The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-07 19:47:12

Burung-Burung Manyar Sebuah Roman

by Y. B. Mangunwijaya

Keywords: by Y. B. Mangunwijaya,Burung-Burung Manyar Sebuah Roman,sastra ,puisi,syair

Sebuah Roman

Y.B. MANGUNWIJAYA

Burung – Burung Manyar

Mendapat pengahargaan Tulis
Asia Tenggara 1983

SOUTH EAST ASIA
WRITE AWARD
1983

Pengarang cerita ini memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang banyak serta
pengetahuan tentang manusia yang mendalam. Nadanya di sana-sini humoristis,
kadand-kadang tajam mengiris. Ia menganlisa diri dan mengejek diri tak tanggung-
tanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa. Bahasanya segar dan gurih, ngelotok,
kontemporer. Isinya penuh pengalaman dahsyat, keras dan kasar, tapi juga romantik
penuh kelembutan dan kemesraan.
( H.B. Jassin )

Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-burung Manyar mencoba melihat
revolusi Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari
segi Belanda, dengan memasang protagonis orang Indonesia yang anti republik. Nilai
buku in terutama terletak pada keberanian pengarang untuk mengisahkan konflik jiwa
seorang anti republik semasa revolusi, segi informasinya tentang kehidupan tentara
KNIL dan gaya humor pengarang kadang-kadang terselip ejekan yang yang penuh
kejutan.
( Jakob Sumardjo )

Dengan bahasa yang khas “mangunwijayaan”, kata-kata majemuk berkadar tinggi
untuk menampilkan sebanyak mungkin makna; Lucu dan sarat sindiran, novel ini
mengungkap kepalsuan sekaligus “jatidiri dan citra pengungkapan” manusia. Lalu
novel ini menutup diri dengan kesimpulan yang kaya makna, yang tak layak
dikemukakan lain daripada apa yang tertulis pada bukunya.
(Parakitri, harian kompas)

Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan
leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita
sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu.
( Subagio Sastrowardoyo, Tempo )

Banyak hal yang menjadikan buku ini menarik. Bukan saja gaya bercerita Y.B.
Mangunwijaya yang khas, bahasanya yang hidup dan mampu membawa pembaca ke
alam pikiran sang tokoh. Juga bulan lembaran sejarah yang dibuka kembali, dengan
titik pandang yang hingga kini jarang ditemukan dalam sastra Indonesia…..
( Mariane Katopo, Sinar Harapan )

Selain kaya dan dalam, dipandang dari sudut pusat pengisahan, roman ini menarik.
Cara menghadirkan tokoh pun diperhitungkan dengan cermat.
( Th. Sri Rahayu Prihatmi, Universitas Diponegoro )

Sebuah Roman

Y.B. MANGUNWIJAYA

Burung – Burung
Manyar

Dipersembahkan kepada
Ayah - Ibu tak terkenal para pejuang

Copyright © pada Djambatan
Anggota I K A P I

Cetakan pertama, Agustus 1981
Cetakan kedua, Desember 1981

Cetakan ketiga, Juni 1983
Cetakan keempat, Maret 1986
Cetakan kelima, Oktober 1988
Cetakan keenam, Agustus 1993
Cetakan ketujuh, Oktober 1996
Cetakan kedelapan, Agustus 1999
Cetakan kesembilan, Oktober 2000
Cetakan kesepuluh, Juli 2001
Cetakan kesebelas, Agustus 2001
Cetakan kedua belas, Agustus 2003
Cetakan ketiga belas, Mei 2004

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan ( K D T )

Mangunwijaya, Y.B.
Burung - Burung Manyar : Sebuah Roman / Y.B. Mangunwijaya--Cet. 13

- Jakarta : Djambatan 2004
Viii, 319 hlm. ; 21 cm

I S B N 979-428-528-5
I. Judul.

346.7

Percetakan Ikrar Mandiriabadi

Isi

VI BLENCONG
VII PRAWAYANG

BAGIAN I : 1934—1944
3 1. Anak Kolong
9 2. Anak Emas
22 3. Buah Gugur
29 4. Kuncup Mekar

BAGIAN II : 1945—1950
35 5. Anak Harimau Mengamuk
44 6. Merpati Lepas
48 7. Singa Mengerti
58 8. Banteng-banteng Muncul
62 9. Elang-elang Menyerang
70 10. Macan Tutul Meraung
75 11. Ayam-ayam Disambar
83 12. Cendrawasih Terpanah
97 13. Burung Kul Mendamba

BAGIAN III : 1968—1978
105 14. Jurang Besar
118 15. Firdaus Kobra
129 16. Nisan Perhitungan
137 17. Gunung Rawan
142 18. Aula Hikmah
153 19. Pendopo Perjumpaan
159 20. Rumah Pertanyaan
171 21. Istana Perjuangan
180 22. Sarang Manyar Baru

V

Blencong

Pementasan wayang kulit tidak akan bisa dinikmati jika layar atau kelirnya tidak
diterangi blencong. Maka, meminjam istilah blencong itulah, roman sejarah berjudul
Burung-Burung Manyar karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun
ini kembali kami terbitkan. Kali ini untuk cetak ulang yang ke-13 kalinya.

Maksud pencetakan ulang ini tak lain untuk memberikan blencong—dalam arti
pencerahan—kepada para pembaca tentang berbagai kemungkinan cara pandang
atas sejarah. Roman sejarah ini, menggambarkan tentang perspektif atau cara
pandang yang berseberangan dengan pandangan yang berlaku umum tentang siapa
pejuang dan siapa pemberontak.

Semakin merasuk ke dalam bangunan cerita dari karya besar almarhum Romo
Mangun ini, pembaca niscaya akan terpengaruh oleh berbagai argumen, realita (
dalam karya ini ), dan sejumlah konflik batin yang akan menjelaskan mengapa Seto
tetap memilih pro-Belanda.

Dengan sudut pandang “pro-Belanda”, Romo Mangun membangun cerita ini
secera jujur dan apik. Tampaknya Romo Mangun sedang menunjukkan kepada
pembaca tentang adanya pandangan lain, bahkan berseberangan, atau makna
kepahlawanan, loyalitas, dan cinta tanah air.

Jakarta, April 2004 Penerbit
VI

Prawayang

Nun di kala itu, di Widura Kandang negeri Ngamarta, tumbuhlah si gadis gesit
bagaikan burung prenjak; Rarasati atau Larasati namanya. Teremban kehangatan
asuhan cinta arif sang ayah Antapoga, gembala ternak istana, dan istrinya Nyai
Sugopi, gadis Rarasati memekar.

Hatta kisah berwarta, pondok Antapoga menerima tugas mulia namun berat,
dijadikan tempat berlindung putera puteri Sri Baginda Raja Basudewa dari negeri
Mandura, ialah Kakrasana dan Narayana berserta adik perempuan Rara Ireng.
Ketiga anak raja itu diungsikan karena terancam terbunuh oleh abang tiri jahat,
Kangsa.

Kakrasana, wahana wahyu dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya, adalah
mahluk seta. Artinya serba putih darah, daging, serta segala-galanya sampai ke
tulang maupun sarafnya; sedangkan Narayana, wahana wahyu dewa Wishnu, justru
hitam legam tulang, daging, darah, saraf dan segalanya. Namun mereka berayah
satu, raja Basudewa.

Serba indah dan berbahagialah masa kanak-kanak ketiga putera puteri raja itu di
Widura Kandang bersama Rarasati, bunga padang merdeka. Rarasati kelak
dipersunting pahlawan Arjuna. Begitu juga Rara Ireng, yang setelah dewasa
bernama Sumbadra. Narayana selaku raja Kresna negeri Dwarawati menjadi ahli
siasat utama para Pendawa. Naumun Kakrasana yang seta, yang bergelar raja
Baladewa, memihak Kurawa. Demi kesetiaannya kepada Herawati, istrinya, dan
ayah mertua, raja Salya dari Mandraka yang merasa wajib berpihak kepada para
Kurawa, agar kerajaan Ngastina jangan pecah. Namun dalam lubuk hati raja Salya
maupun Baladewa, kecintaan kepada para Pandawa tidaklah pernah berhenti
berpijar.

Tetapi apakah Baladewa benar-benar akan memihak Kurawa dalam medan laga
total Bharatyudha Jayabinangun, artinya “ Kejayaan dibangun secara sejati “?
Maka terdengarlah warta “ Kresna mengilhami abangnya yang seta itu untuk
bertapa di Grojogan Sewu (Seribu Air Terjun).

VII

Bagian I
1934 - 1944

1. Anak Kolong

Pernah dengar “anak kolong” ? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok.
Garnisun II Magelang (ucapkan: MakHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah
bilang totok. Jadi KNIL¹⁾ Jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant ²⁾keluaran
Akademi Breda Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun
Mangkunegara. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde Langsung di
bawah Sri Baginda Neerlandia ³⁾saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi
raja Jawa. Terua terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah
seorang nenek canggah⁴⁾atau gantung-siwur ⁵⁾ berkedudukan selir ⁶⁾ Keraton
Mangkunegaran. Soalnya, papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali
itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu
pengasuhku, totok Belanda Vaderland ⁷⁾ sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak
percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan di garnisun, ya anak-anak
kolong yang tersohor kasar

¹⁾ KNIL: Koninklijk Nederlands Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
²⁾ Dari kata luitenant (Bld): letnan.
³⁾ Nederland.
⁴⁾ Nenek dari Nenek.
⁵⁾ Ayah atau ibu dari canggah.
⁶⁾ Istri tak resmi, istri muda.
⁷⁾ Negeri Belanda; secara harfiah: Negeri Bapak.

3

dan tak tahu adat itu; yang blak-blakan sering mengindoktrinasi, bahwa aku ini anak
Jawa Inlander belaka. Sama seperti mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan
kulit Mamiku putih kulit langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab
orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genijk anak babi. Keterangan
kawan-kawanku brandal itu bahkan membuatku bangga, sebab untuk anak normal,
kehidupan brandal anak kolong Inlander jauh haibat daripada menjadi sinyo Londo ¹⁾
yang harus necis pakai sepatu, baju musti harus putih bersih dan segala macam
basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam kurungan.

Bersama anak sersan, kopral dan sepandri ²⁾ yang selalu hitam dan berkulit
ternoda luka-luka di mana-mana, aku benar-benar bisa mengalami firdaus:
berenang di selokan tangsi (telanjang bulat dong! Masakan pakai celana beledu
dan topi matrus ³⁾ yang airnya lezat berwarna coklat “van Houten’s cacao”, segar
dan nyaman menghanyutkan (pakaian diikat di atas kepala) melalui kampung
Bogeman, terus ke Pecinan dan muncul di jembatan di muka Pasar Besar. Mana
sinyo totok bisa. Lalu cepat berpakaian, tentunya serba setengah basah dan
“sipatkuping” ⁴⁾ mengejar, lalu hat-hati membonceng di belakang “motor tai”,
jakni mobil tangki kotapraja yang di mana-mana menyedot dari tangki-tangki
septik WC umum.

Enaknya aduhai putar-putar kota Tidar entah sampai ke mana. Lantas tiba-
tiba bertemu suatu pasukan KNIL yang berbaris dengan tamabur dan terompet,
haah, ini dia! Loncat turun dan ikut berbaris di belakang mereka sambil
menikmati gerak ayunan para Bapak

¹⁾ Belanda.
²⁾ Dari kata Vaandrig (Bld): serdadu klas I, belum kopral.
³⁾ Dari kata matroos (Bld): kelasi.
⁴⁾ Lari tunggang langgang.

4

Kolong itu yang, wahai, haibat iramanya. Seperti dikomputer.
Drèng! Dèrèng…dèrèng dèndèng!
Nanti makan dèndèng cèlèng!
Si Pak Kopral muka bopèng!
Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾
Drèng! nDerèng-derèng Dèndèng!
Sering aku menepuk pinggang sersan komandannya yang semua kami kenal. Ia

hanya melirik saja, mulut agak memulur tersenyum tak kentara. Disiplin dong!
Tentara Kerajaan dikira apa. Tentu saja Mami sama sekali tak suka dengan
kekolonganku. Maklumlah, anak letnan Kerajaan yang bersekolah si Sekolah Dasar
Kaum Eropa, masih ningrat Keraton bahkan Surakarta segala, kok telanjang di
selokan kebak tai; tanpa sepatu keluyuran dengan anak-anak kolong kampungan.
Sampai hitam Dayak aku ini (Mami tidak tahu, orang Dayak kulitnya kuning seperti
Mami) malu ah! Dan setiap aku pulang, terlambat tentu saja, aku dihukum Mami.
Tidak boleh makan poding panili lezat sesudah makan. Tetapi kalau sore hari aku
merengek minta poding jatahku itu, toh Mami memberinya juga. Jadi tak mempan
juga ilmu pendidikan Mamiku itu. Memang Mami jelas tak punya sistem pendidikan
yang berdisiplin. Nah, itu bukti kedua, Mami bukan totok. Bukti ketiga: Mami suka
pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik.

Bukti keempat, dan ini yang paling meyakinkan: Mami sangat cantik. Biasanya
nyonya totok tidak cantik. Barangkali cantik juga, tetapi untuk ukuran sana, negeri
kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri pohon kelapa, di mana lalat-wilis pun
biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf, tidak. Dan bahwa Mami cantik, itu sangat
perlu untuk aku anaknya. Sebab terus terang saja Papi blo’on tampangnya. Gagah
memang, beliau itu. Apalagi kalau berkunjung ke istana.

¹⁾ Lauk pauk terbuat dari kelapa goreng.

5

Sedangkan Papi yang sawo matang dan raden mas ningrat tampak lebih senang di luar
tembok istana. Tetapi itu barangkali karena Mami merasa setengah ratu di
Mangkunegaraan. Disembah para abdi dalem dan tersanjung oleh para wanita istana
yang terkenal cenderung progresip Barat. Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin
gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih
dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten ¹⁾ Lho serius nih!
Kenapa tertawa ? Cuma perempuan cina yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya
Belanda mah, itu kan sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda.
Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri
ningrat Jawa pakai celana ? Krakatau bisa jadi meletus itu nanti! Bila aku menyelinap
ke dapur istana mencari makanan atau haus, sering kudengar para puteri keraton suka
mempergunjingkannya. Ada yang kurang setuju (kurang sreg istilahnya); ada yang
mengatakan: segala yang diperbuat keluarga raja selalu baik. Tetapi tentang Mami
yang putih mulus dan kelahiran asli Belanda itu (memang Mami lahir di Utrecht,
Negeri Belanda) semua memujinya. Betapa sangat paham beliau tentang primbon-
primbon ²⁾ Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak
sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan nenek moyang.

“Raden Mas Sinyo mau spekuk enak? Jeng Manganti, coba tolong ambilkan
spekuk dari almari untuk Raden Mas Bagus Sinyo. Aduuh, siapa nanti yang akan jadi
mertuanya ya ? Cocoknya dengan Den Ayu Arumbrangta (atau entah semacam
itu).”… nah terpaksa ketawa pahit jengkel aku. “Mbakyu Mergantun, kau dengar apa
yang Den Mas Sinyo katakan tentangku hihihi… aduh memang anakletnan perak
benar… dia bilang aku namanya Ibu Spekuk…hihihi.” Tolol!

¹⁾ Minta ampun.
²⁾ Petunjuk-petunjuk mistik tentang hari-hari baik atau buruk.

6

Setiap kami pulang dari kol istana, bertambahlah keyakinanku, bahwa tidak ada dunia
yang lebih firdaus daripada dunia anak kolong tangsi Magelang.Tangsi dengan
pohon-pohon kenarinya yang besar dan rindang, dan yang setiap musim merontokkan
ulat-ulat yang membuat noni-noni menjerit, dan yang bahkan minta lebih dijeritkan
lagi oleh lemparan-lemparan anak kolong kami berupa paket-paket ulat yang , nikmat
sekali, membuat mereka panik. Yang melempari noni-noni itu biasanya aku, sebab
aku anak letnan. Anak-anak kopral tentunya tidak begitu berani mengganggu puteri-
puteri ofisir-ofisir, kecuali bila memang dapat aman sungguh-sungguh, bersembunyi
dengan garansi mustahil ketahuan identitas mereka. Kenari-kenari itu buah anugerah
surga yang kami terima (atau lebih tepat, yang kami lempari) dengan penuh syukur.
Bila dimakan isinya yang gurih sesudah kulitnya yang keras kami jepitkan di antara
kosen dan daun pintu. Kulit itu dapat kami buat jadi cincin, dan berlomba-lomba itu
kami poles halus dengan minyaknya sehingga mengkilat di jari-jari. Yang paling sulit
hanyalah menggergaji dan menghaluskan sisa dinding cabang-tiga sektor biji buah
kenari itu sehingga plong bolong jadi cincin. Untuk itu kami harus meminjam kikir
dari Pak Sepandri Sapu (kumisnya seperti sapu ijuk), sopir truk batalyon.

