The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Goresan kata dalam antologi “Antara Aku dan Sekolah” melukiskan curahan hati dan angan-angan para siswa SMP Pahoa. Berbagai buah pikiran para siswa tertuang dalam kumpulan puisi dan cerpen.
Kumpulan puisi dalam antologi ini menggambarkan kehidupan remaja yang menjalani peran, baik sebagai anak maupun sebagai siswa. Sahabat, keluarga, cinta, guru, impian menjadi kunci dari kata-kata seni yang diungkapkan.
Dalam kumpulan cerpen, imajinasi para siswa SMP Pahoa disampaikan dengan berbagai ragam kata dan diksi menarik. Khayalan dengan tema unik dirangkaikan dalam berbagai kisah yang membuat pembaca terhanyut di dalamnya. Alur yang diciptakan mampu menyegarkan para pembaca untuk terus membacanya hingga akhir.
Antologi ini patut diapresiasi mengingat buku ini sebagai ekspresi jiwa para siswa yang membuahkan karya puisi dan cerpen. Terbitnya antologi ini diharapkan mampu memotivasi pembaca untuk turut menghasilkan karya lainnya. Dengan demikian, budaya literasi akan terus digerakkan, terutama di SMP Pahoa.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-04-20 00:36:51

Antara aku dan sekolah

Goresan kata dalam antologi “Antara Aku dan Sekolah” melukiskan curahan hati dan angan-angan para siswa SMP Pahoa. Berbagai buah pikiran para siswa tertuang dalam kumpulan puisi dan cerpen.
Kumpulan puisi dalam antologi ini menggambarkan kehidupan remaja yang menjalani peran, baik sebagai anak maupun sebagai siswa. Sahabat, keluarga, cinta, guru, impian menjadi kunci dari kata-kata seni yang diungkapkan.
Dalam kumpulan cerpen, imajinasi para siswa SMP Pahoa disampaikan dengan berbagai ragam kata dan diksi menarik. Khayalan dengan tema unik dirangkaikan dalam berbagai kisah yang membuat pembaca terhanyut di dalamnya. Alur yang diciptakan mampu menyegarkan para pembaca untuk terus membacanya hingga akhir.
Antologi ini patut diapresiasi mengingat buku ini sebagai ekspresi jiwa para siswa yang membuahkan karya puisi dan cerpen. Terbitnya antologi ini diharapkan mampu memotivasi pembaca untuk turut menghasilkan karya lainnya. Dengan demikian, budaya literasi akan terus digerakkan, terutama di SMP Pahoa.

Keywords: Antologi Puisi

1

GALERI GURATAN SISWA SMP PAHOA

ANTARA AKU DAN
SEKOLAH

Angelina, dkk

2

GALERI GURATAN SISWA SMP PAHOA

ANTARA AKU DAN SEKOLAH

Angelina, dkk
Editor:

Dali Santun Naga
Jenny Elfrida Naibaho
Maria Birgita Natalia Suwarli

Penerbit Sekolah Terpadu Pahoa

3

Galeri Guratan Siswa SMP Pahoa
“Antara Aku dan Sekolah”

Oleh : Angelina,dkk
Copyright ©Sekolah Terpadu Pahoa

Penerbit Sekolah Terpadu Pahoa
Jl. Ki Hajar Dewantara No.1 Summarecon Serpong
Tangerang 15810

Penyunting : Perpustakaan Sekolah Terpadu
Pahoa
Ketua : Afiyon Kristiyan
Editor : 1. Dali Santun Naga

Layout & Cover 2. Jenny Elfrida Naibaho
Penulis 3. Maria Birgita Natalia Suwarli
Guru Pembimbing : Agung Priambodo
: Angelina, dkk
: 1. Anisa Prasetia Novia
2. Narendra Dewadji K
3. Erni Dwi Widowati
4. Kristiana Widayanti

Cetakan Pertama : November 2021

4

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
mengutip, memperbanyak atau menyalin-baik secara
menyeluruh maupun sebagian-dalam bentuk elektronik,
cetak, dan lain sebagainya tanpa izin tertulis dari
penerbit.

5

DAFTAR ISI

Sambutan dari Kepala SMP Pahoa
Sambutan dari Kepala Unit Perpustakaan
Pengantar Guru Bahasa Indonesia

ANTOLOGI CERPEN
Jika Hujan
(Freya Karuniyata/9.9)………………………………..
Persahabatan di Bawah Pohon Ek
(Antonia/9.4)…………………………………………..
Kaca Biasa
(Angelica Rachel/9.7)…………………………………
Escape
(Premala Gracia/9.8)…………………………………

ANTOLOGI PUISI
Keluargaku (Angelina/8.1)…………………………….
Waktu (Arvella Erine Karnadi/8.2)……………………
Persahabatan (Precia Raphaella Goh/8.2)………….
Sahabat yang terlupakan (Tiffany Ekavira/8.4)……..
Cintaku (Chintya Amelia/8.4)…………………………
Kebahagiaan Itu Sederhana (Chelsea Arthalia/8.4)..

6

Lingkunganku (Kyara Alessia/8.5)……………………
Jangan Pernah Menyerah (Ravalea/8.6)……………
Clarissa (Clarissa Arthalia Gitulaku/8.7)…………….
Negara Impianku (Keara Grace/8.7)…………………
Clementine (Clementine/8.8)…………………………
Sahabatku (Lois/8.8)…………………………………..
Valentina (Rettanasya/8.9)……………………………
Guruku (Sally/8.3)……………………………………...
Guru (Ayrien DNT/8.4)………………………………
Sang Pemberi Ilmu (Naura Angelica/8.4)…………
Guruku, Pahlawanku (Chanel Chandra/8.1)……...
Pahlawanku (Bianca Patricia/8.1)………………….
Hari Guru (Arthania Luna 8.4)………………………

7

SAMBUTAN KEPALA SMP PAHOA

Maria Semi Nuryanti

Karya sastra memiliki keindahan seperti layaknya
karya seni yang lain. Jika seseorang dapat menghayati
gaya bahasa yang dipergunakan oleh penulis maka
keindahan berbahasa akan sangat memukau jiwa
pembaca.

Sungguh patut disyukuri bahwa siswa-siswi SMP
Pahoa memiliki kesempatan untuk mengekspresikan
pikiran dan perasaan mereka dalam karya sastra puisi
dan cerita pendek yang termuat dalam Buku Antologi
“Antara Aku dan Sekolah.” Membaca isi buku ini, saya
menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para
siswa dan para guru pembimbing mereka. Ini adalah
keberanian siswa menuangkan imanjinasi dan hasil
refleksi pengalaman di sekolah, baik dalam relasi
pertemanan, relasi dengan guru, dan peran anak di
dalam keluarga, maupun dalam pencarian jati diri.

Kita juga patut bersyukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa bahwa sebagai mahluk ciptaanNya kita
diberikan kebebasan untuk mempergunakan secara utuh
seluruh kemampuan kita untuk berkarya. Harapan saya
adalah semoga buku Antologi ini dapat menjadi inspirasi
bagi siswa-siswi Pahoa dan para pembaca. Dan kepada
semua pihak yang telah membantu terbitnya buku
Antologi “Antara Aku dan Sekolah,” hasil karya siswa-
siswa SMP Pahoa, kami menyampaikan terima kasih dan

8

penghargaan. Kami juga menyadari bahwa karya ini
masih banyak kekurangannya, sehingga dengan
kerendahan hati kami mengharapkan saran dan kritik
untuk penyempurnaan buku ini.

