Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Dalam kesusastraan Makassar, dikenal pula adanya ragam sastra royong. Ragam
sastra ini mirip dengan sinriliq karena juga berbentuk prosa lirik, sejenis nyanyian
atau sajian musik vokal yang disampaikan dalam ritus upacara adat Makassar,
seperti acara perkawinan, khitanan, nipasori baju bodo (pemakaian baju adat/
baju bodo) kepada anak gadis yang telah berumur 10 tahun, serta upacara
adat aqtompoloq (meminta doa restu anak yang baru lahir). Pertunjukan royong
biasanya diiringi oleh alat-alat musik tradisional, antara lain ganrang (gendang),
puiq-puiq (serompet), déngkang (gong), dan katto-katto (kentongan) (Solihing,
2004: 4, 7).
Selain bentuk prosa atau prosa liris di atas, dalam kesusastraam Bugis dan
Makassar dikenal juga ragam sastra puisi (Bugis: élong dan Makassar: kélong).
Élong (nyanyian) atau biasa juga disebut élompugi (nyanyian orang Bugis)
merupakan bentuk sastra yang terikat, dalam wujud baris, memiliki metrum,
dan memiliki makna tak langsung. Jenis-jenis élong, antara lain élong tokko
tellu (syair berlarik tiga), élong assimellereng (syair berkasih-kasihan), élong
sibali (syair berbalasan), dan lain-lain. Ada pula jenis puisi Bugis yang dapat mirip
dengan élong, yaitu wérekkada (ungkapan pepatah-pepatah Bugis), mantra,
dan paseng (pesan atau amanah yang mengandung nilai kearifan) (Yusuf dkk,
1996). Adapun kélong (syair atau nyayian) dalam tradisi sastra Makassar mirip
dengan élong dalam tradisi sastra Bugis. Ada pula bentuk puisi yang mirip dengan
kélong adalah doangang (mantra), pakkioq bunting (memanggil pengan-tin),
dondo (puisi untuk anak kecil), dan aru (ikrar setia)(Nur, 1973: 27-61).
Uraian singkat mengenai ragam kesusastraan Bugis dan Makassar memperlihatkan
bahwa kedua suku bangsa yang berkerabat dekat ini memiliki keragaman
produk budaya yang disebut dengan sastra. Dengan keragaman banyaknya
produk sastra ini menjadi bukti bahwa pada periode-periode tertentu di masa
lampau, sastra menjadi populer dan kegiatan bersastra menjadi hidup dan
bergairah. Mereka menyadari bahwa, sastra, selain sebagai kegiatan yang dapat
menyenangkan, juga menjadi alat menyampaikan pesan dan mengekspresian
atau menyatakan kondisi sosial budayanya.
187
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Silsilah dan Kumpulan Catatan Sejarah dan Pengetahuan
Naskah-naskah Bugis Makassar yang berisi silsilah, catatan harian, atau kumpulan
berbagai catatan, terutama menyangkut sejarah cukup banyak jumlahnya.
Kategori naskah yang berciri sejarah biasa juga disebut dengan Lontaraq, yang
dibedakan dengan Sureq sebagai naskah berisi teks kususastraan (Mattulada,
1985: 19, 389-403; Enre,1999: 23).
Banyak di antara warga Katagori naskah ini memiliki fungsi yang penting dalam masyarakat. Lontaraq
masyarakat saat ini silsilah, seperti Lontaraq Wajo, Lontaraq Kerajaan Bone, Lontaraq Kerajaan
yang meminta diba- Sidenreng, Petturioloang ri Tugowaya, dan lain-lain merupakan kepustakaan
yang berisi sejarah kerajaan dan silsilah raja-raja yang memerintah pada kerajaan
cakan attoriolong (Bu- tersebut. Kumpulan catatan mengenai silsilah para raja, keluarga bangsawan dan
gis) atau patturioloang keluarga-keluarga tertentu disebut attoriolong (Mattulada, 1985: 17). Banyak di
(Makassar) untuk men- antara warga masyarakat saat ini yang meminta dibacakan attoriolong (Bugis)
elusuri asal-usul atau atau patturioloang (Makassar) untuk menelusuri asal-usul atau silsilah mereka
serta peristiwa-peristiwa kerajaan di masa lampau. Demikian pula naskah
silsilah mereka serta tersebut tidak jarang dijadikan sebagai salah satu sumber dalam penulisan
peristiwa-peristiwa ker- sejarah lokal Sulawesi Selatan.
ajaan di masa lampau.
Ada pula yang disebut dengan sureq bicara attoriolong yang berisi kumpulan
peraturan-peraturan, undang-undang yang berlaku dalam negeri-negeri yang
berazas pada adeq attoriolong (adat leluhur) yang ditaati berdasarkan kebajikan
Istana Raja Gowa.
Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
188
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
yang dilimpahkan oleh leluhur berupa adeq, atau petunjuk-petunjuk normatif
dalam kehidupan masyarakat (Mattulada, 1985: 18). Naskah-naskah yang
termasuk dalam jenis ini, antara lain rapang dan undang-undang kerajaan Gowa
yang menjadi dasar dalam menjalankan pemerintahan dalam periode tertentu;
atau di Kerajan Bone dikenal dengan sebutan Rapang ri lalenna Bone ri paliliqna
(Rapang yang berlaku di kerajaan Bone dan negeri-negeri taklukannya); serta
adeq allopi-loping bicaranna pabbaluqé (hukum pelayaran dan perdagangan).
Naskah-naskah ini berisi teks berupa kumpulan yurisprudensi, yang dijadikan
perkara dalam memutuskan suatu perkara.
Selain itu, terdapat jenis lontaraq, di antaranya lontaraq bilang, ulu ada, pau- Ada dua lontaraq
pau kutika atau pitika, lontaraq pabbura, assikalaibenengeng, nippi (tafsir bilang yang sangat
mimpi), allaong nrumang, lopi(perahu),bolaatauballaq(rumah),lipa (sarung), terkenal di Sulawesi
senjata, surat-menyurat, ternak dan lain-lain. Lontaraq bilang adalah catatan Selatan, yakni Lontara
harian ditulis oleh raja atau penulis khusus kerajaan yang diberikan tugas Bilang Kerajaan Gowa
khusus untuk itu. Ada dua lontaraq bilang yang sangat terkenal di Sulawesi dan catatan harian Raja
Selatan, yakni Lontara Bilang Kerajaan Gowa dan catatan harian Raja Bone La Bone La Tenri Tappu.
Tenri Tappu. Sejumlah ahli menilai bahwa catatan harian semacam ini cukup Sejumlah ahli menilai
unik dan hanya ditemui di Sulawesi Selatan (lih. Pradadimara dan Basia, 2014). bahwa catatan harian
Lontaraq ulu ada adalah lontaraq yang berisi perjanjian, seperti perjanjian semacam ini cukup unik
antarakerajaan (Mattulada, 1985: 18). Kepustakaan yang sangat umum adalah dan hanya ditemui di
tulisan mengenai hal-ihwal pertanian dan perbintangan yang disebut lontaraq Sulawesi Selatan.
allaong nrumang dan pananrang, yang sering dikaitkan dengan pau kutika atau
pitika, yaitu catatan perhitungan waktu atau hari (Pelras, 2006: 245). Pau kutika
memberi petunjuk tentang waktu-waktu yang baik untuk memulai pekerjaan di
sawah, mendirikan rumah, menempati rumah baru, dan sebagainya. Lontaraq
pabbura berisi tentang cara pengobatan dan ramuan obat-obatan dari tumbuh-
tumbuhan. Lonttaraq assikalaibinengeng berisi tentang doa-doa dan tata cara
hubungan seks suami-isteri. Adapun lontaraq tentang ternak adalah petunjuk
tentang tata cara memelihara ternak, seperti lontaraq manuk atau lontaraq
jangang(ayam), lotaraq kongkong atau lontara asu (anjing) dan lain-lain
(Manyambeang, 1997: 73-75).
Selain yang disebutkan di atas, dalam kepustakaan Bugis dan Makassar terdapat
pula lontaraqkeagamaan.LontaraqtersebutberisiAlquran,azimat,dialog,doa-
doa, hukum Islam, jual beli, khutbah, akhlak, tauhid/keimanan, tajwid, tasawuf,
tarikat, akhbaru al-akhirah, talqiyamah, dan zikir. Lontaraq jenis ini dibicarakan
pada sub pembahasan mengenai sastra Islam.
Uraian di atas memperlihatkan berbagai hal mengenai kepustakaan Bugis
Makassar. Kepustakaan tersebut tidak hanya berupa karya kesusastraan,
melainkan juga berisi hukum adat, silsilah raja-raja, catatan harian raja,
pengetahuan tentang berbagai hal, dan keagamaan. Sebuah proyek mikroilm
naskah-naskah Sulawesi Selatan pada tahun 1992-1993 berhasil merekam
4049 naskah (PaEni, 2003: viii), sehingga naskah-naskah tersebuh menjadi
189
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Panji-panji Kerajaan Luwu.
Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
mudah diperoleh. Sebagian dari naskah-naskah tersebut telah ditransliterasi dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi sebagian besar di antaranya
menunggu sentuhan para peneliti.
Penulisan dan penyalinan berbagai kepustakaan di atas dimungkinkan karena
orang Bugis dan Makassar menggunakan dan mengembangkan sistem
aksaranya, tidak hanya huruf lontaraq (lama dan baru), melainkan juga
meminjam huruf Arab (Sérang) berbagai catatan dan pengetahuan, terutama
mengenai keislaman. Naskah-naskah yang dimiliki tersebut, banyak di antaranya
berfungsi untuk dibacakan di depan khalayak sehingga masyarakat luas pun
dapat mendengarkan kandungan isinya. Ada pula di antara karya-karya tersebut
yang hidup tradisi penyampaian lisan. Keadaan inilah yang memungkinkan
kepustakaan tersebut, dalam kurun tertentu menjadi hidup. Saat ini, penyalinan
naskah-naskah lama dan penggunaan huruf lontaraq dan Sérang merosot
karena penggunaan huruf Latin secara menyeluruh dan merebaknya industri
cetakan.
190
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Pengaruh Islam terhadap Sastra Bugis Makassar
Sastra yang dilahirkan dan atau diciptakan melalui hasil pemikiran dan
perenungan orang Bugis dan orang Makassar pada masa lampau, seiring
dengan perjalanan waktu mengalami perubahan atau perkembangan. Hal
ini berlangsung terutama dengan terjadinya kontak dengan budaya luar
yang masuk ke dalam kehidupan mereka. Perubahan dengan memasukkan
unsur-unsur baru atau unsur asing dalam sebuah sastra tradisi seperti di atas,
bukan berupa ‘pengaruh’ yang membawa citra kepasifan bangsa, tetapi lebih
pada akulturasi yang merupakan absorbsi dengan berbagai daya kreativitas
penyair atau pengarang (Chamamah-Soeratno, 2011: 37-38). Perubahan atau
pergeseran di dalamnya pada hakikatnya merupakan bentuk transformasi yang
mengikuti ‘semangat zaman’ (lihat Jauss, 1983).
Hal seperti di atas terlihat setelah kedatangan Islam Sulawesi Selatan pada masa
lampau, membawa dampak tidak hanya dalam kehidupan sosial, politik, dan
keagamaan, melainkan juga dalam kehidupan bersastra. Pengaruh tersebut
dimulai dari pengaruh kebahasaan, poetika kosmogoni, dan religiusitas.
Pengaruh kebahasaan ditandai dengan penggunaan kata dalam bahasa Arab
atau kata yang terdapat dalam Alquran dalam teks sastra Bugis Makassar.
Misalnya, dalam pembukaan sebuah naskah Méong Mpalo diawali dengan baris
pembuka, sebagai berikut.
Bismillahi rahmani rahim. Salamaq.
Passaleng pannesaéngngi
galigona méong mpaloé, ‘
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Selamat.
Pasalyangmenyatakankisahsikucingbelang”
(lih. Nurhayati-Rahman, 2009: 120).
Kisah méong mploé berisi tentang pau-paunna déwataé (cerita tentang dewa-
dewa Bugis), tetapi dari segi bentuknya dikatagorikan sebagai toloq (puisi metrum
delapansukukatasetiapbaris).BerisikisahtentangperjalananSangiangSerriq
beserta rombongan yang dikawal oleh seekor kucing belang. Tokoh Sangiang
Serriq dalam mitologi orang Bugis adalah dewi padi. Rombongan Dewi Padi
diceritakan melakukan perjalanan panjang dari Enrekang ke Barru dengan kisah
yang menyedihkan.
191
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Penggunaan kata atau kalimat dari Bahasa Arab, sebagaimana terlihat pada
kalimat pembuka yang dikutip di atas, dari segi poetika toloq, jelas baris
tersebut tidak memenuhi metrum delapan suku kata. Namun, pada baris-baris
lanjutannya, tersusun berdasarkan kaidah perpuisian toloq.
Jika diperhatikan, kehadiran unsur-unsur Islam dalam teks Galigona Méong
Mpaloé ini bersifat melekat saja. Hal ini terutama terlihat dengan tidak adanya
perubahan kompisisi cerita dan peran tokoh-tokoh dewata di dalamnya. Dengan
demikian, hal itu hanya berupa pengaruh, karena dalam Islam, tidak hanya
dalamteksAlquran,tetapidalampenulisansastraatauteks-teksyangbersifat
pengetahuan dimulai dengan tulisan basmalah. Bahkan dalam sastra tutur pun
diawali dengan ucapan basmalah. Jadi, para penulis penyalin naskah Bugis yang
telah terpengaruh dengan tradisi Islam, juga menuliskan kalimat basmalah pada
saat menyalin sastra lama.
Pengaruh Islam dalam teks sastra, seperti disebutkan di atas, juga terlihat
dalam sastra galigo, yang sejumlah episodenya memperlihatkan adanya unsur
Islam. Sebuah episode galigo, yaitu Lontaraq Porokani (Kitab Porokani atau
Alfurqan) atau Taggilinna Sinapatié (keadaan terbalik, kair menjadi Islam) yang
menyampaikan tentang datangnya satu agama baru yang disebut dengan
asellengeng (Islam) (PaEni, dkk, 2003: vii). Naskah Taggilinna Sinapatié ini
meramalkan bahwa segera setelah Sawérigading menyelesaikan penulisan Kitab
Porokani, ia akan bepergian ke Labuq Tikkaq, dan ia akan mengalami suatu
perubahan bentuk (metamorphosis) dan orang-orang tidak akan mengenali dia,
tetapi harus menerima ajarannya. Walaupun namanya tidak disebutkan, jelas
bahwa Sawérigading meramalkan reinkarnasinya sebagai Nabi Muhammad saw
(Koolhof, 2003:25).
Episode galigo yang secara jelas memperlihatkan kehadiran unsur Islam adalah
Bottinna I La Déwata sibawa I Wé Attaweq. Naskah episode galigo ini biasa juga
disebut La Galigo versi Islam. Sebagaimana dengan Galigona Méong Mpaloé,
dalam teks Bottinna I La Déwata terdapat kata-kata dalam bahasa Arab dan
ayatAlquran.Bahkandalamnaskahgaligo ini, unsur Islam tidak hanya hadir di
bagian pembukaan, melainkan juga pada setiap bagian-bagian cerita yang lain.
Berikut ini adalah teks pembuka bagian cerita pada naskah La Galigo episode
Bottinna I La Déwata (mikroilm naskah Rol 41 No. 8).
(1) Salamaq.
Ia naé bottinna ri Alé Paccing I Wé Attaweq.
(Selamat,
Inilah kisah perkawinan I WéAttaweqdiAlé Paccing).
(Akhmar, 2012: 208)
192
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
(2) Salamaq.
Ia naé bottinna I Wé Attaweq ri Bérébaja
(Selamat,
Inilah kisah perkawinan I WéAttaweqdiBérébaja)
(Akhmar, 2012: 210).
Kata salamaq berasal dari bahasa Arab yang lazim digunakan dalam sastra Islam
atau hikayat. Bahkan tidak jarang dalam sureq (sastra Bugis yang telah ditulis)
diawali dengan pebukaan seperti ini: Bismillah, wabihi nastainu billah. Selain
kata pembuka di atas, dalam teks La Galigo ini juga terdapat istilah, adalah
sebagai berikut.
Sirupa to pi sadda to makarameqé,
dio mallangiq taué,
nainappa mala jénnéq sembajang,
natomassembajang dua nrakang.
