The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-03-24 22:16:19

Bidadari Tajir

by Benny Rhamdani

Keywords: Benny Rhamdani,Bidadari Tajir ,novel,sastra indonesia

Siapa yang nggak kenal Kikan? Cewek dari keluarga tajir yang doyan
membeli dan menghalalkan segala hal dengan uang. Bahkan kalo perlu, Kikan
bakal membeli cowok buat jadi pacarnya!

Sementara itu, Ine di kelas menghitung waktu istirahat berakhir.

Dia sebenarnya ingin bergabung dengan yang lain di kantin. Tapi Ine
udah janji pada Kikan, nggak kumpul bareng mereka di saat istirahat kalo
masih mau diajak jalan Kikan.

Ya, setelah diajak Kikan jalan-jalan bareng tempo hari, Ine langsung
menemukan keasyikan baru. Dandan bebas, ngobrol ngalor-ngidul, nonton,
makan, termasuk berdekatan dengan cowok-cowok cakep.

Semua hal itu sudah ada di benak Ine sebelum pindah ke Jakarta. Ine
memang ingin gaul seperti kebanyakan cewek remaja seusianya di Jakarta.
Seperti dalam sinetron atau majalah-majalah yang dibacanya.

"Kalo mau jalan dengan kita-kita, elo nggak boleh gabung di kantin sama
tiga orang itu," Kikan mengajukan syarat.

Pengorbanan yang mahal demi pergaulan yang diimpikannya sejak lama!

"INI lebih cocok buat elo!" Kikan menyodorkan blus pink ke arah Ine.

Ine bukannya nggak mau beli. Dia sudah melongok harganya tadi.
Kayaknya nggak mungkin banget, Ine membatin.

"Kemahalan, ya? Pakai duit gue dulu aja," sahut Kikan enteng.

"Ah, nggak! Kemaren kamu udah nraktir nonton."

"Alaaaa, gampang. Nanti elo bisa ganti kalo dapat jatah dari ortu." Ine
akhirnya membeli blus itu.

"Besok, kita mau jalan bareng Danu lagi. Pake, ya. Danu paling suka lihat
cewek pake baju pink."

"Oke!"

Ine tak mau lagi membantah kalo menyerempet ke Danu.

Seminggu lalu, ia dikenalin sama Danucowok favorit di sekolah. Ine yang
semula ngerasa nggak mungkin mendekati Danu, malah jadi berharap
banyak. Ya, apalagi ketika acara nonton bareng, Danu mau duduk di
sebelahnya.

Aduh, Ine langsung terbang melayang-layang, githu. Untung aja, nggak
terbang beneran. Soalnya, nanti malah nabrak langit-langit bioskop!

MALAM ini, Tiwi benar-benar mempersiapkan dirinya dengan baik. Om
Andre akan datang buat makan malam. Tiwi bertekad ikut menyukseskan misi
mamanya, memperkenalkan Om Andre ke si bungsu, Hendri.

"Om Andre pintar, gampang ngambil hati orang. Pasti nggak susah ya,
Ma," bisik Tiwi.

"Insya Allah," timpal Bu Alin meskipun agak ragu.

Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam ketika Om Andre datang.
Tiwi mendahului Bu Alin menyambut tamunya. Bibir Tiwi tersenyum melihat
penampilan Om Andre dengan pakaian kasualnya.

Jauh lebih keren ketimbang mengenakan baju kantoran.

Betapa girangnya Tiwi ketika Om Andre kemudian memberikan buku Da
Vinci Code karya Dan Brown versi bahasa Inggris yang memang sejak lamad
iinginkannya. Om Andre juga membawakan kado bola basket bertanda tangan
Michael Jordan untuk Hendri.

Wajah Hendri tampak masam saat menerimanya.

"Ayo, Hendri, ucapkan terima kasih, dong!" desakTiwi.

"Makasih," ujar Hendri datar. Tiwi jadi tak enak hati.

"Nggak apa-apa. Semua bisa diatasi nanti," bisik Om Andre.

Namun, ketika acara makan malam dimulai suasana malah makin kacau.
Hendri membuat keriuhan dengan mengaduk-aduk nasinya. Dia juga dengan
santai membuat kegaduhan dengan menyenggol gelasnya hingga pecah.

Bu Alin berusaha menahan rasa kesalnya. Tiwi beberapa kali melotot ke
arah adiknya agar bersikap sopan. Tapi usaha itu sia-sia.

Hendri malah ngamuk dan meninggalkan meja makan.

"Maaf ya, Om Andre ...!" Tiwi jadi merasa bersalah.

Om Andre berusaha menenangkan suasana.

Setelah Om Andre pergi, Tiwi mendahului mamanya ke kamar Hendri.
Dilihatnya, Hendri lagi asyikmain PS-2, seolah tak pernah membuat kesalahan
di meja makan tadi.

Tiwi mengatur napasnya agar tak menghakimi Hendri.

"Hen, sikapmu malam ini di depan tamu sama sekali nggak bagus, tau?!"
ujar Tiwi seraya mendekat.

Hendri tak menanggapi.

"Om Andre kan, nggak punya salah apa-apa sama kita," lanjut Tiwi.
"Punya."

"Oya? Apa?"

"Pokoknya, Hendri nggak suka sama Om Andre."

"Kenapa? Apa Hendri nggak ingin punya papa lagi?"

"Pengin. Hendri pengin punya papa lagi, tapi bukan Om Andre!"

"Kenapa?"

"Habisnya, Om Andre ngasih bola basket yang bertanda tangan Jordan.
Hendri nggak suka. Berarti, Om Andre pendukung Jordan.

Padahal, Jordan itu pemain kesayangan Lukas di kelas. Hendri musuhan
sama Lukas ..”

Tiwi hampir tergelak mendengar alasan itu. Pikirannya terlalu jauh tadi.

"Oooh itu karena Om Andre nggak tahu. Soalnya, Minggu lalu kamu yang
bilang suka Jordan. Jadi, Mama yang kasih tau kalo Hendri suka Jordan."

"Nggak. Mulai kemarin, Hendri suka Shaq O'Neal."

"Ya, udah nanti dibilangin deh, sama Om Andre. Tapi janji ya, kalo Om
Andre ke sini jangan kayak tadi lagi!"

Hendri menyimpan joystick ke karpet. Matanyaberbinar. "Jadi, Om Andre
mau ke sini lagi bawain bola basket yang ada tanda tangan Shaq O'Neal?
Asyiik ...! Kalo bisa jangan lama-lama, ya. Besok aja suruh datang lagi. Biar
Hendri bisa pamerin langsung bolanya ke Lukas!" Hendri melompat girang.

Tiwi menarik napas lagi. Lega.

Semilir

INE mendapat jatah bulanannya. Rekeningnya juga bertambah lantaran
dia berhasil membujuk beberapa pamannya dengan alasan butuh beli buku.
Melihat kondisi keuangannya itu, Ine memberanikan diri mengajak Kikan
jalan.

"Gue yang traktir, deh. Sekalian pengin bayarutang, nih," ajak Ine lewat
HP-nya. Dia mulai terbiasa mengucapkan "gue-elo".

Setengah jam kemudian, Kikan ngejemput Ine. Dimobilnya juga ikut dua
teman Kikan dari sekolah lain, Levi dan Cindy.

"Tadi, gue juga udah nelepon Danu dan temen temennya. Nanti, kita
ketemuan aja di PS," jelas Kikan sambil menyetir mobil.

Ine tambah bersemangat mendengar nama Danu. Di benaknya, ia
langsung memikirkan hal-hal yang akan dilakukannya nanti.

Pertama, Ine ingin tau alasannya kenapa Danu nggak pernah nelepon dia,
bahkan mengirim SMS. Kalo Danu benar-benar tertarik padanya, seperti kata
Kikan, seenggaknya kirim SMS, dong. Kedua, Ine akan lebih agresif lagi seperti
Kikan dan teman-temannya.

Saat bertemu Danu di lobi Cineplex, jantung Ine berdegup keras.

Ternyata, Danu datang juga dengan tiga temannya yang baru Ine kenal.
Seseorang berambut jabrik langsung dideketin Kikan, seorang indo Jerman
langsung dideketin Levi,dan seorang lagi ....

"Namanya Aryo. Dia juga dari Yogya. Kayaknya cocok dengan kamu. Jadi
bisa kangen-kangenan," kata Danu saat mengenalkan Ine pada Aryo.

Ine terbelalak. Kok gitu, sih? Ngapain gue di-jodohin sama cowok,
berambut keriting ini? Ine protes dalam hati. Dia paling alergi sama cowok
keriting. Dia keluarganya, nyaris semua cowok berambut keriting. Makanya,
Ine berharap punya cowok berambut lurus kayak Danu. Syukur-syukur yang
model Jerry Yan.

Ine ingin protes sama Danu dan Kikan. Apalagi, kemudian Ine melihat
Danu langsung ngedeketin Cindy dan menatapnya mesra.

Tapi, Ine tak kuasa melakukan apa pun. Apalagi, Kikan langsung melotot
ketika Ine menunjukkan rasa tidak suka terhadap Aryo. Inilah ketotolanku, Ine
pasrah.

"Ayo, Ne, beli tiketnya langsung delapan orang," Kikan malah mendesak
Ine ke loket.

Dengan memendam kesal, Ine membelikan tiket, termasuk orang-orang
yang baru dikenalnya. Dan, sepanjang film diputar, Ine merasa ingin cepat
pulang. Gimana, nggak? Aryo terus nyerocos dalam bahasa Jawa yang
sebenarnya ingin dia hindari.

Namun, Ine tak bisa meninggalkan siksaannya itu Kikan membuat acara
dadakan, minta ditraktir difoodcourt bersama teman-temannya.

"Pamali kalo abis nonton nggak makan-makan dulu. Lagian, nonton itu
butuh energi buat ketawa dan nangis," cerocos Kikan, seolah sedang
mengeluarkan fatwa.

Alhasil, begitu pulang, di rumah Ine meratapi dompetnya yang tak
menyisakan uang lagi. Jatah bulanannya langsung habis lantaran Kikan juga
menagih utangnya tadi.

"HALO! Assalamu 'alaikum."

"Wa 'alaikum salam."

" Maaf, baru nelepon lagi. Baru beres dinas luar kota. Kamu dan Tante
Ester baik-baik aja, kan?"

"Alhamdulillah, sehat semua."

"Cuma mau minta maaf atas ucapanku beberapa hari lalu. Maaf udah
lancang melamarmu didepan Tante Ester."

"Ya, aku tahu. Pasti itu bercanda, kan?"

" Siapa bilang? Aku serius, kok! Pokoknya begitu kamu lulus SMA nanti,
aku akan melamarmu. Ya, kecuali kamu sudah punya calon lain .... "

"Ta ... tapi ...”

"Kamu nggak menentang pernikahan dini, kan? Ya, aku mengerti kamu
pasti punya cita-cita ingin kuliah dulu. Tenang saja, aku nggak keberatan
punya istri sambil kuliah."

"Kita ngobrol yang lain aja, ya!" Aduh, Risma jadi nggak nyaman banget
ngobrol sama Ridhan.

"Soal Tante Ester? Minggu depan, aku dan ayahku akan datang melamar
Tante Ester. Baru aja aku ngomong sama Tante Ester. Dia agaknya mau
mengasihani aku yang terus mengemis padanya agar mau jadi ibuku."

"Aku belum tau kabar itu. Tante Ester nggak menyinggung soal ini siang
tadi."

"Kalo kamu setuju, pernikahan Tante Ester dengan ayahku, berarti
lamaranku juga diterima nanti, ya....?"

"PERNIKAHAN dini? Aku sih, nggak masalah. Kalo udah ada jodoh, mau
ngapain lagi? Cuma masalahnya, sampai sekarang nggak ada yang mau deket
sama aku," komentar Dodo saat Risma ngomongin pernikahan dini.

Mereka berada di pojok kantin Bu Roso, tanpa Ine lagi.

Tiwi berprinsip sama. "Aku juga nggak mau lama lama menunda
pernikahan. Apalagi kalo jodohku seperti Om Andre," katanya.

"Ya ampun, Tiwi. Seharian ini, kamu ratusan kali menyebut nama calon
papamu. Jangan-jangan, kamu yang jatuh cinta sama Om Andre," sergah
Voni.

