The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by muhnasirpariusamahu, 2021-08-14 04:45:45

kau, aku dan sepucuk angpau merah

angpau merah, tere liye

Keywords: tere liye,kau, aku dan sepucuk angpau merah

Abang pastilah bertanya-tanya, siapa yang telah mengirimkan
surat bersampul merah ini. Perkenalkan, namaku Mei, aku dulu
dibesarkan di Pontianak, hingga usia dua belas, sebelum pindah ke
Surabaya. Abang pastilah tidak mengenalku, tetapi aku amat
mengenal Abang, bahkan jauh-jauh hari sebelum aku magang di
sekolah yayasan.

Abang tahu, berminggu-minggu aku sengaja naik sepit, dan
selalu berharap naik sepit yang Abang kemudikan. Aku berkali-kali
ingin menyapa, tapi itu ternyata tidak mudah dilakukan. Bibir
selalu kelu memulainya, tangan terasa kaku dijulurkan, jadilah aku
lebih banyak diam, menatap sembunyi-sembunyi. Sejujurnya, bah­
kan kenapa aku memilih magang di kota ini, karena ingin bertemu
Abang. Sayangnya, setelah ber­temu, setelah jarak kita begitu dekat,
aku malah tidak kunjung berani menyapa Abang.

Bibi, orang yang mengasuhku sejak kecil, akhirnya menyaran­kan
agar aku menulis sepucuk surat untuk Abang. Saran Bibi, jika aku
juga tidak berani menyerahkannya secara langsung, ja­tuh­kan saja
di dasar sepit yang Abang kemudikan, Abang pasti menemukannya,
dan berdoalah Abang akan membacanya. Maka, inilah surat itu.
Aku berharap, sungguh berdoa, semoga setelah Abang membaca
surat ini, Abang tidak membenci keluarga kami, tidak membenci
Mama, tidak membenci Mei. Maafkan keluarga kami, Abang.

Kami dulu tinggal di Pontianak, Abang. Mamaku dokter, dia
juga salah satu pendiri yayasan, pengelola kompleks sekolah tempat
aku magang. Sedangkan Papa, dia sibuk dengan bisnis­nya. Aku
ingat sekali, masa kanak-kanak yang menyenang­kan. Aku dulu
nakal, sembunyi-sembunyi membawa boat Papa, berkelahi dengan
anak sekolah lain, bahkan mencuri mangga. Tapi itu masa-masa
yang menyenangkan. Selalu ada Mama yang membelaku.

499

Mama adalah segalanya bagiku. Dia cantik dan pintar. Dia
selalu membelikan buku-buku yang bagus. Kata Mama, ’Berikan­lah
hadiah buku kepada seseorang yang amat kauhargai.’ Mama selalu
menemaniku beranjak tidur, selalu memasakkan makanan yang
enak. Hanya satu yang Mama larang dariku, memakan cokelat,
permen, dan yang manis-manis. Di luar itu boleh. Dia segalanya
bagiku. Hingga usiaku 12 tahun.

Aku sungguh tidak tahu apa yang telah terjadi, tiba-tiba
Mama jadi pendiam. Mama sering ditemukan melamun sendiri­
an, menangis sendirian, dan berteriak-teriak tanpa alasan. Hanya
soal waktu, Mama jatuh sakit tanpa penjelasan. Sakit ber­ke­
panjangan, berbulan-bulan. Tubuhnya jadi kurus kering, wajah­
nya pucat, rambutnya rontok. Aku sedih sekali melihat wajah
tirus Mama, tubuh lemahnya, tapi tidak mengerti apa yang telah
terjadi. Enam bulan Mama jatuh sakit, tidak kunjung sembuh,
Papa memutuskan pindah ke Surabaya. Keluarga besar kami
pindah. Semua dikemasi, tidak ada yang tersisa, kecuali Bibi
yang tinggal, merawat rumah di Pontianak. Aku bahkan tidak
sempat berpamitan dan bilang ke teman-teman kenapa pindah.
Semua alasannya gelap.

Hilang sudah masa kanak-kanakku yang menyenangkan. Hari-
hariku lebih banyak dihabiskan menyaksikan tubuh Mama yang
semakin layu, melihat Mama yang semakin tidak dikenali. Sakit
Mama lama sekali, bertahun-tahun, hampir tiga tahun, hingga
Mama pergi selama-lamanya. Aku sungguh tidak tahu Mama sakit
apa. Papa bilang, Mama baik-baik saja. Dari menguping percakapan
dokter, mereka bilang Mama depresi berat, memikul beban perasaan
yang terlalu berat. Aku tidak me­ngerti, bukankah Mama selama di
Pontianak terlihat amat baha­gia? Apanya yang membuat Mama

500

depresi hingga fisiknya ikut sakit sedemikian rupa? Hingga kami
harus pindah dari sana.

Setahun silam, persis pada lima tahun peringatan kepergian
Mama, Bibi mengirimkan kardus buku milik Mama yang ter­tinggal
di Pontianak. Kupikir itu hanya koleksi buku biasa, ter­nyata tidak,
Aku menemukan buku harian Mama terselip di dalamnya. Catatan
Mama beberapa bulan sebelum dia sering ditemukan melamun
sendirian.