Pernah dalam suatu gejolak sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari
untuk kuhadiahkan kepada Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam
dari Hollands Ambonse School ¹⁾, dua tahun lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam
hati sangat kupuja, karena mengingkatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri
Saharazad dari dongeng Seribu Satu Malam.

¹⁾ Sekolah Dasar untuk anak Ambon, berbahasa pengantar Belanda.

7

Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS ¹⁾, kawan anak
kolong, komplit disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di
kanal, itu lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya
dan yang membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan
hebat antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak
piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl Marx,
bernama Pa van der steur, sampai terpaksa polisi datang karena banyak peluru batu
memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang
kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja lain
berasal dari Pandestiran, sehingga geng Kolong langsung (tanpa sepengetahuanku)
terpaksa membalas penghinaan tadi.

“Tapi bagaimana Si Dora ? Dia sudah terima itu cincin ?”
“Udah! Tapi kan betul yang kubilang dulu. Semua cewek itu anak wéwé ²⁾.
“ Dia gembira menerima hadiah ?”
“Bah! Terlalu amat kelewat gembira.”
“Betul ?”
“Sampai ia tunjukkan suratmu pada semua cewek dan cowok,
Sambil mentertawakan kau. Sudahlah, semua cewek itu brengsek.”
Betul juga! Aku sangat setuju dengan kurirku itu. Tidak Cuma brengsek, tapi gila.
Maka kembalilah aku ke duniaku, berbaris di belakang peleton-peleton infanteri yang
baru pulang dari latihan di Tidar. Lelah tetapi masih gagah.
Drèng! Derèng…derèng dèndèng!
Nanti makan dèndèng cèlèng!
Si Pak Kopral muka bopèng!
Si Mbok Kopral kulit srundèng! ¹⁾
Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng!
Ikke ³⁾ Anak Kumpeni!
Een-twee-drie ⁴⁾ Infanteri.
Siapa braniii, ikke brondong matiii (dor! dor! dor!)
Drèng! nDedèng-derèng Dèndèng.
Soldat! Spandri! Kopral!
Spandriiiiiiiii tiiit-piluiiiit,
Ikke, Kumpeni!
Maaf, nama saya ? Setadewa. Tetapi semua memenggilku Teto.
Entah, memang aneh logika mereka.

¹⁾ Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk anak Jawa, berbahasa pengantar
Belanda.
²⁾ Hantu perempuan.
³⁾ Aku.
⁴⁾ Satu-dua-tiga.

8

2. Anak Emas

Wijen ¹⁾? Aduh cantiknya Den Rara Larasati ! “Wijen ?” dan Mbok Naya menyeka
memanja gadis cilik yang baru saja merebahkan diri duduk di atas amben ²⁾ dan yang
tersenyum manis merayunya. Mbok Naya tertawa geli. “Wijen untuk apa Den Rara ³⁾
?”

“Saya bukan Den Rara. Saya At-tik. Sudah.”
Mbok Naya lebih ketawa lagi, dan temannya, Mbok Ranu di sebelahnya, juga ikut
tertawa, sama-sama terlonjak hati melihat noni Jawa dari Betawi itu lucu, lesung di
pipi, berbahasa Jawa kurang sempurna untuk ukuran lingkungan pangeran keraton,
Surakarta lagi. Anak itu tidak dari Betawi. Dari Bogor. Tetapi untuk kedua pembantu
dapur sederhana itu, semua kota besar di ufuk Barat yang didiami priyayi, selalu
bernama Betawi.
“Sedikit saja biji wijen enak itu.” Gadis yang dikatakan noni Betawi tadi melihat
ke kiri ke kanan dan menoleh, seolah takut diketahui berbuat sesuatu yang kurang
layak. Kedua simbok tadi ikut-ikut melihat ke arah-arah yang sama, bertanya diri, ada
apa ? Tetapi tak terduga, sampai Mok Naya agak terperanjat spontan mengelak sedikit
kepalanya, si gadis kecil membisikkan sesuatu ke dalam telinganya yang tidak bersih
sama sekali itu.

¹⁾ Butiran kecil semacam buah rumput.
²⁾ Panggung.
³⁾ Panggilan gadis kaum atasan oleh kaum bangsawan.

9

Mbok Ranu memandang kejadian itu dengan agak mendekat serta tersenyum ingin
tahu, tetapi lebih-lebih dengan dambaan yang manis walau agak getir. Setiap anak
manis selalu mengingatkannya kepada anaknya sendiri, Si Bawuk yang, (ah memang
Gusti Pangeran Yang Maha Memiliki berkuasalah, namun toh kejam juga), telah
direnggut ke akhirat. Dilihatnya Mbok Naya mengangguk-angguk dan berkata:
“Inggih, inggih, baik itu Den Rara. Baik sekali” Lalu menggeleng-geleng: “Tidak!
Sungguh tidak, saya akan diam.” Lalu ia mengambil selembar daun pisang, dibuatnya
takir ¹⁾ “ Tolong biting ²⁾ itu.”

Mbok Ranu memberinya beberapa batangan bambu sekecil batang korek-api
selaku pengancing mangkuk daun. Dan takir itu diisilah oleh Mbok Naya barang
sepermpat gemggam biji wijen, yang seharusnya digunakan untuk melapis onde-onde
ceplus ³⁾ yang sedang mereka goreng.

“Terima kasih, ya Mbok. Nanti saya bawakan oleh-oleh.” Dan bersinar-sinar gadis
cilik yang sudah mulai menongolkan sepasang kuncup kewanitaan remaja di balik
blusnya, berlari meloncat-loncat kecil ke luar dapur.

Kedua simbok tadi mengikuti “burung prenjak” itu melalui pintu sampai
menghilang dari pandangan. Seselaput kerinduan mengaca pada kedua mata Mbok
Ranu.

“Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih.
“Siapa yang kelak akan memetiknya?” tanya Mbok Naya bernada setengah berdoa.
“Mudah-mudahan jangan Gusti Allah,” sahut Mbok Ranu, dengan sebiting
gugatan.

¹⁾ Semacam mangkok terbuat dari daun pisang.
²⁾ Tusukan bambu sebesar korek api.
³⁾ Semacam makanan terbuat dari tepung yang digoreng sebesar kelereng.

10

“Apa ?” tanya rekannya terkejut.
“Tidak apa-apa.”
“Kau ini! Kalau omong sering serba aneh.”
Mbok Ranu menghindar: “ Ah, yang penting kan nanti ada pertunjukkan wayang.

Tolong Semprong ¹⁾ itu Yu. Api Cuma rewel dari tadi. Pertanda ramalan apa ya ?”
“Kayu mlanding setoran Si Wangsa selalu begitu. Harus dibayar dia. Tetapi

sebetulnya tidak cocok lakon nanti malam. Bayi Raden Ayu Hendraningrat
perempuan, mengapa mengambil lakon “Kakrasana-Narayana lahir.” Seharusnya kan
mengambil riwayat ”Kelahiran Sembodro.”

“Saya dengar. Yu, itu Kanjeng Pangeran bermaksud untuk sekali jadi merayakan
adik beliau Raden Mas Sumitra dan kemenakan Raden Mas Suteja yang kedua-
duanya baru lulus dari sekolah perwira di negeri Belanda.”

“O, begitukah ?” dan dipandangnya rekannya yang lebih muda itu dengan rasa
heran. Perempuan ini tahu banyak. Dari mana ia tahu ? Tetapi ia diam saja ketika
Mbok Ranu dengan datar hanya berkomentar: “Itu yang saya dengar. Nah, minyaknya
masih saja meletus-letus. Si Min memang keterlaluan. Sudah berapa kali kukaktakan.
Beli minyak jangan pakai sembarang botol. Jangan-jangan botol dari kamar kecil ini.”

Tetapi Mbok Naya tidak berminat memarahi rekannya yang sering ceplas-ceplos
omong seenaknya. Diambilnya seserok bola-bola kecil gandum serba berlapis biji
wijen itu dan dengan luwes dimasukkannya ke dalam minyak yang mendidih. Harus
Pas. Jangan mentah jangan gosong. Pikirnya: Memang Si Ranu janda masih begitu
muda. Omong tak pernah hati-hati.

“Nah, kalau begitu, kan bisa cari lakon lain yang lebih tepat. Pregiwa-pregiwati
misalnya. Paling sedikit tokoh lakon yang wanita. Atau Arjuna bisa juga.”

¹⁾ Sepotong pipa bambu.

11

“Ah Mbakyu,” potong Mbok Ranu,”Jangan Arjuna. Saya sudah mengalami sendiri,
apa artinya kawin dengan jenis Arjuna.”

“Sudah, sudahlah, yang sudah lalu jangan diungkit –ungkit lagi.
Suamimu sudah di alam kahyangan sana dan kau dan saya sudah aman, mudah
memperoleh sesuap nasi; bahkan di dalam rumah seorang pangeran. Kita tidak boleh
menggerutu.”

“O, tidak Mbakyu, saya tidak pernah meggerutu. Saya hanya berkata, bahwa …”
“Ya sudah, aku tahu. Memang setiap orang punya segi Pendawa maupun
Kurawanya. Kita kan Cuma abdi. Boleh mengabdi lelaki itu kan sudah rahmat
namanya.” Dan dari sudut matanya ia melirik kepada rekannya, yang memang
menurut suara lubuk kecil di hati Mbok Naya, sepantasnyalah dimarahi, kendati
secara halus. Memang kasihan, anak tunggalnya terkena malaria; dan suaminya juga
menyusul anaknya, akibat terjatuh dari pohon melinjo yang terkenal selalu berkhianat
itu kaena dahan-dahannya seolah hanya melekat saja tanpa kekuatan sedikit pun pada
pokoknya.
Akan tetapi bukanlah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna
sudah tergolong ketiban ndaru ¹⁾, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup ? Kalau
dibanding dengan suami Mbok Naya sendiri yang bentuknya seperti Togog ²⁾ loakan
itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan nafas pun. Itu
kalau memang ia waratama ³⁾ Jawa sejati yang sudah pernah diajar oleh orang-tuanya
tentang sikap sumarah, ⁴⁾ bakti kepada raja suami dan segala yang di atas kita.

¹⁾ Dijatuhi cahaya Wahyu.
²⁾ Tokoh wayang, kebalikan dari Semar. Togog dianggap tokoh bodoh buruk dan

Serba salah.
³⁾ Wanita berbudi.
⁴⁾ Penyerahan.

12

Bukankah hidup di persada bumi ini hanyalah mampir ngombe, singgah sebentar
untuk minum setegukan, lalu harus berjalan terus ? Tiba-tiba dalam hati ingin-tahunya
mendesak bertanya: “Nu, dulu Batara Kamajaya ¹⁾ kerap berkunjung menemui Dewi
Ratih ²⁾?”

Mbok Ranu tahu apa yang dimaksudkan rekannya yang memang teman baik sekali
sejak ia masuk menjadi abdi Ndoro Putri Pangeran Hendraningrat, akan tetapi
seringlah, yang gituan itu lagi yang ingin diintip Mbok Naya di dalam kehidupan
intinya. Mbok Ranu tersenyum dalam hati. Memang dalam malam-malam sunyi
bahkan sering juga matahari masih belum terbenam dan ayam-ayam belum masuk
kandang, Kama suaminya dan Ratih pangkuannya suka bersendagurau girang namun
diam dalam kerahasiaan firdaus hanyut-rasa yang membuatnya lupa segala hal. Darah
Mbok Ranu hangat. Dan Arjunanya pandai memanjanya.

Benar, benarlah apa yang selalu dikatakan rekannya yang lebih tua itu, ia tidak
boleh mengeluh. Sekian tahun kebahagiaan sudah anugerah melebihi cukup. Tetapi
mengapa Allah begitu kejam dan suami beserta anaknya diambil dan sekarang ia
menjadi begini ?

“Apa Yu, yang kau tanyakan ?”
“Nah, janda selalu begitu. Melamun dan tidak mendengarkan orang lain.”
“Maaf Yu, saya tadi baru ingat pada anakku yang…apa Yu ? Tadi kau tanya apa ?”
Mbok Naya toh malu juga untuk menyogokan sekali lagi pertanyaannya yang
sebetulnya kurang senonoh itu. Tetapi sungguh, ia ingin, sangat ingin tahu, bagaimana
caranya seorang Arjuna … sudah, jangan diteruskan. Nanti saat kan datang sendiri,
rekannya itu mengungkapkan “ hikayatnya”. Tetapi itu harus membugil sponstan,
seperti kalau perempuan mandi di sumur pada petang gelap itu. Atau kalau sedang
minta dikeroki.
“Saya tadi tanya, kira-kira siapa lelaki yang akan mempersunting Den Rara
Larasati yang noni itu ?”
Mbok Ranu sekarang tertawa.
“Ya, sinyo tentunya.”
“Sinyo Jawa ?”
“mustinya begitu.”
Den Rara Prenjak kelihatan tidak senang di istana Pangeran kita. Saya intip, dia
hanya sendirian saja membaca buku atau melamun.”
“Nasib anak tunggal selalu begitu.”
“Tiga sebetulnya. Tetapai ah, mengapa Bu Antana nasibnya malang ? Bahaya
setiap anak yang tumbuh sendirian, ia menjadi manja. Mudah-mudahan jangan
menjadi sombong.”
“Banjak orang mengatakan Bu Antana sombong, padahal hanya anak-angkat
Pangeran kita. Aku kenal anak-emas itu dari kecil. Memang ibunya, nenek Den Rara
Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh
itu. Sudahlah, sombongnya, aduh Nu, kalau kau lihat dulu.

¹⁾ Dewa Asmara dalam pewayangan.
²⁾ Dewi Asmara istri Kamajaya.

13

Lagaknya seperti darah ningrat Endragiri ¹⁾. Padahal sama dengan kau dengan saya
sajalah, darah kecap asin.” Mbok Ranu geli. Mbok Naya suka membuat kiasan-kiasan
yang aneh-aneh. Masakan, darah kok kecap.

“Den Rara Atik dan ibunya tidak sombong. Kalau sombong tidak mungkin begitu
menaung sikap mereka kapada kita para abdi. Ah … Yu, sering saya pikir-pikir
Seandainya Ruri anakku masih hidup, barangkali Den Rara Atik berkenan juga main-
main dengannya. Bagaimana Yu ?”

“Ya, saya kira begitulah. Tetapi soalnya, apa ayahnya memperbolehkannay ?”
“Ayahnya juga tidak akan sesombong itu. Mereka orang Betawi, orang pantai
walaupun masih tergolong kerabat Keraton. Orang pantai biasanya gampang. Yu
Naya tidak ingin melihat Betawi ?”
“Ah, untuk apa. Apa kota Sala kurang elok, kok ingin ke Betawi.”
“Hanya untuk melihat saja.”
“Melihat ? Melihat Sriwedari, nah itu baru nikmat. Yang main jadi Wibisono, duh
Gusti, pernah kau melihatnya ?” Mbok Naya terkekeh-kekeh dan berbisik di telinga
temannya: “Kau bisa, masih bisa sebetulnya kawin lagi dengan Wibisono semacam
dia. Mau ? Mau kucarikan ?”
Seandainya kulit Si Janda Ranu itu kuning langsep seperti para bendara raden
ajeng rumah Pangerannya, pastilah tampak ia menjadi merah. Tetapi yang tampak
hanya mulutnya yang melengos dan bagian dadanya yang meliuk malu.
“Mbakayu itu macam-macam saja usulnya.”
“Jadi kau mau ?”
“Siapa yang mau. Perempuan sudah layu begini.”
“Mau atau tidak mau bukan doal dalam lakon asmara. Nasib atau kepastian dari
Atas, itulah yang menentukan.”
“Terserah Yu … tetapi saya tidak meminta.”
“Baik, kau tidak meminta, tetapi terserah, bukan ?”
“Entahlah.”
“Baik, jadi terserah ya ?! ”
Tiba-tiba kedua orang pembantu dapur itu tertawa spontan bersama-sama,
sehingga terkejut sendiri dan melihat ke segala arah, jangan-jangan ada yang
mendengar. Seorang pembantu lain yang sedang mencuci cangkir-cangkir muncul dan
membelalak dari balik pintu sambil mengejek: “Hayoo, ada apa !”
Sekali lagi dua penggoreng, onde-onde ceplus itu tertawa terkikik-kikik.