Tabacang ni patéha nabitta,
enrengngé wallié ia maneng,
Hanya satu suara orang keramat,
(seseorang harus mandi terlebih dahulu,
lalu mengambil air wudhu,
lalu kita shalat dua rakaat.
Bacakanlah Fatiha kepada nabi kita,
dan kepada semua wali,).
(Akhmar, 2012: 403)
Jelas kata-kata yang dicetak tebal pada teks di atas adalah kata-kata yang
bersumber dari bahasa Arab, seperti kata nrakang ‘rakaat’, patéha ‘fatihah’ (surah
yangpertamapadaAlquran),nabitta ‘nabi kita’ (maksudnya Nabi Muhammad
saw), serta kata wallié ‘waliullah’ (wali Allah). Adapun kata sembajang
‘sembahyang’, adalah sebuah kata majemuk berasal dari kata ‘sembah’ dan
‘hyang’. Kata ‘sembah’ berarti memuja atau tindakan menyembah, sedangkan
kata ‘hyang’ berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti Tuhan. Meskipun ini
tidak berasal dari bahasa Arab, tetapi kata itu umum digunakan untuk sebuah
kegiatan melakukan shalat yang merupakan kewajiban umat Islam sehingga
kata ini dapat digolongkan sebagai istilah ibadah, khususnya Islam.
Kata-kata yang disebutkan di atas merupakan istilah yang sebelumnya tidak
ditemukan dalam tradisi puisi La Galigo. Kata-kata atau susunan katanya
merupakan kata-kata yang dapat dijumpai dalam percakapan sehari-hari dalam
masyarakat Bugis.
193
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Selain itu, dalam teks La Galigo ini terdapat doa-doa dalam bahasa Arab, yang
diucapkan oleh tokoh-tokoh ceritanya adalah sebagai berikut.
(1) Méng rabbi rahimi
(Min rabbi rahiim)
‘Dari Tuhan Yang Maha Penyayang.’
(Akhmar, 2012: 186)
Bisemillahi aliule aliim.
Allahu laa asisule hakiimi.
Allahu Allahu yadule mukimu,
lahuujamilonglaiahongmueqminuna.
Allahu Allahu raupule wahimu.
(Bismillahi ‘aliyul azim.
Allahul-azizul-hakimi.
Allahu Allahu yad’ul mu`minu,
Lahu jamilun laiahong mu’minun .
Allahu Allahu ra`ufun rahimun. )
(Dengan nama Allah Yang Maha Besar dan Maha Agung.
Allah Yang Maha Bijaksana.
Allah, Allah mendiakan orang yang mukim,
mereka (yang) memiliki (...) kebaikan.
Allah, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
(Akhmar, 2012: 717-718)
(2) Astagepirullahu lasi
(Astaghirullahu al-adziim)
‘Ampunilah aku ya Allah Yang Maha Agung.’
(Akhmar, 2012: 192)
(3) Padamedama alaihing rabbuhong bisabihéng pasawwaha
(fa damdama ’alaihim rabbuhum bizambihim fa sawwaahaa)
‘Oleh karena itu, Tuhan menimpakan siksa kepada mereka tanpa pilih
bulu, karena dosa mereka.’
(Akhmar, 2012: 244)
Kutipan pada teks (1) di atas diucapkan oleh tokoh Patotoqé, dewa tertinggi
dalam mitologi orang Bugis, pada saat akan menciptakan tokoh La Déwata dalam
kisah itu. Kutipan teks (2) adalah doa yang diucapkan oleh tokoh La Déwata
pada saat merogoh tempayan sebagai rangkaian dari upacara perkawinannya.
194
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Demikianpulateks(3)adalahteksAlquran,Juz30,Surat91(AsySyams),Ayat
14; diucapkan oleh tokoh WéAttaweqsebagaidoapadasaatmelangsungkan
upacara perkawinannya. Jika diperhatikan ucapan-ucapan tokoh-tokoh cerita
tersebut, dalam kadar tertentu dapat dipandang bahwa sastra La Galigo tersebut
telah menjadi Islam.
Pengaruh Islam juga terlihat dalam sinriliq sebuah ragam sastra tutur Makassar.
Ragam sastra yang telah hidup di kalangan orang Makassar pada masa lampau,
dalam beberapa versinya, pasinriliq (penyanyi, pembawa cerita) mengucapkan
basmalah, nama Allah Subhanahu Wataala, Nabi Muhammad saw sebagaimana
kutipan teks Sinriliq Datumuseng berikut.
Somba karaengi bedeng, nalebbakna nabaca
Bismilla Arrahmani Rahing, nakna, “Ae ana!
Hurupuk mulajajina I Baso aksaribattang.
Inna ansalnahu Taala, paktuikna kodong Alla Taala,
Alla Taala kodong paktuikna Alla Taala,
tanjenga ri nabbi Muhamma.”
Somba karaenga bedeng, setelah dia membaca,
Bismillahirrahmanirrahiim,katanyalagi,“Haianak!
huruf semula lahirnya I Baso bersaudara,
Inna ansalnahu Taala, mantra peniupnya Allah Taala,
Mantra peniupnya Allah Taala,
akupercayakepadaNabiMuhammad.”
(Inriati-Lewa, 1996: 75, 194)
Dari teks sinriliq di atas jelas jelas terlihat penyanyi menyebutkan I Baso bersaudara
pada saat dilahirkan, Allah meniupkan roh kepadanya dengan mengucapkan
Inna ansalnahu “sesungguhnya kami telah menurunkan.”; dan mempercayai
Nabi Muhammad saw. Pernyataan ini jelas mengakui Allah sebagai Tuhan Maha
Pencipta dan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah Subhanahu Wataala,
merupakan pengakuan terhadap Islam sebagaimana rukun pertama dari rukun
Islam.
Selain itu, unsur Islam jelas terlihat dalam puisi Makassar, sebagaimana terlihat
pada teks kélong berikut ini.
Apa nuboya ri Makka
nukunjungi ri Madina
punnasaréyaq
niak tonja ri butta toddang
Apa yang engkau cari di Makkah
mengunjungi Madinah
195
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
kalau syariat
di negeri ini pun engkau dapatkan
(Saleh A., 1996: 35)
Bulaéng tikno agamayya
intang tumbuk Isilanga
jamarrok paleng
nikanayya massambayang
Punna niak tussambayang
natena toddo pulina
sangkontu tongi jangang tena leranna.
Agama laksana emas murni
Islam bak intan berduri semisal zamrut berkilauan
yang mengajarkan sebahyang.
Jika dalam sembahyang
tanpa ketentuan/keyakinan
semisal ayam tanpa tempat bertengnger.
(Saleh A., 1996: 31).
Pada kélong di atas, dengan jelas disebutkan, kota yang merupakan tempat suci
bagi umat Islam, seperti Makkah dan Madinah. Selain itu, ada pula kata-kata
sambajang ‘sembahyang’, Isilanga ‘Islam’ yang artinya menunjuk langsung pada
praktik ibadah atau nama agama. Dengan demikian, kélong ini bukan hanya
mengandung unsur Islam, melankan juga menunjukkan sastra Islam. Pada teks
(1) menyatakan bahwa untuk mendapatkan ilmu syariat, seseorang tidak perlu
mendatangi Makkah atau Madinah karena di Bugis atau Makassar juga sidah
tersedia. Namun, pada teks (2) sudah masuk ke dimensi hakikat, yaitu seorang
Muslim harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama Islam atau
memahami hakikat sebagai pegangan. Jika seseorang tidak memiliki toddoq
atau pegangan dalam berislam, maka dia seperti ayam yang tidak memiliki
tempat bertengnger.
Uraian pada sub pembahasan ini jelas memperlihatkan pengaruh Islam dalam
sastra Bugis dan sastra Makassar. Namun, pengaruh itu tidak hanya sebagai
pengaruh kebahasaan saja, melainkan terjadi islamisasi sastra Bugis dan sastra
Makassar. Kata Arab, salamaq ‘selamat’ dalam pembukaan teks atau kisah
dapatsajadilihatsebagaibentukpeminjamanbahasakarenamemang“pinjam-
meminjam”dalamkehidupansastramerupakanhallazimterjadi.Akantetapi,
jika diperhatikan kata dalam bahasa Arab yang terdapat dalam teks sastra Bugis
dan sastra Makassar tersebut bukan hanya kata biasa. Kata-kata, seperti rakaat,
wudhu, shalat, nabi, wali, dan bahkan nama-nama Allah adalah sebuah kata
yang menunjuk pada konsep tentang praktik ibadah dan tauhid.
196
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Gambar naskah-naskah kuno
Bugis.
Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
Sastra Bugis dan Makassar pada masa Islam
Perkembangan kebudayaan Islam di Sulawesi Selatan antara lain dapat
dilacak melalui keberadaan naskah-naskah kuno, baik yang ditulis dengan
menggunakan huruf lontaraq maupun huruf Sérang. Naskah kuno tersebuat
memuat kesusastraan, pengetahuan, dan ajaran keagaamaan. Karya-karya
yang berciri Islam tersebut berasal dari Persi dan Dunia Melayu, kemudian
diterjemahan atau disadur dengan melakukan penyesuaian dengan bahasa,
kesusastraan, dan kebudayaan Bugis dan Makassar. Berikut ini dibicarakan
kepustakaan Bugis dan Makassar pada zaman Islam.
Cerita Nabi-Nabi
Cerita jenis ini lazim disebut Hikayat Anbiya’ atau Surat Ambiya’. Dalam
kepustakaan Bugis dan Makassar ditemukan sejumlah naskah yang berisi
tentang risalah kehidupan nabi. Lontaraq Pangissengeng Sakkeq Rupa (kitab
berbagai pengetahuan) dan Lontaraq Tulkiyamah berisi, antara lain berisi risalah
penciptaan Nabi Adam, Nabi Ibrahim as, Nabi Nuh as, Nabi Yusuf as, Nabi
Silaiman as, Nabi Musa as, Nabi Daud as, Nabi Muhammad saw, Nabi Musa
197
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
as, Nabi Khaidir, dan lain-lain, ditulis dengan menggunakan huruf lantaraq
dan Sérang. Dalam katalog induk naskah-naskah Sulawesi Selatan tercatat
347 yang berisi hikayat nabi. Akan tetapi, setiap naskah yang berisi kisah dan
doa-doa nabi, disajikan bersama dengan teks lain. Hal ini dimaksudkan untuk
menghemat kertas.
Di antara kisah-kisah nabi yang ada, kisah yang paling popular adalah kisah Nabi
Sulaiman as dan Nabi Khaidir. Nabi Sulaiman muncul dalam berbagai peristiwa
denganperistiwayangberbeda,sepertiNabiSulaimandanRatuBulqis,berbagai
kelebihan yang dimiliki Nabi Sulaiman as, dan lain-lain.
Cerita yang Berkaitan dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW
Cerita tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW cukup banyak ditemukan
dalam kepustakaan Bugis dan Makassar. Cerita yang termasuk dalam kategori
ini adalah cerita Assalenna Nurung Muhammaq (Kejadian Nur Muhammad),
Mirajeqna Nabi Muhammaq (Hikayat Nabi Mikraj), Bicaranna Nabi Muhammaq
sibawa Bellisiqé (Hikayat Nabi dan Iblis), Pertemuan Nabi dengan Jibril, Kisah
Nabi Muhammad menghadapi Kaum Qurais dalam penyebaran agama Islam,
Pertemuan antara Nabi Muhammad dengan Allah SWT, sabda Nabi Muhammad
tentang ajaran Islam, dan Dialog Nabi Muhammad dengan Nabi Sulaeman
tentang sifat-sifat terpuji, Cerita Nabi Muhammad bersama Halima, dan kisah
Perang Nabi Muhammad dengan Raja Laha.
Ada pula cerita ayang berisi dialog atau pesan Nabi Muhammad saw kepada
keluarga dan sahabat-sahabatnya. Cerita yang termasuk dalam katagori ini
adalah Pappasenna Nabi Muhammaq Lao ri Ali (Hikayat Nabi Mengajar Ali),
Pappasenna Nabi Muhammaq lao ri Halipana (Pesan-pesan Nabi kepada para
Khalifaur Rasyidin), Pesan Nabi kepada Fatima tentang ciri-ciri laki-laki yang
baik, dan Pesan Nabi kepada cucunya, Hasan.
Beberapa hikayat tentang kehidupan nabi yang cukup populer di kalangan
orang Bugis dan Makassar adalah Sureq Makattereqna Nabi Muhammaq atau
Sureq Makkelluna Nabitta (Hikayat Nabi Bercukur), Riwayaqna Nabi Muhammaq
(Hikayat Nabi Muhammad), Mirajeq (Isra Mikraj), Kelahiran Nabi Muhammad,
Sureq Mallinrunna Nabitta (Hikayat Nabi Wafat). Hikayat ini dikatakan populer
karena jumlah naskahnya cukup banyak jika dibandingkan dengan naskah lain.
Kisah tentang kelahiran nabi, kejadian Nur Muhammad dan Nabi Adam as pada
umumnya berada dalam naskah-naskah yang berjudul Tulkiyamah dan Akhbar
Al-akhirah. Karya ini merupakan terjemahan dari Akhbaral-akhirah i ahwal al-
qiyamah karya Nuruddin Al-Raniri, sebuah sastra kitab yang berisi cerita tentang
kejadian Nur Muhammad, kejadian Adam alaihis-salam, kejadian maut dan
sakratul maut, tanda-tanda kiamat, kiamat, neraka dan isinya, sifat surga segala
isinya.
198
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Selain itu, naskah-naskah tersebut di atas menjadi penting karena adanya tradisi
masyarakat setempat yang menyertainya. Cerita kelahiran Nabi Muhammad
dibacakan setiap peringatan Maulid yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Hingga saat ini sejumlah masyarakat di Sulawesi Selatan merayakan kelahiran
Nabi Muhammad, yang pelaksanaan ritualnya dapat berbeda antara satu
daerah dengan daerah yang lain. Salah satu perayaan Maulid yang besar adalah
yang berlangsung di Desa Cikoang, Kabupaten Takalar. Tradisi ritual yang lebih
populer dengan sebutan maudu lompoa (Maulid Besar) ini dirayakan sejak
tahun 1621 M.
Demikian pula naskah yang berisi peristiwa perjalanan Nabi Muhammad ke
langit ketujuh menerima perintah shalat lima waktu (Hikayat Nabi Mikraj),
yang berbahasa Bugis dan Makassar cukup populer karena naskah ini
dibacakan peringatan Isra Mikraj. Naskah Sureq Makkelluna Nabitta atau Sureq
Makattereqna Nabia (Hikayat Nabi Bercukur) dibaca oleh masyarakat seusai
menjalankan shalat magrib. Sebuah naskah Sureq Makkelluna Nabitta memiliki
teks pembuka sebagai berikut:
Nigi-nigi bacai iaréqga méngkalingai Sureq Makkellluna Nabitta
Muhammaq Sallalahu alaihi wasallam, riaddampengang maneng sininna
dosana mappura labeqé…
Siapa saja yang membaca atau mendengarkan pembacaan Hikayat Nabi
Bercukur, akan dimaafkan segala dosa-dosanya yang telah lalu…
(Naskah koleksi pribadi).
Keterangan yang sama juga terlihat dalam naskah Sureq Mallinrunna Nabi
Muhammad saw (Hikayat Nabi Wafat) yang teks pembukaannya berbunyi
sebagai berikut:
Bismillahir rahmanir rahim, séuwa paéda asalamakeng puada-adaéngngi
Sureq Mallinrunna Nabitta Muhammadeq. Nigi-nigi riponna lattu
ricappaqna salamaq I ri lino lattu ri akheraq, lowangi to kuburuqna ri
Puang Allahu Taala. Enrengngé tau méngkalingaéngngi…..
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sebuah
faedah keselamatan yang menceritakan peristiwa menjelang wafatnya
Nabi Muhammad saw. Barang siapa yang membacanya dari awal hingga
akhir cerita, niscaya akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat
serta mendapatkan hidayah dalam kuburnya dari Allah SWT. Demikian
pula yang mendengarkan….
(Masnani, 2012: 21, 31).
199
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Keterangan yang terpat pada teks pembuka kedua cerita di atas memungkinkan
setiap orang berusaha memiliki naskah salinannya, atau jika tidak dapat
membaca aksara lontaraq atau Sérang cukup mendengarkan dari awal hingga
akhir. Dengan demikian, memungkinkan hikayat ini dikenal secara meluas oleh
masyarakat.
