bahwa Islam adalah faktor komplementer bagi ideologi negara Pancasila dianggap
sebagai representasi dominan di kalangan massa Islam. Dengan demikian,
pengertian kata “umat” Islam lalu menjadi umum, meliputi semua kaum muslimin di
Indonesia. Demikian pula, format perjuangannya adalah partisipasi penuh dalam
upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan di masa
depan. Dan akhirnya tujuan perjuangannya adalah memfungsikan Islam sebagai
kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari masyarakat kita.
Ke sanalah hendaknya gerakan massa Islam diarahkan dan dikembangkan oleh
gerakan Islam di negara kita. []
Prisma, Januari 1984
201
BAB 17
PENAFSIRAN TEORETIS TERHADAP HASIL
PENELITIAN ORIENTASI SOSIAL-BUDAYA DI LIMA
DAERAH99
Pendahuluan
Suatu penelitian sosial akan berhadapan dengan data yang selanjutnya perlu diolah
secara bertahap. Dalam rangka penyelenggaraan penelitian “Orientasi Sosial
Budaya” di lima daerah di luar Jawa,100 tulisan ini berusaha memberikan kerangka
teoretis untuk mengungkap gejala-gejala sosial serta membacanya secara
bermakna dalam bentuk penafsiran-penafsiran yang dapat membantu perumusan
kebijaksanaan dalam bidang sosial-budaya. Pada dasarnya terdapat beberapa
pendekatan dan metode untuk mencapai tujuan tersebut, namun mengingat lingkup
tujuan yang lebih luas dari penelitian, makalah ini akan menampilkan pendekatan
dan metode struktural, yang bersifat makro, menurut hemat kami mampu membawa
kita mencapai tujuan yang diinginkan, tentu saja sejauh syarat-syarat yang dituntut
benar-benar terpenuhi.
Pendekatan struktural ini pada dasarnya telah dimulai oleh F. De Saussure dalam
linguistik modern dan dikembangkan dalam antropologi oleh Levi-Strauss, dalam
psikoanalisa oleh Jacques Lacan, dalam epistemologi oleh Jean Piaget, dan dalam
kehidupan religi oleh F. Houtart.
Kami berusaha menerapkan pendekatan struktural ini dengan cara pengolahan kami
sendiri sejauh dibutuhkan, tanpa terlalu mengikat diri pada unsur-unsur spesifik yang
menandai pendekatan mereka masing-masing. Maka untuk melengkapi kemampuan
pendekatan tersebut, tentu saja kami tetap terbuka terhadap manfaat pendekatan
lain. Inti permasalahan dalam penelitian di sini bukan saja memahami secara
99 Ditulis bersama dengan Soerjanto Poespowardojo, Sastrapratedja, dan Slamet Rahardjo.
100 Daerah-daerah itu adalah Kalimantan Barat, Bali, Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Barat, dan
Sumatera Selatan. Gambaran lebih lanjut tentang penelitian ini lihat tulisan Dr. Mochtar Buchori dan
Drs. Wiladi dalam Prisma, No. 3, Maret 1982.
202
obyektif kenyataan-kenyataan yang struktural dalam kehidupan masyarakat melalui
gejala-gejala sosialnya melainkan juga bagaimana mengubah pola hidup
masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Rangkuman Penemuan
Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari keseluruhan hasil penelitian tentang
“Orientasi Sosial Budaya” di lima komunitas itu, maka dapat dibuat rangkuman untuk
melihat pandangan apa yang paling banyak dianut (populer) dan pandangan yang
paling tidak populer di kalangan responden.
Pandangan tentang makna hidup, fungsi kerja, keberhasilan, dan penggunaan uang
berlebih
Pertama, pandangan tentang hakikat hidup yang paling populer di kalangan
responden adalah pandangan yang mengatakan bahwa hidup itu untuk bekerja,
berprihatin (82,2%); yang paling tidak populer adalah “hidup untuk beramal”,
berbakti, beribadah (4,67%).