"Nggaklah! Aku tau menempatkan diri. Aku memang kesengsem sama Om
Andre. Bukan apa-apa ..., aku memang mendambakan suami
yang perfect buat ibuku. Dan kurasa, wajar kalo aku berulang kali menyebut
namanya pada kalian. Heh, kalian masih sahabatku, kan?"

"Ya, syukur deh, kalo masih nyadar," timpal Dodo.

"Kurasa yang sedang jatuh cinta, sebenarnya Risma. Tuh, ujug-ujug
ngomongin pernikahan dini. Dengan siapa? Orang Bandung, ya?"

tuding Tiwi.

Risma merona. Ia kemudian menceritakan masalah yang tengah
dihadapinya. Perasaannya sedikit lega setelah berbagi kegundahan.

"Aku sih, setuju aja kamu nikah buru-buru. Dua tahun lagi berarti. Wah,
kita bisa cepat punya keponakan dong, nih," seru Tiwi.

"Idih, siapa yang mau buru-buru punya anak?! Pernikahan dini bukan
berarti buru-buru punya anak, kan?"

"Aku juga dukung kamu sama Bang Ridhan. Dia baik banget
kelihatannya. Dewasa, lagi," sahut Voni.

Cuma Dodo yang tak berkomentar karena belum mengenal Bang Ridhan.
"Pokoknya, nanti kalo resepsi pernikahannya, aku yang nentuin menu
hidangannya," celetuknya. Seperti biasa, tak jauh dari urusan perut.

"Ngomong-ngomong soal pernikahan, aku udah dapat undangan dari
Bang Dimas. Kita semua diundang datang. Termasuk, Ine ...”

"Tapi, Ine ...” Dodo yang memotong tak melanjutkan kalimatnya.

Ya, mereka sudah tak sekadar nebak-nebak lagi. Faktanya udah mereka
dapatkan, Ine memilih bergabung dengan Kikan sekarang.

Bahkan, tadi pagi Ine memutuskan pindah duduk semeja dengan Kikan.

Debur Ombak

RISMA tak bisa memendam sendiri masalah yang tengah dihadapinya.
Akhirnya, ia mengutarakan isi hatinya kepada ibunya.
"Kamu juga tau ibu dulu menikah begitu lulus SMA. Alasan ibu cukup
kuat. Ibu tak mampu kuliah dan keadaan kakekmu sangat miskin. Satu-
satunya cara yang Ibu pikirkan saat itu adalah menikah.
Dengan begitu, Ibu bisa lepas jadi tanggungan keluarga. Mulanya, Ibu
gelap soal pernikahan, tapi alhamduhllah Ibu mendapat jodoh seseorang yang
amat bertanggung jawab ..”
Risma mengangguk. Posisinya kini tak jauh dengan ibunya.
"Jadi, kalo memang ada yang akan melamarmu begitu lulus nanti, dia
harus mengenal betul keadaan keluarga kita ...”
"Ya, Bu. Bang Ridhan janji akan ke sini secepatnya."
"Syukurlah. Satu lagi yang penting, kamu harus bisa menerima calon
suamimu dan mencintainya sepenuh hati."
"Risma belum tau soal cinta sepenuhnya.Tapi hati Risma bilang, Bang
Ridhan itu serius dan bertanggung jawab. Masih ada waktu untuk saling
mengenal. Kalopun nanti nggak jodoh, ya ... Risma juga rela, kok."
"Ya, Ibu percaya, kamu cukup dewasa untuk memutuskan hal ini."
Risma memeluk ibunya. Ia merasakan kehangatan yang meredam
kegelisahannya. Dia tak akan lagi ragu menjawab pertanyaan Ridhan kelak. Ia
sudah punya keputusan sekarang.

TANPA janji, Ine menyambangi rumah Kikan untuk pertama kalinya.
Dia udah nyoba ngasih kabar lewat HP, tapi SMS yang dikirimnya
terus pending, sedangkan saat dihubungi langsung malah mail box.
Rumah Kikan sangat modern. Berbeda banget dengan rumah Ine yang
serba berbau tradisional mulai bangunan sampai perabotnya serba berukir.
Seorang wanita setengah baya dengan rambut sasak menjulang.

Ine sempat mengira-ngira zodiak wanita itu. Pasti Leo. Soalnya,
rambutnya mirip surai singa, sih!

"Assalamu 'alaikum, Tante. Kikan ada?"

"Kikan udah pergi dari tadi. Duduk dulu. Siapa, ya?"

"Saya Ine, Tante," kata Ine sambil duduk di kursi teras.

"Ine teman sekelas Kikan?"

"Iya, Tante." Ine bersyukur, Kikan udah ngasih tau tentangnya sama
mamanya, jadi dia nggak perlu repot mengenalkan diri.

"O, iya ...gimana kabar ibumu yang baru operasi jantung?

Kasihan, ya! Pasti kebanyakan kolesterol tuh, makanya stroke."

"Stroke?"

"Uang yang tiga juta itu biar nanti aja bayarnya. Nggak enak kan, kalo
Tante tagih utang kamu buru-buru. Yang penting, ibu kamu sehat dulu. Kikan
sampai nangis-nangis waktu bilang samaTante."

"Utang?"

"Iya. Kamu kan, pinjem uang buat biaya operasi ibu kamu ke Kikan
minggu lalu. Nah, terus Kikan bilang sama Tante. Karena kamu sahabat
Kikan, ya... Tante pinjami."

Ine langsung berdiri. "Maaf, Tante. Saya nggak pernah ngutang sama
siapa pun! Ibu saya juga nggak dioperasi jantung atau stroke segala."

"Tapi, kamu Ine teman sekelas Kikan, kan? Yang dari Yogyakarta, kan?
Ngomongmu aja masih medok gitu. Masa Kikan bohong?"

"Terserah Tante mau percaya siapa. Tapi, saya nggak pernah ngutang
sebanyak itu sama Kikan. Saya memang pernah ngutang tiga ratus ribu, tapi
sudah saya lunasi. Maaf, saya permisi, Tante!"

Ine langsung ngacir meninggalkan rumah Kikan dengan perasaan
dongkol. Ia benar-benar kecewa sama Kikan yang seenaknya memakai nama
Ine buat morotin duit ibunya sendiri.

Ine langsung menghapus nama Kikan dan teman-teman Kikan dari HP.
Tapi sejam kemudian, Kikan meneleponnya. Bukan minta maaf, malah
nyerocos menghardik Ine.

" Lagian, elo ngapain ke rumah gue segala tanpa janji? Uh,
dasar kampungan! Nggak, tau ya, kalo mau ketemuan kudu janjian dulu.

Norak! Pokoknya, aku nggak mau nyomblangin kamu lagi sama Danu atau
Aryo. Titik!"

Ine malah bersyukur. Dia juga nggak mau lagi mendengar atau mengingat
nama Danu dan yang lainnya. Ine udah patah hati sebelum dipacari Danu!
Apalagi temannya yang keriting dan selalu ngomong bahasa Jawa itu! Itu
benar-benar kencan terburuk yang ogah diingat Ine. Wueks!

Tiba-tiba aja, Ine merasa kangen sama Risma, Voni, dan Tiwi.

Marahkah mereka? Ine membatin.

Buru-buru, Ine mengirim SMS yang isinya sama kepada tiga sahabatnya,
ditambah Dodo.

Aku msh jd shbt kalian, kan?

"UDAH deh, Ne. Ini sepenuhnya bukan kesalahanmu. Kita-kita juga
salah. Belakangan, kita emang lagi sibuk ama urusan masing-masing, jadi
kamu terabaikan," kata Tiwi bijak.

Pinggir kolam rumah Dodo jadi saksi berkumpulnya kembali Ine dan Tiwi,
Risma, dan Voni. Seperti biasa, kalo ada Dodo, makanan pasti berlimpah.

"Untungnya, sekarang semua masalah kami udah terselesaikan sedikit
demi sedikit. Cuma yang namanya masalah kan, nggak mungkin ilang terus,"
lanjut Tiwi yang memang bertindak sebagai ibu asuh di antara mereka.

"Persoalanku dengan Bang Dimas udah selesai. Jadwal syutingku juga
udah mulai dikurangi ibuku. Bentar lagi kita ujian semester, terus tahun
depan kita lulus, kan?" sambung Voni.

"Masalah Tante Ester mulai berkurang. Setelah menikah bulan depan,
Tante Ester akan pindah ke Bandung. Nanti bantu aku ya, pindahan
menempati rumah Tante Ester. Jadi, kalian nanti juga bisa kumpul-kumpul di
tempatku.

"Horeee ...! Makan-makannya harus banyak, lho!" timpal Dodo.

"Iya. Terus, soal Bang Ridhan?" tanya Tiwi.

"Soal Bang Ridhan, sudah kudiskusikan sama ibuku. Pada prinsipnya,
ibuku tak keberatan jika aku menikah selepas SMA nanti.

Aku sendiri nggak mau muluk-muluk dulu, biar hubunganku dengan
Bang Ridhan berjalan apa adanya. Kalo memang jodoh tak akan ke mana."

"Aku juga udah nggak punya masalah berat lagi di rumah. Ibuku
mungkin menikah dua bulan lagi. Hendri mulai akrab sama Om Andre

... eh, calon papaku. Berarti, aku udah punya banyak waktu lagi sama
kalian. Dan soal Kikan, ... kalo emang kamu masih kesel ama dia, biar aku
dan Voni yang akan menghajarnya ...”

"Jangan! Nggak usah. Biar yang kemarin itu jadi pelajaran buatku. Ndak
usah menyalahkan orang lain atas ketololan yang kuperbuat."

"Iiiihh ... kalian curang!" protes Dodo. "Sementara kalian bebas dari
masalah ... aku masih pusing mikirin berat badanku yang nambah tiap hari.
HUUUAAA ...!!!"

Empat bidadari itu langsung tertawa kompak. Lalu,mereka bersamaan
mendorong Dodo nyebur ke kolam.

BYURRR ...!

Sambil menyelamatkan diri, mulut Dodo melontarkan sumpah serapah.

HP Risma berbunyi. Buru-buru Risma mengangkatnya. Lima detik
kemudian, Risma terjatuh lemas. HP di tangannya pun terbanting ke lantai!

"RISMA ...!!!"

Cuma Seratus Jeti

RISMA masih berdiri dengan pundak terus berguncang. Matanya menatap
gundukan tanah merah di depannya. Ia setengah tidak percaya dengan
kenyataan yang dihadapinya.

Tante Ester meninggal karena stroke. Ajalnya tiba setelah semalaman
koma di rumah sakit.

"Ris, yang lain udah pada pulang. Kita nggak bisa terus di sini.
Mana mau ujan lagi
Risma melirik Tiwi di sampingnya. Ia lalu merebahkan kepalanya di bahu.
Sambil berjalan kepintu gerbang kompleks pemakaman, Risma masih terisak.
Di tempat parkir, Om Surya dan Ridhan menunggumereka.
"Risma, mau bareng kami?" ajak Om Surya sambil mendekat.
"Nggak, Om. Risma mau bareng teman."
"O, iya, Pak Lubis udah nemuin kamu?"
“Iya, tadi. Sebelum pemakaman."
"Oh, bagus kalo begitu. Om pamit, ya! Selama seminggu ini, Om masih di
Jakarta. Kalo ada apa-apa, kasih kabar lewat Ridhan ya!"
"Baik, Om ...”
Om Surya dan Ridhan masuk ke mobil mereka.
Risma mengikuti Tiwi masuk ke mobil Voni. Sebentar Risma celingukan.
Ia baru sadar telah kehilangan jejak ibu dan adik-adiknya.
"Keluargamu udah diantar pulang sama Dodo tadi," jelas Ine buru-buru,
seolah tau kegelisahan Risma. Mobil yang ditumpangi empat sahabat itu pun
melaju.
"Ngomong-ngomong, Pak Lubis itu siapa?" tanya Tiwi penasaran.
"Pengacara Tante Risma."
"Oh ..."
Dari kejauhan, sepasang mata milik cewek cantik mengikuti langkah
Risma.

BELUM hilang keterkejutan Risma dengan kenyataan kehilangan Tante
Ester pekan lalu, hari ini Risma dikejutkan kenyataan lainnya.

Siang sepulang sekolah, Risma dijemput orang suruhan Pak Lubis.
Meskipun sedikit heran, Risma akhirnya menurut pergi ke kantor Pak Lubis.
Risma hanya menganga ketika melihat interior kantor Pak Lubis yang mewah.

"Silakan masuk," sambut Pak Lubis sambil tersenyum. Kumisnya
bergerak sedikit.

