Sebagaimana diceritakan Ma Muah, pendongeng desa mereka,
banyak orang di kampung itu memiliki harimau. Beberapa dari
mereka mempunyainya sebab kawin dengan harimau, yang lain
memperolehnya dari warisan yang diturunkan dari generasi ke
generasi. Kakek memiliki itu dari ayahnya, dan ayahnya dari
ayahnya, dari nenek moyang yang barangkali tak lagi diingat
siapa yang pertama kawin dengan harimau.
Ma Muah akan mendongeng di teras rumah, di malam-malam
yang hangat. Anak-anak bergerombol di samping dan belakang
dan di kakinya, dengan beberapa gadis memijit-mijit pundaknya.
Jika ia mendongeng di sore hari, gadis-gadis itu akan mencari
kutu di rambutnya. Ia selalu punya cerita yang belum dikisahkan,
dan ia tak perlu mengarang-ngarang itu semua, sebab sebagaima
na katanya, semua itu sungguh terjadi, di masa lampau sebagai
mana ia dengar dari pendongeng sebelumnya dan pendongeng
itu mendengarnya dari yang sebelumnya lagi, atau kisah-kisah itu
memang terjadi juga saat ini, dan hanya dimengerti oleh orang-
orang terpilih, dan tentu saja Ma Muah merupakan nenek tua
yang terpilih.
Sepanjang yang diingat Margio, Ma Muah tak punya laki dan
anak, dan tak punya kerja pula, kecuali mendongeng dan men
dongeng. Ia boleh pergi ke dapur siapa pun dan makan di sana,
atau seseorang akan datang ke gubuknya membawa makanan.
Orang-orang mencintainya, terlebih anak-anak. Ia punya cerita
tentang buta yang berkutu ular dan kalajengking di rambutnya,
namun hanya makan umbi rumput teki. Ada cerita tentang
putri-putri jin yang menculik pemuda tampan dan membawanya
ke kerajaan mereka, jin-jin ini tidaklah jahat asal tempat-tempat
mereka tidak diganggu. Tempat-tempat itu telah dikenali Margio,
berupa mata air, palung sungai, puncak bukit, pohon besar, dan
43
menara masjid. Namun tetap saja tak ada yang lebih menarik
minat Margio melebihi harimau putih yang menjaga mereka.
Kata Ma Muah, harimau itu ada bersama pemiliknya dan se
lalu menjaga dari segala marabahaya. Kata Ma Muah pula, ka
keknya termasuk salah satu yang memelihara harimau putih.
Tapi kakeknya tak pernah mau cerita tentang harimau itu, sebab
ia masih kecil, katanya, dan tak mungkin bisa menjinakkan
binatang buas semacam itu. Ia lebih besar dari harimau pohon,
lebih besar dari yang dilihat orang di kebun binatang atau
sirkus, atau buku pelajaran sekolah. Jika seseorang tak bisa
mengendalikan binatang ini, ia bisa begitu ganasnya hingga tak
ada apa pun bisa menahannya jika ia mengamuk.
“Tapi aku sekadar ingin melihat,” kata Margio.
“Kelak saja, barangkali kau akan memilikinya.”
Ia telah sering mendengar kemasyhuran kakeknya, juga tetua
kampung yang lain, bagaimana mereka bertahan dari penculikan
orang-orang Belanda yang akan membuang pemuda-pemuda ter
baik ke tanah Deli untuk kerja paksa. Mereka tak mempan atas
peluru senapan, juga samurai Jepang yang datang belakangan,
dan jika mereka marah, harimau putih itu akan keluar dari tubuh
mereka menyerang setiap musuh. Bahkan kaum gerombolan
yang lama setelah itu bergerilya di dalam hutan, bisa mereka usir,
dan kata Ma Muah, itu disebabkan persahabatan asali mereka
dengan harimau-harimau tersebut, yang menjadi berkerabat oleh
perkawinan silang di antara mereka.
Bagi Margio sendiri, tak pernah jelas apa makna perkawinan
tersebut. Tak terbayangkan olehnya seorang lelaki duduk di pe
laminan, dan di sampingnya duduk pula seekor harimau di kursi
nya, lengkap dengan rumbai-rumbai dan pupur di pipi serta gincu
44
di bibir, dan penghulu berkata, semoga perkawinan si anu dan
harimau diberkati oleh Yang Mahakuasa. Setelah agak sedikit de
wasa, hal ini semakin aneh membayangkan seseorang bersetubuh
dengan istrinya yang harimau di atas tempat tidur, dan bertanya-
tanya anak macam apa yang akan dilahirkan dari persekutuan
macam begitu. Ma Muah akan tertawa memamerkan gusi tanpa
giginya, terkekeh setiap kali ia menceritakan bayangannya tentang
perkawinan manusia dengan harimau. “Hanya lelaki yang kawin
dengan harimau,” kata Ma Muah, “meski begitu tak semua ha
rimau ini betina.”
Kakeknya sendiri tentu saja punya istri, seorang perempuan
dari ras manusia, dan jelas harimau itu berarti madunya. Kakek
tak pernah mengawini harimau itu, sebab ia memperolehnya dari
ayahnya, namun bagi mereka tetap saja harimau semacam itu
adalah istrinya yang lain, disayang dan dipuja, kadang melebihi
istri manusianya. Si nenek ini mati lebih dulu oleh satu serangan
tbc yang tanpa ampun, memorak-porandakan malam-malam
mereka dengan batuk tanpa henti, demam tak ada ujung, hingga
tubuhnya menyusut sampai mati. Kakeknya tak pernah kawin
lagi, barangkali sudah cukup dengan istri harimaunya, dan lagi
pula hidup kakek juga tak terlampau lama bertahan, terlampau
sedih ditinggal istri manusianya.
Hingga suatu sore pada kunjungan Margio yang penghabisan
sebelum kakeknya mati, si kakek berkata kepadanya, memastikan,
“Harimau itu putih serupa angsa.”
Itu semacam pertanda seandainya harimau itu datang kepa
danya, sehingga ia bisa segera mengenalinya. Kakeknya berkata,
jika harimau itu suka, ia akan datang pada ayahnya, dan ia akan
jadi miliknya, hingga Margio mesti menunggu sampai si ayah
mati dan mewariskan itu kepadanya. Namun jika harimau itu
45
tak suka pada ayahnya, ia akan datang kepada Margio suatu hari,
dan Margio akan memilikinya. “Dan jika ia tak menyukaiku?”
tanya Margio cemas.
“Ia akan datang pada anakmu, atau cucumu, atau barangkali
tak akan pernah datang lagi jika keluarga ini melupakannya.”
Harimau itu kini datang kepadanya, berbaring di sampingnya
di atas karpet surau yang hangat sementara alam semesta begitu
dingin di luar. Sebagaimana kata kakeknya, ia berwarna putih,
serupa angsa, serupa awan, serupa kapas. Tak terbayang betapa
senang hatinya, melebihi apa pun yang pernah dimilikinya. Ia
membayangkan bagaimana harimau ini akan menemani hari-hari
perburuan mereka, membantunya menggiring babi-babi perusak
sawah dan ladang, dan di kala lengah sementara seekor atau
dua babi menyerangnya, ia akan melindunginya dari segala yang
terburuk. Tak pernah terpikirkan olehnya ia akan datang di pagi
yang dingin keparat ini, sebagai pertanda bahwa itu miliknya,
seperti seorang gadis yang berserah pada kekasihnya. Lihatlah
bagaimana harimau itu berbaring, masih menjilati ujung kakinya
dengan lidah yang panjang terjulur keluar-masuk, sejenak ia se
rasa kucing, namun tampak ningrat dan agung oleh kebesaran
tubuhnya. Margio memandang dalam pada wajahnya, ia tampak
begitu cantik, dan bocah itu jatuh cinta tak kira-kira.
Ia merengkuhkan tangan ke lehernya, memeluknya dan me
rasakan bulunya hangat ke tubuhnya. Serupa pelukan pada se
orang gadis di pagi yang dingin dan telanjang di tempat tidur,
kemesraan yang paling intim selepas percintaan sepanjang ma
lam. Margio memejamkan matanya, dalam puncak kebahagiaan
atas penantian panjang penuh kerinduan, telah meyakinkan di
rinya atas semua kebenaran dongeng yang didengarnya semasa
kecil. Namun tiba-tiba ia merasakan rasa kehilangan itu, sesuatu
46
yang dicerabut serta-merta, gadis kekasih yang pergi tanpa pamit,
ketika tak lagi terasa kehangatan itu. Margio membuka matanya,
dan tak lagi melihat harimau itu di sana.
Ia terperanjat melebihi kala pertama ia melihatnya. Bocah
itu bangun dan mencarinya, namun pedalaman surau tersebut
tidaklah luas, dan tak ada jejak tertinggal yang bisa dikenali. Tak
ada sehelai bulu pun tersisa. Hujan di luar masih bergemuruh,
pasti membikin anak-anak sekolah mengeluh, dan kala seperti
itu bakalan banyak pohon pisang dipangkasi daunnya, pengganti
payung sekali pakai, tapi Margio masih memikirkan harimaunya
dan tidak yang lain. Ia berdiri dan memanggil tanpa suara, sebab
ia tak tahu dengan apa harimau itu mesti dipanggil, kakeknya tak
pernah memberinya nama, dan tidak pula Ma Muah. Barangkali
ia sendiri harus memberinya nama, tapi itu tak ada guna, kini
binatang itu telah pergi entah ke mana.
Itu lebih patah hati daripada penolakan sebelas gadis paling
dicintai, dan hampir membuat Margio sungguh menangis
cengeng sambil terus menjelajah ke empat sudut surau. Tidak, itu
bukan mimpi, katanya pada diri sendiri. Ia telah datang untuk
menunjukkan kini ia miliknya. Ia merasakan lembut bulunya,
dan sejenak bermain dengannya. Itu terlalu nyata untuk sebuah
mimpi di pagi yang hening. Setelah berkali mencari dan tak lagi
yakin bisa menemukannya, rasa sakit hati itu berubah menjadi
satu rasa marah yang bergemuruh. Dirasakannya tubuh yang
menggigil hebat, dan jemari tangan yang mencengkeram. Tak
pernah ia sendiri merasakan suatu amarah semacam itu, begitu
kejam dan penuh dendam, tapi ia tak bisa mengelak dari itu,
disebabkan nilai rasa sakit yang mesti ditanggungnya. Harimau
itu telah membuatnya jatuh cinta, puncak dari hasrat bertahun-
tahun, dan ia tak akan sudi ditinggalkan demikian rupa.
47
Digedornya pintu surau, mencakarnya, meninggalkan jejak
guratan panjang mengelupas cat hijau tua dan kayu mahoninya,
dan dari mulutnya keluar geraman berat membuat udara koyak.
Cakarannya begitu kuat mengejutkan dirinya sendiri, membuat
Margio diam mematung reda dari amarahnya, melihat tiga
guratan yang bakal jadi luka panas jika ditaruh di punggung sese
orang, kemudian memeriksa tangannya sendiri. Kuku-kukunya
tidaklah panjang sebab ia sering memotongnya, sebab jika tidak
akan menjadi gangguan saat menggengam tombak berburu babi,
rasanya tak mungkin melukai pintu dalam tiga garis guratan ter
sebut. Tapi jelas di kuku yang pendek itu ia melihat serpihan
kayu dan cat, memastikan itu memang perbuatannya. Lama
Margio terdiam antara terpesona dan penuh tanya, sebelum ia
mengerti di mana duduk soalnya. Ia tak pergi meninggalkanku,
pikirnya. Harimau itu masih di sana, di dalam dirinya, dan
mereka tak akan terpisahkan lagi, hingga kelak ketika kematian
datang kepadanya sebagaimana itu selalu terjadi. Ia bersandar ke
dinding, meraba pusarnya, merasakannya bersemayam. Ia tidak
jinak bagaim anapun.
Kepada Agung Yuda, ia sempat berseloroh serupa ini, “Aku
tak lagi lajang.”
Agung Yuda pikir itu maksudnya tak lagi perjaka, dan dise
babkan tak banyak bocah dua puluh tahunan di antara mereka
masih perjaka, Agung Yuda tak menganggap serius omongan itu.
Pikirnya, Margio hanya ingin memamerkan diri ia telah tidur de
ngan si gadis Maharani itu. Siapa lagi, hanya gadis itu yang kerap
bersamanya, di waktu-waktu sejenak kala si gadis pulang liburan.
Tak seorang pun tahu ada harimau di dalam tubuhnya, hingga ia
mengakuinya sendiri tak lama selepas membunuh Anwar Sadat,
kecuali Mameh yang sekali itu memergokinya.
48
Malam sebelum Margio berjumpa dengan harimaunya, untuk
pertama kali ia bilang pada Mameh ingin membunuh ayah mereka.