Kedua, mengenai pandangan tentang fungsi kerja yang paling populer di kalangan
responden adalah pandangan yang menyatakan bahwa kerja itu adalah untuk
“nafkah mempertahankan hidup” (79,1%), dan “anak cucu” (63,55%). Yang paling
tidak populer adalah “kerja untuk mengabdi, amal” (22,67%).
Ketiga, dalam hal pandangan tentang sebab-sebab keberhasilan usaha, mayoritas
responden memandang bahwa faktor utama yang menentukan keberhasilan utama
adalah “usaha sendiri” (62,89%). Yang paling tidak menonjol adalah “usaha sendiri
dan bantuan orang lain” (8,89%)/
Keempat, di kalangan responden remaja tampak bahwa pandangan tentang tujuan
menabung yang paling populer adalah pandangan yang menyatakan bahwa tujuan
menabung itu adalah untuk “kepentingan pribadi” (80,44%). Yang paling tidak
populer adalah untuk “membantu orang lain” (3,11%), dan untuk “kepentingan
masyarakat” (1,33%).
203
Kelima, mengenai pandangan tentang penggunaan uang yang berlebih dan tujuan
menabung, mayoritas responden menjawab bahwa “bila ada uang berlebih ditabung”
(67,78%). Yang kurang menonjol adalah “untuk dimanfaatkan” (32%).
Untuk antar generasi, orang tua dan remaja, dalam kelima butir di atas tak ada
perbedaan signifikan, kecuali dalam hal tujuan menabung tampak ada perbedaan
persentase mayoritas antara orang tua dan remaja (orang tua = 67%, remaja =
82%).
Pandangan mengenai jenis kemapanan dan karakteristik serta pergaulan remaja
Pertama, mengenai jenis-jenis kemapanan yang paling populer di antara para
responden di lima masyarakat adalah “memperoleh pendidikan yang baik” (67,26%),
dan “menjadi orang terpandang” (32,29%). Jenis kemapanan lainnya hanya disebut
oleh kurang dari 10% responden lainnya, yang paling tidak populer ialah menjadi
pengusaha.
Kedua, mengenai jenis karakteristik yang dicita-citakan oleh para responden ialah
“menjadi orang yang bertingkah laku baik” (47,2%) dan “berjiwa pemimpin”
(20,71%), “berjiwa pendidik” (12,55%). Jenis karakteristik lainnya tidak populer;
hanya disebut oleh kurang dari 10% responden. Yang paling kurang populer ialah
“berjiwa seni” (0,44%). Sebagian responden (12,55%) belum tahu atau tidak
mengajukan karakteristik yang mereka cita-citakan.
Ketiga, dalam hal pergaulan remaja masa kini secara umum dapatlah dikatakan
bahwa sebagian terbesar responden orang tua (46,9%) maupun remaja (52,2%)
berpandangan bahwa pergaulan remaja masa kini “berbeda dari masa lampau”,
dalam arti “remaja masa kini lebih bebas, berani, terbuka, dan tidak kolot”. Namun
demikian cukup banyak pula di kalangan remaja (14,3%) tetapi terutama di antara
responden orang tua (26,8%) yang menilai pergaulan remaja masa kini terlalu
bebas, kurang sopan, kurang taat kepada adat. Hanya sebagian kecil (orang tua
1,8%, remaja 8%) saja yang berpendapat bahwa pergaulan remaja masa kini tidak
berbeda dengan masa lampau.
Pandangan tentang kesenian tradisional
204
Mengenai kesenian, pandangan yang paling populer di kalangan responden bahwa
“kesenian tradisional perlu dilestarikan” (68,8%) dan disusul oleh pandangan bahwa
“kesenian tradisional perlu dikembangkan” (19,1%). Yang menarik adalah bahwa
hampir tak ada orang yang menyebutkan keuntungan uang atau keagamaan
sebagai alasan perlunya pertunjukan kesenian tradisional, meskipun dalam
masyarakat pertunjukan kesenian tradisional sering dihubungkan dengan masalah
keagamaan atau komersialisasi.