Akhir kata saya ingin mengutip pesan indah dari
salah satu tokoh sastra bangsa kita, Pramoedya Ananta
Toer (1925-2006), “Berterimakasihlah pada segala yang
memberi kehidupan”.

Salam Hangat

9

SAMBUTAN KEPALA UNIT PERPUSTAKAAN
Afiyon Kristiyan

Salam sejahtera,
Puji syukur kepada Tuhan YME atas terbitnya buku
antologi cerpen dan puisi karya siswa SMP Pahoa ini.
Meskipun saat ini siswa belajar dari rumah dikarenakan
pandemi Covid-19, mereka tetap mampu berkarya
melalui cerita pendek dan puisi yang indah. Tentu saja
peran guru sebagai pembimbing sangat membantu siswa
dalam merangkai kata dan menyusunnya mejadi kalimat
yang indah.

Saat membaca buku ini, perasaan kita dapat terbawa
dalam suasana penuh semangat persahabatan dan kasih
sayang kekeluargaan yang luar biasa. Buku ini dapat
menjadi inspirasi bagi pembacanya khususnya pelajar
SMP lainnya agar mereka dapat berkarya juga.

Sekali lagi selamat untuk siswa SMP dan guru
pembimbing yang telah menerbitkan buku Antolologi
berjudul “ANTARA AKU DAN SEKOLAH.”

Salam Literasi.

10

PENGANTAR GURU BAHASA INDONESIA

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena berkat karunia-Nya maka para siswa SMP
dapat menyelesaikan penulisan antologi Antara Aku dan
Sekolah. Dalam penyusunan antologi ini para siswa telah
berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan mereka. Selain itu, kami sebagai guru
pembimbing selalu memberikan arahan agar para siswa
dapat menyelesaikan buku ini dan menghasilkan karya
yang luar biasa. Antologi ini dibuat untuk membangkitkan
kembali minat baca para siswa dan sebagai motivasi
dalam berkarya khususnya menulis puisi dan cerpen.
Kiranya melalui hasil karya para siswa, semakin banyak
karya yang dapat dihasilkan dan dapat dinikmati oleh
keluarga besar Sekolah Terpadu Pahoa.

Tangerang, Oktober 2021

11

JIKA HUJAN
Freya Karuniyata/9.9

Suara detikan jam yang konstan membuatku
semakin kesepian. Aku mengeluarkan desahan kecil,
lelah. Untuk kesekian kalinya hari itu, aku merogoh
sakuku dan mengambil selembar foto di sana.

Wajahku tanpa ekspresi saat aku memandang
wajah kakakku yang tersenyum selamanya dalam
licinnya kertas. Aku menurunkan foto itu karena
terganggu akan mata kakakku yang begitu hidup.
Sebelah tangannya merangkul tubuhku yang terbalut
baju wisuda dan tawaku lepas tanpa beban.

Butuh beberapa saat sampai aku menyadari
kakakku masih menatapku. Bukan dari lembaran mati
foto yang masih kugenggam, kakakku benar-benar ada
di hadapanku. Meski matanya lemah dan pudar, kakakku
tampak sama seperti yang kuingat. Hidup.

Selalu sulit membayangkannya terkubur jauh di
dalam tanah yang dingin terbujur kaku dengan mata
tertutup. Tetapi selalu lebih sulit membayangkannya saat
kakakku masih hidup: seringainya dengan deretan gigi
kotor tidak terawat, wajah kotor, dan letihnya sepulang

12

kerja, ataupun belaian tangannya yang kasar di wajahku
saat membantuku membersihkan muka sewaktu aku
masih kecil.

Namun, di sinilah dirinya, seluruh diri kakakku
yang kurindukan. Kakakku berdiri di depanku dengan
tubuhnya yang kurus dan ringkih. Kakakku menatapku
dengan penuh sayang seperti biasa.

"Kakak?" Suaraku parau di telingaku sendiri.
"Kakak?"

Kakakku membuka mulutnya dan menjawab
dengan lembut, "Ini Kakak."

Aku menghambur untuk memeluknya, memeluk
kakakku yang kurindukan begitu besar sampai rasanya
sakit yang setiap ingatan tentangnya yang terulang
terasa bagaikan sebuah pisau yang dihujamkan keras-
keras ke dadaku. Aku tak peduli jika aku hanya memeluk
hantu atau sisa-sisa kenangan yang putus asa ingin
kembali digenggam. Aku tak peduli jika ini hanya mimpi.
Aku tak peduli karena aku merindukan kakakku lebih dari
apa pun dan sekarang ia ada di sini.

Kakakku balas memelukku. Hangat dan familiar.
Ini kakakku, benar-benar kakakku.

"Bukankah Kakak sudah pergi?" bisikku tak
percaya, menenggelamkan diri dalam dekapan

13

tangannya yang kuat, dan merasakan diriku kembali
menjadi seorang anak kecil.

Kakakku melepaskan pelukannya dan
memegang kedua pundakku seakan ia ingin aku
memperhatikannya baik-baik. Senyumnya mendadak
berubah dan digelayuti kepenatan. "Kakak tak bisa pergi,
Lila, Kakak tidak bisa pergi."

Aku selalu suka akan caranya menyebut
namaku: dengan penuh cinta seolah ia telah
menumpahkan seluruh kasih sayangnya dalam kata itu
dan juga tatapan matanya yang selalu melembut saat
mengucapkannya. Setiap kali ia melakukannya, aku tahu
semua akan baik-baik saja karena kakakku terus ada
untuk menyayangiku.

Namun kali ini lain. Keadaan telah berubah dan
kakakku sudah tiada.

"Kakak tidak bisa pergi, Lila. Kakak tidak bisa
pergi dan meninggalkanmu di sini serta menyalahkan diri
atas kepergian Kakak."

"Tapi, Lila memang salah, Kak. Lila menambah
beban Kakak." Aku terisak dan air mataku mengalir
menuruni pipiku. "Semua ini salah Lila dan Lila tak akan
pernah dapat memperbaikinya karena Kakak sudah
pergi."

14

Kakakku memegang pipiku. Senyumnya yang
tulus kembali membuat tubuhku nyeri. Akulah penyebab
senyum itu terhapus selamanya.

"Lila tidak salah. Kepergian Kakak sama sekali
bukan salah Lila," suara kakakku sama persis seperti
dulu.

"Ini memang salah Lila, Kak." Aku menelan
isakanku untuk sesaat dan berupaya berkata-kata
dengan jelas. "Jika Lila tak ada, Kakak tak perlu bekerja
terlalu keras. Jika Lila tak ada, Kakak tak perlu
membiayai Lila, tak perlu mencari uang untuk sekolah
Lila. Jika Lila tak ada, penyakit Kakak tak akan separah
ini." Aku menangis lagi dan merasa malu telah
membebani kakakku sedemikian beratnya.

"Dengar, Lila," kakakku mengguncangku lembut,
"Lila tak memiliki salah dalam kepergian Kakak. Apa yang
sudah terjadi, terjadilah. Ini bukan salah siapa-siapa."

Kakakku merangkulku. "Kakak sangat
menyayangi Lila. Jangan menyalahkan dirimu sendiri.
Kakak tidak mau Lila menjadi seperti ini."