Mameh pernah mendengar itu dari seseorang, sebab Margio berkali-
kali memaki di pos ronda dan kata-kata yang keluar adalah semacam
itu, bahwa jika sempat ingin dibunuhnya Komar bin Syueb, tapi hal
itu tak pernah terjadi dan tak ada tanda-tanda akan terjadi. Itu hanya
omongan seorang bocah yang marah tanpa ampun kepada ayahnya,
dan kemarahan itu sering reda bersama berlalunya waktu. Maka ketika
Margio mengatakannya pada Mameh, gadis itu juga mengabaikannya,
atau barangkali ia sendiri memang berharap Margio melakukannya.
Waktu itu tentu saja belum ada mata kucing di wajah Margio,
namun Mameh bisa merasakan amarah yang mengapung dari
ubun-ubunnya. Rasa itu semakin menjadi-jadi, di hari-hari itu,
tak lama setelah Marian adik kecil mereka mati hanya satu
minggu selepas dilahirkan. Mameh selalu berpikir segala sesuatu
bisa dipergunakan Margio untuk membunuh ayah mereka,
maka ia selalu menjauhkan pisau dan golok darinya, dan selalu
mengawasin ya. Sejujurnya Mameh sendiri tak peduli seandainya
benar Margio mau membunuh ayah mereka, tapi sudut-sudut
kew arasannya yang tersisa mendorong Mameh untuk mencegah
niat tolol semacam itu.
Kesal karena menyadari dirinya tak bisa melakukan apa yang
dikehendakinya, Margio pergi dari rumah. Di lapangan bola ada
tenda-tenda dengan lampu-lampu serta gadis cantik yang menjual
tiket, suara dengkuran gajah, auman harimau, dan musik riang
jenaka pengiring para gadis plastik. Di waktu-waktu tertentu,
Holiday Circus datang ke tempat mereka dan mengadakan per
tunjukan sepanjang dua minggu. Tak seorang pun bisa meramal
kan kapan mereka datang, kadang setahun sekali, kadang dua
tahun, tapi pernah pula lima tahun mereka tak datang, meski
49
beg itu setiap kali datang selalu menjadi hiburan yang melimpah-
limpah bagi penduduk kota, tak peduli mereka telah mengenal
baik seluruh atraksinya, sebab tak banyak yang berubah dari
tahun ke tahun, kecuali gadis-gadis plastik yang berganti dengan
bocah-bocah periang yang lebih merah dan lebih belia.
Ia pergi seorang diri, membeli tiket tanpa banyak omong, de
ngan tangan melesak ke dalam celana jeans yang tak tercuci se
panjang delapan belas hari. Telah lama ia tak melihat sirkus, sejak
ayahnya mengajak pertama kali jauh di masa lampau, dan kali ini
ia melihatnya tidak karena keinginan untuk melihat pertunjuk
an menakjubkan, namun lebih didorong keinginannya untuk
menenggelamkan diri di dalam arus penonton, kebisingan, dan
bersembunyi di sana. Ia mengambil tempat duduk yang paling
tinggi, hampir menyentuh langit-langit terpal, dan di sana duduk
menanti sirkus dibuka dengan menopang dagu.
Pikirannya kosong kala direktur sirkus berjas hitam dengan
dasi kupu-kupu terpasang simetris menyambut kedatangan me
reka dengan senyum ramah tak pernah berubah, berpidato
singkat menceritakan sedikit perjalanan Holiday Circus yang
dibawanya berkeliling pulau-pulau nusantara, kota-kota, bahkan
bermain pula di atas kapal pada hari ulang tahun Angkatan
Laut dan sedikit membocorkan rencana mereka mengunjungi
beberapa kota lain selepas singgah di lapangan bola mereka.
Bahkan ketika seorang perempuan cantik dengan topi tinggi
berhias jumbai ekor bulu merak, mengenakan rompi merah
menyala dengan rok mini sewarna yang memperlihatkan celana
pendeknya, berstoking hitam dan bersepatu merah berkilau,
berbicara pada mereka membacakan urutan pertunjukan,
dengan bibir bergincu penuh god aan, Margio bertahan dalam
ketermenungannya dan tak mem ikirkan kecabulan macam apa
50
pun sebagaimana sering ia lakukan saat melihat perempuan-
perempuan cantik dengan dandanan provokatif macam begitu.
Ia masih bertopang dagu, malahan kini sedikit memejamkan
matanya, diapit seorang perempuan gembrot yang datang bersama
anak kecilnya, kedua mereka tak henti-hentinya mengunyah kacang
hingga suara gigi mereka lebih ribut di telinga Margio daripada
musik pengiring sirkus, dan di samping yang lain seorang pemuda
yang duduk tak begitu nyaman sebab gadisnya terus-menerus
rebah ke bahunya dan minta dipeluk dan si pemuda barangkali
segan pada Margio yang duduk khusyuk minta tak diganggu.
Tadinya ia berharap bisa menghibur diri dan melupakan
kabut kemarahan yang dibawa dari rumah dengan melihat
gadis plastik. Tak ada hal lain yang dipikirnya menarik, kecuali
gadis-gadis kecil dengan tungkai kaki indah dan tubuh meliuk-
liuk di atas meja bulat berputar, kadang bergelantungan di
tali lintang-melintang. Ia memejamkan mata sebab tak ingin
melihat orangutan yang naik motor kecil, berputar-putar dan
kala berhenti pawangnya harus menarik motor itu dari belakang,
juga tak ada hasrat melihat burung beo mengayuh sepeda kecil
mereka meskipun anak-anak bertepuk ramai. Badut-badut yang
membanyol lebih tampak menyebalkan daripada jenaka, hingga
ia berpikir untuk mengutuk mereka jadi badut kartu sungguhan.
Namun kala gadis-gadis plastik keluar dan mereka berlompatan
membikin menara tinggi sebelum ambruk dengan cara paling
indah, apa yang ditunggu itu tak juga memberi kesan apa pun.
Margio hampir pergi meninggalkan tempat duduknya, dan
berpikir untuk pergi ke warung Agus Sofyan untuk minum, kala
mereka mengeluarkan kerangka-kerangka besi dan membuat
kurungan. Ia tahu apa maknanya, dan kakinya tertancap di
sana, menunggu penuh debar. Para lelaki itu bekerja cermat tak
51
bertele-tele, dan sekonyong berdiri kandang megah setinggi enam
meter, dan Margio mendengar suara menggeram binatang yang
membuat jantungnya berdegup semakin kencang dan darahnya
menga lir bertambah-tambah deras. Ia tak lagi duduk bertopang
dagu, tangannya jatuh di atas lutut, dan pakaiannya jadi kuyup
oleh peluh mengguyur. Ia menantikannya dengan sangat sabar,
melihat pintu kandang disambung dengan bokong sebuah truk,
seorang pawang menunggu di sana dengan pakaian peraknya
berkilauan serta cambuk terjulur ganas. Pintu truk terbuka,
dan dengan enggan binatang anggun itu melenggang menuju
kandang, kadang ia hendak balik lagi ke truk, sebelum si pawang
memaksa, mencambuk lantai menakutinya, dan si harimau,
masih enggan, melompat ke tengah kandang.
Rasa akrab yang hangat melimpahinya, menyeretnya pada ke
nangan lama, melihat tubuh yang belang itu melenggang dan ber
semayam di kursi kayu bulat tinggi, di sana ia jongkok dan meng
garuki hidungnya. Tepatnya ia menjilat kakinya, dan basah di
kakinya dipakai untuk mencuci mukanya. Barangkali ia bangun
dari tidur, atau berias di depan tuan-puan penonton. Tak berapa
lama datang pasangannya, serta sepasang lain singa India. Bagai
manapun mereka tidak putih serupa angsa, melainkan cokelat
serupa foto lama yang jadi sefia, dengan tubuh tak sebesar sapi,
meski tak kehilangan keagungannya sedikit juga. Margio meng
abaikan kenyataan bahwa mereka bukan binatang yang dinanti
kannya, menyadari kekerabatan mereka, dan terharu atas per
jumpaan tak terencanakan tersebut, seolah nasib telah menuntun
mereka dan ia hanya tinggal menjalaninya.
Lama setelah kakeknya mati, ia terus menunggu hari ketika
harimau putihnya datang. Hari-hari melelahkan, hingga ia ber
pikir harimau itu tak akan pernah datang dan mencoba meng
52
abaikannya, bahkan bercuriga itu telah jadi milik ayahnya. Itulah
barangkali yang membuatnya berhati-hati pada Komar bin Syueb,
berjaga, mengawasi apakah lelaki itu sungguh telah mewarisi
sang harimau. Selama tahun-tahun itu, ia tak melihat tanda-
tanda bahw a ayahnya memiliki si makhluk itu, sekaligus tak juga
melihat pertanda Komar bin Syueb tak memilikinya. Sepanjang
hari-hari yang penuh amarah, ia semakin tak terkendali dibakar
kecemburuan. Margio terus mengintip Komar bin Syueb, dari
dekat dari jauh, serupa jin pengiring, untuk memastikan apakah
ia ada bicara dengan piaraannya. Lama-lama itu melelahkan, dan
Margio telah berserah untuk mendengar Komar bin Syueb telah
memilikinya, atau di antara mereka berdua tak satu pun akan
didatanginya.
Hingga malam di sirkus itu. Kala pertunjukan usai dan ia ber
desakan di antara kerumunan, dengan tangan kembali melesak
ke kantung celana, kini pikirannya penuh oleh kesan atas tubuh-
tubuh liar yang tetap tak terjinakkan sungguh-sungguh itu. Ia
terus memikirkannya, melihat gambarnya di dinding tenda
sirkus, hampir gila oleh semacam godaan melihat perempuan
binal dan kehendak untuk meremas tubuhnya. Di bawah lampu
sorot dan mesin diesel yang berdengung dekat penjual tiket, ia
bersandar ke pagar dan hampir masuk lagi untuk berkencan
dengan sepasang harimau tersebut, kala ia menyadari tak lagi
punya uang untuk tiket. Ia berjalan mengelilingi pagar sirkus,
berharap melihat mereka di kandangnya, pada mobil-mobil besar
yang teronggok di tengah lapangan bola, namun orang-orang itu
tampaknya mengurung mereka rapat. Ada dirasakan darahnya
menghangat, dan berpikir barangkali harimau itu sudah ada
di dalam dirinya, yang diperlukan adalah suatu cara untuk
mengeluarkannya.
53
Malam itu ia tak pulang, tak hendak berjumpa orang, hanya
ingin ditemani bebayang harimau di kepala. Ia pergi ke surau
menjelang tengah malam dan berbaring di sana, melihat harimau
itu di langit-langit, di tempat pengimaman, di rangka beduk, di
mana pun. Sejak masa kanak ia telah sering tidur di surau, selain
di pos ronda, barangkali lebih banyak daripada mondok di ru
mahnya sendiri. Malam itu ia bermimpi tentang putri jin yang
keluar dari mata air, mengajaknya kawin, dan putri itu wajahnya
serupa Maharani. Lalu bangun di pagi hari, dengan harimau
putih rebah menjejerinya. Begitulah awalnya.
Margio sendiri tak pernah bisa melacak dari mana asal-usul
kemarahannya atas Komar bin Syueb. Baginya itu serupa piutang
yang mesti ditagihnya, yang telah menumpuk sehingga hampir
membikin dirinya sendiri bangkrut secara mental. Rasa cinta
yang tak kepalang pada ibu dan adiknyalah, barangkali, yang telah
menahannya dari kemarahan memaharaja. Ia tak bisa mengelak
dari kenyataan bahwa Komar bin Syueb tetap tiang bagi mereka,
tak peduli betapa keropos dan limbungnya tiang itu, serta oleng
dan sumber badai yang mestinya merobohkan dirinya sendiri.
Margio hanya tahu bahwa ia ingin menghabisinya, berpikir itu
akan terjadi dan ini hanyalah masalah waktu yang tak kunjung
tiba, dan sepanjang kehidupannya, usaha yang lebih membuatnya
menderita adalah upaya untuk meredam kehendak itu, didorong
harapan udik bahwa segalanya akan baik dengan sendirinya,
dan cara yang ingin dipilihnya tak akan memberi jalan bertabur
bunga apa pun.
Ia selalu menyebut dirinya semacam Kresna, yang di puncak
kemarahan tanpa ampun bisa sekonyong menjelma brahala, de
ngan seribu kepala seribu tangan dan seribu nafsu menghancur
kan, dan tak seorang pun bisa menghalanginya, tidak pula dewa-
54
dewa. Satu-satunya hal terpuji dari sang prabu, demikian ia akan
memanggilnya, bahwa ia tak pernah membiarkan brahala itu
keluar dari tubuhnya, kecuali sekali yang tak berlanjut-lanjut.
Margio akan berpikir bahwa ada sesuatu di dalam dirinya, hendak
keluar bersama aroma marah, dan adalah tugasnya untuk tidak
membuat itu keluar, sebab segala sesuatu telah ditulis dewa-dewa.
Tak peduli betapa besar rasa marah itu untuk ditanggungnya.