Abang, sungguh maafkan keluarga kami. Maafkan Mama yang
telah menyakiti keluarga Abang.

Ternyata Mama adalah dokter yang melakukan operasi jantung
dini hari itu.

Mama-lah yang memutuskan apakah bapak Abang Borno telah
meninggal atau belum secara medis. Mama yang mem­bedah dada
bapak Abang Borno. Dari catatan harian itu, aku tahu, operasi itu
seharusnya tidak pernah dilakukan. Mama dibutakan dengan
”prestasi”, ”tinta emas”, dan sejenis itulah jika dia berhasil. Mama
sebenarnya tidak pernah yakin, bahkan dari catatan itu, Mama
mengaku dia bisa saja menyelamatkan bapak Abang Borno, tapi
dia me­mutuskan sebaliknya, operasi itu harus dilakukan.

Itulah yang membuat Mama tiba-tiba berubah. Saat melihat
Abang Borno menangis sendirian di lorong rumah sakit, saat
melihat ibu Abang Borno berusaha memeluk Abang, kesadaran itu
datang. Sungguh, apa hak Mama mengambil kehidupan sese­orang,
lantas memberikannya ke orang lain? Apa hak Mama membuat
keluarga Abang kehilangan seseorang yang amat kalian cintai?
Itulah penjelasan yang terlambat datang, ditulis berkali-kali di buku
harian Mama. Sejak saat itu, kondisi Mama mem­buruk dan
fisiknya menyusul jatuh sakit. Papa akhirnya me­mutus­kan pindah

501

ke Surabaya, berharap penyesalan tentang ope­rasi itu berkurang
sedikit.

Sia-sia, kondisi Mama terus memburuk. Itu sungguh masa
paling sulit bagi keluarga kami, Abang. Aku besar dengan seluruh
kesedihan, menyaksikan Mama terbaring di ranjang selama tiga
tahun. Tetapi itu mungkin harga yang pantas, hu­kum­an yang harus
kami terima, karena keluarga Abang lebih menderita lagi, dan
kamilah penyebabnya.

Setelah membaca buku harian Mama, aku memutuskan untuk
menemui Abang.

Aku sengaja magang di sekolah milik yayasan, kembali ke
Pontianak. Papa melarangku, tapi keputusanku sudah bulat. Aku
tidak bisa mengembalikan situasi, sama sekali tidak bisa, tapi aku
sungguh berharap bisa menyapa Abang Borno. Aku tidak berharap
banyak, hanya ingin menyapa. Abang bisa jadi malah membenci
kami. Tetapi tidak mengapa, setidaknya aku me­nyampaikan
permintaan maaf Mama yang tidak pernah ter­sampaikan. Sungguh
maafkan Mama, Abang. Maafkan aku. Sungguh maafkan
kesalahan besar keluarga kami.

Dari Mei.

Tanganku gemetar, dua lembar surat Mei terlepas.
Ya Tuhan, aku sama sekali tidak menduga isi surat ini akan
seperti itu.
Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata
walau sedetik.
Semua kenangan berebut kembali di kepalaku. Kenangan saat
pertama kali menemukan angpau ini, Mei yang menyapa di
dermaga kayu, bilang apakah aku sudah menerima angpau. Mei

502

saat belajar sepit, hampir jatuh terjengkang. Saat kami diteriaki
Bang Togar dan pengemudi sepit makan di restoran terapung.
Mata berkaca-kacanya saat kami mengunjungi kediaman si Fulan
dan si Fulani. Seruan senangnya saat bertemu di klinik alternatif.
Wajahnya saat meminta aku berhenti menemuinya, wajahnya di
bandara saat pergi. Semuanya kembali menjalin seluruh kejadian
dengan pemahaman yang baru.

Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata
walau sedetik.

503



Epilog

”MAJU satu sepit lagi!” petugas timer macam rocker kelas

kampung berteriak lantang. ”Woi, Borno! Majulah sepit kau
itu!”

Jauhari, yang antreannya persis di sebelahku, memukul din­
ding sepitku, ikut mengingatkan.

Aku meletakkan buku—tanggung sekali, tinggal satu halaman
lagi. Aku menarik tuas mesin. Kipas propeler berputar cepat.
Gelembung air muncrat ke permukaan sungai. Sepitku anggun
merapat ke bibir dermaga.

”Kapan ujian semesteran kau, Borno?”
”Minggu depan, Om.”
”Buat apa lagi kau belajar? Bukankah kau sudah tahu semua
tentang mesin?”
Aku menyengir, tidak menjawab.
”Di mana bengkel kedua kau itu, Borno?” Petugas timer meng­
ajak mengobrol santai, sambil menunggu penumpang selesai du­
duk rapi di sepitku.

