kami pun sampai ke rumah, aku langsung
menyimpan mukenah dilemari.Seketika rumahku terasa hening
saat aku ingin meminta maaf kepada orang tuaku.

" Buk, Pak. Minal aidzin wal Faizin ya, mohon maaf
kalau selama ini Dini banyak salah dan selalu bantah perintah
Ibu Bapak. " Kataku sambil meneteskan air mata.

" Iya Din, Ibu Bapak juga minta maaf ya kalau selama
ini selalu marahin kamu dan kalau bapak dan ibu punya salah
tolong dimaafin juga ya?" Balas mereka sambil berusaha
menahan air mata.

“Iya Bu,” ucapku. Kami langsung berpelukan. Ini
adalah suasana yang sangat aku rindukan. Karena bagiku ini
hanya setahun sekali terjadi tepatnya saat hari raya idul Fitri.
Saling memaafkan selesai kepada orang tuaku, aku
menyiapkan makanan untuk kami makan bersama.Aku melihat

banyak sekali hidangan. Seperti, rendang, ketupat, opor dan
belum lagi dendeng balado yang ibuku buat. "Emm, sangat
menggoda," batinku sambil senyum.

Sambil makan kami juga sesekali bercengkrama.
Selesai makan, aku,ibu dan juga kakakku segera membereskan
meja makan dan mencuci piring kotor. Aku dan kakakku
langsung berganti baju.Namun, aku tidaklah membeli baju baru
untuk lebaran. Karena, menurutku baju lama pun masih bisa
dipakai asalkan layak dan terlihat sopan saat memakainya.
Bersiap-siap untuk berkunjung ke rumah paman dan bibi untuk
bersilahturahmi.

Disaat perjalanan…Tiba-tiba aku merasa sangat
mengantuk, alhasil aku pun langsung terlelap tidur. Disaat
perjalanan aku tidak mendengar ada suara apapun. Ya iyalah
kan aku tidur pasti gak denger apa-apa. 1 jam kami menempuh
perjalanan akhirnya kami sampai di kediaman paman beserta
keluarganya.

Ibu langsung membangunkanku untuk segera turun dari
mobil. "Din, sudah sampe nih," ucap ibuku. Mendengar ibu
membangunkanku, aku membenahi kerudungku dan pakaian
yang tadi keliatan kusut.Turun dari mobil, ternyata paman dan
keluarganya sudah ada di depan rumah menyambut kami.

“Assalamu'alaikum,” serempak keluargaku menyapa
mereka.

“Wa'alaikumsalam, silahkan masuk,” ucap pamanku
yang sedari tadi berdiri di pintu untuk menyambut kami dengan
gembira. Saling maaf memaafkan, aku melihat ibuku yang
memeluk bibiku dengan eratnya. Sedangkan aku hanya melihat
sambil menunggu. Kami saling berbincang-bincang dengan
serunya. Bibiku mempunyai 3 orang anak, 2 anak laki-laki dan
1 anak perempuan. Agak lama kami bercengkrama. Keluargaku
dan keluarga pamanku berencana mengajak kami untuk pergi
ke pantai pasir putih. Sontak aku meloncat-loncat dengan
girangnya.

***
Setelah 1 jam kami tiba di pantai pasir putih, tempat
berlibur yang sudah direncanakan kemarin di rumah paman dan
bibiku. Turun dari mobil, kami menuju pantai yang
menghampar pasir putih yang putih, lembut dan terasa hangat
di kaki kaki kami. Kami sengaja tidak mengenakan alas apapun
pada kaki sehingga terasa sekali pasir itu mengenai kulit kaki.
"Emm...segar sekali udaranya," ucapku sambil
menghirup udara segar disana.
"Ya iyalah namanya juga pantai," jawab saudaraku
yang lain.

Ternyata ramai sekali orang yang di panatai ini. Ada
yang bermain Banana Boat, perahu kecil dan kapal ada juga
yang hanya sekedar bermain air saja. Ketika sedang melihat
orang-orang yang sedang asik bermain, tiba-tiba saudaraku
mengagetkan ku dan mengajak bermain bersama.

"Ayo, kita ke tengah pantai!" ajakku
Bermain-main di tengah pantai tentu saja membuat
tubuh kami basah dari ujung kaki hingga ujung rambut. Baunya
pantai, debur ombak yang menghantam tubuh kami membuat
diriku sangat merasakan libur yang menyenangkan.
Puas bermain di air, kami kembali menuju darat untuk
mengisi perut yang mulai keroncongan.
"Ayo, makan dulu, entar malah pingsan," ucap
pamanku bercanda.
"Asiyap!" Kami serentak menjawabnya.
Setelah makan, kami berkeliling pantai. Melihat para
penjual menjajakan dagangannya. Ada beberapa yang kami
beli sebagai oleh oleh, yaitu kotak tisu yang dilapisi dengan
keong keong. Satu untuk tanteku dan satu untuk di rumahku.
Puas membeli ini dan itu, ternyata hari sudah sore kami
bergegas untuk pulang.
"Gimana seru kan?" Tanya pamanku.