Sebuah syair yang beri- Sureq Mallinrunna Nabitta (Hikayat Nabi Wafat) merupakan sebuah naskah yang
si puji-pujian kepada berisi cerita yang mengisahkan saat-saat akhir kehidupan Nabi Muhammad,
Nabi Muhammad saw yang dikaitkan pokok-pokok ajaran agama Islam. Perkembangan dan perluasan
yang juga cukup pop- ceritanya mengandung unsur-unsur peranan Malaikat Jibril, Mikail, dan
uler di kalangan orang Malaikat maut, suasanana kecintaan antara ayah dengan anak, kakek dengan
Bugis dan Makassar cucu, suami dengan isteri, serta antara Nabi dengan para sahabat dan pengikut-
pengikutnya yang lain (Bua, 2005: 37). Kisah ini disajikan dalam cerita yang
adalah Barazanji. Tradisi menyedihkan. Bentuknya merupakan perpaduan antara paparan pencerita dan
pembacaan Barazanji di dialog antartokoh. Cara penyajiannya mengikuti gaya sastra lisan Bugis.
kalangan orang Bugis
Sebuah syair yang berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw yang juga
dan Makassar dilaku- cukup populer di kalangan orang Bugis dan Makassar adalah Barazanji. Penamaan
kan pada saat pelak- Barazanji diambil dari kitab Epos Barazanji, kitab tentang kepahlawanan dan
sanaan ritual, seperti kemuliaan Muhammad sebagai rasul. Kitab ini ditulis oleh Ja’far bin Abd. Karim
aqiqah, perkawinanan, bin Abdul Rasul Al-Barazanji Al-Madani yang berisi sejarah sosial kehidupan
sunatan, selamatan sang Rasul (Masnani, 2005: 50). Cerita ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Bugis
dan Makassar dengan tetap mempertahankan aspek kepuitisannya. Barzanji
menempati rumah disusun dalam bentuk syair-syair pujian dan sajungan serta shalawat kepada
baru, Maulid Nabi, dan Nabi Muhammad dengan bahasa yang indah. Tradisi pembacaan Barazanji di
kalangan orang Bugis dan Makassar dilakukan pada saat pelaksanaan ritual,
lain-lain. seperti aqiqah, perkawinanan, sunatan, selamatan menempati rumah baru,
Maulid Nabi, dan lain-lain.
Kisah Sahabat dan Kerabat Nabi
Kisah-kisah yang termasuk dalam katagori ini adalah kisah kehidupan
dan perjuangan sahabat-sahabat dan kerabat Nabi Muhammad, seperti
Kisah Khadijah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Hikayat Hasan dan Husein, dan lain sebagainya. Kisah-kisah ini juga
diterjemahkan ke dalam Bahasa Bugis dan Makassar, yang pada umumnya
ditulis dengan menggunakan huruf Sérang.
200
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Cerita Para Wali Sufi
Cerita yang termasuk dalam katagori cerita para wali sui, antara lain Pau-Paunna
Rabiatule Adawia (Hikayat Rabi‘ah al-Adawiyah), Pau-Paunna Daramatasia
(Hikayat Darma Taksia), Pau-Paunna Budeistihara (Hikayat Budistihara) dan lain-
lain. Meskipun merupakan karya terjemahan, tetapi penyajian cerita-cerita ini
disesuaikan dengan konvensi sastra dan konvensi budaya Bugis dan Makassar
sehingga terasa sebagai milik masyarakat setempat.
Selain karya terjemahan (saduran) di atas, orang Bugis dan Makassar juga menulis
kisah wali sui setempat, yaitu Hikayat Syekh Yusuf al-Makassary. Masyarakat
setempat lebih sering menyebut cerita ini dengan Riwayaqna Tuanta Salamaka
ri Gowa (Riwayat Tuan Kita yang Selamat di Gowa) karena berisi kisah hidup
tokoh wali sui yang bernama Syekh Yusuf al-Makassary atau Tuanta Salamaka
(Tuan Kita yang Selamat), dan ada pula yang menyebutnya Tuan Loweta ri Gowa
(Tuan Kita yang Agung di Gowa). Gelaran-gelaran tersebut merupakan bentuk
penghormatan masyarakat karena tokoh ini merupakan wali atau dan penyiar
Islam di Sulawesi Selatan (Manyambeang, 1997: 53).
Naskah Hikayat Syekh Yusuf cukup terkenal dikalangan orang Bugis dan
Makassar. Hal ini terlihat dengan jumlah naskah-naskah salinannya yang cukup
banyak. Sejauh ini ditemukan 46 naskah, menggunakan Bahasa Bugis dan
Bahasa Makassar (Manyambeang, 1997: 97). Naskah ini memuat perjalanan
spiritual dan dakwah Syekh Yusuf. Komposisi isi antara lain tantang kelahiran
dan masa remaja tokoh Syekh Yusuf. Selanjutnya, tokoh ini diceritakan masa
menempuh pendidikan di Gowa, meminang Putri Raja Gowa, perjalanan ke
Mekkah, belajar pada Imam Empat, belajar pada Syekh Abdul Kadir Jailani,
pertemuan dengan sejumlah ulama di negeri Arab, pertemuan dengan Nabi
Musa as, Syekh Yusuf ke Banten menyiarkan Islam, masa pembuangan di Sailon,
dan Syekh Yusuf wafat (Manyambeang, 1997: 122-123).
Lontaraq ini sejalan dengan kajian sejarah yang menyebutkan bahwa Syekh Yusuf
dilahirkan di Gowa pada tanggal 3 Juli 1626 M atau 8 Syawal 1036 H, adalah
keturunan Gallarang Moncongloe. Masa kecil tokoh ini dihabiskan di Gowa, lalu
belajar Islam di Aceh, Yaman, Hijaz (Mekkah), Syam, Damaskus, dan Damsyik.
Setelah menempuh pendidikan Islam di negeri tersebut, ia lalu kembali ke Gowa
menyebarkan Islam. Ia juga pernah menetap di Banten menyiarkan Islam dan
wafat di Café Town, Afrika Selatan. Tokoh sui ini telah melahirkan sejumlah
karya, antara lain Sirrul Asrar (Rahasia dan Rahasia ilahi), Qurratul Ain (Penyejuk
Mata), dan urat). Faham suistik Syekh Yusuf memandang tuhan sebagai sintetis
antara ta’thil (negasi sifat) dengan tasybih (penyerupaan). Sedangkan manusia
dan alam merupakan bayangan Tuhan yang tampak secara nyata (Mustafa,
2010: 41-48, 228)
201
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Cerita Petualangan dan Percintaan
Cerita yang yang termasuk dalam katagori ini adalah cerita petualangan dan atau
percintaan tokoh-tokoh cerita. Cerita ini berasal dari Persi dan Dunia Melayu,
lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Bugis dan Makassar. Cerita-cerita yang
termasuk dalam katagori ragam sastra saduran adalah Sureq Baweng (Hikayat
Bayan Budiman), Sureq Bekku (Hikayat Sultanul Injilai), Sureqna I Masé-Masé
(Hikayat si Miskin), Sureqna La Béu (Hikayat Isma Yatim), Riwayaqna Marakarma
(Hikayat Marakarma), Pau-Paunna Jayalangkara (Hikayat Jayalangkara, dan lain-
lain. Cerita ini hidup dalam dua tradisi, yaitu lisan dan tulisan. Tidak diketahui
penerjemah sastra ini, akan tetapi penyebarannya di kalangan orang Bugis dan
orang Makassar di Sulawesi Selatan dimulai pada awal abad ke-17 dan berakhir
menjelang Perang Dunia Kedua, karena pada saat itu muncul pula jenis pau-pau
baru yang materinya merupakan hasil ramuan sendiri –bukan lagi terjemahan,
misalnya Pau-Paunna I Bungatanjong (Enre, 1999: 87). Penyebarannya tidak
hanya di istana, melainkan juga tersebar secara meluas di masyarakat. Hal ini
terlihat dengan bentuk versi lisannya yang secara meluas dikenal masyarakat.
Versi lisan dari sastra saduran tersebut, hingga kini masih hidup di tengah-
tengah orang Bugis Makassar, khususnya di kampung-kampung. Biasanya,
penyampaiannya dilakukan dengan cara yang sederhana, tanpa alat musik
pengiring, dan dengan jumlah pendengar yang terbatas. Adapun versi tulisannya,
biasa juga disebut dengan sureq (karya tulis yang bernilai sastra), masih dapat
dijumpai di perpustakaan atau berupa koleksi pribadi. Teks pembuka versi tulisan
ini pada umumnya dimulai dengan: Ianaé sureq poada-adaéngngi …, “Inilah
kitab yang menceritakan…”. Tidak ada perbedaan yang menonjol mengenai
komposisi cerita di antara kedua tradisi tersebut.
Cerita rakyat saduran (hikayat) yang disebutkan di atas cukup populer di
kalangan orang Bugis dan orang Makassar. Dikatakan populer karena selain
dikenal luas di masyarakat lewat tradisi penyampaian lisan, juga naskah-
naskahnya ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Sambutan masyarakat
yang cukup besar terhadap kehadiran sastra yang berasal dari Persia dan Melayu
karena kehadirannya telah memukau dan membangkitkan gairah hidup baru
di kalangan penulis Bugis (dan Makassar) sesuai dengan semangat zamannya,
sehingga semua kegiatan bersastra yang pernah terhenti untuk sementara, dan
segenap kemampuan yang ada seperti hendak dikerahkan untuk meindahkan
semua jenis sastra ini ke dalam khasanah sastra Bugis dan Makassar (Enre, 1999:
57). Kehadiran sastra saduran ini menandai era baru dalam penulisan sastra
karena memunculkan tema-tema baru yang berkaitan kehidupan kerajaan,
pengembaraan, kepemimpinan, kedudukan perempuan yang bernuansa Islam
yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Bugis dan sastra Makassar, seperti
sastra La Galigo dan cerita rakyat lisan lainnya.
202
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Salah satu katagori sastra tentang pengembaraan yang cukup terkenal yang
disebutkan di atas adalah Sureq Bekku (Hikayat Sultanul Ijilai). Cerita ini
diterbitkan dalam bentuk cetakan (lih. Matthes, 1864) serta dijadikan bahan
bacaan siswa SMP di Sulawesi Selatan pada tahun 80-an (lih. Chairan, 1984).
Kisahnya menceritakan kehidupan Sultanul Injilai beserta keluarganya yang
kehilangan takhtanya, meninggalkan negerinya, serta bercerai-berai dengan
keluarganya karena tidak mampu menggunakan akal pikirannya. Ceritanya
bermula dari peristiwa Sultanul Injilai beserta keluarga mengunjungi ke kebunnya.
Pada saat berjalan-jalan di kebunnya, tokoh ini melihat seekor tekukur yang
bertengger di atas pohon ajuara (beringin). Ia lalu menangkap tekukur tersebut,
dan bermaksud menyembelihnya. Sang tekukur memohon kepada Sultanul
Injilai agar tidak menyembelihnya dengan alasan dagingnya terlalu sedikit dan
tidak cukup disantap oleh Sultanul Injilai sekeluarga. Permohonan untuk dilepas
dengan alasan daging tekukur hanya sedikit tidak menggoyahkan niat Sultanul
Injilai untuk tetap menyembelih tekukur. Selanjutnya, tekukur menyampaikan
Sultanul Injilai akan mendapatkan pahala dari Allah jika melepaskannya, tetapi
penjelasannya itu tidak membuahkan hasil. Sang tekukur memohon kembali
kepada Sultanul Injilai agar dilepaskan, dan bila dilepaskan ia akan melompat ke
atas dahan pohon ajuara, lalu menyampaikan tiga pesan. Sang tekukur berhasil,
lalu Sultanul Injilai melepaskannya.
Setelah melompat ke dahan yang paling redah pohon ajuara itu, tekukur
menyampaikan pesan kepada Sultanul Injilai, “Jika ada sebuah berita atau
pembicaraan, yang masuk akal saja yang dipercaya.” Setelah menyampaikan
pesan yang pertama, tekukur melompat naik ke dahan yang di tengah, lalu
menyampaikan pesan, “Jangan menyesali perbuatan yang telah berlalu.”
Selanjutnya, tekukur melompat ke atas dahan yang tertinggi, lalu menyampaikan
pesan kepada Sultanul Injilai, “Di dalam perutku terdapat tiga buah permata
intansebanyaktigabijiyangbesarnyasamadenganteluritik.”
Setelah mendengarkan bunyi pesan ketiga, Sultanul Injilai tanpa pikir, langsung
memburu tekukur hingga ke dalam hutan. Ia bernafsu menangkap kembali
tekukur untuk mendapatkan tiga buah permata intan di dalam perut tekukur.
Di sinilah awal kejatuhan Sultanul Injilai, yang telah bertindak tanpa menyimak
pesan pertama dan pesan kedua tekukur. Jika kedua pesan terdahulu didengarkan
dan dijalankan dengan baik, maka Sultanul Injilai tidak perlu memburu tekukur
ketika mendengar berita keberadaan tiga butir permata intan tersebut.
Peristiwa yang dialami oleh Sultanul Injilai dengan burung tekukur tersiar ke
seluruh penjuru negeri. Rakyat negeri itu kemudian memecat Sultan sebagai
raja. Sultanul Injilai dan keluarga lalu meninggalkan negerinya dengan tanpa
tujuan yang jelas. Dalam perjalanan tersebut, Abdul Julali melihat anak burung
tekukur dalam sarang di sebuah dahan pohon, dan muncul keinginan untuk
mengambilnya sebagai mainan. Oleh karena sang anak terus merengek, maka
Sultanul Injilai memanjat pohon, lalu mengambil anak burung tekukur dari
203
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
sarangnya, lalu diserahkan kepada putranya untuk dijadikan mainan. Ibu dari
burung tekukur bersedih diambil anaknya, lalu ia berdoa agar Sultanul Injilai
dicerai-beraikan juga dengan anak dan istrinya. Doa tekukur diterima oleh Tuhan,
dan tak lama kemudian Sultanul Injilai berpisah dengan istri dan anaknya. Pada
saat hendak menyeberang sungai Anahrul Amiin, yang sangat luas, Sultanul
Injilai menggunakan sampan kecil. Di sinilah Sultanul Injilai bercerai dengan
keluarganya. Istrinya diambil oleh Nakhoda, sedangkan kedua putranya diambil
oleh nelayan. Sultanul Injilai berjalan sendiri masuk ke dalam hutan belantara.
Pada akhir cerita, Sultanul Injilai diangkat menjadi raja negeri Biladu Tasnii, yang
kemudian berkumpul kembali dengan istri dan kedua putranya.
Jika diperhatikan, kisah Sultanul Injilai, menunjuk pada terganggunya hubungan
antara raja dengan rakyat. Rusaknya hubungan disebabkan oleh sikap raja yang
tidak bijaksana, semena-mena, menuruti hawa nafsu, dan tidak menggunakan
akal sehat. Di sini terlihat pesan Islam dalam cerita ini, yaitu menyangkut aspek
rahmatan lil alamiin, cinta sesama.
Meskipun kisah merupakan cerita terjemahan, tetapi penyajiannya juga
disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat. Nama-nama tokohnya,
memang menggunakan nama Islam, akan tetapi sejumlah penyebutan nama
jabatan atau peran disesuaikan dengan struktur sosial Bugis. Misalnya, pada
saat Abdul Julali dan Abdul Jumali mengabdi kepada Raja Biladi Tasnii (ayahnya
sendiri), keduanya disebut dengan pakkalawing épuq, abdi kerajaan yang
bertugas melayani raja dan keluarga raja, misalnya membawakan tempat sirih
atau sepat sirih raja. Jabatan lain dalam cerita ini adalah pabbicara, pangulu
joa, suro, dan kapitang pauno. Pabbicara adalah anggota dewat adat, yang
berfungsi mengawasi roda pemerintahan sekaligus merupakan penasihat raja;
pangulu joa adalah jabatan kementerian dalam bidangnya masing-masing, suro
adalah utusan raja, serta kapitang pauno adalah algojo. Nama jabatan atau
peran ini diramu oleh penerjemah atau penyadur sehingga cerita Sultanul Injilai
terasa sebagai cerita Bugis.
Kisah yang mirip dengan Sureq Bekkuq adalah Pau-Paunna Siti Naharira.