Kerangka Teoretis
Sosiologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan berusaha membahas gejala-
gejala kehidupan manusia, sejauh itu semua merupakan produk sosial. Dalam hal ini
kehidupan pembahasannya bergantung pada dan ditentukan oleh kerangka
metodologi yang dipergunakan. Pada kenyataannya terdapat berbagai pendekatan
dalam sosiologi untuk merangkum dan menganalisa data-data yang diperoleh.
Pendekatan struktural salah satu pendekatan yang mulai banyak dipergunakan
terutama untuk menemukan unsur-unsur yang pokok dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan pendekatan ini adalah mengungkapkan struktur yang imanen dalam gejala-
gejala sosial yang dapat diamati dengan cara menganalisa sistem-sistem yang
terkandung di dalamnya.
Menurut teori struktural, masyarakat merupakan satu kesatuan struktural, di mana
terdapat berbagai sistem yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Dalam
kesatuan struktur itu masing-masing sistem hanya dapat dipahami sepenuhnya
sejauh dikaitkan dengan dan diletakkan dalam kerangka sistem-sistem lainnya. Di
situ terdapat sistem-sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, ideologi,
religius, dan lain-lainnya.
Dilihat dari segi proses penyelenggaraan kehidupan sosial, maka pada dasarnya
masyarakat bertumpu pada sistem ekonomi, yang tercermin dalam kekuatan
produksi, yaitu cara produksi dan hubungan produksi. Kekuatan produksi ini
mendorong terwujudnya sistem sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sistem sosial adalah manifestasi sistem ekonomi masyarakat. Selanjutnya sistem
sosial mendorong lahirnya sistem-sistem politik masyarakat. Dengan demikian
205
sistem politik mencerminkan hubungan-hubungan kekuasaan yang
mempertahankan pranata-pranata sosial yang ada. Dan akhirnya sistem politik akan
mencerminkan diri dalam bentuk-bentuk kesadaran, seperti sistem nilai, ideologi
atau keyakinan/agama yang berfungsi sebagai sistem legitimasi.
Dengan demikian terdapat satu rangkaian unsur-unsur yang secara konstitutif
menentukan struktur masyarakat, yaitu sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik,
dan bentuk-bentuk kesadaran masyarakat. Dalam kesatuan struktur ini ekonomi
merupakan bagian yang infrastruktur terhadap sistem-sistem lainnya, karena secara
dasariah menentukan corak dan sifat-sifat sistem-sistem lainnya sebagai
suprastrukturnya, tanpa mengingkari adanya kemungkinan bahwa bagian-bagian
suprastruktural memberikan pengaruh terhadap sistem kehidupan ekonomi.
Dengan demikian, tampaklah bahwa untuk dapat mengungkapkan sistem-sistem
masyarakat tersebut di atas dan menunjukkan kaitan struktural antara sistem-sistem
itu, perlu diperoleh data-data yang dibutuhkan dalam masing-masing sistem itu.
Penafsiran
1. Pandangan mengenai makna hidup dan kerja serta sikap-sikap yang berkaitan
dengan kehidupan ekonomis menunjukkan bahwa masyarakat hidup dalam
kelugasan. “Tujuan yang paling penting adalah pangan serta uang untuk
hidup.”101 Ini berarti bahwa sebagian masyarakat masih hidup dalam taraf
kebutuhan minimal, yaitu dalam sistem ekonomi yang subsisten.
2. Ekonomi subsisten ini berlangsung dalam keadaan masyarakat yang
berkembang secara tidak seimbang, karena adanya kepentingan sosial-
ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi subsisten ini timbullah beberapa sikap:
a. Individualisme negatif, yang didasari oleh desakan untuk survival, yang
memanifestasikan diri dalam mentalitas “menggusur” (evection mentality).
Kekejaman, mumpung, rayahan, dan sebagainya. Hal ini terjadi terutama
pada kelompok yang mempunyai derajat kekuatan tertentu.