Hari yang menurutku sangat menyenangkan sekaligus
melelahkan. Menurutku jarang aku bisa berkumpul bersama
sanak saudara yang berjauhan. Hanya saat seperti ini lah kami
bisa berkumpul, dan bisa pergi piknik bersama.

Nah! Itulah cerita ku bersama keluarga tentang hari
raya 2019. Ditahan 2020, wabah COVID-19 yang sedang
melanda Indonesia tercinta tentunya menghentikan langkah dan
kegembiraan kami untuk berlibur bersama keluarga di saat
lebaran. Semoga COVID-19 ini cepat berakhir dan rakyat
Indonesia bisa secepatnya berkumpul dengan saudara-saudara
mereka. Termasuk aku dan keluargaku. Aamiin..

***

~selesai~

4. Kegembiraan Di Hari
Raya

Oleh: Rahma93

Sudah satu bulan penuh kita berpuasa hingga akhirnya
hari yang ditunggu tunggu pun telah tiba. Dimalam harinya
(sebelum hari Idul Fitri) biasanya kita melakukan kegiatan
takbiran di masjid atau mushola, dimana kita bisa berkumpul
bersama teman dan yang lainnya. Sambil melakukan takbiran,
ada yang memukul beduk untuk mengiringi suara takbiran,
disaat seperti inilah suasana kebahagiaan dan kegembiraan
dirasakan.

Kali ini aku mau cerita momen lucu yang gak bisa aku
lupa saat takbiran. Waktu itu malam sudah hampir larut aku
bersama teman temanku dikejutkan oleh sosok wanita yang
memakai baju putih dan juga rambut digerai. Kami lari
ketakutan dan setelah ditelusuri ternyata itu hanya orang yang
memakai baju gamis berwarna putih dan juga rambut digerai
yang tak lain merupakan ibu dari temanku, disitu kami tertawa
terpingkal pingkal.

Di pagi harinya biasanya aku dan keluargaku pergi ke
masjid untuk melakukan sholat Ied (sholat Idul Fitri). Seusai
sholat dilakukan kegiatan minta maaf sambil bersalam-

salaman, suasana haru terjadi disebabkan banyak orang yang
menangis saat saling meminta maaf. Sesampainya di rumah
aku meminta maaf kepada kedua orangtuaku dan juga
kakakku, hingga akhirnya suasana haru kembali terjadi.

***
Di rumah kakek nenekku, Dimas sepupuku, membuat
cerita yang lucu. Anak lelaki itu berumur 6 tahun.
"Mbak, mana sangu lebaran unutkku?" tanya Dimas
lugu dan menggemaskan.
"Ya gak lah orang kamu aja belum ngasih Mbak Rahma
sangu lebaran, ya khan?" ucapku becanda sambil mencubit
pipinya yang chubby.
"Udah ya,” kilasnya sambil melototiku.
"Eit, kapan, sih?" Candaku
"Lah tadi apa, dikasih sama Ibu." Ujarnya tak mau kalah.
"Tadi, sangu dari Ibumu, bukan sangu dari kamu," ucapku
juga tak mau kalah.
"Ya sama sajalah, Mbak Rahma, aku kan anaknya."
ucapnya sambil berjalan melewatiku.
Dimas kembali berbicara, kali ini ia menghampiri
ibuku. "Uwek mana sangu lebarannya?"
Uwek merupakan bahasa Jawa yang artinya bisa nenek
bisa kakek, tapi kami memanggil mereka dengan sebutan uwek

lanang dan uwek wedok. Lanang artinya laki laki dan wedok
artinya perempuan

Ibuku yang dipanggil Uwek oleh Dimas segera
mengeluarkan bebarapa lembar uang kertas dari dompetnya
yang sedari tadi dipegangnya. Rupanya beliau memang sudah
menyiapkan sangu untuk beberapa orang dari kami.

"Ini punyamu, Dimas cah bagus. Ini punya Mas
Endrak, Mas Wahyu, dan Mbak Rahma."

Namun uang di tangan uwek terhenti karena ucapan
Dimas seperti ini, "Wekwo (uwek wedok), Mas Wahyu, Mas
Endrak, sama Mbak Rahma kan udah besar kok masih dikasih
sangu sih, mending buat aku aja, " ucapnya sambil tersenyum
simpul.

Uwek lanang yaitu ayahku, sedari tadi hanya jadi
penonton ikut berujar pada Dimas, "Ya, gak bisa lah Dimas,
uangnya harus dibagi rata supaya adil!"

Akhirnya uwek wedok melanjutkan uang ke kami
karena tadi sempat terhenti sebentar.

"Betul tuh, harus dibagi sama rata!" Ujar mas Endrak
sambil menatap Dimas dan menerima uang dari uwek. Endrak
adalah anak dari bibiku yang tidak lain adalah kakak dari
Dimas.

“Iya deh, iya." ucapnya mengalah yang membuat kita
tertawa. Suasana berganti dengan aku mengajak sepupu
sepupuku bermain tebak tebakan.