Cerita Islam yang berbahasa Makassar ini mengisahkan tokoh Sitti Naharira
yang menikah sebanyak tiga kali. Sitti Naharira pertama kali menikah dengan
Anakkoda Hasang. Usia pernikahan tersebut tidak berlangsung lama karena
Anakkoda Hasang tiba-tiba memutuskan menceraikan Sitti Naharira. Keputusan
itu diambil oleh Anakkoda Hasang yang sedang berniaga mendapatkan kabar
jika Sitti Naharira berselingkuh dengan laki-laki lain. Selanjutnya, Sitti Naharira
menikah dengan Anakkoda Huseng, tetapi perkawinan ini juga tidak berlangsung
lama. Anakkoda Huseng menceraikan Sitti Naharira karena istrinya itu dianggap
serakah. Seorang lelaki miskin yang bernama Puang Pakoko. Dari perkawinan
yang ketiga inilah Sitti Naharira mendapatkan kebahagiaan.
204
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Sebagaimana Sureq Bekkuq, dalam cerita ini juga terdapat penyampaian pesan
kepada tokoh Anakkoda Hasang dan Anakkoda Huseng masing-masing sebelum
menikah dengan Sitti Naharira. Isi pesannya adalah sebagai berikut.
Najarreki pasanna tungnganakkangku rikana punna niyak lanugaukang
pinaknaki tinroangi nasabak tannabayai nanugaukang sassakaleko ri
boko…
Pegang teguh pesan kedua orang tuaku. Jika ada yang Tuan kerjakan,
pikirkan dan pertimbangkan baik-baik sebelum Tuan kerjakan. Sebab, jika
tidak, Tuan akan menyesal nanti…
(Haid dan Muchlis Hadrawi, 1998a: 1—11, 32)
Kutipan di atas adalah pesan yang yang menjadi salah satu persyaratan yang
ditawarkan kepada kepada Anakkoda Hasang untuk menikahi Sitti Naharira.
Tampaknya pesan agar seseorang senantiasa menggunakan akal sehat dan
penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk mengerjakan sesuatu
merupakan salah satu amanat baik dalam Sureq Bekkuq maupun Pau-Paunna
Sitti Naharira.
Cerita Sitti Naharira diciptakan dengan latar budaya Makassar, seperti adat
perkawinan. Kemungkinan kisah ini diciptakan setelah abad ke-17, karena
dalam cerita disebutkan peran Pelabuhan Makassar dan Mandar, serta
penyebutan nama syahbandar, yaitu Ponggawa Bonang. Dalam cerita ini juga
Foto Perahu
Cerita Sitti Naharira diciptakan
dengan latar budaya Makassar,
seperti adat perkawinan yang
kental dengan tradisi maritim
Sumber: Dokumentasi penulis.
205
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
sudah menggunakan latar isik berupa nama kampung yang ada di Sulawesi
Selatan, sebagaimana terlihat pada kutipan di bawah ini.
Nabali mi pakkutaknanna ri Anakkoda Hasang, “Sitojennna barang
camprangji sikeddek. Lakutarrusang naung ri Majekne, Inrekang na Tapala.
Paralakku sengka poro angngalle jekne inung siagang ambaji tarekanna
bisenga. Kekkeki natunrung bosi ri pallawangenna Kapopposang na
Kandongbali.
Anakkoda Hasan pun menjawab, “Hanya barang campuran yang akan
saya bawa ke Majene, Enrekang, dan Tapala. Keperluan saya singgah di
sini sekadar untuk mengambil air minum dan memperbaiki layar perahu
yangrobekditerpabadaididaerahKapoposangdanKondangBali.”
(Haid dan Muchlis Hadrawi, 1998a: 10, 30)
Pada kutipan di atas, Nakhoda Hasang menjelaskan bahwa daerah dituju
pelayarannya adalah Majene, Enrekang, dan Tapala. Tokoh ini juga menyampaikan
bahwa layar perahunya robek akibat diterjang badai di Kapoposang dan
Kondang Bali. Penyebutan nama tempat tersebut adalah nama tempat yang ada
di Sulawesi Selatan. Jika diperhatikan lokasi tempat yang disebutkan, jelas arah
pelayaran Nakhoda dari arah Laut Jawa lalu memasuki selat Makassar menuju
ke utara.
Jelas kedua cerita Bugis Makassar yang dibicarakan ini adalah cerita Islam yang
selain tokoh-tokohnya beragama Islam, juga pesan-pesan atau amanatnya
merupakan ajaran Islam. Namun, keduanya tampak berbeda karena dalam
Sureq Bekkuq berlatar Persi kecuali terdapat penyesuaian struktur pelapisan
sosial kebudayaan Bugis, sementara dalam Pau-Paunna Sitti Naharira sudah
merupakan cerita rakyat Makassar karena tempat berlangsungnya peristiwanya
adalah di kawasan Sulawesi Selatan, khususnya Makassar dan Mandar.
Hikayat Perumpamaan atau Alegori Sufi
Cerita yang termasuk dalam katagori ini biasanya digubah berdasarkan
roman yang popular, tetapi disajikan secara simbolik sebagai kisah perjalanan
kerohanian. Dalam kepustakaan Bugis dan Makassar, yang terkenal di antaranya
adalah Pau-Paunna Saéheq Maradang (Hikayat Syekh Mardan), Pau-Paunna
Indera Patara (Hikayat Inderaputra), dan lain-lain.
Pau-Paunna Saéheq Maradang adalah sebuah cerita yang tidak menceritakan
entang keajaiban dan petualangan, melainkan juga berisi alegori sui (bdk.
206
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Braginsky, 1994: 40-41). Kisah ini cukup populer di kalangan orang Bugis yang
terlihat dengan jumlah salinan naskah-naskahnya yang telah dimikilmkan tidak
kurang sepuluh buah. Di samping itu, juga penyampaian cerita secara lisan juga
masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Kisah Saéhek Maradang bermula dari tokoh Saéhek Maradang belajar membaca
Alquran dan mengkaji isinya, serta belajat ilmu pedang, sebagaimana terlihat
teks awal cerita pada kutipan di bawah ini.
Passaleng. Séuwa poada pannessaéengngi anakna arungngé Darulhasanati
riasengnge Saehek Maradang. Nayi [naia] nissenna baja rilaue nassuro
pangajini anakna. Temmekki mangaji korang nassuro pangaji sara pesi
anakna. Temmekni sarapekna nassuro pangaji nahawusi anakna…
Pasal. Sebuah cerita yang mengisahkan seorang putra raja Darul Hasanati
yang bernama I Saehek Maradang. Ketika dia masih kanak-kanak diajarilah
mengaji Alqur’an. Setelah tamat dilanjutkan lagi mengaji sarak. Setelah
tamat saraknya diajarikan lagi mengaji nahawu….
(Haid dan Muchlis Hadrawi, 1998b: 6, 58)
Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa jelas SaéheqMaradangpadatahapawal
belajarmengajidanmendalamiAlquran.Haliniberbedadenganceritadalam
versi Melayu (lih. Braginsky, 1994: 154-155) yang menyebutkan Syah Mardan,
putra raja sebuah negeri yang bernama Dar al-Khatan. Seorang brahmana yang
arif dari negeri Dar al-Qiyam mendatangi negeri Dar al-Khatan, lalu mengajari
Syah Mardan tentang kiat memindahkan nyawa dirinya ke berbagai jazad dan
benda-benda. Sang brahmana mengajari juga Syah Mardan bahasa burung.
Sang brahmana kemudian pamit pulang ke negerinya yang diantar oleh Syah
Mardan. Akan tetapi, Syah Mardan tersesat seorang diri, lalu di tengah hutan
bertemu dengan Putri Rakna Kemala Dewi yang sedang dikurung oleh jin raksasa.
Syah Mardan menikahi Putri Rakna, tetapi tidak dapat membebaskannya dari
kurungan jin raksasa karena ia bermaksud melanjutkan perjalanannya.
Dari pengetahuan yang diperoleh dari barahmana tersebut yang digunakan
oleh Syah Mardan menyamar sebagai burung nuri, terbang menuju ke negeri
Dar al-Khiyam, lalu bertemu dengan Putri Siti Dewi (putri raja Dar al-Khiyam).
Sang putri ini kemudian dinikahkan dengan Syah Mardan.
Sementara itu, dalam Pau-Paunna Saéheq Maradang,ilmumembacaAlquran
yang diperolehnya itu tidak cukup untuk menjadi Islam. Oleh karena itu, ia
bermaksud melakukan pencarian terhadap Islam yang belum diketahuinya
(sappaq i anu tekkulolongengngé). Suatu ketika, Saéhek Maradang sedang
207
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
berada di hutan, ia tiba-tiba tersesat (riwéreang amalingeng). Di dalam hutan,
SaéheqMaradangbertemudenganPutriKumala,DatuDéwataé (versi Melayu,
Putri Rakna Kemala Dewi) yang sedang dikurung oleh orosasaé (jin raksasa).
Saéheq Maradang menikahi Putri Kumala, tetapi tidak dapat membebaskan
istrinya karena ia melanjutkan perjalanan. Saéheq Maradang mencari sesuatu
yang belum diketahuinya (sappa i anu tekkuissengngé pa). Di sinilah Saéheq
Maradang merubah wujudnya menjadi seeekor burung nuri. Terbanglah burung
nuri tersebut menuju ke negeri Darulkiyami (versi Melayu Dar al-Kiyam), dan
hinggap di istana Puteri Sitti Dewi (putri raja Dar al-Khiyam). SaéheqMaradang
kemudian dinikahkan dengan Puteri Sitti Dewi.
Kedua pernikahan Kedua pernikahan SaéheqMaradang,memperlihatkanduajenjangperjalanan
Saéheq Maradang, suistik, yaitu tahap syariat dan tahap tarikat. Perkawinannya dengan Putri
memperlihatkan dua Kumala menunjukkan tahap syariat. Selanjutnya pernikahannya dengan
jenjang perjalanan su- Puteri Sitti Dewi memasuki tahap tarikat. Tahap ini disimbolkan dengan lewat
fistik, yaitu tahap syar- perubahan wujud menjadi burung nuri, atau roh dimasukkan ke dalam jazad
iat dan tahap tarikat. burung nuri.
Perkawinannya dengan
Putri Kumala menun- Saéhek Maradang kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke arah
jukkan tahap syariat. matahari terbenam (mangolo ri labu kessoé), dan mengganti namanya menjadi
Selanjutnya pernikah- I Darejaya. Dalam perjalanan ini, Saéheq Maradang bertemu dengan Saéhek
annya dengan Puteri Salamuddini, lalu kepada sui itu ia belajar shalawat dan sikap seorang muslim
Sitti Dewi memasuki (gauqna asellengengngé iya sokkuqé), persyaratan menjadi wali (saraqna
tahap tarikat. Tahap ini awallingngé).
disimbolkan dengan
lewat perubahan wujud Setelah mendapatkan sejumlah pengetahuan tentang Islam dari Saéheq
menjadi burung nuri, Salamuddini, Saéheq Maradang melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa
atau roh dimasukkan lama berjalan melewati lembah dan gunung. Saéheq Maradang menemukan
ke dalam jazad burung rumah pada sebuah gunung. Pemilik rumah itu adalah seorang sui terkenal,
yaitu Lukmanul Hakim. Kepada sui inilah I Darejaya (SaéheqMaradang)belajar
nuri. hakikat dan makrifat.
Jika diperhatikan cerita SaéheqMaradang,isinyaterdiriatasduabagian.Bagian
yang pertama berisi narasi perjalanan dan pengembaraan Saéhek Maradang
dan dialog-doalog antara SaéheqMaradangdengansui-suiyangdijumpainya,
serta percakapan SaéheqMaradangdenganistri-istrinya.Denganpenyajianini
menunjukkan Pau-Paunna Saéheq Maradang sebagai alegori sui. Hal ini sejalan
dengan yang dikatakan Braginsky (1993: 151) bahwa bagian hikayat yang
bersifat naratif sebenarnya merupakan alegori sui.
Alegori sui yang kedua yang dibicarakan di sini adalah Pau-Paunna Sitti
Rabiatule Awaliya (Hikayat Siti Rabiatul Awaliyah). Tokoh Sitti Rabiatule Awalia
dikenal sebagi seorang sui perempuan yang memiliki pengetahuan keislaman
yang tinggi. Kisah Rabiatul Awalia yang ditemukan berbahasa Bugis yang telah
diterjemahkan dan ditransliterasi oleh Haid dan Muchlis Hadrawi (1998), yang
208
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
naskah salinannya merupakan milik seorang kolektor naskah di kabupaten
Pangkep. Terdapat pula sebuah naskah Bugis, yang tersimpan dalam mokroilm
naskah koleksi kantor Arsip dan Perpustakaan daerah Sulawesi Selatan dengan
nomor kode Roll 29 No. 8, yang berjudul Kisah Sitti Rabiatul Adawiyah. Halaman
pertama naskah ini adalah sebagai berikut.
Iyanaé sureq puwadaéngngi engka seuwwa pau-paunna Saéheq Sanuleq
Aripina ri wanuwaé ri Bugedaq toryatuna inna Allahu Taala teppeqna
nasabaq maserona tanrang apanritangenna namaéga anaq gurunna,
engka séuwwa anaqna riaseng Sitti Rabiatuleq Aliya.
Inilah naskah yang menceritakan kisah SaéheqSaénule Aripina di tanah
Bagdad, orang yang diberi iman oleh Allah Taala karena tingginya ilmu
dan banyak anak muridnya. Ada seorang muridnya yang bernama Sitti
Rabiatul Aliyah.
Dengan demikian, kisah Sitti Rabiatule Awalia dalam tradisi Bugis memiliki
beberapa sebutan, yaitu Sitti Rabiatule Awalia, Sitti Rabiatul Aliyah, dan Sitti
Rabiatul Aliya. Meskipun beberapa macam sebutan, akan tetapi cerita yang
dimaksud adalah sama. Hal itu hanya merupakan bentuk variasi.
Sebagaimana dengan Pau-Paunna Saéhek Maradang, Pau-Paunna Sitti
Rabiatule Awaliya memiliki dua bentuk isi, yaitu narasi (paparan) dan dialog.
Bagian yang berupa narasi adalah proses belajar tokoh Sitti RabiatuleAwaliya,
yaitubelajarAlqurankepadaSaéheqJaéna, seorang ulama terkemuka di negeri
Mesir. Kepada ulama inilah Sitti Rabiatule Awaliya belajar mengaji Alquran,
mengaji tajwid, kitab, nahawu, dan tafsir. Sitti Rabiatule Awaliya adalah satu-
satunya perempuan yang menjadi murid SaéheqSaénule Aripina. Tanda-tanda
kelebihan yang dimiliki oleh Sitti Rabiatule Awaliya adalah lebih cepat mengerti
atau memahami materi pelajaran jika dibandingkan dengan tiga puluh sembilan
orang laki-laki temannya. Bahkan sang guru memberikan kesempatan kepada
Sitti Rabiatul Awaliya mengajari teman-temannya.
Berita tentang keutamaan tokoh Sitti Rabiatule Awaliya tersebar ke seluruh
penjuru negeri Mesir. Berita ini membuat sejumlah ulama dan ahli agama
Islam berniat memperistri Sitti Rabiatule Awaliya. Mereka secara berkelompok
dan perorangan silih berganti mendatangi kota tempat tinggal Sitti Rabiatule
Awaliya. Kelompok yang pertama kali datang adalah empat orang ulama yang
berbeda-beda bidang ilmunya, di antara seorang ahli syariat, seorang ahli
tarikat, seorang ahli hakikat, dan seorang ahli makrifat. Sitti Rabiatule Awaliya
lalu memberikan pertanyaan tentang keislaman, tetapi keempat ulama itu tidak
mampu menjawabnya. Kelompok ulama yang kedua yang datang menemui
Sitti Rabiatule Awaliya adalah empat orang wali, masing-masing wali tanah,
209
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
wali air, wali angin, dan wali api. Kepada empat wali ini Sitti Rabiatule Awaliya
mengajukan pertanyaan tentang makna bersetinja. Namun, jawaban keempat
wali terseut tidak tidak seperti yang diharapkan oleh Sitti Rabiatule Awaliya.
Keempat wali ini pulang ke negerinya dengan tanpa berhasil mempersunting
Sitti Rabiatule Awaliya. Selanjutnya, ulama yang ketiga yang mendatangi Sitti
Rabiatule Awaliya adalah sejumlah syekh dan ulama, dan mereka pun tidak
mampu menjawab pertanyaan Sitti Rabiatul Awaliya. Akhirnya, seorang
pangeran yang bernama Suletang Saheding (Sultan Sahdin), mendatangi Sitti
Rabiatul Awaliya di negeri Mesir. Berlangsunglah dialog panjang di antara
keduanya tentang perkara tasawuf. Jawaban Suletang Sahedinglah yang dapat
memecahkan persoalan yang dikemukakan Sitti Rabiatule Awaliya. Berikut ini
dikutip dialog antara Suletang Saheding dengan Sitti Rabiatule Awaliya.
