The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-03-27 21:41:58

Etika dan Filsafat Komunikasi

by Muhamad Mufid

Keywords: Muhamad Mufid,filsafat

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 1 Pengertian, Perkembangan, & Masalah Dasar Filsafat

an Aristotelian dengan prinsip ajaran tersebut. Thomas
menambah problematika filsafat Aristotelian. Demikian
juga, Thomas memperlakukan filsafat Plato yang diwa-
kili oleh pemikiran Agustinus.

Thomas dalam epistemologinya menyebutkan bah-
wa semua pengertian manusia selalu melalui pencerapan.
Ini berarti bahwa pada suatu saat pemikiran Thomas juga
bersifat mengandalkan kenyataan indrawi. Landasan pe-
mikiran Thomas selalu mengandaikan pengamatan in-
drawi yang bersifat pasti dan sederhana. Maka, sering
pula pemikiran Thomas bersifat reflektif-analitis. Penga-
matan dan analisis fakta-fakta adalah dasar kuat bagi
sintesis Thomas Aquinas.

D. ISU-ISU FILOSOFIS STUDI KOMUNIKASI

Stephen W. Littlejohn dalam bukunya yang berjudul
Theories of Human Communication (1999: 31), men-
jelaskan bahwa terdapat sejumlah isu filosofis tentang
studi komunikasi, yang disebut sebagai “metateori”.

Sesuai dengan namanya, imbuhan “meta” merujuk
pada spekulasi yang menyertai sebuah teori. Metateori
mengajukan sejumlah pertanyaan menyangkut sebuah teo-
ri, yakni apa yang dibahas, bagaimana pengamatan di-
lakukan dan bagaimana suatu teori terbentuk. Dengan
kata lain, metateori adalah teori dari sebuah teori. Selan-
jutnya, Littlejohn membagi isu-isu filosofis studi komu-
nikasi menjadi tiga tema, yakni epistemologi, ontologi,
dan aksiologi.

37

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

1. Isu-isu Epistemologi

Sebagaimana telah dijelaskan, epistemologi merupa-
kan cabang filsafat yang mengkaji pengetahuan, atau
bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan.
Littlejohn menjelaskan bahwa paling tidak ada lima
pertanyaan yang harus dijawab terkait isu epistemologi
ini, yakni:

a. Apakah Pengetahuan Ada Karena Pengalaman?

Menurut Littlejohn, banyak pakar meyakini bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Kita meng-
amati dunia ini, karenanya muncullah pengetahuan ten-
tang dunia. Seorang manusia yang sejak lahir tidak diberi
pengetahuan tidak akan dapat mengetahui sesuatu pun
dari dunia ini. Pengetahuan yang kita peroleh dari peng-
alaman selanjutnya akan menyatu dengan pola berpikir
dan pola merasa. Sebagai contoh, seorang anak tidak be-
lajar bahasa hanya dari apa yang mereka dengar, tetapi
dari penggunaan bahasa yang ia dengar dalam kehidup-
an sehari-hari.

b. Apakah Pengetahuan Bersifat Pasti?

Terhadap pertanyaan apakah pengetahuan bersifat
pasti, dan karenanya siapa pun akan menemukan penge-
tahuan tersebut, Littlejohn mengaitkannya dengan per-
tanyaan apakah kebenaran bersifat absolut atau relatif?
Perdebatan tentang isu ini telah berlangsung selama ra-
tusan tahun. Namun demikian, lanjut Littlejohn, para
teoretisi komunikasi memegang teguh asumsi bahwa ke-
benaran bersifat pasti. Jika pun terjadi kesalahan, maka
sejatinya bukan dikarenakan relativitas kebenaran tetapi

38

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 1 Pengertian, Perkembangan, & Masalah Dasar Filsafat

karena memang kebenaran sejati tersebut belum ditemu-
kan. Hal ini berbeda dengan pandangan kaum relativis
yang memandang pengetahuan tidak akan pernah bersi-
fat pasti karena realitas universal memang tidak pernah
ada.

c. Proses Apa yang Menyebabkan Tumbuhnya Pengetahuan?

Pertanyaan ini bersifat kompleks dan perdebatan ten-
tang jawaban dari pertanyaan ini merupakan jantung
dari epistemologi. Menurut Littlejohn, paling tidak ada
empat aliran yang menjawab isu ini.

Pertama, aliran mentalisme atau rasionalisme yang
memandang pengetahuan ada karena kekuatan manusia
untuk mengetahui kebenaran. Posisi ini meyakini pena-
laran manusia untuk menentukan kebenaran.

Kedua, aliran empirisme yang menyatakan bahwa pen-
galaman tumbuh dalam persepsi. Kita mengalami dunia
dan secara kasat mata kita melihat apa yang sedang terjadi
di dalamnya.

Ketiga, aliran konstruktivisme yang mengatakan bah-
wa manusia menciptakan pengetahuan untuk keperlu-
an pragmatis dan karenanya manusia memproyeksikan
dirinya dalam apa yang mereka alami. Aliran konstuk-
tivisme percaya bahwa suatu fenomena di dunia ini da-
pat dipahami dengan cara yang berbeda dan itulah yang
disebut pengetahuan, yakni ketika seseorang memaknai
dunia walaupun berbeda dengan orang lain.

Keempat, aliran konstruktivisme sosial yang menga-
jarkan bahwa pengetahuan merupakan sebuah produk
interaksi simbolis dalam suatu kelompok sosial. Dengan
kata lain, realitas merupakan hasil dari konstruksi sosial

39

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

dan karenanya merupakan sebuah produk dari kelom-
pok atau kultur tertentu.

d. Apakah Pengetahuan Sebaiknya Dipahami Secara Terpisah
atau Menyeluruh?

Ada dua aliran besar yang memberikan jawaban dari
pertanyaan ini. Pertama, aliran Gestalis yang mengajar-
kan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan bersifat general,
dan karenanya tidak dapat dipahami secara terpecah.
Aliran ini percaya bahwa suatu fenomena tidak berdiri
sendiri, melainkan terkait dengan fenomena lain dalam
suatu sistem yang terbuka. Aliran kedua dikenal seba-
gai aliran Analis yang lebih memercayai bahwa pengeta-
huan berisi pemahaman tentang bagaimana suatu bagian
beroperasi secara terpisah.

e. Apakah Pengetahuan Harus Eksplisit?

Menurut Littlejohn, kebanyakan filosuf meyakini ru-
musan bahwa Anda tidak akan mengetahui sesuatu ke-
cuali Anda dapat menyatakan apa yang dimaksud. Penge-
tahuan karenanya bersifat eksplisit. Hanya beberapa dari
mereka yang menyatakan bahwa pengetahuan bersifat
tersembunyi dalam sensibilitas manusia, karenanya bisa
jadi seseorang memiliki suatu pengetahuan tertentu, na-
mun ia tidak bisa mengungkapkannya.

2. Isu Ontologi

Sebagaimana telah dijelaskan, ontologi merupakan
cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat (nature of
being) dari apa yang ingin kita ketahui. Pada kenyataan-
nya, epistemologi dan ontologi saling berkaitan. Hal ini

40

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 1 Pengertian, Perkembangan, & Masalah Dasar Filsafat

dikarenakan pemahaman kita tentang pengetahuan tentu
tergantung pula pada bagaimana kita memahami realitas.
Dalam ilmu sosial, ontologi membahas tentang hakikat
eksistensi manusia, sedangkan dalam ilmu komunikasi,
ontologi memfokuskan pada pemahaman hakikat inter-
aksi sosial manusia.

Isu ontologis menjadi penting untuk dibahas lebih
lanjut karena bagaimana seorang pakar mengkonseptua-
lisasikan komunikasi tergantung pada bagaimana ia me-
lihat hakikat komunikasi. Menurut Littlejohn, paling ti-
dak ada empat isu ontologis penting, yakni:

a. Apakah Manusia Membuat Pilihan yang Sebenarnya?

Walaupun para teoretisi sepakat bahwa manusia
mempunyai pilihan, namun mereka tidak menyepakati
pertanyaan lebih lanjut yakni apakah pilihan yang sebe-
narnya (real choice) merupakan hal yang mungkin untuk
dicapai? Golongan Determinis mengatakan bahwa peri-
laku manusia merupakan respons dari kondisi yang ada,
dan karenanya sejatinya manusia bersifat reaktif dan pa-
sif.

Pada sisi lain, golongan Pragmatis mengatakan bah-
wa manusia merencakan perilakunya untuk tujuan di ma-
sa akan datang. Golongan terakhir memandang manusia
sebagai makhluk yang membuat keputusan, dan kare-
nanya bersifat aktif sekaligus menentukan sendiri tuju-
an hidupnya. Selain kedua kelompok tersebut, terdapat
pula kelompok pertengahan yang mengakui sekaligus
baik pengaruh lingkungan yang menentukan pilihan ser-
ta kebebasan manusia untuk menentukan tindakan.

41

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

b. Apakah Perilaku Manusia Sebaiknya Dipahami Secara
Permanen atau Temporal?

Kondisi temporal manusia yang disebut juga state,
memberi pengaruh bagi pilihan tindakan manusia. State
juga yang menyebabkan manusia bisa bersifat dinamis.
Sedangkan kondisi permanen, yang disebut trait, me-
nyebabkan tindakan atau perilaku manusia bisa dipredik-
si. Trait berisi karakter manusia yang bersifat konsisten.
Sekalipun manusia bisa saja berubah trait-nya, namun
dipastikan perubahan tersebut tidak mudah karena ma-
nusia pada dasarnya bersifat statis. Littlejohn sendiri me-
ngatakan bahwa baik state maupun trait, keduanya secara
bersama membentuk karakter dan menentukan perilaku
manusia.

c. Apakah Pengalaman Manusia Bersifat Individual atau Sosial?