101 James C. Scoot, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terjemahan
Hasan Basari, LP3ES, 1981, hlm. 76.
206
b. Apatisme terhadap keadaan lingkungan yang tak mampu menyelami rasa
makna hidup karena tidak berkesempatan untuk memperluas cakrawala
pandangan kehidupan.
3. Dari lain pihak, dalam kelugasan ini terkandung potensi-potensi positif yang
dapat melahirkan tindakan-tindakan yang mencerminkan kesediaan untuk
memikul tanggung jawab dalam rangka menciptakan kesejahteraan bersama.
Potensi semacam ini akan terwujud apabila ketimpangan-ketimpangan sosial-
ekonomi semakin dikurangi dan dihilangkan.
4. Jadi, kelugasan dalam suasana yang penuh dengan ketimpangan akan
melahirkan sikap individualistis negatif, sedangkan kelugasan dalam suasana
yang dirasa adil akan melahirkan sikap mandiri yang positif.
5. Cara mengatasi ketimpangan tidak cukup dengan penanaman ideologi saja,
tetapi harus disertai perubahan struktural. Setiap perubahan struktural
memerlukan pelaku-pelaku yang mempunyai sifat-sifat yang didambakan.
6. Terlihat di sini adanya kesenjangan antara ideologi formal dan penghayatan
kehidupan sehari-hari.
7. Untuk membentuk moralitas sosial, yang penting pertama-tama bukan ajaran
lengkap, tetapi model-model tokoh. Sayang bahwa yang didapat adalah tokoh-
tokoh mitologis. Mereka tidak memperoleh model-model yang hidup pada masa
kini. Dalam masyarakat sekarang yang diketemukan adalah tokoh-tokoh yang
negatif. Dari data terlihat bahwa yang didambakan sebagai tokoh panutan
ialah: yang bertingkah laku baik, berjiwa pemimpin dan berjiwa pendidik, serta
patuh kepada agama.
8. Suatu hal yang menggelisahkan ialah penemuan bahwa praktik pendidikan,
termasuk pendidikan agama, yang sekarang berjalan tidak ikut membentuk
moralitas masyarakat. Penemuan menunjukkan bahwa pada mereka yang
tidak bersekolah maupun yang mendapat pendidikan pada perguruan tinggi,
“hidup beramal” sama sekali tidak populer. Perbedaan pandangan tentang
“hidup untuk bekerja” terdapat hanya pada kelompok yang bersekolah rendah.
Kecuali itu, mereka yang hanya berpendidikan agama saja dan yang tidak
mendapat pendidikan sama sekali tidak ada yang menganut “fungsi kerja untuk
mengabdi/beramal”. Praktik pendidikan yang ada tidak dapat melahirkan
moralitas yang menganjurkan “hidup untuk mengabdi atau beramal”. Segala
perubahan sosial hanya mungkin kalau ada perubahan yang menyeluruh
207
dalam sikap. Maka perlu adanya kekuatan yang mampu mengubah cita-cita
“hidup untuk bekerja saja” dan “kerja untuk mencari nafkah”. Oleh karena itu
perlu dilahirkan pemikiran yang mampu mengubah praktik pendidikan sehingga
dapat membentuk moralitas yang inheren dalam perubahan struktural.
9. Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang tua yang mempunyai pandangan
yang positif terhadap remaja, yaitu bahwa mereka “lebih bebas, berani,
terbuka, tidak kolot” mengundang pertanyaan apakah penilaian negatif
terhadap remaja yang dikemukakan para pejabat daerah dengan kenyataan
yang ada? Dalam hubungan ini dapat dikemukakan pandangan Margaret
Mead. Mead melihat ada tiga corak kebudayaan: postfiguratif, kofiguratif, dan
prefiguratif. Dalam kebudayaan postfiguratif anak terutama belajar dari orang
tuanya dan membentuk identitas menurut orang tuanya. Dalam kebudayaan
kofiguratif teman sebaya dan sezaman mengganti orang tua sebagai model
tingkah laku. Dalam kebudayaan prefiguratif, yang ditandai oleh perubahan-
perubahan yang pesat dalam segala bidang, orang tua harus belajar dari
generasi muda.102 Kalau pandangan ini benar, maka yang diperlukan ialah
bahwa sebagai akibat akselerasi ilmu pengetahuan orang tua harus terbuka
untuk hal-hal tertentu belajar dari generasi muda. Hal ini tampaknya sudah ada
dalam masyarakat karena sebagian besar orang tua menyatakan bahwa
generasi muda sekarang mempunyai sifat-sifat positif.