Makkeda ni Sitti Rabiatule Awalia, “Oo puakku, aga nammula napancaji
Allah Taala angka tepunna alangnge lolling liseq?” Makkedani Suletang
Saheding, “Ee Sitti Rabiatule Awaliya, naiyya ribicaranna tasahupuqe,
mula-mulanna napancaji wi Allah Taala, naiya bicaranna seuwa-seuwae
iyanaritu sininna napancajie. Iya mu to kiyaseng alang, iaya mu to riaseng
buruq. Bettuwanna, riasengnge alang manessani buruq. Naiyya hakikaqna
seuwa-seuwae, iana ri tu pangulutta Nabi Muhammad saw…”
Iabertanya,“Wahaituanku,apakahyangpertama-tamadiciptakanoleh
Allah sebelum dan sampai pada akhirnya terciptalah dunia ini beserta
isinya?” Suletang menjawab, “Wahai Sitti Rabiatule Awaliya, yang
pertama-tama diciptakan menurut orang tasawuf adalah dia sendiri.
Menurut bahasanya, pencipta atas segala sesuatu. Itulah yang disebut
dengan alam atau tanah. Artinya, yang disebut dengan alam pasti akan
mengalami kerusakan atau fana, tidak abadi, dan hakikat dari segala
sesuatuituadalahjunjunganNabuMuhammadsaw…”
(Haid dan Muchlis Hadrawi, 1999: 12, 26).
Dialog antartokoh di atas berisi tentang penciptaan, siapa pertama kali diciptakan
Tuhan dan penciptaan dunia dan segala isinya. Jawaban Suletang Sahading
adalah Tuhan menciptakan dirinya, lalu menciptakan segala sesuatunya. Hakikat
segala sesuatunya adalah Muhammad. Jelas, perbicangan ini berisi tasawuf,
yang berbeda isi perbicangan dengan ketiga ulama sebelumnya, yang bergerak
dari syariat, terikat ke hakikat.
Kisah tentang perempuan sui yang mirip dengan kisah Rabiatule Awaliya
adalah Pau-Paunna Daramatasia (Hikayat Darma Tahsiyah). Cerita ini cukup
popular pada masyarakat Bugis. Cerita ini, selain jumlah naskah salinannya
210
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
cukup banyak, cerita ini direkam dan kaset rekamannya dijual di pasar-pasar
tradisional di Kabupaten Bone, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo (Dairah
dan Shaifuddin bahrum, tt: v-vi). Cerita ini memiliki kekuatan pencitraan karakter
tokoh perempuan yang bernama Daramatasia (Dairah dkk, 2000).
Daramatasia adalah putri dari raja Saéheq Akbar dan Rabiatul Alawiah.
DaramatasiabelajarAlqurandariseorangulamaterkemukadiMesiryangulama
inilah Daramatasia belajar tentang ilmu syaraf, ilmu tafsir, dan ilmu kitab kuning,
ilmuiqhi,ilmufalakdanbahkanilmukebatinan.Daramatasiajugamemperoleh
ilmu akhlak dari seorang guru yang bernam Siti Hafsah. Salah satu ilmu akhlak
yang dipelajarinya adalah akhlak seorang perempuan, terutama kelak setelah
menjadi istri dan menjadi ibu dari anak-anak yang dilahirkan.
Daramatasia kemudian menikah dengan seorang ulama yang bernama
Saéheq Bile Maqripi (Syah Bil Ma’rui), dan hasil perkawinan itu, mereka
mendapatkan seorang putri yang bernama Cindera Dewi. Di sini tokoh
Daramatasia mengabdikan dirinya pada suami (melayani suami). Namun,
kebahagiaan Daramatasia tidak berlangsung lama. Beberapa waktu setelah
kelahiran putrinya, ia menghadapi masalah keluarga. Saéheq Bile Maqrupi
menganiaya dan mengusirnya karena dianggap bersalah. Sebagaimana
dengan kebiasaannya, setiap kali suaminya kembali ke rumah, Daramatasia
selalu melayani suaminya, dimulai dari membersihkan kaki hingga menyiapkan
makanan. Pada suatu waktu, Daramatasia mendampingi suaminya makan
malam sambil menggendong bayinya. Namun, lampu tiba-tiba padam, dan
Daramatasia memotong rambutnya untuk dijadikan sumbu lampu sehingga
menyalalah kembali pelita itu. Daramatasia tidak beranjak mengambil pelita yang
lain karena takut anaknya terbangun dipangkuannya. Oleh karena perbuatan
Daramatasia itulah sehingga sang suami menghajar dan mengusirnya.
Daramatasia akhirnya meninggalkan rumahnya, dan juga tidak diterima kembali
oleh orang tuanya sehingga ia meninggalkan negerinya dan tersesat dalam
hutan. Di dalam hutan ia mendapatkan rahmat dan mendapatkan mukjizat
dan pertolongan dari Allah SWT, sembuh dari luka-luka yang dideritanya,
mendapatkan pakaian, menjalankan ibadah shalat, dan bahkan mandi dengan
air yang bersumber dari surga sehingga ia tampak lebih muda dan lebih cantik.
Hingga suatu ketika, ia pulang ke rumahnya, dan suaminya tidak mengenalinya
lagi. Suaminya (SaéheqBileMaqrupi)sangatterharu,menyesaliperbuatannya,
dan menerima kembali Daramatasia.
Namun, tidak berselang lama, Saéheq Bile Maqrupi meninggal dunia karena
sakit. Daramatasia yang menjadi janda ternyata banyak pemuda yang ingin
mempersuntingnya. Dalam proses peminangan itu terjadi dialog antara
Daramatasia dengan para pemuda yang bermaksud mempersuntingnya.
Dialog ini mirip dengan dengan kisah Rabiatul Awalia, yang disajikan setelah
211
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
paparan (narasi panjang) tentang perjalanan dan bahkan pengembaraan tokoh.
Namun, dalam kisah ini dialog cukup pendek dan pertanyaannya berapa banyak
cinta yang dimiliki laki-laki dan cinta yang dimiliki perempuan (siaga cinnana
makkunraié, siaga to cinnana urané).
Jika diperhatikan isi bagian kisah Daramatasia ini, terlihat bahwa pada bagian
awal Daramatasia mendapat pengetahuan syariat dari SaéheqSaiidanHapesa.
Tingkat makrifat diperoleh Daramatasia disimbolisasi melalui terusir dan
terbuangnya di tengah hutan hingga memperoleh mukjizat dari Allah SWT. Dari
penyajian cerita ini menunjukkan kisah Daramatasia sebagai alegori sui.
Sebagai karya saduran, kisah Daramatasia memperlihatkan latar budaya
Bugis dan Makassar. Misalnya, rumah dilukiskan sebagai rumah panggung
dan bahannya terbuat dari kayu. Lukisan tersebut menunjuk pada konstruksi
arsitektur rumah Bugis Makassar. Demikian pula digambarkan tokoh cerita
memasak dengan menggunakan tungkuh, dan bahan makanan yang dimasak
adalah beras. Ciri-ciri ini menunjukkan kesamaan dengan tradisi memasak
masyarakat di Nusantara pada umumnya.
Cerita Pahlawan Islam (Epos)
Cerita kepahlawanan Islam yang disadur ke dalam bahasa Bugis dan Makassar
adalah Hikayat Muhammad Ali Hanaiah dan Hikayat Amir Hamzah. Hikayat
Muhammad Ali Hanaiah dalam versi bahasa Bugis dan bahasa Makassar
ditemukan dalam jumlah naskah salinan yang lebih banyak jika dibandingan
dengan Hikayat Amir Hamzah. Pada umumnya naskah Hikayat Muhammad
Ali Hanaiah diberi judul Riwayaqna Ali Hanapi karena memang di dalam teks
penyebutan nama tokoh seperti itu. Hal seperti ini berbeda dengan tradisi
Persi yang menyebutnya Muhammad bin Hanaiah. Berdasarkan penyebutan
judul teks Muhammad Ali Hanaiah tersebut memberikan petunjuk bahwa
teks dalam versi bahasa Bugis dan bahasa Makassar merupakan terjemahan
dari tradisi teks Melayu. Sebagaimana diketahui bahwa Hikayat Muhammad
Ali Hanaiah berkisah tentang hal yang berbeda-beda, meskipun masih berkisar
pada peristiwa pertempuran Muhammad Ali Hanaiah di Padang Karbala. Dalam
perang tersebut, cucu Nabi Muhammad saw, Imam Husain terbunuh.
Adapun cerita Hamzah, meskipun jumlah naskah salinannya sedikit, tetapi kisah
ini penting sebagai karya saduran. Kisahnya bertolak dari kisah hidup Hamzah
bin Abdul Muthalib, paman dari Nabi Muhammad saw. Pada awalnya Hamzah
menentang ajaran Islam, tetapi kemudian menjadi penganut yang taat dan gigih
memperjuangkan kebenaran risalah agama ini. Dalam Perang Uhud melawan
pasukan Quraysh, Hamzah mati syahid. Kisah kepahlawanannya hidup terus
dalam jiwa kaum Muslimin dan banyak kisah ditulis mengenai dirinya.
212
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Fiqhi, zikir, doa-doa, Tarikat, dan Tasawuf
Dalam kepustakaan Bugis dan Makassar terdapat naskah-maskah yang berisi
tauhid,iqhi,zikir,dandoa-doa.Penyalinanpustakakeagamaaninimerupakan
salah satu upaya para penyiar Islam dan masyarakat untuk menyempurnakan
aqidah Islam di kalangan orang Bugis dan Makassar. Naskah-naskah tersebut
ditulis dalam Bahasa Bugis atau bahasa Makassar dengan menggunakan huruf
LontaraqbercampurdenganhurufSérang.
Selain berisi masalah-masalah syariat, juga banyak terdapat naskah-naskah
Bugis dan Makassar yang berisi ajaran tasawuf dan tarikat. Berdasarkan naskah-
naskah yang ada, dijumpai tiga aliran tarikat yang terkenal, yaitu ahlusunnah.
tarikat khalwatiah samman (halawatia sammang), tarikat naksyabandiah
(kasabandia), dan syattariah (sattaria). Hal seperti ini menunjukkan bahwa ketiga
tarikat tersebut dipelajari dan diikuti oleh orang Bugis dan Makassar.
Pengetahuan dan Catatan Harian
Dalam kepustakaan Bugis dan Makassar terdapat pengetahuan yang
merupakan ramuan antara Islam dengan unsur lokal, di antaranya kutika/
pitika dan assikalaibinéng. Kutika/pitika adalah metode-metode penentuan
hari-hari baik untuk melakukan suatu kegiatan, seperti membangun rumah,
melakukan perjalanan, dan waktu pernikahan. Naskah-naskah kutika/pitika
berisi daftar-daftar bulan dalam kalender Islam, dengan keterangan-keterangan
apakah waktu-waktu tersebut baik untuk kegiatan tertentu, misalnya bulan
Syafar adalah bulan bagus untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan
perkawinan. Jika petunjuk waktu ini dijalankan, maka Sang empunya rumah
akan selalu memperoleh keuntungan (Robinson, 2005: 281-282).
Sementara itu, assikalaibinéng adalah sebuah kitab yang menyajikan teks
pengajaran dan tuntunan hubungan seks secara benar bagi masyarakat dalam
melakukan aktivitas hubungan suami-isteri. Pengetahuan assikalaibinéng
menjadi tuntunan bagi keluarga dalam melakukan hubungan suami-isteri yang
dikendalikan oleh nilai-nilai budaya Bugis yang sejalan dengan nilai-nilai Islam
(Hadrawi, 2008: 7). Berikut ini disajikan kutipan teks pembuka salah satu naskah
assikalaibinéng.
Bismillahi rahmanir rahiim
Passaleng, pannesaéngngi sara’na
ilemmu nisaa komaélono pogau’i
alano jénne’ sempajang.
Nako pura no majjénné’ baca ni wékka aséra,
213
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
“Laa tadrikuhul absara wa huwa
yadrikuh laa absara wa huwa
lisainul habir …..”
Bismillahi rahmanir rahiim
Pasal, yang menjelaskan syaratnya
ilmu nisa jika kamu akan melakukannya,
ambillah wudhu terlebih dahulu.
Jika sudah berwudhu, bacalah Sembilan kali,
“Laa tadrikuhul absara wa huwa
yadrikuh laa absara wa huwa
lisainul habir …..”
(Hadrawi, 2008: 57, 91)
Pengetahuan tata cara berhubungan suami-isteri, sebagaimana terlihat apada
kutipan di atas, tidak hanya memberikan petunjuk gerakan, melainkan juga
bacaan doa-doa. Dengan demikian kepustakan ini merupakan kepustakaan
Bugis yang Islam karena prinsip-prinsip yang mendasari adalah prinsip keislaman.
Selain itu, terdapat pula tradisi penulisan catatan harian raja-raja Bugis dan
Makassar yang berciri Islam. Catatan yang lebih dikenal dengan Lontaraq
BilanginiditulisdenganmenggunakanhurufLontaraqyangbercampurdengan
huruf Sérang. Penulisan hari, bulan, dan tahun berdasarkan tahun Hijriyah.
Berdasarkan Lontaraq Bilang yang masih bisa dijumpai saat ini, jelas terlihat
bahwa tradisi penulisannya dilakukan setelah Islam diterima secara resmi oleh
kerajaan-kerajaan Bugis Makassar.
Dengan demikian, sastra Islam yang berasal dari Persi dan negeri Arab lainnya
juga diterjemahkan dan diterima dalam lingkungan sastra Bugis dan Makassar.
Sastra tersebut tidak hanya memberikan pengaruh, melainkan pada periode
tertentu melahirkan gairah baru dan memperkaya khasanah sastra Bugsi dan
Makassar.
214
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Penutup
Sejak agama Islam diterima secara resmi oleh kerajaan-kerajaan Bugis dan
Makassar pada awal abad ke-17, kegiatan bersastra menjadi lebih hidup dan
berkembang. Kehadiran Islam tidak hanya memberikan pengaruh pada tradisi
sastra yang telah lama berkembang di masyarakat, melainkan juga sastra
(hikayat) berasal dari Persi dan Melayu yang lebih dahulu menerima Islam
diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis dan bahasa Makassar. Teks sastra yang
merupakan terjemahan (saduran) dari sastra Persia dan Melayu tersimpan dalam
bentuk naskah-naskah salinan yang merupakan koleksi pribadi masyarakat
setempat atau koleksi berbagai perpustakaan. Ada pula masyarakat, terutama
di desa-desa yang masih memelihara tradisi penyampaian lisan sastra tersebut.
Penerjemahan terhadap sastra Persi dan Melayu ke dalam bahasa Bugis
dan bahasa Makassar tidak dilakukan secara patuh, melainkan dilakukan
penyesuaian isi, komposisi, budaya, dan bahasa masyarakat setempat. Beberapa
jenis sastra (puisi) diterjemahkan secara puitis pula. Dengan demikian, jenis
sastra terjemahan (saduran) tersebut terasa sebagai sastra (Islam) Bugis dan
Makassar.
Sejumlah tradisi ritual keagamaan, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammmad
saw, dan Isra Mikraj; serta tradisi adat-istiadat masyarakat setempat, seperti
menempati rumah baru, aqiqah, perkawinan, dan lain-lain berperan dalam
menghidupkan sastra (Islam) Bugis dan Makassar tersebut. Dalam pelaksanaan
ritual tersebut, sastra (naskah) dibacakan dan bahkan dinyanyikan secara
bersama-sama. Ada pula masyarakat tertentu yang secara rutin membaca
sastra, seperti Sureq Makkelluna Nabitta atau Sureq Makattereqna Nabitta
(HikayatNabiBercukur),SureqMallinrunnaNabitta(HikayatNabiWafat)karena
meyakini bahwa dengan membaca atau mendengarkan dengan tuntas, Allah
SWT akan mengapuni segala dosa-dosanya.
Peran aksara Sérang cukup penting dalam penyebaran kebudayaan Islam pada
umumnya, dan sastra Islam pada khususnya. Banyak di antara karya terjemahan
(saduran) tersebut ditulis dengan menggunakan huruf Sérang yang bercampur
denganhurufLontaraq.HurufSérang induknya adalah huruf Arab yang telah
mengalami penyesuaian bentuk sesuai dengan bahasa dan budaya orang
Bugis dan Makassar. Huruf Sérang serang ini, selain berfungsi sebagai sarana
penulisan, juga menjadi simbol Islam.