"Main tebak tebakan, yuk!" Ucapku
"Ayo,” balas Dimas bersemangat. Lalu ia duduk di
hadapanku. Di belakangnya menyusul mas Endrak, mas
Wahyu dan ayahku.
. "Siiaap nona. Mana tebak tabakkanya?" ucap mas
Endrak sambil memangku Dimas.
“Nih dengarkan baik baik! Orang bisu kalo minta rokok
gimana caranya" kataku memandang mereka satu persatu.
Mas Wahyu, kakaku yang pendiam ini memperagakan
dengan gerakan mengulurkan tangan kanannya meminta
kepadaku lalu tangan lainnya membentuk dua jari tengah dan
telunjuk yang merapat di bibirnya. Lalu bibirnya
menggerakkan tanpa suara kata, ROKOK.
“Ya, Mas Wahyu bener! Seratus untuk Mas Wahyu.
Terus kalo orang buta yang minta gimana?" Ucapku
melanjutkan tebak tebakan.
"Nah, klo ini mah gampang!" Ucap mas Endrak lalu
memperagakan dengan gerakan yang sama seperti gerakan mas
Wahyu tadi. Bedanya mas Endrak memejamkan matanya biaar
lebih kelihatan seperti orang buta sungguhan.

"Hahah, salah Mas!’ Ucapku terbahak bahak. Dimas
yang hanya menyimak kami, tampak ia kebingungan.

"Lah terus apa Mbak?"
"Jawabannya .... ya tinggal ngomong aja lah, kan dia
gak bisu cuma buta.” Ucapku tertawa
"Oh, iya juga, ya, kok gak kepikiran sampe situ, ya,”
Mas Endrak baru menyadari jawabanku sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
Ayahku mengajak kami pamit. "Wahyu, Rahma ayo
pamitan kita mau lanjut ke tempat lain" ucap ayahku mengajak
berpamitan.

***
Di salah satu rumah tetangga, silahturahmi lebaran aku
bertemu dengan teman temanku, mereka adalah Bella dan
Nabila. Kami bertiga sering menyebut diri kami sebagai
Keluarga Huuriyah yang artinya keluarga bidadari Ya kami
bertiga ini menganggap diri sebagai bidadari karena bidadari
itu cantik, baik hati dan pintar. Sehingga kami ingin seperti
sosok bidadari.
Kami pun berbincang bincang mengenai keseruan
marathon, dan juga kejadian yang tidak mengenakan yaitu
awalnya semua berjalan seperti biasanya sampai akhirnya ada
temenku yang menghidupkan petasan dan tidak jauh di depan

ada Bella temenku. Bella yang menyadari ada petasan
mengarahnya ia refleks menghindar sampai di tengah jalan,
namun tidak disangka di waktu pagi saat jalan masih sepi ada
motor lewat, hingga akhirnya Bella tertabrak motor itu, kami
panik, bingun dan ketakutan. Hingga akhirnya Bella dibawa ke
rumahnya dengan darah yang terus menetes di kaki dan
tangannya. Saat dia mau dibawa ke bidan terdekat, dia
menolak dan dia melarikan diri dengan kondisi berlumuran
darah. Kami mengejarnya dan akhirnya dia berkata, " Rahma
sama Windy temani aku ya?"

Kami menyanggupinya karena Bela dan Windy adalah
teman masa kecilku, dia dari dulu selalu satu kelas denganku
bahkan sampai sekarang masih satu kelas, aku aja sampai
heran. Setelah puas berbincang bincang Aku, Bella, dan Nabila
pun kembali menuju orang tua kami masing masing, untuk
saling meminta maaf kepada tetangga yang lainnya.

Itu tadi ceritaku di Hari Raya Idul Fitri sebelumnya.
Dan keseruan seperti lebaran ini lah yang selalu aku kangenin
setiap tahunnya, aku berharap di tahun ini kita bisa lebaran dari
rumah ke rumah. Semoga Covid-19 cepat menghilang dari
muka bumi ini. Tapi jika tidak menghilang maka kita terpaksa
deh untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri dirumah masing
masing. Tapi untung teknologi sekarang sudah canggih, jadi

kan kita bisa tetep bersilaturahmi dan saling meminta maaf
melalui panggilan video atau yang sering kita sebut dengan
video call. Oleh karena itu tetap ikuti anjuran pemerintah
ya......

***

~selesai~

5. Malam Itu

Oleh: Lingga94

Dalam satu tahun ada satu bulan yang penuh berkah.
Dialah bulan Ramadhan. Aku sangat menanti kehadiran bulan
ramadhan ini, pahala dilipatgandakan, penuh ampunan dan
rahmat dari Allah Subhaana Wataala. Dimulailah ceirta ini
ketika tanggal 24 April 2020 pukul 04.00 dini hari weker di
kamarku berbunyi memekakan telinga karena suaranya yang
nyaring. Tapi tak jua membuatku turun dari tempat tidur.
Masih sangat lelah setelah semalaman mengerjakan tugas
online dari sekolah, sebelumnya aku tadarus di mesjid bersama
beberapa teman temanku.

