Introver 45 belakang bangkuku, lantas mereka masih saja tidak bersikap baik kepadaku. Padahal aku berharap dengan melakukan itu, aku bisa berteman dengan mereka. Bahkan aku memiliki angan-angan, jika aku bisa berteman dengan mereka, aku akan membawa mereka ke jalan yang lurus, jalan yang akan membawa mereka jauh dari rokok. Sungguh cita-cita yang mulia. Tapi apa mungkin aku bisa melakukan itu? Menjalin sebuah ikatan pertemanan saja aku tidak bisa! Menyaksikan masa SMA-ku saat ini, semua yang terjadi tidak pernah sama seperti yang aku bayangkan. Aku pikir, saat masuk SMA kehidupanku akan berubah. Masa di mana aku bisa mengobrol dengan banyak anak, bergaul dengan anak perempuan dan laki-laki seperti anak normal. Dengan banyak kegiatan yang dihabiskan bersama teman-teman. Pulang sekolah bersama, lalu jalan-jalan ke taman atau alun-alun. Saat weekend keluar bareng-bareng untuk touring. Bermain ke rumah teman sekelas, lalu meng inap bersama. Aku mengembuskan napas dengan berat seperti orang yang habis lari maraton. Sudah lama aku tidak memerhatikan kaca jendela di samping tempat dudukku, ternyata kaca jendela itu begitu kotor. Aku sentuh kaca itu dengan telunjukku, lalu menariknya ke arah bawah. Di kaca itu tersisa jejak jariku dan ujung telunjukku dipenuhi debu yang menggumpal. Di kaca itu ada noda-noda hitam yang entah apa dan tersebar di beberapa titik. Lalu ada www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 46 bintik-bintik kuning yang sepertinya adalah kotoran nyamuk, lalu ada telur serangga yang berwarna coklat dan menempel dengan begitu lekat di permukaan kaca. Aku kemudian menatap pada langit biru di luar jendela, sinar matahari yang silau menciptakan lingkaran bercahaya. Hal itu membuat setengah ruangan kelas menjadi berwarna kekuningan dan sedikit panas. Di jam pelajaran berikutnya diadakan ulangan harian, dan pada saat seperti itu para siswa biasanya akan sibuk pada satu hal. “Eh, Nawawi, kamu punya kertas? Bukuku mau habis, aku minta ya,” kata Rano. Tanpa kuiyakan, ia segera mengambil buku tulisku yang ada di atas meja lalu membuka bagian tengahnya dan mencabut dua lembar kertas dari sana. “Eh, aku juga minta ya,” kata seorang anak yang duduk di depan Rano. Si sialan itu tanpa izin dariku dengan seenaknya mengambil bukuku dan mengedarkannya pula kepada orang lain. “Wah aku minta juga dong,” kata Rifan yang duduk bersebelahan denganku. Setelah sampai di tangan Rifan, buku itu tidak kunjung kembali melainkan pergi ke semakin banyak tangan. Dan begitulah petualangan buku tulisku, tubuhnya compang-camping dan kusut dilempar ke sana ke mari lalu disobek dengan kasarnya. Dan kembali kepadaku hanya tersisa beberapa lembar saja. Apa yang kalian www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 47 lakukan pada bukuku? Teriakku dalam hati. Bukannya kalian punya uang saku yang bisa digunakan untuk membeli buku tulis. Seingatku sepulang sekolah kalian juga keluyuran ke warung-warung kopi dan menghabiskan uang puluhan ribu di sana hanya untuk membeli rokok. Kalian menghabiskan buku seseorang tanpa rasa bersalah dan malah menggunakan uang kalian untuk kesenangan kalian sendiri. Kalian hanya memberi makna gelar “siswa” sebuah arti yang buruk. Kalian pantas menjadi sampah dunia. Sore hari sepulang sekolah, aku sempatkan duduk di sebuah bangku taman yang ada di belakang sekolah dekat dengan parkiran sepeda. Inilah yang aku lakukan setiap pulang sekolah, aku tidak mengenal teman-teman sekelasku, aku tidak pergi makan di kantin bersama mereka, dan pergi sendirian sepulang sekolah. Suasana di taman itu kebetulan sepi, tidak ada anak yang memadu kasih di sana, tampaknya untuk kali ini saja alam semesta mau berbaik hati kepadaku. Bunga-bunga foxgloves terlihat agak layu karena kepanasan, sedang rerumput semakin senang saja mengeluarkan aroma harum yang ringan. Kombinasi suasana yang sangat mendukung, membantuku untuk menggerakkan roda gigi di kepalaku, aku mulai memikirkan dengan serius cara-cara dan strategi untuk bisa memperoleh seorang teman. Aku harus segera bertindak untuk menyelamat kan masa mudaku. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, bisa www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 48 jadi diri ini akan semakin menderita dan tenggelam ke dalam masa muda yang bergelombang dan penuh dengan kerikil tajam. Apakah mungkin usaha yang aku lakukan untuk mencari teman selama ini masih kurang militan? Tapi untuk mencari teman di zaman sekarang ini rasa-rasanya memang sangat sulit. Bagaimana tidak, aku harus bisa mencari teman sambil tetap menjaga nilai-nilai yang aku pegang, tanpa mengikuti arus yang di tawarkan oleh orang lain. Begini-begini aku juga memiliki prinsip-prinsip dalam hidup, prinsip seorang introver yang harus dipegang erat dan diikat sekuatkuatnya di dalam dada. Kalau bukan aku sendiri yang memegang prinsipku dengan kuat, maka siapa lagi yang akan melakukannya. Saat seekor capung berwarna hijau melintas di depanku secara bersamaan juga terlintas sesuatu dalam benakku. Apa perlu aku membuat info lowongan di mading sekolah dan di koran sekolah yang isi nya seperti ini? Woro-woro Dicari Seorang Teman! Persyaratan : 1. Jujur 2. Pengertian www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 49 3. Mau diajak ngobrol apa saja, terutama masalah game, anime, dan buku 4. Tidak menuntut balas budi Tapi aku rasa yang seperti itu hanya akan membuat kontroversi saja. Dan malah akan membuat “popularitas meningkat, kredibilitas menurun” seperti moto yang sedang booming saat itu. Maksud moto itu adalah bahwa popularitas kita sebagai seorang siswa dan manusia akan meningkat dengan cepat. Kita akan terkenal karena perbuatan yang sudah kita laku kan, terlebih jika itu disebabkan oleh persoalan yang buruk dan memalukan, dan sebagaimana hukum sebab akibat, karena yang membuat kita menjadi populer adalah persoalan yang memalukan, maka secara otomatis kredibilitas kita juga akan diragukan. Kita yang sebelumnya dianggap sebagai siswa berprestasi dan teladan, akan berubah menjadi jelek dan dipermalukan. Benar-benar luar biasa moto ini, “popularitas meningkat, kredibilitas menurun”. Dalam bayangan ide konyol itu aku mulai berjalan kaki ke arah gerbang sekolah. Kenapa aku sangat sulit untuk memiliki teman? Seolah seluruh dunia dan alam semesta ini sengaja berkonspirasi, membuat persengkongkolan untuk melakukan kejahatan ini kepadaku. Bagaimana tidak, setiap usaha yang aku lakukan, selalu ada saja hal-hal yang membuatnya menjadi kacau dan tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Seluruh makhluk www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 50 hidup berkonspirasi secara serius, sungguh-sungguh dan habis-habisan untuk membuatku hidup dalam masa muda yang kehilangan warna merah mudanya. Agar aku menjalani masa muda tanpa persahabatan, tanpa kenangan menyenangkan untuk dikenang. Aku sebagai makhluk dari spesies yang disebut memiliki kepribadian introver ini seperti dijadikan kelinci percobaan oleh dunia, dengan menempatkanku di dalam kehidupan yang tidak ada bedanya dengan peternakan yang hanya berisikan spesies ekstrover. Aku seperti seekor keong di tengah-tengah segerombolan kepiting. Itu pun bukan kepiting biasa, tapi kepiting merah bercapit jumbo yang kapan pun siap menghantamkan capitnya untuk menghancurkan rumah keongku yang rapuh dan mudah pecah ini. Sejak kapan dunia memiliki standar dan menerjemahkan bahwa seorang remaja haruslah orang yang selalu ceria dan terlihat bahagia seperti orang gila yang tidak mengenal duka? Karena jika tidak begitu, maka ia akan hidup dalam keterasingan yang beku dan lembap, tanpa teman. Lalu, dalam peternakan orang-orang ekstrover, juga ada standar di mana orang-orang harus terbuka, karena dengan begitu semua orang akan tahu rahasia kita? Bukankah sangat penting untuk menjaga beberapa hal tetap rahasia. Itu hak sebagai manusia dan warga negara! Lingkungan peternakan seperti itu akan memaksa orang lain untuk pandai bergaul dan mudah beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, tapi bagaimana denganku yang www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 51 tidak pandai