Andi M. Akhmar
215
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
216
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
BAB V
Sastra Islam
Minangkabau
Sastra Islam Minangkabau adalah karya imajinatif baik dalam bentuk puisi
(lama), seperti mantra, syair, dan pantun, maupun prosa (lama), seperti kaba,
hikayat, dan tambo. Karya imajinatif dalam bentuk lisan ataupun tulisan
yang bertemakan Islam ini dihasilkan masyarakat etnis Minangkabau. Bahasa
yang digunakan dalam karya-karya imajinatif ini ialah bahasa Minangkabau
atau biasa juga disebut bahasa Melayu-Minangkabau.1
Karya-karya imajinatif bertemakan Islam ini adalah wadah untuk menyampaikan
ajaran Islam dan konsep ke-Islam-an. Artinya, keberadaan sastra ini tidak dapat
dilepaskan dari fungsinya sebagai saluran dakwah atau syiar Islam. Sastra ini
hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau--terutama di masa
silam.
Para ulama sui memainkan peranan yang sangat penting dalam dunia kesastraan
Islam Minangkabau. Hal ini sejalan dengan peran mereka dalam penyebaran
Islam—suatu proses berlangsung sejak akhir abad ke-16 hingga awal abad
ke-19. Ajaran Islam yang disebarkan atau diajarkan para mubalig (ulama) sui,
yang tahu jalan menuju hati itu, berhasil dengan mudah memasuki sistem
217
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Penyebaran Islam kesadaran masyarakat. Penyebaran Islam ini berjalan dengan wajar, cepat,
ini berjalan dengan dan tanpa perlawanan karena didukung oleh semangat toleransi para sui
wajar, cepat, dan dalam berhadapan tradisi serta ide dan simbol yang lazim dalam masyarakat.
tanpa perlawanan Dalam penghadapan yang penuh pengertian ini—menurut Braginsky, seorang
karena didukung oleh ilmuwan Russia yang mendalami sejarah dan tradisi sastra klassik Melayu-
semangat toleransi Nusantara-- secara berangsur-angsur pandangan hidup masyarakat mengalami
transformasi ke dalam semangat bernuansa ke-Islam-an2. Pandangan yang
para sufi dalam tidak jauh berbeda telah juga disampaikan oleh A. H. Johns. Dalam sebuah
berhadapan tradisi artikelnya, ilmuwan, yang mendalami sastra Islam klassik Melayu dan sastra
serta ide dan simbol Indonesia modern ini, mengatakan bahwa para sui juga menguasai ilmu magis
yang lazim dalam dan memiliki kekuatan yang menyembuhkan, siap memelihara kontinuitas
masyarakat. Para sufi dengan masa lampau, dan menggunakan istilah dan unsur kebudayaan pra-
juga menguasai ilmu Islam dalam konteks Islam.3
magis dan memiliki
Hal ini tergambar dalam beberapa bentuk karya sastra. Mantra, yang berasal dari
kekuatan yang tradisi anasir kebudayaan sebelum kedatangan Islam, tetap dipakai dan tidak
menyembuhkan, siap dibuang ketika Islam telah menjadi anutan. Hanya saja mantra yang awalnya
memelihara kontinuitas berasal dari tradisi Hindu-Budha disesuaikan dengan keharusan yang berlaku
dengan masa lampau, dalam ajaran Islam. Komunikasi dalam mantra yang semula ditujukan kepada
jin sebagai pesuruh, diganti dengan permohonan yang ditujukan kepada
dan menggunakan Allah s.w.t.,4. Hal yang sama juga tampak pada bentuk sastra Minangkabau
istilah dan unsur lainnya, seperti pantun, tambo atau undang-undang Minangkabau, dan
kaba. Azyumardi Azra mengatakan bahwa tambo adalah hasil kerja para sui
kebudayaan pra-Islam tarekat. Dalam keseluruhan penafsiran mereka tentang Islam tampak jelas latar
dalam konteks Islam. belakang ke-Minangkabau-an yang banyak dipengaruhi sinkretisme Hindu-
Buda dan tradisi setempat5. Dalam sebuah tulisannya Zuriati juga mengatakan
Tambo. tambo atau undang- bahwa tambo atau undang-undang Minangkabau sangat dijiwai oleh tasawuf
undang Minangkabau, adalah dan-- tentu saja-- ditulis oleh seorang ulama sui6.
hasil kerja para sui tarekat.
Bentuk-bentuk sastra yang ‘diislamkan” atau diberi nafas Islam itu kemudian
Sumber: Museum Negeri Padang. diperkaya oleh syair dan hikayat, yang dengan jelas merujuk pada sastra Islam
klassik. Sebagaimana yang terdapat dalam bentuk manuskrip (naskah) bertuliskan
aksara Arab-Melayu (Jawi), syair yang dikarang oleh para ulama Minangkabau,
terutama ulama sui, terdapat dalam jumlah yang banyak. Berbeda dengan
syair, jumlah hikayat ternyata tidak begitu banyak. Namun, sebagaimana halnya
dengan kaba dan pantun, hal yang menarik ialah beberapa syair dan hikayat
dilagukan dalam pertunjukan lisan. Dengan begini dakwah yang disampaikan
dapat sampai dengan cepat kepada masyarakat. Syair Salawat, umpamanya,
dibacakan pada pertunjukan salawat dulang; sedangkan Syair Ratap Fatimah
dilagukan pada pertunjukan ratok ‘ratap’; dan Hikayat Nur Muhammad
dibacakan pada pertunjukan baikayaik. Semua bentuk karya sastra itu-- dari
mantra hingga hikayat-- adalah kekayaan yang memantulkan pula keragaman
sastra Islam Minangkabau.
218
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Ragam Karya Sastra Islam Minangkabau dalam Bentuk
Puisi
Tawa atau Mantra
Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta mantra, yakni ‘suatu formula yang
memiliki kekuatan magis’ 7. Dalam bahasa asalnya, kata mantra berarti ‘suatu
formula yang memiliki kekuatan magis’. Awalnya, kata itu merujuk pada teks-
teks magis yang digunakan oleh para Brahmin dan para Yogi8. Secara umum,
istilah mantra diartikan sebagai ‘perkataan atau ucapan yang memiliki rima dan
irama tertentu dan dianggap dapat mendatangkan kekuatan gaib, seperti dapat
menyembuhkan dan mendatangkan celaka’9. Mantra sebagai bentuk puisi yang
diucapkan (puisi lisan)10 pada dasarnya, menghubungkan manusia dengan dunia
yang penuh misteri (dunia gaib). Mantra mempunyai unsur rayuan dan perintah,
yang dibentuk secara puitis dengan tidak menggunakan satuan kalimat, tetapi
satuan ekspresi atau satuan ucapan dan mementingkan keindahan bunyi11..
Mantra yang berbahasa Minang --disebut Tamsil Medan12 sebagai bentuk Naskah yang berisi mantra rajah
kesusastraan Minangkabau yang tertua-- dikenal dengan istilah manto. Kata koleksi Museum Negeri Padang.
manto terbentuk dari hasil proses asimilasi kata dasar bahasa Sanskerta mantra.
Sebagai kata pinjaman, kata mantra telah dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
dan mengalami suatu perubahan; fonem /a/ pada posisi akhir berubah menjadi
fonem /o/ dan konsonan /r/ hilang, sehingga mantra menjadi manto13 . Namun,
istilah manto tidak umum dan tidak familiar di telinga masyarakat Minangkabau
masa kini14. Kata manto lebih banyak dipakai dalam bentuk tulisan dan umumnya
hanya dipakai para peneliti atau penulis Minangkabau ketika harus menyebut
mantra dalam tulisan-tulisan mereka, seperti dapat dilihat dalam Alam (1920),
Junus (1983), dan Djamaris (2002)15.
219
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Sebagai pengaruh Hindu-Budha, isi manto menunjukkan adanya kerja sama
antara manusia, terutama dukun akuan, dan jin atau setan. Komunikasi yang
terjadi dalam manto ditujukan kepada makhluk-makhluk gaib tersebut. Pada
umumnya, manto pengaruh Hindu-Budha ini masih ditemukan pada manto yang
bertujuan untuk menyakiti seseorang (magi hitam). Contohnya dapat dilihat
dalam Manto Tuju Ruyuang16 di berikut ini.
Manto Tuju Ruyuang Mantra Tuju Ruyuang
Hong.... si Babun Tungga Hong...si Babun Tunggal
Bodotuang samo jo potuih Berdentum sama dengan petir
Bosikanjar samo jo kilek Berbunyi sama dengan kilat
Non kusuruah kusorayo Yang kusuruh dan kuperintah
Sampaike juo doaku ko Sampai juga mantraku ini
Ko batang tubuh si Anu Ke batang tubuh orang itu
Kalau engkau indo sampaike Jika tidak engkau sampaikan
Engkau monangguang akibaiknyo Engkau menanggung bahayanya
Sobanyak buiah di lauten Sebanyak buih di lautan
Sobanyak kesiak di lauik Sebanyak pasir di laut
Sobanyak bintang di langik Sebanyak bintang di langit
Kalau engkau sampaike Jika engkau sampaikan
Si anu manangguang akibaik bahayonyo Orang itu menanggung bahayanya
Aku mongonakan dua tuju ruyuang Aku menggunakan mantra tuju ruyung
kopado si anu kepada orang itu
Contoh manto di atas memperlihatkan bahwa mantra dimulai dengan sapaan
Hong. Hong, yang merupakan panggilan bagi Babun Tungga, yakni jin pesuruh
(jahat) yang ditugaskan oleh pemilik manto (dukun) untuk menyakiti (membunuh)
seseorang (si Anu). Jika tidak dilaksanakan, si Babun Tungga terancam akan
menanggung akibatnya.
Namun, masyarakat Minangkabau lebih mengenal dan lebih sering menggunakan
istilah tawa daripada manto sebagai padanan dari kata mantra. Hal ini juga
diperlihatkan oleh teks mantra. Contohnya dapat dilihat dalam Tawa Sakik
Paruik (Mantra Sakit Perut) yang digunakan untuk mengobati seseorang yang
menderita sakit perut, seperti di berikut ini.
220
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Tawa Sakik Paruik
(Mantra Sakit Perut)
Bismillahirrahmanirrahim (Bismillahirrahmanirrahim)
Guluang-guluang galang-galang (Gulung-gulung gelang-gelang)
Lari ka ati habih mati (Lari ke hati semua mati)
Lari ka jantuang mati tagantuang (Lari ke jantung mati tergantung)
Lari ka mariah tapuariah (Lari ke batang leher terikat)
Lari ka paruik habih luruik (Lari ke perut semua gugur)
Lari ka rusuak mati busuak (Lari ke rusuk mati busuk)
Lari ka limpo mati tatimpo (Lari ke limpa mati tertimpa)
Ureknyo tuju manuju (Uratnya tuju-menuju)
Batangnyo tuju manuju (Batangnya tuju-menuju)
Aku manawa galang-galang (Aku memantrai gelang-gelang
kuduang kudung)
Aku manawa galang-galang rayo (Aku memantrai gelang-gelang
raya)
Lah tabang si kalawa (Telah terbang si kelelawar)
Tabangnyo timpo-manimpo (Terbangnya timpa-menimpa)
Lah masuak sakalian tawa (Telah masuk sekalian mantra)
Lah kalua sakalian biso (Telah keluar sekalian bias)
Hu hu huu, mangkuih (Hu hu huu mangkus)
Huuhff huff huuhff” (Huuuhff huuhff huhff)18
Tawa di atas memperlihatkan bahwa pemilik mantra menamakan mantranya
dengan tawa. Kata tawa digunakan sebagai kata benda dan kata manawa
digunakan sebagai kata kerja, bukan manto atau mamantoi atau mamantoan.
Istilah tawa diperkirakan muncul setelah Islam masuk di Minangkabau.
Sebagaimana dapat dilihat pada contoh di atas, hal itu sangat didukung
oleh teks-teks tawa Minangkabau yang dengan jelas menunjukkan pengaruh
Islam. Teks mantra yang, awalnya, belum Islam, kemudian ‘diislamkan’, seperti
tampak pada penggunaan bacaan basmalah (Bismillahirrahmanirrahim), kata
Allah, Muhammad, dan kalimat tauhid (La ilāha ilāllāh)19. Contoh lain dapat
dilihat pada Tawa Tangka Palasik yang digunakan untuk melindungi seseorang,
terutama bayi, dari gangguan palasik20, yang menunjukkan pengaruh Islam,
seperti berikut ini:
221
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Tawa Tangka Palasik
(Mantra Tangkal Palasik)
Allah Nur Allah Muhammad (Allah Nur Allah Muhammad)
Ali manurunkan tawa (Ali menurunkan mantra)
Sakalian tawa tawaan (sekalian mantra mantrakan)
Di hati jantuang si Anu (Di hati jantung si Anu)
Alif kato bukan (Alif kata bukan)
Bukan kato aku (Bukan kata aku)
Malainkan kato Allah (Melainkan kata Allah)
Aku badiri dalam kulimah (Aku berdiri dalam kalimat)
La ilāha ilāllāh21 (Tiada Tuhan selain Allah)
Tawa di atas diawali dengan nama Allah dan kemudian menyebutkan bahwa
Nur Allah adalah Muhammad, Ali merupakan sumber tawa sedangkan huruf alif
adalah perkataan Allah. Pemilik tawa bersandar pada kalimat La ilāha ilāllāh.
Dengan jelas, kata-(kata) tersebut merujuk pada Islam, khususnya tasawuf.
Berbeda dengan mantra sebelum Islam, pemilik tawa memposisikan diri sebagai
perantara saja. Dia hanya merupakan orang yang menyampaikan doa kepada
Allah s.w.t.sedangkan hak untuk melindungi berada sepenuhnya di tangan
Allah. Hal ini ditegaskan kalimat tauhid, La ilāha ilāllāh ‘Tiada Tuhan selain
Allah’. Contoh lain tawa dapat dilihat pada Tawa Obat Bisa Binatang berikut ini:
Bismillahirrrahmanirrahim (Bismillahirrrahmanirrahim)
Birah itam kaladi itam ( Kemumu hitam keladi hitam)
Tumbuah di ujuang bumi (Tumbuh di ujung bumi)
Manggigik si Buyuang Itam (Menggigit si Buyung Hitam hewan
berbisa)
Bisonyo alah den turuni 22 (Bisa sudah aku turunkan)
Pantun
Pantun adalah ragam puisi Minangkabau yang terkenal. Pantun terdiri atas
empat baris atau lebih, bersajak a b a b, dua baris pertama merupakan sampiran
sedangkan dua baris terakhir adalah isi. Pantun Minangkabau biasa menghiasi
kisah dalam kaba, pesan-pesan dalam pidato adat dan pasambahan, dan
hiasan –kata dalam seni pertunjukan (sastra lisan), seperti bailau23, iriak onjai24,
barombai25, dan batintin26. Dalam kaba, misalnya, pantun dipakai di bagian
awal cerita sebagai pembuka dan di akhir cerita sebagai penutup. Kadangkala,
pantun juga digunakan sebagai selingan di tengah cerita untuk menarik minat
pendengar. Contohnya dalam Kaba Sutan Pangaduan-- dalam Pertunjukan
222
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Bataram, yakni pertunjukan mendendangkan cerita Sutan Pangaduan yang
diiringi oleh alat musik adok ‘rebana besar’ di Pesisir Selatan. Contoh pantun
yang terdapat pada bagian awal kaba dan pada bagian akhir kaba tersebut
dapat dilihat di bawah ini.
(Awal) .... (Kait berkait rotan saga)
Kaik bakaik rotan sago (Terkait di akar bahar)
Nan takaik juo di aka baha (Sampai ke langit terberita)
sampai ka langik tabarito (Di bumi jadi kabar)
di bumi jadi kaba
(Akhir) ....
