TERLUPAKAN,
SANATORIUM DAGO DAN
KETERKAITANNYA
DENGAN PALANG MERAH
INDONESIA CABANG
BANDUNG
OLEH : MERRIANA LISTIANDARI
Tidak banyak yang tahu, bahwa di kawasan Dago atas pernah
terdapat sebuah kompleks sanatorium, untuk merawat pasien paru-
paru. Rata-rata orang hanya tahu bahwa sanatorium di Bandung,
yang didirikan di zaman Hindia Belanda hanyalah sanatorium
Tjipaganti, atau kemudian dikenal sebagai Sanatorium Solsana, yang
merupakan cikal bakal Rumah Sakit Khusus Paru Dr.H.A.Rotinsulu,
di daerah Ciumbuleuit.
Tidak ditemukan dokumen resmi yang mencatat tentang kapan
sanatorium Dago, berdiri. Karena, setelah didirikannya rumah
peristirahatan seorang juragan perkebunan kopi, Andre Van Der
Brun sekitar tahun 1905, tidak ada catatan resmi tentang kapan
kawasan Dago Heuvel atau Bukit dago dijadikan sebagai kawasan
perumahan bahkan area bisnis.
Namun, dalam Koran Het Niews Van Den Hag, Selasa, 22 Juli 1930
melaporkan, bahwa ada sebuah rencana besar untuk mendirikan
sebuah pemukiman berkelas dengan rumah berarsitektur moderen
dan tahan terhadap cuaca dingin, oleh Insinyur Voorhoeve. Senada
dengan harian tersebut, harian lain yaitu, De Indische Courant, pada
tanggal yang sama, 4 Agustus 1930 menguatkan berita tersebut.
Harian Het Niews Van Den Hag, Selasa, 22 Juli 1930
De Nieuwe Vorstealanden, Senin, 4 Agustus 1930, mengabarkan
bahwa rencana pembangunan Sanatorium di kawasan Dago Heuvel
sempat ditunda untuk dilaksanakan, hal tersebut justru karena
pihak pengembang, dalam hal ini Ny.Dr. Schelts Van Kloosterhuis-
Houtman, beserta sejawat-sejawatnya ingin membangun sebuah
sanatorium yang jauh lebih besar dan dengan fasilitas yang
moderen dan jauh lebih lengkap.
Kompleks sanatorium Dago, tidak bisa dibayangkan sebagai tempat
perawatan orang sakit seperti biasa. Alih-alih seperti bangunan
rumah sakit pada umumnya, yang merupakan selasar panjang
dimana di kiri kanannya terbentang kamar-kamar perawatan.
Kompleks sanatorium tersebut, adalah sebuah lahan yang sangat
luas, dimana diatasnya didirikan rumah-rumah indah dan nyaman
di zamannya, berarsitektur gothic dan art-deco seperti karakteristik
rumah-rumah Belanda lainnya di kawasan Dago.
Jalan Dago Zaman Hindia Belanda, Photo by Google
Gambaran tentang kondisi kompleks sanatorium tersebut,
terkonfirmasi dalam sebuah berita pada harian Het Niews Van Den
Hag, Rabu, 6 Januari 1932 yang memberitakan bahwa, Ny.Dr. Schelts
Van Kloosterhuis-Houtman telah mendirikan sebuah sanatorium di
kawasan Dago Heuveldengan sebelas bangunan milik Ny.Dr. Schelts
Van Kloostehuis- Houtman, pribadi. Sebuah kompleks sanatorium
yang dilengkapi dengan lapangan tennis, kolam renang, kawasan
hutan pinus untuk para penderita penyakit paru-paru yang harus
mendapatkan perawatan sinar matahari yang baik.
Het Niews Van Den Hag, Rabu, 6 Januari 1932
Dr.Djudjunan Setiakusumah Berpidato
Dalam Acara Dies Natalis PMI Tahun 1954
Tidak banyak tau bahwa Sanatorium ini memang sangat erat
kaitannya dengan PMI Cabang Kota Bandung. Menurut H.Suganda
Permana, 75 tahun, seorang pensiunan humas, kantor PMI Cabang
KotaBandung, menuturkan bahwa, kompleks bekas sanatorium ini
mulai resmi digunakan sebagai kompleks perumahan karyawan
PMI sejak tahun 1964 “ada sekitar 12 bangunan yang siap huni, dua
bangunan sudah dihuni terlebih dahulu.
Namun sejak kapan tahun pastinya saya tidak terlalu ingat.
Namun seiring dengan kondisi politik yang terus berubah pasca
proklamasi kemerdekaan, sangat masuk akal dimana sanatorium
yang awal pendiriannya diperuntukan untuk masyarakat umum
itupun, pada akhirnya berubah fungsi menjadi sanatorium militer
Markas Nerkai yang Diserahkan
Kepada PMI, Jl. Aceh No.79 Bandung
Kini, kompleks yang menyimpan sejarah panjang tentang
keberadaan sebuah sanatorium peninggalan Hindia Belanda, dan
memiliki hubungan erat dengan sebuah organisasi kemanusiaan
yang banyak mengambil peran penting dalam sejarah perjuangan
bangsa itupun, sayangnya harus mengalah karena tuntutan zaman.
Lahan Bekas Rumah Banjarnegara,
Dokumen Pribadi
Rumah Banjarnegara, Dokumen
PMI Kota Bandung