Banyak pakar ilmu sosial mengatakan bahwa walau-
pun manusia tidak bisa mengisolasi diri dari orang lain
namun mereka meyakini bahwa pada dasarnya bersifat
individual. Mereka mendasarkan unit analisis kajian
pengembangan ilmu pengetahuan pada individu. Namun
demikian, menurut Littlejohn, dalam konteks komuni-
kasi manusia lebih baik dipahami dalam konteksnya se-
bagai anggota kelompok sosial. Karenanya unit analisis
ilmu komunikasi adalah lingkungan sosial. Isu ini men-
jadi penting karena komunikasi adalah terkait dengan
dengan interaksi.

d. Atas Dasar Apa Komunikasi Dikontekstualisasikan?

Jawaban dari pertanyaan ini sejatinya hendak mene-
gaskan pada apakah perilaku manusia diatur berdasar-

42

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 1 Pengertian, Perkembangan, & Masalah Dasar Filsafat

kan prinsip-prinsip universal ataukah dilandaskan pada
faktor-faktor situasional. Sebagian filsuf mengatakan
bahwa kehidupan dan tindakan manusia sebaiknya dipa-
hami berdasarkan faktor-faktor universal. Pandangan lain
meyakini bahwa perilaku manusia sangat terkait deng-
an konteks yang ada. Littlejohn sendiri lebih menyetujui
adanya pengaruh keduanya, yakni perilaku manusia
dipengaruhi baik aspek-aspek general maupun faktor-
faktor situasional.

3. Isu Aksiologi

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang memba-
has tentang nilai. Untuk disiplin ilmu komunikasi, ada
tiga isu aksiologi penting yang perlu dijabarkan pada ke-
sempatan ini, yakni:

a. Dapatkah Teori Bersifat Bebas Nilai atau Tidak?

Ilmu pengetahuan klasik mengklaim bahwa teori dan
penelitian bersifat bebas nilai (value free), netral, dan ber-
usaha menampilkan fakta apa adanya. Bila nilai yang
dimiliki ilmuwan turut serta dalam pekerjaan ilmiah yang
ia lakukan, maka yang dihasilkan adalah apa yang dise-
but Littlejohn sebagai “sains yang buruk (bad science)”.

Namun demikian, terdapat pandangan lain atas per-
tanyaan ini yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
memang secara substantif bisa bebas nilai, namun seca-
ra teknis terdapat nilai-nilai yang turut memengaruhi
perkembangan suatu ilmu. Misalnya, pada saat seorang
ilmuwan menentukan metode penelitian yang digunakan,
maka pada hakikatnya pemilihan metode tersebut dida-
sarkan pada sejumlah kepentingan, yang pada gilirannya

43

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

menyebabkan suatu teori atau ilmu pengetahuan tidak
lagi bebas nilai.

Littlejohn memberi contoh lain yakni tentang penda-
naan. Pemberian sponsor pendanaan merupakan bentuk
lain intervensi yang terdapat dalam suatu teori, karena
pemberian pendanaan tentu juga didasarkan atas pertim-
bangan faktor politis, ekonomis, dan ideologis.

b. Apakah Ilmuwan Memengaruhi Teori yang Dihasilkan
ataukah Tidak?

Mazhab tradisional lagi-lagi menjawab pertanyaan
ini dengan mengatakan bahwa seorang ilmuwan seharus-
nya berhati-hati dalam melakukan suatu penelitian ilmi-
ah sehingga aspek akurasi bisa dipertahankan. Kritik ter-
hadap pandangan ini bersumber pada keniscayaan bah-
wa suatu penelitian pasti menghasilkan distorsi dari apa
yang hendak diteliti. Distorsi tersebut kadang kala besar
dan kadang kala kecil, namun yang pasti akan selalu ada
distorsi dan karenanya teori pasti terdapat “campur tan-
gan” terhadap teori yang dihasilkan.

c. Apakah Ilmuwan Memengaruhi Proses Sosial atau Tidak?

Pertanyaan ini sejalan dengan pertanyaan apakah il-
muwan harus tetap objektif ataukah harus berperan ak-
tif membantu masyarakat untuk berubah secara positif?
Banyak pakar mengatakan bahwa tugas ilmuwan adalah
memproduksi ilmu pengetahuan, sedangkan urusan per-
ubahan sosial diserahkan pada pihak lain seperti politikus.
Sementara pendapat lain mengatakan bahwa ilmuwan
memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan nilai-
nilai positif dalam masyarakat. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi sebaliknya sadar
nilai (value conscious).

44

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

BAB 2

FILSAFAT DAN PERKEMBANGAN
ILMU KOMUNIKASI

A. KODRAT FILSAFAT

Ada keyakinan mendasar bahwa filsafat bertitik to-
lak pada pengalaman. Manusia yang berfilsafat berada
dalam satu konteks pengalaman tertentu.

Untuk memberi makna kehidupan dalam filsafat, di-
andaikan bahwa manusia memiliki pengalaman dan pe-
ngetahuan tentang apa yang akan menjadi bahan reflek-
sinya. Filsafat selalu memulai dengan bentuk pengeta-
huan tertentu, dari suatu bidang pengalaman tertentu.

Dari sejarah filsafat sendiri, filsuf selalu mulai de-
ngan apa yang dianggap sebagai pengetahuan, sistem ide,
keyakinan, dan hidup dalam tradisi masyarakat waktu
itu.

Berbagai bentuk pengetahuan dan bidang pengalam-
an yang tersedia bagi refleksi filsafat, perlu dipilih, di-
seleksi dan dianalisa. Setelahnya, filsafat mengatur dan
menginterpretasikan ide-ide, keyakinan, serta nilai sehing-
ga terbentuk suatu sistem pemikiran yang mampu mem-
beri arah pada kehidupan manusia.

Istilah dan konsep filsafat merupakan ciptaan Yuna-

45

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

ni kuno (abad ke 4 SM). Dilihat dari sejarah pemakaian
istilah filsafat menunjukkan karakter yang khas. Filsafat
adalah usaha revolusioner untuk menggantikan sistem
penjelasan mitologis dengan sistem penjelasan yang ra-
sional. Sekumpulan tokoh-tokoh filsafat seperti Thales,
Anaximenes, Anaximandros adalah tonggak-tonggak pen-
ting dalam sejarah pemikiran rasional. Filsuf awal mem-
praktikkan filsafat sebagai penjelasan rasional terhadap
persoalan-persoalan yang mereka temukan dalam penga-
laman sehari-hari. Pertanyaan dan jawaban rasional me-
rupakan langkah awal pada proses permulaan peneli-
tian dan pengamatan, redefinisi mitos-mitos yang ira-
sional dan pembiasaan untuk memulai penjelasan deng-
an bukti-bukti yang empirik dan masuk akal.

Ada tiga ciri khas kualitas pengetahuan filsafat atau
menunjuk bahwa suatu pengetahuan itu khas filosofis.
Pertama, alat analisis filsafat adalah akal budi. Analisa
filosofis dilakukan dengan penalaran murni. Fantasi dan
kesan panca indera berguna dalam tahap awal menda-
patkan pengenalan dunia real. Akal budi menerobosnya
dan menjadi analisa rasional. Karya penyelidikan filsafat
yang benar dilaksanakan dan diseleksi oleh akal budi.
Akal budi menghindarkan tujuan praktis, kekacauan na-
luri tapi langsung berkecimpung dengan objek. Kedua,
hakikat metode filsafat adalah rasional. Metode rasiona-
litas dalam filsafat bersifat multipleks, yaitu bermetode
induktif atau deduktif. Ketiga, tujuan filsafat bukan ber-
sifat praktis. Filsafat mencari kebenaran dan pengeta-
huan. Filsafat mempunyai tujuan teoritis secara murni
atau kontemplatif. Filsafat itu bebas dalam arti tidak
mau dijajah oleh pragmatisme dan ideologisme lainnya
(Suhartono Suparlan: 2007) .

Dari ketiga kodrat yang disebutkan di atas, maka

46

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

dapat dilihat bahwa filsafat mempunyai sifat-sifat khas,
yaitu berpikir radikal, terus mencari kebenaran, berpikir
secara rasional, tetap menjaga kejelasan, dan akhirnya
untuk mendapatkan asas yang sejati pada setiap realitas.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kodrat filsafat
adalah berpikir ilmiah (Suhartono Suparlan, 2007: 83).
Filsafat adalah ilmu pengetahuan, karena berpikir ilmiah
adalah ciri khas ilmu pengetahuan.

B. RELASI FILSAFAT DAN ILMU

Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh fil-
safat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama ju-
ga mengajarkan kebenaran. Menurut F. Budi Hardiman
(dalam www.kompas.com/kompas-cetak/0702/02/Benta-
ra/3277746.htm), secara garis besar, ada tiga posisi un-
tuk memahami hubungan antara sains dan agama dalam
pencarian kebenaran. Pertama, sains dan agama memi-
liki teritorium yang berbeda dalam pencarian kebenaran.
Kedua, agama dan sains dapat dibawa ke dalam arena
yang sama dalam pencarian makna. Ketiga, agama dan
sains menerangi realitas yang sama, namun dengan per-
spektif yang berbeda.

Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah “kebenaran
akal”, sedangkan kebenaran menurut agama adalah “ke-
benaran wahyu”. Dengan demikian, maka sejatinya tan-
pa agama manusia sudah dapat menemukan kebenaran,
dan bahkan sudah mampu menentukan adanya “Tuhan”,
yakni sesuatu di luar manusia yang bisa menentukan baik
buruknya kehidupan manusia.

Contoh dari pernyataan tersebut adalah bahwa sebe-
lum turunnya wahyu yang dibawa oleh agama-agama
samawi atau agama langit (agama yang diturunkan oleh

47

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

Tuhan) adalah sudah adanya agama-agama ardhi atau
agama bumi, yakni agama yang merupakan murni hasil
cipta, karya, dan karsa manusia.

Melalui agama bumi, manusia menentukan personi-
fikasi Tuhan, tata cara beribadah, bahkan menentukan
pula norma-norma mana yang baik dan mana yang bu-
ruk di hadapan Tuhan ciptaan manusia tersebut. Dengan
demikian, jelas bahwa tanpa agama dan wahyu pada da-
sarnya manusia sudah bisa menemukan kebaikan, kebe-
naran, dan Tuhan.

Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar
atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita
akan melihat apakah keduanya dapat hidup berdamping-
an secara damai, apakah keduanya dapat bekerja sama
atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meski-
pun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal,
hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga
bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang
berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam
ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama
yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana
mencari hubungan antara ilmu, filsafat, dan agama akan
diperlihatkan seperti berikut ini:

Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat se-
suatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, di-
katakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai se-
suatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di
dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemu-
dian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah
mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia me-
neruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan
tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaima-

48

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

na susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan
diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia
tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan
tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang
manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi
fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau ke-
budayaannya, jawabannya akan berupa ilmu manusia di-
lihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika
ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa
ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau an-
tropologi sosial.

Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan
yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan
telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu.
Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.

Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus me-
ngenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu,
maka jawabannya akan berupa suatu “filsafat”. Dalam
hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya,
kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manu-
sia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh,
kebudayaan, dan hubungan tadi. Jawaban yang dikemu-
kan bermacam-macam, antara lain:
• Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu

asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya
jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbul-
kan aliran spiritualisme, materialisme, ratomisme.
• Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
atas dua asas yang masing-masing tidak berhubung-
an satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa
dan raga tidak terdapat hubungan.

49

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

• Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
atas tiga asas, misalnya badan, jiwa, dan roh.

• Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia ter-
diri dari banyak asas, misalnya api, udara, air, dan
tanah.

Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai
hubungan yang erat dengan agama. Filsafat dan ilmu da-
pat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama
kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam meng-
artikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat
membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu.
Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk
teologi.

Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawab-
an terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan di-
jawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak
juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama
adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar
manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana
manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa
bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang su-
dah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran
dan untuk lebih mencintai kebaikan.

Di samping agama dan filsafat, sains merupakan sa-
lah satu bentuk pengetahuan manusia yang gigih mencari
makna. Mungkin sains tidak menuntaskan banyak mis-
teri kehidupan manusia, seperti misteri asal-usul kehidup-
an dan misteri kematian, namun langkah-langkah un-
tuk memecahkan enigma-enigma seperti itu tampaknya
berjalan progresif dalam sains. Kesan bahwa sains ingin
menyaingi agama atau bahkan menggantikannya dalam

50

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

perannya sebagai juru tafsir dunia cukuplah beralasan.
Sains berambisi menjadi sistem pandangan dunia menye-
luruh dan itulah yang terjadi dalam scientism. Di dalam
saintisme kesahihan agama dalam memaknai dunia di-
tolak. Di tengah-tengah dominasi saintistis itu di abad
ke-20 terjadi suatu tren yang sebaliknya: kesahihan sains
dalam memaknai dunia juga dipersoalkan.

C. RELASI FILSAFAT DAN AGAMA

“Agama adalah candu rakyat”, merupakan teks Karl
Marx yang paling umum dikenal sampai sekarang. Hanya
saja, kalimat pendek ini tidak jarang salah dikutip. Ka-
dang-kadang kita membaca “religion is the opium for
the people”, sedangkan sebenarnya tertulis “religion is
the opium of the people”. Perbedaannya kecil saja, hanya
“for” dan “of”, tetapi bisa menimbulkan interpretasi yang
menyimpang sama sekali dari aslinya.

Menurut K. Bertens (dalam kumpulan makalah di
www.duniaessai.com), versi pertama (candu bagi rakyat)
memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam
tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan)
untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali
atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang ber-
kuasa (kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa men-
jadi korban penipuan karena iktikad buruk segelintir
orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara
demikian.

Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia,
agama menjadi candu rakyat sebagai suatu keadaan ob-
jektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan
struktur-struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat.

51

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat tentunya tata
susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapi-
talis tidak menjadi biang keladi keadaan itu. Dalam arti
tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja kaum
buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menye-
nangkan.

Dengan demikian, hubungan filsafat dan agama da-
lam konteks ilmu pengetahuan bisa dibilang mutual. Ni-
lai-nilai agama banyak sekali yang mengandung informasi
atau paling tidak inspirasi untuk berkembangnya filsafat
dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pendekatan, metode
dan cara berpikir filsafat bisa digunakan untuk memaha-
mi sekaligus mengembangkan ilmu serta cara penafsiran
teks-teks keagamaan sehingga menjadi lebih komprehen-
sif untuk dipahami (hubungan filsafat dan agama telah
dijelaskan pada pembahasan sejarah perkembangan fil-
safat di Bab 1).

D. FILSAFAT DAN PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI

Semua makhluk hidup pada dasarnya berkomuni-
kasi. Jangankan manusia yang diberkahi akal budi, bina-
tang saja pada dasarnya melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Komunikasi sebagai praktik sudah ada sei-
ring dengan diciptakannya manusia, dan manusia meng-
gunakan komunikasi dalam rangka melakukan aktivitas
sosialnya. Karenanya manusia tidak mungkin tidak ber-
komunikasi.

Secara etimologi (bahasa), kata “komunikasi” bera-
sal dari bahasa Inggris “communication” yang mempu-
nyai akar kata dari bahasa Latin “comunicare” (Weekley,
1967: 338). Kata “comunicare” sendiri memiliki tiga ke-
mungkinan arti, yaitu:

52

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

1. “to make common”, atau membuat sesuatu menjadi
umum;

2. “cum + munus”, berarti saling memberi sesuatu se-
bagai hadiah; dan

3. “cum + munire”, yaitu membangun pertahanan ber-
sama.

Sedangkan secara epistemologis (istilah), terdapat ra-
tusan uraian eksplisit (nyata) dan implisit (tersembunyi)
untuk menggambarkan definisi komunikasi. Dalam Ox-
ford English Dictionary yang ditulis tahun 1989 saja su-
dah terdapat 12 definisi komunikasi (Ruben, 1992: 11).

Di antara ratusan definisi tersebut, ada baiknya kita si-
mak beberapa diantaranya, yaitu (lihat antara lain Ruben,
1992: 11; R. Loose, 1999: 1; dan DeVito, 1986: 5):
1. “Communication means that information is passed

from one place to another” (Komunikasi adalah in-
formasi yang disampaikan dari satu tempat ke tem-
pat lain).
2. “Communication … include (s) all the procedures by
which one mind may affect another” (Komunikasi …
meliputi semua prosedur dimana pikiran seseorang
mempengaruhi orang lain).
3. “The transmission of information, ideas, emotion,
skills, etc. by the use of symbol-word, pictures, ig-
ures, graph, etc” (Pemindahan informasi, ide-ide,
emosi, keterampilan, dan lain-lain dengan menggu-
nakan simbol-seperti kata, foto-foto, figur-figur dan
grafik).
4. “The imparting, conveying or exchange of ideas, know-
ledge, or information wheter by speech, writing or

53

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

signs.” (Memberi, meyakinkan atau bertukar ide-ide,
pengetahuan, atau informasi baik melalui ucapan,
tulisan, atau tanda-tanda).

5. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi yang
biasanya melalui sistem simbol yang berlaku umum.

6. Komunikasi adalah, “proses atau tindakan menyam-
paikan pesan (message) dari pengirim (sender) ke pe-
nerima (receiver), melalui suatu medium (channel)
yang biasanya mengalami gangguan (noise). Dalam
definisi ini, komunikasi haruslah bersifat intentional
(disengaja) serta membawa perubahan.

Stephen W. Littlejohn (2002: 6-7), seorang pakar ko-
munikasi dari Amerika Serikat yang tahun lalu sempat
memberi kuliah umum di Program Pascasarjana Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa
perbedaan tersebut disebabkan dimensi dasar yang digu-
nakan untuk mendefinisikan komunikasi.

Pertama, adalah level observasi atau tingkat keab-
strakan, yakni beberapa definisi bersifat luas dan inklusif
(terbuka) sedangkan sebagian lain justru bersifat terbatas.
Misalnya, definisi yang mengatakan bahwa, “komunikasi
adalah proses yang menghubungkan bagian-bagian dunia
satu sama lain” tentu bersifat umum. Sedangkan komu-
nikasi sebagai “proses mengirimkan pesan dan perintah
militer melalui telepon” adalah definisi yang terbatas.