Layang-layang disemba buih (Layang-layang disambar buih)
Buih di Pulau Angso Duo (Buih di Pulau Angsa Dua)
Kasiah sayang dicari buliah (Kasih sayang dicari boleh)
Kok taragak Sungai Lalang jalang juo27 (Jika rindu Sungai Lalang
dijelang jua)
Berdasarkan isinya, pantun dapat dibagi atas pantun nasehat, pantun perkasihan,
pantun perceraian, pantun perhibaan, pantun jenaka, pantun adat, dan pantun
agama. Dari ragam pantun Minangkabau ini boleh dikatakan bahwa pantun
adat sangat banyak, bahkan mungkin yang terbanyak. Pantun adat tidak
hanya memperlihatkan ajaran adat Minangkabau, tetapi juga menggambarkan
perpaduan adat dengan Islam yang terkristal dalam ungkapan: “Adat basandi
syarak. Syarak basandi Kitabullah”. Beberapa contoh dapat dilihat di bawah ini:
Contoh 1: (Raja Alam yang berdaulat)
Rajo Alam nan badaulat (Berkata putus tidak dapat
Bakato putuih tak dapek dianjak
diubah) (Datang Islam sempurna adat)
Datang Islam samparono adat (Kini telah nyata bersendi syarak)
Kinilah nyato basandi syarak
Contoh 2: (Musuh yang tidak dicari-cari)
Musuah nan indak dicari-cari (Bertemu pantang mengelak)
Basuo pantang mailak (Syarak nyata berbuhul mati)
Syaraklah nyato babuhua mati (Kalau adat berbuhul sintak)
Kalau adat babuhua sintak28
Contoh 3: (Tajam sudah celak29 pun ada)
Tajam alah calak pun ado (Tinggal dibawa menggunakan)
Tingga dibao manggunokan (Adat ada syarak pun ada)
Adaik alah syarak pun ado (Tinggal kita memakaikan)
Tingga kito mamakaikan30
223
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Pantun pada contoh (1) berisi pernyataan bahwa adat Minangkabau telah
disempurnakan Islam. Adat yang awalnya belum berlandaskan pada Islam,
sekarang telah berlandaskan Islam-- ” Adat basandi syarak. Syarak basandi
Kitabullah”. Untuk sampai pada isi, pantun di atas menggunakan sampiran
yang menceritakan Raja Alam (Minangkabau) yang berdaulat dan sesuatu
yang sudah diputuskannya tidak dapat diubah lagi. Pada contoh (2) pantun
berisi penegasan bahwa syarak tidak dapat direvisi atau diubah, sedangkan
adat dapat dikaji ulang dan diubah atau disesuaikan. Sementara, pantun pada
contoh (3) memberikan penguatan kepada masyarakat Minangkabau, bahwa
sudah ada adat dengan segala ketentuannya dan Islam dengan syariatnya juga
telah diketahui sebagai pedoman dalam kehidupan.
Sementara itu, pantun agama berisi ajaran Islam, seperti yang berkenaan dengan
ibadat dan iman. Beberapa contoh pantun Islam dapat dilihat di bawah ini.
Contoh 1: (Lekar dan dulang dalam lubuk)
Laka jo dulang dalam lubuak (Pandan berduri melenda jalan)
Pandan baduri malendo jalan (Akal hilang tiada jalan keluar)
Aka hilang tatumbuak (Berserah diri kepada Allah)
Basarah diri pado Tuhan
Contoh 2: (Berenang ke hulu air)
Baranang ka hulu aie (Jangan lupa ranting lapuk)
Jan lupo jo rantiang lapuak (sudahlah senang hidup di dunia)
Alah sanang hiduik di dunie (Kenang juga akan mati esok)
Kana juo ka mati isuak
Contoh 3: (Tak dapat serimpang padi)
Indak dapek sarimpang padi (Betung dibelah akan palungan)
Batuang dibalah kaparaku (Tak dapat sekehendak hati)
Indak dapek bak kandak hati (kehendak Allah yang berlaku)
Kandak Allah nan balaku31
Contoh 4: (Layang-layang terbang
Layang-layang tabang malayang melayang)
(Sugi-sugi pagaran benih)
Sugi-sugi pagaran baniah (Elok benar orang sembahyang)
Elok bana urang sumbayang (Hati suci mukanya jernih)
Hati suci mukonyo janiah
Contoh 5: (Berdegar-degar bunyi pedati)
Gadaga gadaguah bunyi padati (Membawa muatan sangatlah
Mambao muatan sangeklah banyak banyak)
(Jika takut hidup akan mati)
Kok takuik hiduik ka mati (Buatlah amal banyak-banyak)
Bueklah amal banyak-banyak32
224
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Pantun pada contoh (1) dan (3) berisi ajaran bahwa Allah s.w.t. adalah tempat
kembali semua urusan-- semua hal yang terjadi berada di bawah kekuasaan Allah
s.w.t.. Semua yang ada di langit dan di bumi serta di antara keduanya adalah
milik dan berada dalam kekuasaan Allah. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat
berbuat sekehendak hatinya. Pantun pada contoh (1) mengingatkan kembali,
khususnya kepada orang-orang yang sedang menghadapi masalah berat yang
sulit dipecahkan atau sulit dicarikan jalan keluarnya, bahwa jalan keluar yang
terbaik ialah berserah diri kepada Allah s.w.t. dan jangan putus asa karena
Allah adalah tempat kembali segala urusan. Begitu pula pantun pada contoh
(3) , yang mengajarkan bahwa Allah mahakuasa. Manusia boleh berencana,
tetapi keputusan akhir berada di tangan Allah. Sementara, pantun pada contoh
(2) dan (5) berisi ajaran bahwa harta tidak akan dibawa mati, hanya amal yang
akan menjadi bekal di akhirat. Pantun ini mengingatkan kembali ajaran ini,
khususnya kepada orang kaya yang telah menikmati kesenangan hidup di dunia
agar tidak lupa bahwa hidup di dunia hanya sementara saja. Manusia yang
hidup di dunia ini akan meninggal dan hanya amallah yang akan diperhitungkan
setelah ia meninggal. Oleh sebab itu, manusia hendaklah beramal sebanyaknya
untuk bekal di akhirat. Pantun pada contoh (4) mengungkapkan pribadi orang
yang salat-- hati suci dan wajah bersih.
Syair/Nazam
Dalam kesusastraan Minangkabau, istilah syair dan nazam sering digunakan
secara substitutif33 . Pada umumnya, kedua istilah itu digunakan secara
bergantian oleh pengarang di dalam syair-syairnya. Sebagai contoh dapat dilihat
dalam syair yang berjudul Irsyâd al-‘awâm pada Menyatakan Maulud Nabi
‘alaihi salam (karangan Abdul Karim bin Muhammad Amrullah al-Danawi). Bait
kedua dari syair itu menyatakan:
Ammā ba’du inilah nazam
Syair bernama Irsyâd al-‘awâm
Adab Maulud ada di dalam
Karangan si jahil fakir yang dawām 34
Hal yang sama juga dapat dilihat dalam Nazam Ratap Fatimah. Baris ke-1,
bait ke-1 berbunyi: “Inilah Nazam Ratap Fatimah” dan baris ke-3, bait ke-
36 berbunyi: “Disudahi syair dengan assalammualaikum”35 . Dua contoh di
atas memperlihatkan bahwa istilah syair dan nazam digunakan para penyair
Minangkabau dengan pengertian yang sama.
Berbeda dengan mantra dan pantun yang bersifat lisan, syair atau nazam
merupakan sastra tulis yang banyak ditemui dalam bentuk manuskrip (naskah)
225
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
bertulisan Arab-Melayu (Jawi). Syair yang bersajak a a a a atau, kadangkala,
juga bersajak a b a b ini tidak hanya berisi cerita yang berhubungan dengan
ajaran dan nilai Islam, tetapi juga berisi perdebatan, seperti tentang paham
keagamaan yang bertentangan. Syair bisa juga dipakai untuk mengisahkan
suatu peristiwa sejarah yang terjadi di Minangkabau atau bahkan otobiograi
pengarang. Contohnya, masing-masing, dapat dilihat pada Syair Rukun
Haji (Syair Mekah dan Madinah) (Syeikh Daud Sunur), Syair (Nazam) Dar al-
Mawa’izah (Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi atau Syeikh Bayang), Syair
Perang Kamang (Haji Ahmad), dan Syair Sunur (Syeikh Daud Sunur).
Syair Rukun Haji berisi ajaran tentang haji. Syair Dar al-Mawa’izah adalah syair
pembelaan terhadap tarekat Naqsyabandiyah dan berisi perdebatan tentang
tawassul, rabithah, dan wasilah, yakni menjadikan guru sebagai mursyid dan
penolong ibadat dan tawadhuk kepada Allah. Akan tetapi, perdebatan ini tidak
sampai menyerang keyakinan36 Syair Perang Kamang berisi penderitaan atau
kisah sedih masyarakat Kamang dalam Perang Kamang yang terjadi pada 1908
M. Dalam kisah sedih itu, pengarang juga menceritakan dua orang ulama, yakni
Syeikh Abdul Manan dan Haji Ahmad (pengarang), yang dituduh dan ditahan
karena memberi azimat tahan peluru kepada setiap orang Kamang yang
berperang melawan Belanda. Hal ini tampak dalam kutipan di berikut ini:
….
Dan lagi pula waktu itu
Beliau tertuduh di zaman itu
Memberi azimat satu per satu
Tiap-tiap orang khabarnya itu
Azimat itu khabarnya orang
akan dibawa terus berperang
tidak talok piluru37 menentang
yaitu itnah kepada orang gadang
….
Kesalahan kamu banyak macamnya
Membuat azimat mula pertama
Memberi orang jangan talok di piluru
Menanam di dalam pintu gapuro38
…..
Syair Sunur berkisah tentang kesedihan yang dialami ‘aku lirik’ (sang dagang/
pengarang sendiri) di rantau bernama Trumon (Tarumun) di pantai barat Aceh
dan tentang kerinduannya pada kampung halamannya. Di rantau, sang dagang
226
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
merasa tidak dirindukan oleh orang sekampungnya, Sunur, bahkan juga
oleh anak perempuannya. Ia, sang penyair, secara batin sangat menderita.
Kerinduannya pada anak perempuannya menambah penderitaan batinnya .
Wahai anak hendaklah syukur
Masuk termimpi masaku tidur
Siang di Tarumun malam di Sunur
Rangkai hatiku rasakan hancur
Tersentak ayah pada tengah malam
Bulan pun terang cuaca alam
Tampaklah gunung jeram-menjeram
Hati yang rindu remuk di dalam
Bangunlah ayah daripada tidur
Bangkit sekali duduk terpekur
Terdengar ombak berdebur
Tidaklah obah rasa di Sunur
Jikalau ayahanda menjadi bayan
Lengkap jo sayap kedua tangan
Ayahanda terbang menyisi awan
Menjelang Sunur kampung halaman39
Syair-syair Minangkabau, pada umumnya, merupakan karya para ulama. Selain
nama-nama ulama yang telah disebutkan di atas, ulama-ulama lain yang
menulis syair ialah Syeikh Sulaiman al-Rasuli (Syair Syeikh Muhammad Taher
Jalaluddin al-Falaki, Syair Yusuf dan Salehan); Haka (Syair Muhallil); Syeikh Chatib
Muhammad Ali al-Padani (Syair Burhanul Haq); dan Labai Sidi Rajo Sungai Puar
(Syair Nahu, Syair Nabi Bercukur, dan Nazam Kanak-kanak 40(Yunus, 1999:
27). Para ulama penyair tersebut, pada umumnya, berasal dari dua kelompok
keagamaan yang berpolemik, yakni Kaum Tua (kaum Tradisionalis) dan Kaum
Muda (Kaum Modernis).41 Sejumlah syair atau nazam tersebut merupakan karya
pendamping terhadap beberapa naskah (buku) yang mereka tulis berkenaan
dengan polemik keislaman antara Kaum Tua ,yang penganut tarekat, dan Kaum
Muda, yang skeptis terhadap tarekat dan bahkan juga antar-penganut tarekat
sendiri42. Salah satu persoalan yang mengundang polemik antara Kaum Tua dan
Kaum Muda adalah mengenai masalah pengucapan niat (ushalli) dengan keras
(jahar) atau tidak keras (sir) sebelum salat didirikan. Hal itu, misalnya, tergambar
dalam syair berjudul Thalabus Shalat karya Syeikh Bayang.43
227
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Sebagaimana pantun, beberapa syair karya para ulama tersebut, kemudian,
juga ditampilkan atau dipertunjukkan untuk kepentingan syiar ajaran atau nilai
Islam. Syair Salawat, Nazam Ratap Fatimah, Nazam Nabi Bercukur, Nazam
Bulan Terbelah, Nazam Nur Muhammad, dan Nazam Kanak-Kanak adalah
contoh dari syair yang sarat dengan nuansa ke-Islam-an. Syair atau nazam
tersebut didendangkan dengan irama tertentu dalam tradisi yang dikenal
dengan Banazam yang terdapat terutama di wilayah Pariaman dan Solok.
Syair Salawat Dulang
Syair Salawat Dulang adalah syair yang didendangkan dalam pertunjukan
salawat dulang44. Salawat dulang merupakan sebuah bentuk pendendangan
syair yang berisi ajaran Islam dengan diiringi tabuhan dulang secara kelompok
(group). Menurut Adriyetti Amir, Syair Salawat Dulang dikarang oleh ulama
dalambentuknaskah.SyairiniadalahhasiltafsirandarisejumlahayatAlquran
dan/ atau Hadis. Akan tetapi, naskah syair tersebut disalin kembali oleh para
(calon) tukang salawat (pemain salawat dulang) untuk kemudian dihafalkan dan
didendangkan dalam pertunjukan salawat dulang 45.
Syair Salawat Dulang mengandung kaji atau ajaran tentang berbagai
masalah,yang meliputi ibadat (ubudiyah), sosial (muamalah), iman (tauhid),
dan tasawuf. Ajaran ini, seperti halnya dengan pengetahuan tentang rukun
Islam, rukum iman, kalimat tauhid, isra’ dan mi’raj, berisikan juga keharusan
mempelajari dan mengerjakan salat, mempunyai sikap yang tidak sombong dan
saling menghormati antar-sesama manusia, dan memahami asal-usul kejadian
manusia. Ajaran tersebut antara lain menyimpan pesan moral keagamaan, seperti
jangan meninggalkan salat karena salat tiang agama. Bagi yang meninggalkan
salat, kerugian akan menghampirinya karena nerakalah tempatnya kelak.
Berkenaan dengan salat (sembahyang), misalnya, syair ini mengatakan:
Mano sagalo andai dan tolan
Jikalau sungguah sayang di badan
Patuik sumbayang ka kito rusuahkan
Di aka singkek di pikiran kurang
Tidak mangapo tidak baruang
Asa lai tantu dipaham sumbayang
Kepeang dicari ka untuak urang
Eloklah tampuah jalan nan tarang
Jalan nan luruih kan ado tabantang
Anggan manampuah tantulah malang
228
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Aratinyo jalan wahai sahabat
Iyolah rukun sarato sarat
Itulah jalan dek urang sari’at
Siapo maninggakan tantulah sasek
(Wahai segala handai dan tolan
Jikalau sungguh sayang akan badan
Patut sembahyang kita rusuhkan
Karena akal pendek pikiran kurang
Tidak mengapa tidak ber-uang
Asalkan tahu makna sembahyang
Uang dicari akan untuk orang
Eloklah tempuh jalan yang terang
Enggan menempuh tentulah malang
Artinya jalan wahai sahabat
Ialah rukun beserta syarat
Itulah jalan bagi orang syari’at
Siapa meninggalkan tentulah sesat)46
Penggalan teks tersebut di atas berisi dakwah atau pengajaran tentang
salat (sembahyang). Dalam Islam, salat adalah rukun Islam yang kedua dan
tiang Islam. Salat adalah ibadah yang sangat mendasar dan tidak boleh
ditinggalkan. Mereka yang meninggalkannya termasuk orang-orang yang
sesat. Dibandingkan dengan uang yang dicari mungkin tidak untuk diri sendiri,
tetapi salat merupakan bekal diri yang dibawa ke akhirat. Uang menjadi tidak
ada artinya, jika seseorang tidak salat. Jadi , menurut pengarang, ketiadaan
uang (harta) bukanlah masalah bagi seorang Islam, asalkan ia mengerjakan salat
dan mengetahui makna salat yang dikerjakannya itu.
Berkenaan dengan iman, teks menyatakan bahwa hanya amal dan iman yang
akan menjadi teman di kubur setelah seseorang meninggal. Menjelang hari
berbangkit tiba (setelah kiamat), amal dan iman yang akan menjawab segala
pertanyaan yang diajukan malaikat. Begitu pula halnya dengan iman. Hanya
keteguhan iman yang akan bisa melancarkan jalan seseorang masuk surga.