Risma masuk lagi ke sebuah ruangan. Dia kaget lagi melihat isi ruangan
itu. Ada sebuah meja besar yang lonjong. Di keliling meja itu, Risma melihat
Om Surya, Ridhan, seorang pria, dan dua wanita.

"Nak Risma, tentunya sudah kenal dengan Pak Surya dan Ridhan. Lalu,
itu Pak Nasution, dan konsultan keuangan yang selama ini dipercaya
mengurus finance milik Bu Ester. Di sampingnya, Mbak Rita sekretaris Pak
Nasution, lalu ada Mbak Wanti, sekretaris saya ...”

Risma menebar senyum ke seisi ruangan. Dia agak lama menatap
Ridhan, berharap mendapat penjelasan situasi ini. Tapi Ridhan hanya
mengangguk kecil, seolah-olah berkata, "kamu tenang aja." Risma kemudian
duduk di sebelah Pak Lubis. Ada satu bangku kosong di sampingnya. Risma
mendapat jawaban penghuni bangku itu semenit kemudian, ketika ibunya
datang.

Tanpa banyak basa-basi, Pak Lubis menjelaskan maksud pertemuan itu.
Singkatnya, ia diberi tanggung jawab membuka catatan wasiat dari Tante
Ester dalam hal pembagian harta warisan.

Nama-nama yang diundang terkait erat dengan catatan wasiat itu.

"Seluruh harta milik Nyonya Ester menurut catatan Pak Nasution,
keseluruhannya mencapai tigaratus miliar enam ratus tujuh puluh lima juta
...”

Risma menganga mendengar angka-angka itu.

"Tanah, rumah, dan isinya, dan kendaraan diberikan kepada Bu Lastri ...”

Risma melirik ibunya yang sempat terlonjak kaget dari duduknya.

"Seratus juta rupiah kontan diberikan untuk Risma, berlibur, berbelanja
apa pun yang dia mau ...”

Beberapa orang mengernyit aneh mendengar isiwasiat itu.

"Harta yang ada kupercayakan sepenuhnya dikelola orang-orang
kepercayaanku seperti biasanya. Dengan catatan, mereka memberi biaya rutin
untuk hidup, pendidikan, dan semua kebutuhan keluarga Bu Lastri. Hingga
saatnya Risma menikah, semua kekayaanku jatuh padanya ....”

Kejutan!

Ya, apalagi Om Surya tak disebut-sebut sedikitpun dalam surat wasiat
itu. Padahal menurut catatan, surat wasiat itu dibuat sehari sebelum Tante
Ester meninggal. Ya, saat-saat persiapan menuju pernikahannya dengan Om
Surya.

ADA seribu satu perasaan bergejolak di hati Risma. Mulai rasa bingung,
galau, cemas, sedih ...tentu aja, bahagia masuk di dalamnya.

Risma nggakmau munafik, bahkan kini ia merasa terpental keatas langit.

Seratus juta kontan itu langsung berada di tangannya, sehari setelah
pembacaan surat wasiat itu. Juga semenit setelah keluarganya menempati
rumah Tante Ester. Untuk sementara, Bu Lastri juga belum tau mau diapakan
rumah peninggalan suaminya. Yang jelas, tidak akan dijual.

Risma berniat menabungkan uang itu. Tapi Pak Lubis melarang.

"Sebisa mungkin, uang itu dihabiskan untuk bersenang-senang dalam
seminggu. Belanjakan untuk segala kebutuhanmu saja. Urusan ibu dan adik-
adikmu sudah kami tangani."

Risma melongo. Akhirnya, ia memutuskan menghubungi teman-
temannya lewat HP. Terpaksa, Risma menjelaskan hal yang ingin
dirahasiakannya.

" Apa? Seratus juta?!" tanya Ine mengulang.

" Asli, kan?" tanya Voni.

" Hah?! April mop masih lama, Non!" gitu reaksi Tiwi.

Ketiganya memang rada sangsi. Tapi Risma bukan jenis teman
pembohong. Jadi, dalam tempo lima belas menit, mereka langsung tiba di
tempat kediaman baru Risma.

"Ayo, ceritain sejelasnya apa yang sedang terjadi!?" Tiwi langsung
menyeret Risma ke taman di belakang rumah.

Dengan cepat, Risma menceritakan soal wasiat yang dibuat Tante Ester
tentang harta waris. Ketiga temannya langsung menggeleng takjub.

"Tugas kalian adalah membuat daftar yang bisa kita kerjakan bareng hari
ini untuk menghabiskan uang seratus juta," ujar Risma kemudian. Ia
membagikan notes untuk tiga temannya. Dalam tiga menit, mereka langsung
mengembalikan.

Usulan Tiwi:

1. Ke toko buku. Borong sepuluh buku best sellerbulan ini, plus aneka
ensiklopedia, beli semua teenlit dari Penerbit CINTA.

2. Ganti tas sekolah dengan model baru. Jangan lupa tiga cadangan
dengan warna yang berbeda.

3. Beli notebook sama PC, plus aneka gadget lainnya. Jangan
ketinggalan i-pod dan PDA.

4. Order jaringan Internet broadband. Langganan seumur hidup.
5. Pasang parabola sama teve kabel. DiscoueryChannel penting.
6. Ke salon, perawatan lengkap.

Usulan Voni:

1. Spa, mantcure, pedicure, pokoknya beautycare, deh! Salon kelas
satu!

2. Music store. Beli keyboard, belajar nyanyi juga perlu, siapa tau elo
jadi juara Indonesia Idol pertama yang pake jilbab. I-pod jangan
lupa.

3. Ganti HP. Beli video camera digital biar kemana-mana ada
dokumentasi.

4. Fashionista! Belanja-belinji baju sepuas puasnya.
5. Leather things. Dompet, tas, sabuk ... asal jangan cambuk kulit aja.

Ngeri be-ge-te!
6. Gimana kalo buat bayar DP beli mobil cabrio (merek apa aja, deh).

Biar nggak usah pake AC. Warna wajib pink.

Usulan Ine:

1. Tiket terusan dugem. Ada nggak, seeehl
2. Lengkapi koleksi parfummu. Botolnya yang lucu-lucu, ya. Eits,

bukan berarti bau badan,lho!
3. High heels. Kalahin tuh koleksi sepatu Madam Imelda Marcos. Bisa,

nggak?
4. Belanja baju. WAJIB!

5. Udah tau eyeliner baru yang antiair dan keringat? Warnanya sampe
12 rupa dan bisa berubah sesuai mood.

6. Spa!

Risma cekikikan membacanya. Akhirnya, ia merangkum sendiri jadwal
bepergian untuk hari ini.Tujuan pertama adalah perawatan spa. Dia sendiri
baru sekali merasakan ketika Voni dapat voucher gratis dari sponsor. Tapi
namanya gratisan, perawatan yang didapat nggak full.

Voni merujuk satu spa tradisional kelas satu di Jakarta. Dari lobinya
saja, mereka langsung mendapat pelayanan yang menyenangkan. Ada
pelayanan mandi lumpur, mandi susu, dan jenis mandi lainnya yang
membingungkan Risma. Untungnya, Voni paling jago urusan begini.

"Mau sedot lemak juga bisa. Sayang, Dodo lagi ada acara sama eyangnya
...” bisik Tiwi.

Mereka akhirnya mengambil perawatan tubuh dan wajah lengkap untuk
paket tiga jam. Tentu aja, mereka melewati semua tahap berbarengan jadi
masih bisa ngerumpi sambil ketawa-ketiwi bareng.

Kriikkk .'

Risma melihat screen HP-nya. Ridhan yang menelepon.

" Lagi ngapain dan di mana?"

"Sama teman-teman, di tempat khusus perempuan."

"Oh, lagi shooping ya?"

"Nggak juga. Belum, kok."

" Oke, selamat bersenang-senang. Salam buat yang lain!

Assalamu 'alaikum"

"Wa 'alaikum salam."

"Cieee ... dari calon, ya?" ledek Ine.

"Aduh, nggak usah merah gitu, dong pipinya. Kan,belum pake blush on,"
lanjut Voni.

"Inh, norak, ah!"

Beres melewati proses body and face treatment, mereka langsung ngacir
ke Plasa Senayan. Risma mengizinkan teman-temannya memilihkan satu stel
pakaian yang cocok untuknya, kemudian masing masing mendapat satu stel.
Tapi rencana itu berubah. Entah berapa potong baju yang kemudian dibeli.

Bosan ngacak-ngacak baju, mereka memborong tas tangan, tas sekolah,
aksesori, peranti make-up, sampai gadget yang disaranin Tiwi.

Entahlah, Risma merasa bersemangat ketika Tiwi menemaninya memilih-
milih notebook.

"Aku ngerasa benda ini suatu hari akan berguna dalam hidupku," ujar
Risma.

"Ya, pastilah. Aku tau banget, diam-diam kamu punya bakat menulis.
Nah, dengan benda canggih ini, bakatmu bisa lebih tersalurkan. Ya, kali aja
kamu mau bikin novel tentang kita-kita," sahut Tiwi.

"Iya juga, sih."

Yang sedikit membuat Risma rada melotot, sewaktu Voni menyuruhnya
membeli handbag kulit yang berharga jutaan.

"Cuma tas kulit sekecil ini, harganya segitu?!" Risma mengernyitkan
meringis.

"Jangan pernah bilang ini tas kulit di depan cewek cewek shopahollic, ya!
Sebut PRADA!P-R-A-D-A!" timpal Voni gemas. "Model satu ini, konon, cuma
dipunyai satu selebritis, yakni KD. Kalo kamu beli ini, berarti kamu bisa
dianggap selevel sama dia!"

Risma tak memilih barang itu. Ia memilih yang lebih murah, yang bisa
dibeli untuk empat orang.

Menjelang magrib, mereka baru pulang. Mobil pun terasa berat, baik oleh
perut mereka yang kekenyangan, maupun barang belanjaan yang menumpuk
di bagasi. Sebelum sampai rumah, Risma menyempatkan diri mampir di
sebuah panti asuhan. Dia menyerahkan sejumlah uang untuk para penghuni
panti itu.

Berubah?

ENTAH dari mana sumbernya, cerita tentang Risma ketiban rezeki
menyebar di sekolah. Risma tak mau menuding tiga sahabatnya sebagai
sumber berita. Pastinya, Risma merasa gerak-geriknya diperhatikan banyak
orang.

"Duuuh risih banget jadinya. Begini salah begitu salah. Kenapa, ya?"
gumam Risma di bangkunya.

"Udah, nggak usah dipikirin. Kalo kamu kelihatan lain, malah nantinya
keluar gosip aneh-aneh," sahut Tiwi.

"Aku memang nggak pengin kelihatan lain, kok. Nanti, malah disebut
OKB alias Orang Kaya Baru. Mendingan kalo dapat undian atau kuis. Ini
...warisan dari seseorang yang meninggal. Uh, kesannya aku lagi bersenang-
senang dengan kepergian Tante Ester."

"Kita-kita sih, nggak pernah kepikiran gitu, ya?" Tiwi menoleh ke arah
Voni dan Ine.

"Tapi aku yakin, nanti ada yang berubah pada sikap teman-teman kita
yang lain ...,”desis Ine.

"Maksudmu?" Risma bingung.

"Nggak tau juga, sih. Aku cuma ngerasa, ada beberapa pasang mata yang
mulai memandang dengan tatapan penuh makna ke arah kamu, Ris. Mata
yang sebelumnya nggak pernah ngelirik kamu. Ya, tentu aja cowok ...”

"Aduh ... kok, aku jadi merinding gini?"

"Ris, yang ngelirik kamu tuh cowok, bukan kuntilanak. Nggak usah
merinding, dong!" Voni dan Tiwi ngakak.

Buat Risma hal itu sama sekali nggak lucu. Ia bertambah waswas.
Setidaknya, ia sempat merasa aneh banget ketika pulang sekolah.

Kebetulan, jadwal menstruasi Tiwi, Voni, dan Ine nyaris berbarengan, jadi
mereka nggak ke musala untuk shalat Zuhur. Risma sendirian ke musala,
sementara yang lain nunggu di kantin.

Setelah beres shalat dan duduk pengin memakai sepatunya di selasar
mesjid sekolah, tau-tau ...

"Assalamu 'alaikum, kok sendirian?"