Kedua, adalah level intensionalitas (kesengajaan). Se-
bagian definisi komunikasi menekankan pada ada kese-
ngajaan penyampaian pesan, sementara sebagian lain
tidak membatasi pada aspek kesengajaan ini. Contoh
yang pertama adalah komunikasi sebagai “situasi di mana
sumber menyampaikan pesan dengan sadar untuk me-

54

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

mengaruhi perilaku penerima pesan”. Sedangkan contoh
yang kedua adalah, “Komunikasi dilihat sebagai proses
distribusi monopoli informasi kepada orang lain”.

Ketiga, adalah dimensi penilaian normatif. Sebagian
definisi menghendaki adanya kesuksesan atau akurasi se-
perti “Komunikasi adalah pertukaran verbal dari pi-
kiran”, sedangkan sebagian lagi tidak seperti “Komuni-
kasi adalah proses transmisi informasi”.

Dari beragam definisi komunikasi sebagaimana di
atas, pada dasarnya kita dapat menarik ‘benang merah’
sebagai berikut:

1. Komunikasi merupakan proses di mana individu–da-
lam hubungannya dengan orang lain, kelompok, or-
ganisasi atau masyarakat-merespon dan mencipta-
kan pesan untuk berhubungan dengan lingkungan
dan orang lain.

2. Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi,
biasanya melalui sistem simbol yang berlaku umum,
dengan kualitas bervariasi.

3. Komunikasi terjadi melalui banyak bentuk, mulai
dari dua orang yang bercakap secara berhadap-ha-
dapan, isyarat tangan, hingga pada pesan yang diki-
rim secara global ke seluruh dunia melalui jaringan
telekomunikasi.

4. Komunikasi adalah proses yang memungkinkan kita
berinteraksi (bergaul) dengan orang lain. Tanpa ko-
munikasi kita tidak akan mungkin berbagi penge-
tahuan atau pengalaman dengan orang lain. Proses
berkomunikasi dalam hal ini bisa melalui ucapan
(speaking), tulisan (writing), gerak tubuh (gesture)
dan penyiaran (broadcasting).

55

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

Dari benang merah tersebut, kita juga bisa mengi-
dentifikasi anatomi komunikasi. Secara mendasar, komu-
nikasi mempunyai enam unsur sebagai berikut:

1. Komunikasi melibatkan hubungan seseorang dengan
orang lain atau hubungan seseorang dengan lingkung-
annya, baik dalam rangka pengaturan atau kordi-
nasi.

2. Proses, yakni aktivitas yang nonstatis, bersifat terus-
menerus. Ketika kita bercakap-cakap dengan sese-
orang misalnya, kita tentu tidak diam saja. Di dalam-
nya kita membuat perencanaan, mengatur nada, men-
ciptakan pesan baru, menginterpretasikan pesan, me-
respon, atau mengubah posisi tubuh agar terjadi
kesesuaian dengan lawan bicara.

3. Pesan, yaitu tanda (signal) atau kombinasi tanda
yang berfungsi sebagai stimulus (pemicu) bagi pene-
rima tanda. Pesan dapat berupa tanda atau simbol.
Sebagian dari tanda dapat bersifat universal, yakni
dipahami oleh sebagian besar manusia di seluruh du-
nia, seperti senyum sebagai tanda senang, atau asap
sebagai tanda adanya api. Tanda lebih bersifat uni-
versal daripada simbol. Ini dikarenakan simbol ter-
bentuk melalui kesepakatan, seperti simbol negara.
Karena terbentuk melalui kesepakatan, maka simbol
tidak bersifat alami dan tidak pula universal.

4. Saluran (channel), adalah wahana di mana tanda
dikirim. Channel bisa bersifat visual (dapat dilihat)
atau aural (dapat didengar).

5. Gangguan (noise), segala sesuatu yang dapat membu-
at pesan menyimpang, atau segala sesuatu yang da-
pat mengganggu diterimanya pesan. Gangguan (no-

56

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

ise) bisa bersifat fisik, psikis (kejiwaan), atau seman-
tis (salah paham).

6. Perubahan, yakni komunikasi menghasilkan perubah-
an pada pengetahuan, sikap, atau tindakan orang-
orang yang terlibat dalam proses komunikasi.

Sedangkan komunikasi sebagai disiplin ilmu baru
berkembang pada awal abad ke-15 (Muhamad Mufid:
2005). Berikut kita akan membahas sejarah perkembang-
an disiplin ilmu komunikasi.

1. Masa Awal Pembentukan Disiplin Komunikasi

Sepanjang terekam dalam literatur, teoritisasi ko-
munikasi dimulai sejak masa Yunani Kuno. Ketika itu,
Corax mengajarkan teori berbicara di depan pengadilan,
yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal keterampil-
an persuasi (membujuk). Salah satu murid Corax yang
terkenal adalah Tisias, yang kemudian mengambil istilah
rhetoric sebagai nama bagi keterampilan tersebut.

Era Tisias kemudian digantikan oleh Aristoteles (385-
322SM) dan gurunya Plato (427-347SM). Kedua orang
tersebut merupakan figur penting dalam mengembang-
kan disiplin komunikasi. Aristoteles (dalam Ruben, 2002:
21) mengatakan bahwa, komunikasi adalah alat di mana
warga masyarakat dapat berpartisipasi dalam demokrasi.
Aristoteles ketika itu mendudukkan komunikasi sebagai
keterampilan melakukan orasi dan menyusun argumen
untuk disampaikan kepada pendengar. Tujuan dari ko-
munikasi, kata Aristoteles, adalah untuk memberi kesan
positif tentang pembicara, sehingga pendengar akan men-
erima apa yang disampaikan pembicara. Lebih jauh Plato
mengatakan bahwa, keterampilan komunikasi haruslah
mencakup pula pengetahuan tentang sifat alami dari

57

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

kata, sifat manusia dan bagaimana manusia memandang
hidup, susunan alam, dan studi tentang instrumen apa
yang dapat mempengaruhi manusia. Jelaslah bahwa ked-
ua tokoh tersebut mengajarkan komunikasi sebagai keter-
ampilan berbicara di depan umum (public speaking).

Perkembangan komunikasi lalu dilanjutkan oleh
Cicero (106-43 SM) dan Quintilian (35-95 M). Cicero
melihat komunikasi dalam dua ranah; praktis dan aka-
demis. Karya kedua tokoh ini lalu memberi inspirasi bagi
pembentukan disiplin ilmu komunikasi yang lebih ma-
tang pada era revolusi industri Inggris dan revolusi kebu-
dayaan Perancis.

Jika pada masa klasik komunikasi dikembangkan
oleh pemikir, memasuki abad 18, komunikasi diasuh
oleh sastrawan. Pada masa ini komunikasi sudah menge-
nal dasar-dasar komunikasi seperti gaya bicara, artiku-
lasi (pengucapan) dan sikap tubuh (gesture). Pada akhir
abad 19, di banyak perguruan tinggi departemen rhetoric
and speech berada di bawah fakultas sastra.

Disiplin lain yang turut membentuk studi komuni-
kasi adalah jurnalisme. Sama seperti retorika, jurnalisme
sebenarnya telah dipraktikkan sejak 3700 tahun yang
lalu di Mesir. Julius Caesar lalu mengembangkan pola
jurnalisme dengan menjual cikal bakal koran. Pada ta-
hun 1690, muncul koran modern pertama di AS dengan
nama Public Occurrences both Foreign and Domestic.
Dalam fase selanjutnya, jurnalisme banyak berkembang
di AS sementara teori-teori komunikasi berkembang di
Eropa.

58

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

2. Periode 1900-1930

Periode ini disebut juga ‘masa perkembangan speech
and journalism’, yakni masa berkembangnya disiplin ko-
munikasi yang ditandai dengan berdirinya organisasi dan
jurnal komunikasi. Pada tahun 1909 berdiri organisasi
komunikasi pertama di Amerika Serikat, The Eastern
State Speech Association (sekarang menjadi The Eastern
Communication Association). 20 tahun kemudian ter-
bentuk organisasi profesional komunikasi, Communica-
tion Association. Perkembangan ini disusul penerbitan
jurnal komunikasi pertama, The Quarterly Journal of
Speech. Puncak dari sintesa komunikasi dan jurnalisme
ditandai dengan dibukanya kursus jurnalisme di Uni-
versity of Wisconsin pada tahun 1905, yang dilanjutkan
dengan perkembangan teknologi radio (1920-an) dan
televisi (1940-an).

3. Periode 1930-1950

Periode ini bisa disebut sebagai masa ‘persilangan ko-
munikasi dengan disiplin ilmu lain’. Memang sejak awal
pembentukannya, disiplin ilmu komunikasi tidak terlepas
dari persilangan disiplin lain seperti filsafat dan teknolo-
gi. Namun persilangan yang terjadi pada era ini adalah
persilangan komunikasi dengan disiplin ilmu sosial dan
psikologi. Dalam bidang antropologi misalnya, gerak tu-
buh (gesture) dan partisipasi kultural dijadikan salah satu
penjelasan tentang pola komunikasi suatu masyarakat.
Studi ini kemudian turut memperkaya teoritisasi komu-
nikasi non verbal. Percampuran juga terjadi dalam bi-
dang psikologi berupa penggunaan teori psikologi seperti
minat, persuari, sikap dan pengaruh untuk menjelaskan
bagaimana dinamika yang terjadi dalam berkomunikasi.