”Di dekat perempatan Jalan Sudirman, Om.”
”Astaga.” Petugas timer menepuk dinding perahu. ”Itu jalan
paling besar di kota Pontianak, Borno. Maju sekali bisnis kau
sekarang. Bukan main! Bangga sekali aku, masih bisa meneriaki
kau.”
Aku tertawa, menunjuk deretan papan melintang di perahu
yang sudah penuh.
”Nah, Borno. Sepit kau sudah penuh. Jalanlah.” Petugas timer
meng­angguk, berdiri. ”Woi, Jau, maju sepit kau. Jangan kebanyak­
an mengupil kau.”
Aku menarik pedal gas. Matahari pagi bersinar hangat.
Payung-payung yang dibawa gadis-gadis di atas sepit terkembang
lebar, membuat meriah pemandangan. Ini pagi yang indah, di
kota yang indah, pagi kesekian puluh ribu kali sejak si hantu
Ponti ditaklukkan.
Aku tersenyum, sepitku melaju cepat, membelah Sungai
Kapuas.

***

Apakah aku tetap menemui Mei, enam bulan lalu?
Aku bahkan berangkat ke Surabaya dengan penerbangan per­

tama. Lantas menumpang taksi, menuju rumah besar itu. Belum
tidur, belum makan, bahkan belum mandi sejak aku membaca
surat dalam angpau merah.

Mei terbaring lemah saat aku melangkah masuk ke kamarnya,
diantar salah satu perawat. Tubuhnya kurus. Wajah­nya pucat.
Rambutnya rontok. Dia tergugu melihatku.

Sambil menahan air mata agar tidak tumpah, aku lembut

506

memegang jemarinya. ”Kau tahu, Mei. Dulu aku pernah
bertanya pada Pak Tua, ‘Kalau untuk Andi, Pak Tua punya
kalimat bijak dan cerita hebat cinta yang cocok baginya, lantas
untukku, apakah Pak Tua juga punya?’ Pak Tua tersenyum,
menepuk bahuku, ‘Tentu ada, Borno. Tentu ada. Tapi aku akan
membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat bijak itu, kau
sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang
seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan
sederhana, maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk
yang amat berbeda, amat me­nakjubkan.’ Kau tahu, Mei. Hari ini
aku mengerti kalimat Pak Tua.

”Aku berjanji akan selalu mencintai kau, Mei. Bahkan walau
aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali,
tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apa
pun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, meng­
hinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan
selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya
janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian
Kapuas, maka siapa lagi yang bisa kaupercaya?”

Mei menangis bahagia mendengar kalimat itu.
Sejak hari itu, tidak ada lagi sendu nan misterius di wajahnya.
Dia sama riangnya dengan seluruh gadis di Pontianak, tempat
dia kembali mengajar.

507



Tentang Pengarang

Penulis dapat dihubungi melalui:
E-mail: [email protected]

Facebook: Darwis Tere Liye
atau

darwisdarwis.multiply.com dan tbodelisa.blogspot.com



Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku,
dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa.

Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa
depan yang lebih baik.

Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih
sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun.
Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar
perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak
pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau

entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih
dikepang dua.

Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah
menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah...
Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak

pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai
pohonnya.

GRAMEDIA penerbit buku utama

Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajah­
nya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir
kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas
menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga pada­
nya?

Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan
dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang
justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah
tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan
rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelas­
kan­nya.

Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba
di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah
kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat
mengatakannya.

GRAMEDIA penerbit buku utama



Ada tujuh miliar penduduk bumi saat Seperti biasa, Tere Liye selalu bisa
ini. Jika separuh saja dari mereka mencungkil hal-hal istimewa dari
pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada kehidupan yang tidak menarik
satu miliar lebih cerita cinta. Akan ada perhatian.
setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300
kali dalam semenit, 18.000 kali dalam Belinda, calon dokter gigi
setiap jam, dan nyaris setengah juta Tentang cinta pertama yang begitu
sehari-semalam, seseorang entah di memukau, mengajari tetapi tidak
belahan dunia mana, berbinar, harap-harap menggurui.
cemas, gemetar, malu-malu menyatakan Ayu Aditya Saputri, calon guru SLB
perasaannya. Jika selama ini sering dijejali cerita
cinta termehek-mehek, maka Borno
Apakah Kau, Aku, dan Sepucuk dan Mei adalah orisinal cerita cinta
Angpau Merah ini sama spesialnya tentang pengorbanan yang tidak akan
dengan miliaran cerita cinta lain? Sama membuat kita menjadi mellow.
istimewanya dengan kisah cinta kita? Ah,
kita tidak memerlukan sinopsis untuk Ariza, guru TK
memulai membaca cerita ini. Juga tidak Novel yang berbeda. Mengangkat
memerlukan komentar dari orang-orang profesi yang tidak pernah ada di
terkenal. Cukup dari teman, kerabat, novel mana pun. Kisah cinta yang
tetangga sebelah rumah. Nah, setelah sederhana, indah, dan klasik.
tiba di halaman terakhir, sampaikan,
sampaikan ke mana-mana seberapa spesial Umi Futikhah, guru
kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka. Saya berdoa semoga saya bisa
menjadikan anak lelaki saya “bujang
berhati paling lurus” seperti Borno.
Amin.

Putri, buruh pabrik

NOVEL DEWASA

Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com


Click to View FlipBook Version