Sepanjang tahun-tahun yang lewat, ia masih bisa menahannya,
hingga malam ketika Marian adik bungsunya mati. Itulah yang
membikin ia tak terkendali, dan kepada Mameh berkata hendak
menghentikan hidup Komar bin Syueb. Baginya, kematian
Marian melebihi bencana apa pun yang bisa dipikirkannya datang
ke rumah mereka, serupa satu pengkhianatan kejam, dan ia tak
lagi berkehendak menahan nafsu brutalnya, suatu nafsu yang
seringkali dilampiaskannya sedikit pada bokong babi di musim
perb uruan. Ia akan melihat bokong itu menjelma menjadi dada
ringkih Komar bin Syueb, menusuknya dengan tombak, sedikit
saja untuk membuatnya tersadar ada sesuatu mengancam. Kini
ia berharap bisa menusuk dada yang sesungguhnya, mengirimn ya
ke kerak neraka, dan meletup dalam kata-kata.
Marian mati seminggu sebelum Holiday Circus datang dan
mendirikan tenda mereka. Mati dalam keadaan tubuh kering
kurang susu, bahkan selama seminggu hidupnya ia telah setengah
mati. Ia tak ada demam, tapi jelas hendak mati. Semua orang
akan merasakan ajal itu mengerubuti dirinya seperti lalat terbang
di atas bangkai, terpampang di matanya yang tak ada bayangan
hidup panjang, dan setiap kali Margio melihat itu, sedihnya
berlipat-lipat oleh duka di wajah ibunya. Komar bin Syueb tam
paknya satu-satunya yang tak peduli apakah bayi merah itu akan
terus mengisi dunia atau bakal sarang cacing di kuburan, me
55
lihatnya serupa kotoran yang salah tempat, dan semua orang be
rani bersumpah ia tak pernah menyentuhnya, apalagi sekadar
menyapa ‘ciluk-ba’. Pada hari itu, seharusnya Komar mencukur
rambutnya, mengadakan kenduri kecil demi keselamatannya,
dan tentu saja memberi nama indah untuknya, dan sebagaimana
sem ua akan bersumpah pula, ia tak melakukannya.
Margio akhirnya menyembelih sendiri ayam jago Komar,
tanpa meminta pada pemiliknya, dan menggelar selamatan kecil
bertiga bersama Mameh dan ibu mereka. Ia mengambil perkakas
cukur ayahnya, menyumpah-serapahi si tukang cukur yang tak
hendak mencukur si anak bungsu, dan mencukur sendiri bayi
yang rebah tak bisa nangis di pangkuan ibunya. Dan mengenai
nama itu, Komar tak memberi gagasan sedikit jua, malahan pergi
entah ke mana, dan akhirnya ibu mereka memberinya nama
pendek, tanpa nama keluarga tanpa nama panjang.
“Marian.”
Paling tidak, seandainya ada satu yang membahagiakan,
Marian mati setelah dicukur dan punya nama. Margio bisa me
mahatkan nama pendek itu di nisannya yang mungil, yang dita
nami Mameh dengan bunga cempaka, dan dipenuhi aroma ke
nanga. Sekaligus kematian ini menambah-nambah minyak bagi
api kebencian Margio pada ayahnya hingga ia berpikir, jika selama
ini dirinya ingin membunuh Komar bin Syueb, sekaranglah saat
nya.
Komar bin Syueb pulang tak lama setelah mereka mengubur
kan Marian subuh-subuh, tanpa dosa dan bengis di wajah.
Barangkali ia tidur di tempat pelacuran, atau pembuangan
sampah, kini tak ada lagi yang peduli. Tak seorang pun kasih
sapaan padanya kala ia datang, tidak keluarga tidak tetangga,
sebab jika ada yang paling tidak berduka pada kematian Marian,
56
tampaknya lelaki inilah makhluknya. Ia menampilkan dirinya
sebagai lelaki udzur setengah mampus yang tanpa kendali rasa
apa pun, masuk rumah duka sekonyong dan tak juga bertanya
apa yang sedang kalian sedihkan, sebab betul tampaknya ia
sendiri tahu kematian Marian dan itulah yang menyeretnya
pulang untuk merayakannya, duduk di dapur dan memakan
ayam sisa selamatan tak ada malu, dan tidur mendengkur penuh
kekejian. Hingga kemudian, tak tahan oleh kelakuan tanpa aling-
aling, Margio meraih panci dan satu-satunya panci yang mereka
miliki, membantingkan ke lantai menimbulkan ledakan heboh
yang tentu membangunkan Komar bin Syueb.
Gencatan senjata bertahun-tahun itu kini berakhir, demi pe
ristiwa panci dibanting tersebut. Komar bin Syueb tahu itu di
tujukan kepada dirinya, dan tahu bocah itu telah di luar batas
kesabarannya sendiri, berjaga-jaga dan tak memberi jawaban apa
pun membuatnya diam terus di tempat tidur tak tahu apa-apa
secara pura-pura. Bagi Margio sendiri, itulah pengumuman per
tamanya, kemarahan yang diungkapkan, sesuatu yang tak pernah
dikeluarkan dan kini ayahnya telah tahu bahwa ia menyimpan
beludak kemarahan di lambungnya. Ada rasa terkejut kala ia
menyadari telah mengakhiri kebungkamannya, namun segalanya
telah bermula dan ia harus bersiap menghadapinya. Pada umur
nya yang kedua puluh, ia berpikir, tak ada apa pun lagi yang mesti
ditakuti menghadapi ayah yang kini menjelang lima puluh. Dan
si ayah, masih di tempat tidurnya, juga menyadari batas umur
itu, mengakui dengan kepasrahan menyedihkan bahwa Margio
bukan bocah merah yang dulu itu lagi, menginsafi amukan apa
pun tak bakal bisa ditahannya lagi.
Demikianlah hari-hari itu mereka menjaga jarak, mempersiap
kan pertarungan sekaligus menghindarinya. Komar bin Syueb
57
menjadi demikian lembek dan menjauh, dan Margio menyadari
ketakberdayaan ayahnya, mulai menahan diri untuk tak mem
biarkan kebenciannya meletup, meski itu ngepul mendidih,
sampai pagi ketika ia berjumpa harimau putihnya. Brahalanya.
Mameh melihatnya tak berapa lama, menggelosor dari raga
Margio, serasa sosok yang tanggal dari baju, membikinnya ter
lempar ke belakang, sebab dipikir itu hendak menerkam dirinya,
sebelum si liar bersarang kembali, tertancap jauh di dada Margio.
Itu kala Margio pulang suatu petang, menemukan ayah mereka
tengah memotong lima ekor ayam peliharaannya, seorang diri
saja. Komar bin Syueb merepotkan diri dengan ayam-ayam, tak
minta bantuan siapa-siapa, menjepit kaki dan sayap mereka
dengan telapak sandalnya sendiri, satu tangan mencengkeram
kepala unggas malang tersebut, dan satu tangan lain mengayun
pisau dapur. Cres, cres, ia memenggal kepala mereka satu demi
satu, melemparkannya ke dalam kurungan, di sana mereka meng
gelepar melawan rasa ajal.
“Apa hendak ia bikin?” tanya Margio pada Mameh, tanpa
Komar mendengar.
“Pikirnya ia hendak bikin selamatan tujuh hari Marian.”
Itulah barangkali yang bikin harimaunya keluar dari sarang.
Margio tak bakalan rela lelaki tua celaka itu berbuat baik untuk
Marian, yang telah disia-siakannya, dan bahkan sering ia berpikir,
Komar bin Syueb telah membunuh si bungsu, atau sengaja mem
biarkannya mati. Dan kini Komar celaka itu hendak bikin se
lamatan tujuh hari, maka terkutuklah untukmu, pikir Margio,
bayi tersebut tak bakalan menerima kebaikan apa pun darinya.
Mameh melihat wajah merah yang remang, seperti berbulu,
dengan mata berkilau kekuningan, dan suara menggeram yang
kasih gema, sebelum bebayang putih itu menari di matanya.
58
Hampir saja ia menjerit, sebelum itu lenyap kembali, bersemayam
dengan pintu kandang seolah terkunci rapat. Margio telah
mengurungnya, menahannya tak liar, dan tak berharap melanjut-
lanjutkan perkara, bocah itu masuk rumah dan pergi lewat dapur.
Selepas episode singkat panci dibanting, Komar mengurung
diri di biliknya, keluar untuk pergi ke kios cukur, dan balik untuk
bersarang kembali di tempat tidur. Itu adalah waktu-waktu ketika
dipikirnya Margio bakalan kasar padanya, jika tidak sungguh-
sungguh hendak membunuhnya. Sosok si bocah mendadak jadi
monster yang lebih hantu dari segala setan, terhenyak menyadari
berapa umurnya sekarang, tinggi tubuhnya, berat bobotnya, dan
barangkali ia mewarisi harimau keparat itu. Lelaki tua ini ber
tindak bijak untuk tidak menambah-nambah urusan dengan si
cikal ini, sebab tampaknya Margio tak lagi anak penurut dan
pengalah yang akan duduk diam di pojok rumah, atau pergi tanpa
kata-kata. Segalanya telah datang bocah itu sanggup melawan,
dan Komar bin Syueb terlalu waras untuk menentang ototnya.
Kemudian Mameh melihatnya keluar dari bilik, dan ia tampak
begitu manis kini. Tak banyak bicara sebagaimana semula, Komar
bin Syueb ambil alih kerja-kerja yang sering ia abai untuk dilaku
kan. Ia mengambil sapu ijuk dan menyapu lantai, begitu berkali
walau tak ada remah tercecer, dan di pagi serta petang, ia mengisi
bak untuk mereka mandi. Sehari kemudian tak dinyana-nyana, ia
bahkan mencuci pakaian, dan Mameh kehilangan lebih banyak
pekerjaan rutinnya. Mameh hendak menghentikan semua sikap
manis tersebut, sebab ayahnya harus bersiap pergi ke kios cukur,
dan sepulangnya tentu Komar bakalan lelah, tapi lelaki ini tak
ambil peduli, mengacuhkan Mameh dan membiarkan anak pe
rempuannya nyaris tak ada kerja.
Belakangan Mameh menyadari pamrihnya, dengan tatapan
sedih melihat lelaki itu memotong ayam seorang diri untuk
59
selamatan tujuh hari Marian. Tanpa kata-kata, terlampau
gamblang bagi Mameh untuk membacanya, serasa tulisan nasib
yang tertera di dahi, betapa Komar bin Syueb ini secara sia-sia
hendak berdamai dengan mereka, menghilangkan jejak busuk
yang bertele-tele mengulur jauh ke belakang. Sia-sia, sebab tak
seorang pun tersentuh hatinya oleh kebaikan melimpah-limpah
tersebut. Menyedihkan sebab semua orang berpendapat kelakuan
manisnya terlampau terlambat.
Tengoklah Margio, rasa benci itu bertambah-tambah, serasa
memperoleh minyak baru bagi apinya, secepat ia tahu niat ter
sembunyi ayahnya. Jangan pikir aku akan memaafkanmu, pikir
nya. Ia pergi dari rumah, tak hendak mendukung apa pun yang
dibuat Komar, dan terdampar di berbagai tempat, menendang-
nendang dinding pos ronda, minum di warung Agus Sofyan,
dan melempari kelapa di perkebunan terbengkalai, sementara
ayahn ya mencuci ayam-ayam itu sendiri, menanggalkan mereka
dari bebulunya, menentengnya ke dapur, dan di sana Komar bin
Syueb merebus, menggoreng mereka, serta menanak nasi pula.
Menjelang magrib ia mendatangi tetangga, mengundang mereka
datang selepas Isya, untuk berkumpul membaca Yassin, demi
keselamatan Marian.
Margio pulang selepas tetangga menghilang, meninggalkan
tikar yang terhampar, dan selama itu segala urusan di tangan
Komar bin Syueb semata. Tidak Mameh dan tidak ibunya.
Komar bin Syueb menyuruhnya makan, ada tersisa ayam goreng
dan nasi dan lodeh kentang untuknya, tapi Margio tak ada ingin
men yentuh apa pun. Ia hanya pergi ke dapur untuk muncul lagi
di ruang tengah, berjalan masuk ke kamar dan keluar lagi, pergi
ke kamar mandi untuk buang kencing, masuk dapur dan berdiri
di teras di bawah lampu. Mameh datang dan ikut membujuknya
makan, Margio hanya mengeluarkan rokok dan menyulutnya.
60
Di semesta yang remang, Mameh bisa lihat matanya yang
bertambah-tambah kemilau dan tambah-tambah pijar kuning.
Masih diingat kehendak Margio untuk membunuh Komar, dan
kehendak itu tambah menjadi-jadi tanpa mesti mengatakannya.
Matanya menyorot benderang, setiap lariknya seperti menancap,
dan pikir Mameh, mata itu sendiri barangkali bisa bikin mati
Komar bin Syueb. Namun ia juga bisa melihat penderitaannya.