59

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

Akhir tahun 1950 muncul sejumlah tulisan penting.
Tulisan ini tidak saja semakin membentuk komunikasi se-
bagai sebuah disiplin ilmu, tapi juga meletakkan kerangka
berpikir sebagai pijakan mengembangkan ilmu komunikasi,
seperti teori Lasswell, Shannon-Weaver, Schramm, dan Katz-
Lazarfel.

Pada tahun 1948 Lasswell memperkenalkan pola ko-
munikasi yang mengatakan bahwa proses komunikasi
meliputi “who says what to whom in what channel with
what effect”, atau “siapa berkata apa kepada siapa de-
ngan menggunakan saluran apa serta menimbulkan pe-
ngaruh apa”.

Teori Lasswell, walaupun masih berfokuskan pada
komunikasi verbal satu arah, namun teori tersebut di-
pandang lebih maju dari teori yang telah ada. Di sam-
ping berhasil lepas dari pengaruh komunikasi propa-
ganda yang ketika itu sangat mendominasi wacana ko-
munikasi, Laswell juga mendefinisikan medium pesan
dalam arti yang lebih luas yakni media massa. Sebagian
kritikus bahkan menilai teori Lasswell melampau teori
Aristoteles. Jika Aristoteles hanya mendefinisikan tujuan
komunikasi sebagai proses membangun citra positif agar
ucapan seseorang didengar orang lain, maka Lasswell
mendefinisikan tujuan komunikasi sebagai penciptaan
pengaruh dari pesan yang disampaikan.

Setahun setelah Lasswell memublikasikan teorinya,
Claude Shannon memunculkan teori baru tentang pola
komunikasi yang merupakan hasil penelitian Shannon di
perusahaan Bell Telephone.

Gagasan Shannon-Weaver menggambarkan penting-
nya perluasan komunikasi, dari praktik bercakap, menu-

60

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

lis atau melalui media massa. Komunikasi menurut Shan-
non Weaver meliputi juga aktivitas lain, seperti bermusik,
bermain balet, atau pentas teater.

Walaupun pola komunikasi Shannon-Weaver memi-
liki kesamaan dengan Laswell dalam hal perspektif yang
digunakan yaitu pola komunikasi verbal yang searah,
namun teori Shannon-Weaver menjelaskan komunikasi
secara lebih rinci. Mereka misalnya membedakan antara
sinyal dan pesan, antara sumber informasi dan trans-
miter, dan antara penerima pesan (receiver) dan tujuan
(destination). Shannon-Weaver juga memperkenal istilah
noise, yakni segala hal yang dapat menyebabkan penyim-
pangan dalam penyampaian pesan.

Perkembangan komunikasi kemudian dilanjutkan
dengan munculnya teori Wilbur Schramm. Schramm yang
oleh Alwi Dahlan, salah satu pakar komunikasi Universi-
tas Indonesia, disebut sebagai salah satu dari empat ‘ba-
pak komunikasi dunia’ pada tahun 1954 menulis artikel
dengan judul ‘How communication work’.

Model pertama sejatinya merupakan pengembangan
dari model Shannon-Weaver. Pada model ini Schramm
kembali menekankan komunikasi sebagai proses yang
memiliki tujuan untuk membangun kesamaan antara sum-
ber dan penerima pesan.

Jadi, ketika seseorang ingin berkomunikasi, maka
ia harus bisa menerjemahkan pikiran dan perasaan yang
akan disampaikan ke penerima dalam suatu bentuk yang
dapat ditransmisikan. Gambar dalam pikiran kita mi-
salnya, tentu tidak akan dapat ditransmisikan kecuali
gambar tersebut diterjemahkan ke dalam deskripsi kata.
Proses penerjemahan ini disebut encoder, sedangkan

61

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

rangkaian kata yang mewakili penerjemahan disebut
sinyal. Sedangkan dari sisi penerima pesan, kata-kata
yang didengar kemudian disusun sedemikian rupa untuk
memperoleh gambar utuh yang dimaksud oleh pengi-
rim. Dalam model ini memang Schramm mengabaikan
apakah terjadi penyimpangan (distorsi) pada penerima
atau tidak, sehingga tidak masalah apakah gambar yang
dikirim oleh sumber sama dengan penerima atau tidak.

Setelah pesan sampai ke tujuan, menurut Schramm,
kemudian akan terjadi tanggapan balik (feedback). Me-
nurut Schramm, feedback diperlukan untuk mengurangi
hambatan noise (gangguan). “Seorang komunikator yang
baikakansecaraaktifmenggunakan feedbackuntuk meng-
interpretasikan sekaligus memodifikasi pesan” kata
Schramm (dalam Ruben, 2002: 28). Dengan adanya
feedback, Schramm mengatakan bahwa antara sumber
(source) dan penerima pesan (destination) sebenarnya
tidak dapat dibedakan, karena memang terjadi secara
bolak-balik. Untuk itu, Schramm lalu mengajukan model
komunikasi kedua seperti berikut ini.

Pada model kedua ini Schramm memperkenalkan
konsep baru komunkasi, ield experience. Menurut
Schramm, ield experience merujuk pada kesamaan latar
belakang dan pengalaman (seperti kesamaan bahasa dan
kultur) antara pengirim dan penerima pesan. Karenanya,
ield experience diperlukan untuk menjelaskan apakah
pesan yang dikirim akan diterima dengan baik atau tidak.

Selanjutnya komunikasi berkembang sesuai payung
teorinya yang dibagi menjadi empat golongan besar,
yakni:

62

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

• Discourse of Representative

Aliran ini menekankan pada keterwakilan, yakni te-
ori komunikasi yang dikembangkan secara kuantitatif,
yang diwakili oleh rumusan X→Y (faktor x mempengar-
uhi faktor y), seperti teori pengaruh menonton tayangan
kekerasan terhadap prilaku agresivitas anak SD. Aliran
ini sangat menekankan keterpisahan antara peneliti dan
yang diteliti sebagai sebuah nilai objektivitas. Aliran ini
disebut juga aliran Chicago.

• Discourse of Understanding

Aliran ini menekankan pada pemahaman. Yakni un-
tuk memahami objek kita harus melakukan interaksi
dengan yang diteliti. Tidak seperti aliran pertama, aliran
kedua justru membolehkan adanya interaksi peneliti dan
yang diteliti. Seperti ketika meneliti pola komunikasi da-
lam suatu kebudayaan tertentu, maka penelitian yang
terbaik adalah dengan cara kita berinteraksi dengan ke-
budayaan tersebut. Realitas, dengan demikian merupa-
kan bangunan bersama antara peneliti dan yang diteliti.
Aliran ini menekankan pada metode kualitatif.

• Discourse of Suspicion

Aliran ini disebut juga aliran kritis, yakni berusaha
mendobrak struktur komunikasi dan struktur sosial
yang mempengaruhi pola komunikasi suatu masyarakat.
Aliran ini tumbuh di Frankfurt dan karenanya disebut
juga sebagai aliran Frankfurt. Sifat kritis pada aliran ini
berasal dari adopsi pemikiran Karl Marx yang kemu-
dian dimodifikasi. Pada dasarnya aliran ini mendobrak
struktur sosial dan politik yang dikuasai oleh penguasa

63

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar

dan pemilik modal, sehingga lebih berorientasi pada
masyarakat luas.

• Discourse of Vulnerability

Aliran ini disebut juga aliran postmodernism, yakni
aliran yang menolak keberadaan struktur sosial. Menurut
aliran ini yang ada adalah perubahan minat (interest) dan
ide. Karenanya pola komunikasi pun harus dibebaskan
dari struktur yang melingkupinya.

Seiring dengan perkembangan zaman, teori komu-
nikasi hingga kini masih terus berkembang. Straubhaar
(2003: xiii), seorang teoritisi komunikasi dari University
of Texas, AS, mengatakan komunikasi kekinian adalah
komunikasi yang termediasi oleh teknologi dalam ber-
bagai bentuk jenis media baru. Media baru tersebut se-
jatinya adalah media massa yang mengalami perubahan
konsep secara cepat seiring dengan percepatan teknologi
komputer, Internet, dan telekomunikasi digital. Tumbuh-
nya media baru juga diikuti oleh meningkatnya akumu-
lasi konsumsi informasi. Di negara maju seperti AS, rata-
rata orang menonton TV adalah 2.600 jam per tahun,
atau setara dengan 325 hari efektif kerja.

Proses perkembangan komunikasi pada periode ini
secara umum mengikuti pola perubahan:
1. Perubahan sudut pandang komunikasi, dari yang

menitik-beratkan pada pesan dan sumber bergeser
pada penerima dan makna pesan.
2. Dari satu arah menjadi bolak-balik bahkan berputar
(circular).
3. Dari statis menjadi process-oriented (berorientasi
pada proses).

64

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 2 Filsafat dan Perkembangan Ilmu Komunikasi

4. Dari yang menekankan pada pengiriman informasi
berubah menjadi menekankan pada interpretasi.

5. Dari menekankan pada public speaking menjadi ko-
munikasi yang menekankan pada konteks individu,
hubungan, organisasi, masyarakat, dan media.