Kakak sangat menyayangi Lila. Aku tersadar
sementara kenangan mulai membanjiri kepalaku dan
membuat tangisanku mengeras. "Ini memang bukan

15

salah Lila, bukan, Kak? Dari awal ini memang bukan
salah Lila."

Kakakku menatapku penuh tanya.
"Dari awal memang Lila tidak salah," ulangku di
antara isakan dan air mata. "Ini semua salah hujan."
Kakakku membuka mulutnya untuk menjawab,
tetapi sebelum itu aku telah menariknya, membuatnya
ikut tenggelam dalam kenangan, kenangan kami berdua.

***

"Kakak!" rengek seorang anak kecil. "Aku bosan!"
Anak di sampingnya yang lebih besar beberapa
tahun tersenyum. "Tunggu hujannya berhenti, ya. Nanti
Kakak ajak kamu main lagi."
Emperan toko tempat mereka berdiri adalah
sempit dengan atap seadanya. Kaki dan tangan kedua
anak itu coreng-moreng karena debu jalanan yang
bercampur dengan cipratan air. Berbekal suara dan
kaleng kosong, mereka seharusnya tengah mengamen
di jalan berharap seseorang berbaik hati yang
memberikan sepeser uang. Namun hujan badai datang
di saat yang tidak tepat. Si kakak hanya berharap adik
kecilnya agar tidak terserang penyakit dan merelakan

16

waktu setengah hari untuk berlindung dari guyuran
hujan.

"Lila nggak mau! Lila mau main sekarang!"
Sang kakak lagi-lagi hanya dapat tersenyum dan
khawatir sebentar lagi adiknya akan mulai berlari
menyongsong hujan karena terlalu bosan. Adik kecil
tersayangnya sudah mulai terlihat tidak sehat sejak
kemarin karena batuk dan bersin terus-menerus. Sang
kakak tak bisa membayangkan apa jadinya jika adiknya
sakit pada saat dia tak memiliki uang untuk berobat.
"Kakak! Lila bosan," kata si bocah lagi dan
cemberut karena merasa tidak diperhatikan.
"Iya, iya. Kita main sekarang," sahut kakaknya
yang kehabisan akal dalam menenangkan adiknya. "Kita
main ... ehm, berandai-andai?" usulnya asal dan tidak
yakin.
"Bagaimana cara mainnya?" tanya si adik.
"Kakak dulu, ya," si kakak berdeham dan
mencoba menahan gigitan angin dingin di kulitnya yang
dibawa hujan, "jika Kakak punya uang, Kakak akan pergi
ke warung untuk membeli minuman panas."
Anak itu berpaling kepada adiknya, "Giliranmu."

17

Bocah kecil itu berpikir keras, "Jika Lila punya
baju hangat dan selimut, akan Lila pinjamkan kepada
Kakak."

"Mengapa?"
"Karena Kakak kedinginan. Lila tidak mau Kakak
masuk angin," adiknya berkata polos. Tatapan matanya
yang besar dan lugu menghantam sang kakak keras di
Dada. Adiknya terlalu murni untuk dunia ini.
Si kakak tak bisa menahan diri dan tersenyum
lebih lebar dengan kehangatan luar biasa karena rasa
sayangnya kepada sang adik yang ingin menyelimutinya.
"Giliran Kakak, bukan? Jika Kakak punya roket, Kakak
akan pergi ke bulan untuk liburan bersama Lila."
Sang adik menimpalinya dengan bersemangat,
"Jika Lila punya pesawat, Lila akan berkeliling dunia
untuk mencari obat Kakak."
Kakaknya memandang heran. "Obat apa?"
"Kata ibu, Kakak sakit," jawab adiknya dan
memandangi sang kakak dengan mata hitamnya yang
besar, "Ibu bilang ke Lila, Kakak tidak boleh terlalu capai
karena Kakak punya penyakit. Ibu bilang pada Lila untuk
menjaga Kakak."
Mata anak yang lebih besar itu mulai terasa pedih
membayangkan sebanyak apa yang telah dikatakan

18

sang ibu kepada adiknya. Tidak, adiknya tidak boleh
tahu. Adiknya tidak boleh tahu bahwa ibunya sudah pergi
untuk selamanya. Adiknya juga tidak boleh tahu tentang
penyakitnya.

"Oke, sekarang Kakak," katanya dengan sikap
biasa sebisanya, "jika Kakak punya permintaan dari ibu
peri, Kakak akan minta bubur ayam porsi paling besar
dan lengkap."

Adiknya terkikik. "Kok, cuma bubur?"
"Karena Kakak lapaaar banget," kata sang kakak
dengan mimik lucu dan menambah rasa geli adiknya.
Beruntung adiknya masih begitu kecil dan tidak
memikirkan racauan asalnya barusan.
"Jika Lila punya satu permintaan dari ibu peri,"
ucap si adik menirukan kakaknya, "Lila akan meminta
Kakak dapat bahagia selamanya."
Jantung sang kakak seakan berhenti. Dia
menatap adiknya terkejut.
Adiknya memandang kedua mata hitam kakaknya
dengan tatapan lugunya lagi. "Lila sangat menyayangi
Kakak, Lila mau Kakak bisa hidup bahagia."
Anak yang lebih tua darinya itu menghapus air
mata yang entah sejak kapan mulai menggenang. "Lila
dari tadi berandai-andai tentang Kakak terus," ujarnya

19

dengan nada bercanda dan berharap adiknya tidak
menyadari akan air matanya barusan, "ayo, kali ini
tentang Lila."

Adiknya tersenyum ceria dan tampak yakin
dengan apa yang akan dikatakannya. "Jika Lila punya
banyak uang, Lila ingin sekolah!"

Sang kakak berusaha keras agar isak tangisnya
tak terdengar oleh adiknya. Dia memeluk bocah itu, adik
kesayangannya. "Kakak sangat menyayangi Lila,"
bisiknya ke dalam telinga mungil adiknya.

Dalam hati, dia bersumpah akan menyekolahkan
adiknya. Dia berjanji akan memastikan sang adik
mendapatkan pendidikan yang pantas didapatnya.
Biarpun itu berarti ia harus bekerja banting tulang, ia akan
melakukannya. Biarpun penyakitnya kambuh, ia tak
peduli. Asalkan itu berarti adiknya dapat mewujudkan
mimpinya. Ia akan membelah dunia untuk adiknya yang
sangat menyayanginy dan untuk adiknya yang sangat dia
sayangi.

***

Aku masih memeluk kakakku dan merasakan kenangan
itu memudar perlahan-lahan. Aku tidak mengerti
bagaimana caranya peristiwa yang terjadi beberapa

20

belas tahun yang lalu itu kembali menyeruak ke
permukaan serta menyeret aku dan kakakku untuk
kembali mengalaminya sekali lagi.

"Karena hujan itu, bukan, Kak?" bisikku, "jika
hujan itu tak ada, Kakak tak akan pernah bekerja mati-
matian hanya untuk Lila."

Kakakku terpaku. Ia pasti masih ingat hari itu dan
sumpahnya yang kudengar setiap patah katanya saat dia
mengucapkannya keras-keras dalam hati. Gema
kenangan itu begitu kuat dan setiap pikiran yang terlintas
di benak kakakku saat itu dapat kudengar dengan jelas.