Margio yang manis tengah berperang melawan Margio yang jahat,
sebelum satu di antara mereka bisa membunuh Komar bin Syueb,
dan di sana Mameh lihat wajah lelah, serasa kalah bukan oleh
musuh tapi disebabkan pertarungannya sendiri. Bagaimanapun,
sebagaimana kemudian ia tahu, Komar bin Syueb tidak mati
oleh Margio, tidak pula oleh harimau piaraannya. Malam itu,
selepas dibuangnya puntung ke pekarangan, Margio bilang pada
Mameh, “Aku akan pergi.” Dan menambahkan, “Jika tidak, aku
bakalan membunuh lelaki ini.”
Bagi Mameh, yang tak menguping sungguh-sungguh dan tak
berpikir Margio sungguh akan pergi, serasa ia hanya berkata,
“Aku ingin pergi.” Sebab tak ada alasan ia mesti pergi. Di tahun-
tahun terakhir, sudah sangat jelas Margio tak betah tinggal di ru
mah, dan tempat hunian abadinya adalah pos ronda dan surau.
Bahkan kalaupun sungguh ia mau pergi, Mameh pikir ia masih
bisa ditemukan di tempat-tempat itu. Belakangan Mameh tahu
pikirannya keliru.
Suatu hari, pagi datang sebagaimana biasa dan mereka kehilangan
Margio tiba-tiba. Kawan-kawannyalah yang pertama menyadari
Margio pergi, sebab ia tak ditemukan sampai siang datang.
Seseorang berkata ia melihat sirkus itu, dan malam tadi mereka
berkemas untuk pergi tanpa seorang pun tahu ke mana. Semua
berprasangka bocah itu kecantol gadis plastik dan hengkang
61
mengikuti jejak rombongan Holiday Circus, sambil bertaruh ia
bakalan kembali sebab cinta sesungguhnya tertambat di kampung
halaman sendiri, sebagaimana mereka bercuriga bocah ini
memiliki hubungan diam-diam dengan Maharani anak Anwar
Sadat. Kemudian, dikarenakan beberapa kawannya datang ke
rumah dan bertanya, Mameh lalu sadar Margio sungguh pergi.
Kepergiannya membuat banyak orang sedih, terutama
Mayor Sadrah yang bersiap menghabisi babi-babi, dan terutama
lagi ternyata Komar bin Syueb. Selama seminggu ia mencoba
mengabaikan ketidakadaan anak sulungnya, menempuh hidup
sebagai biasa, bangun tidur dan memberi makan ayam tersisa
serta tiga pasang kelinci. Setiap pagi Komar mengeluarkan
sepeda untanya, aus oleh karat dan kurang gemuk, dengan
suara rantai berderak, dan sebagaimana kebanyakan sepeda di
kampung itu, tanpa rem dan berko. Komar pergi ke pasar untuk
memungut wortel dan kol busuk di tempat sampah penjual
sayur, lalu pulang selepas mampir di pondok penggilingan padi
meminta dedak, dan memberikan semua itu untuk piaraannya.
Dedaknya mesti dikasih air hangat, diaduk dan dihidangkan di
beberapa tempurung kelapa, biar unggas-unggas itu tak berebut,
sementara kol dan wortel busuk cukup dilempar ke kandang
kelinci dan mereka akan menggerogotinya. Komar cukup sibuk,
ditambah kerja-kerja berlebihannya, untuk membuat seolah ia
tak peduli Margio telah hengkah. Tapi Mameh tahu ia mulai
merindukannya, sebab suatu pagi Komar bin Syueb bertanya
kepadanya.
“Adakah Margio balik?”
“Belum,” kata Mameh acuh. “Percayalah ia bakalan balik kala
waktunya kawin.”
62
Komar sama sekali tak terhibur oleh kata-kata Mameh yang
tak menghibur, dan dengan segera tubuhnya merosot dalam
sakit yang datang serempak. Rasa kehilangan itu rupanya tidak
main-main, sebab ia mulai tak beranjak dari tempat tidur, kurus
tak karuan dan mengigau tak ada henti. Berbelas hari ia tak
lagi memangkas belukar di kepala orang, kecuali memangkas
nyawanya sepenggal demi sepenggal. Komar mengeluh ada
paku bersarang di lambungnya, dan memang benar kemudian
ia muntah-muntah penuh darah, dan kulitnya membiru benjol-
benjol. Mameh pergi memanggil mantri, yang menyuruhnya
untuk diseret ke rumah sakit, maka Mameh memanggil dua
orang paman adik ibunya, yang menandu Komar bin Syueb. Ada
begitu banyak penyakit, kata dokter, dan ia dikutuk untuk tidur
di bangsal dingin penuh hantu orang mati.
Sepanjang waktu-waktu sekarat itu, istrinya tak mau ambil
urus dirinya, dan Mameh harus menanggung semua kerepotan
seorang diri. Barangkali ia telah merasakan waktu kematiannya
semakin dekat, dan Mameh mulai yakin saat ajal itu memang telah
hinggap. Serasa bunga kenanga mekar segera, begitu pula kamboja
dan cempaka dan gagak-gagak hitam berkaok-kaok di suatu jarak.
Dua hari di bangsal rumah sakit, Komar akhirnya minta pulang
sambil bertegas pada Mameh. “Jangan panggil dokter mana pun
lagi. Aku cukup sehat untuk menanti kuburanku selesai digali.”
Itu masa Komar masih bisa ngomong. Suatu pagi mulutnya
tak lagi bisa dibuka, bungkam memberontak pada sang tuan,
dengan rahang mengejang lengket tiada kira. Itu pernah terjadi
sekali waktu, dan sembuh lama setelahnya melalui serangkaian
pijatan dukun, yang mengurut leher dan ujung kakinya dengan
air bawang. Kali ini Mameh tak lagi yakin Komar bisa membuka
kembali mulut itu, pertanda kematiannya yang terlampau gam
63
blang, selepas kegagalan tiga orang dukun urut melenturkan
kembali rahang tersebut. Komar sangat tersiksa, di kasur ia ber
guling, memukul-mukul pipi, menggigit tangan dan menarik ra
hangnya, tapi itu semakin menyiksa belaka. Ia tak bisa makan
kecuali segala sesuatu dibikin lembek, dan Mameh mesti me
nyuapkan bubur tim, Komar mendorongnya dengan telunjuk,
bikin ia batuk-batuk dan sepahannya meleleh ke kasur. Kemudian
tangan itu tak bisa bergerak pula, serasa putus urat dipenuhi
bintik-bintik cokelat ajaib, hingga Mameh harus kasih mulut
itu teh manis. Tak banyak yang bisa dimakan Komar, dalam
beberapa hari tubuhnya menyusut serupa cicak menggelepar.
Suatu malam Mameh mendengar Komar menggeram. Ia da
tang dan bertanya adakah sesuatu yang sakit. Rasa sakit itu tak
lagi dihiraukan Komar, dan membalas dengan geraman yang lain.
Rupanya ia ingin bicara, Mameh pasang telinga tajam, tapi suara
Komar tak lebih baik dari tetalu. Mameh berpikir cerdik, mem
berinya kertas dan pensil sisa masa sekolahnya, dan itu menam
bah kesia-siaannya semata, sebab tangan Komar tak lagi ada
faedahnya. Mameh berpikir semakin cerdik. Ia ambil kertas dan
pensil tersebut dan setiap kali ia menulis dengan benar, Komar
mengangguk pendek dengan mulut coba menyeringai senang.
Sebuah kalimat pendek meleret, menghabiskan separuh malam
mereka, serasa membuang waktu menebak teka-teki silang, dan
jawabannya adalah kehendak terakhir yang sederhana orang mau
mati, “Kuburkan aku di samping Marian.”
Keesokan harinya Mameh menyampaikan pesan itu pada
ibunya. Telah lama perempuan ini tak banyak buka mulut,
namun pada permintaan ini, ia berbaik hati berkata, “Katakan
itu pada penggali kubur.”
Bagaimanapun sangatlah jelas Komar bin Syueb mencari jalan
damai di sisa hidupnya, terutama pada si kecil yang barangkali
64
mati olehnya. Malam terakhir itu Mameh mendengar seekor
gagak hinggap di bubungan, dan di sana si gagak ribut sendiri,
sebelum terbang menyisakan gema gaoknya. Pikirnya, sebentar
lagi Komar sungguh mati. Ia ingin tak percaya tahayul, tapi semua
orang telah bilang, setiap seekor gagak hinggap di bubungan,
seseorang mati di bawahnya. Ia tak bisa tidur hingga menjelang
subuh, dan saat itulah Komar bin Syueb mati, dalam sakit dan
penderitaan menanti anak sulung yang minggat kembali. Jika
ada hal yang bikin Mameh sedih, lelaki ini lewat tanpa sempat
berjumpa Margio, meskipun ia cukup yakin, seandainya Margio
datang sebelum Komar mati, kedatangannya tak lebih untuk
menghabisi nyawanya belaka.
Mameh melihatnya subuh itu mengambang lelap di tempat
tidur. Tubuhnya merosot tajam menjadi rongsokan daging, yang
tak akan memuaskan nafsu si gagak pemakan bangkai sekalipun.
Tak ada orang menggorok lehernya, meski Komar selalu berpikir
seseorang di rumah itu akan melakukannya, atau Margio datang
dan memenggalnya, lebih disebabkan sakit berlipit-lipit tersebut.
Ia mati saat bokongnya telah gila dan ada bisul di pikirannya.
Sayonara, katanya, dan ia pergi menggelosor melewati kisi jendela
digandeng malaikat maut, memandangi hari-harinya berakhir,
kasurnya yang asin, kamarnya yang pengap, dan dunianya yang
garing.
Setiap menjelang subuh, Mameh orang pertama yang terjaga
di rumah 131, rumah mereka. Masih serupa pejalan tidur, ia se
lesaikan seluruh tugas untuk ayah yang teronggok setengah mati,
datang ke kamarnya menenteng ember kecil dari dapur, berke
cipak air hangat di dalamnya, dengan lap berenang di atasnya. Di
hari-hari terakhir, saat rasa sakit menancap ganas dan bau tanah
permakaman mengapung di ujung hidung, Komar sedikit tobat
65
dan memaksa waras mendirikan salat. Mamehlah yang ambilkan
wudhu untuknya, membasuh tangan serta kaki dan muka, dan
membiarkannya salat sembari berbaring. Lima kali sehari. Satu
sentuhan tangan Mameh cukup untuk membangunkan Komar,
memberitahunya adzan subuh segera datang, tepatnya bikin
Komar buka mata, tanpa beranjak sebab ia lengket ke atas seprei,
dengan kepala terbenam pada tiga lapisan bantal lapuk, serta
tubuh bonyoknya tenggelam di dasar selimut belang garis hitam-
putih yang terangkut dari rumah sakit.
Subuh itu sentuhan tangan Mameh tak bikin Komar bangun,
membuat Mameh mengguncangnya, dan tetap tak ada geliat kecil
apa pun. Pertama, karena mata itu telah terbuka, dan kedua,
sebab Komar telah mati. Mengetahui ayahnya tamat, Mameh
hampir tersedak. Sebelum terjun, ember itu segera dijejakkan di
lantai. Si gadis meraba dadanya sendiri, komat-kamit tak mesti,
lalu dengan ajaran berguna dari film, ia mengatup mata ayahnya.
Sayonara, katanya, gunting dan sisir akan jadi saksimu. Ia
mencari-cari sekiranya roh Komar tersangkut di langit-langit, tapi
sekadar menemukan rantang air sisa mengompres dahi Komar
semalam, bubur tim tak lumat, pisang ambon tak tersentuh dan
teh manis yang meragi, di atas meja tepi ranjang.
Itulah anak perempuan yang sepanjang hidupnya, kini delapan
belas tahun, bahkan lupa diberi anting-anting. Di telinganya tak
lebih tergantung gulungan benang kasur, berjaga lobang tindik
tak merapat, siapa tahu kelak ada dua-tiga gram batang emas.
Memang benar Komar pernah ajak Mameh kecil tamasya di laut,
dan dengan pongah ia mengajari gadis itu cara bikin istana pasir.
Juga betul, Komar pernah suruh Mameh pergi ke tukang jahit
guna pesan baju Lebaran, dan satu masa pernah juga menggiring
nya melihat Pandawa Lima di bioskop. Berani bertaruh, ketika ia
66
mati, tak satu pun itu dikenang Mameh, dan Komar yang tamat
tahu itu.
Lamat-lamat suara muadzin datang dari surau di sisi timur
rumah Anwar Sadat, parau milik Ma Soma, disusul suara pintu-
pintu rumah tetangga yang terbuka, kunci-kunci diputar atau
selot ditarik, dan ditutup kembali, dan suara-suara sandal diseret
sepanjang gang kecil menuju surau, digonggongi anjing-anjing
kampung yang terganggu dari tidur nyenyak, dan ayam-ayam
jago mengepakkan sayap sebelum kukuruyuk dalam empat nada,
yang terakhir panjang melenguh. Mameh pergi ke biliknya, di
sana ia tidur dengan ibunya, menggugah perempuan itu mem-
beritahu, “Ayah sedang mati.” Ibunya bangun dan memastikan
lakinya sungguh mati, sewajarnya, dan tidak karena dicekik anak
perempuannya.