¹⁾ Gunung tempat para dewa.

14

“Yo ayo, mari Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, hari ini Atik berulangtahun. Akan
kutraktir kalian, ya mari sahabat-sahabatku.” Dan dalam bentuk bulan tanggal muda

Atik menaburkan wijen di atas tanah halaman. Dengan tersenyum penuh harapan si

gadis lalu duduk menunggu di atas tangga beranda samping di bagian gandok yang

biasanya disediakan untuk para tamu Pangeran Hendraningrat.

Sepi suasana di dalam halaman gandok, seperti di dalam biara biksu-biksu Budha.

Orang tua Atik sedang berbelanja ke kota dan tadi ia mohon maaf kepada ayah-ibunya

agar diperbolehkan tinggal di dalam rumah saja.
“Kau di sini berlibur, Tik,” kata ayahnya. “Tidak untuk belajar. Ada waktunya

bersekolah dan liburan.”
“Apa lagi sekarang ulang-tahunan. Nah, lustrum kedua kau menghirup hidup di

bumi ini, kan harus dirayakan, Tik,” tambah ibunya.
“Kan tadi Atik diberi hadiah buku oleh ayah-ibu. Sudah sepantasnyalah kubaca

segera, bukan ?”

Kedua orang-tuanya tertawa, terutama melihat muka anak yang begitu merayu

tetapi sekaligus arif.
“Ya sudah. Atik menang. Tetapi Tik,” pesan ibunya sambil menaung dan

mengecup pipinya: “Kau boleh apa saja. Juga kalau kau senang berkeliling ke

halaman-halaman lain di rumah paman Pangeran yang aduh besarnya bukan main,

tidak seperti rumah kita di Bogor, asal saja kau minta diantar oleh salah seorang

pelayan putri. Misalnya Minah itu, kau kan suka pada Minah. Dan dia pasti teman

baik untukmu, cerdas matanya. Hanya kau jangan sampai keluar ke jalan-raya, ya Tik.
Janji ?”

Anak itu merangkul ibunya.
“Kalau keluar ke jalan-raya bagaimana ?” tanyanya nakal untuk meledek ibunya.

Ibunya mencubit hidungnya yang mungil itu dan tersenyum cantik.
“Akan kucubit kau tiga kali .”
“Asal jangan sakit.”

Ayahnya mengeluarkan tangannya dari saku pantalonnya dan menyeka rambut
anaknya: “Boleh ke jalan-raya, asal jalan-raya itu masih ada di dalam halaman-
halaman rumah Pangeran.”

Genit Atik memandang dari sudut matanya sambil oleng kepala: “Ah, Ayah Cuma
mau menipu. Disangka Atik masih kecil.” Ayahnya tertawa: “Justru karena itu, Tik,
karena kau bukan anak kecil lagi. Sepuluh tahun coba bayangkan.”

“Tidak perlu dibayangkan. Kan sudah hidup sungguh-sungguh kok dibayangkan.”
Hahaha ….. dan ayahnya mencium juga anaknya di kening.

“Sudah ya Tik, bacalah buku itu baik-baik. Dan ingin oleh-oleh apa ?”
“Oleh-oleh … o ya, pinsil saja dengan setip. Atik ingin menggambar burung
srigunting.”

Ibunya mengangguk-angguk diam tersenyum. Tetapi di dalam hati ibunya berpikir,

sudah waktunya, anaknya kapan-kapan dibuatkan kutang.

Dan tinggallah Larasati sendirian. Bukunya dirangkul di dada dan kedua lutut

bersimpuh di tangga. Atik tak perlu lama menunggu. Sahabat-sahabatnya, burung-

burung gereja, ketilang, pada datang, tetapi masih waspada menunggu dulu,

bagaimana situasi keamanan. Sebab mereka biasanya dihalau oleh simbok-simbok

bila kebetulan ada ini-itu yang terserak bisa dimakan. Tetapi lihat, datanglah tenang

seekor jalak liar yang sama sekali tidak liar gayanya.

15

Dengan langkah-langkah agung ia datang bergaya ningrat. Maka Atik bersinar
melihat burung yang seolah-olah sudah berbusana resepsi penganten itu.
Punggung dan sayap-sayapnya coklat tua berwibawa bergaris-garis putih dan kakinya
kuning. Perutnya putih lagi seperti busana resmi tuan-tuan Belanda yang sering ia
lihat, kalau kadang-kadang diajak resepsi pesta ulang-tahun Ratu Wilhelmina.
Kepalanya dan tutup dadanya hitam gagah. Paruhnya kuning lagi dan seusap putih
menghias di belakang matanya yang menampakkan jiwa tak gentar.

Dan apa itu ? Tertawalah Atik geli : mata jalak itu dilingkari kulit berwarna
oranye. Rupa-rupany ia pemuja keluarga Ratu Belanda yang bergelar Oranye serta
berlambang warna oranye pula. Nah, melangkahlah beliau Sang Tumenggung dengan
tenang tidak takut sedikit pun, mendekati taburan-taburan wijen di halaman itu; lalu
puk-puk-puk, lahaplah makannya.

Lalu datanglah menyusul beberapa ekor manyar, itu burung-burung yang di mana-
mana sibuk membangun sarang-sarang berseni elok. Mereka menyambar dari udara
dan puk-puk-puk. Tertawalah lagi Atik. Lucu burung-burung itu. Maka segeralah
burung-burung tingkat rakyat jelata, si gereja dan si emprit dan burung “anak
kampungan” ketilang ikut pesta juga. Dan nah, tentu saja tak mau ketinggalan si
gelatik cantik tetapi pencuri-pencuri padi yang nakal itu, dengan pipinya putih dan
picinya biru hitam. Persis anak-anak lelaki di dalam sekolah dan di mana-mana, nakal
dan perusak segala. Begitu Atik menilai mereka. Anak lelaki itu perlu dididik tetapi
tidak pernah mau. Akan kemana mereka itu, Atik tidak tahu.

Segeralah wijen-wijen berharga yang sebetulnya harus melapisi onde-onde ceplus
dan dimakan para priyayi tamu-tamu nanti petang, sudah habis. Pada saat terakhir
datang melayanglah beberapa ekor srigunting yang di mana-mana membawa ekor
berbentuk gunting, tetapi rupa-rupanya tidak laku sebagai penjahit. Mereka sangat
tidak berminat pada traktiran Atik, Sebab tentu saja gadis itu tidak membawa
belalang, capung, lalat atau kecoak, jangan lagi ulat-ulat. Maka kereka hanya terbang
saja dengan ikhlas di atas burung-burung jelata yang serba riuh bersengketa dan saling
mencaci-maki, berebutan biji-biji kecil. Dengan tenang srigunting-srigunting
beterbang layang seolah-olah tak peduli apa-apa.

Tetapi tiba-tiba seperti pemburu-pemburu Angkatan Uadara mereka menukik dan
menyambar seekor kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja merasakan
kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik oleh mahluk-mahluk
bersayap serba cepat dan serba hitam itu. Atik masih sempat melihat kupu-kupu
kuning tadi diserang dan dibawa lari oleh pemburu-pemburu yang ternyata bukan
tukang jahit bergunting, tetapi penyamun.

16

Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan
kepada ciptaanNya membiarkan mahluk-mahluknya saling membunuh ? Pernah itu ia
tanyakan, ketika di suatu pagi di halaman neneknya, langsung di hadapan mata Atik,
tiba-tiba bagaikan batu yang jatuh dari awan-awan, seekor wulung ¹⁾ menerkam anak-
ayam dan tahu-tahu sudah meluncur lagi ke udara. Tentu saja induknya dan anak-anak
ayam serba kalang-kabut. Atik ketika itu juga kalang-kabut jiwanya sampai menangis.
Ia merasa bersalah, karena tadinya dialah yang menaburkan padi di muka mereka.
Dan tentulah ayam-ayam itu tergoda dan terlena, sehingga si penyamun di udara
memperoleh kesempatan bagus untuk menculik salah satu anak-ayam yang halus
berbulu kuning manis itu. Tak bisa lain selain menangis Atik ketika itu, dan kue
cucur ²⁾ atau jenang delima ³⁾ neneknya tidak mampu menghiburnya.

Untung burung-burung srigunting berguna juga, makan ulat-ulat yang mengerikan
dan kecoak-kecoak serta serangga-serangga lain yang menjijikkan. Tetapi mengapa
kupu-kupu seindah itu disambarnya juga ? Sulit juga ya soalnya, karena kupu-kupu
itu dulu ulat dan pastilah di mana-mana ingin menelorkan calon-calon ulatnya.

“Kau jagan nakal, ya srigunting ! Namamu sudah seindah itu : Sri. Dan ekormu
aksi juga, mengapa tabiatmu begitu ?”

Perhatian Atik ditarik ke sekian emprit, ketilang, gelatik dan gereja yang sekarang
sedang bingung mencari sisa makan yang ternyata sudah habis begitu cepat.

Atik tertawa geli. Memang kampungan mereka itu. Apa lagi ketilang-ketilang,
yang selalu saling berdebat dan berselisih dengan suara-suara yang ribut namun
merdu sebetulnya. Kesukaan mereka buah-buahan dan lucu sekali kalau menghisap
madu dari bunga-bunga sepatu. Perutnya memang hanya kelabu muda belaka, tetapi
di belakang, aneh mengapa justru di belakang, kuping oranye. Yang lucu ialah
kepalanya yang hitam dan berwajah kurang ajar memang. Lebih kurang ajar lagi
kalau jambulnya tegak berdiri bila sedang berdebat dengan rekan-rekannya.
Kampungan benar. Atik tak bisa menggambarkan ketilang yang betina. Pada
perasaannya semua ketilang itu jantan, karena kekurang-ajaran mereka. Tetapi hihihi
dan Atik tertawa sendiri juga. Bukankah Atik sendiri ketilang sebenarnya ? Ia bisa
memanjat pohon dan memang suka memanjat pohon, sampai berkali-kali dimarahi
ibunya dan terutama Mbok Kerta babunya dulu. Lalu menggali lubang gangsir atau
berlari-lari menagkap laron ⁴⁾

¹⁾ Burung elang.
²⁾ Terbuat dari tepung beras rasanya manis.
³⁾ Terbuat dari ketela dengan butiran-butiran mirip biji delima.
⁴⁾ Serangga yang seringkali muncul pada awal musim hujan.

17

“Kau ini kok seperti anak laki-laki,” sering ibunya memarahi.
“Susah jadi perempuan,” pikir Atik selalu.
Ada satu hal yang ia tidak paham. Mengapa banyak binatang jantan lebih elok

bulunya dan lebih terhias bahkan suka bersolek daripada yang betina ? Ayam jago
misalnya bila dibanding dengan ayam betina. Apa lagi burung merak seperti yang di
Kebun Raya di Bogor itu. Pada hal orang perempuan, mereka tak habis-habisnya
bersolek dan merias diri. Dan anak lelaki ? Aduh, mereka itu seperti srigunting itu
atau manyar. Hitam dan serba ribut saling mengacau.

Atik suka pakaian manis dan segala macam embel-embel yang menurut kata ibu-
ibu tua membuatnya lebih manis. Tetapi sebenarnya sering jengkel juga ia karena
segala repot itu. Lebih enak jadi burung dan bisa bermain-main di mana-mana. Juga
di jalan raya.

Beberapa srigunting beterbangan lagi, menukik meliuk, ah sungguh indah terbang
mereka. Kalau pagi begini mereka baru cari makan. Tetapi nanti kalau menjelang
senja, nah, Atik berseri-seri kalau melihat srigunting itu sedang bercanda bersiul-
siulan ria dan kian kemari terbang indah seperti menari luwes dan aksi. Tak mengira
burung-burung sehitam itu bisa begitu luwes seperti penari serimpi kalau sedang
kiprah ¹⁾ dan membuat gerak terbang melingkar.

Dan lucunya, ekornya sering dibuka ditutup dibuka ditutup lagi, tampak sekali
mereka seolah meledek manusia : Ayo, bisa terbang ngak ? Manusia dapat terbang.
Atik tahu itu, tetapi hanya seperti permainan kertas yang dilipat dan dilemparkan.
Jelek. Kaku. Lagi sering jatuh begitu saja. Seperti puri Paman Pangeran ini, kaku.
Pangeran Hendraningrat adalah kakak sulung ibu Atik. Kakak tiri, orang yang baik
hati, ramah, tetapi kaku, aduhai ; sering di dalam kamar Atik tertawa sendiri kalau
menggambarkan paman-tuanya yang Pangeran itu.

Dalam hati Atik mengagumi ibunya. Untung ibu dulu kawin tidak dengan seorang
pangeran atau kaum istana mulia ini. Ibunya menikah dengan seorang konsulen ²⁾
pertanian yang tidak berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi
departemen entah apa. Ya, cocok, anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu itu, karena
ibunya selalu berterus terang. Ayahnya bekerja di Bogor yang banyak hujannya itu,
tetapi yang subur dan bersuasana bebas. Ayahnya, Meneer ³⁾ Antana seorang pegawai
Dinas Kebun Raya Bogor dan juga ikut diserahi cagar-alam Ujung Kulon.

Berkali-kali, bahkan dapat dikatakan sekali seminggu paling sedikit, Atik diajak
ayahnya menyelusuri sawah ladang dan masuk ke semak-semak hutan gunung.
Bahkan pernah ia diajak masuk Ujung Kulon. Kata ayah mau mencari kolam tempat
badak-badak suka merendam diri. Atik belum pernah melihat badak dan ingin sekali
melihatnya, walaupun ibunya sudah berkata : seperti kerbau biasa. Hanya tanduknya
di hidung. Ah mosok. Tetapi sayang mereka tidak berhasil melihat badak. Sungguh,
Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri keraton. Tetapi sesekali melihat
Surakarta bolehlah. Walaupun jangan terlalu lama. Sebelum berangkat ayahnya sudah
mengikat janji, tidak akan tinggal di Surakarta lebih dari tiga hari. Tetapi ini nanti
jadinya akan seminggu.

¹⁾ Terbang melingkar seperti gerak para penari.
²⁾ Dari kata Consultent (Bld) : Bimas Pemerintah Hindia Belanda.
³⁾ Tuanku.

18

Untung ayahnya baik sekali. Ia tahu, bahwa akan menyakitkan Atik. Maka ia berjanji
akan membawa Atik pergi melacaki ladang-ladang dan alam di sekitar kota.

“Ibu kan belum sembuh rindunya kepada abangnya yang baik hati itu,” kata
ayahnya. “Apa Atik tidak kasihan Ibu ?” Ya, tentu saja Atik mengalah. Tetapi toh
enak juga. Besok pagi sesudah istirahat dari pesta kelahiran puteri Pangeran, ia dan
ayahnya akan berburu di ladang-ladang, dan kalau bisa ke hutan-hutan jati gunung
kapur di Baturetna. Bukan berburu dengan bedil, Atik benci pada senapan, tetapi
dengan alat kamera.

Heh ? Bukankah itu nyanyian kepodang ? Orang-orang Sunda menamakannya
bincarung, burung perada kencana yang berpelisir hitam molek dari paruh melalui
mata dan terus ke belakang seperti ikat kepala petani Kedu.

Atik teringat pada kepodang yang di kurung di rumahnya, hadiah salah seorang
tukang kebun ayahnya. Hitam seluruhnya, sungguh aneh, tetapi untung masih dihiasi
dengan ban lebar merah karmein yang melintasi dada dan perut. Gagah, serem seperti
pesilat Sunda. Tetapi nyanyiannya, aduh, serba bernada mendamba. Kata ayah, si
kepodang bertanya, di mana harta pusaka nenek-moyangnya dapat ditemukan lagi.
Memang kepodang hitam-merah itu hanya terdapat di hutan-hutan jauh di lereng
pucuk Gunung gede. Awas nanti Mbok Nem kalau lupa memberinya buah-
buahannya.