beradaptasi dan bersosialisasi ini? Aku orang yang sulit untuk bisa menjadi teman akrab jika bukan dengan orang yang tepat. Aku orang yang sangat tidak menonjol. Aku tipe orang yang selalu tenggelam dalam bayangan orang lain di sekitarku. Aura keberadaanku bisa dengan mudah termakan oleh aura orang lain. Aku seperti pasir di pantai, yang bisa dengan mudah terkikis dan ter pisah, lalu terurai dan terburai oleh gelombang ombak yang datang, meskipun gelombang sangat pelan dan tenang, kemudian hilang begitu saja di dalamnya. Aku seperti pohon palem di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Artinya bahwa aku seseorang yang tidak memiliki sesuatu yang khusus dan menarik untuk diperhatikan. Tidak ada hal yang bisa di unggulkan jika dibandingkan dengan pohon lain di sekitarku. Aku orang aneh yang suka membaca buku dan mendengarkan musik sendirian. Anak-anak di kelas bergunjing mengenai diriku. Aku bisa mengetahui semuanya. Saat mereka berbisik dan bercerita dengan seseorang di sampingnya aku bisa men dengarnya. Aku mendengar semua yang mereka bicara kan. Ketika aku diam, inderaku yang lain men jadi lebih tajam. Mungkin itu adalah kelebihan sebagai seorang introver. Aku tahu semua yang ada dan terjadi di kelas ini. Aku bisa mendengar semuanya. Yang ku butuhkan untuk hidup adalah mengetahui segala hal. www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 52 Ada satu yang kuingat betul dari komentar mereka tentang aku yang sering membaca buku sendirian, “Mungkin dia ingin jadi penulis.” Entahlah, siapa tahu. Masa depan tidak ada yang bisa menerka. Saat berjalan di trotoar hendak menuju ke arah halte bus, aku memasang seluruh indera baik-baik, mata ku menyorot waspada, seperti burung hantu meng awasi wilayah buruannya. Telingaku berdiri tegak seperti seekor rusa yang sedang minum di sebuah telaga. Tadi saat di kelas, aku mendengar desas-desus, bahwa anak-anak dari sekolahku sedang ter libat tawuran dengan sekelompok anak dari sebuah SMK yang terkenal dipenuhi dengan siswa preman. Mereka tawuran karena pemimpin kedua kelompok rebutan seorang cewek dari sekolah SMK Tata Boga. Memang selama perjalanan, aku terus-menerus men dapati beberapa anak SMK yang berencana akan me nyerang kelompok dari sekolahku. Mereka me - ngendarai motor tak ber-spion, mondar-mandir di sepanjang jalan. Gerak-gerik mereka sangat men curigakan. Lalu ada beberapa anak yang berdiri tidak jelas di sepanjang jalan menuju halte bus. Aku ber jalan di jalanan itu sendirian, karena sepertinya siswa lain sudah pulang dari tadi saat aku sedang merenung di taman sekolah. Bisa kurasakan kalau mereka mengawasiku. Aku cukup khawatir, jika aku yang tidak tahu apa-apa ini turut menjadi korban anak-anak yang salah jalan ini. www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 53 Saat itu aku sudah menyiapkan mental dan keberanian untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu terpaksa masuk ke dalam sebuah perkelahian. Selama ini aku belum pernah berkelahi dengan siapa pun. Mungkin di hari ini akan menjadi perkelahianku yang pertama. Tak lupa juga saat itu aku memikirkan untuk mempersenjatai diri. Dalam sebuah perkelahian, yang paling penting adalah sebuah senjata, meskipun kita sangat ketakutan dan sama sekali tidak bisa berkelahi. Asalkan punya senjata, maka paling tidak, bisa menurunkan 50% moral musuh. Setidaknya itu yang aku pelajari dari buku Art of War-nya Sun Tzu. Aku mencari-cari apa yang ada di dalam diriku yang bisa kujadikan senjata. Di dalam tasku hanya ada buku, pena, dan penggaris. Kupikir semua itu bukan senjata yang efektif. Aku melihat-lihat dan mencari sesuatu di sekelilingku. Tidak kutemukan batu atau pecahan bata di trotoar itu, tidak juga ranting pohon yang kering. Aku mencoba mencari-cari jawabannya di dalam kepalaku, dan aku mendapat ilham dari tayangan tawuran pelajar di TV. Aku segera sadar, kalau sabuk di pinggangku ini bisa menjadi senjata yang cukup baik. Tapi aku tidak akan mencabutnya. Seperti kode etik pembelaan diri, jangan menyerang kalau tidak diserang. Baiklah aku sekarang sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Kemarilah kalian kalau berani, akan kubiarkan kalian merasakan besi yang menjadi pengait di sabukku ini. www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 54 Tapi sampai aku tiba di halte dan naik ke dalam bus, ternyata tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi. Aku merasa cukup kecewa, karena sudah telanjur mem persenjatai diri tapi tidak mendapat sebuah pertempuran. Seperti seseorang yang merasakan mulas, tapi saat sampai di kamar mandi, melepas celana dan berjongkok di kakus, ternyata sisa-sisa makanan itu tidak mau keluar juga. Rasanya dongkol juga. Tidak sampai lima menit menunggu, akhirnya bus dengan jadwal pukul 4 sore datang juga. Aku langsung masuk ke dalam bus tanpa mendapat kesempatan memperoleh sebuah pengalaman dalam perkelahian. Rasa hangat di dalam bus langsung memelukku, bau solar langsung saja memenuhi saluran pernapasanku dan membuatku mual. Meskipun aku selalu naik bus, tapi rasa mual karena bau solar itu masih juga tidak mau hilang. Aku duduk di samping seorang ibu-ibu yang masih muda dengan seorang anak perempuan, yang sepertinya masih TK, duduk di pangkuannya. Setelah bus melaju, si anak berkata kepada ibunya. “Ma, tadi... kata guruku, Mama di... disuruh datang ke sekolah,” kata si anak terbata-bata menata kalimat nya. “Buat apa?” “Buat arisan,” kata si anak dengan penuh percaya diri. “Hah, arisan? Hahaha,” si ibu tertawa lepas. Aku pun sebenarnya tidak bisa menahan tawa mendengar laporan anak itu. Tapi entah kenapa aku www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 55 tidak ingin menunjukkannya kepada ibu dan anak itu, seolah aku ini seorang ratu, yang tawanya sangat mahal dan hanya boleh didengar oleh orang-orang tertentu saja. “Masak Mama disuruh datang ke sekolah buat arisan?” Si ibu masih mencoba mengorek informasi dari anaknya. “Eh, bukan...” si anak diam untuk berpikir, mungkin mencoba mengingat kalimat apa yang di pesan kan oleh gurunya untuk disampaikan ke orangtuanya. “Apa?... Rapat?” Si ibu mencoba menebak. “Iya rapat.” Si anak menanggapinya dengan senang, merasa gembira karena menemukan kalimat yang ia cari-cari. “Ma, tadi Nabila menangis di sekolah.” “Lho, kenapa?” “Tak gelitikin,” kata si anak sambil memainkan jari-jarinya di punggung kursi bus. “Lho, kok bisa sampai nangis, gak boleh lho dek bikin temannya nangis. Ayo kamu apain dia?” Ibunya mencoba mencari informasi yang lebih valid. Aku rasa ia khawatir anaknya melakukan hal-hal buruk pada temannya. “Iya cuma tak gelitikin.” “Yang benar? Tidak kamu sakiti kan teman kamu? Ini mumpung lewat di kantor polisi lho dek, kamu apakan temanmu?” Tak kukira si ibu menggoda anaknya dengan cara seperti itu. Mungkin ia sedang mencoba menanamkan www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 56 nilai-nilai pertemanan sebaik-baiknya kepada si anak agar tidak menyakiti dan mengkhianati temannya. Sehingga ketika si anak melanggar apa yang sudah ia ajarkan, maka ia akan menindaknya dengan tegas. “Tidak aku apa-apain kok,” si anak masih membela diri dengan nada suara yang meninggi. “Terus bagaimana kata gurumu?” “Nggak papa kok.” Setelah mendengar jawaban si anak yang terakhir, aku memasang earphone dan memainkan lagu My Heart Draws a Dream dari L’Arc en Ciel. Cahaya sore yang ber warna jingga membuatku merasa lebih segar, dan rasa kantuk yang sedari tadi terasa menggebu karena embusan angin, kini sudah semakin reda. Aku hanya berharap semoga si ibu bisa menanamkan nilai-nilai pertemanan dengan bijak dan benar kepada anaknya, dan si anak bisa memahaminya dengan baik. Dari obrolan ibu dan anaknya yang masih balita ini, aku men dapat sebuah pencerahan, dan berpikir bahwa tidak punya teman tidak buruk juga, setidaknya aku tidak akan menyakiti orang lain secara i sik dan perasaan. Aku memejamkan mata, mencoba melupakan kebenaran, tragedi dan drama yang terjadi di sekolah hari ini. Dan berharap saat membuka mata, aku sudah berada di tempat perhentianku. Dan sebelum turun dari bus itu, aku akan berterima kasih kepada ibu dan anak