“Lingga, bangun nak! Ini sudah jam 4. Sahur enggak
ya?” Kurasakan sentuhan lembut di kakiku membangunkanku
yang sebenarnya sudah terjaga namun sangat malas untuk
bergerak (mager).

“Ya, Bun,“ jawabku lalu bergegas menuju kamar
mandi. Di ruang makan abi, bunda dan 2 kakak dan adikku
sudah menyendokkan suapan makanan lezat kesukaanku.
Mataku langsung terbuka lebih lebar terasa lapar sekali jika
meilhat gulai ikan mas dengan warna yang merah itu. Ada

tempe goreng dan segelas teh hangat. Semua hidangan
kesukaanku. Bunda tahu saja cara membuatku bersemangat
untuk makan sahur.

“Tadi malam tadarus (baca Alquran) sampe jam
berapa?” Abi bertanya padaku tentang kegiatanku tadi malam.

“Cuma sampe jam 10, Bi. Cuma ada Suryo, Daffa dan
aku, ” jawabku sambil menggigit renyahnya tempe goreng
dibalur tepung Sajiku. Lezat sekali tempe ini. Apalagi buatan
bundaku. Eh, abiku juiga pandai mengoreng tempe dan tahu
seperti ini. Kemarin beliau yang menggoreng tahu untuk
berbuka kami. Maknyus rasanya.

“Tempe lezat begini, buatan Bunda apa Abi?” Tanyaku
sambil mengambil sepotong lagi tempe goreng yang tinggal 3
potong di piring.

“Abi, Mas. Aku tadi nungguin Abi dan Bunda masak di
dapur.” Adikku yang bungsu masih duduk kelas 2 esde itu
yang menjawab pertanyaanku.

“Lezat, Bi. Masya Allah. Siapa yang tidak doyan tempe
kalau begini,” kataku yang memang suka sekali dengan tempe
goreng. Tempe goreng memang selain lezat juga
bergizi.Sayang ya jika ada yang tidak suka makanan murah
meriah lezat dan bergizi ini

“Kalau tadarus di masjid, tetap jaga jarak, Mas
Lingga.Tidak perlu berkerumun banyak orang. Kamu, Suryo
dan Daffa sudah cukup untuk keadaan pandemi begini,”
ayahku mengingatkan aku tertap menjaga jarak ketika berada
di masjid membaca Alquran dengan temen teman karibku yang
juga bertetangga tak jauh ini. Selesai bersahur, aku menggosok
gigi untuk segera bersiap menuju mushola terdekat.

***
Malam sesudah sholat Isya di musholla aku bersama
kak Badrus dan kak Arya baru, kedua abangku yang pulang
mudik lebaran tahun ini, pulang ke rumah melewati kebun
tetangga sebelah mushola. Itu jalan pintas yang sering kami
lewati jika selesai menunaikan sholat di musholla. Suasananya
selain sepi juga tampak sedikit gelap, walau ada penerangan
lampu dari yang punya rumah sebelah kebun itu. Dua temanku
Daffa dan Suryo telah berpisah di ujung gang pertama rt 02 rw
03 ini.
Sambil mencari jalan yang bersih dari semak, mataku
melihat sesosok terbungkus kain coklat dengan wajah hitam
berdiri di samping salah satu pohon di jalan tempat kami lewati
ini. Aku berbisik pada kak Badrus dan kak Arya, “Kak, lihat di
samping pohon pisang itu!”

Kami berhenti sejenak menatap yang ditunjuk olehku
ke arah pohon yang kukatakan tadi.

“Apa yang kamu lihat, Dik?” Tanya kak Badrus.
“Orang berdiri dengan baju putih kecoklatan. Wajahnya
hitam. Ngapain dia malam begini di situ?” Kataku menjelaskan
pertanyaan kak Badrus.
“Aku tak melihat apapun,” balas kak Badrus .
“Orang iseng menaruh kain putih, Dik!” Kak Arya coba
menenangkanku.
“Sudahlah, jalan terus. Itu orang iseng yang mau
menakut nakuti kita,” lanjut kak Badrus sambil mengggandeng
tanganku. Kami tergesa gesa menuju tempat yang lebih terang.
Sebetulnya aku, kak Badrus dan kak Arya benar melihat
bayangan itu. Tapi tampaknya kedua abangku pura pura tidak
tahu. Diantara kami, aku paling penakut jika harus jalan di
tempat gelap dan sepi.
Sambil berjalan tergesa gesa, aku menoleh lagi ke
belakangku. Bayangan yang kulihat tadi sudah tidak ada.
“Kak, sosok itu hilang. Secepat itu hilangnya. Mungkin
pocong ya? Aku takut, Kak!” ucapku pada kedua abangku ini.
Aku merasa langkah kami tidak sampe ke tempat tujuan.
“Mungkin saja, itu pocong, Dik!” Kak Arya menimpali
kata kataku tadi, Aku semakin takut dibuatnya. Kupercepat

gerak kakiku. Dinginnya malam membuatku sedikit tercekam
suasana itu.