"Wa 'alaikum salam. Ka ..... mu?" Risma setengah tak percaya melihat
Faisal berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Mendadak, semua anggota
tubuh Risma seakan berteriak menyerukan alarm bahaya. Waspada, ini cowok
buaya bangkot!

"Yang lain nggak pernah shalat, ya?" Risma berdiri, lalu memandang
Faisal tajam. "Gimana kamu bisa tau, mereka shalat atau nggak, kalo
kamunya aja jarang ke masjid? Lagian, pasti kamu tau kalo yang namanya
cewek ada waktunya nggak boleh shalat," tukas Risma.

"Aduh, kok jadi marah gini, Ris?"

"Abis, nanyanya nuduh gitu."

"Sori. Mau pulang, ya? Boleh aku antar?!"

"Nggak, trims, Sal. Teman-temanku nunggu dikantin." Risma langsung
ngeloyor meninggalkan Faisal yang kebingungan ditinggal begitu saja.

Tapi begitu melewati ruang OSIS, lagi-lagi Risma terkejut karena tiba-tiba
aja sang ketua OSIS, Ikbal, memanggilnya. Halooow, ini perlu dicatat dalam
diary Risma. Lantaran, sejak pertama masuk sekolah, baru kali ini cowok
keren n cool itu memanggilnya.

"Ris, teman-teman OSIS lagi mau bikin panitia prom nite buat anak kelas
tiga. Atas saran teman-teman, aku minta kamu gabung di kepanitiaan," kata
Ikbal dengan suaranya yang bariton.

"Jadi panitia? Bagian apa? Aku nggak punya pengalaman organisasi."

"Kamu jadi koordinator dana usaha. Kayaknya kamu sanggup.

Kita butuh dana sekitar seratus lima puluh jutaan gitu, deh."

"Hm ... nanti, aku minta saran teman-temanku dulu, deh."

"Iya, boleh. Ajak aja sekalian mereka di kepanitiaan."

Risma mengangguk dan melanjutkan perjalanannya ke kantin.

Ketiga temannya tengah asyik mengaduk-aduk cendol.

"Mukamu aneh gitu, Ris. Kenapa?" selidik Tiwi ketika Risma duduk.

Risma langsung menceritakan dua kejadian yang dialaminya tadi.

"Huh, dasar playboy nggak modal! Dia nggak tau apa sih, kalo udah
kita blacklist dari daftar cowok baik-baik di sekolah ini?!" rutuk Voni
kemudian.

"Lebih geli lagi, ya ... anak-anak OSIS itu. Selama ini, kita cuma dianggap
angin lalu, eh ... begitu tau Risma lagi tajir, mendadak diajak kepanitiaan. Iiih
...ketauan banget maunya!" Tiwi bergidik.

"Bener yang aku bilang, kan? Bakal makin banyak cowok yang nyamperin
kamu, Ris," celetuk Ine.

"Kalo nyamperinnya karena embel-embel sekarang kamu tajir sih, jangan
dianggap, Ris!" cetus Voni.

"Tapi belum tentu semuanya gitu. Eh, tuh si Dodo. Tumben, belum
pulang!" Tiwi menunjuk Dodo yang datang.

"Sumpah, elo-elo pada jahat! Ke mana kemarin? Kok, gue nggak diajak?"
teriak Dodo sok ngambek.

"Tenang, Do. Acara shoopingnya masih berlanjut. Selama belum ada
perang dunia, elo sabar aja nunggu jadwal dipanggil," ujar Voni.

"Ngomong-ngomong, hari ini gue banyak ketitipan salam buat elo, Ris.
Dari Yusri, Lardi, Opik, termasuk Danu ... anak kelas tiga."

Ine hampir tersedak mendengar nama Danu disebut. Dia paranoid
dengan nama satu itu. Dan Ine siap mati kalo Danu berusaha mendekati
Risma, apalagi kalo ketahuan punya niat morotin Risma.

BRUK!
Risma yang tengah mengerjakan pe-er matematikanya terkejut
mendengar suara bantingan pintu itu. Dia segera meninggalkan kamarnya
menuju ruang tengah. Dilihatnya Bu Lastri dalam wajah mendung.
"Ada apa, Bu?"
"Adikmu ...”
"Irfan? Kenapa dengan dia?"
"Minta motor. Ibu bilang, dia belum punya SIM, belum waktunya. Eh,
malah ngambek."
Risma menarik napas. "Sekarang di mana dia?"
"Di kamarnya."
Risma bergegas masuk ke kamar adiknya dibelakang rumah.
Adiknya yang masih duduk dibangku kelas tiga SMP itu tampak keruh.

Tak ada sedikit pun rasa takut melihat wajah marah Risma.
"Kamu ini apa-apan, sih? Pake pengin punya motor segala. Kita udah
punya mobil sama sopir buat nganter ke mana aja kita mau!
Bikin malu aja."
"Anak cowok ke mana-mana diantar sopir bukan zamannya lagi!
Ada juga bawa motor sendiri. Lagian apa susahnya sih, beliin adiknya
motor? Dirinya aja belanja sampe puluhan juta untuk hal-hal yang nggak
penting. Kalo motor itu penting, buat transportasi."
"Irfan, jaga mulut kamu!"
"Kenapa emangnya? Mentang-mentang semua harta di rumah ini punya
Kakak? Jadi, Kakak bisa ngatur Irfan semaunya?"

"IRFAN!" Risma tak kuasa menahan kesalnya.
Berulang kali dia menasihati adik-adiknya agar jangan sampai kena
penyakit OKB alias Orang KayaBaru-yang segala kekayaan ingin dipamerkan
atau dibeli. Risma bukan ingin berkuasa, tapi membimbing adik-adiknya.
"Apa?! Mau mukul?! Silakan aja...," Irfan menantang. "Daripada tinggal di
sini, tapi nggak diperhatiin, mendingan Irfan kembali aja ke rumah lama. Biar
tinggal sendiri juga nggak apa-apa!"
"Silakan aja! Nggak ada yang ngelarang!"
"Nggak ada yang boleh pergi dari rumah ini ...!"
Irfan dan Risma menoleh pintu. Bu Latsri berdiri dilawang pintu.
"Jika satu meninggalkan rumah ini, semua harus keluar. Ayah kalian
selalu menekankan kebersamaan kita, dalam situasi senang ataupun susah
...”
Bu Lastri mendekati Irfan.
"Sebenarnya, Ibu malu kalo kamu benar-benar ingin meninggalkan
rumah ini cuma gara-gara motor. Bukannya Ibu nggak mau beliin. Tanpa
dibelikan kakakmu pun, nanti akan Ibu beliin untuk kamu kalo sudah
waktunya ...”
Irfan tertunduk.

"Kita jangan sia-siakan rezeki anugerah Allah ini, hanya demi gengsi
semata. Gengsi karena nggak punya motor ...”

Risma merangkul Irfan.

"Maafkan Irfan, Bu ... Kak ...!"

Risma merasa lega. Ia masih belum yakin Irfan akan selamanya
menyadari kesalahannya. Mungkin, dalam waktu dekat ini, bisa jadi Irfan
kembali berulah. Perubahan mendadak status ekonominya, membawa dampak
psikologis.

Ah ....

Risma berjalan ke kamarnya sambil mengira-ngira cobaan apalagi yang
bakal dihadapinya. Tanda SMS masuk berbunyi di HP Risma.

Namaku Sandra. Bs minta waktu ketemuan bsk siang? Ini penting bgt

Mungkin Nggak, Sih?

CEWEK di depan Risma itu jelas bukan anak SMA atau kuliahan.
Walaupun wajahnya tampak masih muda, cara berdandannya
menyiratkan umurnya sekitar dua puluh lima tahunan. Namanya Sandra.
"J ... jadi kita ketemu soal Bang Ridhan?" tanyaRisma.
Mereka bertemu di sebuah kafe. Sambil menyeruput kelapa muda di meja
membran, mereka berusaha memecahkan kekakuan.
"Iya, seperti yang saya bilang di HP kemarin," kata Sandra mulai lancar.
Ia menatap lekat sosok Risma, seolah ingin menilainya untuk suatu kontes
Miss Congeniality.
"Memangnya kenapa dengan Bang Ridhan?"
"Dia ... tidak pernah mencintaimu ...”
Risma tersentak. "M ... mak ... sudnya?"
"Sudah jelas, kan? Ridhan nggak mencintaimu. Ya, aku tau, saat ini dia
sedang berusaha menjadikanmu istrinya. Begitu, kan?" Risma mendelik
curiga.
"Tapi dia nggak mencintaimu. Dia mengincar sesuatu danmu."
"Sesu ... atu?"
"Kekayaan ... warisan Tante Ester."
"Maaf, aku nggak suka menuduh orang, apalagi main fitnah nggak pake
bukti."
"Terserah kamu mau percaya atau nggak. Aku hanya bersimpati
denganmu. Sebaiknya, dengarkan dulu ceritaku ...”
"Oke. Aku mau mendengar, tapi belum tentu mau percaya."
Sandra mengerjapkan mata sesaat, lalu mulai menyampaikan kalimat
yang telah disusun sebelumnya.
"Aku mengenal Ridhan sejak awal kuliah. Setahun kemudian, kami
pacaran sampai lulus. Saat kami bekerja, kami memutuskan tunangan
sebelum menikah di umur yang kami sepakati. Tapi ...tiba-tiba, Om Surya
berubah sikap padaku. Kupikir ada yang salah denganku, sampai aku

kebingungan. Ketika kutanyakan pada Ridhan, bukan penjelasan yang
kudapat, tapi dia malah memutuskan tali pertunangan kami dengan alasan
yang tidak kumengerti ...”

Risma tak menyela. Dia menunggu kalimat Sandra berikutnya.
"Ini cincin tunangan kami." Sandra menunjukkan cincin di jari manisnya.
"Aku masih memakainya karena belum menerima pemutusan sepihak oleh
Ridhan yang tak jelas."
Risma tak bisa membedakan itu cincin tunangan atau bukan.
Jadi, dia belum bisa memutuskan, percaya ataupun nggak.
"Dan ini, foto-foto saat pertunangan kami setahun silam ....”
Sandra menyodorkan sebuah album foto dari tasnya.
Risma tersentak melihat isi album foto itu. Diperhatikannya dengan
saksama wajah-wajah di foto itu. Tampak kebahagiaan tersirat dari wajah
Sandra dan Ridhan. Mungkinkah ia mengusik kebahagiaan itu?

"JADI, kamu percaya sama omongan cewek itu?"
"Tadinya sih,nggak. Tapi begitu ngeliat foto-foto tunangan mereka, ya
percaya."
Seperti biasa, para bidadari itu ngumpul di pojok kantin. Voni absen
karena pelajaran ketiga tadi izin meninggalkan pelajaran. Ada syuting
mendadak. Kursi Voni kini diduduki Dodo.
"Trus, kalo emang dia udah putus, ngapain ceritain hubungannya sama
kamu?" tanya Tiwi lagi.

"SEBENARNYA, aku ingin melupakannya. Cowok nggak cuma dia, kan?
Tapi perasaan luka di hati, nggak bisa sembuh dengan melupakannya
begitu aja. Perbuatannya sungguh keterlaluan ....”
Risma menatap Sandra. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk
mata, akhirnya mengalir juga di wajah Sandra. Risma langsung menaruh iba.
"Aku juga nggak pengin ngebiarin dia melakukan hal semena-mena
terhadap cewek lain. Memberikan cinta palsunya ... demi harta ...”

"Jadi, mau Kak Sandra ... aku mesti ngapain?"

"Berhati-hati aja dengan mulut manisnya. Dan jangan biarkan dia
mengambil hartamu ...”

"Bukankah bisnis keluarga mereka juga besar?"

"Kata siapa? Bisnis mereka ambruk. Mereka malah terjerat utang. Inilah
salah satu penyebab meninggalnya Tante Sarah. Dia stroke ketika tau
bisnisnya ambruk. Kehidupan keluarga mereka yang senang foya-foya adalah
penyebabnya. Kamu tentu tau, Om Surya punya lima anak, semuanya kuliah
diluar negeri, termasuk Ridhan.

Dan semuanya tak ada yang menamatkan sekolahnya ...”

"TRUS, apa untung cewek itu kalo kamu nurutin kemauan dia?" tanya
Dodo. "Udah jelas banget. Dia pengin balas dendam karena cintanya
dikhianati, hatinya disakiti ...!" Tiwi yang menjawab.

"Dasar cowok! Untung, gue nggak suka cowok!" gumam Dodo setengah
mati.