itu. www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 57 Tigapuluh menit kemudian aku sampai di rumah. Di halaman depan ada banyak sepatu sekolah berwarna hitam, kuduga itu teman-teman adikku. Biasanya saat hari Sabtu mereka memang bermain ke rumah lalu sesudah pukul 6 sore mereka akan mulai ber hamburan untuk jalan-jalan. Dan saat itu aku baru sadar kalau sekarang hari Sabtu. Maklum, setiap hari bagiku sama saja. Adikku masih kelas 1 SMA dan berada di sekolah yang berbeda denganku. Aku ter kadang ingin tahu, apa anak dari SMA lain memiliki karakteristik berbeda dengan siswa di sekolahku? Jadi aku biasanya menguping pembicaraan mereka. Aku mengambil beberapa snack dari kamar adikku selagi ia sibuk bermain-main dengan teman-temannya di ruang tamu. Lalu mengambil Sprite ukuran sedang dari dalam lemari dingin. Sambil duduk di ruang tengah, aku mendengarkan siaran “radio” dari anakanak ini. Sudah setengah jam aku menguping, dan yang kudengar hanya obrolan tentang hal-hal yang tidak penting sama sekali. Karena minatku untuk menguping sudah semakin luntur, jadi aku hanya mendengarkan perbincangan mereka dengan terputusputus dan parsial sembari menonton TV. “Aku tadi lihat si Dewi sama pacarnya boncengan lho. Mau tak sapa, tapi nggak jadi...” “Aku nggak suka banget sama Joni, kenapa dia suka gangguin aku sih...” www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 58 “Eh. Kamu tahu band ini? Lagunya enak-enak banget. Personelnya juga kece...” “Aku lebih suka cowok yang jago main futsal...” “Aku kemarin habis dari tempat makan yang di Lippo Plaza itu lho. Enak banget makanannya...” “Apa kemarin kamu nonton TV? Artis N itu lho masak baru nikah sudah cerai...” “Besok kamu ada acara apa?...” “Anak ini lho sayang banget, dia ganteng kenapa mau pacaran sama dia. Padahal dia dulu cocok banget sama...” “Kakak kelas yang jahat banget. Katanya dia suka mukul adek kelas. Masak kemarin ada yang salah ngomong aja langsung dipukuli...” “Iya aku jengkel banget sama dia. Kemarin aja aku dilabrak...” “Aku benci banget sama cara tertawanya, pengen tak sumpal kaos kaki aja. Caranya tertawa terlalu dibuat-buat...” “Aku belum selesai ngerjain tugas. Kita bikin alasan apa ya buat hari Senin...” Aku merasa kasihan kepada telingaku karena harus mendengarkan segala macam celoteh tidak ber manfaat itu. Saat hari sudah mulai mendekati pukul 6 sore, rintik hujan terdengar saat menghantam genting rumah. Ah, hujan ya! Seruku. Rasakan itu, mereka pasti nangis tidak bisa keluar jalan-jalan. Tapi itu www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 59 juga berarti kalau mereka akan lebih lama berada di rumahku. Betapa sialnya hari ini. Di dapur ibuku sedang membuatkan minuman untuk teman-teman adikku. Suara dentingan sendok yang beradu dengan gelas menggema hingga ruang tengah. Aku melihat ibuku keluar dari dapur berjalan dengan cepat menuju ruang tamu sambil membawa baki berisi gelas-gelas. Minuman sirup berwarna hijau di dalam gelas kaca itu sama sekali tidak bergoyang, meskipun ibuku berjalan cukup cepat saat membawanya. Ibu-ibu memang diberkahi dengan kemampuan alami seorang pelayan restoran bintang lima. Tidak lama kemudian ia menghampiriku dan duduk di sampingku. “Bagaimana, apa kamu besok jadi ikut?” Tanya ibu. “Ke mana?” Tanyaku. “Bukankah kemarin lusa sudah kuberitahu.” “Aku lupa,” aku hanya pura-pura, sebenarnya aku tahu apa yang dia maksud. Ibuku terlihat kesal. “Anak kedua pamanmu menikah, dan besok adalah acara resepsinya.” “Oh, iya-iya aku baru ingat,” lagakku, seolah memerhatikannya dengan serius. “Jadi, kamu ikut kan?” “Tidak,” kataku tegas. www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 60 “Ayolah, acara-acara seperti ini hanya terjadi beberapa kali saja dalam hidup ini. Tidak setiap hari kakak-kakakmu menikah.” “Ya aku tahu, tapi tetap saja aku tidak akan ikut.” Aku masih bersikeras menolak. “Kenapa sih, kenapa kamu selalu tidak mau ikut ke acara-acara seperti ini?” “Bukankah kita sudah pernah membicarakannya.” Aku sangat benci jika dia menanyakan hal itu, padahal sudah berkali-kali