"Lila," kakakku akhirnya angkat bicara, "ini juga
bukan salah hujan."

"Itu salah hujan," suaraku tajam, merajuk. Aku
sadar penuh akan betapa konyolnya aku terdengar
sekarang. Namun rasa sakit tak tertahankan dalam
dadaku ini harus dilampiaskan.

"Lila, Kakak juga manusia. Dan manusia akan
pergi. Seperti ayah. Seperti ibu. Tidak ada yang bisa
disalahkan atas itu."

"Tapi karena hujan itu—"
"Mungkin memang itu sudah waktunya Kakak
untuk mengetahui mimpimu. Jika hujan itu tak ada, Kakak
tidak akan tahu kamu begitu ingin bersekolah."

21

"Tapi karena itu Kakak bekerja sangat keras dan
lebih keras dari yang mampu Kakak lakukan."

Dengan keras kepala, kakakku melanjutkan, "Jika
hujan itu tak ada, Kakak tak akan tahu ibu masih
mengkhawatirkan Kakak sampai detik terakhir hidupnya."

"Kak—” kataku, sesenggukan.
Air mataku mengalir deras. Aku mengerti maksud
kakakku. Mengingat dahulu, aku yang kecil bingung
ketika tak lagi menjumpai ibu dan bingung akan
kemarahan kakakku pada ibu. Kakakku mengatakan ibu
tak lagi mencintainya dan karena itu meninggalkannya.
Aku sekarang mengerti.
Lalu tubuh kakakku menjadi tembus pandang
seiring pemahaman menembus benakku. Kakakku
memelukku lagi, lembut, dan penuh kasih.
"Ini juga bukan salah hujan, Lila. Karena jika
hujan itu tidak ada, Kakak tak akan tahu betapa besar
kamu menyayangiku."

22

KACA BIASA
Angelica Rachel/9.7

“A-a-apa?! Pu-putus?” tanya seorang lelaki
yang kakinya tak kuasa menahan beban yang
dirasakannya. Seketika itu ia sudah berada di antara
pasir putih. Kepalanya menunduk ke bawah dan
melihat kaki sang pujaan hati perlahan-lahan
menjauh dan menjauh.

Setelah mengetahui bahwa kekasihnya bukan
lagi miliknya, ia mencoba menenangkan diri. Ia
mendengarkan suara ombak, suara burung berkicau, dan
lalu burung tersebut terdengar seperti sedang bernyanyi
dengan perasaan yang gembira. Ia mengadah ke atas
dan mendapatkan bahwa burung tersebut memiliki
kekasih di sebelahnya. Sungguh manis. Karena
diselimuti rasa cemburu, ia kembali fokus kepada lautan
biru di depannya. Ia melihat kembali tulisan
yang ditulisnya bersama mantan kekasihnya. Kenangan
yang indah, bukan? Namun, sayang sekali, ombak sudah

23

menyapu habis semua jejak itu. Seakan-akan alam pun
tidak pernah setuju dengan mereka.

Kejadian itu sebulan yang lalu. Rian Kesuma
Putta, lelaki yang kemarin malang itu sekarang berubah
menjadi semakin menyedihkan. Dahulu ia terkenal
karena prestasinya seperti kereta api yang tiada habis,
tetapi sekarang nihil. Di sekolah maupun di rumah tidak
ada yang berbeda; hanya berbeda tempat melamun.
Seribu cara sudah dicoba oleh kawan baiknya agar Rian
dapat kembali seperti dahulu. Namun tiada satu pun yang
berhasil. Kondisinya memburuk dan hidangan hanya
menjadi riasan di kamarnya. Dari fajar hingga senja ia
hanya dipenuhi rasa penyesalan.

‘Mengapa aku ga tahan dia, sih, bodoh banget,'
gumamnya dalam hati sembari memandang pemberian
mantan. Terdengar ketukan dari luar tetapi Rian tetap
tidak mempedulikannya. Tubuhnya kaku dan dunia
seakan berhenti. Seorang berambut panjang nan indah
memasuki ruangan lelaki tersebut dengan elegan. Bila itu
adalah sebuah acara fashion show, maka semua mata
bahkan kamera CCTV akan langsung tertuju kepada
wanita itu.

“Mama?! Mama kapan pulang?” tanya Rian. Ia
terkejut bukan main. Ibunya adalah seorang model yang

24

jarang sekali pulang. Sedangkan ayahnya adalah
seorang CEO sebuah perusahaan ternama. Kalau mau
dilihat dari sisi ekonomi, hidupnya sudah tak perlu
dikhawatirkan lagi. Uang sudah seperti mengikuti
mereka.

“Loh? Mama pulang kok kamu ga tahu?” tanya
sang ibunda dengan suaranya yang lembut.

“Mama sudah mendengar semuanya, Nak. Kalau
kamu tidak bersemangat, tidak ada perempuan yang
mau lengket sama kamu, ayo dong bersemangat!”
bujukan sang ibunda seperti kasa yang menutupi luka
hatinya. Ternyata selama ini yang dibutuhkan Rian
adalah kasih sayang dari keluarganya.

“Iya, Ma,” jawab Rian dengan senyum
paksaannya yang terlihat cukup serasi dengan mukanya
yang selalu murung itu. Sang ibunda dengan perlahan
keluar dari kamar yang seharga gunung emas. Mungkin
seorang berdarah biru pun tidak mempunyai kamar
semewah kamarnya. ‘Mama benar, sampai kapan aku
begini,' Rian memandang sekitarnya dan memutuskan
untuk membersihkan ruangan kamarnya terlebih dahulu.

“Huh,” desah Rian memulai kegiatannya. Lelaki
yang duduk di bangku putih abu-abu itu segera
menghampiri hamparan hadiah dari sang mantan. Satu

25

per satu dipilahnya dengan sangat hati-hati. Air mata pun
mulai berjatuhan tak henti dari mata Rian. Kenangan
yang dahulu manis juga sekarang mengitari otak Rian.
Tak terasa tiga jam berlalu. Sudah larut, tetapi hanya satu
per tiga yang sudah diseleksi Rian.

“Ini apa?” tanya Rian dengan pelan sambil
memegang cermin yang cantik di depannya. Aksen emas
membuat cermin ini menjadi lebih elegan. Dengan cepat
ia mengetahui bahwa itu adalah milik sang mantan. Ia
segera memikirkan cara untuk bersosialisasi dengan
mantannya.

Namun, tak ada ide yang cukup sempurna
menurutnya, maka ia memutuskan untuk menyimpannya
terlebih dahulu. 'Cantik sekali, ya,' gumam Rian sembari
tersenyum tipis. Sungguh sesuatu yang harus diperingati.
Sudah satu bulan senyuman tak pernah menghiasi wajah
Rian. Ia membuka kaca tersebut dan seketika asap
berwarna merah darah itu keluar dari kaca. Rian segera
mengucek matanya, 'Cermin macam apa ini?' benak
Rian.

“Eh, tapi aku ganteng juga,” kata Rian segera
bergaya depan cermin mungil itu. Yahh... andaikata baju
aku warnanya putih pasti keren,” kata Rian dengan pelan

26

dengan maksud agar tidak ada yang terbangun
mendengar suaranya.

Dengan sedih ia menutup kembali cermin kecil
itu. Tiba-tiba terasa guncangan kecil dari tubuhnya. Ia
kembali menunduk ke bawah.