Dengan mata menyipit, Atik memandang kepada srigunting yang sedang bercanda
di atas kawat listrik; ulah mereka seperti mengomentari mahluk-mahluk yang lalu-
lalang di bawahnya. Burung-burung srigunting itu sering didakwa oleh orang-orang
sebagai penyamun telur sarang-sarang burung lain. Barangkali karena warnanya
seperti garong perampok, yang membuat mereka nampak serem. Apa lagi bila kedua
ujung ekornya itu ditafsir sebagai kelewang. Tetapi ayahnya mengatakan, itu tidak
benar. Memang ada burung lain, yang hitam juga seperti srigunting, tetapi tidak punya
ekor silang seperti gunting itu. Kita harus berhati-hati, begitu hikmah ayah yang
dikatakan kepada Atik, jangan menilai orang lain jelek, hanya karena nampaknya
hitam. Tokoh Kresna di pewayangan, nah itu contoh lagi : raja perwira penasihat
Pandawa terulung, walaupun serba hitam.

Atik tertawa. Sebab sekarang kedua srigunting tadi, laki-bini barangkali, sebab
sedang mesra berbisik-bisik satu sama lain, lalu berkicau lagi. Merdu, seolah mereka
berbahasa Sunda. Tiba-tiba kedua burung itu terperanjat dan serba panik mendadak
terbang. Gusar Atik bertanya diri. Siapa yang mengganggunya ? Anak kampung
barangkali. Ternyata ada kepala anak laki-laki seumur 12 tahun muncul dari balik
tembok. Anak itu memanjat dahan pohon sawo kecik yang lebih tinggi, dan
membidikkan pelantingnya ke arah srigunting lain. Teto nama anak itu.

Bibir mungil Atik cemberut dan matanya berkilat benci melihat anak itu. Bukan
anak kampung, tetapi putera Kapten Brajabasuki (Oom Bas) yang berdinas di
Magelang, menurut ibu Atik.

“Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. “Cerdas di sekolah, hampir selalu
nomor satu dan jujur.”

Mosok jujur, anak yang kesukaannya memelanting burung-burung tak berdosa.
Atik pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka datang
diundang Paman Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti selayaknya puteri
yang berpendidikan.

19

Tetapi anak itu langsung memijit hidungnya seperti tombol, kurang ajar, sungguh
setengah mati kejutnya. Apa lagi semua orang-tua tertawa, seolah-olah menyetujui
perbuatan jahat itu.

Tetapi toh ada sesuatu yang menyenagkan pada Teto itu. Ia sanggup apa saja,
memanjat pohon, meloncat selokan lebar, berenang. Pernah keluarga Antana
berpiknik bersama keluarga Brajabasuki ke Tirtonadi. Ibunya, seperti lazim mode
kaum terpelajar kala itu, bergaun dan bertopi lebar. Ketika pergi ke tepi sungai,
datanglah angin kencang yang mendadak; topi ibunya terbawa angin dan jatuh di
bengawan besar itu. Dan apa yang terjadi ? Si Teto tanpa berpikir panjang terjun ke
sungai dan berenang memburu topi itu. Tentu saja semua terkejut setengah mati. Topi
diselamatkan dan dipakai olehnya, dan Teto tenang mengikuti arus berenang ketepi,
jauh sekali; topi di kepalanya. Dari jauh seolah-olah topi itu berenang karena
kebetulan Teto berpakaian seperti kelasi angkatan laut Belanda, biru tua dengan
pelisir-pelisir kecil putih; jadi tak tampak. Akhirnya semua tertawa geli dan Atik
bertepuk tangan sambil berteriak-teriak ria.

Tetapi sayang, dalam permainan Teto selalu curang. Dan pernah sesudah menang
curang gobag sodor ¹⁾ ia memaksakan hadiah ciuman. Pada hal sudah disepakati; jika
Atik menang, Atik digendong Teto. Tetapi karena Atik terlalu lemah untuk
menggendong Teto bila Teto menang, Atik sanggup untuk memberi kecik sawo (biji
sawo) tiga biji, yang sering dibutuhkan Teto untuk adu kecik sawo dengan kawan-
kawannya. Biji sawo sih Atik punya banyak, karena ia tinggal minta saja pada Pak
Kebon yang rajin setiap pagi dan petang menyapu halaman. Tetapi apa yang diperbuat
anak kurangajar itu ? Sejak itu ia tak mau lagi gobag sodor dengan anak jahat itu.
Namun Teto anak yang pandai melucu. Ia pintar menirukan suara binatang apa pun,
dan Atik biasanya tidak bisa lama mempertahankan marahnya kepada anak yang lucu
dan pemberani itu.

Topi ibu yang basah kuyup tadi tentu saja sudah sulit dipakai lagi oleh ibu; maka
dihadiahkannya kepada Teto. Bukan main gembiranya. Langsung bunga-bunga hiasan
di topi ia copot semua dan tepi topi yang lebar dilipat sebelah. Nah jadilah topi medan
perang tentara Kompeni. Memang dasar anak kolong, kata Oom Bas sambil tertawa.

“Hei! Hei! Teriak Atik. “Kasihan! Jangan dipelanting! Teto! Teto! Jangan!”
Teto memalingkan kepala ke segala arah sampai pandangannya bertemu dengan
Atik yang marah berkecak-pinggang. Ia tak menjawab apa-apa. Hanya lidahnya yang
keluar dan mukanya dibuat mirip kera.
Jelek sekali.
“Kasihan meraka! Kau anak bengis.”
Sekali lagi lidah keluar dan wajah Sugriwa ²⁾ menakut-nakuti Larasati ³⁾. Tetapi
bagaimana pun, ia toh turun dari pohon sawo. Tidak, ia bukan anak baik hati. Ia anak
wulung yang perangainya menyambar anak-anak ayam. Atik marah masuk beranda
dan di kamar tak dapat berbuat lain kecuali mencoba membuka buku hadiahnya.
Tetapi kamar dalam istana pangeran selalu gelap.

¹⁾ Semacam permainan lari dan menyusup, terkenal bagi anak-anak di Jawa.
²⁾ Raja kera dalam epos Ramayana, saudara raja kera Subali.
³⁾ Salah seorang istri Arjuna.

20

Ia pergi saja ke pendapa, tetapi para abdi sedang sibuk dengan persiapan-persiapan
wayang nanti petang. Apakah sebaiknya ia memanggil Minah pelayannya, diajak
berjalan-jalan ke jalan-raya ? Tetapi biar gelap dicobalah juga membaca sebarang satu
dua halaman dari buku itu. “Door Duistemis tot Light. ¹⁾ Kartini penulisnya. Kartini.
Aduh, alangkah tebalnya. Jangan-jangan ayah memilih buku yang terlalu berat
untuknya. Dari pendopo terdengar kesibukan persiapan pesta demi puteri Pangeran
Hendraningrat, sekaligus untuk adik dan kemenakkannya. Ia senang tetapi sekaligus
benci pesta-pesta mewah seperti ini. Lalu duduklah Atik langsung di ubin lantai yang
dingin dan tiba-tiba, seolah ada awan kebahagiaan menyelubunginya. Ya, ia bahagia,
memiliki ayah yang begitu baik. Ibunya baik juga, tetapi ayah, ya ayahlah bagi Atik
sumber segala kebaikan. Selama ayah ada, segalanya indah. Ah, setiap gadis pada
suatu saat harus kawin dan berpisah dari Ayah-Ibu. Atik juga tahu itu. Memang ia
masih gadis kecil, tetapi ia sadar, akan selalu begitu nasib setiap gadis. Bagaimana
dulu ibu sampai mendapat ayah ? Ah, sesekali itu akan ia tanyakan kepada ibunya.
Lalu meloncatlah Atik tinggi-tinggi. Ia menoleh ke segala arah. Pintu kamar terbuka.
Jangan-jangan ada yang melihatnya ia sesinting itu. Aman. Buku ia letakkan di atas
tempat tidurnya. Dan ia keluar mencari Minah.

¹⁾ Judul kumpulan tulisan R.A. Kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang.

21

3. Buah Gugur

Surya sudah terbenam. Ketokan pintu. Ketika dibuka, kaget setengah mati kami.
Sesosok tubuh tampak di pintu. Mami menjerit dan langsung memeluknya. Papi tanpa
berita apa-apa pulang.

Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan meringkuk sebagai
lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang.
KNIL kalah dan bubar. Mami dan aku sudah pindah menumpang di tempat seorang
kenalan baik di Embong Menur, suatu daerah perumahan kaum berada. Sebab, tentu
saja rumah dinas ayah sudah diduduki musuh dan memang sejak perang-pecah semua
orang sipil sudah diungsikan dari tangsi.

Papi mendadak menjadi tua. Dan lebih pendiam lagi dari semula. Tawaran dari
Pangeran Hendraningrat untuk mengunsi ke rumahnya ditolaknya halus. Agaknya hati
Papi sudah ikut runtuh pula dengan KNIL. Bahkan Papi lalu pindah ke sebuah rumah
kecil di kampung Patrabangsan. Hanya Mami yang sering ke Sala, sekedar berdagang
apa yang dapat dijadikan sumber nafkah ketika itu. Kawan-kawan lama anak kolong
semakin tercerai-berai. Papi tak banyak bicara tentang situasi, tetapi aku tahu ia
menunggu kemenangan Sekutu dan kembalinya pemerintah Belanda. Orang-orang
kampung Plengkung tahu Papi bekas kapten KNIL, orang berpangkat tinggi untuk
ukuran masa itu. Tetapi karena Papi biasa saja ikut hidup gotong-royong dengan
mereka, hidup kami tenteram terlindung. Bahkan dapat dikatakan tak tampak,
tenggelam. Rumah kami kecil tersembunyi di belakang bekas rumah opsir Belanda
yang dulu berpangkat mayor dan yang tentunya sekarang didiami seorang perwira
Jepang. Opsir Jepang itu hidup di situ sendirian dengan babunya Tante Paulin. Suami
Tante Paulin sersan KNIL totok yang ditawan di Burma. Dan Tante kini menyambung
hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante
Paulin, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga dan lembut hatinya.
Sungguh aku tidak memahami, mengapa Papi dan Mami sangat baik, bahkan sering
menurut seleraku terlalu baik kepadanya.

Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di SMT ¹⁾. Aku
Senang di Semarang, karena tenyata ada group pelajar yang berselera anti Jepang.
Tetapi suasana memanglah menjengkelkan bagiku. Kami diindrotrinasi dan dilatih
bermodel Jepang. Untung guru-guru kami intelektual-intelektual yang tahu, apa yang
harus mereka berikan kepada murid-muridnya. Ada seorang pelajar yang militan
pemuja Jepang. Bisma namanya, yang jadi komandan kami dalam ulah kemiliteran.
Bisma ini setengah kami kagumi karena bakat-bakat kepemimpinannya, tetapi dari
pihak lain kami benci, karena begitu hian menjilat Jepang.

Tetapi seumumnya semua pelajar anti Belanda … kecuali aku.
Barangkali ada lainnya juga yang seperti aku, tapi pastilah ia cukup lihai untuk
menyembunyikan perasaannya. Seperti aku juga. Tetapi aku sungguh merasa, betapa
sedihnya punya simpati yang jelas bukan simpati kawanan. Serasa paria terkucil. Dan
selalu harus bersandiwara. Ini yang paling memuakkan.

¹⁾ Sekolah Menengah Tinggi, nama untuk SMA di jaman Jepang.

22

Aku tipe anak kolong yang sejak kecil punya kode etika berterus-terang. Lebih
baik berkelahi berbahasa kepal dan tendangan kaki daripada bohong dan pura-pura.
Baru kelak aku sadar, bahwa dalam citarasa aku satu kompi dengan Papi. Papi
ternyata (tetapi itu baru kelak kuketahui) sengaja menjauhkan diri dari kaum istana,
karena ia tidak suka basa-basi Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur. Ia dulu
meminta sendiri atasanny agar boleh masuk garnisun di Surabaya, karena
orang-orang Sungai Brantas sana tidak pernah suka berbahasa kromo ¹⁾, apa adanya
tanpa tedeng aling-aling ²⁾. Tetapi lingkungan Kedu dianggap cukup oleh
pembesarnya. Namun itu sudah jaman yang lampau, yang sudah morat-marit hancur
lebur. Pedang dan seragam kebanggaan Papi sudah dititipkan oleh Mami (dibungkus
dalam goni dan dikamuflase dengan barang-barang upet ³⁾ kelapa) di dalam rumah
Oom Hendraningrat. Papi menjadi makelar sepeda dan banyak pergi ke pasar-sepeda
kota lain atau ke desa. Dan aku terpaksa latihan perang-perangan dengan bedil kayu
gaya Jepang. Sinting sebetulnya, tetapi dalam hati, sebagai anak kolong Kompeni
sejati, aku sehati dengan Papi, menunggu kemenangan Sekutu.

Dalam suatu liburan sesudah aku naik kelas III SMT Papi mempercayakan salah
satu rahasianya padaku. Terlebih dulu pintu dan jendela ia kunci. Dan dalam cahaya
remang-remang pelita minyak kelapa ia mengeluarkan peti sabun kecil dari atas
langit-langit. Radio gelap.

“Kau sudah besar. Mau membantu Papi ?”
Berdebar-debar aku mengangguk.
“Papi tidak takut tertangkap Jepang nanti ?”
Papi tersenyum.
“Perwira tidak boleh takut. Orang takut, kebanyakan karena bodoh. Kau pikir
Papimu bodoh ?”
Keras kugeleng-gelengkan kepala.
“Nah, dengar sekarang. Radio ini harus kau sembunyikan di dalam gudang Mayor
Kanagashe tetangga kita ini.”
“Saya ? Bagaimana ?”
“Pelan. Tetapi sebelumnya Papi minta, agar kebencianmu kepada Tante Paulin kau
kurangi.”
“Sundal itu ?”
“Hei hei, jangan terlalu keji pada perempuan malang itu !”
“Ada apa sih, kok Papi begitu terkesan oleh Tante Paulin ?”
“Bukan begitu. Papi senang kau tidak suka pada sundal. Tetapi orang-orang yang
membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik Jepang dan menjual bangsanya
kepada mereka demi sebungkus rokok lebih hina dari sundal.”
“Ya, tetapi jangan begitu mengukurnya.”
“Memang, Papi tahu apa maksudmu. Tetapi kami harus bersahabat dengan Tante
Paulin. Mamimu juga sudah tahu mengapa.”

¹⁾ Bahasa Jawa tinggi (halus).
²⁾ Perisai pelindung.
³⁾ Kelopak bunga kelapa ; dipakai sebagai bahan bakar.

23

“Mami ?”
“Ya, beginilah. Berkat Tante Paulin, kami tahu segala-galanya tentang cara hidup

Mayor Kanagashe itu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang. Kamar mana yang kosong,
ruang mana yang suka ia pakai. Dan sekarang saatnya, radio ini harus disembunyikan
di dalam kompleks rumah Mayor itu. Gampang sekali.” (Aaah … haru saat itu aku
terbuka mata. Papi memang perwira yang pandai.)

“Tetapi bagaimana bila Tante Paulin tahu-tahu menongol dan rahasia ini
terbongkar ? Kan perempuan itu suka ngobrol dan bocor mulut ?”

“Tante Paulin tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Sama sekali nol. Tetapi kami
tahu segala seluk-beluk dalam rumah Mayor itu.”

Sebelum Papi habis bicara aku sudah tahu apa yang dimaksud. Rumah Mayor
Kanagashe dulu didiami mayor Belanda. Aku kenal keluarga itu, terutama Yan
temanku sekelas. Dan aku tahu juga, tempat mana yang boleh jadi paling tepat untuk
menyembunyikan radio gelap yang akan dipasang di dalam kompleks perwira tadi.
Sehingga dengan aman tenteram kami dari luar bisa menyadapnya. Kalau detektor-
detektor Kenpeitai menemukan lokasi radio itu, mereka akan mengira itu urusan
Mayor Kanagashe. Maka betul, di siang bolong, tepat ketika Mayor Kanagashe
sedang pergi dinas, Pak Kebon sedang mendengkur di dapur dan Tante Paulin berfoya
entah ke mana, aku masuk melalui lubang dinding ke dalam kakus pelayan yang
sudah lama tak terpakai dan hanya berisi panci-panci bocor dan gulungan sisa-sisa
kawat listrik serta macam-macam loakan bekas milik keluarga mayor Belanda dulu.