kami membicarakan kesulitankesulitan yang aku miliki. “Iya, tapi aku masih tidak mengerti.” “Kau tidak harus mengerti, kau hanya perlu memaklumi saja. Aku sama sekali tidak merasa nyaman berada di acara-acara seperti itu!” Suaraku mulai meninggi. “Bukankah menyenangkan bisa berkumpul dengan orang lain, dengan saudara-saudaramu yang lain,” ibu juga terlihat mulai menaikkan suaranya. “Bagimu dan bagi orang lain, hal itu memang menyenangkan, tapi bagiku tidak. Aku harap kau bisa memahami itu.” Orang-orang ekstrover memang akan menjadi sangat bersemangat ketika bertemu dengan orang lain. Tapi orang sepertiku malah akan merasa senang jika jauh dari orang lain. Meskipun kadang-kadang aku juga merasakan sedikit kesepian, tapi hal itu tidak akan bertahan lama. www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 61 “Ayolah sekali ini saja. Kau hanya perlu datang, duduk, dan berkumpul bersama saudaramu. Menjalin hubungan baik dengan saudara itu sangat penting.” “Jangan memaksaku!” Kataku dengan nada suara yang agak tinggi. Aku merasa sangat muak jika terus ditekan dan dipaksa seperti itu. Aku ingin orang-orang berhenti memaksaku menjadi ini dan itu, menjadi seseorang seperti yang mereka inginkan. Jika mereka benar-benar menyayangiku dan mencintaiku, maka seharusnya mereka bisa memahami bahwa untuk menumbuhkan cinta, mereka harus membiarkanku menjadi diri sendiri. Aku tidak peduli bagaimana hubunganku dengan orang lain. Aku bisa hidup sendirian, tanpa orang lain. Aku tidak peduli dengan mereka, lagi pula mereka juga tidak peduli padaku. “Seseorang tidak bisa hidup di dunia ini sendirian, kita semua selalu membutuhkan orang lain,” katanya, seolah bisa membaca pikiranku. “Aku bukan ‘tidak mau’, tapi ‘tidak bisa’. Dan sekali pun bisa. Itu akan sangat sulit. Kenapa kau tidak mengerti juga?” Aku meninggalkannya, lalu masuk ke kamarku. Angin meniup gorden dari jendela yang terbuka. Dan cahaya sore menerobos masuk, mewarnai kamarku yang gelap dengan cahayanya yang keemasan. Kamar itu kini terlihat seperti sebuah kuil di tengah hutan yang diberkati oleh Tuhan dengan cahaya dari surga. Angin kencang berembus, melambai-lambaikan gorden www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 62 seperti sebuah bendera di puncak tiang tertinggi. Angin itu menyapu apa pun di depannya. Tumpukan kertas di mejaku berhamburan, seperti air laut yang dicabik ekor ikan marlin, kertas-kertas itu terbang ke udara, dengan sontakan yang keras, melayang dengan ringan seolah ingin terbang selamanya seperti burung albatros. Tapi apa pun yang seharusnya ada di darat, pasti akan jatuh juga. Begitu pun dengan kertas-kertas itu, ia jatuh dengan gerakan zig-zag yang mengiris udara. Kini mereka berserakan di seluruh kamar ini. Dengan langkah pelan, serasa aku sedang berjalan di tengah puing-puing perpustakaan kuno yang sudah terbengkalai ratusan tahun. Perdebatan singkat dengan ibuku tadi sudah menguras tenagaku. Aku merasa lemas dan tidak bertenaga. Tapi berada di dalam kamar itu, dengan cahaya sore yang selalu memberi hiburan menawan berupa halusnya cahaya dan aroma buku yang harum, hatiku merasakan kedamaian dan ketenangan yang memuncak. Hingga, aku merasa di kepala dan tanganku akan tumbuh satu atau dua tangkai bunga melati kuning. Sekilas aku melirik telapak tangan kananku, untuk memastikan bahwa di sana benar-benar tidak tumbuh bunga. Lalu kuusap kepalaku, tampaknya masih normal dan tak ada sesuatu yang aneh di sana. Aku menenggelamkan tubuhku di atas kasur. Hampir setiap tiga bulan sekali, selalu saja ada se rangkaian acara kumpul-kumpul atau pesta, mulai dari acara pernikahan, acara syukuran, acara arisan www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 63 keluarga, dan banyak lagi acara-acara yang merepotkan lainnya. Dari semua acara itu, beberapa memang pernah aku ikuti dan itu pun bukan karena sukarela, tapi karena terpaksa. Itu adalah situasi di mana aku tidak bisa mengelak dan membuat alasan untuk tidak hadir. Pada titik itulah aku akhirnya akan terjun ke “medan perang”. Aku tidak mau berbohong, dari banyak