10. Adanya mayoritas responden yang mendorong penggunaan bahasa Indonesia,
menunjukkan bahwa kedudukan bahasa Indonesia sebagai lingua franca
sudah cukup mantap. Itu membuktikan juga bahwa amanat Sumpah Pemuda
“satu bahasa” boleh dikatakan telah terwujud. Dengan peningkatan hubungan
antar daerah berkat peningkatan teknologi sekarang ini dapat diharapkan
bahwa bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi nasional akan terus
meluas dalam kehidupan bangsa kita. Dengan kenyataan perkembangan
demikian itu, dapat pula diharapkan bahwa bangsa kita sekali-kali tidak akan
dihadapkan kepada masalah bahasa nasional seperti yang dialami beberapa
bangsa lain. Meskipun demikian, tidak terungkap jelas dari kesimpulan
penelitian apakah benar-benar ada kesadaran akan arti bahasa Indonesia
sebagai sarana pemersatu bangsa: tidak diperoleh keterangan apakah ada
102 M. Mead, Culture and Commitment, A Study of the Generation Gap, (Panther Books, London,
1972).
208
kebanggaan akan pemilikan bahasa Indonesia sebagai kekayaan kebudayaan
nasional, sehingga ada keinginan dan usaha untuk berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, termasuk misalnya usaha membakukan lafal, tata
bahasa, peristilahan, dan sebagainya.
11. Hal lain yang cukup membesarkan hati dari penelitian ini adalah cukup
besarnya responden, yang di samping mendorong penggunaan bahasa
Indonesia, juga menginginkan agar bahasa daerah atau bahasa ibu juga
dipertahankan. Gejala ini menunjukkan kesadaran akan adanya prinsip yang
kita anut, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hanya tidak jelas dari data, dan kiranya
perlu diadakan penelitian lebih lanjut apakah dugaan itu benar seluruhnya.
Sebab dengan adanya pendapat yang mendorong berkurangnya atau
membiarkan berkurangnya bahasa daerah, soalnya tidak terlalu sederhana.
Apakah sebenarnya di belakang pendapat sekitar penggunaan bahasa daerah
itu tidak terdapat pelbagai alasan tanggapan yang bertentangan satu sama
lain? Pertama, dan ini motif yang sehat, ada dorongan untuk mempertahankan
identitas dirinya sebagai kelompok etnik di dalam kehidupan sosial yang
pluralistik seperti masyarakat Indonesia ini, justru agar ada keselarasan,
keseimbangan, dan kewajaran dalam kehidupan nasional ini. Kedua, adanya
dorongan yang bersifat pragmatik: kesadaran adanya kenyataan bahwa dalam
kehidupan sosial yang konservatif dan primordial untuk banyak urusan
kepentingan, faktor bahasa dan tata krama daerah lebih dihargai. Dengan
demikian penggunaan bahasa daerah lebih menjamin keberhasilannya
(analoginya uang pelicin). Perlu dicatat pula adanya pendapat: “mendorong
berkurangnya bahasa daerah dan mendorong penggunaan bahasa Indonesia”.
Apakah di sini tidak ada semacam overkompensasi karena persaingan kedua
bahasa?