“AAAAAAA,” teriak Rian seperti perempuan. “Ba-
ba-bajunya kok BEDAAAA?”

Melihat baju yang dikenakannya berbeda
membuatnya meloncat. Bagaimana tidak? Seperti ada
seorang peri yang mengayunkan tongkatnya dan
boom bajunya langsung berubah. Bibi yang tinggal
bersama keluarga itu pun segera naik dan menghampiri
Rian.

“Ada opo toh, Kak?” tanya Bi Ani, asisten pribadi
Rian. Bi Ani yang masih terengah-engah terlihat seperti
habis berlari maraton.

“Baju aku berubah sendiri, Bi!” jawab Rian.
Mulutnya terbuka lebar sepertinya gajah pun bisa
masuk.

“Bibi ingatkan tadi aku pakai baju warna hitam?”
tanya Rian. Ia masih tak percaya akan apa yang baru
saja terjadi.

27

“Ah, ora isolah, Kak. Kakak pasti sudah capai,
makanya bisa halusinasi gitu,” ujar bibi dengan logat
Jawa yang menjadi ciri khasnya.

‘Ah, engga mungkin tadi aku lihat sendiri, pakai
kedua mataku, udah ah aku mau tidur dulu biar besok
otakku fresh,' kata Rian dalam benaknya.

“Ya sudah, Bi, aku mau tidur,” kata Rian kepada
sang asisten.

Bibi segera meninggalkan majikannya sendiri.
Sinar mentari masuk ke dalam ruangan lelaki
muda nan cerdas itu. Terdengar suara bibi yang sedang
sibuk mempersiapkan makanan bagi tuannya. Entah api
apa yang menyambar semangat Rian hari ini. Suara toa
belum dibunyikan pun dia sudah mandi.
“Pagi, Bi!” kata Rian bersemangat.
“Pagi,” jawab Bi Ani. Ia tak sempat memberikan
senyuman sebab ia tak mau masakannya hangus begitu
saja. Tidak akan.
“Pagi, Mama!” kali ini Rian menyapa ibunya.
“Pagi, Nak.”
Mama yang sedang sibuk membaca majalah,
fokusnya langsung berpindah kepada sang buah hati.
‘Aneh, ya. Dia seperti telah memakan obat penambah
semangat,' benak mama sembari tersenyum. Wajar

28

mereka semua bingung semenjak hari itu. Jangankan
sapaan, senyuman saja enggan keluar dari muka sang
pemuda itu. Namun mereka mencoba untuk tidak
mempertanyakan hal itu kepada Rian secara terang-
terangan. Mereka takut menghancurkan semangatnya
detik itu juga.

Terdengar mesin mobil yang melaju dengan
kecepatan tinggi. Ketika sampai pada lokasi, Pak
Nanang, sopir pribadi keluarga Kesuma Putta, segera
membukakan pintu bagi sang pangeran keluarga.
Dengan tubuhnya yang atletis, ia segera turun dari
mobil. Semua mata dengan segera menuju kepadanya.
Gayanya, sorot matanya, tidak jauh berbeda dari gaya
dan sorot mata seorang pangeran.

Tetapi semuanya harus berhenti pada detik itu.
Triiiint triiiintt terdengar bel yang berbunyi kencang. Gaya
berjalannya yang tadinya slow-mo berubah menjadi
kontes berlari. Tidak ada yang mau keliling lapangan
sambil squat jump dan berteriak, 'Saya salah dan saya
tidak akan mengulanginya lagi, bukan?’ Malang sekali,
ternyata Rian harus masuk di antara anak yang akan
mengelilingi lapangan. Setelah meninggalkan sesi
pertama, ia meninggalkan kesan yang buruk bagi guru
barunya.

29

“Kemarin dapat kabar bahwa saya akan
mengajarkan anak terbaik dari sekolah ini, yang mana,
ya? Kok saya tidak lihat, ha…ha…ha…,” sindir sang guru
baru. Rian hanya melihatnya dengan tatapan tajam.
'Tunggu saja,' gumam Rian. Kemudian ia tersenyum.

Setelah Rian duduk, ia segera mengeluarkan
kaca yang menurutnya ajaib dan berkata dalam hati,
‘Robek celananya.' Ia menaruh kaca tersebut di bawah
meja, lalu mengarahkan kaca tersebut kepada sang guru,
dan menutupnya. Dalam beberapa detik, terdengar pada
murid perempuan berteriak.

“Pak! Celananya! AAAA!” Seketika kelas itu
dipenuhi oleh tertawaan dari murid lelaki dan teriakan
dari murid perempuan.

“Terus muka guru barunya merah banget!
Aha…ha…ha…haha,” kata Rian menceritakan kembali
kepada sohibnya akan apa yang terjadi di kelas.

“Keren, Bro! Pasti malu banget gurunya!
Ha…hah…haha,” suara tertawaan mereka terdengar
sampai ke koridor sekolah.

“Bro, itu!” Jason memberi tanda kepada Rian
bahwa Candice mantan kekasih tersayang, termanis,
tercantik, dan terbaik menurut Rian berada di
seberangnya. Dengan sigap ia membuka kaca tadi lalu

30

berkata dalam hati supaya make up yang lagi dipakai
Candice menjadi...

“AAAAAAAAA” teriakan ciri khas Candice dengan
cepat mencuri perhatian seluruh kantin. Tak sampai lima
detik, Candice sudah menjadi hot topic di sekolahnya.
Bagaimana tidak? Mukanya yang bak bidadari dalam
hitungan detik berubah menjadi monyet. Namun, itu
belum bisa menghapuskan goresan tajam di hati Rian.
Sungguh buntung, ia tak tahu akan apa yang akan terjadi
padanya nanti. Atau ini hanya dalam benak Rian?.

“Ini hanya permulaan, Sayang... HA..HA…HA..,”
teriak Rian diikuti tertawaannya yang kencang. Lampu
berwarna kuning hanya menjadi satu-satunya penerang
pada ruangan itu. Oksigen sangat terbatas di ruangan
mungil itu dan hanya terdapat ventilasi kecil di pojok
kanan. Lalu terdengar suara kaki dari dalam ruangan.
Rian bergegas meninggalkan ruangan itu. Ia berlari
sangat kencang dan mungkin binatang cheetah saja bisa
kalah. Secarik kertas dibawa tangan kirinya dengan
tangan kanannya yang masih berlumuran tinta. Rian
segera melemparkan diri ke arah kasurnya yang
sungguh lembut. Semangat Rian terpakai
habis semenjak tadi pagi. Bahkan menikmati cahaya
rembulan saja ia sudah tak sanggup. Satu langkah sudah

31

cukup membuat ia terjatuh. Keringat mengucuri tubuh
Rian tanpa henti diikuti dengan jantungnya yang
melompat ke sana kemari, membuat Rian sukar untuk
tidur. Matanya yang sudah memiliki kantong itu tak mau
menutup walaupun hanya lima menit saja.

Akhirnya ia bisa melewati malam yang sepertinya
tiada habis. Semangat membakar jiwanya. Ia bergegas
ke sekolah tempat ia akan “bermain” mengingat akan apa
yang akan dilakukannya. Rian kembali tertawa lepas.
Matanya sekarang semerah darah, kantungnya setebal
dan sehitam panda, dan keringatnya membuat ia terlihat
seperti baru keluar dari kamar mandi.