Saat di rumah aku segera berwudhu lagi karena untuk
mengurangi rasa takut yang belum hilang. Aku segera ke
kamar untuk tidur. Lalu kuucapkan doa tidur dan ayat
kursi.Untuk menenangkan hatiku yang terbayang bayang di
pohon pisang itu. Mudah mudahan itu hanya halusinasiku
dengan suasana sepi dan gelap di kebun itu. Kutarik selimutku
mentuupi seluruh tubuhku. Kupejamkan mataku. Tak lama
akupun terlelap.

***

~selesai~

6. Yola Atiya Wibisana

Oleh: Dena92

Ini ceritaku tentang sosok seorang teman yang berita
kepergiannya yang tiba tiba yaitu menghadap sang Khalik.
Begitu cepat dan mengejutkanku karena rasanya baru kemarin
aku sempat membencinya, kesal padanya karena hal sepele saja
sebetulnya.

Nah kumulai cerita ini, sebagai pengobat rindu bahwa
sesungguhnya aku sangat mengasihinya, seorang Yola Atiya,
gadis yang cantik, periang, tapi sekaligus menyebalkan.

***
Di saat aku duduk bersama keluarga dan teman
temanku, bapakku pulang dari kerja. Bapak bekerja
pengangkut kopi dari kebun sendiri menuju pabrik. Beliau
pulang dengan membawa berita yang mengejutkan kami.
Berita kecelakaan yang menimpa teman sekelasku bernama
Yola Atiya Wibisana, kecelakaan dekat pasar gorong royong
dekat rumah.
“Siapa yang kecelakaan, Pak? Cewek apa cowok?
Dimana?” Sejumlah pertanyaan kuberondong begitu saja pada
bapakku yang baru saja meletakkan kunci mobil pick upnya di
meja dekat teveku 32 inci.

Dengan sabarnya bapakku menjawab satu persatu
pertanyaanku itu. “Dua gadis tetangga sebelah. Berboncengan
keseruduk truck, nak. Kata orang orang, salah satunya teman
sekelasmu, Yola”

Aku terperanjaat dan lemas mendengar berita ini.
“Innalilahi waa innailaihi rojiun.” Hanya itu yang terucap dari
bibirku. Aku duduk di kursi membisu.

“Beritanya keduanya tewas seketika di tempat. Tanpa
helm dan sangat ngebut. Truknya melarikan diri. Jika bawa
motor kamu harus hati hati ya, nduk. Pakai helm. Jangan
ngebut apalagi ugal ugalan di jalan. Berdoa sebelum berangkat
dengan motormu.....”

Aku sudah tak mendengar bapak berkata apa saja. Aku
berlari ke kamarku untuk menenangkan diri. Kuambil
handphone, kubuka WA grupku. Ternyata di sana memang
sudah ramai membicarakan tentang kecelakan tabrak lari itu
menewaskan temanku.

***
Pukul 6.59 pagi di hari Kamis, aku dah berada di kelas.
Wah belum ada teman lainnya yang datang. Jelas pagi ini aku
datang lebih awal karena tugas piket setiap hari Kamis.
Kalaupun ada siswa yang datang pagi itu, yah dari kelas lain,

yang mungkin mereka datang pagi juga karena piket kelas
sepertiku.

Kuambil sapu dan serok sampah di dalam gudang kecil
yang ada di salah satu sudut kelasku. Hanya kelasku yang
punya gudang kecil. Katanya dulu tempat ini laboratorium
komputer. Di tempat itu tempat menyimpan alat alat komputer
yang belum dipakai. Ini info dari satpam tempat sekolahku ini.
Aku mulai menyapu bagian belakang kelas. Baru satu sapuan
di lantai, tiba tiba aku mendengar suara yang gemerisik.
Mungkin suara tikus. Lalu makin terdengar keras ketika
kuayunkan sapuku di lantai kesekian kalinya.

Saat itu ada suara yang tak jelas terdengar. Aku
mendekat suara apa itu. Suara itu semakin keras tapi juga tidak
jelas. Entah apa. Aku sedikit takut sebetulnya tapi piket harus
segera selesai, jika tidak aku kena tegur “satpam” kelasku alias
ketua kelas dan tim kebersihan yang telah dibentuk saat awal
masuk sekolah. Jika sudah ditegur repot urusannya karena wali
kelas akan memberi sangsi yaitu membersihkan kamar mandi
guru. Sesuatu yang tidak kusuka. Malu karena dilihat guru guru
di kantor guru. Suara itu tak terdengar lagi.

Menyapu seeluruh sisi kelas dan membuang sampahnya
sudah kulakukan. Aku beristirahat sejenak. Kucuci tanganku di
kran air depan kelasku. Lalu menuju meja belajarku. Pintu

gudang tampak terbuka sedikit. Tak sadar kakiku melangkah
ke arah itu. Niatku untuk menutup pintunya biar tidak terlihat
berantakan isinya. Tapi hatiku bergetar hebat, kakiku serasa
oleng, tanganku gemetar memegang daun pintu yang tak punya
pegangannya itu. Bukan tertutup pintu gudang itu malah
gerakan tanganku seperti membuka lebih lebar daun pintunya.