Senada dengan hal tersebut, Littlejohn (2002: 12-13)
mengidentifikasi lima kelompok teori komunikasi yang
kini tengah berkembang dalam diskursus ilmu komuni-
kasi:
1. Structural and functional theories; yakni teori komu-

nikasi yang dikembangkan dari ilmu sosial. Teori ini
melihat struktur sosial sebagai sesuatu yang nyata seka-
ligus dapat diukur. Sebagai contoh, teori ini menga-
takan bahwa hubungan personal tersusun sedemiki-
an rupa sebagaimana material bangunan membentuk
rumah, melalui pengorganisasian bahasa dan sistem
sosial.
2. Cognitive and behavioral theories; merupakan teori
yang dikembangkan dari psikologi, yakni berfokus
pada hubungan cara berpikir dengan tingkah laku
individu.
3. Interactionist theories; teori yang melihat kehidupan
sosial sebagai proses interaksi. Komunikasi dalam
hal ini merupakan wahana belajar bagaimana bersi-
kap dan bagaimana memaknai. Teori ini juga bisa
digunakan untuk menjelaskan pola ritual yang dila-
kukan oleh kelompok masyarakat tertentu.
4. Interpretative theories; teori ini mencoba menjelas-
kan arti dari suatu tindakan atau teks dalam kaitan-
nya dengan pengalaman individu.

65

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat Suatu Pengantar
5. Critical theories; teori ini berupaya menelisik kepen-

tingan publik dalam struktur komunikasi yang ada.
Teori ini biasanya berfokus pada situasi yang tim-
pang (inequal) dan menindas (oppression).
Dari pemaparan tersebut jelas terlihat bahwa bagai-
manapun kelahiran dan perkembangan komunikasi se-
bagai suatu disiplin tidak terlepas dari filsafat.

66

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 3 Kebenaran dalam Etika dan Filsafat Komunikasi

BAB 3

KEBENARAN DALAM ETIKA DAN
FILSAFAT KOMUNIKASI

A. PENGERTIAN KEBENARAN

Susahnya mendefinisikan kebenaran, sebagaimana
telah diuraikan pada pejelasan terdahulu, ibarat orang
buta menjelaskan gajah. Ada orang buta yang mengata-
kan gajah itu panjang, karena yang ia sentuh adalah be-
lalai gajah. Sementara temannya yang juga buta akan
mengatakan bahwa gajah itu tipis dan lebar (menunjuk
pada telinga gajah), bahkan ada pula orang buta yang
mendefinisikan gajah itu lembek (merujuk pada kotoran
gajah). Tentu masing-masing definisi tidak salah, namun
juga tidak bisa dikatakan benar seratus persen. Kira-kira
seperti itulah gambaran mendefinisikan pengertian ke-
benaran. Tiap ahli yang memaparkan ide tentang sudut
pandang kebenaran termasuk bagaimana membuktikan-
nya.

Secara etimologi (bahasa) kata “benar” mempunyai
arti:
1. Tidak salah, lurus, dan adil.

Contohnya dalam kalimat, “hitungannya benar”.
2. Sungguh-sungguh, tidak bohong.

67

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

Contohnya dalam kalimat, “kabar itu benar”.
3. Sesungguhnya, memang demikian halnya.

Contohnya dalam kalimat, “benar ia tidak bersalah,
tetapi ia terlibat perbuatan ini”.
4. Sangat, sekali.
Contohnya dalam kalimat, “enak benar mangga ini”.

Sedangkan secara epistemologi (istilah), pengertian
kebenaran dapat dilihat dari berbagai teori mengenai ke-
benaran, yang antara lain (Suhartono Suparlan, 2007:
93):
1. Teori koherensi

Menurut teori ini suatu pengetahuan, teori, pernya-
taan, proposisi atau hipotesis dianggap benar bila
ia sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau
hipotesis lainnya, yakni kalau proposisi itu meneguh-
kan dan konsisten dengan sebelumnya. Jika “semua
manusia pasti akan mati” adalah benar, maka “si A
akan mati” adalah benar juga.
2. Teori korespondensi
Suatu pernyataan adalah benar jika ia berhubungan
dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu. Con-
toh, “Jakarta adalah Ibu Kota Indonesia” adalah be-
nar karena sesuai dengan fakta.
3. Teori pragmatis
Suatu pernyataan dinilai benar jika konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi
kehidupan manusia. Contoh, “memakai helm wajib
bagi pengendara sepeda motor”, adalah benar karena
pernyataan tersebut berguna dalam kehidupan prak-
tis.

68

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 3 Kebenaran dalam Etika dan Filsafat Komunikasi

4. Teori koherensi
Menurut teori ini sesuatu dianggap benar bila ia ber-
kaitan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah
pasti benar. Misalnya, pernyataan bahwa “presiden
di Indonesia tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen”
adalah benar karena bertalian dengan pernyataan se-
belumnya, yakni “Indonesia menganut sistem peme-
rintahan presidensial”.

B. KEBENARAN ILMIAH DAN KEBENARAN NON-ILMIAH

Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berda-
sarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Ke-
benaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan
pendekatan pragmatis, koresponden, dan koheren. Ber-
beda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasar-
kan penalaran logika ilmiah, ada juga kebenaran karena
faktor-faktor non-ilmiah.

Diantaranya kebenaran non-ilmiah adalah:
• Kebenaran karena kebetulan

Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak
ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan ka-
rena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang
tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan
bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah, misal-
nya penemuan kristal Urease oleh Dr. J. S. Summers.
• Kebenaran karena akal sehat (common sense)
Akal sehat adalah serangkaian konsep yang diper-
cayai dapat memecahkan masalah secara praktis.
Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat
utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran

69

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian mem-
buktikan hal itu tidak benar.
• Kebenaran agama dan wahyu
Kebenaran mutlak dan asasi dari Tuhan. Beberapa
hal masih bisa dinalar dengan pancaindra manusia,
tapi sebagian hal lain tidak dan karenanya membu-
tuhkan keyakinan (keimanan).
• Kebenaran intuitif
Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa
menggunakan penalaran dan proses berpikir. Ke-
benaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa di-
buktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang
berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu
bidang. Contohnya adalah Mbah Marijan yang be-
berapa waktu lalu tidak mau diungsikan dari gunung
merapi dengan alasan merapi tidak akan meletus.
Kebenaran bahwa merapi tidak akan meletus dida-
pat Mbah Marijan atas dasar instuisi.
• Kebenaran karena trial and error
Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang
pekerjaan, baik metode, teknik, materi, dan para-
meter-parameter sampai akhirnya menemukan se-
suatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi.
• Kebenaran spekulasi
Kebenaran karena adanya pertimbangan meski-pun
kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan de-
ngan penuh risiko, relatif lebih cepat, dan biaya lebih
rendah daripada trial-error.
• Kebenaran karena kewibawaan
Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewiba-
waan seseorang. Seseorang tersebut bisa ilmuwan,

70

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 3 Kebenaran dalam Etika dan Filsafat Komunikasi

pakar atau ahli yang memiliki kompetensi dan oto-
ritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran
yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu
diuji. Kebenaran ini bisa benar tapi juga bisa salah
karena tanpa prosedur ilmiah.
• Kebenaran karena kekuasaan
Yaitu, sesuatu menjadi benar atau salah karena adan-
ya intervensi kekuasaan. Contohnya adalah invasi
Amerika Serikat ke Irak, yang menjadi benar karena
Amerika Serikat memiliki kekuasaan (power).

C. KEBENARAN KEFILSAFATAN

Kebenaran kefilsafatan harus memenuhi empat as-
pek, yakni objek materi, forma, metode dan sistem yang
terkait dengan kebenaran, dengan penjelasan sebagai
berikut (lihat Suhartono Suparlan, 2007: 93-94):
1. Objek materi, dimana filsafat mempelajari segala se-

suatu yang ada, sehingga dapat kita pahami bahwa
kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat umum-
universal, yang berarti tidak terkait dengan jenis-je-
nis objek tertentu. Misalnya, objek manusia, maka
tidak dibatasi pada manusia etnis, golongan, dan za-
man tertentu. Jadi, kebenaran terkait pada manusia,
harus pula pencakup semua golongan manusia, apa
pun etnisnya dan kapan pun zamannya. Dengan de-
mikian, kebenaran kefilsafatan lebih cenderung ber-
sifat universal.
2. Objek forma, kebenaran ilmu pengetahuan filsafat
itu bersifat metafisika, yakni meliputi ruang ling-
kup mulai dari konkret-khusus sampai kepada yang
abstrak-universal. Contohnya adalah macam-macam

71

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

segitiga yang sebenarnya memiliki sifat yang sama,
yaitu tiga garis lurus yang saling berpotongan sehing-
ga membentuk tiga sudut yang kesemuanya berjum-
lah 180 derajat. Itulah acuan kebenaran filsafat yang
abstrak-metafisika. Hal ini pun berlaku bagi fenom-
ena manusia yang pluralistis. Bagaimanapun manu-
sia itu beraneka ragam yang kesemuanya memiliki
ciri-ciri khas.
3. metode, kefilsafatan terarah pada pencapaian penge-
tahuan esensial atas setiap hal dan pengetahuan ek-
sistensial daripada segala sesuatu dalam keterikatan
yang utuh (kesatuan).
4. sistem, kebenaran bersifat dialektis, yakni senantiasa
terarah kepada keterbukaan bagi masuknya ide-ide
baru dan pengetahuan-pengetahuan baru yang sema-
kin memperjelas kebenaran.

D. KEBENARAN SEBAGAI NILAI FUNDAMENTAL

Louis Alvin Day dalam bukunya yang berjudul “Ethics
in Media Communication”, 2006: 78 mengatakan bahwa
lawan dari kebenaran adalah bohong (lying), penipuan
(deception), dan ketidakjujuran (dishonesty). Deception
menurutnya adalah “pesan komunikasi yang disengaja
agar orang lain mendapatkan pemahaman yang salah,
atau agar mereka meyakini apa yang kita sendiri tidak
yakin akannya”. Deception, dengan demikian dihasilkan
tidak hanya dari ucapan, tapi juga perilaku, gerak tubuh,
hingga sebuah senyum. Bahkan pada kondisi tertentu,
menahan informasi merupakan bagian dari Deception.