“Ini dia,” kata Rian sembari menatap dengan
mantap loker di depannya. Ditinggalkannyalah secarik
surat yang sudah dipersiapkannya semenjak kemarin.
Putih bersih loker itu ditambah warna merah muda yang
lembut sebagai dekorasi memang adalah ciri khas
seorang bidadari, bukan? Rian meninggalkan loker
tersebut dan berjalan menuju habitatnya.

Suara ribut terdengar sesaat setelah Rian
memasuki kerumunan itu. Ramai sekali dan bahkan lebih
bising dibanding kerumunan lebah. Oh, jangan harap
adanya budaya antre. Semua murid berlomba-lomba
mengisi perut masing-masing. Akhirnya Rian dapat

32

merasakan ketenangan versi dirinya yaitu duduk diam di
antara orang yang sedang beradu mulut.

Sebenarnya surat itu ditujukan kepada siapa?
Siapa lagi yang cocok kalau bukan bunga desa sekolah.
Atau bisa dikatakan bunga sekolah?

“Sebentar, ya, aku mau ambil buku di loker dulu,”
telinga mereka menyambut dengan baik suara lembut
milik Candice. Dengan langkahnya yang mungil akhirnya
ia sampai juga ke depan lokernya.

“Loh ini apa?’ gumam Candice. Ia membuka surat
yang asal usulnya tak diketahui itu. Surat itu menyatakan
dengan jelas bahwa seseorang ingin bertemu dengannya
di taman dekat rumahnya sore itu juga.

Angin meniup rok Candice. Mukanya yang putih
itu berubah menjadi merah tomat karena panasnya
cuaca pada saat itu. Setengah jam berlalu. Namun tidak
ada tanda kehadiran orang yang ditunggunya. Ia
kemudian duduk memandangi langit yang kian lama kian
gelap. Bersabar dan tetap tenang adalah sikap yang
berusaha dipertahankannya sejak tadi namun hatinya
tidak dapat berbohong. Ia sangat takut. Tidak tahu
sampai kapan ini akan berlanjut.

Langit sudah gelap. Hanya tersisa 20% baterai
yang dipunyanya. Ia kemudian berdiri dan menganggap

33

bahwa surat tadi adalah surat palsu dan kejadian ini tak
pernah terjadi sebelumnya. Dengan pasrah, ia
melangkah menjauh, satu langkah.. dua.. tiga.. empat..
lima... dan tiba-tiba terdengar suara rumput yang
bergoyang yang terdengar jelas dari telinga gadis manis
itu.

“Aaa... Siapa kamu?” teriak Candice. Ia sudah tak
peduli akan kesan tetangga-tetangganya terhadap
dirinya. Ia melihat cahaya keluar dari semak-semak tadi
dan dalam hitungan detik menghampirinya. Lalu
terdengar tertawaan yang sungguh kencang dari suara
yang tak asing pula. Ia benar, itu Rian. ‘Rian... Buat apa
ia datang?!’ gumam Candice. Mulutnya hampir saja jatuh
ke tanah melihat sebenarnya siapa tamu yang
ditunggunya itu. Ia berusaha untuk tetap tenang melihat
mantan kekasihnya yang tertawa tiada henti semenjak
kemunculannya, tetapi bagaimanapun juga ia tidak bisa
memungkiri fakta bahwa mukanya semakin pucat.
Kakinya yang mungil berusaha dengan pelan mundur. Air
mata dan keringat dingin berjatuhan dari tubuh mungil itu.

Candice dengan perlahan mundur sembari
melihat mantannya yang mulai melayang mengejarnya.
Namun siapa sangka tepat di belakang Candice terdapat
jalan buntu. Sudah habislah riwayat Candice. Rian yang

34

melihat Candice terjebak mulai tertawa lebih menjadi-
jadi. Rian tidak mau kehilangan kesempatannya yang
berharga itu. Dengan cepat ia mengurung Candice
masuk ke dalam kaca ajaib itu. Dibutuhkan lima detik
agar kaca itu dapat menangkap habis Candice. Tepat
pada detik ketiga, sebuah cermin kecil muncul dari
samping kanan Candice.

Aliran dari kaca ajaib itu tepat menyentuh kaca di
samping kanan Candice dan memantulkan aliran itu
kepada Rian. Dalam sekejap mata Rian sudah terjebak
dalam kaca. Teriakan dan pukulan dilontarkan Rian dari
dalam kaca. Tapi mau bagaimana ia tak bisa keluar. Ia
terjebak dalam perangkap yang telah dibuatnya sendiri.
Rian bertanya kepada Candice bagaimana ini semua
terjadi.

“Dari pertama kali aku memegang suratmu sudah
tertera jelas bahwa itu adalah darimu. Tulisanmu
mungkin berbeda, tapi tidakkah kamu sadar di bawah
kanan suratmu tercetak jelas logo bisnis keluargamu.
Sejak riasanku berubah aku sadar bahwa itu adalah kaca
ajaibku yang tertinggal padamu. Aku juga sadar akan
bahaya yang akan menimpaku sehingga aku
mempersiapkan kaca di hampir setiap tempat di mana
kamu ingin bertemu,” jelas Candice.

35

Semenjak saat itu, Rian tidak pernah
mengganggu Candice karena ia terjebak dalam kaca
tentunya. Orang tua Rian hanya mendapatkan kaca yang
berisi anaknya itu sebagai bingkisan akan apa yang telah
Rian perbuat. Karena Rian sendiri yang membuat
kutukan itu bertahan dua puluh tahun lamanya maka ia
harus menanggung semuanya. Jadi, janganlah berniat
membuat seseorang celaka sebab akibatnya dapat
kembali kepadamu.

36

PERSAHABATAN DI BAWAH POHON EK

Antonia/9.4

Suara daun kering terinjak-injak sepatu di

atas rerumputan yang terdengar kecil laksana

bisikan angin. Sepasang sepatu itu terus

menyusuri rerumputan. terus
Srek….srek….srek.....terdengar

suara sepatu di atas rumput. Terlihat suasana

senja di sebuah taman yang terisolasi.

Tidak seperti taman lain yang dipenuhi
bisingnya suara riang bocah-bocah bermain, di
taman ini suasananya sunyi senyap bagaikan berdiri
di kuburan tua. Hembusan angin menerbangkan
helaian daun-daun mati.

Angin berteriak kecil secara periodik. Bila
dilihat dengan baik, di bawah lebatnya pohon ek,
duduk seorang bocah berambut pirang lusuh yang
duduk bertekuk lutut dengan kedua tangan

37

merangkul lututnya dan kepala tertunduk. Anak itu
meringkukkan tubuhnya agar tampak kecil seakan ia
sedang mencoba untuk menyembunyikan dirinya
dari perih dunia. Saat mendengar ketukan kecil
sepatu, anak itu tiba-tiba langsung berdiri dan
mukanya yang tadi tidak terlihat sekarang
melukiskan ekspresi bahagia. Segera bocah itu lari
ke arah sumber suara. Dalam genggaman
tangannya terlihat selembar kertas lusuh yang
seperti sudah diremas berulang kali.

“Percival!” seru si bocah dengan antusias.
“Lihatlah nilaiku!” kertas lecek itu digoyang-
goyangkannya ke atas.