Radio Papi kuletakkan di atas langit-langit kakus. Dan kabel penyadap dengan
teliti serba tersembunyi kupasang masuk ke dalam halaman kami. Seandainya kabel
itu kelihatan, pasti tidak ada orang yang akan menaruh curiga. Radio tadi sudah
disetel mati pada gelombang BBC London.

Sejak itu, setiap kali jendela kamar mayor itu terang, tanda ia di rumah, Papi
menyetel BBC dari kamar bilik bambunya. Sejak itu pula aku ramah mengucap salam
pagi dan petang bila Tante Paulin lewat. Dan melawan segala arus masyarakat
kambing, aku tetap mengharapkan Belanda datang lagi.

Pada awal pendudukan Jepang, Papi masih sering dikunjungi beberapa “tokoh
bawah tanah”, yang hampir semua tidak kukenal. Pernah dari bilik kamar tidurku
kudengar nama Amir Syarifudin terucap dalam percakapan serba teredam di dalam
kamar tengah yang terkunci. Baru kelak sesudah Jepang kalah kita tahu bahwa Amir

Syarifudin mendapat ƒ60,000 dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyusun aksi

di bawah tanah melawan Jepang.
Tetapi suatu Saptu, tahun 1944, sepulang dari Semarang, ketika aku ingin

menengok Papi dan Mami, rumah terkunci rapat. Para tetangga mengatakan orang-
tuaku sedang menengok Kakek, ayah Mami yang sakit. Aku heran, sebab keduanya,
Papi dan Mami sudah lama tak berorang-tua. Segera aku mengerti, ada masalah
gawat. Mereka pasti berlindung lagi di dalam puri di Surakarta. Meloncati pagar
bambu, aku langsung pergi ke kebun belakang. Setelah menengok ke kiri ke kanan
kuperiksa kabel penyadap. Sudah tidak ada lagi. Dengan cemas lekas-lekas
kutinggalkan rumahku dan pergi menuju Surakarta. Hanya Mami yang kutemukan di
tengah para kerabat. Berlinang-linang aku dicium dan dicium.

“Doakan Papi !” Doakan Papi !” hanya itu yang mampu keluar.

24

Tenggorokanku serasa terganjel batu dan tiba-tiba aku merasa harus kencing. Di
dalam WC aku terengah-engah dan hati berdebar-debar. Papi tertangkap. Untung aku
lekas meninggalkan rumah kami di Plengkung di belakang rumah Mayor Kanagashe.
Apa Tante Paulin berkhianat ? Kesal hatiku, mengapa orang-tuaku begitu percaya
pada sundal itu.

Di dalam kamar tidur Mami kulihat serba lega peti-sabun kecil yang pernah
kuletakkan di bawah atap WC rumah Kanagashe. Nyaris aku berteriak terbawa
kegembiraanku. Tak kenal sabar kutanyai Mami, siapa yang mengambil peti radio itu.

“Papimu sendiri.”
“Papi ?”
Betapa besar risikonya. Dari Mami kudengar Papi tidak atau lebih tepat belum
tertangkap. Amir Syarifudinlah yang tertangkap. Dengan beberapa kawan lain. Maka
segera setelah pada suatu petang teman Papi datang membawa berita, langsung pada
malam harinya Papi sendiri seperti maling mengambil radio itu. Dan pagi-pagi benar
Mami diantar ke puri Hendraningrat. Tetapi dengan dalih cari kerja Papi lalu
menghilang. Ia ingin membebaskan keluarga Hendraningrat dari segala risiko.
Kira-kira tiga bulan kemudian, di Semarang, aneh sekali, kuterima sepucuk surat
pendek dari seseorang yang tak kukenal, dengan pesan agar aku suka pergi ke Jakarta,
ke suatu alamat tertentu di Kramat. Tulisan jelas dari tangan puteri. Bahkan poswesel
untuk perjalanan ke Jakarta kuterima juga dari tangan puteri itu. Karena saat itu
kebetulan aku sedang menghadapi ujian penghabisan SMT, terpaksa aku belum dapat
segera pergi ke Jakarta. Bahkan membalas surat pun aku lupa. Soalnya, sungguh aku
tidak mengenal si penulis itu, yang menyebutku teramat intim : Lieve Teto (Teto yang
manis).
Siapa ini ? Yang kenal nama panggilanku ? Dari Mami jelas bukan, sebab kukenal
tulisan Mami. Barangkali karena pikiranku penuh soal-soal ujian, sama sekali tidak
terpikir bahwa mungkin penulis surat itu salah seorang penghubung Papi. Papi, yang
demi keselamatan tidak mau meninggalkan bekas atau tanda hidup satu pun.
Baru sesudah selesai ujian mata-pelajaranku terakhir, yang barangkali tak baik
hasilnya (karena semalam-malaman aku terganggu oleh surat dan wesel dari Jakarta
itu : Siapa gerangan penulisnya ?) kuputuskan untuk bertekad pergi ke Jakarta. Sambil
melihat situasi di ibukota sana, ada apa. Dari Papi belum lagi ada tanda-tanda hidup.
Sampai di alamat Kramat, aku masuk halaman dengan nomor rumah yang sudah
dipesankan padaku. Rumah itu rumah kuna dengan tiang-tiang Romawi bulat yang
gagah. Lantai dari marmer Italia persegi dipasang diagonal. Hanya kerai-kerai sudah
agak lusuh, karena bahan cat di masa itu sudah lama sulit dicari.
Satu-satunya yang mengganggu dalam rumah anggun itu hanyalah kertas-kertas
pengaman bahaya udara yang ditempelkan pada kaca-kaca pintu dan jendela. Beranda
muka marmer itu hampir kosong. Hany meja sederhana satu dengan empat kursi yang
serba kaku berdiri di situ. Rumah siapa ini ? Tidak ada tukang kebon tidak ada anjing.
Sunyi sepi saja. Dari jalan terdengar teriak anak menjajakan es. Sebuah andong lewat
membawa seorang berseragam. Dai Nippon kekurangan bensin, kata benakku dengan
syukur. Kebencianku pada orang-orang Jepang menyala selangit.
Di mana Papi ? Keluarga rumah ini barangkali tahu ? Atau jangan-jangan aku
masuk jebakan Kenpeitai ? Kucari jalan ke belakang. Hanya pintu-pintu kebun yang
serba tertutup dan terkancing kuat kutemukan. Tidak ada bel lagi.

25

Kuperiksa nomornya. Betul. Kutelusuri lagi ujung jalan Kramat. Betul, angka Roma

VI. Kembali aku ke rumah tadi. Lelah aku duduk di atas tangga lantai marmer itu.

Sejuk rasanya. Mengantuk juga aku karena lelah dari perjalanan KA brengsek.

Tanpa aku sadar tahu-tahu pagar muka sudah dibuka dan datanglah seorang gadis

mendekatiku. Naluri menggerakkan aku berdiri. Barangkali puteri tuan-rumah ? Aku

menghormat. Gadis itu tersenyum ramah. Kira-kira adik sebayaku. Tetapi biasanya

pemudi tampak lebih tua dari yang sesungguhnya. Masih pelajar ? Sudah pegawai ?
“Adik Teto dari Semarang ?”
“Betul, Mbak. Maaf, aku sedang ujian dulu. Tidak sempat membalas.”
“Oooh (matanya bersinar jenaka) memang kami yang keliru. Tetapi profisiat,

sudah lulus kan ?”
“Baru saja selesai. Jadi belum tahu keputusannya.”
“Ooooh (senyumnya cerah, membuatku bingung) pasti lulus deh. Raden Mas

Sinyo pasti lulus,” dan ketawalah ia berderai. Aku terkejut setengah mati mendengar

sebutan Mas Sinyo :
“Kok tahu…”
“Ah, Mas Sinyo ini sombong sih. Berkali-kali berkunjung ke rumah kami, tetap

nggak mau kenal.”
“Baru pertama kali aku …”
“Tidak di sini. Tetapi di Sala.”
“Ah, maaf.” Tiba-tiba muncul dalam benak belakangku sebuah citra roman muka

gadis yang pernah kukenal, entah di mana. Jauh … jauh … dan agak kabur.
“Aku Atik…..Larasati. Pasti tak kenal, tanggung ( dan tertawa-nya geli, seperti

mengejek). Yang dikenal Cuma noni-noni yang cantik-cantik saja tentu kan !”

Aku malu sekali dan merasa bersalah. Memang dulu sesudah tamat SD aku tak
pernah suka berkunjung lagi di kalangan ningrat yang serba kaku. Dan sekarang …

“Saya kira bukan begitu Mbak.”
“Allaa…..mari masuk. Sudah lama tadi ?”
“Lama sekali. Untung ada malaikat datang.”
“Aduh, sekarang menyanjung. Mungkin lapar, Mas Teto ? (kurangajar, aku malu

sekali). Mamimu di dalam.
“Mami ?”

Mami menangis melihatku. Dadaku mulai sesak. Apa betul Papi tertangkap ?. Ibu

Antana, nyonya rumah, menghiburnya dengan kata-kata lembut. Dan dari kata-kata

itu aku sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa harapan berjumpa kembali dengan

Papi sudah hampa. Ternyata betul. Papi masuk perangkap. Ia rindu pada Mami dan

menulis surat agar bertemu denganya di salah suatu warung di Pasar Senen dekat

bioskop Grand. Surat itu (Papi lupa) tentu saja disensor. Mami pun tidak berpikir

panjang, dan memang menurut instruksi, Mami merahasiakan semua itu terhadap

kerabat puri, sehingga tak sempat mendapat nasihat yang lebih waspada. Begitu Mami

menggandeng Papi, begitu Kenpeitai memborgol Papi. Jasa dan tanda cinta terakhir

dari Papi pada Mami hanyalah kata-kata tegas kepada Kenpeitai agar membebaskan
Mami yang tidak bersalah sedikit pun. Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan …?

Mulai saat itu aku memasuki babak baru dalam hidupku. Dalam diriku terasa

panggilan untuk mengganti tempat Papi. Setelah ditinggal suami yang dicintainya,

Mami semakin mundur, kurus dan mudah sakit. Dan semakin diam. Mami lalu

mencari hiburanny dalam mistik dan alam gaib.

26

Tidak lama kami menumpang pada keluarga Antana, yang penuh kebaikan hati itu.
Sebab Mami tahu,tidak baik terlalu lama menumpang pada keluarga lain. Barangkali
Mami merasa bahwa kecenderungan kemurungannya bisa jadi lama kelamaan kurang
enak bagi keluarga darmawan itu, yang memang kurasakan, serba gembira, optimis
dan pandai saling berdialog dengan ledekan-ledekan jenaka. Dalam hati aku senang di
dalam lingkungan keluarga Antana, terutama karena Atik tiba-tiba mengisi
kebutuhanku berupa pergaulan adik dengan kakak ; aku yang selalu anak sulung
sekaligus bungsu ini. Begitu juga Atik. Tetapi terus terang saja toh aku belum siap
mental. Maka sikapku lebih berkadar malu dan minder daripada menerima lahap
anugerah lingkungan yang menyenangkan itu.

Kami lalu tinggal di suatu rumah kecil di belakang tangsi Penggorengan Senen
dengan cara hidup sangat hemat, sederhana dari sisa peninggalan tabungan Papi yang
masih lumayan. Bahkan atas desakan Mami aku memasuki Sekolah Tinggi
Kedokteran Daigakku. Tetapi di luar kuliah aku jadi “anak kolong” lagi, mencatut
sini, mencatut sana, mencari nafkah untuk Mami. O, Mamiku yang kasihan. Sungguh
aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul menciummu dengan bangga,
ataukah harus membunuhmu dengan benci. Sebab menjelang senja itu, di bawah
pohon mangga kebun belakang rumah Bu Antana, untuk pertama kali dalam segala
tahun yang masih kuingat jelas, aku, anak KNIL yang telah ditempa dengan hati dari
tembaga peluru tangsi, yang terbiasa untuk bertahan, toh menangis. Sepulang dari
mencari tambahan nafkah catutan di Pasar Senen, aku menemukan rumah kosong.
Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda. Aku harus
pergi ke Tante Antana. Tante yang akan menerangkan, ke mana Teto harus pergi
untuk”menemukan” Mami. (Aneh, menemukan di antara tanda petik.) Ibu Antana dari
semula selalu menunjukkan kesayangannya padaku. Tetapi petang itu memang lebih
dari biasanya. Diciumlah batu kepalaku. Disusul sekedar minum teh dan kue-kue
basa-basi di kebun, di bawah pohon mangga, di mana aku dan Atik sering main dam
dan saling berdebat serta bercanda saling meledek.

“Mana Atik ?”
“Sedang belajar dengan teman-temannya.” Dan tanpa kutanyakan, keterangan
ditambahkan : “Pak Antana baru ke Bogor.” Lalu basa-basi lagi. Rupa-rupanya Bu
Antana masih mencari kata-katanya yang tepat. Aku sudah tidak sabar lagi. Lagi
hatiku takut. Tetapi akhirnya … “Tetoku, kau boleh percaya pada Tante. Tante hanya
mengatakan yang Tante rasakan. Ibumu wanita yang paling mulia jiwanya yang
pernah kujumpai selama hidup Tante. Tetoku, kau cinta pada Mamimu ?”
Dengan mata membelalak kutatap Bu Antana. Ada apa kok tanya seperti itu ?
Tentu saja aku mencintai Mamiku.
“Kok Tante tanya …?”
“Ah, Tante tanya sebenarnya hanya untuk melahirkan suatu keyakinan, Teto.
Pertanyaan yang sudah mengandung jawaban, bukan Teto ?” Tanganku dipegang erat
oleh Tante. Sejuk tangan itu. Dan berceritalah Ibu Antana, dengan nada yang jelas
menangis, namun tenang dan menguasai diri. Lembut dan bagaikan pegas kursi
empuk membuat pukulan masih terasa lunak. Aku sudah tidak ingat lagi pilihan kata-
kata Tante.
Pokoknya Mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpeitai yang berwenang atas
nasib Papi. Mami boleh pilih : Papi mati atau Mami suka menjadi gundiknya. Mami
memilih yang akhir. Dan Mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi.
Setadewa anaknya, harus tahu segala-galanya beserta mengapanya.

27

Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf. Doa kontan
kuledakkan dari hati. Tetapi maaf …? Aku menangis seperti anak kecil. Aku
berterima kasih tiada terhingga, bahwa Tante hanya menyeka-nyeka rambutku,
membiarkan segala banjir kawah yang meletus habis sampai kering. Aku berterima
kasih bahwa saat itu Atik “kebetulan” belajar dengan teman-temannya. Bahkan lalu
“kebetulan” menengok neneknya di Sukabumi untuk seminggu. Sebab memang
berhari-hari jiwaku terobek-robek. Apakah aku harus bangga dan memuji Mami
ataukah aku harus membunuhnya ? Sejak itu Bapak dan Ibu Antana menjadi Papiku
dan Mamiku. Selanjutnya tak pernah lagi aku melihat kembali Mamiku yang malang
itu.

Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang.
Termasuk itu pengkhianat-pengkhianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang
disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di
alun-alun oleh hasutan Soekarno : “Inggris kita linggis !” Amerika kita seterika ! Dai
Nippon, banzai !” Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi : menjadi
KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut
tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba
kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi
mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik.

28

4. Kuncup Mekar

Pagi itu, ketika Bu Antana sedang memasak sayuran sambal goreng taoco, Larasati
hampir menyeruduknya masuk api. Begitu riang dan bernyala-nyala anaknya itu,
menceritakan kabar gembira, ia lulus ujian masuk SMT.