Ine melempar Dodo dengan bungkus lemper. Untung aja Dodo nggak
masukin bungkus itu ke mulutnya.

"Kita nggak bisa percaya begitu aja tanpa cek dan ncek. Jadi, mendingan
kita selidiki dulu kebenarannya," putus Tiwi akhirnya.

"Nanti, kita omongin lagi pulang sekolah. Dua detik lagi, bel bakal bunyi."

Risma tersenyum mengikuti Tiwi. Ia bersikap seolah kejadian yang
dihadapinya bukan masalah besar. Tapi, hatinya tidak bisa berdusta.
Sepanjang pelajaran berikutnya, ia tampak gelisah.

Di awal pertemuannya, Risma tak sempat menemukan secuil pun pesona
pada sosok cowok itu. Tapi entah kenapa, lambat laun dia merasa senang
setiap kali cowok itu menelepon atau mengiriminya SMS. Saat obrolan soal
pernikahan, Risma sempat kalut, tapi akhirnya dia mau menerima jika Ridhan
memang jodohnya. Tapi dengan hadirnya Sandra beserta cerita cintanya yang
kandas, Risma kembali gamang.

Duh, pusing banget, cetus Risma dalam hati. Apalagi, jika ia ingat ibunya
udah tau banyak tentang hubungannya dengan Ridhan.

Risma belum bisa memastikan hingga kini, perasaannya terhadap Ridhan
itu cinta atau bukan. Ia terlalu khawatir menyelami sendiri isi hatinya.

"KURASA jalannya cuma satu
Tiwi bersemangat melontarkan ide. Risma, Ine, dan Dodo yang berjalan di
sampingnya langsung memasang kuping.
"Kita ke Bandung lagi. Trus, kita paksa Bang Ridhan ngomong
sejujurnya," lanjut Tiwi.
"Ke Bandung? Gue ikut! Tempo hari gue nggak diajak, kan?!"
Dodo paling semangat.
"Tapi Voni lagi sibuk syuting. Dia bisa ikut nggak?" tanya Ine.
"Nggak ikut juga nggak papa.Dia cuma bikin ribet acara kita jalan ke
mal," celetuk Dodo.
"Yeee kita ke Bandung buat nyelesein masalah Risma. Bukan shooping,
Dodol!" maki Tiwi sambil melirik Risma. Gimana, Risma?"
Risma mengangguk walaupun hatinya sedikit ragu. Beranikah aku
bertanya pada Bang Ridhan?

Ternyata ....

RISMA pernah merasa jenuh nonton sinetron lokal. Pasalnya, tema cerita
sinetron itu nyaris sama-soal perebutan harta warisan. Jadi, Risma baru
nonton sinetron kalo yang maein Voni. Ternyata, ada rasa menyesal juga gak
sempat ngikutin cerita warisan itu. Ya, paling nggak, dia jadi punya bayangan
cara mecahin masalah kalo dalam sistuasi seperti sekarang ini.

"Abis shalat, kok ngelamun?"
Risma tercekat sambil menoleh ke pintu kamar .Ibunya tengah berdiri
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Jadi, Sabtu ke Bandung?"
"Iya. Ibu mau ikut?" Risma mulai melipat mukenanya.
"Jahitan Ibu lagi banyak."
"Lho, Ibu masih nerima jahitan."
"Yang Ibu bisa dan hobi Ibu cuma itu."
"Hm... gimana kalo kita bikin butik?" Risma tersenyum.
"Wah, kalo Ibu bikin butik, nanti yang biasa ngejahit di Ibu pada kabur.
Nanti dikiranya ibu naekin harga."
"Bikin butiknya dua. Satu buat pelanggan yang harus bayar mahal tenaga
ibu. Satu lagi buat nerima pelanggan lama."
"Hahaha iya, nanti ibu pikinn. Trus, kamu berangkat bareng siapa aja ke
Bandung?"
"Seperti biasa. Tapi, Voni lagi sibuk syuting jadi nggak bisa ikut.
Paling diganti Dodo."
"Naik mobil siapa?"
"Nyewa mobil sama sopirnya sekalian. Patungan kok, Bu.
Lagian, kalo naik mobil sendiri lebih enak. Lewat tol Cipularang cepet
banget. Trus, di Bandung kita juga bisa bebas jalan-jalan, apalagi ada sopir."
"Ibu titip salam aja kalo ketemu Om Surya dan ...Ridhan. Kamu nanti
ketemu sama dia, kan?"
"Ng ...iya, Bu." Hampir aja Risma ngejawab, "Jelas. Risma ke Bandung
memang mau nyelesein satu masalah dengan dia."

"INI gue udah siapin daftar acara makan-makan selama di Bandung.
Batagor, cimol, mi ceker, segala pepes, brownies kukus ...”
"Dodo, bisa nggak sih, dalam sehari aja nggak mikirin makanan?!"
Mendengar hardikan Tiwi, kontan seisi mobil tertawa. Dodo yang duduk
di depan bareng sopir sewaan, bukannya menutup mulut, malah melahap
keripik kentang. Bunyi "krauk-krauk"-nya seolah berarti, "hidup buat makan.
Asyik!". Padahal, lima belas menit lalu, mereka baru aja makan siang.
HP Risma berbunyi. SMS masuk.
Risma yang duduk di bangku belakang bareng Tiwi dan Ine langsung
membukanya. "Dari Sandra," gumam Risma.

Jd ke Bdg? Nnt ketemu Ridhan? Hati-hati!

"Kamu ngasih tau dia, kita mau ke Bandung?" tanya Tiwi.
"Nggak sama sekali."
"Lantas, siapa?" Tiwi mengerutkan dahi.
"Mungkin dia menelepon ke rumah, lalu ibuku yang ngasih tau.
Aku kan, nggak bilang ibuku agar kepergianku ke Bandung ini jangan
dibilangin ke siapa pun," jelas Risma.
"Bukannya bagus, dia ngirim SMS agar kita hati hati sama Bang Ridhan,"
sela Ine.
"Kita belum tau siapa yang benar dalam hal ini. Bang Ridhan ataukah
Sandra? Posisi keduanya bisa aja benar, tapi bisa juga salah.
Namanya juga kita lagi nyelidikin," ujar Tiwi.
"Beda deh, yang kebanyakan baca novel detektif ...”ledek Dodo.
"Masih mending ketimbang baca buku resep masakan melulu!"
"Eh, Ris, nanti kamu ketemu Bang Ridhan diantar apa sendirian?" Ine
menyela perang mulut Tiwi dan Dodo.
"Sendiri juga aku berani."
"Jangan!" seru Dodo. "Nanti, kalo diapa-apain gimana?"

"Ngawur! Ya, ketemuannya di tempat umum, dong. Masa Bang Ridhan
mau macam-macam di tempat umum?" Tiwi kembali mendebat Dodo.

"Ya, aku udah janjian ketemuan di kafe di daerah Dago nanti sore. Kalo
kalian khawatir, bisa belanja di dekat kafe, tanpa perlu menunggui aku. Nggak
enak kalo harus nungguin aku, nanti acara jalan-jalannya jadi terganggu."

"Emangnya, kamu tau Dago di mana?" tanya Ine. Risma nyengir. Ke
Bandung aja baru sekal!.'

DADA Risma bergemuruh. Dia jadi menyesal membiarkan teman-
temannya pergi. Meninggalkan dia berdua dengan Ridhan.

"Duduk di sana aja. Dekat jendela," ajak Bang Ridhan.
Risma menurut walaupun rikuh. Dia bingung harus bersikap gimana dan
harus ngomong apa. Jadi, Risma benar-benar menunggu Ridhan. Bahkan,
urusan memesan menu pun diserahkan ama Ridhan.
"Aku samain aja," ujar Risma.
Ridhan tersenyum. "Aku senang nggak ada yang berubah dengan
sikapmu meskipun kamu sekarang... jadi gadis miliuner."
"Hm ... sebetulnya, aku nggak suka dengan sebutan itu."
"Ow, maaf."
Gimana harus memulai? Risma mulai gelisah. Dia jadi ingin menyewa otak
Tiwi. Biasanya, Tiwi paling andal mengatasi situasi apa pun. "Kamu terburu-
buru?" tanya Ridhan.
Aduh,pasti kegelisahan Risma kentara jelas. Sampai Ridhan menduga
demikian.
"Sebenarnya, iya. Makanya, aku pengin langsung ngomong sesuatu
secepatnya," kata Risma secepatnya.
"Soal apa?"
"Sandra
Wajah Ridhan memerah seketika, lalu keruh.
"Sandra ... mana, ya?"
"Sandra Kartika."

"Oooh ... kamu kenal dia?"

"Ya. Dia menemuiku sekitar lima hari lalu."

Ridhan menarik napas. "Apa saja yang dia katakan?"

"Sebaiknya, Bang Ridhan dulu yang bercerita tentang dia, tentang
pertunangan itu ...

Ridhan mengerutkan alisnya. "Dia juga cerita ... ah ....”

Risma mengangguk. Dia bersiap mendengar pembelaan diri Ridhan.

"Kami memang pernah bertunangan, lalu putus. Aku juga tak menyangka
akan sampai putus. Yang tak kuduga adalah cintanya. Dia benar-benar seperti
yang mencintaiku, tapi nyatanya ... dia hanya cewek matre! Begitu tau
perusahaan keluargaku ambruk, dia meninggalkanku ...”

"Jadi, dia yang memutuskan tunangan itu?"

"Ya. Memangnya apa yang Sandra bilang?"

Risma menyandarkan tubuhnya. Bingung. Siapayang benar?

"Lagi pula, itu masa lalu. Aku telah menutupnya. Lebih baik, sekarang
bekerja keras membangun kembali reruntuhan perusahaan keluargaku. Biar
nanti, saat melamar dan menikahimu, aku punya suatu kebanggaan."

"Maaf .... soal pernikahan itu, kita omongin lain kali aja."

"Kenapa? Setahun lagi, kamu lulus, kan?"

"Tapi ... aku ingin kuliah dulu ...”

"Nggak masalah."

"Maksudku, kuliah ke luar negeri. Aku dan Tiwi rencananya bakal
nerusin kuliah di Australia."

"Great idea! Nggak masalah. Aku akan menunggu .... Kecuali ...

kamu memang punya pilihan lain. Aku nggak akan maksa. Lagi pula, aku
hanya ingin menjaga amanat Tante Ester ...”

Risma tersenyum. Bingung juga. Dia ingat percakapan dengan Tante
Ester. Ya, Tante Ester memang pernah berharap Risma menikah dengan
Ridhan. Tapi itu bukan paksaan, kan?

"Kamu belum bilang apa aja yang diceritain Sandra."

"Hm ... kurang lebih sama. Dia hanya bilang Bang Ridhan yang
memutuskan pertunangan itu ... karena... tak mencintainya lagi."

"Jelas dia bohong." Tangan Ridhan meremas remas tisu di dekatnya.

"JADI, yang bener siapa?" Ine bingung. Risma mengangkat bahu, lalu
menoleh ke Tiwi.

"Belum jelas. Kita bisa nyelidikin lebih jauh kalo mau. Asal tujuannya
jelas."

"Maksudmu?" Risma bingung.
Mereka tengah duduk nyantai di kamar hotel. Tidak ada Dodo, lantaran
masih asyik nyari jajanan di luar. Lagi pula, dia nginap di kamar sebelah,
bareng sopir.
"Kalo kamu memang masih tertarik menjalin hubungan dengan Bang
Ridhan, kita bisa selidiki terus. Hitung-hitung, nyeleksi calon suami, gitu. Kalo
ternyata kamu nggak berminat sama sekali, ya ngapain kita selidiki terus?
Udah jelas ada yang nggak beres, jadi hindari aja."
HP Risma berbunyi. Di layar terpampang nama Sandra.
" Lagi di mana, nih?"
"Di hotel."
"Udah ketentuan sama Ridhan?"
"Udah, tadi."
"Pasti dia nyangka! soal pertunangan itu."
"Nggak, kok. Bang Ridhan mengakui."
"Oya? Luar biasa ...!"
"Tapi, dia bilang yang mutusin tunangan itu bukan dia."
"Hm, kalo kamu ada waktu buat ketentuan. Datang ke rumahku, dong! Di
Jalan Berlian delapan. Deket kok, dari hotel kamu. Ada hal penting yang harus
kamu lihat. Sebenarnya aku pengin ke hotel kamu, tapi kakiku tadi keseleo."
"Mau sih ... tapi ...
"Nanti diterusin lagi, ya. Kayaknya ada tamu deh, di luar ."
Pembicaraan di telepon terputus.