Tapi selepas itu Nuraeni, perempuan ini, malahan pergi
ke dapur dan duduk di bangku kecil menghadapi kompor
dan bergumam sendiri, atau bicara dengan kompor dan panci
sebagai¬mana biasa. Perempuan ini rada sinting, paling tidak
begitulah pikir anak perempuannya sendiri. Mameh hanya
mengikutinya ke dapur, berdiri di ambang pintu, memandang
keremangan dan menanti, sebab ia sendiri tak tahu apa mesti
dibikin menghadapi ayah yang mati. Ia berharap Margio segera
datang dan membebas¬kan mereka dari kebingungan ini, atau
mereka berdua akan mem¬biarkan Komar bin Syueb terus
berbaring di tempat tidurnya sam¬pai membusuk.
Dalam keheningan itu, Mameh mendengar semacam isak
tangis, sedu kecil, tak meragukan itu datang dari mulut ibunya,
di tengah gumaman tak ada makna. Betapa mengejutkan itu bagi
Mameh, menyadari perempuan ini bisa bersedih pada suami
yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk memukuli dirinya,
67
untuk salah ini dan salah itu dan tanpa salah sama sekali. Mameh
cukup yakin, jika ibunya bersedih, itu bukan karena ia mencintai
Komar, tapi disebabkan oleh kebiasaan hidup bersamanya,
semenderita apa pun.
Piaraan Komar yang tersisa mulai ribut di pekarangan,
me¬minta jatah pakan pagi hari mereka. Semenjak Komar
sekarat, tak ada lagi sayur busuk dan dedak bagi makhluk-
makhluk malang itu, dan Mamehlah yang kemudian ambil alih
mengurus me¬reka, hanya memberi apa yang bisa ditemukannya
tersisa di da¬pur. Kini kalian ditinggal mati tuan agung ini,
pikirnya, dan nanti sore barangkali menyusul untuk selamatan,
seandainya seseorang berharap memberinya doa. Mameh akan
merasa senang untuk memenggal leher mereka, sebagaimana
berkali dilakukan Margio diam-diam.
Tangis itu masih berdengung dari dapur, dan Mameh masih
berdiri di ambang pintu, serasa adegan sandiwara yang kehabisan
kata-kata. Mameh hendak mengusik ibunya, memaksanya untuk
berbuat sesuatu, tapi dipikirnya kemudian, pasti perempuan
ini sama tak tahu apa mesti dibuat. Maka Mameh menyalakan
lampu dapur, tombolnya ada di gudang beras. Sesungguhnya itu
bukan gudang beras, hanya terdapat peti besar tempat pepaya
dan pisang kadang diperam, dan selebihnya tak lebih dari dua
atau tiga kilo beras yang dibeli Komar dari pasar selepas ia
membabat rambut orang. Di bawah cahaya benderang, dengung
tangis Nuraeni terjeda sejenak, namun tanpa bergeming ia
melanjutkan karnaval kesedihannya, memunggungi Mameh
menancap ke raga kompor.
Mencoba menyibukkan diri dan berpikir barangkali dengan
cara itu segalanya berjalan begitu saja, Mameh mengambil
panci teman ngobrol Nuraeni dan mengambil air dari sumur.
68
Dinyatakannya sumbu kompor, dan api yang merayap naik se
makin menambah tampak wajah sembab ibunya, tiba-tiba merosot
begitu tajam menjadi boneka kecil yang diremas lumat, lebih pasi
dari si mayat sendiri. Mameh bertanya-tanya, seduka itukah yang
dirasakan ibunya, sebab dirinya sendiri jauh lebih merasa riang
daripada sedih atas berita ajal Komar bin Syueb, sambil meletak
kan panci di atas kompor menjerang air, sebagaimana akan ia
lakukan selepas membangunkan ayahnya setiap subuh.
Lama mereka tak bertukar kata hingga ia mendengar kembali
langkah-langkah kaki orang kembali dari surau, beberapa saling
bercakap, dan sempat terpikirkan untuk keluar menyambut me
reka dan bilang Komar bin Syueb sedang mati, berharap mereka
akan datang dan memberi sedikit pertolongan bagaimana mesti
mengurus orang mati, tapi ia tak tahu bagaimana mengatakan
nya. Ia merasa jengah dan tak patut berkata, “Paman, ayahku se
dang mati,” sebab pasti mereka akan menemukan nada riang dari
kata-katanya. Mameh kembali diam hingga kaki-kaki para pejalan
lenyap di rumah mereka, berdiri di belakang ibunya, berharap
Nuraeni memberi sedikit gagasan, paling tidak menyuruhnya
mendatangi rumah seseorang untuk memberi kabar kematian
ayahnya. Ketika Marian mati, segalanya di tangan Margio. Se
andainya ia tahu siapa yang harus dipanggil jika seseorang mati!
Suara-suara mulai datang dari kiri-kanan, di rumah-rumah
tetangga, kala tungku dan kompor dinyalakan, dan anak-anak
membuang kencing di batang pohon pisang. Piring-piring kotor
berlabuh di tempat cucian, dan timba air dikerek orang dan bak-
bak mandi dipenuhi. Ada suara sepeda lewat, memburu pasar
menenteng keranjang-keranjang kosong, atau penuh jika ia se
orang penjual, dan jauh di jalan, suara lonceng kuda delman
berdentang seirama dengan ketoplak sepatu besinya. Kembali
69
anjing-anjing menggonggong, sebelum berguling di tanah pasir,
melanjutkan tidur yang terpenggal. Di dapur mereka, hanya
suara air yang mulai menghangat dan guncangan bahu Nuraeni
yang tak ada henti.
Inilah perempuan yang sekali waktu pernah ditunggangi
Komar bin Syueb dengan ganas, pikir Mameh.
Peristiwa itu telah jauh berlalu, tapi Mameh tak akan pernah
melupakannya, terjadi di suatu malam yang dingin, membikin
tubuh menggigil dan sepanjang malam ingin kencing. Rasa pejal
yang harus ditahannya tak lagi mampu membendung bah dalam
perutnya, membikin Mameh beranjak dari tempat tidur dan tak
menemukan ibunya. Ia pergi ke kamar satunya, dan di sana ia
hanya menemukan Margio tidur lelap serupa bangkai. Malam
itu demikian kelam bikin Mameh tak ada nyali pergi ke kamar
mandi seorang diri, tapi tidur Margio yang sentosa menghalangi
Mameh untuk membangunkannya. Sambil bertanya-tanya ke
mana ibu dan ayahnya, Mameh merayap menuju dapur yang
gelap meraba-raba tombol lampu di gudang.
Malam itu Mameh tak pernah menyalakan lampu. Gudangnya
diremangi oleh lampu teras tetangga yang menerobos kisi-kisi,
dan di atas peti ia melihat dua sosok saling bergumul sama-sama
telanjang, serupa pacuan kuda. Ia pernah melihat pacuan kuda
sekali waktu, pada suatu Minggu di kebun kelapa, dan kala ia
melihat bayangan di atas peti, gambar pacuan kuda berkelebat
di benaknya. Di sana Nuraeni menungging, serupa kuda, dan
Komar bin Syueb menyodok dari belakangnya. Mameh bisa me
lihat bokong Komar yang mengguncang ganas, dan setiap gun
cangan disusul lenguhan Nuraeni serupa sapi yang digorok leher.
Itu juga datang berkelebat, sebab Mameh pernah lihat leher sapi
digorok di Hari Kurban.
70
Nyaris itu bikin ia ngompol sungguhan di tempat, melihat
tubuh yang banjir peluh dan mendengar ibunya merintih sekarat
disodok Komar dengan ganas. Ia merayap ke kamar mandi, me
numpahkan isi perutnya, kembali ke biliknya tanpa kehendak
menoleh ke gudang beras, dan tak bisa tidur setelahnya, takut
ibunya mati ditunggangi ayahnya di atas peti. Bertahun-tahun
selepas itu ia masih akan mengenangnya, melihat roman ibunya
dengan tatapan sedih, dan memandang ayahnya dengan satu
perasaan jijik tertentu.
Hal ini ditambah-tambah oleh peristiwa kamar mandi.
Tempo itu Mameh baru berumur empat belas, tengah gelo
dengan gumpalan daging yang, “tiba-tiba menyodok di dadaku,”
katanya. Gumpalan itu membuncit, ranum dan kemilau serupa
balon baru diembus, kemerahan dengan kuncup warna cokelat.
“Hendak melesat bagai pelor,” Mameh menggambarkannya
dengan lebih tepat, bibirnya cemberut, sedikit rasa sebal pada
tubuh yang tak tersembunyikan itu. Ia jadi gelo sebab banyak
lelaki suka lirik tonjolan itu, terutama jika lubang kancingnya
terkuak, meski sedikit saja. Setiap pagi, keduanya menggeliat
semakin menggelembung, dan Mameh semakin gelo, serasa
mereka hendak pergi tinggalkan dirinya.
Sebaliknya, hal itu berbeda di kamar mandi. Mereka memajang
pengilau akbar di atas bak mandi, serasa jendela ajaib melihat
dunia kembar, sisa kaca lemari yang pecah diterjang kucing. Se
paruh waktu mandi Mameh diboroskannya untuk berdiri telan
jang mengagumi potongannya sendiri, dengan dada bengkak
itu, dan Mameh serasa lengkap jadi perempuan. Ia suka daging
pejalnya, memujanya, mencungkupinya dengan genggaman
tangan, mengukur pertumbuhannya dari waktu mandi ke waktu
mandi lain, kadang mengguncangnya sedikit, bertanya-tanya apa
71
isi di dalamnya, serta didorong kekaguman melihat perempuan
dewasa yang berjalan dan memperlihatkan dada yang bergoyang
terguncang-guncang. Dadanya masih mungil, tidak bergoyang,
maka ia mengguncangnya dengan tangan, begitulah.
Sesungguhnya ia berdiri di suatu dunia kecil yang rawan, sebab
pintu kamar mandi tak terkunci, selotnya hilang entah. Semua
orang selalu ingat akan beli selot baru kala mandi, lalu alpa
setelahnya. Satu-satunya pertanda kamar mandi berpenghuni
adalah gebyur air. Kala itu Mameh belum menyentuh air,
masih melayari gundukan dadanya dengan telunjuk, merasakan
kegeliannya sendiri, waktu pintu terkuak mendadak, merekah
dan menghentikan waktu.
Komar bin Syueb berdiri di sana, mengenakan kolor dan sin
glet, rokok lintingan mengepul di mulut, tangannya menggeng
gam erat tali kolor menangkalnya merosot, serupa monumen
yang telah ada sejak berabad-abad. Mameh memekik, sejenak
mengambang dan melayang, sebelum ambruk jongkok dan
menguburkan wajah di celah kedua lutut. Mameh selalu berpikir
momen itu sangat lama, meleret hingga lebih lama dari hidupnya
sendiri. Tanpa mengangkat wajah, Mameh tahu Komar bin
Syueb menutup kembali pintu, gontai berlalu dengan kaki
mengangkang menahan beban kotoran yang hendak menjebol,
tak ada sepatah kata jua dari mulutnya, meninggalkan Mameh
yang mendadak ngompol.
Kini ayah tahu dadaku monyong, dan ada belukar di kema
luan, pikirnya. Komar bin Syueb telah membongkar semua ra
hasia anak gadisnya. Sepanjang tahun-tahun yang kemudian
berlalu, Komar tahu Mameh berharap ia melupakan perisiwa
dramatik tersebut. Komar tak pernah lupa, entah kenapa, dan
Mameh tahu ia tak lupa, dengan keyakinan tertentu. Hari-hari
72
pertama, Mameh menyingkir tak hendak bersua dengannya,
dan Komar mesti geletakkan uang logam jajan sekolah di meja.
Bagaimanapun ia tak ada maksud memergoki tubuh bugil anak
perempuannya, tak peduli setan dan iblis sering merasuki dirinya,
tapi Mameh pasti berpikir serasa dicabuli ayah sendiri. Dan
dicabuli ayah sendiri tidaklah menyenangkan, membikin Komar
bersiap suatu masa Mameh akan mencabiknya pakai pisau dapur.
Hari demikian tak pernah datang, dan sebagaimana Margio,
Mameh tak cabut nyawanya, malahan urus tubuh sekaratnya.
Maka kematian Komar membangkitkan rasa senang pada Ma
meh, rasa senang yang bagi dirinya sendiri aneh. Rasa senang
itu semestinya datang pula pada Nuraeni, dan barangkali dengan
tangis mengguncang kecil itulah ia merayakannya.
Pagi telah datang dan keduanya masih mengabaikan mayat
yang terbaring kaku di tempat tidurnya, masih mengurung di
dapur, kadang bergerak sedikit melepas pegal. Air telah mendidih
memancarkan bunyi desing nyaring, dan Mameh telah mengen
taskannya, mematikan kompor. Semestinya ia menanak nasi, tapi
melihat Nuraeni tak pula beranjak dari bangku di depan kompor
itu, membikin nafsu Mameh untuk memasak jadi rontok.