“Nah …nah …nah, tenang Tik. Hampir saja ibumu masuk api.”
Tapi anaknya tidak ambil pusing dan di muka ibunya ia menari-nari sambil
menyanyi-nyanyi lagu ngawur. “Luloos. Luloos.” Terus terang Bu Antana tidak
terkejut atau terlonjak mendengar berita itu. Walaupun ia gembira juga. Sebab bagi
Bu Antana sudah jelas tidak mungkin meleset, anaknya pasti lulus. Benih yang
diwariskan oleh suaminya kepada anaknya memang unggul.
Bu Antana sendiri tidak seberapa dalam hal intelek, itu diakuinya ikhlas, walaupun
tidak bodoh. Iklim perkembangannya dulu sebagai anak angkat perempuan keraton
dengan cara ningrat terlalu menghambatnya.
Bu Antana bersyukur, bahwa Atik begitu gembira seolah-olah masalah lulus atau
tidak baginya suatu risiko besar yang harus direbut kemenangnnya dengan segala
susah payah. Tanda masih cukup rendah hati. Memang anaknya sangat rajin dan
pernuh prihatin belajar bersama teman-temannya, akan tetapi ibunya dan ayahnya
selalu menganggap soal ujian Atik sebagai upacara pantas-pantas saja. Tata
persyaratan yang harus dikerjakan. Yang mereka prihatinkan bukan soal keberhasilan
meraih angka di sekolah, Tetapi soal …..Ya, apa lagi selain ini : calon jodoh.
Anak lelaki pandai itulah-ideal. Tetapi gadis yang pandai ? Bagaimana nanti
menemukan seorang jejaka yang masih lebih pandai lagi dari si Prenjak cerdas ? Dan
yang sekaligus penuh kemanusiawian mulia segala kebaikan dan keunggulan yang
diminta dari suami yang baik ?
Ia haruslah bersyukur ! Alangkah busuknya tidak berterima kasih kepada Tuhan
Allah karena diberi anak yang pandai. Tetapi … ah, mengapa hidup selalu dibayangi
kata tetapi …?
Jaman perang seperti tidak ada habisnya. Sudah tiga tahun Jepang berkuasa dan
banyak orang berbincang tentang kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari.
Tetapi bagi setiap ibu yang menjadi pertanyaan pokok hanyalah : nasib atau lebih
tepat calon jodoh sang anak kelak di kemudian hari.
“Bapak kemana, Bu ?” tanya sang Siswajaya seperti kemarin, dan kemarin dulu
juga, setelah pulang dari pesta perpisahan kawan-kawan yang terpaksa harus dibuat
sederhana.
“Besok pagi kan pulang.”
“Ke Cipanas lagi ?”
Sangat mungkin,” Bu Antana bernafas panjang. Citarasanya merasa intuitip,
suaminya menyembunjikan sesuatu. Bukan, bukan soal perempuan lain. Tetapi soal
politik. Sama bahayanya dengan masalah segitiga. Tetapi barangkali suaminya hanya
biasa saja pergi ke Kebun Raya Bogor atau berdinas ke hutan lagi ke Cagar Alam.
Memang itu profesinya. Tetapi toh lain. Perjalanan dinas dan segala yang behubungan
dengan kantor dan sebagainya selalu jelas jadwalnya. Suaminya mengikuti cara
bekerja Belanda, berdisiplin dan cermat. Tetapi sudah setahun ini, lebih-lebih dalam
bulan-bulan Juni-Juli ini suaminya sering, ya jelas terlalu sering, mendadak di luar
program rutin pergi entah ke mana, Bogor, ke Cipanas, ke entahlah. Pasti ada
sangkut-pautnya dengan politik.

29

Dan Bu Antana tahu, politik di bawah tanah. Dalam batin Bu Antana hanya berdoa,
agar semua selamatlah.

Ia percaya suaminya tidak akan berbuat gegabah atau yang bukan-bukan. Bukan
orang emosional dia, jenis pemikir tenang. Juga bila Atik bercerita dengan semangat
tentang gelora Bung Karno, ayahnya selalu meredamnya sedikit.

“Soekarno itu api, Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru
separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya,
dan tidak membakar segala hal, termasuk diri sendiri.”

Bu Antana tidak tahu banyak tentang bintang-bintang politik masa baru,
maklumlah ia terlalu orang pingitan puri ningrat. Tetapi dalam suatu perkara seluruh
keluarga bersatu teguh : mereka tidak senang pada Jepang. Artinya pada kaum militer
kejam itu. Suaminya selalu berkata : kita harus membedakan antara Jepang sebagai
bunga kebudayaan yang tinggi, seperti Cina, India, Arab dan lain-lain, dan dari pihak
lain : kekejaman para kaum samurai itu.

Ya, Mas Tana benar. Tidak perlu jauh-jauh. Banyak adat-istiadat Jawa juga
sangatlah kejam bagi ukuran manusia terpelajar, dan ia bersyukur berganda, bahwa
anaknya sudah tidak mengalami lagi iklim ningrat itu. Namun anehnya, lagi intuisinya
yang mengarahkannya, Atik toh tetap ia didik dalam alam sopan-santun dan citarasa
Jawa ningrat.

Pernah mereka bersama-sama melihat film Jepang. Bukan film perang yang
biasanya dipropagandakan itu, Tetapi sungguh-sungguh film tentang kehidupan nyata
di Jepang. Memang benarlah, dalam banyak hal bahkan dalam segala hal adat budaya
kehidupan, musuh-musuh Sekutu itu sangat serasi dan seolah semelodi citarasa Jawa
yang halus.

Puteri-puteri mereka yang berkimono bersimpuh di tikar tatami, alat yang
mengungkapkan jiwa citarasa keindahan yang ningrat. Selera seni mereka yang
sungguh mengirikan, pohon-pohon sakura dan hubungan erat antara anggota keluarga,
disiplin dan kesepakatan sukarela mematuhi cara-cara saling bergaul dan
berkomunikasi, itu yang sering menimbulkan pertanyaan.

“Bagaimana mungkin, citarasa yang begitu mulia dan halus kok bisa menikah
dengan kekejian sadis militer dan kehausan nafsu kuasa mereka.” Suaminya tidak
pernah mampu menjawab pertanyaan itu.

“Aku pun heran dan sungguh, ini misteri bagiku.”
Atik berkesimpulan sederhana, kendati tidak jelas bagaimana konkritnya nanti :
“Kalau Indonesia kelak medeka, negara kita tidak akan kejam.”
Mudah-mudahan, Tik.”
“Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.” Atik memang sudah menjadi pemudi
yang bergelora. Api pijar Bung Karno sudah menyala di dalamnya.
“Ya, harus. Kau benar. Tetapi ribuan orang sudah terdidik oleh kaum samurai itu.
Dan dalamlah pengaruh itu sudah. Dengar cara sahabat-sahabat kita berkomando dan
berpidato serta bersikap persis Jepang.”
“Ya, itu kan baru kulitnya, Mas. Toh bagaimana pun bangsa kita ini timur.”
“Jepang pun timur.”
“Kita memohon saja. Hanya itu yang bisa kita lakukan.”
“Ditambah perjuangan,” tambah suaminya serius.

30

Nah, kalau sudah sampai sekian, intuisi Bu Antana maklum bahwa suaminya
memanglah sedang mengerjakan sesuatu aksi politik di bawah tanah. Ia tidak pernah
bertanya lebih lanjut.
Kepercayaan puteri Jawanya yakin, bahwa bila memang perlu, suaminya akan
menceritakannya dengan sendirinya.

Tetapi kalau dia diam, itu jelas ada juga alasannya yang syah.
Dan Bu Antana yakin lagi : Itu juga pasti demi keselamatan sang istri dan anak-anak.
Ah, semogalah selamat. Apa yang bisa diperbuat perempuan selain berdoa ? ditambah
membuat sambal goreng taoco, kesenangan suaminya ?

Tiba-tiba, entah dari mana bisikan ilham, Bu Antana mengajukan usul : “Kau
harus merayakan lulusmu dengan Teto.”

“Ah, Teto.” Dan langsung Atik diam merenung, sehingga ibunya menyesal,
mengapa dalam saat gembira itu ia memberi suatu bayangan hitam. Tetapi memang
entahlah, dari mana Bu Antana pun tidak mengerti, mengapa Teto terlonjak ke luar.
Apakah Bu Antana juga sudah mulai menaksir dan sedikit banyak berkesimpulan,
bahwa dari sekian teman, sebenarnya Si Tetolah yang selalu terbayang sebagai calon
menantu ?

Tetapi bukankah itu suatu permainan yang berbahaya ? ‘Teto sekarang sudah
bukan yang dulu, sejak melapetaka mengenai dirinya, ibu dan ayahnya. Duh Gusti ¹⁾
lakon sering kejam. Sungguh sangat beruntung keluarga Antana masih utuh dan tidak
mengalami kekejian nasib yang menimpa keluarga Kapten Brajabasuki.

Dalam pandangannya, beserta suaminya ditambah Atik, Oom Bas adalah
pahlawan. Juga istrinya, itu Marice, wanita Indo yang baik namun malang itu, dalam
kenangan keluarga tetaplah tanpa noda. Maka dalam lubuk hati Bu Antana sering
hinggap bagaikan burung merpati, keyakinan : “Seandainya saya dalam keadaan
seperti Marice, pasti saya berbuat yang sama juga. Bagaimanapun pahitnya.” Tetapi
segera pikiran seperti itu dikipaskan pergi, sebab memang terlalu ngerilah kalau
dipikirkan terus. Keindahan dan kekejaman, mengapa keduanya itu sering
bergandengan dan kawin ?

“Maaf Tik, ibumu tadi hanya terlena omong. Kau benar-benar boleh memilih
sendiri teman-teman yang akan diundang sekehendak hatimu.”

Tetapi Atik tenang mendekatinya, dan sambil menolong ibunya mengambil panci
sambal goreng itu dari api, ia berkata dengan mata nanap namun tampak sedih : “Dari
sekolah sambil bersepeda Atik tadi juga sudah berpikir, Bu. Teto harus ikut
merayakannya. Tetapi bagaimana caranya ? Dan lagi, apa dia mau ?”

“Barangkali hanya harus dicarikan akal, bagaimana caranya berpesta.”
“Ah, iya itulah Bu.” Panci diletakkan di atas meja dapur dan dirangkullah ibunya
erat-erat. “Ibu, aku sungguh kasihan pada Teto.”
Ibunya tidak dapat mengucapkan kata hiburan satu pun. Sekarang jelaslah apa
yang selama berbulan-bulan ini hanya dapat diduga oleh ibunya : kata kasihan di sini
sama artinya dengan cinta. Pada hal justru satu itulah yang ia khawatirkan. Bukan,
bukan karena Bu Antana tidak simpati pada Teto. Tetapi situasi sudah begitu berubah.
Jaman pesta-pesta di rumah Pangeran kakaknya juga sudah lampau. Ini jaman kejam.
Atik, Atik anakku, memang sudah nasibmulah kau mengalami jaman serba tidak
keruan ini ?

¹⁾ Ya Tuhan.

31

“Ibu juga kasihan pada Teto ?”
Lirih ibunya berbisik ke dalam telinga anaknya : “Tentu saja. Siapa tidak kasihan
pada sahabat bila mereka tertimpa kecelakaan.”

Tiba-tiba rangkulannya dilepas dan berlarilah Atik ke luar dapur. Bu Antana
mengikutinya beberapa langkah. Sudah tahu, ke kamar tidur dia. Biar ia menangis
dulu. Dan sambal goreng itu dimasukkan ke dalam almari dapur. Nanti masih perlu
dihangatkan sebelum dihidangkan di meja. Tetapi siang ini jangan-jangan suaminya
tidak pulang. Dan di mana Teto sekarang ? Pesta apa yang paling tepat ?

Malam hari itu, sesudah mencuci piring dan memeriksa gembok-gembok dapur,
gudang dan pintu gang keluar, Atik seperti lazimnya ikut duduk dengan orang-tuanya
di ruang tengah. Ibunya biasanya merenda sesuatu, dan ayahnya rileks merokok
sambil mendengarkan musik dari radio yang disegel. Musik apa pun, biar itu dari
Jepang, pantas dinikmati juga. Kecuali musik yang jelas bombastis propaganda
kosong.

“Mbok Inem sudah beristirahat Tik ?”
“Tadi saya beri pil kinine dua butir.”
“Ya. Mbok Inem sudah tak bisa bekerja lagi sebetulnya. Akhir-akhir ini terlalu
cepat ia menjadi tua dan bergetar tangannya.”
“Sulitnya ia tidak mau disuruh istirahat,” kata istrinya.
“Memang dapat dipahami. Orang yang selama hidup tertbiasa bekerja keras, tidak
mungkin begitu saja senang menganggur. Dan lagi siapa senang menganggur ?”
“Mbok Inem menderita,” sambung istrinya lagi.
Anaknya diberangkatkan sebagai romusha ¹⁾. Mengapa sampai terjadi itu ?”
“Romusha kan boleh pulang kelak, Pak ?”
“Ya, selalu saja itu mungkin,” (dan nada getir sinis) “istilah sekarang : kelak di
kemudian hari.”
“Susah juga menjadi nenek yang kesepian begitu,” keluh Atik dengan iba hati.
Ayahnya diam. Ibunya juga diam. Hanya tik-tak dari jam Junghans yang terdengar
seperti nenek bersuara rendah berwibawa memperingatkan datangnya jam saat tidur,
dan nasihat, betapa pendek jenjang hidup manusia.
Jam merk Junghans itu sudah cukup antik, kurus persis kakek bentuknya. Kacanya
di ketiga sisinya berpigura rusuk-rusuk bulat buatan kuna yang dimahkotai semacam
jamang ²⁾ atau diadem kayu berukiran. Mesinnya tampak semua dari samping dan
lebih memberi kesan “rohani” pada jam itu, tembus pandang, seolah-olah sudah
“badan halus” Angka-angka pada piringan masih angka-angka Romawi, dan jarum-
jarumnya seperti dua jantung hati yang selalu rukun. Yang pendek gemuk itu si suami
dan yang berlari cepat semampai itu si istri. Begitu selalu Bu Antana melihatnya.
Bandulnya tembaga ukiran dan tergantung pada tangkai berbatang tujuh lidi-lidi
kuningan yang sejajar, sungguh-sungguh bergaya antik berwibawa dan … setia. Tidak
pernah bejalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Entah barangkali naluri wanitalah
yang membuat jam itu kadang-kadang menumbuhkan rasa takut.

¹⁾ Budak-budak kerja paksa jaman Pemerintahan Jajahan Jepang.
²⁾ Mahkota, ban hias kepala.

32

Menghadapi jaman perang dan nasib tidak jelas sebagai akibat situasi politik yang
serba tak menentu ini. Sering Bu Antana gemetar bernafas cepat pendek-pendek
berdebar bila melihat jam antik itu.

Di Jalan Kramat ini Bu Antana sebetulnya tidak begitu suka. Tetapi hal ihwal
peristiwa kedatangan Jepanglah yang menyebabkan mereka harus pindah ke Jakarta.
Rumah ini milik Kanjeng Ibu Suri dari Pangeran Hendrningrat dan beliau
menghendaki rumah ini selalu didiami orang ; takut nanti digarong orang.

Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang itu, tetapi Bu
Antana tahu kedudukannya sebagai anak seorang gundik Keraton berdarah rendah
yang sudah untung mendapat anugerah dianggap sejajar dengan abang tirinya Mas
Hendradininrat. Selain itu, pertimbangan, ada baiknya juga Atik bersekolah di kota
pusat dengan pergaulan yang lebih luas dan lebih bermutu, membawa mereka ke
Jakarta ini.

Di Bogor tidak banyak pekerjaan bagi suaminya, karena resim Balatentara Dai
Nippon tidak banyak memberi anggaran. Yang mereka perhatikan hanya hutan jati.
Sayang sebetulnya. Suaminya sering sedih menceritakan penggundulan gunung-
gunung. Tetapi tanpa anggaran ia pun tak berdaya apa-apa.

“Kau lelah, Tik,” kata ayahnya seraya memandang kepada anaknya yang terhanyut
dalam kantuknya. “Sana tidur dulu. Beban sekolah menengah Tinggi sebentar lagi
cukup berat.” Atik berdiri, sebab ia memang ingin melamun sendiri. Ia mendekati
ayahnya, menaung agar keningnya dicium ayahnya selaku ucapan Selamat tidur.