12. Alhasil dapat disimpulkan bahwa kalau dalam hal bahasa nasional bangsa dan
negara kita “sekali-kali tidak akan menghadapi masalah”, maka dalam
menghadapi soal bahasa daerah diperlukan kebijaksanaan yang cermat dan
hati-hati. Penelitian sederhana ini saja telah menunjukkan gejala-gejala
ketidakmapanan, ketidakseimbangan, disorientasi, dan frustrasi. Kalau
diadakan penelitian lebih dalam lagi di dalam lingkungan kelompok etnik yang
merasa mapan dengan bahasa ibunya sekalipun, mungkin akan terungkap
pula hal-hal yang sama. Misalnya, apakah bahasa ibu yang dipergunakan
209
orang atau remaja Jawa itu bahasa Jawa yang baik dan benar? Masihkah
dipahami benar-benar beda antara “ngoko” dan “kromo”? Apakah ada aspirasi
akan sastra tulis Jawa? Ilustrasi demikian sudah tentu akan berlaku pula bagi
kelompok Sunda, Madura, Bali, Minang, dan sebagainya. Tidakkah mungkin
bahwa penelitian dalam hal-hal itu mengungkapkan adanya kecerobohan,
ketidakacuhan, kesemrawutan, bahkan kekerasan atau kekasaran dalam
penggunaan bahasa ibunya, sehingga itu pun merupakan pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain dan dengan masyarakatnya?
Kesimpulan: Tindak Lanjut
Data dari penelitian ini dapat dikelompokkan dalam empat permasalahan pokok: a.
Masalah makna hidup (hakikat hidup); b. Masalah budaya dalam kaitannya dengan
perkembangan ekonomi (fungsi kerja, keberhasilan usaha, menabung, penggunaan
uang berlebih); c. Masalah budaya dalam kaitannya dengan integrasi nasional
(masalah bahasa, hubungan antar generasi, kesenian, permainan); d. Masalah cita-
cita untuk hari depan.
Sistem nilai sosial-budaya tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan sistem-
sistem lainnya: sosial, politik, dan ekonomi. Untuk dapat memberikan tafsiran yang
lebih adekuat diperlukan kelengkapan gambaran tentang semua sistem-sistem ini.
Kendati keterbatasan penelitian ini, dapat dikatakan bahwa pembangunan untuk
menciptakan masyarakat adil hanya mungkin terlaksana kalau ada perubahan
struktural yang mampu menghapus ketimpangan sosial-ekonomi. Pendekatan
melalui penanaman ideologis melulu tidak akan melahirkan sikap-sikap baru, kalau
tidak disertai perubahan struktural yang didukung oleh pelaku-pelaku yang memiliki
sikap-sikap yang didambakan. []
Prisma, Maret 1982
210
Kendati Gus Dur tidak pernah belajar di
universitas dalam negeri dan mancanegara yang
terdepan dalam ilmu sosial, sebagaimana umumnya
Kendati Gus Dur tidak pernah belajar di universitas dalam negeri dan mancanegara yang
pteardrepaan dpaelamnuilmluissosiPal,rseibsamgaiam,ananuammumunnya pajrea pleanuslis Ptriesmraa, nsamaundjealals taermasa
tduallaimstaulnisa-tn-utullisiasnainni peimnaihapmeanmGauhs Daumr yaanng dGalaumsterDhaudarp ilymau-nilmgu sdosaiall yaamng
terdhiraamdunaypa deinlgmanup-einlgmetauhuasn okesagiaamlaany. aNinlaigilmdiaihrtualimsanu-tnulyisaan idni,esenpgertai n
pengetahuan keagamaan. Nilai ilmiah tulisan-
tulisan ini, seperti pernah disebut Greg Barton,
sangat akademis. Gus Dur, tak pelak lagi, adalah
seorang cendekiawan terkemuka.
Buku ini memperkenalkan pemikiran-pemikiran lama
Gus Dur, mengenai hubungan agama dan ideologi,
negara dan gerakan keagamaan, hak asasi manusia,
budaya dan integrasi nasional, pesantren, dan
lain-lainnya.
211