The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-03-10 20:18:36

Jangan Panggil Aku Jugun Ianfu Antologi Cerpen Remaja Jawa Tengah

by Aughi Nurul Aqiila

Keywords: Jangan Panggil Aku Jugun Ianfu Antologi Cerpen Remaja Jawa Tengah ,by Aughi Nurul Aqiila,cerpen

“Euhh ... euhh ... euhhn ...,” Yatno memanggil Rehan untuk
bermain air bersamanya.

Lalu keduanya pun bermain bersama. Hari itu mereka ter-
tawa bersama, bercerita bersama, dan mencipratkan air satu sama
lain. Sungguh hari yang sangat menyenangkan. Karena terlalu
asyik bermain, mereka tidak sadar bahwa senja telah tiba. Mereka
menghentikan aktivitas dan membersihkan diri. Setelah itu,
mereka pulang.

Di kamar Yatno ....
“Euhhn, euhhh ... euhhh?” tanya Yatno pada Rehan yang
terbaring bersamanya.
“Aku belum mengantuk, Kak,” jawab Rehan. Sebelumnya
ia tidak paham dengan pertanyaan kakaknya. Namun semakin
hari ia semakin paham. Itu membuatnya nyaman berbincang.
Tidak ada lagi rasa kebingungan bagi Rehan.
“Oh, iya. Ada yang ingin aku katakan,” kata Rehan.
“Hmm?” Yatno penasaran dengan perkataan Rehan.
“Maafkan aku, Kak. Selama ini aku sudah bersikap jahat.
Aku selalu tidak mempedulikan kakak. Aku menyesal. Maafkan
aku ...,” tambah Rehan sendu. Tanpa ia sadari, air matanya me-
netes. “Aku sudah mengetahui semuanya. Kakak seperti ini
bukan karena cacat, tapi karena kecelakaan.”
Yatno bangkit dan mengusap air mata Rehan, “Euhhh ...
euhhuhh ... euhhnn,” katanya menenangkan. Rehan ikut bangkit
lalu memeluk kakaknya. Air matanya menetes lagi. Yatno juga
menangis.
Setelah lama menangis, mereka memutuskan untuk tidur
karena sudah larut malam.
Keesokan harinya, Rehan tiba-tiba terkejut karena Yatno tidak
ada di sebelahnya.
Tok...tok...tok!
“Rehan, buka pintunya!” seru Ibu dari luar kamar.

142 Jangan Panggil Aku Jugun Ianfu

Rehan berdiri dan membuka pintunya, “Iya, Bu.”
“Sekarang kamu bersihkan diri. Setelah itu ikut Ibu ke rumah
sakit. Segera!” pinta Ibu, terlihat tergesa-gesa dari raut wajahnya.
“Memangnya mengapa?” tanya Rehan keheranan.
“Sudahlah ... kamu lakukan saja apa yang Ibu bilang,” Ibu
tidak mau memberitahu jawabannya.
“Yahhh ...,” Rehan kesal dengan jawaban Ibu.
Beberapa menit kemudian, “Aku sudah selesai, Bu. Ayo kita
ke rumah sakit sekarang!” ajak Rehan.
Lalu Rehan dan Ibu pun pergi ke rumah sakit menggunakan
taksi karena mobil pribadi mereka dipakai untuk mengantar
Yatno tadi.
Sesampainya di rumah sakit, Ibu cepat-cepat melangkahkan
kakinya menuju kamar inap Yatno. Rehan mengikuti dari be-
lakang. Saat akan memasukki ruangan, tiba-tiba langkah Rehan
terhenti. Di depannya Yatno tertutup kain putih. Tidak setengah
badan, tetapi seluruh badannya dari kepala sampai kaki. Selain
itu, semua orang yang berdiri di sekeliling Yatno terlihat sedih.
Beberapa ada yang menangis. Rehan berjalan perlahan mendekati
kakaknya dan menoleh ibunya.
“Ibu, kakak mengapa? Mengapa badannya tertutup kain?
Apa kakak kecelakaan lagi?” Rehan menghujani beberapa per-
tanyaan untuk Ibu.
Tanpa berkata, Ibu langsung menangis. Kemudian, Ibu
mendekati Rehan.
“Kakak mengapa, Bu?” tanya Rehan sekali lagi.
“Kakakmu ... sudah dipanggil Tuhan ...,” jawab Ibu dengan
perasaan sedih dan terpukul.
Mendengar jawaban Ibu, air mata Rehan langsung menetes.
Ia memeluk Yatno yang terbaring lemah. Tangisannya semakin
bertambah.
“Kakak ... aku tidak mau kehilangan kakak ...,” kata Rehan
sambil menangis.

Antologi Cerpen Remaja Jawa Tengah 143

“Rehan, ikhlaskan saja apa yang telah terjadi pada kakakmu.
Kamu masih punya ayah dan ibu yang sayang padamu,” Dokter
Shinta mencoba menenangkan.

Sambil mengusap air mata, Rehan melepas pelukan dengan
kakaknya. Setelah itu, ia berlari ke luar ruangan. Semua orang
kebingungan.

“Rehan! Kamu mau ke mana?” tanya Ibu setengah panik.
Ibu ingin mengejar Rehan, namun ditahan oleh Dokter Shinta
dan sopir pribadinya.

Usai jenazah Yatno dimakamkan, Rehan melangkahkan kaki-
nya ke kamar Yatno. Ia duduk di kasur, lalu mengambil lima
lembar foto yang diambil saat di pantai waktu lalu. Ia melihat
foto itu, sesekali air matanya mengalir hingga membasahi kertas
foto Yatno.

“Aku ingat sekali sebulan yang lalu. Ini adalah tempat di
mana aku selalu membentak kakak dan memarahinya tanpa
alasan. Aku juga sempat berpikir kalau Ibu tidak menyayangiku.
Karena itulah aku selalu mencari alasan supaya kakak tidak apa-
apa. Aku melakukan itu agar Ibu sayang padaku.”

“Ternyata apa yang aku lakukan itu salah. Ibu menyayangiku
dan kakak. Justru aku yang salah paham. Bahkan kakak yang
kesulitan berbicara pun peduli padaku. Aku bersyukur mem-
punyai orang tua dan saudara kandung yang seperti itu.”

“Aku juga ingat sehari yang lalu, ketika aku mengajak kakak
pergi ke pantai untuk menikmati awal musim panas. Kami meng-
habiskan waktu di sana. Senang, girang, dan ... ah, semua ber-
campur menjadi satu. Kami juga tertawa bahagia. Merasakan
sejuknya air laut dan derasnya ombak. Rasanya aku ingin tertawa
jika mengingat hal ini. Sebenarnya ini bukan keinginanku untuk
pergi, tetapi ini keinginan kakakku. Ia ingin sekali pergi ke pantai,
karena ia bosan di rumah.”

“Pagi ini, kakak di rumah sakit. Lalu saat aku hendak men-
jenguknya, Tuhan sudah terlanjur memanggilnya. Aku pun me-

144 Jangan Panggil Aku Jugun Ianfu

nyadari bahwa kemarin adalah musim panas terakhir kakak.
Kebersamaan terakhirku bersama kakak. Beruntung aku mem-
bawa kakak ke pantai saat itu.”

Rehan kembali memandang foto yang dipegangnya, “Se-
karang aku kesepian. Namunaku masih bisa merasakan ke-
hadiran kakak di sini.”

“Ini adalah hari musim panas kedua. Selamat jalan, kakakku,
Yatno!”

Antologi Cerpen Remaja Jawa Tengah 145

146 Jangan Panggil Aku Jugun Ianfu


Click to View FlipBook Version