Dari beberapa jarak, terlihat seorang pemuda
berusia remaja yang memakai seragam sekolah
Inggris tahun 1920-an yang rapi. Ia berjalan dengan
tegap dan percaya diri sambil menunjukkan
pembawaannya yang berpendidikan dan
berkarisma. Senyum yang terlukis di muka
tampannya membuat bocah itu semakin antusias.

38

“Lihatlah! Nilai ujian matematikaku 100!”
teriak si bocah.

Pemuda yang bernama Percival itu terus
tersenyum lembut, “Sini, biarkan aku lihat kertas
ulanganmu dengan lebih jelas.” Lembaran kertas itu
dicoba untuk dipegangnya, tetapi tidak sekali pun
Percival berhasil untuk memegangnya. Raut muka
pemuda terlihat kecewa, tetapi hal aneh itu tidak
dihiraukan oleh si bocah. Ia tetap dengan antusias
mencoba agar Percival dapat melihat dengan lebih
jelas kertas ulangannya. Ia menyuruh si pemuda
untuk jongkok dan melihat kertas tersebut. Pujian-
pujian yang diberikan Percival seakan-akan mengisi
jiwa kebahagiaan anak itu.

“Apakah kamu sudah memperlihatkannya ke
orang tuamu, Thomas?” tanya Percival.

Thomas menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Belum, Mum dan Dad jarang sekali di rumah. Hanya
ada Nanny Bathilda, tetapi ia sungguh
membosankan! Ia tidak pernah bermain denganku
dan selalu saja berceramah. Rumah terasa sama

39

saja seperti penjara, aku selalu berdoa agar bisa
melarikan diri.”

Dahi Percival mengerut dan mata tajamnya
menatap Thomas dengan serius. Masih dalam
posisi jongkok, ia menggenggam pundak kecil
Thomas. Thomas bisa merasakan dingin bagai es
setiap kali Percival menyentuhnya. “Hei, Thomas.
Kamu anak yang hebat, jangan biarkan pendapat
orang lain----orang lain yang ignorant untuk
menjatuhkan kepercayaan dirimu dan
menghilangkan kebahagiaanmu, ok? It’s not worth
it.”

Thomas hanya bisa bengong mendengarkan
perkataan Percival. Karena usianya yang masih
muda sekali, terkadang ia masih belum mengerti
perkataan-perkataan yang diucapkan oleh Percival.
Tidak tahu untuk menjawab apa, ia hanya
mengangguk. Percival sepertinya senang dengan
reaksinya. Jadi Thomas merasa itu adalah pilihan
jawaban yang tepat.

Tiba-tiba, bel kota bernyanyi nyaring,
memberitahu hari sudah pukul 06.00 sore.

40

“Sepertinya sudah waktumu untuk pulang,” ujar
Percival. Mata Thomas yang tadinya berbinar-binar
sekarang penuh dengan rasa sedih. Ia selalu sedih
saat mendengar nyanyian bel kota karena suara itu
berarti bahwa ia harus berpisah dengan teman satu-
satunya. Beberapa minggu yang lalu, Thomas
pernah bersikeras tidak mau pulang agar tetap bisa
bersama Percival, tetapi hal yang terjadi sehabis itu
sangat mengecewakannya.

Saat itu, Dad menemukannya di taman pada
pukul 08.00 malam. Ia diseret pulang. Ia beralasan
bahwa ia aman karena Percival selalu menjaganya,
tetapi Dad hanya melihat ke belakang dengan wajah
bingung. Ia bilang tidak melihat siapa pun di situ
walaupun Thomas bisa dengan jelas melihat
Percival yang sedang berdiri di dekat pohon ek.
Thomas merasa itu hanya ulah Dad yang
membohonginya supaya Thomas mau pulang.

Sepanjang perjalanan ke rumah, Thomas
habis dimarahi oleh Dad. Saat sampai di rumah, ia
juga dimarahi lagi oleh Mum dan Nanny Bathilda.
Maka dari itu, Thomas selalu mengusahakan untuk

41

pulang tepat waktu. Tidak peduli betapa sedihnya ia
meninggalkan Percival.

Thomas lari secepat kilat menyusuri jalan
menuju rumahnya. Kota kecil Malmesbury penuh
dengan bangunan-bangunan kuno dari batu dan
kayu yang masih terpelihara. Walaupun sudah
senja, masih banyak anak seumuran Thomas yang
bermain di depan rumah mereka. Orang tua dari
anak-anak tersebut tidak terlalu khawatir akan
keselamatan anak mereka. Alasannya karena di
kota kecil seperti Malmesbury, lingkungan
masyarakatnya pun tidak banyak dan saling
mengenal satu sama lain. Thomas yakin kota
kebanggaannya itu adalah salah satu kota teraman
di Britania Raya.

“Hei, lihat! Itu si Looney-Thomas!”
Mendengar namanya dicemooh, Thomas
seketika berhenti berjalan. Rupanya teman-teman
dari sekolahnya yang menyerukan kata-kata
tersebut. Tidak jarang mereka mencemooh dan
menjelek-jelekkan Thomas. Mereka merasa
Thomas itu “aneh” karena selalu menolak bermain

42

dengan alasan bahwa ia harus pergi menemui
teman baiknya di Taman St. Bernadette.

Meskipun Thomas ingin sekali untuk
membalas dengan kata-kata menusuk, ia menahan
dirinya dan lanjut berjalan dengan raut muka kecut.

Anak-anak itu terus tertawa.
“Pulang dari menemui ‘teman’mu itu, ya?”
seru seorang dari mereka.
“Memangnya ‘Percival’ beneran ada?
Kemarin aku dan Jess pergi ke Taman St.
Bernadette untuk mencarinya, tetapi tidak ada siapa
pun! Apakah Looney-Thomas sebegitu kesepiannya
sampai membuat-buat cerita tentang teman baiknya
ini?” seorang lain mencibir dengan lantang.
Thomas sampai di rumah dengan perasaan
yang kacau. Anak-anak itu memang keterlaluan! Ia
tidak habis pikir mengapa anak-anak itu selalu
mengejeknya!
“Thomas!” suara lantang Nanny Bathilda
bergetar kencang. Suara entakan kaki semakin lama
semakin jelas. Tak lama kemudian, Nanny Bathilda
muncul dengan mukanya yang geram (Thomas ingin

43

tahu kapan muka Nanny Bathilda tidak geram).
Nanny yang sudah menjaganya semenjak kecil itu
beraut muka tajam dengan hidung mancung yang
bengkok dan kerutan dahi yang sepertinya sudah
menetap secara permanen.

“Mengapa kau telat sekali kembali? 10 menit
lagi dan Nanny akan pergi mencarimu! Kamu ke
Taman St. Bernadette lagi, ya?” tanya Nanny
Bathilda dengan tegas, “sini, berikan jaketmu, akan
kugantung!”

“Aku tidak telat pulang, kok. Saat pukul 6 pas
aku langsung bergegas pulang,” ketus Thomas.
Nanny Bathilda hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya dan mulai menggerutu tentang
bagaimana sikap anak-anak sekarang berbeda jauh
dengan sikap anak-anak sewaktu ia masih muda.

“Apakah hari ini Mum dan Dad akan pulang?
Sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka. Aku
rindu cerita fabel yang sering Mum kisahkan agar
aku tertidur lelap,” isak Thomas.