“Selamat malam, Pap.”
“Selamat bermimpi indah, Tik.”
“Ibunya, mencium pipinya : “Esok masih ada hari cerah.”
Atik hanya menjawab : “Selamat malam, Bu.”
Kedua orang-tuanya pelan berputar mengikuti gadis itu berjalan menuju kamar
tidur. Sesudah pintu tertutup keduanya saling berpandangan, Suami istri sudah tahu
apa yang dipikirkan masing-masing. Ke mana lalu ? Ya, ke mana ? Jam gantung
bertik-tak terus. Seekor cicak berseru seolah ikut prihatin. Seorang penjaja sate
bahkan membuat suasana malam lebih sepi lagi. Daging bekicot dianjurkan oleh
pihak berkuasa. Tetapi orang-orang Madura itu tidak pernah berkekurangan daging
ayam untuk sate. Hanya sebetulnya terlalu pagi mereka berkeliling. Jam malam
menghambat mereka juga.
Kedua suami istri itu hanya duduk diam saja. Ya, indah begini. Tanpa kata
menghayati kebersamaan. Kehadiran, itulah jawab pada dambaan dua jiwa yang
margo kulino ¹⁾ sudah dijumbuhkan melumer dalam satu kedagingan dan kesatu-
jiwaan ranjang serta hal ihwal hidup sehari-hari. Juga tanpa sepatah kata biasanya
mereka sudah saling berdialog. Biar rasa yang berbicara, getaran-getaran halus nikmat
pengejawantahan Kama dan Ratih. Kenikmatan rahasia, yang (ah, betapa bodoh) dulu
ketika masih mempelai muda dianggap oleh Bu Antana sebagai keharusan yang jijik
tetapi wajib. Pada hal ternyata kelak itu terasa sebagai laras ing ati ²⁾ berkat margo
kulino ; sebagai suatu yang semakin wajar dan sekaligus indah. Indah, karena di
dalam kejumbuhan jazat yang satu itu tidak terasa lagi Gusti ³⁾ atau Kawula ⁴⁾.

¹⁾ Berkat pergaulan sehari-hari.
²⁾ Harmonis dalam hati.
³⁾ Tuan.
⁴⁾ Hamba.

33

Atau lebih tepat,yang dirasakan ialah kemanuggalan dua garwo alias

sigaran nyowo ¹⁾, belahan jiwa yang saling menemukan diri sebagai pengejawantahan
kemanunggalan para dewata. Dan bila Bu Antana sedang menghayati kehanyutan
nikmat kewanitaanya, samar-samar segala itu merupakan ucapan sembah kepada
kahyangan ²⁾ juga, beserta permohonan, agar Atik anaknya pun diperkenankan
merasakan yang dirasakan ibunya.

Tadi selama makan petang, Atik sendirilah yang mengusulkan. Agar jangan
diadakan pesta. Dengan serius dan begitu meyakinkan sehingga kedua orang-tuanya
tercengang. Tetapi Atik tetap memohon acara pengganti. Sekali lagi, Atik ingin
berpesta, tetapi dengan cara menyelusup ke dalam alam hutan atau puncak gunung
bersama ayahnya. Sudah sejak Atik bersekolah di SMP, ya sejak Jepang datang,
wanawisata ³⁾ yang dulu sering dialami di SD tidak pernah lagi dilakukan. Karena
situasi darurat perang tentu saja.

“…bersama ayah.”
“Hanya dengan ayah ?” tanya ibunya tersenyum dikulum. “Ah, andai saja bisa
bersama dengan Teto.” Tetapi Atik hanya menjawab itu di dalam hati, dan berkerja
setengah menghindari : “Ya, dengan siapa lagi.”
Semua tahu siapa yang ia maksudkan. Tetapi ayah-ibunya diam saja. Tidak semua
yang diketahui harus juga dikatakan.

34

¹⁾ Belahan Jiwa.
²⁾ Surga para dewata.
³⁾ Perjalanan mempelajari hutan.

B a g i a n II
1945 - 1950

5. Anak Harimau Mengamuk

Ya, betul ! Aku dulu masuk NICA ¹⁾ Mau apa ! Sekarang aku tahu, itu keliru. Tetapi
apa manusia tidak boleh keliru ? Lagi pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang
dikehendaki kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang untuk
merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri
pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda. Karena
aku jakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidak-dewasaan
dengan keuntungan yang akan dicapai. Itu dilihat dari titik penglihatan orang
kampung, anak kolong. Kan aku sudah bilang, aku anak kolong, dan aku bangga jadi
anak Kumpeni. Bangga ikut bergerak di bawah tanah melawan Jepang, justru pada
jaman orang-orang kita serba membongkok ke arah Si Cebol Kuning itu. Justru pada
jaman beribu-ribu orang romusha diserahkan kepada kaum sadis made in Japan itu.

Ayahku dan aku dan Mami jauh lebih merdeka jiwanya dari itu kaum Soekarno
yang menghipnotisir massa rakyat menjadi histeris dan mati konyol hatinya karena
mengandalkan bambu runcing belaka melawan Mustang-mustang dan meriam-
meriam Howitser yang pernah mengalahkan tentara Kaisar Jepang. Maaf, Anda keliru
alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik
bagi mereka sarana juga. Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan
belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih
merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda ?
Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada
di bawah Hindia Belanda ?

Papi jelas lebih merdeka di Magelang dari pada di Mangkunegaraan. Inilah
kesalahan logika mereka : menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara
merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens. Lihat seluruh
sejarah dunia dong. Tetapi awal masuk NICA bagiku tidak sama dengan menjadi
budak Belanda. Itu lain ! Dan ini terang-terangan kukatakan di muka hidung Mayoor
Verbruggen, komandan batalyon NICA di pos depan Harmoni yang cocok sekali
namanya : “Jagamonyet.”

“Mayoor, aku ditangkap oleh serdadu-serdadumu. Terima kasih. Tetapi jika kalian
menembak aku, kalian kehilangan seorang sekutu yang bermilai satu juta orang
Republik.”

“Besar benar mulutmu anak kelinci.”
Spontan aku berkecak pinggang dan sengaja agak berlebihan menjajakan
kelelakianku. “Satu kali lagi aku kausebut kelinci atau nama-nama hinaan, tak
perduli sten-gun sedadu-serdadumu ini, kau akan menggerang sampai
kedengaran di Den Haag sana.” Kontan aku ditempeleng seorang NICA Ambon.

¹⁾ Netherlands Indies Ciwil Administration, Pemerintah Penguasa Hindia Belanda.

35

Kusambar mereka, sebab aku percaya mereka tidak akan menembak di muka seorang
mayoor (yang, mereka tidak tahu, adalah sahabat Papiku di Akademi Breda dulu).
Betul, Mayoor Verbruggen hanya menyuruh mengikat kedua tanganku dalam gerak
yuyitsu oleh salah seorang body-guardnya, seorang kuda Sumba yang sungguh seperti
kedondong Benggali rupanya.

Mayoor Verbruggen mengambil sebatang cerutu besar dari kotak laci bironya.
Tenang ia mengupas pucuknya dengan golok dan lebih pelan lagi ia mulai
menyalakan cerutu itu, yang segera menghembuskan bau harum yang sudah lebih dari
empat tahun tidak pernah lagi kuhirup. Tetapi mataku tajam memancar langsung ke
mata mayoor itu. Ia mulai tersenyum lihay.

“Di mana orang muda ini ditangkap ?” tanyanya pada bawahannya tanpa beralih
pandang dariku.

“Di Pasar Baru, Mayoor. Ia berjalan sendirian dan provokatif sekali, tangannya
dimasukkan di dalam saku pantalonnya sambil bersiul-siul. Kami tak ambil risiko dan
terus kami tangkap.”

“Tetapi ia tidak memakai tanda merah-putih pada dadanya, Tuan Mayoor, “kata
seorang sersan dengan logat Jawa. “Dan sepanjang jalan ia terus-menerus ingin
bertemu dengan mayoor yang bernama Verbruggen.”

“Zo,zo, kedua tangannya di dalam saku celana sambil bersiul. Nyanyian romantis
tentunya, bukan ?” dan mayoor itu tertawa kecil seperti nenek-moyang kuda Belgia
yang belum pernah kulihat, tetapi yang pasti persis Si Mayoor itu. Tiba-tiba ia berdiri
dan mendadak menggebrak meja dan berdentum seperti meriam suarnya : “Verdomme
! Saya pernah melihat kau. Siapa kau ? Dan jangan bohong pada Mayoor Verbruggen,
tahu anak kelinci ! Ya, kau anak kelinci. Verdomme ya, kau anak kelinci.”

Aku terkejut juga mendadak diroket kerongkongannya yang harus kuakui, sangat
berwibawa dan mengerikan. Tetapi aku tak gentar, sebab aku merasa pasti akan
perkaranya.

“Kalau Mayoor ingin tahu namaku, harap kedua tanganku dibebaskan dulu.”
“Benar-benar tidak tahu sopan-santun kau, ya. Apa hubungannya dengan kedua
tanganmu ? Sakit, anak kelinci ?” dan ia tersenyum ironis.
“Aku bawa surat untukmu.”
“Heh ?” dan cerutunya dilepaskan dari mulutnya yang bergigi warna gading tetapi
rapi. “Apa-apaan surat segala.”
“Dari Marice.”
“Heh ? Marice ?” dan mata serta mulut melompong bolong seolah ia bertemu
dengan Soekarno himself “Sekarang aku tahu. Hei gila. Kau apanya Marice ? Kau
anak dari Marice ? Ah …ah … Betul kau anak dari Marice ?” Mayoor itu duduk
bertiduran pada sandaran belakang kursinya, jari-jari main piano di meja. Lama
mengamat-amati aku dengan diam di bawah kepulan asap cerutunya.
“Marice, Marice … ah …(dan ia memerintahkan bawahannya) hei, kalian keluar
dari kamar ini. Biarkan anak muda ini di sini.” Serdadu-serdadu itu keluar persis
kunyuk-kunyuk.
Zo, zo …jadi kau anak dari Marice,” ia berkata agak bengong.

36

“Mari duduk … siapa ? Yan, Piet, Karel ? Atau Willem ?”
“Leo” (Saya tidak mau menyebut nama Teto. Kok, seperti anak kecil).
“Zo, zo, Leo ! Jadi kau membawa surat dari Marice ? Apa isinya ?”
“Silahkan baca sendiri Mayoor. Maaf, pinjam golok yang tadi itu.”
“Golok ?” (tetapi ia toh memberikan benda itu padaku.)
“Maaf Mayoor,” dan kubuka kancing celanaku. Dengan pisaunya kusobek bagian
tempat sabuk dan kukeluarkan seikat kertas. Kuserahkan itu kepada perwira itu.
Seperti merenung kertas itu dterima, dipegang. Ia melihatku, melihat kertas itu
lagi. Kertas itu tetap belum dibukanya. Dengan hangat ia bertanya padaku : “Ibumu
cerita apa saja tentangku ?”
“Mayoor dulu melamar ibuku,” jawabku langsung tanpa putar-lingkar. Sebab
akhirnya toh itulah yang ingin ia ketahui.
“Untung saya tidak jadi ayahmu.” Komentarnya dingin sambil menyeringai. Kertas
itu belum lagi dibukanya. Matanya menembus mataku. Dan segera aku tahu, bahwa ia
masih menderita karena ibuku menolak dia. Risiko juga aku di dalam tangan
kekuasaannya, kupikir agak khawatir. Kalau-kalau patah hatinya menjadi benci ?
Untung-untungan. Di jaman kacau-balau ini tidak ada yang safe. Seperti ia membaca
pikiranku ia menghembuskan nafas panjang dan berkata lirih : “Marice ! Marice.”
Pada saat itu aku tertumbuhi simpati yang sangat dalam kepada perwira ini. Sebab
ia jelas pernah dan rupa-rupanya terus menerus mencintai ibuku. Tiba-tiba basah
mataku dan bagaimanapun aku berusaha, aku tidak bisa menahan tangisku. Marice
yang malang. Yang ternoda dan ickhlas menjadi binatang piaraan musuh-musuh dari
suami yang ia cintai. Mengapa hidup tidak bisa sederhana ? Mengapa selalu segala
yang indah berdampingan dengan yang kotor dan berbau ? Jika benar cinta dan
kemesraan pria-wanita itu mulia dan bersumber kebahagiaan, mengapa Tuhan
menciptakan tubuh kita sedemikian, sehingga organ cinta didekatkan berdampingan
bahkan bersatu dengan lubang pembuangan kotoran ? Sungguh, jika aku memikirkan
nasib Mami, gelaplah hatiku sampai aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, jangan
lagi tuhan yang disebut Mahabaik dan Mahapengasih.
Mengapa Marice menolak perwira yang simpatik ini, yang tampan dan tampak
perwira tulen itu ? Dan bahkan memilih seorang Belanda hitam yang blo’on dan yang
tidak terlalu cerdas menghadapi Kenpeitai Jepang ?
Apa Mayoor Verbruggen sudah tahu bekas kekasihnya menjadi lonte Jepang ?
Jangan. Tidak boleh ia tahu, Apa yang ditulis Mami dalam surat itu ? Tentulah minta
perlindungan untuk Leo anaknya. Apa lagi yang akan ditulisnya ? Entahlah, Surat itu
kuterima dari Bu Antana dua hari sebelum hari yang mengerikan, demontrasi di
lapangan Ikada sesudah Soekarno-Hatta memproklamirkan Republik.
Bu Antana berkata, Mamiku malang telah meninggal dunia dan ia menerima surat
itu melalui seorang tukang kebon rumah Komandan Kenpeitai itu. Menurut tukang
kebon itu, Mami sakit tifus. Dikubur ke mana ? Tidak ada sepasang mata melihatnya.
Tetapi dalam hatiku Aku kurang percaya tentang sakit tifus itu. Orang-orang negeri
ini pandai mempermanis berita-berita pahit. Lebih logis, bila Mami bunuh diri
daripada menghadapi malu, sesudah tahu Jepang kalah. Marice sayang, Marice
malang.

37

Papi dan Mami tidak pernah merahasiakan pribadi Verbruggen untukku, sebab

hubungan Mami dengan suaminya yang Jowo itu sangatlah kokoh. Aku sering kagum

pada Papi, mengapa ia sanggup memikat hati si noni cantik Marice. Tetapi wanita

memang rahasia besar. Lelaki hanya bungkusan rahasia itu, bahkan biasanya

bungkusan yang kaku dan lekas robek.
“Kau sudah tahu isi surat ini ? ia bertanya kepadaku.
“Belum, Mayoor, barangkali hanya minta perlindungan untukku, jika ada apa-

apa.”
“Jika ada apa-apa. Pemberontakan Soekarno itu apa-apa atau bukan apa-apa ?

Tolol” Ia berdiri, dan pelan-pelan menuju jendela. Dari balik kaca jendela kulihat

bendera merah putih biru pada tiang, lesu seperti ogah-ogahan berkibar di bumi ini.
“Verrekt” ¹⁾ umpatnya. “Perang Dunia begitu dahsyat sudah selesai, sekarang

malahan perang monyet sinting ini. Itu orang Inggris harus digantung semua. Saya

sudah berkali-kali bilang : Kalau kita ini betul-betul putra-putri keturunan de Ryuter
atau Tromp ²⁾ mustinya kita harus menggasak orang Inggris. Bukan orang Insulinde.
(Tetapi tiba-tiba) Marice ! Marice ! …(ia tetap memandang keluar jendela) Hei Leo,
ibumu tinggal di mana sekarang ?” Bagaimana Basuki ayahmu ?”

“Sudah di surga. Kalau ada surga.”
“Heh ? (Dan spontan ia menoleh kaget padaku.) Sudah meninggal ? Mana
mungkin. Verrekt ! Dibunuh orang-orangnya Soekarno, ya ?”
“Tidak. Jepang. Tentang Papi, tak ada berita sedikit pun.”
“Anjing kampung memang die Yappen ! Betul Si Truman. Dicekoki bom atom saja
mereka, cebol-cebol itu.” Ia menoleh kepadaku.
“Kau tinggal di mana ?”
“Di mana-mana.”
“Di mana-mana ? Gila kau. Gila. Persis ibumu Gila.”
“Jangan menyebut Mamiku.”
“Jangan lekas marah. Tidak ada di dunia ini yang begitu cinta pada Marice seperti
Verbruggen. Tahu kau ?”
“Apa Mayoor mengira, kapitein Basuki tidak sangat cinta Marice ?”
“Ah, bukan itu maksudku. Kau ini kelinci muda benar. Begitu aja nggak nangkap.

Sudah, bacakan, Mamimu menulis apa. Asal jangan testamen untuk menitipkan

anaknya pada saya. Sebab saya ini bajingan, tahu ya, bajingan akibat Marice

menolakku.
“Bukan Mami menolak, Mayoor. Tetapi kehendak Tuhan,” komemtarku bernada

sinis.
“Ah, Tuhan dibawa-bawa lagi. Kalau logikamu lengkap, itu berarti saya dibenci

Tuhan, begitu ?”
“Mayoor, apakah mencintai itu harus mengawini ?”
“Hallo, Filsof Hijau. Apa tahumu tentang cinta dan perkawinan. Tutup mulut kau

kalau tidak mau disebut tolol atau saya pukul jadi saua nanas. Apa tahumu tentang

cinta. Cinta yang ditolak ?Bah (Dan ia melihat keluar jendela lagi). Omong ngawur

tentang cinta ! Sudah, saya muak. Saat ini yang penting, bagaimana menghancurkan

itu permainan gila bikin-bikinan Republik. (Ia melihat lagi keluar. Brndera merah-

putih-biru sedikit berkibar, tetapi lesu lagi.)