Di luar anak-anak sekolah telah lewat dan semesta menjadi
hangat, penuh nyanyian dan polah, hanya di dalam rumah ke
suraman makin menjadi-jadi oleh pintu-pintu yang masih ter
tutup, dua perempuan yang semrawut tak cuci muka sejak subuh,
dan tak ada kehendak mandi. Waktu serasa berhenti di sana,
Mameh kembali bersandar ke tiang pintu, sementara Nuraeni
telah berhenti dari tangis, namun tetap tak beranjak, dan bau
kematian mulai menguap bersama udara panas yang datang, me
nerobos langit-langit yang bolong, dan kisi-kisi dan celah dinding
bilik.
73
Hari telah pukul satu, sekonyong-konyong, ketika Mameh
masuk ke kamar mandi membuang kencing, kemudian tanpa
sadar melangkah membuka pintu, membiarkan cahaya siang me
nerobos dapur membuat silau mata keduanya, lalu kakinya me
langkah tanpa satu tujuan pasti, dengan hidung mengembang
menghirup aroma segar pekarangan yang rimbun oleh belukar
bunga. Di teras ia berdiri, dengan pakaian yang masih kusut dan
rambut tak terikat, sekilas menyerupai memedi sawah yang se
malam dihantam badai menerjang-nerjang, hingga seorang lelaki
tetangga, Jafar, melangkah melewati depan rumah dan berhenti
memandang dandanan Mameh yang tak ada bagusnya. Mereka
saling memandang, Jafar melihatnya dengan tatapan ajaib serasa
gadis itu kehilangan kewarasan, sebab matanya kosong tak ada
binar.
“Kenapa kau, Nak?” tanya Jafar.
Entah dari mana datangnya suara itu, Mameh sendiri tak
sungguh-sungguh bermaksud mengatakannya, “Ayahku mati dan
sedang membusuk.”
Sejenak Jafar mengabaikan kalimat tersebut, sebelum menya
dari maknanya. “Demi Tuhan, telah berapa minggu?”
“Tadi malam.”
Demikianlah seseorang akhirnya mengambil urus mayat itu,
belum sungguh-sungguh membusuk, tapi telah lembek dan bau
lembab. Jafar memberitahu Kyai Jahro dan beberapa tetangga ber
datangan selepas Ma Soma kasih tahu mereka dengan pengeras
suara surau. Seseorang menggotong dipan dan mempersiapkan
berember-ember air, dan Komar bin Syueb dimandikan dengan
segera. Penggali kubur datang tergopoh membawa galah lentur
dari bambu, mengukur tubuh Komar dan pergi lagi selepas me
74
minta sebatang rokok pada sang kyai. Mameh telah berpesan
kepadanya untuk buatkan kuburan di samping Marian, mewanti-
wanti untuk tak mengabaikan kehendak tersebut.
Bahkan sepanjang kesibukan orang keluar-masuk rumah
menenteng mayat Komar bin Syueb ke teras, ke sumur, ke surau,
Mameh dan Nuraeni masih sebagaimana sedia kala, memandang
linglung pada semua itu. Mameh barangkali sedikit waras, ia
bicara pada beberapa orang, menemui beberapa pamannya,
meski tak juga mengurus diri, paling tidak menyisir rambut dan
mengganti pakaian, jika tidak mencuci muka dan pergi mandi.
Nuraeni, sebaliknya, masih duduk di dapur, menyadari semakin
dekat waktu Komar dibenamkan ke tanah, ia kembali duka dan
sesenggukan. Tak ada orang yang mengganggunya, mengetahui
ketidakwarasan jiwanya yang tak disangka-sangka, dan membiar
kannya sesuka hati, kecuali ia memaksa ingin ikut dikuburkan.
Itulah kala Margio kemudian datang, dengan rona wajah
yang cemerlang seolah seluruh cahaya berasal dari dirinya.
Semua orang bisa menangkap kesan terbuka bahwa ia senang
dengan kematian ayahnya, meski ia kemudian mengambil alih
pemakaman itu, menyisakan dirinya sebagai anak tahu diri, dan
ikut ke surau untuk beri salat jenazah. Mameh memetik bunga-
bunga yang tumbuh di pekarangan, seluruhnya punya Nuraeni,
dan tampak jelas ibunya tak suka dengan apa yang ia lakukan,
perempuan sinting ini dengan cara aneh memperlihatkan
kedukaan sekaligus ketidaksudian bunga-bunga dipetik untuk si
orang mati yang adalah suaminya. Tapi Mameh tak peduli, terus
memetik dan mengumpulkan bunga-bunga di keranjang.
Keranda mulai datang dari surau, Komar bin Syueb telah
berbaring di dalamnya, diselimuti kain keemasan dengan
rumbai-rumbai perak, bertuliskan kalimat syahadat. Kyai Jahro
75
memimpin doa di depan, dan iring-iringan orang mengekor di
belakang, sedikit saja, sebagian besar kawan Margio yang baru
turun dari gunung berburu babi, tak memedulikan pakaian
mereka yang berlepot lumpur. Margio ada di antara mereka,
persis di samping keranda ayahnya, menabur bunga yang dipetik
Mameh sepanjang perjalanan. Komar bin Syueb akan dikubur di
permakaman umum Budi Dharma, berteman kamboja dan cem
paka, ditunggu dengan penuh marah si kecil Marian.
Mereka telah pergi, dan rumah itu kembali hening, hanya doa
yang lamat-lamat menghilang menjauh, meninggalkan Mameh
dan Nuraeni kembali dalam kebisuan mereka. Nuraeni telah
beranjak dari dapur, tampaknya ia merasa lapar dan pegal, tapi
tak ada makan tersedia bagi mereka, menyeretnya berjalan ke
ruang tengah, menggelosor ke teras memandang pekarangan
dengan bunga-bunga kesayangannya telah lenyap, duduk di
bangku tempat Komar tadi dimandikan. Mameh mengikutinya
dengan mata, masih terbayang wajah menyedihkan yang hampir
mati disodok kemaluan lakinya di atas peti dan melenguh serupa
leher sapi digorok, dan tiba-tiba pikiran itu meletup di kepalanya.
Mameh berjalan menghampirinya, dengan suara tajam berkata.
“Ada baiknya kau kawin lagi, Bu.”
Nuraeni tersentak dan tangannya deras menampar anak pe
rempuannya. Mameh mengelus pipinya, panas dan pedas.
Tiga
Mereka datang ke 131 kala Margio masih tujuh tahun dalam satu
perjalanan yang kelak sering disebut Margio sebagai “Tamasya
Keluarga Sapi”. Mereka menempuh tiga jam perjalanan dramatik,
ke sebuah tempat yang disebut-sebut Komar bin Syueb sebagai
“rumah milik sendiri”, menempuh jalan koral yang di banyak
tempat menjelma kubangan kerbau dan mereka harus melaluinya
serupa orang-orang Yahudi melintasi Laut Merah, sebagaimana
kemudian kadang diceritakan Ma Soma di surau selepas mengaji.
Keluarga itu berjejalan di atas gerobak yang ditarik dua ekor
sapi gemuk, gerobak dan sapi itu dipinjam cuma-cuma dari pe
milik penggilingan padi, dan dari sanalah sebutan itu datang, dan
Komar bin Syueb sesungguhnya telah bertindak bijak untuk tidak
menyewa truk yang akan menguras banyak isi pundinya. Lelaki
itu duduk di kursi kemudi, menggenggam tali kekang yang meng
gelayut nyaris tak ada guna, tangan lain mengacungkan cambuk
penuh nafsu, juga tak ada guna sebab tak pernah bisa membikin
kedua sapi itu melangkah lebih kencang. Di sampingnya duduk
Nuraeni memangku si kecil Mameh, terbenam di balik kerudung
hijau tua bermotif bunga perak, berkali-kali harus menenangkan
kedua anaknya yang terus mengeluh atas perpindahan mereka.
Margio sendiri duduk terguncang-guncang di atas gulungan
kasur, menahan panci dan ember tidak hengkang, dan sekali
77
waktu satu guncangan batu bisa juga membikin benda-benda
terlompat, hingga Margio harus turun memungutinya sementara
gerobak terus bergerak, berlari mengejarnya, melemparkan
benda-benda terjatuh, dan dirinya sendiri naik kembali untuk
duduk dan kadang berbaring melihat elang terbang jauh di langit
yang biru.
Sesungguhnya ada jalan pintas berupa jalan raya beraspal
yang membujur sepanjang tepi pantai, tempat bis dan truk lewat,
namun Komar bin Syueb khawatir sapi-sapi ini terganggu atau
mengganggu mereka. Maka ia menempuh perjalanan sesat, me
lintasi bukit-bukit kecil dan memotong sawah, menelusuri per
kampungan dengan rumah-rumah yang berderet di bawah rum
pun bambu dengan perempuan-perempuan menjemur padi di
pekarangan rumah dan para lelaki mencari kayu bakar. Di setiap
kampung terlewati orang-orang berhenti dari polah mereka dan
memandang takjub pada tamasya yang lewat, membuat Nuraeni
semakin menenggelamkan diri di balik kerudungnya, namun
tak membikin Komar bin Syueb kehilangan muka, malahan
menyapa mereka dan jika seseorang bertanya mau pindah ke
mana, tanpa ragu ia menyebut tujuannya.
Margio tak peduli dengan anak-anak yang bertelanjang kaki
dan dada yang berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lebih
sibuk membacai gambar umbul di tangannya, memindai dengan
baik mana Arjuna dan mana Karna, dan mati-matian berusaha
membedakan Nakula dan Sadewa, dan hanya terganggu jika poci
atau tas pakaian yang tak terikat betul terlempar sejenak setelah
roda gerobak menghantam batang pohon yang rebah, atau
batu sebesar kepala yang suatu ketika konon dilemparkan jauh
dari gunung meletus. Ia masih tak rela untuk pergi dari tempat
mereka selama ini, dengan teman-teman bermain adu gambar
78
dan kelereng dan layang-layang dan berburu jangkrik. Tak ada
jaminan di tempat baru ia bakalan memperoleh teman-teman se
baik sebelumnya.
Mereka datang dari sepetak rumah yang berdiri di tepi pe
rempatan jalan koral, seminggu sekali menjelma menjadi Pasar
Senin, sebab setiap Senin pagi akan dijejali pedagang-pedagang
yang meletakkan bakul-bakul di pinggir jalan, di teras rumah,
atau di tanah kosong sudut jalan yang lain. Mereka menjual
kelapa dan pisang dan pepaya dan singkong, beberapa menggelar
baju- baju cantik di kerangka kayu yang dipajang di sepeda
mereka, seorang nenek tua menjual bunga-bunga di tempayah,
dan ada pula orang menyeret sapi dan kerbau dan domba untuk
menjualnya, dan ayam-ayam diikat kakinya bersama bebek, dan
berember-ember ikan dijual bersama lele. Perempuan-perempuan
datang untuk membeli, juga truk-truk kecil yang akan mengang
kut kelapa dan pisang dan singkong dan pepaya hampir tanpa
sisa. Jika ada yang tetap bertahan di teras rumah di luar hari
Senin, itu adalah si tukang cukur Komar bin Syueb, berbekal
cermin besar dan kotak perkakas, serta meja tempat cermin
tersandar dan kursi tempat pelanggan duduk, juga paku tempat
handuk dan kain mori menggantung.
Rumah mereka sesungguhnya bukanlah rumah, awalnya tak
lain dari gudang kelapa. Di sampingnya, berdiri rumah gedong
agung, dengan kaca-kaca menyelimuti sekeliling rumah, dengan
lantai keramik gading yang terus berpijar sebab seorang pembantu
terus-menerus mengepelnya, dikelilingi kebun kecil yang rindang
oleh pohon jambu air, jeruk, dan mangga, dan hamparan kecil
tempat dua buah truk sering menginap. Suatu kali pemilik
gedong itu membikin gudang kelapa lebih besar, di belakang
pabrik minyak, meninggalkan istri dan anak-anaknya, dan gudang
79
kelapa yang menjadi kosong. Komar bin Syueb datang bersama
Nuraeni menempatinya, Margio masih meringkuk di perut ibu
nya, menyewanya seharga dua belas kepala di kursi cukur setiap
bulan, serta kewajiban untuk menjagai rumah besar tersebut ber
sama penghuninya.
Itu bukan rumah, sebab tak ada kamar kecuali kotak tembok
selebar dan sepanjang beberapa depa belaka. Mereka menggelar
kasur di ruangan itu, yang pada awalnya harus dibersihkan dari
serabut kelapa dan kalajengking dan kadangkala keluarga kepik
dan tikus, berjejalan dengan sepeda dan lemari pakaian dan tikar
untuk duduk-duduk. Tak ada dapur, hingga Nuraeni mesti me
letakkan kompor dan rak piring dan ember-ember di teras be
lakang rumah, di bawah pohon melinjo. Ia harus melindungi kom
por dengan papan kayu lapuk dari angin jahat yang menggodai
apinya, dan usai memasak ia akan membawa rantang dan mang
kuk sayur serta bakul nasi ke dalam rumah, meletakkannya di
samping kasur dan di sana pula mereka makan. Juga tak ada
kamar mandi, maka setiap pagi dan petang mereka datang ke
rumah gedong, dan beruntunglah mereka memperoleh sendiri
kamar mandi dan kakus yang berbeda dengan istri serta anak-
anak pemilik rumah. Margio dan Mameh lahir di sana, hidup
dengan cara demikian, dan tampaknya hidup cukup bahagia.