Aku melotot melihat ke dalamnya. Seorang gadis kecil
duduk jongkok dalam keadaan tangannya menutup mukanya.
Tampak bahunya bergetar. Ia menangis. Sungguh bukan rasa
takut yang kualami walau tubuhku gemetar. Kudekati gadis
kecil itu. Kusentuh bahunya. Ia tak bergeming. Kali ini
tangisnya berhenti. Kutatap terus tubuh itu. Rasanya aku tak
menyentuh apa apa padahal hatiku menuntut tanganku untuk
menyentuhnya.

Wajahnya mulai ditampakkan sedikit demi sedikit.
Sehingga jelas wajah siapa itu. Yola. Wajah Yola yang kulihat
itu. Dia menggerakkan bibirnya membentuk kata kata MAAF,
berulang ulang. Saat itulah aku lemas luar biasa. Aku mundur
perlahan lahan, menutup pintu. Entahlah semua gerakan itu
seperti ada yang menggerakkan. Kutinggalkan bayangan Yola
di gudang. Aku lari menuju kantin sekolah. Aku harus minum
agar meredakan detak jantungku yang berdebar hebat.

***

Sejak kejadian di gudang kelasku aku jadi sering
memikirkan Yola yang sudah tidak ada. Aku menyadari bahwa
temanku itu sudah tidak ada, dia kembali pada penciptanya.
Kejadian itu sudah seminggu dari kepergiannya. Kenapa aku
masih dihantui bayangannya. Sering kutatap tempat duduknya
yang berseberangan dengan tempat dudukku. Tempat itu sepi.
Lia yang duduk sebelah dengannya memilih pindah duduk.
Bukan takut katanya, tapi dia belum sanggup melupakan
kenangan dengan Yola, begitu kata Lia kepadaku.

Yola sudah seminggu meninggalkan kami. Anganku
tentangnya menggelayut di otakku. Kuingat pagi itu, adikku
Rara yang duduk di kelas 72, menghampiriku di kantin Bu
Meli.

“Mbak, dia menghinaku lagi. Dibilangnya aku dodol
hitam. Dodol gosong. Coba, Mbak, keterlaluan sekali dia!”

“Dodol kan manis dan enak. Harganya tidak murah.
Bikinnya lama sekali. Hampir semua warnanya hitam. Biar aja
dibilang begitu. Kok malah manyun gitu, sih!” Jawabku
merespon keluhannya.

“Aku bukan dodol, Mbak! Berarti dia menghinaku lagi.
Kulitku memang hitam. Tapi bukannya aku minta kulit warna
seperti ini kan. Ini sudah pemberian Tuhan Alloh, lho!” Rara
nyeocos terus mengeluarkan kekesalannya.

“So what, gitu lho Rara, anggap saja dia senang dengan
warna kulitmu itu,” ucapku untuk menyabarkannya.

Akhir akhir ini Rara memang di panggil dodol karena
kesukaannya membawa dodol ke sekolah. Suatu hari dia
membawa dodol ke sekolah dan memakannya dengan lahap.
Hal ini dilihat oleh Yola. Yola memang mempunyai tabiat suka
menggoda orang dengan keterlaluan. Tak pelak lagi, Rara kelas
72 itu jadi bahan untuk dibulinya.

Pernah aku mendengar Yola negebuli Rara.
“Dena, adikmu itu Rara, kelas 72, ya? Kok legit dan
hitam kayak dodol kesukaan dia sih,” ucapnya sambil terkekeh
kekeh seakan ucapannya itu lucu.
Sejak itu jika kami baru datang ke sekolah dan bertemu
Yola dia memanggil adikku dengan “Dodol hitam yang legit.”
Iih sebel banget kan mendengarnya. Aku dan adikku ini
memang berkulit coklat gelap alias hitam. Kebanyakan suku
kami memang berwarna begitu. Kata ayahku suku kami suka
bekerja keras. Tak perduli siang terik, pekerjaan dituntaskan
hingga selesai. Sehingga kelamaan kena sinar matahari
membuat kulit kami sedikit gosong seperti ini.Sedangkan Yola
berkulit putih. Dulu sukunya keturunan bangsa Cina yang
datang ke Indonesia jaman kerajan Sriwijaya. Pantas saja kulit
mereka putih bersih dan kebanyakan mata mereka sipit.

Perbedaan ini sangat disukai Yola si Tukang Buli, untuk selalu
menggoda adikku. Padahal niatnya cuma menggoda.

“Adikmu Rara itu lucu, gemuk, hitam tapi sebetulnya
dia manis. Mungkin karena dia suka dodol manis ya?” begitu
celoteh Yola kepadaku tentang adikku Rara. Tuh kan
sebenarnya dia hanya gemas melihat adikku itu. Tapi, sayang
ya dia suka kebablasan. Itu membuat adikku tak menerima di
goda seperti itu.

Aku sendiri sering dipanggil Tempe Gosong oleh Yola.
Sehingga teman temanku tertawa mendengarnya. Aku sering
malu mendengar kalau dia sudah menggodaku begitu. Tapi aku
tak pernah membalas kata katanya. Aku senyum saja jika dia
sudah menggoda. Kalau sudah keterlaluan, aku berlalu dari
wajahnya yang putih bersih dan manis itu. Kalau adikku Rara,
tentu saja tidak terima atas perlakuan Yola ini.