"Sandra ngajak kita main ke rumahnya. Katanya sih, deket dari sini. Ada
yang mau dia tunjukin, begitu katanya," jelas Risma menyampaikan
percakapannya.

"Aku sih, pengin banget. Penasaran pengin lihat tampangnya,"

Ine menimpali.

"Tapi mobilnya dipake Dodo. Mau pake taksi?" Risma ngasih pilihan.

HP Risma berbunyi. Di layar tertera nama Sandra.

" Risma, dia datang. Dia ... AAA !!"

Risma tercekat mendengar suara jeritan di ujung sana. Lalu, suara
Sandra menghilang. Risma jadi panik.

"Kenapa, Ris? Kok, pucat?" tanya Tiwi.

"Sesuatu ...terjadi pada Sandra. Kita harus kesana. Yuk!" Risma berdiri.

Tanpa banyak tanya, Tiwi dan Ine mengikuti jejak Risma.

Mereka keluar kamar.

"Apa yang terjadi?" Tiwi bertanya begitu di elevator.

"Sandra menjerit. Lalu suaranya hilang. Sepertinya ada seseorang
datang."

"Aduh .... apaan ini?" Ine masih bingung.

"Nanti, biar kutanya satpam letak jalan berlian. Nanti, kalian duluan aja
nyegat taksi."

Pintu elevator terbuka, mereka pun menapaki lobi. Tiwi bertanya sebentar
letak jalan Berlian. Ternyata, hanya dua kilometer dari hotel.

Di depan hotel, mereka mencegat taksi. Sang sopir taksi sempat bingung
ketika mereka menyebut alamat tujuan yang dekat. Baginya, rugi berat kalo
hanya mengangkut penumpang berjarak dekat.

"Udah, Pak. Nggak usah mikir. Kami bayar limapuluh ribu, kok!

Tapi jangan pake diputer-puter dulu, ya!" bentak Tiwi sambil membuka
pintu depan.

Risma dan Ine masuk ke pintu belakang.

Sopir taksi itu manggut-manggut sambil menjalankan mobil.

Lantaran takut dibentak Tiwi, sopir muda itu menjalankan mobilnya
dengan ngebut.

Alhasil, mereka bisa sampai di depan rumah Sandra dalam tempo lima
menit. Tapi ....

"Kok, ada mobil polisi dan ambulans, ya?" gumam Ine.

Mereka membayar ongkos taksi dan turun.

Dari jarak dua puluh meter, mereka melihat sesosok yang dikenal tengah
digiring polisi. Dia adalah ....

"Om Surya ...?! Apa yang terjadi?" bisik Tiwi.

Risma juga mencari tahu. Lantas, dia melihat pengacara Tante Ester, Pak
Lubis. Apa yang dia lakukan di sini?

"Om Lubis!" Risma memanggil seraya mendekati pria perlente itu.

"Risma ....... baik-baik semua, kan?" sahut Pak Lubis.

Risma mengangguk. Sepertinya, Pak Lubis sama sekali tak heran melihat
kehadiran Risma di tempat ini. Aneh!

"Syukurlah. Mulai sekarang, semoga semuanya makin membaik."

"Apa yang terjadi, Pak Lubis?"

"Pembunuh Tante Ester tertangkap."

Risma menganga. Pembunuhan?

Tajir Gitu, Lho

RISMA, Tiwi, dan Ine mendengar penjelasan PakLubis dengan saksama.
Isinya panjang lebar, tapi ringkasnya begini ....

Om Surya stres ketika tau perusahaannya bangkrut. Jalan satu-satunya
yang dia temukan adalah minta bantuan Tante Ester. Tapi, dia tau ada
kendala di masa lalu. Maka diaturlah agar Om Surya bisa kembali menjalin
hubungan dengan Tante Ester. Om Surya tega membunuh isterinya sendiri.
Kemudian, Om Surya juga yang menghalangi cinta Sandra dan Ridhan.

Secara cerdik, Om Surya memperalat Ridhan. Digunakan untuk
mengambil hati Tante Ester dan Risma. Kala itu, Om Surya juga mulai
mengendus, Tante Ester masih menyimpan cinta padanya. Parahnya, Om
Surya juga tau, Tante Ester telah membuat surat wasiat yang menunjuk
Risma menjadi ahli waris Tante Ester.

Om Surya melakukan berbagai cara untuk merayu Tante Ester.

Dan di saat kalap itulah, Om Surya berucap tak pernah mencintai Tante
Ester. Sejak dulu, dia hanya mengincar kekayaan keluarga Tante Ester.

Mengetahui hal itu, Tante Ester terguncang ...hingga akhirnya koma dan
meninggal. Sebelum koma, Tante Ester sempat mengungkapkan pada Pak
Lubis agar menyelidiki kematian sahabatnya, Sarah. Juga melindungi Risma.
Sebagai orang yang dipercaya, Pak Lubis menyewa orang-orang untuk
menyelidiki kasus ini.

Akhirnya, diketahui bahwa Om Surya memang orang jahat.

Bahkan, Ridhan telah termakan hasutan ayahnya itu.

"Mungkin bakat jahat dari ayahnya menurun," jelas Pak Lubis menutup
keterangan.

Tadi, saat Sandra menelepon, Om Surya bermaksud membunuhnya.
Pasalnya, Ridhan melaporkan ulah Sandra yang membeberkan hubungannya
kepada Risma. Om Surya khawatir, Risma bakal menjauhi Ridhan, hingga
tertutup sudahharapannya menggaet harta Tante Ester lewat Ridhan dan
Risma.

"Trus, gimana dengan Bang Ridhan?" tanya Ine.

"Untuk saat ini tetap ditahan karena ikut terlibat. Setidaknya, dia tau
rencana jahat ayahnya, tapi tidak melapor ke polisi," jelas Pak Lubis.

"Satu alasan kuat untuk menolak lamaran pernikahannya...”
bisik tiwi.
Risma tersenyum. Dia yakin, Tante Ester malah mendukung
keputusannya untuk menolak kehadiran Ridhan sebagai suaminya.

BYUR! Ini memang kedengerannya gila. Pukul dua dini hari mereka
berenang. Tapi sebenarnya sih, nggak gila-gila banget. Mereka berenang di
kolam air hangat Ciater.

"Mudah-mudahan, dengan berenang ini, kita bisa melupakan semua
keruwetan yang kita hadapi," cetus Tiwi sambil berkecipak di kolam.

"Betul," timpal Dodo dari sisi kolam. Dia rada alergi dengan air, jadi
memilih tak berenang. Di dekatnya ada setangkup roti bakar.

"Dan kehidupanku kembali normal. Sungguh, bukan aku nggak suka jadi
tajir kayak sekarang ini. Cuma kok, masalah yang nggak pernah kuduga
muncul satu per satu. Tapi, untungnya aku punya sahabat baik seperti kalian
...”

"Terus kalo disuruh milih, kamu mendingan nggak tajir dan nggak punya
masalah, atau tajir punya banyak masalah?" tanya Ine.

"Aku lebih suka jadi cewek tajir dan nggak punya masalah,"
jawab Risma tegas.
"DASAR!"
BYUR!—.

Dear Diary,
Aku bersyukur banget dengan keadaan sekarang ini. Iya. Siapa yang
nyangka kalo akhirnya aku bisa setajir ini. Jujur aja, setajir sekarang ini
rasanya semua jadi gampang. Mau ini-itu, tinggal bilang.
Aku jadi ingat, dulu suka banget berharap dapat uang dari acaranya
Helmy Yahya itu. Kebayangg itu, ngabisin uang sepuluh jeti dalam waktu

setengah jam. Hihihi , sampai aku udah bayangam bakalan beli emas aja
semuanya. Nyatanya, pas aku dapat seratus jeti malah bingung. Dulu, aku juga
suka ngebayangm ikut acara Petir biar dapat rumah mewah. Alhamdulillah, aku
nggak perlu serepot mereka.

Yang harus disiksa aneh-aneh di depan kamera. Ataupun pegang-
pegangan yang bukan sesama muhrim. Kadang nggak mungkin banget buat
diikutin jilbaber seperti aku. Ih, kok, jadi ngebahas acara teve, sih!

Diary, aku harus membiasakan diri dengan keadaan sekarang mi. Mulai
didekati orang-orang yang semula nggak deket, mulai dimintai ini-itu, hmmm ...
seperti kata pepatah, ada gula, ada semut.

Dan satu hal yang akan selalu kuingat; nggak jadi lupa diri.

Udah dulu, ya. Mau bobo, nih. Besok, aku mau ke makam Tante Ester.
Risma menutup notebooknya sambil tersenyum lega.



Telaga Tautan Hati

"KENAPA sih, telaga ini dinamakan Telaga Tiga Hati?"

Annu memandang sejenak ke tengah telaga yang memantulkan cahaya
perak matahari senja.

"Saya cuma tahu ringkasannya. Konon, di kawasan ini dulu ada dua
keluarga bangsawan yang sangat bersahabat. Bangsawan yang satu punya
seorang putra sangat tampan, sementara bangsawan lainnya punya dua putri
yang sangat cantik. Kedua putri itu mencintai putra bangsawan secara diam-
diam. Tapi, sebenarnya putra bangsawan itu cuma mencintai putri
bungsunya.

Ternyata, kedua orangtua mereka telah mengatur rencana pernikahan
antara putra bangsawan dengan putri sulung. Putra bangsawan menentang
rencana itu. Akhirnya, putri sulung menyadari bahwa cintanya salah. Ia
menulis sepucuk surat agar adiknya mau menikah dengan putra bangsawan
itu, dan putri sulung itu menceburkan dirinya ke telaga ini

"Lalu, putra bangsawan itu menikahi putri bungsu?" tanya Lewin
penasaran.

"Tidak. Putri bungsu merasa bersalah dan menceburkan diri pula
beberapa waktu kemudian. Hebatnya lagi, putra bangsawan yang sangat
mencintai putri bungsu itu juga ikut menceburkan diri ke telaga ini," Annu
menutup ceritanya.

"Tragis banget dongengnya."

"Orang sini menganggap itu bukan dongeng. Para orangtua di sini malah
hafal isi surat yang ditulis putri sulung karena isinya hampir menyerupai
sajak."

"Kamu bisa menyalinkan sajak itu? Tapi jangan pake bahasa Sunda!
Percuma, aku nggak akan ngerti," pinta Lewin.

Annu mengangguk. Nanti, Abah bisa dimintai tolong. Annu sendiri cuma
hafal beberapa bait pembuka.

Lewin terus melangkah menyusun sisi telaga. Tapi, kemudian ia
menyadari Annu sudah terlalu lama menemaninya. Jangan-jangan, ia

kelelahan tapi sungkan mengatakannya. Lewin segera saja menghabiskan rol
film di kamera Nikonnya.

"Kita pulang sekarang. Aku khawatir Bu Sati gelisah nunggu kamu
pulang," ajak Lewin beberapa menit kemudian. "Seharusnya, kita ke sini agak
pagian tadi."

"Saya masih mau menemani Bang Lewin kalau kepengin ke sini lagi."
Lewin tersenyum. Baginya, Annu memang pemandu wisata yang baik hari ini.
Ia segera mengajak Annu naik ke atas Jeep-nya. Mereka meninggalkan Telaga
Tiga Hati dengan perasaan senang.

"Oh iya, tolong sampaikan sama bapak nanti, besok siapkan kelapa
muda. Irwan mau nyusul kesini mungkin dengan beberapa teman sekolahnya.
Dia juga sedang liburan sama seperti kamu, kan?"

"Nanti akan saya sampaikan pada Abah, " Annu memastikan.

Tak jauh dari pintu gerbang vila milik keluarga Lewin, Annu diturunkan.
Rumahnya memang berada dekat dengan vila itu dibangun setahun lalu. Bagi
Annu hal itu amat menyenangkan karena Abah jadi punya nafkah untuk
membiayai sekolahnya. Selain itu, Annu jadi bisa mengenal Lewin, seorang
cowok yang paling ganteng dan baik hati yang pernah dilihatnya. Bahkan
dibandingkan dengan bintang-bintang sinetron yang dilihatnya di teve.