Sedangkan bohong (lying) merupakan subkategori
dari deception dan meliputi komunikasi tentang infor-

72

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 3 Kebenaran dalam Etika dan Filsafat Komunikasi

masi yang salah dimana komunikator sendiri mengeta-
hui bahwa informasi tersebut adalah salah. Menurut Day
kategori terakhir banyak dilakukan oleh praktisi media,
walaupun pada banyak kasus mereka sendiri menyada-
rinya.

Komitmen terhadap kebenaran merupakan salah sa-
tu nilai fundamental dalam kehidupan manusia, yang te-
lah ada sejak zaman dahulu kala. Immanuel Kant, misal-
nya mengatakan bahwa kebenaran merupakan sesuatu
yang harus ditegakkan, apapun resiko yang ada. Bahkan
Socrates rela dihukum mati demi mempertahankan ke-
bebasan berbicara sebagai sebuah norma kebenaran. Se-
hingga dengan demikian, sejatinya kebenaran sebagai se-
buah norma adalah bukan hal yang baru. Tidak seperti
demokrasi misalnya, norma ini tentu saja lahir dalam ma-
syarakat modern. Dalam konteks Indonesia, bahkan, de-
mokrasi sebagai norma kehidupan bernegara baru mun-
cul pasca reformasi tahun 1998.

E. MAKNA PENTING KEBENARAN

Dalam teori interaksi simbolis hakikat manusia ada-
lah makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat
relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila
kemudian teori interaksi simbolik segera mengedepan bi-
la dibandingkan dengan teori-teori sosial lainnya. Alas-
annya ialah diri manusia muncul dalam dan melalui in-
teraksi dengan yang di luar dirinya. Interaksi itu sendiri
membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol itu biasa-
nya disepakati bersama dalam skala kecil pun skala be-
sar. Simbol-misalnya bahasa, tulisan, dan simbol lainnya
yang dipakai-bersifat dinamis dan unik.

73

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

Keunikan dan dinamika simbol dalam proses inter-
aksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, ak-
tif, dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol
yang muncul dalam interaksi sosial. Penafsiran yang te-
pat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkem-
bangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran
yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup
manusia dan lingkungannya.

Keterbukaan individu dalam mengungkapkan diri-
nya merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam
interaksi simbolik. Hal-hal lainnya yang juga perlu di-
perhatikan ialah pemakaian simbol yang baik dan benar
sehingga tidak menimbulkan kerancuan interpretasi. Se-
tiap subyek mesti memperlakukan individu lainnya seba-
gai subyek dan bukan obyek. Segala bentuk apriori mesti
dihindari dalam menginterpretasikan simbol yang ada.
Ini penting supaya unsur subyektif dapat diminimalisir
sejauh mungkin. Pada akhirnya interaksi melalui simbol
yang baik, benar, dan dipahami secara utuh akan membi-
dani lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup manusia.

Sehingga dengan demikian, kebenaran pun sejatinya
merupakan rumusan bersama sebagai hasil interaksi so-
sial. Dalam konteks interaksi sosial inilah, terdapat sejum-
lah hal sehingga kebenaran dipandang sebagai sesuatu
yang penting dalam sebuah peradaban. Pertama, ketiada-
an integritas dalam komunikasi antarmanusia akan ber-
buntut pada penggusuran otonomi individu. Hal ini di-
karenakan karena sebagai makhluk yang rasional, manu-
sia sangat bergantung pada kebenaran dan akurasi dari
informasi yang kita peroleh. Kondisi ini akan memung-
kinkan manusia menggunakan kebebasannya dalam hal
memilih (freedom of choice).

74

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 3 Kebenaran dalam Etika dan Filsafat Komunikasi

Alasan kedua pentingnya komitmen kebenaran ada-
lah bahwa kebenaran menunjukkan rasa menghargai
orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai alat (tool). Peni-
puan (deception) kadangkala menempatkan kepentingan
individu di atas kepentingan masyarakat. Kebenaran se-
bagai bagian dari penghargaan terhadap orang lain pada
gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan antar-indi-
vidu. Dalam konteks sosial, kepercayaan merupakan
prasyarat terbentuknya ikatan sosial. Banyangkan misal-
nya, jika dalam suatu kelompok sosial tidak ada lagi ke-
benaran, maka yang ada adalah rasa saling mencurigai.
Dengan demikian, maka tidak akan ada ikatan dan kerja
sama sosial.

Terakhir, kebenaran merupakan unsur yang esensial
bagi kelancaran proses demokrasi. Menurut Habermas,
negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi ko-
munikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem
politik.

Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melang-
sungkan diskursus publik dalam berbagai bentuk dan isi.
Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontro-
versi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang ren-
dah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik
politis berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang pub-
lik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang ma-
nipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski
demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat di-
terima begitu saja sebagai opini publik. Andai kata se-
mua suara memiliki akses dalam proses pengambilan ke-
putusan publik tanpa saringan, kiranya pemerintahan se-
macam itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat di-
anggap tak ada.

75

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

Jika publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di
antara argumen-argumen dengan kemenangan argumen
yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opi-
ni publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma
argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih me-
nentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argu-
men yang lebih baik akan mendapatkan mayoritas suara
atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik
itu sendiri.

F. DIKOTOMI KEBENARAN DALAM KOMUNIKASI

Menurut Yasraf Amir Piliang (1999), jaringan ko-
munikasi yang berskala global telah menggiring ke arah
proses komunikasi dan arus informasi yang berlangsung
cepat dan padat. Peningkatan tempo kehidupan di dalam
skema globalisasi informasi telah menciptakan keber-
gantungan tinggi pada berbagai teknologi informasi dan
komunikasi. Akan tetapi, teknologi informasi dan komu-
nikasi yang kecepatannya bertumbuh secara eksponensi-
al (semakin cepat, padat, mini) telah mengondisikan pola
komunikasi yang juga semakin cepat, ringkas, instan,
dan padat.

Dalam dorongan kecepatan yang tak kuasa diken-
dalikan, komunikasi dan informasi menjadi sebuah teror
(terror of speed), yang menghasilkan kecemasan (anxi-
ety) dan kondisi panik (panics): kecepatan pergantian
citra televisi yang tak sanggup dicerna; serbuan pesan-pe-
san e-mail, blog, atau spam Internet yang tak mampu di-
maknai; kecepatan pergantian perangkat lunak yang tak
mampu diikuti; gelombang pergantian gaya dan gaya hi-
dup yang menjadikan orang selalu merasa kurang (lack)
dan ketinggalan zaman.

76

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 3 Kebenaran dalam Etika dan Filsafat Komunikasi

Menuju Teori Disinformasi

Media komunikasi di abad informasi-digital berkem-
bang ke arah sebuah titik, yang di dalamnya terjadi pe-
lencengan fungsi komunikasi, kesimpangsiuran tanda,
pengaburan makna, pendistorsian realitas, dan penisbian
kebenaran. Komunikasi tak lagi punya tujuan pasti; in-
formasi tak lagi punya makna yang jelas. Informasi ber-
kembang ke arah sifat superlatif, yang diproduksi dalam
porsi berlebihan.

Realitas komunikasi menciptakan pula kondisi ke-
mustahilan interpretasi karena apa yang ditampilkan se-
bagai sebuah kebenaran (truth) boleh jadi tak lebih dari
sebuah kebohongan (misalnya, citra teroris). Kini tak ada
lagi batas pasti antara kebenaran dan kepalsuan. Orang
dihadapkan pada kesulitan besar dalam memisahkan an-
tara kebenaran dan kepalsuan. Kepalsuan yang dikemas
dengan teknik imagologi yang cerdas melalui manipulasi
computer graphic, kini dapat tampil sebagai kebenaran
yang meyakinkan.

Karenanya, kebenaran dalam media massa menjadi
hal yang krusial karena kebenaran versi media kadang
kala berbeda dengan kebenaran versi masyarakat. Hal ini
karena aplikasi kebenaran dalam media dipengaruhi oleh
lingkungan yang melingkupi media, seperti pemilik mo-
dal dan pengiklan.

Namun demikian, dalam jurnalistik sendiri terdapat
standar minimum sebagai konsep dari kebenaran dalam
me-report kebenaran. Pertama, report harus akurat, de-
ngan cara melakukan verifikasi fakta sehingga diperoleh
bukti yang valid. Jika ada yang meragukan, maka audi-
ens harus diberi tahu bahwa informasi yang disampaikan

77

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar

belum didukung oleh bukti yang bisa divalidasi. Bahkan
ketika reporter tidak mengetahui apakah materi yang di-
sampaikan oleh seorang ahli itu benar atau salah, maka
tetap menjadi kewajiban reporter untuk menyampaikan
kebenaran kepada masyarakat, paling tidak dengan me-
milih narasumber dengan track-record yang dipercaya.