acara itu memang ada sedikit hal-hal yang menyenangkan di sana. Dan sebagian besarnya adalah sesuatu yang menakutkan bagiku. Mungkin orang lain akan terheran-heran di mana letak sisi menakutkan dari sebuah pesta? Ya, aku yakin orang lain akan mengatakannya. Di setiap acara tersebut akan ada banyak orang yang datang, saudara-saudaraku dari silsilah yang paling dekat hingga silsilah yang paling jauh hingga namanya saja aku tak tahu, hingga orang yang sama sekali tidak kukenal. Keluargaku memang merupakan keluarga besar yang punya tradisi menjaga hubungan persaudaraan dengan sangat baik hingga sejauh apa pun mereka pergi, sesibuk apa pun urusan mereka, jika ada acara-acara keluarga mereka akan mati-matian untuk menghadirinya. Banyaknya orang yang tidak kukenal dengan baik, itulah yang menjadi masalah. aku tidak akan tahan berada di tempat yang penuh dengan orang asing. Memang benar di sana ada banyak orang, tapi hal itu malah hanya akan membuatku semakin kesepian. Pada beberapa acara yang berhasil kuhadiri www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 64 setelah mengumpulkan banyak keberanian dan bisa kuselesaikan tanpa merusak kesehatan mentalku, tentu membutuhkan perjuangan yang berat untuk menjalaninya. Di setiap acara itu, hal yang kubenci adalah karena terlalu banyak orang, terlalu berisik dan terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang menghujaniku. Aku muak ketika harus pura-pura ramah dan sopan, terlebih harus menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dan pembicaraan dengan orang lain yang tidak kukenal. Sering kali aku kehabisan jawaban dan basa-basi untuk meladeni semua hal yang mereka bicarakan. Hal-hal yang tidak ada hubungannya denganku sama sekali, hal-hal yang tidak penting dan menyebalkan. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku sama sekali tidak nyaman dan tidak menyukai basa-basi yang menjemukan. Ketika aku mencapai batas dari kesabaran atau ketika aku benar-benar sudah ingin “muntah” dan sudah tidak lagi mampu untuk menanggungnya, aku akan segera menyingkir, sebelum aku kelepasan untuk mengutuk seseorang. Aku akan pergi sejauh mungkin dari keramaian dan orang-orang. Sering kali pada saat seperti itu aku akan selalu berhasil menemukan sebuah tempat yang sepi dan tenang, tempat yang dihindari oleh orang lain. Aku akan berada di sana, menyudutkan diri, duduk sendirian dan menikmati kesunyian yang merdu dan terasa nikmat itu. Aku akan masuk ke dalam duniaku sendiri. Dunia yang ada www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 65 di dalam kepalaku. Dunia kecil ciptaan Tuhan yang sudah dilupakan oleh-Nya. Di sana aku hidup tenang dan damai. Aku bisa menghabiskan waktu yang lama di suatu tempat, sendirian dan tanpa melakukan apa pun. Mungkin itulah yang terlihat, tapi sebenarnya aku sedang berpetualang. Aku sedang hidup dengan bebas, menjelajah sebuah alam yang aku ciptakan di dalam kepalaku. Entah kenapa aku merasa bahwa orang-orang sepertiku bisa dikatakan juga cukup beruntung karena memiliki kemampuan untuk berpikir yang kuat, kemampuan untuk berimajinasi dan berabstraksi layaknya seorang seniman besar dan genius. Karena dengan kemampuan itulah kami bisa bertahan dalam keadaan paling menyedihkan, pada kondisi paling buruk tatkala kami menemui hari-hari paling kesepian dan menyedihkan. Dengan kemampuan itu kami bisa menghibur diri sendiri, tanpa perlu bantuan dari orang lain. Jika kami tidak memiliki anugerah itu, entah apa yang akan terjadi. Mungkin aku akan berkepingkeping seperti gelas kaca yang dijatuhkan dari lantai 10. Kekuatan pikiran kami itu menjadi semacam kemampuan bertahan hidup yang alami, layaknya seekor ular memiliki bisa, atau bunglon yang bisa berkamul ase. Kami tidak bergantung kepada orang lain, kami bergantung kepada diri sendiri lebih dari apa pun dan siapa pun. www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 66 Dan pada beberapa acara, aku biasanya malah akan pergi begitu saja, meninggalkan tempat tersebut. Dan anehnya aku selalu merasa bahwa aku juga dianugerahi dengan semacam