Tidak heran, Annu siap mengorbankan waktunya kapan pun untuk
melayani Lewin saat cowok itu meluangkan waktunya ke vila milik
keluarganya. Sayangnya, Lewin mengunjungi vila itu paling banter tiga bulan
sekali. Itu pun biasanya Cuma satu atau dua hari.

Tidak sesering Irwan .... Ah! Annu buru-buru menepis nama itu dari
ingatan kepalanya.

Annu nggak tahu besok harus bersikap gimana kalo ketemu Irwan.
Cowok itu pernah kurang ajar sama Annu. Ia berusaha mengecup Annu.
Untung aja, Annu bisa meloloskan diri. Dan Annu yakin, ia harus lebih
waspada sama Irwan karena cowok itu bisa saja mengulangi perbuatannya.

Mentang-mentang saya cuma orang gunung, pikir Annu bersungut.

" Euleuh-euleuh ... kirain Emak, kamu teh udah mandi. Baru pulang?"
tanya Bu Sati di teras rumah.

"Iya, Mak. Oh iya, besok Bang Irwan mau datang sama teman-temannya.
Abah diminta Bang Lewin nyiapin kelapa muda."

"Kamu bilang sendiri sama Abah. Emak suka lupa."

"Asal jangan lupa sama Annu saja, Mak!"

Seharian, Annu diam di rumah. Ia memutuskan untuk menghindari
pertemuan dengan Irwan. Tapi, malamnya ia kaget melihat Lewin datang
menemuinya saat ia duduk di teras samping rumah sambil mengamati
bintang-bintang.

"Kenapa seharian ini kamu nggak ke tempat kami?" tanya Lewin sambil
duduk di samping Annu.

Annu menjauh sedikit. Ia masih belum percaya malam ini Lewin berada
di dekatnya. "Saya malu sama teman-teman Bang Irwan."

"Ah, mereka cuma dua orang, kok! Tadi sore mereka udah pulang lagi ke
Jakarta. Tapi, Irwan nggak ikut. Ia tertarik melihat Telaga Tiga Hati setelah
kuceritakan tadi siang. Kamu bisa menemaninya, kan? Besok aku mau ke
kota kecamatan dulu, mau nyetak film sekalian beli film baru," pinta Lewin.

"Besok saya mau pergi ke balai desa. Adapemeriksaan balita, dan saya
diminta membantu seperti biasa," kilah Annu. Baru kali ini, ia berani menolak
permintaan Lewin.

"Alasan sesungguhnya bukan itu, kan? Kamu takut ketemu Irwan karena
ia pernah jahil sama kamu. Irwan pernah cerita.

Bukankah dia sudah minta maaf?"

"I ... iya. Tapi, saya masih takut."

"Kalau dia berani mengulanginya lagi,aku akan tenggelamkan dia di
telaga."

Annu tersenyum mendengar cara bicara Lewin yang seperti sunguh-
sungguh sedang menyeburkan Irwan ke dalam telaga. Tapi, Annu merinding
juga kalau hal itu benar-benar terjadi. "Baiklah, saya mau," kata Annu
kemudian.

"Ya, udah kalau begitu. Aku harus nemanin Irwan. Soalnya, dia itu paling
takut kalau ditinggal sendiri di vila,” Lewin melangkah meninggalkan Annu.

Sepeninggal Lewin, Annu kembali memandangi bintang di langit.

Sepertinya, sinar bintang itu lebih terang dari sebelum kedatangan Lewin.
"Annu ... sudah malam. Kenapa masih di luar?" suara Bu Sati mengejutkan
Annu.

"Annu lagi seneng ngelihat bintang, Mak."

"Seneng ngelihat bintang atau seneng habis ditengok sama Bang Lewin?"

"Ah, Emak kok, ke sana ngomongnya?"

"Bukan apa-apa. Emak hanya perlu mengingatkan kamu sebelum
perasaan hatimu terlalu jauh. Kamu harus tahu diri, siapa kita dan siapa
mereka. Itu yang penting!"

"Iya. Annu juga mengerti atuh, Mak. Annu seneng sama Bang Lewin
karena Annu nggak punya kakak lelaki," kilah Annu.

"Syukur kalau cuma itu perasaan Annu. Kayaknya, Bang Lewin juga
nggak akan keberatan. Dia kan, nggak punya adik perempuan.

Sudah, masuk, yuk! Emangnya, kamu nggak ngerasa gatal digigitin
nyamuk di luar?"

Annu menggelayut manja di bahu Bu Sati. Nanti, ia akan meneruskan
lamunannya di dalam kamar.

ANNU tidak mengeluarkan sepatah kata pun sejak duduk di sisi Irwan.

Untungnya, cowok itu tak mengusiknya. Irwan sibuk mengemudi sambil
bersiul. Tiba di sisi telaga, Irwan langsung turun sendiri tanpa mengajak
Annu.

Annu ikut turun. Ia mengambil tempat duduk di batang kayu angsana.
Diperhatikannya Irwan tengah melempar-lempar kerikil ke tengah telaga.
Antara Irwan dan Lewin nyaris tak ada perbedaan.

Malah tiga tahun lagi, bisa saja Irwan menjadicowok yang jauh lebih
gagah dari Lewin. Tapi buat Annu, Lewin tetap sosok yang menarik hatinya.

Irwan berhenti dengan keasyikannya melempar kerikil. Ia membalikkan
badan dan berjalan mendekati Annu.

"Kamu masih nggak mau bicara denganku?" tanya Irwan ketika berdiri di
hadapan Annu.

"Saya ... saya nggak pernah bilang begitu," jawab Annu.

"Tapi dari tadi, kamu cuma diam."

Annu tak menjawab. Dadanya bergetar ketika Irwan duduk di sisinya.

"Baiklah kalau kamu nggak mau bicara. Aku yang akan bicara panjang
lebar," Irwan berhenti sebentar, "Terus terang saja, aku jadi merasa amat
bersalah dengan kelakuanku yang dulu. Jarak kita jadi semakin jauh. Padahal

kalau kamu mau tahu, aku sering datang ke sini semata-mata hanya untuk
menemui kamu, Annu. Seharusnya waktu itu, aku bisa mengendalikan diri
karena kamu memang berbeda dengan teman-teman cewekku di kota. Aku
minta maaf sekali lagi padamu, Annu!"

"Saya udah memaafkan Bang Irwan dari dulu," timpal Annu buru-buru.

"Kalau benar begitu, kamu mau kan, menemaniku naik perahu?

Jangan khawatir, aku pendayung yang hebat." Irwan menunggu reaksi
Annu sebentar. Ternyata, gadis itu juga memenuhi permintaannya.

Mereka menyewa perahu sampan. Irwan memegang dayung, sementara
Annu duduk di depan menghadapnya. Angin telaga menyibak rambut panjang
Annu. Irwan udah nggak bisa lagi nahan matanya untuk lepas dari kecantikan
Annu.

"Kemarin, kamu menceritakan dongeng tentang telaga ini pada Bang
Lewin. Sekarang, kamu mau mengulanginya lagi untukku, kan?"

"Tidak bisa. Pantangan untuk menceritakannya diatas telaga ini."

"Apa akibatnya? Kita berdua akan tenggelam? Jelek-jelek begini, aku jago
renang!"

"Bukan itu. Tapi ...”

"Kenapa?"

"Nanti akan terjadi cinta tiga hati pada orang yang mendengar dan
menceritakannya."

"Oh, ya? Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Selama ini untuk urusan
pacar, selera aku dan Bang Lewin berbeda. Kalau Bang Lewin menyukai si A,
aku tidak suka. Dan kalaupun aku saat ini sedang menyukaimu, Annu, belum
tentu dengan Bang Lewin ...”

"Jadi ..”

"Ya, aku menyukaimu, Annu. Masa kamu nggak juga ngerti.

Bahkan, aku mencintai kamu lebih dari cinta yang pernah kuberikan
pada orang lain sebelumnya," Irwan berusaha mengutarakan isi hatinya
dengan tegas.

Annu bingung membalasnya. Ia pandangi percikan air yang menempel di
dayung. Tiba-tiba, ia ingat apa yang dikatakan Bu Sati semalam. "Maafkan
saya, Bang Irwan. Saya cukup tahu diri tentang siapa saya dan juga siapa
Bang Irwan," ucap Annu kemudian.

"Kamu mempermasalahkan status sosial kita, Annu? Aduh, itu kan, udah
nggak zaman lagi. Kamu bisa kan, menganggapku seperti teman-teman
disekolahmu?"

Annu menggeleng.

"Baiklah, saat ini mungkin kamu belum mau mengerti. Tapi, aku akan
terus menunggu cintamu. Sekarang, kita pulang aja!" Irwan memutar haluan.
Ternyata ia memang pendayung yang hebat.

Dalam perjalanan pulang, Annu kembali menutup rapat mulutnya. Ia
langsung masuk ke kamarnya begitu sampai. Hatinya kisruh. Annu tak
pernah menduga perasaan hati Irwan sejauh itu.

Selama ini, kalau Irwan sering tertangkap basah sedang mengamatinya,
cuma karena ingin menggoda Annu. Tiba-tiba, Annu merasa takut sekali.
Takut bila tiba-tiba ....

"Annu, ada Bang Lewin di depan. Katanya mau ngeliatin foto, tuh!" suara
Bu Sati terdengar dari luar kamar.

Annu buru-buru bangkit dan menatap wajahnyadi cermin sebentar.
Dijumpainya Lewin di beranda rumah.

"Kok, nggak masuk, Bang Lewin?" sapa Annu.

"Di luar saja. Irwan nggak mengganggumu kan, tadi?"

Annu menggeleng. "Boleh lihat foto-fotonya?!" pinta Annu.

"Ini, lihatlah! Dan tanpa sepengetahuanmu, beberapa kali aku mencuri
wajahmu untuk kufoto." Lewin memberikan segepok foto pada Annu.

Annu merasa kaget ketika melihat hasil foto dirinya yang dibidik Lewin. Ia
merasa gambar di foto jauh lebih cantik dari dirinya.

"Di foto jelas sekali bahwa kecantikan kamu sangat alami. Tidak ada
sedikit riasan di wajahmu. Ambillah kalau kamu suka foto-foto itu!

Aku masih punya klisenya."

"Terima kasih, Bang Lewin. Saya akan menyimpannya."

"Ya, besok aku dan Irwan akan pulang ke Jakarta. Tapi, aku ingin bisa
datang lagi ke sini secepatnya. Bukan cuma untuk mengambil foto-foto dirimu
lagi, tapi aku juga ingin kita bisa saling mengenal lebih dekat. Aku ... aku
menyukaimu, Annu."

Jantung Annu seperti tertimpa benda keras.

"Jangan kamu jawab sekarang kalo memang sulit. Biarkan kita bina dulu
hubungan ini agar semakin dekat."

Annu masih belum sanggup berkata ketika Lewin pamitan dan
meninggalkannya. Annu buru-buru kembali ke kamar.

Mestinya, saya senang mendengar ungkapan hati Bang Lewin, Annu
membatin. Bukankah itu yang memang diharapkannya? Ya, tapi tidak saat ini.
Setelah Annu mengetahui isi hati Irwan sebelumnya.

Inilah yang tiba-tiba amat ia takuti. Annu harus melenyapkan perasaan
cintanya pada Lewin karena tidak ingin hubungan saudara mereka kelak
terganggu. Tapi, sanggupkah saya? Sedangkan, baru kali ini saya merasakan
cinta, batin Annu.

Annu merasa dirinya tenggelam dalam Telaga Tiga Hati.

Dadanya sesak. Dan tiba-tiba, ia teringat salah satu bait isi surat dalam
cerita Telaga Tiga Hati.

Menjadi kekasih di antara tiga hati.

Ibarat bumi, bulan, dan mentari

Ketika ketiganya bertemu dalam gerhana

Hanya kegelapan yang ada.

IRWAN kebingungan mencari rapidonya. Pasti Lewin yang meminjamnya
diam-diam. Buru-buru Irwan berjalan ke kamar kakaknya. Lewin tidak ada
ditempat, meskipun kamarnya tak dikunci.

Dan betapa terkejutnya Irwan ketika melihat foto besar wajah Annu
menempel di dinding kamar Lewin. Dibawahnya tertulis; Segala cintaku hanya
untukmu, Annu.

Irwan terduduk lemas. Ia teringat percakapan beberapa hari lalu dengan
Annu di atas perahu sampan. Satu hal yang tidak pernah ia percayai
sebelumnya jadi mengganggunya. Dirinya dan Lewin mencintai seorang gadis
yang sama.