***
Tiga hari sebelum kepergiannya disebabkan kecelakaan
itu, sempat kupergoki Yola menatapku diam diam. Jika
kutanya ada apa ia menatapku seperti itu, dia hanya diam saja.
Beberapa hari itu aku sama sekali tak mendengar dia
menggodaku di kelas. Tumben pikirku. Ia tampak lebih
pendiam dari biasanya.

“Eh, si Ratu Buli, kenapa menjadi pendiam dan manis
seperti ini?” Tanya Ridho sambil mengelus elus dagunya
seperti sedang mengelus jengggotnya padahal dagunya tanpa
jenggot sama sekali. Entah kenapa, Yola hanya menghela nafas
tersenyum dan berlalu dari kami. Sepi. Ya sepi tanpa bulian
darinya. Biasanya tiap hari ada saja yang dibuli di kelasku ini.

Salah satu contoh bulianya yang juga keterlaluan itu.
“Eh, Maya si Gigi Tikus, makanmu dengan menghabiskan
bagian pinggirnya dulu terus seperti tikus di rumahku! Ha...
ha...ha...” Maya adalah ketua kelasku yang tidak tampak seperti
mempunyai gigi tikus. Tapi kebiasaanya makan biskuit dengan
menghabiskan bagian pinggir keliling biskuit itu lebih dulu.
Sehingga menurut Yola seperti tikus di rumahnya yang
menggerogoti barang di pinggirannya. Keterlaluan benar si
Yola ini memberi nama orang yang buruk buruk.

Kadang kesal juga dengan bulian yang suka keterlaluan
tidak padaku saja tapi juga kepada teman temannya di kelas 92
ini. Yola piawai menciptakan istilah istilah buruk untuk
kami.Tempe Gosong, Dodol Hitam, Gigi Tikus dan banyak
lagi.

***
Aku menghela nafas panjang, ini bulan ramadhan ke
17, Yola sudah menghadap yang kuasa. Dia tinggalkan semua

kenangan itu termasuk kebiasaan buruk memanggil orang.
Kebencian kekesalan yang sempat muncul karena ulahnya,
lambat laun sirna di hatiku. Aku merasa prihatin dengan
tewasnya dalam kecelakaan itu. Dan tampaknya firasat
kepergiannya sudah ditunjukkan ketika tiga hari pertemuan dia
tampak sangat pendiam. Lalu kejadian di gudang yang mirip
Yola dengan ucapan maafnya, sudah membuat hatiku
memaafkan segala kenangan buruk yang ditinggalkannya. Di
bulan suci ini aku sudah memaafkanya, semoga ia tenang dan
bahagia di sisi yang terbaik. Selamat Jalan Yola Atiya
Wibisana.

***
~selesai~

7. Penyesalan Di Awal

Oleh: Egga92

Pada suatu masa, aku mengenal sosok dia. Dia itu
teman baikku, dia adalah sosok yang mengerti aku dan
membuatku semangat, terus semangat menjalani hidup,
membuatku tersenyum dan menghiburku dikala aku sedih.
Sosok itu seorang laki laki menurutku tampan hidungnya
bangir, wajahnya bersih. Mungkin seringnya air wudhu yang
mengguyur wajahnya itu. Kulitnya sedikit legam tapi bersih.
Giginya tersusun rapi dan putih itulah sebabnya jika tersenyum
dia tampak seperti model sebuah produk iklan pasta gigi di
teve. Tinggi sedikit lebih tinggi dariku, 165 cm kira kira sedang
aku 160 cm. Tubuhnya langsing dan tegap. Dia suka sekali
bermain skateboard dan softball. Dia seorang pitcher yang
hebat di sofballnya itu, gambaran laki laki sempurna di mataku.

***
Aku telah jatuh cinta pada sosok yang baik ini.
Bagaimana dengan dia? Entahlah. Sampai suatu hari dia
menunjukkan semakin hari semakin lama dia merasa ingin
bicara kepadaku. Apakah ini menyiratkan sesuatu padaku?
"Ega, hemm... Aku boleh jujur?" Ucapnya. Aku
merasakan dia bicara seperti dengan suara yang bergetar.

Jangan jangan hatiku yang bergetar mendengarnya dan seolah
olah aku mendengar dia bergetar mengucapkannya. Hihihi.

"Cius amat seeeh! Mau ngomong cius ya?" Aku
berusaha menentramkan hatiku yang berdebar indah ini juga
sekedar menutup gugupnya aku mendengar ucapan yang
tampak serius itu. Aku pernah mendengar jika ada seorang laki
laki bergelagat seperti ini dia hendak nembak seseorang,
seperti dalam sinetron di teve yang pernah kulihat juga. Aku
hari ini mengalaminya. Waaah, indah dan menyeramkan
sebetulnya.