Kasih sayang kaum kerabat hanya sampai liang lahat. Setelah lahat ditimbun,
semua kasih sayang saudara di dunia selesai sudah. Tetapi amal dan iman di
dunia akan menemani dan mengasihi sejak di kubur sampai akhirat nanti. Jika
tidak, seseorang itu akan teraniaya dan akan menerima nasib buruknya:
229
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Apobilo kito sampai wafat
Datang samuonyo kaum kirabat
Maunyi kito langau jo lalat
Mangantarkan kito ka tampek lahat
Jikalau kito tibo di lahat
Kubua urang timbun ajalah tamat
Urang nan banyak samonyo aman
Kasiah ka sudaro sayanglah tamat
Kalau kasiah ka amal jo iman
Di dalam kubua manjadi kawan
Tanyo malaikat nan nyo lapehan
Mananti kiamat nan didatangan Tuhan
Hari kiamat jikalau tibo
Nan imantu lakehlah basugiro
Manjawab tanyo apo nan tibo
Salamaik badan pulang ka sarugo
(Apabila kita sampai wafat
Datang semuanya kaum kerabat
Menemani kita langau dan lalat
Mengantarkan kita ke tempat lahat
Jikalau kita tiba di lahat
Kubur orang timbun ajallah tamat
Orang banyak semuanya aman
Kasih kepada saudara sudahlah tamat
Kalau kasih kepada amal dan iman
Di dalam kubur menjadi kawan
Tanya malaikat yang dijawab
Menanti kiamat didatangkan Tuhan
Hari kiamat jikalau tiba
Iman lekaslah bersugira
Menjawab tanya apa yang tiba
Selamat badan pulang ke surga)47
230
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Persoalan sikap dalam berhubungan dengan sesama manusia-- seperti dalam
berkata-kata tidak sombong dan tidak kasar-- juga disinggung dalam Syair
Salawat Dulang ini. Semua hal yang ada dan diperoleh manusia adalah nikmat
dari Tuhan dan semuanya akan diperiksa di hari kiamat. Oleh karena itu, lidah
yang diberikan Tuhan, jangan sampai berkata menyakiti kawan atau orang
lain. Begitu pula, pikir dahulu sebelum berkata sombong kepada kawan atau
orang lain, baik tentang sesuatu yang dipunyai maupun sesuatu yang tidak ada
faktanya ada pada diri.
Sagalo pambarian nan barupo nikmat
Akan dipareso di hari kiamat
Baitulah kato Tuhan nan hayat
Karano baitu wahai sahabat
Mampagunokan lidah andaklah imat
Nak jaan cilako nan kanai ujian
Jangan bacando satangahnyo kawan
Lidahnyo lanteh bak birapo tajam
Centang parenang manyindia kiasan
Batangguang jawab tatapi bukan
….
Tadorong ka kawan eloklah kana
Eloklah pikia budi katajua
Mangecek sombong kawan diota
Ota nan gadang bak ombak di lauik
Mangatoan awak kayo nan cukuik
Manaruah ameh lah baimpik-impik
Ameh jo perak lah basumpik-sumpik
Sampai rang liek manjadi tukang rumpuik
Gilo manjinjiang sabik jo rajuik
Pinggang lah gadang daripado paruik
(Segala pemberian berupa nikmat
Akan diperiksa di hari kiamat
Begitulah kata Tuhan yang hayat
Karena itu wahai sahabat
Mempergunakan lidah hendaklah hemat
Agar tak celaka yang kena ujian
Jangan seperti setengahnya kawan
Lidahnya lancang betapa tajam
Centang perenang menyindir kiasan
Bertanggung jawab nyatanya bukan
231
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
….
Terdorong kata eloklah ingat
Eloklah piker budi terjual
Berkata sombong kawan dibohongi
Bohong besar bagai ombak di laut
Berkata saya kaya raya
Menyimpan emas bertumpuk-tumpuk
Emas dan perak bersumpit-sumpit
Sampai dilihat menjadi tukang rumput
Gila menjinjing sabit dan rajut
Pinggang besar daripada perut)48
Selain itu, syair ini juga berkisah tentang pengetahuan dalam dunia tasawuf,
seperti kisah tentang asal-usul kejadian manusia. Manusia terdiri atas roh dan
tubuh. Roh berasal dari nur, sedangkan tubuh berasal dari tanah. Sebagai
manusia, seseorang itu dianjurkan untuk mengetahui asal-usul kejadiannya.
Jika manusia mengetahui asal-usulnya, kecintaan, kedekatan, dan pengabdian
kepada Allah menjadi sempurna. Hal itu diperlihatkan oleh larik-larik dalam
sejumlah bait, seperti tampak di bawah ini.
Insan bapikialah kamu
Dari mano di asal dahulu
Asanyo nyao indak ulemu
Asanyo tubuah indak kami patantu
Itu nan alah asa ba-asa
Lai manyuruah kito mangatahui asa
Asanyo tubuah jo asa nyao
Wajiblah dikaji jaanlah tingga
Kalau dipatarang asa kajadian
Balun samparono pandang ka Tuhan
Karano baitulah tolan
Eloklah kaji asa kajadian
Asanyo nyao ataupun aruah
Daripado nur pangabdinyo paluah
Sajarahnyo itu eloklah tampuah
Karano jadinyo jo ati nan sungguah
232
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Asanyo tubuah ataupun badan
Daripado bumi nan samato Adam
Ditangkok Jibrail tanah saganggam
Adopun asanyo si parampuan
…......49
Nazam Ratap Fatimah
Nazam Ratap Fatimah yang ditemukan dalam bentuk naskah (manuskrip) ini
berkisah tentang Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad s.a.w., yang
berduka ditinggal wafat ayahnya (ratap Fatimah). Kemudian, kisah berlanjut
mengenai kejadian di akhirat (ratap zaman) dan tentang ajaran atau tarekat
yang harus dipelajari, dipegang dan diamalkan umat Islam agar selamat di akhirat
(ratap kaji dipacik ‘dipegang’). Syair ini disalin oleh Angku Bilal di Supanjang, Limo
Kaum, Tanah Datar, dari sebuah naskah yang berasal dari Pariaman pada tahun
1960. Tidak sama dengan wilayah asalnya, syair ini didendangkan di rumah duka
dengan irama ratap. Kemudian, pembacaan atau pendendangan syair dengan
irama ratap ini menjadi satu tradisi meratap di rumah duka. Sekitar tahun 1975,
syair ratap ini dibawa ke surau untuk dikaji. Surau Tembok Supanjang adalah
surau yang pertama menjadi tempat pengajiannya dan dipimpin oleh Angku
Bilal. Tujuan pendendangan Syair Ratap Fatimah ini adalah untuk menggantikan
tradisi maratok50 yang ada di beberapa daerah di Minangkabau, terutama di
daerah Tanah Datar, tetapi dilarang dalam Islam.51
Sebagaimana telah disinggung pada bagian terdahulu, Nazam Ratap Fatimah
ini terdiri atas tiga bagian ratap. Bagian “ratap Fatimah” mengisahkan Fatimah
berduka kerana ditinggal wafat ayahnya. Selain Fatimah, orang Islam dan sahabat
yang lain juga turut berduka atas kematian Nabi, karena Fatimah dan semua
orang Islam mencintai dan menyayangi beliau. Ajaran Islam yang disampaikan
Nabi selama ini akan tetap menjadi pegangan. Semua orang berharap semoga
Nabi tetap mendoakan orang mukmin, agar keimanan mereka bertambah kuat.
Fatimah dan juga orang Islam yang lain selalu ingat kepada Nabi, baik dalam
mengaji, maupun dalam salat. Pendek kata, meskipun Nabi telah tiada, iman
kepada Allah tidak dilupakan, karena iman kepada Allah adalah suluh dan
kepada Allah -lah semua kembali. Oleh karena itu, Fatimah dan orang mukmin
yang lain hanya dapat berdoa dengan sabar untuk keselamatan Nabi di akhirat,
dan juga untuk semua arwah orang mukmin. Sepeninggal Nabi, umat Islam
terbahagi ke dalam berbagai golongan, tetapi semua orang yakin dunia ini
seumpama berkebun, yang hasilnya akan dinikmati di akhirat.52
233
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Bagian “ratap zaman” menceritakan kejadian di Padang Masyhar, akhirat, tempat
berkumpul manusia di depan Nabi Muhammad s.a.w. untuk pertimbangan
dosa dan pahala masing-masing. Orang yang banyak pahala akan masuk
surga, sedangkan yang banyak dosa akan masuk neraka. Setelah ditimbang,
mereka yang banyak pahala akan diberi pakaian yang bagus dan duduk di
kursi di sebelah Nabi. Setelah itu, mereka akan berjalan mengiringi Nabi naik
ke surga, disambut para bidadari, diberi minuman, makanan, dan buah-buahan
yang sudah terhidang di atas permadani. Sebaliknya, mereka yang banyak dosa
akan berdiri tanpa pakaian, berbau busuk dengan rambut yang kusut, merasa
sedih melihat orang berjalan bersama Nabi menuju surga. Mereka bertangisan
meminta pertolongan Nabi dan meminta ampun kepada Allah karena menyesal
telah melupakan akhirat. Akan tetapi, Nabi tidak dapat menolong dan Allah
pun tidak akan memberi ampunan lagi. Mereka akan masuk neraka bersama
dengan setan. Oleh karena itu, manusia hendaklah menjalankan ajaran Nabi
Muhammad s.a.w. dan berpegang teguh pada Al Qu’ran dan hadis.53
Bagian “ratap kaji dipacik” mengisahkan ajaran yang harus dipelajari, dipegang
dan dilaksanakan umat Islam, agar tidak masuk neraka. Ajaran itu dibicarakan
dalam pandangan tarekat. Intinya adalah tauhid “keesaan Tuhan”, bahwa
Allah hanya satu. Orang yang kaya adalah orang yang imannya teguh dan
amalannya taat. Amalan pertama yang harus dikerjakan adalah shalat, karena
merupakan tanda orang mukmin. Orang yang tidak shalat tidak ada gunanya
dan ia akan meninggal dalam kehinaan . Yakinlah kepada wujud yang Mutlak,
ikhlas kepada Allah, perbanyak zikir, taubat lahir dan batin serta jangan lupa
diri. Orang mukmin harus memperkukuh iman dengan sabar dan reda, selalu
membaca syahadat dan selawat Nabi. Zat Allah adalah yang disembah dan
yang menyembah adalah sifat. Kedua-duanya, zat dan sifat, tidak bercampur.
Isi persembahan adalah iman, Islam, tauhid, dan makrifat. Jika ingin memegang
Nuktah, terlebih dahulu diteguhkan syariat. Nuktah awal hakikat Allah, yang
awalnya tiada. Oleh karena itu, laranglah orang sampai ke sana.54
Nazam Ratap Fatimah ditulis atau disalin oleh ulama, khususnya dari kelompok
ulama tarekat. Tanda-tanda kehadiran tasawuf di dalamnya dapat dilihat dalam
tauhid, zikir, makrifat, dan istilah atau simbol yang sangat umum dalam tasawuf.
Tauhid adalah penyaksian bahwa Tuhan itu satu. Ia adalah inti ajaran Islam.
Sementara itu, tasawuf adalah jalan untuk merealisasikan tauhid. Inti tasawuf
hanya satu, yaitu jalan rohani berdasarkan tauhid55. Dalam ”ratap zaman”,
tauhid disimbolkan sebagai laut yang susah dengan ombak yang besar. Jalan
tauhid adalah wujud mutlak, yang akan dipegang selama-lamanya. Namun,
dalam banyak aliran tarekat, semuanya tetap berintikan tauhid. Gambaran itu
dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
Syariat kaji dipegang
Dipegang benar siang dan malam
Ingat-ingat di laut tauhid
234
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Lautnya susah ombaknya besar
Jalan tauhid wujud mutlak
Bak dipegang selamanya
Jangan ragu karena kaji banyak
Kalimat tauhid nan isinya
Di dalam taubat dipegang arti
Di kalimat semata-mata
Jangan rusuh di kaji tidak dapat
Asalkan tauhid selama-lamanya56
Laut digunakan sebagai simbol untuk mengisahkan Tuhan yang tidak terhingga Hampir setiap bait
luasnya dan ombak melambangkan ketidakberhinggaan kewujudan dan dalam bagian “ratap
pengetahuan-Nya. Sehubungan dengan itu, laut sering dipakai pengarang sui
sebagai tamsil untuk menggambarkan perjalanan seorang sui menuju Yang Fatimah” diawali
Satu, sedangkan ombak dipakai untuk menggambarkan luasnya ilmu tauhid dengan kalimat Lā ilāha
yang banyak kandungannya (Hadi 2001: 94). Hal itu merupakan peringatan illallāh. Pengulangan ini
terhadap susah dan bahaya yang akan dihadapi oleh orang yang akan mengikuti
perjalanan itu. Sementara itu, kalimat tauhid yang berbunyi Lā ilāha illallāh (tiada menunjukkan bahwa
Tuhan selain Allah) adalah bacaan zikir yang penting dalam tasawuf. Zikir adalah ia harus dilafalkan
peringkat kerohanian dalam tasawuf, yakni mengingat atau menyebut Allah
dengan berbagai ucapan pemujaan pada Allah. Zikir adalah langkah pertama berulang-ulang, setiap
di jalan cinta kepada Allah57. Tujuan zikir ialah supaya orang salik menjadi lebih hari dan waktu.
dekat kepada Tuhan. Hampir setiap bait dalam bagian “ratap Fatimah” diawali
dengan kalimat Lā ilāha illallāh. Pengulangan ini menunjukkan bahwa ia harus
dilafalkan berulang-ulang, setiap hari dan waktu. Pemakaian kalimat seperti itu
dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Lā ilāha illallāh ayah kandungku
Kemana anak pergi mengadu
Umat nan tinggal jadi keliru
Apabila lagi akan bertemu
Lā ilāha illallāh Tuhan habibi
Junjungan tidak tinggal di bumi
Sudah dibawa Tuhan illahi
Umat nan tinggal berduka hati
Lā ilāha illallāh ayah kandung badan
Turun irman daripada Tuhan
Mengucap anak ayah tinggalkan
Jikalau sudah ayah pergantungkan
235
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Lā ilāha illallāh tempat memuji
Disebut jua patang dan pagi
Batin pituah ayah kandung kami
Kepada Nur bermohon diri58
Selain itu, sifat-sifat Tuhan juga menjadi bacaan zikir. Beberapa sifat Tuhan yang
disebut adalah rahman (Yang Maha Pengasih), rahim (Yang Maha Penyayang),
sami’ (Yang Maha Mendengar), bashir (Yang Maha Melihat), halim (Yang Maha
Penyantun), ghofur (Yang Maha Pengampun), qohar (Yang Maha Perkasa), dan
karim (Yang Maha Mulia). Sementara itu, akhir perjalanan sui adalah kesaksian
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pengenalan tentangnya secara mendalam
dan hakikat penampakan-Nya (tajalli) di alam makrifat.59 Makna makrifat
ialah mengetahui Allah dari dekat, sehingga dapat melihat-Nya dengan lebih
nyata dalam hati. Pada tahap makrifat ini, sui diharapkan telah mempunyai
hubungan yang akrab dengan Allah, dalam bentuk pengetahuan dengan hati;
sang sui telah melihat Tuhan dengan mata hatinya60 (Al-Barsany, 2001: 27),
seperti tampak dalam kutipan di bawah ini.
Senantiasa siang dan malam
Sungguh di dalam makrifat
Kalau nan kaya kata Tuhan
Iman teguh amalan taat
Kalau nan isi persembahan
Iman Islam tauhid makrifat
Jangan berdaki umpama bulan
Nak sampai pandang kepada zat
(Zuriati, 2007: 273-274)
Shalat dan zikir adalah dua perbuatan yang diperlukan dalam perjalanan sui
untuk bergerak maju61 . Salat adalah tanda orang mukmin. Orang yang tidak
salat akan hina, lebih hina daripada anjing dan babi setelah ia mati. Selain itu, teks
nazam juga m enjelaskan rukun pertama salat, yakni bersuci. Namun, seorang
mukmin tidak cukup hanya salat, melainkan harus tahu apa arti salat, siapa yang
disembah, dan siapa yang menyembah. Hal itu dapat dilihat di bawah ini:
Syarat sembahyang nan kita kaji
Sembahyang jangan tempo-tempo
Kaya besar berpangkat tinggi
Kalau tidak sembahyang tidak perguna
236