Di tahun-tahun terakhir, Margio beroleh kewajiban untuk
mengisi bak mandi sampai penuh, dan mengangkut tiga ember
air ke teras belakang tempat Nuraeni menjadikannya sebagai da
pur, untuk air minum dan cuci piring. Ia melakukannya sebelum
berangkat sekolah, dan melakukannya lagi sebelum pergi
bermain layang-layang ke pesisir di sore hari. Ia punya banyak
teman di sekitar tempat itu, termasuk anak penjual es yang
berbaik hati sering memberinya es lilin, hingga mereka mesti
pindah ke rumah 131.
80
Pemilik gedong datang untuk membawa istri dan anak-
anaknya, dan ia menjual rumahnya beserta kebun jambu air dan
tentu saja gudang kelapa, hingga itu berpindah tangan. Komar
bin Syueb menjelajah daerah-daerah sekitar, hingga tersesat dekat
lapangan bola, tak jauh dari rayon militer dan pasar kota, dan me
nemukan 131 tak lagi dihuni sepanjang delapan belas bulan ter
akhir. Ia bertanya dari satu manusia ke manusia lain, dari mulut
satu ke mulut lain, mencari pemiliknya yang tak lagi tampak
batang hidung, dan saat berjumpa, ia tak sulit betul memperoleh
nya, sebab si pemilik lama malahan berpikir itu akan ambruk dan
tak lagi ada guna. Ia pulang menemui keluarganya, berkata telah
menemukan rumah buat mereka, dan mesti pindah, tapi ia mesti
membujuk Nuraeni untuk menanggalkan cincin kawinnya, guna
membayar hunian baru mereka.
Tak mudah baginya meyakinkan anak-anak itu untuk pindah,
bahkan Nuraeni sendiri tampaknya enggan, tak peduli bertahun-
tahun mereka tinggal tanpa punya dapur dan kamar mandi. Tapi
Nuraeni bukanlah bocah kecil ingusan, ia menanggalkan cincin
kawinnya dan membiarkan Komar bin Syueb pergi ke pasar kota
untuk menukarnya dengan uang, dan uang itu ditukarnya kem
bali dengan rumah. Hal ini berbeda dengan Margio, yang berkali-
kali membujuk untuk tetap di sana, dan tak mau mendengarkan
satu penjelasan jernih bahwa pemilik baru rumah gedong tak ber
niat menyewakan gudang kelapa itu pada mereka, dan sebaliknya
hendak menjadikannya sebagai toko kelontong yang menjual
sikat gigi dan sabun dan gula-gula.
“Lagi pula,” kata Komar bin Syueb, “kita akan tinggal di
rumah sendiri.”
Margio tak terkesan oleh rumah sendiri. Pada umur tujuh
tahun, ia telah begitu populer di antara kawannya, yang mengajak
81
mereka pergi berburu belut di hari Minggu yang riang, menjual
nya di Pasar Senin dan sisanya dimasak Nuraeni untuk makan
mereka. Ia juga pergi bersama anak-anak untuk cari kayu bakar di
perkebunan, masa itu perkebunan belum juga terbengkalai dan
ia harus punya nyali menghadapi mandor yang tak suka anak-
anak menjatuhkan pelepah-pelepah kelapa kering sebab itu bisa
bikin buahnya juga rontok. Kayu bakar itu dijualnya pula, sebab
ibunya tak pakai tungku, dan dengan itu ia bisa membeli kertas
dan benang layang-layang, dan kelereng. Jangan lupa ia pemilik
kandang-kandang jangkrik terbanyak di antara sebaya. Margio
kecil selalu berpikir ia memiliki segalanya, dan memandang
kepindahan mereka penuh kecurigaan akan mencerabutnya dari
itu semua.
Hingga sempat pula ia ngambek dan mengancam untuk tidak
ikut pindah, memilih tetap di sana walau mesti tidur di teras te
tangga, atau gubuk di tengah kebun cokelat, sebelum Komar bin
Syueb menyeretnya ke pojok rumah dan memarahinya di sana,
mengatainya sebagai anak badung tak tahu adat, dan Margio
hanya diam, dan Komar bin Syueb menyuruhnya buka mulut,
dan ketika Margio hendak buka mulut itu dikira Komar bin
Syueb sebagai pembantahan, maka melayanglah tamparan pedas
ke wajah Margio. Romannya jadi merah, matanya berkaca-kaca,
tapi Margio tak pernah mengizinkan dirinya menangis, maka ia
hanya diam saja, dan sebab Margio terus membisu, Komar bin
Syueb mengambil rotan penggebuk kasur, dan membantingkan
itu ke betis anak lelakinya, bikin Margio oleng dan bersandar ke
dinding mengangkat sebelah kakinya. Bagaimanapun kemudian
Margio ikut serta pindah.
Demikianlah kemudian kasur digulung, diikat kencang dengan
tambang plastik, ditumpuk di atas gerobak sapi yang telah dialasi
82
tikar. Rak piring diikat di tepi belakang, sementara piring dan
gelas dimasukkan ke dalam keranjang dan diselimuti dengan
kain dan bantal. Perkakas cukur dilipat dan tertimbun di bawah
tas berisi pakaian mereka, kursi dan meja, juga ember-ember,
panci, kompor, dan baskom. Margio menyelipkan kandang-kan
dang jangkriknya, kotak kelerengnya, sementara gambar umbul
diikat karet terjejal di saku celana merah ati seragam sekolah yang
dikenakannya. Ia berdiri di sana, di tepi gerobak sapi, dengan
kemeja kehilangan dua kancingnya, rambut kaku kemerahan,
bersandal jepit beda warna, dan Komar bin Syueb menyuruhnya
segera naik, setelah pintu ditutup, dan kata selamat tinggal
diucapk an.
Jika ada hari paling sedih dalam hidupnya, inilah hari itu.
Margio bisa melihat wajah ibunya yang enggan, menenggelamkan
diri dalam kerudung yang tak pernah dipakainya, duduk di sam
ping Komar bin Syueb. Roman itu juga sedih, tapi Nuraeni
lebih banyak diam, dan Margio bertanya-tanya, manakah yang
memb uatnya lebih sedih, kepindahan ini atau kehilangan cincin
kawin. Tadinya ia berharap ibunya bisa jadi sekutu, namun
melihatnya hanya membisu tak alang membuatnya jengah, dan
dengan murung ia naik ke atas gerobak dan duduk di atas kasur,
dilihat teman-temannya yang berdiri di teras, tempat bertahun-
tahun Komar bin Syueb mencukur orang.
Sesungguhnya perjalanan mereka tidaklah begitu jauh, men
jadi lama karena kaki sapi yang melangkah lambat dan jalan
mem utar yang dipilih, sebagaimana kemudian hari Margio bisa
datang menemui teman-temannya cukup berjalan kaki. Tapi
tetap saja bagi Margio itu serasa perjalanan jauh tak ada ujung.
Di atas kasur ia lebih banyak membisu, kadang-kadang telentang
memandang awan dan segerombolan kuntul, lain waktu
83
tertelungkup melihat jalan yang berkelok bergerak menjauh,
atau bertopang dagu melihat tamasya sawah dengan bau padi
men yengat. Nuraeni juga membisu, bahkan setengah tertidur,
seolah ini perjalanan penuh aib, dan setiap mereka berpapasan
dengan manusia, perempuan ini bergeming tak menoleh, bagai
pengantin baru menjaga harkat diri, memeluk anak perempuan
kecilnya yang tertidur pulas di bawah guncangan semena-mena,
dan kemudian hari Margio sering mengingatkannya betapa ia
beruntung telah tidur sepanjang perjalanan yang memalukan
tersebut.
Hanya Komar bin Syueb duduk dengan dada tegap, kadang
menyanyikan kidung menghibur diri sendiri. Kadang mereka ber
istirahat jika terlihat kedua sapi telah lelah, dan membiarkan me
reka buang kotoran semau-mau, sementara para penumpang am
bil minum dan memakan pisang serta kerak nasi yang digoreng.
Mereka mulai masuk ke jalan beraspal ketika Komar bin Syueb
berkata sebentar lagi hendak sampai, meninggalkan jejak lumpur
dua garis sepanjang petilasan roda gerobak yang terbuat dari kayu
dengan pelapis karet tebal bergerigi. Mereka telah sampai di kota,
untuk menyebut daerah pinggiran dengan rumah-rumah cantik
yang berderet sepanjang jalan. Tak satu orang pun pernah melihat
rumah mereka yang baru, tapi demi melihat rumah-rumah cantik
itu, dengan pagar berwarna mengilau berhias besi-besi kecil serta
lampu neon dan kotak pos, tak alang bikin Margio bersemangat.
Ia melirik ibunya, berharap hasrat menyenangkan itu bisa dibaca
di sana, tapi Nuraeni tetap mengubur diri. Margio tak memeduli
kannya lagi, melihat orang-orang di teras rumah mereka yang
penuh kaca dengan tanaman kuping gajah digantung di pot dan
anggrek menempel di tiang. Ia bertanya-tanya, di rumah mana
mereka akan berhenti.
84
Bagaimanapun mereka tak berhenti di salah satu rumah cantik
sepanjang jalan itu, malahan berbelok masuk gang kecil yang
hamp ir tak dapat dilalui gerobak mereka sampai Margio mesti
menarik rak piring yang terjulur menghalangi dan membentur-
bentur pagar rumah orang. Di sana gerobak berjalan lebih pelan,
lebih terguncang, melewati gubuk-gubuk yang berjejalan, dan
kebun-kebun tak terawat, tersembunyi di balik rumah-rumah
riang yang baru lalu. Hingga mereka berhenti di sebuah tanah
lapang, tepat di bawah pohon randu yang baru merontokkan
bunga-bunganya. Di hadapan mereka teronggok 131.
“Inilah rumah itu,” kata Komar bin Syueb, tak tersembunyikan
rasa senangnya, yang tak beroleh tanggap dari Margio maupun
Nuraeni. Mameh bangun dari tidur panjangnya.
Rumah itu sedikit lebih besar dari rumah lama mereka, pasti
ada kamar tidur dan dapur dan kamar mandi. Panjang dan lebar
nya tak lebih dari tujuh depa, menurut Margio, satu badai laut
yang jahat cukup untuk membuatnya lenyap, dan satu buah ke
lapa jatuh menimpanya, cukup untuk bikin itu ambruk. Sekilas
orang bisa melihat kemiringannya ke sebelah timur, meskipun
memang tampaknya tak akan roboh begitu saja untuk tahun-
tahun yang akan datang. Tampak redup dan bau mati, lembab,
dan sengsara. Atapnya genting tanah merah yang telah kusam,
hitam oleh lumut yang terpanggang terik siang dan terendam
hujan, Margio berani bertaruh banyak lubang yang akan bikin
air menggelosor ke tengah rumah. Dindingnya tak lebih dari
bilik bambu, disebabkan musim yang datang dan pergi, telah
menggelayut ke luar dan ke dalam, bergelombang tanpa aturan,
dengan pulasan kapur yang telah rontok membuat penampang
irisan bambunya telanjang.
Komar bin Syueb membuka kunci gembok yang tergantung
di pintu, sementara yang lain berdiri di belakangnya, terpukau
85
oleh harta karun yang mengecewakan ini. Pintunya rada sulit
dib uka, barangkali telah memuai hingga ketika mereka berhasil
membukanya, pintu itu dengan keparat tak lagi mau tertutup
dengan sempurna, sebagaimana juga berlaku dengan jendela-
jendela. Pedalamannya gelap sebelum cahaya menerobos dari jen
dela, bau busuk oleh sampah yang tertinggal delapan belas bulan,
penuh sarang laba-laba, tikus yang berlarian mendengar langkah
kaki, codot yang terusik dan berputar-putar di ruangan, sebelum
berhasil memperoleh celah untuk kabur. Bau kotoran codot dan
tokek memaharaja menguap bersama udara yang mencoba meng
alir lamban.
Lantainya tak lebih dari tanah lembab, benar kata Margio,
disebabkan air hujan yang terjun bebas ke tengah rumah,
bergerinjul tak nyaman di kaki. Mereka tak mungkin menggelar
tikar dan kasur di lantai sebagaimana di rumah sebelumnya, dan
harus bersiap dengan ranjang.
“Tak adakah yang lebih remuk dari ini?” Untuk kali pertama,
Nuraeni buka mulut,
“Jangan cerewet, remuk-remuk ini rumah sendiri,” kata
Komar.
Itu benar. Semestinya Nuraeni mengerti dengan cincin kawin
emas seberat enam gram tak banyak yang bisa mereka peroleh.