Orang tuanya jarang sekali pulang ke rumah
karena terlalu sibuk mengejar karir. Tetapi setiap kali

44

mereka pulang, bukannya menghabiskan waktu
keluarga bersamanya, malahan tidak jarang sekali
Thomas diceramahi tentang pentingnya nilai
akademis dan sikapnya. Menurut Mum dan Dad,
nama keluarga adalah sesuatu yang harus dijaga
dengan sungguh-sungguh. Thomas jenuh
mendengar perkataan yang sama diulang-ulang
terus oleh keluarganya. Ini alasan mengapa ia suka
sekali pergi menemui Percival di Taman St.
Bernadette. Bagaikan ada beban tidak terlihat yang
terangkat dari bahunya setiap ia menemui Percy.

Nanny Bathilda menatap Thomas denan iba.
Menurutnya anak berumur delapan tahun
seharusnya berada dekat dengan orang tuanya.

“Berita baik, Thomas. Tadi siang, aku
mendapat telpon bahwa mereka akan pulang hari ini
pada pukul 11.00 malam,” ujar Nanny Bathilda
sambil menepuk-nepuk rambut pirang Thomas yang
bentuknya mirip sebuah sarang burung.

“Pukul 11.00?!” teriak Thomas. “Aku sudah
harus tidur pada pukul 09.00. Bagaimana aku bisa
menyambut Mum dan Dad saat mereka pulang?”

45

“Jangan khawatir. Kamu bisa menyambut
mereka keesokan pagi,” cetus Nanny Bathilda.
“Untuk sekarang, cepat mandi dan segera pergi
tidur,” pintanya.

Pukul 09.00 tepat, Thomas sudah terselimuti
rapi di atas ranjang. Biasanya jam segini ia sudah
tertidur lelap, tetapi malam ini ia hanya bisa menatap
kosong langit kamarnya. Thomas menghabiskan
banyak waktu hanya melihat-lihat ruang kamarnya
yang sedang dimandikan oleh lembutnya cahaya
bulan dan memejamkan matanya agar rasa lelap
bisa cepat datang.

Tiba-tiba terdengar suara pintu depan dibuka
yang diikuti dengan suara koper yang diseret di atas
lantai kayu. Thomas buru-buru mendekati celah
kecil pintunya untuk melihat Mum dan Dad. Ia bisa
melihat Mum dan Dad duduk kelelahan di atas sofa.
Tidak lama kemudian, Nanny Bathilda datang dari
arah dapur membawa dua gelas air hangat.

Thomas sedang mempertimbangkan apabila
ia menyambut Mum dan Dad sekarang saja. Sudah

46

lama mereka tidak bertemu dan Thomas sangat
merindukan pelukan mereka.

Sebelum bisa memutuskan, ia mendengar
Dad berbicara dengan Nanny Bathilda
menggunakan suara yang berbisik. Thomas
mendekatkan telinganya lebih dekat ke celah pintu
dan kantuk hilang terkalahkan oleh rasa ingin tahu.

“Bagaimana kabar Thomas? Apakah Thomas
masih sering pergi ke taman sepi itu untuk menemui
‘Percival’ ini, Bathilda?” ujar Dad dengan cemas.

“Hampir setiap hari ia pergi ke taman itu.
Saya sangat ingin melarangnya, tetapi hati ini tidak
tega melarangnya. Ia selalu terlihat bahagia
sepulang menemui ‘Percival’ ini. Saya tidak ingin
merampas kebahagiaan itu darinya. Saya dengar
Thomas tidak rukun dengan anak-anak seumurnya.
Remaja di taman itulah satu-satunya teman yang
dimilikinya,” kata Bathilda yang juga terlihat resah.
‘Apakah yang salah dengan pergi menemui
Percival?’ tanya Thomas di dalam hatinya.

“Fakta yang aneh bahwa satu-satunya teman
buah hatiku adalah seorang remaja, tetapi yang

47

lebih meresahkan adalah fakta bahwa tidak ada
siapa pun di kota kita yang bernama ‘Percival’.
Sudah beberapa kali saya bertanya kepada
tetangga sekitar, tetapi semua jawabannya sama.
Bagaimana jika ‘Percival’ ini ingin menyakiti
Thomas?” keluh Dad dengan muka yang sangat
resah.

“Kami khawatir akan keselamatan Thomas,”
angguk Mum. “Akan sangat membantu bila Thomas
lebih banyak berbicara dengan kami....”

‘Bagaimana aku bisa berbicara dengan Mum
and Dad bila mereka menghabiskan semua waktu
yang ada untuk menceramahiku?’ Thomas berkata
di dalam hatinya. Ia sungguh bingung mengapa
ketiga orang dewasa tersebut terlihat sangat cemas.
Percival tidak mungkin ingin menyakitinya.

“Saya merasa Thomas menganggap taman
itu sebagai tempat ia bisa bebas,” Nanny Bathilda
berkata dengan prihatin.

Secara serempak muka Mum dan Dad
berubah khawatir. Tidak pernah Thomas melihat

48

muka kedua orang tuanya begitu khawatir. Apa yang
sedang terjadi?

Ketiga orang dewasa tersebut diam untuk
beberapa saat sebelum Mum berkata, “Bathilda,
apakah menurutmu kami terlalu menekan Thomas?”

Nanny Bathilda terlihat seperti memikirkan
jawaban yang baik, “Kita berharap yang terbaik
untuk Thomas, tetapi saya merasa kalau menurut
Thomas, ekspektasi kita menjadi beban. Selain
menjadi anak emas di sekolahnya, ia juga anak yang
sangat mandiri. Tetapi bagaimanapun, Thomas
masih bocah berumur 8 tahun.”

Suasana menjadi sunyi lagi. Mum dan Dad
seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi dilema
terlihat transparan pada ekspresi mereka.

“Kami sedang merencanakan agar Thomas
pindah ke London bersama kami,” ungkap Mum.

“Iya, Thomas bisa pergi ke sekolah ternama
dan kami pun bisa mengawasinya dengan lebih
baik,” ujar Dad.

Thomas tidak mendengar kelanjutan dari
percakapan itu karena Mum dan Dad sudah berjalan

49

menuju kamar mereka. Sampai matahari merangkak
ke atas langit, menandakan datangnya hari yang
baru, Thomas hanya bisa memikirkan satu hal.
Apakah ini artinya ia harus berpisah dengan
Percival?

Keesokan pagi, Mum dan Dad
memberitahukan kepada Thomas rencana mereka
untuk pindah secara permanen. Mereka menduga
Thomas akan marah dan melawan, tetapi Thomas
hanya mengangguk dan melanjutkan aktivitasnya.

“Kamu akan pindah?” tanya Percival dengan
mulut ternganga. Seperti biasa, mereka berdua
sedang duduk di bawah pohon ek Taman St.
Bernadette. Percival, dengan pakaiannya yang rapi,
duduk menyandarkan diri pada pohon, sedangkan
Thomas berbaring di rumput dengan pose bintang
laut.

Setelah bel sekolah yang menandakan
selesainya pelajaran berbunyi, Thomas langsung
lari secepat kilat ke Taman St. Bernadette dan tidak
sabar untuk menemui teman baiknya. Lagipula, sisa
waktu yang dimilikinya dengan Percy, terbatas.

50


Click to View FlipBook Version