"Heh, aku yang salah masuk kamar atau memang kamar ini udah
berubah jadi kamarmu?!” suara Lewin mengagetkan Irwan. "Apa yang kamu
lakukan disini?"

"Ngelihat foto Annu. Ternyata dia cantik juga."

"Ah, dia kan, bukan tipe kamu. Selama ini, kita beda selera kan, untuk
urusan cewek?"

Irwan mengangguk. Tapi tidak untuk kali ini, batin Irwan.

"Aku sedang berusaha mendekatinya. Bantu aku,ya!"

"Oke! Asal kembalikan dulu rapido yang diambil dari kamarku."

Lewin tersenyum. Dikembalikannya rapido Irwan yang dipinjamnya diam-
diam. Begitu Irwan menghilang dari kamarnya, Lewin terpaku menatap foto
Annu. Ia kembali menikmati kerinduan hatinya.

Tunggu aku, Annu! Akhir pekan ini, aku akan kembali menemuimu. Kita
akan kembali menyusuri sisi Telaga Tiga Hati atau mungkin juga berdayung
sampan. Lantas, kita bisa saling tukar cerita.

Tapi, jangan lagi kamu ceritakan dongeng Telaga Tiga Hati! Aku khawatir
akan menimpa hubungan kita karena aku tahu Irwan juga mengagumi
kecantikanmu, Lewin membatin.

Pinky

JANGAN aneh kalau melihat Fe berdandan. Mulai dari pita rambut
sampai sepatunya didominasi warna pink. Dia tidak peduli komentar orang
kalau dandanannya dinilai norak. Seperti sore ketika Fe hendak pergi ke Plasa
Senayan.

"Aduh, Fe. Jangan pake blus babydoll nge-pink gitu, dong! Kamu tuh, jadi
kelihatan gendut kayak jambu air," komentar abangnya, Jo.

"Jambu air bukannya enak, Bang?"

"Apanya yang enak? Jambu air yang pink itu asem, tau!"

"Alaaa bilang aja Bang Jo sirik nggak bisa pake baju pink. Warna pink
kan, cuma milik cewek," timpal Fe sambil ngeloyor pergi.

Dengan santainya, Fe berjalan ke teras rumah. Handphone yang
digenggamnya langsung dimainkan. Dia menghubungi Sui, lantaran sobatnya
itu sudah terlambat dua menit dari waktu yangdijanjikan.

"Kalo nggak bisa jemput on time, nggak usah janji segala, dong!"
komentar Fe.

"Yeee..., mestinya yang dijemput dong, harus sabar. Udah nebeng, pake
protes lagi!" sahut Sui.

Fe tertawa. Tiga menit kemudian, Sui baru nongol bareng Viosnya.
Mereka langsung menuju Plasa Senayan. Kebetulan, hari ini adalah hari
terakhir pekan sale di sana. Beberapa hari lalu, Fe melihat katalog. Ada
beberapa koleksi pakaian pink yang langsung menarik hatinya.

Tidak aneh begitu mereka keluar dari mobil, langsung berjalan mencari
pakaian yang udah mereka incar. Sui nggak seperti Fe. Dia lebih suka warna
biru.

"Yang suka warna biru tuh banyak, Sui. Bisa-bisa, kalo pake baju model
itu di suatu pesta, bakal ketemu tiga orang dengan baju yang sama," kata Fe
saat Sui mengamati sebuah blus biru.

"Jadi, aku harus gimana, dong? Dari tadi, setiap baju yang kutaksir
selalu kamu bilang pasaran."

"Ikuti aku aja belinya!"

"Nggak, ah! Semua orang taunya yang gila warna pink itu adalah Fe. Kalo
tiba-tiba aku pake baju warna pink, nanti dikira minjem sama kamu lagi!"
tolak Sui.

Akhirnya, Sui tetap pada pendiriannya. Fe agak kecewa karena tak
berhasil memengaruhi Sui. Toh, keduanya tetap asyik mengitari beberapa
butik yang sedang sale. Setelah hampir dua jam mereka pilih-pilih dan
berbelanja, akhirnya mereka terdampar di foodcourt.

Perut mereka mulai berontak minta diisi.

Fe dan Sui tengah menunggu pesanan ketika tiba-tiba seorang cowok
setinggi 180 sentimeter mendekati mereka. Kulitnya tampak bersih, dengan
postur tubuh tegap. Fe bisa menduga cowok didepannya berusia sekitar dua
puluh tahunan.

"Boleh gabung di sini? Tempat yang lain penuh," ucap cowok itu.

Fe melirik sekitarnya. Ya, pengunjung foodcourt memang membludak.
Kebetulan, Fe menempati meja dengan empat kursi.

"Silakan," Sui mendahului Fe.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa pesanan. Keruan
muka Fe dan Sui pucat karena jadi ketahuan mereka memesan makanan
dalam porsi banyak. Apalagi cowok itu sempat terbelalak.

"Rupanya, kalian laper berat ya, sehabis ngeborong pakaian serba pink
dan serba biru?" komentar sicowok.

Fe dan Sui giliran terbelalak.

"Maaf, tadi aku sempat mengikuti kalian berdua. Habis, tingkah kalian
aneh sih, saat milih baju-baju yang kalian beli. Oh iya, namaku KK." Cowok
itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

Fe dan Sui membalas perkenalan itu.

"Sebenarnya, kami nggak suka dikuntit orang," sindir Fe kemudian.

"Aku nggak nguntit, kok! Hanya kebetulan," kilah KK. Pesanan KK tiba.
Segelas jus wortel. Fe dan Sui sampai kaget melihat cowok itu hanya memesan
jus wortel.

Ah, tapi lupakan soal itu. Dalam beberapa menit, mereka udah terlibat
obrolan akrab. Fe dan Sui memberi tahu kalau mereka masih duduk di
bangku kelas 2 SMA, sedangkan KK masih kuliah semester 6

di Trisakti. Hobi mereka pun nyaris sama, nonton film dan mendengarkan
musik. Tidak aneh jika suasana pun cepat mencair.

Saat berpisah, mereka saling tukar menukar nomor HP.

"Rasanya, aku jatuh cinta sama KK, Fe," cetus Sui saat menjalankan
Viosnya.

"Selamat. Berarti, kamu harus bersaing denganku. Aku juga naksir dia."

"Aku berani taruhan."

"Deal!"

"Tapi, gimana kalo dia udah punya cewek?"

"Berarti, kita berdua kalah."

Keduanya tertawa sambil mengencangkan suara Josh Groban dari tape
mobil.

Sejak hari itu, keduanya mulai melancarkan serangan menggaet KK.
Mulai dari kirim SMS sampe kirim-kirim lagu di beberapa stasiun radio.
Sampai seminggu kemudian, KK yang biasanya hanya mengirim SMS, tiba-
tiba menelepon Fe.

"Hi, Fe! Kamu ada waktu nggak? Kita jalan-jalan,yuk!" ajak KK.

"Boleh tuh. Nanti kutanya Sui dulu, ya! Dia bisa ikut nggak, ya?"

"Nggak usah, Fe. Aku cuma pengin jalan bareng kamu."

"Begitu, ya?"

"Iya. Keberatan?"

"Nggak. Mau jemput aku jam berapa?"

"Jam empat. Kita ke Gading. Di sana lagi ada sale."

"Deal!" seru Fe dengan jantung berdebar.

Ya, siapa yang tidak berdebar diajak jalan bareng cowok seganteng KK.
Dia memenuhi kriteria pria idaman Fe selain Josh Groban. Fe memutuskan
berdandan dengan maksimal. Lagi-lagi, Jo kebingungan melihat cara dandan
Fe.

Pukul empat, KK menepati janji ngejemput Fe.

"Wah, kamu cantik banget serba pink gini," puji KK saat bertemu.

"Terima kasih." Fe tersipu. Ternyata, mata Jo memang mesti diperiksa,
pikirnya. KK yang ganteng aja muji cara aku dandan.

Lantas, mereka menuju kompleks Kelapa Gading Mall. Fe agak menyesal
karena menemukan beberapa pakaian pink, tapi tabungannya menipis
sesudah memborong minggu lalu.

"Dari tadi, kamu mengantar aku melulu. Sekarang, giliran aku yang
ngantar kamu dong," ujar Fe setelah hanya sanggup membeli slayer pink dan
bandana pink.

Ya, giliran Fe yang mengantar KK belanja. Ternyata, banyak juga yang
dibeli KK. Dari dasi, setelan piyama, sampai handuk. Cuma, semua yang dibeli
KK berwarna pink.

"Kamu pasti menyindirku, ya?!" cetus Fe saat KK membayar belanjaannya
di kasir.

"Maksudmu?"

"Itu, yang kamu beli kok, warna pink semua. Kenapa nggak warna biru
atau hitam. Biasanya, cowok lebih suka warna gelap."

KK tidak menyahut. "Aku punya kejutan untukmu. Sepulang dari sini,
mampir dulu ke rumahku, ya!" KK malah mengalihkan pembicaraan.

Fe kaget. Secepat itu KK mengajaknya mampir. "Tapi …”

"Tenang aja. Jangan takut! Di rumah cuma ada ibuku. Empat abangku
semua sudah menikah, dan pindah."

"Bolehlah kalau begitu," jawab Fe masih dengan perasaan heran.

Mendengar jawaban itu, KK terlihat senang. Mereka langsung naik mobil
dan menuju rumah KK. Ternyata rumah KK di kawasan Pondok Indah sangat
luas. Tak bisa disangkal lagi kalau perasaan Fe makin melambung. Dari sikap
KK itu, Fe menilai KK menyukainya.

Tentu saja tak akan menolak kalau KK menyatakan cinta padanya.

Hanya orang bodoh yang menolak cinta cowok, seganteng dan sekaya
KK! pikir Fe.

Begitu masuk rumah, Fe melihat seorang wanita berusia sekitar enam
puluh tahun. Dia ternyata mama KK. Orangnya sangat ramah.

Sayang, karena pendengarannya yang kurang baik, Fe nggak bisa
berlama-lama bicara dengannya.

"Aku mau kasih kejutan untukmu. Ayo ke kamarku. Ups, jangan pikir
aku akan macam-macam sama kamu ya, Fe!"

Fe tersenyum. Dia berjalan mengikuti ke bagian kanan rumah.

Begitu sampai di depan sebuah pintu kamar yang tetutup, KK terdiam
sebentar.

"Fe, waktu pertama melihat kamu ... aku langsung ingin kenalan sama
kamu lho," ucap KK kemudian.

Fe tersipu.

"Apalagi kamu seorang penggemar warna pink," sambung KK.

"Lho, apa hubungannya?" tanya Fe.

"Ada ...." KK membuka pintu kamarnya. "Karena kita mempunyai
kegemaran yang sama. Lihat isi kamarku!"

Fe terbelalak ketika melihat isi kamar KK yang luas. Di sana-sini terlihat
benda warna pink. Mulai dari tempat tidur, kap lampu meja, telepon, tirai ....

"Aku juga mengoleksi dasi pink, piyama pink, pokoknya semua yang pink.
Kecuali pakaian cewek, karena aku tidak bisa memakainya," pamer KK
bangga.

"Tapi …”

"Kamu pasti heran ya, kok, cowok suka pink. Ya, itulah yang suka
dikatakan orang. Abis, semua berawal dari ibuku. Dulu, kami berlima tinggal
dirumah ini. Masing-masing oleh ibu diberi warna khusus. Abangku yang
pertama dikasih biru, lantas hitam, terus cokelat, dan yang ke empat abu-abu.
Entah kenapa, ibu malah memberi aku serba pink,sampai akhirnya aku
benar-benar maniak pink," papar KK.

"O, begitu, ya?"

"Walaupun aku suka pink, sebaiknya kamu nggak berpikir aku ini cowok
feminin."

"Ngngng ... tentu aja nggak. Aku nggak pernah berpikir begitu."

"Syukurlah. Soalnya, aku ngerasa normal. Aku masih bisa mencintai
cewek. Dan satu cewek yang kini tengah kucintai adalah ...

kamu, Fe."

"Aku ...?! Ah ... maaf, aku udah punya cowok!"

"Tapi kata Sui, kamu belum punya pacar."

"Sui nggak tau aku punya pacar. Justru sebenarnya ... Sui yang
mencintaimu. Percayalah, KK. Aku nggak bisa nerima kamu, juga karena
takut mengecewakan Sui. Dia sahabatku."


Click to View FlipBook Version