Dia mengajakku duduk di salah satu kursi yang ada di
kelasku ini. Ya, kami memang sedang di kelas 92 tempatku
menimba ilmu dan suasana sedang menunggu azan dhuhur
yang akan dikumandangkan di mushola “Al Ali Al Muddin
SMPN 4 Gunung Sugih”. Sementara laki laki itu dari kelas
lainnya yang sama levelnya. Banyak jeda waktu menunggu
antrian untuk bersiap siap wudhu dan ke mushola sekolah,
digunakan dia untuk menyapaku seperti ini.

"Ini aku ngomong sama kamu...(diam hening yang
begitu lama menurutku. Tak sabar menunggu apa yang mau
dikatakan. Untung kelas hanya kami dan Mega di sudut kelas
sedang menikmati Mie Jablaynya)

“Aku mengganggu gak nih, Ega, Rama?” Tanya Mega
yang menyuapkan Mie Jablaynya ke dalam mulutnya sambil
tersenyum menggoda pada kami.

Aku menggeleng pada Mega yang disambut Mega
dengan jempolnya. Aku tak bisa berkata apa apa. Hatiku
terpusat pada perkataan Rama yang terputus tadi dengan penuh
harapan.

“Jujur dari lubuk hati aku yang terdalam, ... Aku ..."
"Iya ngomong aja, ada apa?" Tak sabar aku menunggu
gugupnya Rama mengucapkan sesuatu yang nanti membuatku
kecewa atau bahagia kah?
Lanjutnya lagi, "Jujur waktu pertama kita kenalan aku
sudah ada rasa sama kamu. Rasa yang berbeda. Aku suka
padamu, Ega. Hmm.... (hening lagi, duh memperpanjang debar
hatiku) Tapi aku sempat berfikir kenapa aku bisa punya rasa
sama kamu. Aku sebetulnya tidak ingin hanya dianggap
sebagai teman belaka, teman curhat. Aku ingin hubungan yang
lebih sekedar itu.....Hmmm”
“Maaf aku mendengar, aku mengganggu, permisi,”
buru buru Mega berlalu dari kami, rupanya anak itu nguping
dan sudah menyelesaikan makan Mie Jablaynya. Aku
tersenyum malu pada Mega yang mengganggu
kekhusukkannya “nembak” aku. Lalu kami bertatapan lagi.

Aku merasakan getaran indah di relung hatiku pada sosok
tampan ini.

Tanyaku memecah kebisuan antara kami, "Sejak
kapan kamu punya rasa sama aku?"

Katanya dengan menundukkan kepalanya, "Gak tau.
Hmm... Rasa ini tiba-tiba sudah tumbuh di hatiku. Rasa yang
menuntut lebih dari yang kita jalani selama ini Ega. Ega, aku
telah jatuh cinta padamu, pada pandangan pertama."

Duuuh Gusti. Ini yang kutunggu lama darinya. Kata
kata indah yang menyambut hatiku hariku anganku padanya
melebihi jam tidurku 5 jam dalam sehari. Bayangkan. Jiwa dan
hidupku selalu padanya. Sekarang akupun tak bertepuk sebelah
tangan. Aku bagai melayang tak menginjakkan kaki ini di
bumi. Aku menikmati keindahan seorang perasaan laki laki
yang kusukai ini juga, ya Gusti Allah. Aku sontak. Azan
memanggil kami untuk segera ke mushola.

Kami beriringan tanpa suara menuju mushola. Aku
belum menjawab tembakan ini. Aku masih harus menyusun
kata kata. Mungkin di hari lain kami akan bertemu lagi dan
membicarakan ini.

***
Sesampai di rumah, aku berbaring sebelah bunda yang
beristirahat dari pekerjaan rumahnya.

“Bun, kalau aku jatuh cinta pada seseorang, Bunda
sudah mengijinkan belum?” Tanyaku pada bunda.

Bunda melotokan matanya. “Anak Bunda yang
peringkat di kelas ini sudah mengenal cinta, ya?” Selidik bunda
padaku. Diajaknya aku duduk di kasur empuk itu. Digenggam
jemari tanganku. Bunda berkata lembut,

“Jatuh cinta tidak salah, sayang. Kamu sedang jatuh
cinta pada teman laki lakimu kah?” Aku mengangguk malu.
Dengan suara yang lembut seperti bunda, aku tak pernah
sungkan bicara apapun padanya.

“Bunda juga jatuh cinta sama Ayahmu masih
seumurmu. Tapi, kamu masih belajar untuk menghadapi ujian
sekolah menengah pertamamukan (SMP), biar nanti
melanjutkan ke sekolah yang lebih bagus untuk jenjang cita
citamu. Kalau sudah kenal cowok, harimu waktumu pikiranmu
bisa berpusat terus ke dia. Waktu belajar jadi terbengkalai.
Bukankah anak Bunda ini anak juara di kelas. Nanti prestasimu
melorot karena cinta. Siapa yang rugi?”

Aku mengangguk anggukan kepalaku. Aku tidak ingin
mengecawakan bunda dan ayahku yang telah berusaha
menyekolahkan dengan susah payah. Maklum, aku hanya anak
pedagang warung kecil, ayah dan bunda harus memeras


Click to View FlipBook Version