Kedua, untuk mendukung kebenaran dalam media
seorang jurnalis perlu melakukan upaya pencerdasan de-
ngan cara mendorong pemahaman audiensi. Pemahaman
audiens kadangkala dibatasi oleh waktu dan space yang
diberikan terhadap suatu liputan. Dengan demikian, ma-
ka suatu laporan mesti berisi sejumlah informasi yang
memberi pemahaman bagi audiens. Dengan demikian se-
orang jurnalis mesti bisa memosisikan diri antara, mem-
buka semua hal atau sama sekali tidak me-report tentang
hal tersebut. Kondisi tersebut menjadi lebih rumit bila se-
orang jurnalis kemudian mendapat tekanan dari kekuat-
an politik atau kekuatan ekonomi

Ketiga, suatu laporan mesti bersifat fair dan seim-
bang. Prinsip ini menghindari bias yang sangat mungkin
timbul dalam suatu laporan. Seorang reporter haruslah
menguasai materi yang dilaporkan sehingga ia akan tahu
ketika laporannya bias. Alvin Day mengatakan bahwa,
reportase yang bias sangat berpotensi muncul dalam si-
tuasi krisis, seperti pada peristiwa 9/11 di New York,
dimana jurnalis sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya
yang terjadi ketika itu.

Tentang ambiguitas kebenaran dalam media, Bill
Kovach dan Rosenstiel, wartawan Amerika menulis da-
lam buku yang berjudul The Elements of Journalism: What
Newspeople Should Know and the Public Should Expect
(2001), menerangkan bahwa masyarakat butuh prose-

78

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 3 Kebenaran dalam Etika dan Filsafat Komunikasi

dur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebe-
naran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersang-
ka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan
peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pab-
rik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat.
Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada
anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fung-
sional.

Dikotomi lain pada media adalah kebenaran dalam
iklan. Kebenaran dalam iklan, maka sejatinya tidak lebih
dari logika ekonomi liberal, yang berujung pada akumula-
si keuntungan. Iklan mengkonstruksi kebenarannya sen-
diri untuk kemudian digandakan secara massal dan te-
rus-menerus, sehingga pada akhirnya masyarakat melihat
konstruksi kebenaran yang ditawarkan oleh iklan meru-
pakan kebenaran itu sendiri. Iklan menjungkirbalikkan
apa yang sebelumnya merupakan kebutuhan (need) bagi
masyarakat untuk kemudian diubah menjadi keinginan
(want), begitu juga sebaliknya. Contoh kecil misalnya,
persoalan makan daging ayam yang sejatinya merupakan
kebutuhan (need) tapi oleh iklan dicitrakan sedemikian
rupa bahwa makan yang sehat, nyaman dan menggem-
birakan, dan karenanya merupakan makan yang benar,
justru ada pada KFC atau McDonald misalnya. Publik
tidak lagi melihat makan daging ayam sebagai sebuah ke-
butuhan, tapi menjadi keinginan.

Etika periklanan sendiri mengatakan bahwa pengik-
lan memiliki tanggung jawab atas kebenaran informasi
tentang produk yang diiklankan. Termasuk ikut membe-
rikan arah, batasan, dan masukan pada iklan agar tidak
terjadi janji yang berlebihan atas kemampuan nyata
suatu produk. Seberapa jauh tanggung jawab pengiklan

79

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 1 Kajian Filsafat: Suatu Pengantar
pada pesan-pesan iklan yang melanggar etika, akibat ke-
salahan informasi yang diberikan kepada perusahaan
periklanannya. Tingginya tingkat pelanggaran etika iklan
obat bebas, obat tradisional, dan suplemen makanan saat
ini sudah sangat memprihatinkan. Padahal ketiga kate-
gori produk tersebut termasuk memiliki teknis medis yang
membahayakan masyarakat bila digunakan secara tidak
benar atau tidak wajar.

80

BAGIAN KEDUA
KAJIAN FILSAFAT: KOMUNIKASI

http://facebook.com/indonesiapustaka

http://facebook.com/indonesiapustaka

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 4 Hakikat Filsafat Komunikasi

BAB 4
HAKIKAT FILSAFAT KOMUNIKASI

A. HAKIKAT FILSAFAT KOMUNIKASI

Proses komunikasi dapat dilihat dalam dua perspektif
besar, yaitu perspektif psikologis dan mekanis. Perspektif
psikologis dalam proses komunikasi hendak memperli-
hatkan bahwa komunikasi adalah aktivitas psikologi so-
sial yang melibatkan komunikator, komunikan, isi pesan,
lambang, sifat hubungan, persepsi, proses decoding, dan
encoding. Perspektif mekanis memperlihatkan bahwa
proses komunikasi adalah aktivitas mekanik yang dilaku-
kan oleh komunikator, yang sangat bersifat situasional
dan kontekstual.

Dari proses komunikasi yang begitu kompleks dan
tidak sederhana tersebut, refleksi komunikasi diperlukan
untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas dan kom-
prehensif. Refleksi proses komunikasi tersebut sering di-
masukkan dalam disiplin filsafat komunikasi.

Menurut Prof. Onong Uchjana Effendi (2003: 321),
filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang menelaah
pemahaman (verstehen) secara lebih mendalam, funda-
mental, metodologis, sistematis, analitis, kritis dan kom-

83

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 2 Kajian Filsafat: Komunikasi

prehensif teori dan proses komunikasi yang meliputi se-
gala dimensi menurut bidang, sifat, tatanan, tujuan, fung-
si, teknik, dan metode-metodenya.

Bidang komunikasi, meliputi komunikasi sosial, or-
ganisasional, bisnis, politik, internasional, komunikasi
antar budaya, pembangunan, tradisional dan lain-lain.

Sifat komunikasi, meliputi komunikasi verbal dan
nonverbal. Tatanan komunikasi, meliputi intrapribadi,
antarpribadi, kelompok, massa, dan media.

Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah
sikap, opini, perilaku, masyarakat, dan lainnya. Semen-
tara itu, fungsi komunikasi adalah menginformasikan,
mendidik, mempengaruhi.

Teknik komunikasi terdiri dari komunikasi informa-
tif, persuasif, pervasif, koersif, instruktif, dan hubungan
manusiawi. Metode komunikasi, meliputi jurnalistik, hu-
bungan masyarakat, periklanan, propaganda, perang urat
saraf, dan perpustakaan.

Sehingga dengan demikian bisa dikatakan bahwa fil-
safat komunikasi adalah ilmu yang mengkaji setiap as-
pek dari komunikasi dengan menggunakan pendekatan
dan metode filsafat sehingga didapatkan penjelasan yang
mendasar, utuh, dan sistematis seputar komunikasi.

Pemikiran filsafat komunikasi merupakan pemikiran
yang menyatu dengan pemikiran teori komunikasi. Bebe-
rapa tokoh yang menjadi pemikir filsafat komunikasi
adalah Richard L. Lanigan, Stephen Littlejohn, Whitney
R. Mundt.

84

http://facebook.com/indonesiapustaka Bab 4 Hakikat Filsafat Komunikasi

B. PEMIKIRAN RICHARD L. LANIGAN

Richard L. Lanigan secara khusus membahas analisis
filosofis atas proses komunikasi. Filsafat dalam disiplin
ilmu komunikasi biasanya meletakkan titik refleksinya
pada pertanyaan-pertanyaan:
• Apa yang aku ketahui? (masalah ontologi atau meta-

fisika)
• Bagaimana aku mengetahuinya? (masalah episte-

mologi)
• Apakah aku yakin? (masalah aksiologi)
• Apakah aku benar? (masalah logika)

1. Metafisika

Richard L. Lanigan menyatakan bahwa metafisika
adalah studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realitas.
Dalam metafisika, ada beberapa hal yang direfleksikan.
Hal-hal itu adalah sifat manusia dan hubungannya den-
gan alam, sifat dan fakta kehidupan manusia, problema
pilihan manusia, dan soal kebebasan pilihan tindakan
manusia. Dalam hubungannya dengan teori komunikasi,
metafisika berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
• Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual

dan individual dengan realita dalam alam semesta.
• Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan

aturan.
• Problema pilihan, khususnya kebebasan versus deter­

minisme pada perilaku manusia.

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya “Filsa-
fat Ilmu” (2005: 63) mengatakan bahwa, metafisika

85

http://facebook.com/indonesiapustaka Bagian 2 Kajian Filsafat: Komunikasi

merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan
zat, pikiran, dan kaitan zat dengan pikiran. Sedangkan
mengenai objek metaisika ditegaskan oleh Aristoteles,
yang mengatakan ada dua, yakni ada sebagai yang ada
dan ada sebagai yang Ilahi. Pendapat Aristoteles terse-
but dijelaskan oleh Prof. Dr. Delfgaauw dalam karyanya
“Metafisika” sebagai berikut:

• Ada sebagai yang Ada

Mengenai hal ini ilmu pengetahuan berupaya meng-
kaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bah-
wa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata
tidak terkena perubahan. Ciri bahwa yang ada itu sung-
guh-sungguh ada, ialah dapat dicerapnya oleh pancain-
dra. Oleh karena itu, metafisika disebut juga ontologi.

• Ada sebagai yang Ilahi

Hal lain adalah keberadaan yang mutlak, yang sama
sekali tidak bergantung pada yang lain. Ini berarti bahwa
suatu yang ada adalah yang seumum-umumnya dan yang
mutlak, yakni Tuhan. Apabila kita berbicara tentang
yang Ilahi berarti kita bertolak dari sesuatu yang pada
dasarnya tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, kar-
ena Tuhan tidak dapat diketahui dengan menggunakan
alat-alat inderawi.

2. Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menye-
lidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan ma-
nusia (a branch of philosophy that investigates the origin,
nature, methods, and limits of human knowledge).

86


Click to View FlipBook Version