¹⁾ Ungkapan bahasa Belanda :”Keseleyolah kau !”.
²⁾ De Puyser dan Tromp adalah admiral-admiral pahlawan Belanda yang jaya

Melawan Angkatan laut Inggris pada abad 17.

38

Verrekt ! Andai saja itu Mountbatten¹⁾ tersandung ranjau Jepang jadi keping-
keping biskuit ! Sudah berapa kali kukatakan : Inggris itu serakah dan tidak rela
Batavia menjadi saingan Singapura dan Hongkong. Itulah persis motivasi mereka
main patgulipat dengan Sukarno lebih tepat dengan Si Kancil cerdik yang jauh
lebih berbahaya … eh siapa dia ? … Sysysyahrir. Huh ! Seperti nama orang
kanibal .

Hei Leo, ini komando. Baca surat ibumu ini. Ayo. Kalau tidak, tulung rusukmu
patah semua nanti.” Dan kertas itu dilemparkan padaku.

“Mayoor benci pada Mamiku ? “kutanya nekad.
“Baca !” teriaknya seperti halilintar yang membuatku kaget.
“Ya, Mayoor,” akhirnya aku sedikit merasa kalah. Kubuka surat Mamiku.
Tetapi aku pun tidak bisa menahan kekalutan jiwa dan aku hanya terdiam saja
tidak bisa apa-apa. Surat itu terjatuh di lantai.
“Bagaimana ?” Ia menoleh dan ketika melihatku penuh emosi, ia
menghampiriku, bahuku ditepuk-tepuk penuh pengertian. Ia mengambil korek
api dari sakunya dan pelan surat Mamiku dibakar. Lalu aku diajaknya makan
bersama dia. Makanannya tidak segar dan hanya diambil dari kaleng rasion
bekal standard tentara USA.
“Mayoor, “ kataku sambil makan. “Aku mohon diperbolehkan masuk Tentara
Kerajaan.”
“Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari negeri Kincir Angin. KNIL,
nah ini tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara Kerajaan itu tentara sinyo-sinyo
pucat dan berbau keju. Kalau KNIL, nah ini gerombolan bandit VOC ! Hahaa,” dan
tertawalah ia untuk pertama kali. “Mau ikut main bandit-banditan ?
Kolonel Drost ²⁾ dan Jenderal Spoor ³⁾pasti marah kalau mendengar omonganku
ini, tapi mau apa lagi. Orang Belanda, kata orang, terkenal nuchter⁴⁾ dan jujur apa
adanya, bukan ? Nah, apa buruknya jadi bandit VOC, kan katanya Si Jan Coen itu
pahlawan kerajaan kami. Maka konsekwen dong. Tapi yang penting : kau mau ikut
kami ? Okay ! Dan karena kau anak dari Marice, kau tidak perlu mulai dari sedadu-
pantat-sepak. Langsung saya jadikan letnan dua. Semua mungkin dalam darurat
perang. O ya, ini alasan juga. Untuk menghormati seorang pahlawan gerilya melawan
Jepang. Kapitein Basuki, yang notabene menang perang rival terhadap saya, tetapi
kalah dibekuk monyet-monyet sipit. Tragis, sungguh tragis kehidupan bapakmu itu.
Dengan catatan : Kalau kita memang ingin tragis. Jadi, kalau kau mau, segera kau
kuangkat jadi loitenant seperti bapakmu dulu ketika tamat bersamaku di Breda⁵⁾ .”
“Tetapi aku belum bisa menembak. Bagaimana jadi loitenant. Serdadu biasa pun
mau.”

¹⁾ Panglima tertinggi pasukan-pasukan Sekutu di Asis Selatan dan Tenggara.
²⁾ Komandan pasukan-pasukan Belanda di wilayah Jakarta.
³⁾ Panglima tentara Belanda di Indonesia.
⁴⁾ Rasional dingin.
⁵⁾ Nama kota tempat Akademi Milter Kerajaan Belanda di Nederland.

39

“Nonsens. Anak Kapitein Basuki legiun Mangkunegara kok serdadu biasa. Ayo
jangan anstil¹⁾ kayak perawan rumah-piatu susteran. Bagaimana ?” Ia mengulurkan
tangannya minta dijabat.

“Okey! Tapi asal diberi pelajaran menembak dulu.”
“Ah, omong kosong saja kau ini. Bedil sekarang otomatis dan main brondongan.
Serampangan saja ditembakkan ke segala arah, dari 100 peluru pasti ada tiga atau
lima yang mengenai sasarannya.
Yang penting : pakai akal sehat ! Ini yang penting untuk perwira. Bukan
melayangkan peluru atau berbaris, tetapi berpikir logis. Musuh kita bukan tentara
Jerman, tetapi kaum bandit juga, kan. Saya pun pakai akal sehat. Kau saya jadikan
letnan dengan alasan kau sangat kenal Batavia dan daerah pedalaman. Siapa tahu
kapan-kapan kau akan kami turunkan dengan parasit di daerah pedalaman Republik
terkutuk ini. Pokoknya kau harus membuktikan diri beroperasi di Batavia ini dan
menertibkan kota ini dulu. Sambil berjalan kau segera jadi letnan. Tahu ? Kalau kau
betul-betul anak syah dan bukan haram jadahnya Kapitein Basuki, kau musti bisa.
Dan jangan memalukan Marice ibumu.”

Tiba-tiba aku sedih lagi, Maricelah yang memalukan kami. Atas nama cina. Harus
begitukah jalan kehidupanku sekarang ? Verrekt ! Budak-budak Jepang itu harus
dihajar. Itu yang penting. Letnan atau kopral, toh suatu saat aku harus berbuat sesuatu
yang haibat. Anak kolong selalu haibat.

Dalam waktu seminggu aku belajar menembak ; cukup tidak memalukan untuk
menjadi komandan patroli. Mayoor Verbruggen memberi aku dua bulan untuk naik
pangkat menjadi letnan II. Hal itu hanya mungkin dalam keadaan kacau. Tetapi NICA
membutuhkan tenaga sebanyak mungkin dan Verbruggen tahu bahwa aku punya
darah komandan. Tugas patroli pertama yang kuperoleh menuju Tanah Abang. Tetapi
sepulang dari sana langsung aku menggenjot jip ke jalan Kramat VI ke rumah Bu
Tana.

Sudah sejak Agustus yang naas itu, ketika aku menerima surat dari Mamiku
malang, keluarga Antana dan khususnya Atik tidak kukunjungi. Aku rindu pada
mereka, sebab dari masa lampauku hanya tinggal merekalah yang kurasakan dekat.
Ke mana mereka ? Masih tinggal di Kramat tenang itu … ataukah …? Dengan tancap
gas pol nyaris dol aku ngebut ke Kramat. Dalam hati khawatir, jangan-jangan aku
datang terlambat. Banyak gadis di dalam kekacauan tak keruan ini diperkosa oleh
macam-macam pihak.

Atik, pasti kau sangat kecewa melihat aku sebagai musuh Soekarno. Di jaman
Jepang kita selalu berselisih paham mengenai orator kolaborator Jepang itu, tetapi
juga seumumnya, tentang apa yang kausebut cita-cita kemerdekaan dan sebagainya.
Aku sungguh tidak mudeng. Larasati, kau yang raden-ayu dari puri Surakarta, dengan
nafas keluarga raya Jawa yang paling modern dan paling setia kepada Ratu Belanda,
mengapa Atik begitu naif berbicara tentang macam-macam impian bangsa yang hanya
impian saja ? Dan jiwaku semakin benci kepada orang tampan perlente Si Soekarno
yang, masygul kuakui, mempunyai dayapikat luar biasa untuk semua wanita.
Termasuk Atik.

¹⁾ Dari kata aanstelling (Bld) : manja dan sentimentil.

40

“Teto, kau mcnganalisa terlalu logis. Kau harus sanggup membaca kcjadian yang
sebenarnya di antara baris-baris yang tercetak,” begitu selalu Atik mcngakhiri
perdebatan kami. "Selama kau belum mampu itu, mijn lieve Raden Mas Sinyo, kau
masih menjadi tawanan huruf-huruf mati."

Aku selalu jengke1 pada gadis satu ini. Bukan pertama-tama karena ia
berpandangan lain, sebab tentang hal itu aku sungguh bukan orang Jawa; dapat tahan
melihat orang lain berpendapat lain. Tetapi karena sebutan mijn lieve itu, yang artinya:
sayangku manis. Yang dalam perasaanku ketika itu bernada ironis. Arau paling
sedikit aku menangkapnya begitu. Ironis dan agak mengecilkan diriku. Kan aku dua
tahun lebih tua Anak 17 tahun omongnya seperti guru. Jawabanku juga selalu: "Yang
kubaca itu fakta. Dan fakta menunjukkan, semua priyayi dan orang-orang Indonesia
yang punya pangkat jelas pro dan membongkok kepada Jepang. Titik! Yang anti
Jepang tetapi tak berdaya adalah orang-orang kecil, orang kampung, orang anak
kolong. Seperti aku ini. Dan beberapa gelintir orang di bawah tanah seperti ayahmu,"

"Dan aku?" (Sengaja mengejek serba menjengkelkan.)
“Ya, kecuali kau. Itu yang sungguh aku tidak paham.”
"Oh ya?" dan ia memandangku dengan mata hitam lebar.
"Kan Atik melihat sendiri. Bagaimana mungkin bangsa yang masih
membongkok kepada perarnpok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum
titik. Logika! Jangan hanya impian dan serba perasasaan saja, Logika, sekali lagi
logika! Bagaimana ...?"

Tetapi Atik biasanya tidak membiarkan aku menyelesaikan uraian logikaku
Sungguh menjengkelkan. Sebab ia lalu tertawa dan seperti penari serimpi
tangan-kanannya melarnbai dalarn gerak tari, telapak tangan di atas mata sarnbil
berpacak-gulu¹⁾ memandangku serba jenaka. Dalarn saat-saat seperti itu aku
benar-benar kalah. Dengan segala logika dan kehaibatanku. Gadis satu ini bukan
jenis ratu kecantikan, tetapi dalam saat-saat tertentu sungguh mempesona. Tetapi
terus terang saja, aku takut jatuh cinta padanya. Sebab naluriku berkata, aku akan
kalah. Dan justru itu aku tidak mau.

Rumah Bu Antana seperti banyak rumah di Jakarta di masa teror ketika itu, serba
sepi, mati. Pintu pagar terkunci, tetapi serdadu-serdadu yang melompat pintu dan
menggedor pintu-pintu dan jendelanya tak mendapat jawaban apa pun. Pergi ke mana
mereka? Pintu pagar kusuruh patahkan kuncinya dan aku masuk ke beranda muka.
Tak ada satu pun garnbar atau hiasan tergantung di dinding. Mengungsi ke mana
mereka? Tentunya ke Sala. Pintu ke dapur ternyata masih terbuka. Barangkali terlalu
tergesa-gesa mereka pergi. Atau sudah dirampok? Serdadu-serdaduku kusuruh
berjaga di muka dan aku sendirian masuk ke dapur, yang sangat kukenal suasananya
dulu, kalau aku datang dan iseng menolong Atik dan Bu Antana di situ. Tetapi
barang-barang sudah disimpan masuk almari sermua atau peti, entah. Aku sedih juga
melihat dapur dengan bagian tungkunya yang hitam karena asap. Seekor kucing kurus
lari ke luar. Ada bau bangkai. Burung cocakrowo dan kutilang dan deruk mati di dalam
kurungan, dikeroyok semut. Hatiku tersayat-sayat melihat itu. Burung-burung itu
kesayangan Atik. Memang jaman sedang tidak untuk berdendang dan menyanyi
gembira. Siapa pernah mengira dua bulan lalu, bahwa aku akan menginjak rumah
kosong ini dengan seragam NICA? Pasti Atik akan sangat kecewa melihatku. Sangat
kecewa.

¹⁾Gerak luwes dari kepala tanpa bahu badan ikut bergerak

41

Tetapi aku hidup tidak untuk Atik, maaf. Untuk apa? Untuk siapa? Verdomme!
Bagaimana nasib Papi? Masih hidupkah ia? Operasi kedua sesudah patroli liar ke
Kramat ini ialah mendatangi bekas tahanan Kenpeitai, begitu kurancang.

Bajingan-bajingan benar seluruh ras Asia ini: Jepang, Indonesia, mana lagi. Maka
beruntunglah orang-orang kulit putih membebaskan mereka dari segala sadisme dan
kebongkokan mereka. Aku duduk di tempat duduk di sudut beranda belakang yang
biasanya dipakai untuk ruang makan dan tempat bersantai. Meja makan dan lain-
lainnya sudah ditelanjangi dari tapelaknya. Di dinding masih ada terganung beberapa
gambar pemandangan. Tetapi semua foto keluarga sudah hilang. Juga jam antik yang
bagus bunyinya itu. Segala kebugilan runah ini membuatku merasa hampa. Ternyata
toh aku rindu pada Atik.

Pintu gang tengah menuju karnar-kamar tidur di dalam terkunci rapat. Kuselidiki
segala perabot rumah dan lantai, barangkali ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan
mereka mana. Niets¹⁾. Ah, iya, tiba-tiba aku teringat pada lubang di dalam bata
dinding samping rumah. Lubang itu sama sekali tak kentara bagi orang luar, sebab
terlindung oleh akar-akar dan daun tumbuh-tumbuhan sirih hias yang merambat
berdaun hijau loreng kuning. Di situ biasanya keluarga Antana meletakkan kunci
dapur, bila semua pergi, agar yang lainnya dapat masuk rumah tanpa hams menunggu.

Maklumlah, kunci pintu dapur sudah antik juga dan kunci hanya satu. Di dalam
lubang itu pun sering keluarga Antana saling meletakkan kertas bertuliskan pesan-
pesan, sebelum mereka keluar rumah. Naluriku merasa ... pasti Atik ... Segera aku
berlari ke tempat lubang itu. Kuraba-raba ... betul! Kuncinya ada dan secarik kertas.
Rupa-mpanya mereka toh mengunci pintu dapur, tetapi saking tergesa-gesanya pintu
belum terkunci ... ada apa isinya?

"Kepada Mas Teto." Ah, Atik yang baik hati. Toh ia masih ingat padaku.
"Merdeka. (apa-apaan ini) Mas Teto! Ibu telah mengungsi ke Yogya, ke tempat
kakaknya di jalan Cemorojajar 7. Kalau Mas Teto mau mencari perlindungan, di
tempat Paman pasti Mas Teto welkom ²⁾. Ayah dan Atik sekarang menyumbang seapa-
adanya di kantor perdana menteri RI. (perdana menteri lenong!) Atik cuma jadi juru
ketik kecil yang tak punya arti. Ayah bertugas entah, sering kian kemari Yogya -
Jakarta. Mas Teto sekarang di mana? Sudah sejak bulan Juni kau kami cari. 1bu yang
kau pondoki juga tidak tahu. Pindah pondokan katanya. Tetapi Atik tahu, suatu saat
Mas Teto pasti menengok ke lubang kunci di dinding ini, tentu. Nah, kami tunggu,
Khususnya adikmu Atik. Semoga Tuhan selalu beserta Mas Teto dan negara kita,
(negara siapa? Belum tanya, perempuan sudah mau mengatur) yang masih muda ini.
Merdeka!"

Memang kita dari dunia yang berlainan, Atik. Ya, sudah! Beginilah ... ya beginilah
... jadi Atik bekerja sebagai sekretaris pada pemerintah pemberontak itu? Okay!
Baiklah! Mulai sekarang kita akan membuktikan, siapa yang benar. Dengan realita
kejam! Tidak dengan omongan belaka. Kau juga, Tik, semoga kau dan ibumu selalu
terlindung ... oleh Tuhan, kalau itu ada, Tik." Seorang sersan menghampiri aku.

"Pemimpin teroris, Komandan?"

¹⁾ Tak ada satupun.

²⁾ Selamat datang.

42


Click to View FlipBook Version