Rumah ini milik mereka, meskipun tidak termasuk tanah tem
patnya berdiri.
Sepanjang minggu mereka membersihkannya, mengusir
sarang laba-laba dan menangkapi tikus-tikus yang beranak-pinak
di lubang-lubang yang segera mereka timbun. Komar bin Syueb
meminjam cangkul dan meratakan permukaan lantai serta
membersihkannya dari beragam kotoran binatang, dan bersama
Margio naik ke atap rumah untuk membetulkan genting yang
86
sengkarut diterjang angin dan kaki merpati. Rasa dongkol
Margio semakin bertambah-tambah, tapi tak banyak yang bisa
diperb uatnya kecuali mengikuti keinginan ayahnya, atau rotan
pemukul kasur itu kembali bakal menghajarnya. Mereka juga
harus memangkas pakis dan jamur, dan membabat belukar
dadap di belakang rumah di samping sumur.
Beruntunglah mereka punya sumur, meski harus membersih
kannya pula dan memasang tali timba. Kamar mandinya meru
pakan yang termewah di rumah itu, dibuat dengan tembok
beralaskan pecahan ubin keramik, dengan kakus yang mampet
dan butuh waktu sebulan untuk membuatnya bisa dipakai,
dan selama itu mereka harus buang kotoran ke kebun cokelat
atau ke parit kecil di belakang pabrik batu bata. Kamarnya ada
dua, Komar mendatangkan ranjang kayu suatu pagi, satu kamar
untuknya dan Nuraeni dan si kecil Mameh, dan yang tersisa
untuk Margio seorang diri, sebelum kelak kepemilikan kamar-
kamar itu berubah, saat satu kamar untuk Nuraeni dan Mameh,
yang tersisa untuk Komar bin Syueb, dan Margio tergusur ke
dipan di ruang tengah, atau pos ronda, atau surau, atau warung
Agus Sofyan.
Tanahnya sendiri milik nenek tua bernama Ma Rabiah, yang
sebagaimana Kasia istri Anwar Sadat, ia memiliki tanah-tanah
yang menghampar melewati tapal batas desa-desa. Rumah 131
menumpang begitu saja, juga rumah-rumah di sekitarnya, kecuali
rumah-rumah sepanjang pinggir jalan yang berhasil membeli
tanah-tanah mereka dari pemilik sebelumnya. Itu adalah masa-
masa ketika banyak keluarga datang dan pergi menenteng
kerangka-kerangka rumah, serasa semua itu bisa dilipat dan
dimasukkan ke dalam karung. Kerangka-kerangka kayu tersebut
datang dengan truk, diturunkan di sebuah tanah kosong,
87
beberapa bahkan tak pernah bilang pada Ma Rabiah hingga sang
pemilik melihatnya telah berdiri dengan dinding bercat putih dan
pekarangan berhias melati cantik. Hingga ketika pemilik rumah
memutuskan untuk pindah lagi, ia akan membobol dinding bilik
bambunya, menggulungnya, dan menenteng kembali kayu-kayu
rangka rumah, kemudian seseorang datang dan menggantikan
tempatnya.
“Di sinilah kita tinggal, menunggu Ma Rabiah mengusir dan
kita mesti melipat semua ini,” kata Nuraeni tak lama selepas
mereka membersihkan rumah dengan sia-sia.
Sepanjang sejarahnya, Ma Rabiah tak pernah mengusir seorang
pun, mereka sendirilah yang datang dan pergi. Bahkan nenek tua
itu tak pernah pula memungut sewa, atau minta bantuan untuk
pajak, kecuali datang menemui mereka untuk bicara hal-hal
lain dan tertawa terkekeh-kekeh dengan perempuan-perempuan
dan pulang kembali ke rumahnya. Ia nenek tua baik hati, janda
seorang veteran, dan satu-satunya ikatan di antara mereka
sebagai pemilik tanah dan para penumpang hanyalah kaleng-
kaleng biskuit yang dikirimkan para pemilik rumah ke ruang
tamunya setiap hari Lebaran tak peduli Ma Rabiah tak pernah
memintanya, dan belakangan tak pernah pula memakannya
sejak kehilangan banyak gigi.
Jauh bertahun-tahun sebelumnya, kala tempat itu masihlah
belukar raya kecuali sepanjang pantai yang ditinggali para nela
yan, tanah-tanah itu barangkali tak bertuan sama sekali, sebab
para perompak pun enggan menjadikannya sarang, hingga da
tang segerombolan pendatang dari timur yang membuat patok-
patok dan membagikannya di antara mereka. Orang-orang inilah,
konon dua belas lelaki yang datang menunggang keledai, gagah
berani mengusir babi-babi dan ajak menjauh, yang pertama
88
membikin rumah-rumah dan ladang-ladang, tuan atas tanah
yang menghampar dengan batas tak terjangkau pandangan,
memukau para nelayan dan penghuni sebelumnya yang lebih
banyak berkerumun sepanjang sungai-sungai. Mereka membabat
belukar, menanam padi, dan dikenang sebagai leluhur kota.
Mereka mendatangkan perempuan-perempuan cantik dari
desa-desa sekitar, atau dari kampung-kampung nelayan, menga
wininya dan beranak-pinak, mewarisi tanah-tanah tersebut,
ladang-ladang dan sawah-sawah dan kebun kelapa. Di antara me
reka, satu keluarga melahirkan Ma Rabiah, dan keluarga lain me
nyisakan Kasia, serta beberapa yang lain pula. Kasia datang dari
generasi keempat tukang patok itu, sementara Ma Rabiah konon
datang dari generasi ketiga, meskipun begitu, apa yang dimiliki
nya nyaris tak terhitung dan terpetakan juga, meski ia telah mem
baginya di antara saudara-saudara sepupu. Ketika Komar bin
Syueb datang dan menumpang, patok-patok itu konon masih
ada sebagaimana patok-patok pertama dulu ditancapkan.
Si gadis Ma Rabiah kawin dengan seorang prajurit di masa
awal republik, dan keduanya hidup cukup makmur tanpa harus
memiliki tanah-tanah tersebut, ditopang oleh penyelundupan
terb uka yang diurus militer kota sepanjang tahun-tahun revolusi
dan setelahnya sebagaimana bisa ditanyakan kebenarannya pada
Mayor Sadrah. Demikianlah kemudian tanah-tanah itu jadi ter
bengkalai di tangan kedua orang yang tak peduli dan barangkali
tak ingat pernah memilikinya, mengembalikannya menjadi be
lukar raya di mana kaso dan alang-alang tumbuh liar, hingga
orang-orang berdatangan di masa kota menemukan bentuknya,
dan melihat tanah-tanah kosong itu penuh tanda tanya. Mereka
mendatangi rumah Ma Rabiah, berharap menyewa atau membeli,
namun karena Ma Rabiah tak membutuhkan uang macam apa
89
pun, ia malahan menyuruh mereka untuk menempatinya begitu
saja. Hanya beberapa pemilik rumah di sepanjang jalan bersikeras
membayar, sebab mereka tak ingin terusik dan terusir, dan tentu
saja punya uang untuk itu.
Mereka, Ma Rabiah dan suaminya, beroleh delapan anak laki-
laki dan perempuan, yang dikenal orang kota atas naluri usaha
mereka yang tanpa ampun. Salah satu dari merekalah yang per
tama kali mendatangkan bioskop dengan film yang diputar setiap
hari, tiga kali dalam satu hari, tanpa libur. Salah satu dari mereka
pulalah yang belakangan membuka toko donat, dan memamer
kannya sebagai donat nomor satu di dunia. Yang lain membikin
pabrik udang, tepatnya memborong udang dan ikan dari seluruh
nelayan sepanjang separuh pantai selatan untuk menjualnya kem
bali ke negeri-negeri pemakan udang, dan orang-orang menyebut
bak penampungan serta lemari es raksasanya sebagai pabrik. Me
reka hilir mudik di jalanan dengan mobil gemerlap, pujaan kota,
sekaligus malapetaka bagi para penumpang di tanah ibu mereka.
Tak lama selepas kematian ayahnya, anak-anak itu mulai ribut
soal tanah warisan, tak peduli tanah-tanah itu milik ibu mereka,
dan Ma Rabiah masihlah hidup dengan bugar. Anak sulung
mengusir sebuah keluarga yang telah tinggal di sana sepanjang
delapan belas tahun, bergeming oleh permintaan penundaan
sementara pemilik rumah meminta waktu untuk mencari
tempat pindah, sebab ia hendak mendirikan pabrik es di sana,
dan si pemilik rumah harus membongkar rumahnya dan pergi
entah. Polah si sulung membikin sirik adik-adiknya, dan mereka
mengusir beberapa keluarga lain, mendirikan toko dan pabrik
dan kolam ikan atau bahkan membiarkannya menjadi sarang
demit. Mereka memb ikin patok-patok baru, membagi-bagikannya
di antara mereka sendiri, tanpa bicara dengan ibunya.
90
Meskipun tak pernah terungkap dengan kata-kata, Ma Rabiah
bisa melihat wajah-wajah cemas melekat di roman orang-orang
itu. Ia sering berjalan-jalan menelusuri kerajaannya tersebut, sing
gah dari satu pondok ke gubuk lain, berbincang-bincang dengan
mereka, dan mulai mencemaskan pula kelakuan kedelapan anak
tak tahu diuntung itu. Ia menegur mereka atas segala polah
mengusir orang tanpa bincang kepadanya, tapi mereka lebih
keras kepala dari setan dan dari yang dibayangkannya, tak hanya
tak membalas teguran, malahan menjawab itu dengan berkali
pengusiran lain.
Sakit hati pada bocah-bocah itu, ia mulai berpikir mencari
cara untuk tak memberi mereka apa pun yang dimilikinya.
Kepada beberapa orang, tanpa canda ia berkata, “Carikan aku
cara mencabut mereka sebagai ahli warisku.”
Gagasan itu datang dengan sendirinya, suatu masa, tanpa se
seorang perlu menyulutnya. Ia bicara dari satu rumah ke rumah
lain, duduk bersama laki-laki dan perempuan, mengatakan bahwa
ia hendak menjual tanahnya, dan menyuruh mereka membayar
tanah-tanah yang ditempatinya. Tentu saja tak ada orang yang
tak berharap memiliki itu sendiri, sebagaimana Komar bin Syueb
juga berharap, tapi tak banyak di antara mereka memiliki uang
semestinya untuk berdiri tak terusir dari sana. Ma Rabiah tam
paknya telah berhitung dengan itu, datang dengan rencana gam
blang tak bertele-tele.
“Kujual semurah mungkin.”
Bagi Komar bin Syueb sendiri, semurah mungkin itu berarti
cukup memangkas rambut orang sebanyak seratus dua puluh ke
pala untuk memiliki tanah tempat rumahnya berdiri dengan pe
karangan kecil di depannya. Itu setelah delapan tahun mereka
tinggal, dan Komar punya simpanan yang tadinya ia pikir untuk
91
menebus kembali cincin kawin yang hilang, dan sampai ketika
kematiannya datang ia tak pernah mengembalikan cincin kawin
itu. Tetangga-tetangga yang lain menarik tabungan-tabungan
yang tak seberapa, meminjam uang dari Makojah rentenir kota,
atau menjual motor dan kalung, hingga dalam waktu satu tahun
dengan deras tanah-tanah menjadi petak-petak yang beralih
milik.
Surat-surat perjanjian dibuat, ditandatangani, diberi cap jem
pol si nenek tua, diberi materai. Kecemasan itu menguap, sebab
tak ada lagi alasan mesti melipat rumah ke dalam karung, dengan
selembar surat pembelian yang belakangan dipigura orang- orang
dan dipajang di ruang tamu, serupa piagam penghargaan yang
lebih berharga dari benda duniawi macam mana pun, dan
menyayangi Ma Rabiah semakin bertambah-tambah, walau tak
lebih dengan sekaleng biskuit sebagai pengungkapannya.
Dan harga yang semurah mungkin itu pun, barangkali
disebabkan begitu banyak surat-surat jual-beli dibubuhi cap jem
polnya, bikin Ma Rabiah kaya betul-betul mendadak. Tak ter
pikirkan sebelumnya bahwa ia sungguh kaya betulan, melihat
lembar-lembar uang yang bertumpuk di atas tempat tidurnya,
sebab ia tak tahu kalaupun harus disembunyikan, tak ada tempat
untuk itu. Kecemasan giliran datang kepadanya, takut delapan
anak culas itu melihat uang berhamburan, dan mengetahui duduk
soalnya, hingga ia menemukan penyelesaiannya, yang bakalan
menggemparkan penduduk kota lama setelahnya, dan menjadi
kisah yang didongengkan untuk anak-anak serupa sebuah legenda
kota yang patut dikenang.
Di hari tuanya yang tersisa tak banyak, Ma Rabiah menghabis
kan uangnya membeli sepasang kuda yang dibiarkan berkeliaran
di tepi pantai, jadi mainan anak-anak saking jinaknya. Ia juga
92