kemampuan untuk melarikan diri dari kerumunan orang. Aku selalu bisa menyelinap keluar atau menemukan cara untuk pergi dan tanpa diketahui oleh orang lain. Meskipun aku dikelilingi oleh orang banyak, aku selalu bisa menyusup keluar dari kerumunan tersebut, kemudian melarikan diri cukup jauh sebelum mereka menyadari kepergianku. Atau sebenarnya anugerah yang paling penting dan terbesar yang pernah aku miliki adalah anugerah di mana orang lain akan sangat mudah melupakanku. Daripada disebut bahwa “orang-orang tidak menyadari kepergianku”, mungkin akan lebih tepat jika aku me ngatakan bahwa “orang-orang itu melupakan keberadaanku”. Karena itulah aku sangat mudah untuk pergi dari sesuatu. Dari apa pun itu, tidak hanya acaraacara keluarga dan pesta-pesta, tapi juga dari ingatan orang, dari sebuah hubungan yang pernah kumiliki dari orang lain, pergi dan menghilang dari kehidupan mereka. Hingga aku sangat yakin bahwa aku tidak pernah me miliki musuh, karena tidak ada orang yang dendam dan mengingat keburukanku—yang mungkin pernah kulakukan padanya. Hal ini tentu sangat menguntungkan, karena dengan begitu aku tidak pernah merasa harus meminta maaf kepada www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 67 orang lain. Tapi semua anugerah seperti ini selalu memiliki sebuah tumbal dan harga yang harus dibayar. Tentu semua itu ada, adalah karena untuk menjaga agar konsep keadilan tetap terjaga eksistensinya. Jika orang lain akan dengan mudah melupakan keberadaanku dan juga semua yang aku lakukan, maka aku mempunyai sebuah kutukan bahwa aku tidak akan pernah melupakan orang-orang yang pernah ada di dalam hidupku, beserta semua yang mereka lakukan padaku. Terutama keburukan-keburukan yang pernah aku dapatkan dari mereka. Ini memang menakutkan, karena bagiku sendiri ini seperti i lm horor yang terus-menerus diulang-ulang, atau bisa juga dikatakan seperti sebuah mimpi buruk yang bisa datang padamu kapan pun dan di mana pun. Entah itu pagi hari saat kau sedang mandi, siang hari saat kau sedang duduk di dalam bus atau mobil. Atau malam hari saat kau sedang makan malam. Karena itulah orang-orang sepertiku ini bisa juga disebut pendendam. Tapi tenang saja, karena kami adalah pendendam yang tidak pernah me miliki rencana buruk, apalagi keinginan untuk meng eksekusinya. Aku hanya akan mengingat semua itu di dalam kepala, bahwa jika pun orang yang bersalah kepada kami meminta maaf seribu kali, bersujud dan menyembah kepada kami. Mungkin kami akan memaafkannya, tapi kami tetap tidak akan melupakannya. Bukannya www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 68 tidak mau, hanya saja tidak bisa, seolah tidak ada menu delete pada i le yang menyimpan memori itu. Sepertinya kami memang diprogram seperti itu. Aku merasa bahwa aku hanyalah burung gagak dalam wujud manusia. Burung gagak adalah burung yang mengagumkan, dengan kemampuan ingatan yang luar biasa untuk mengingat wajah dan tindakan buruk yang pernah dilakukan oleh seseorang kepadanya. Berapa pun lamanya waktu yang sudah dilalui, berapa pun banyaknya kejadian yang sudah terjadi, burung gagak akan selalu mengingat wajah orang yang pernah menyakitinya. Dan ketika burung gagak bertemu dengan orang tersebut, ia tidak akan menyerangnya atau melakukan hal-hal dengan alasan balas dendam. Dia hanya akan menghindar, dan menjauh dari orang tersebut. Aku memutar Concerto No. 21 karya Mozart dari ponselku. Cahaya sore itu menyelimutiku dengan lembut. Cahayanya yang tipis dan menyisakan sedikit kehangatan membuat hatiku terang-benderang. Seolah tidak pernah ada kegelapan dan dosa di sana. Entah bagaimana bisa, tapi suasana yang kurasakan saat itu telah membangkitkan sebuah ingatan dari dasar sumur yang gelap dan sempit di dalam kepalaku. Seperti anjing yang dipanggil dengan peluit, ingatan itu keluar, bukan dengan merangkak, tapi melompat dengan cepatnya, melompat tinggi hingga dalam sekejap saja ia sudah ada di hadapanku, menatapku dengan wujud yang tak bisa kupahami. Di situlah aku www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 69 mengingatnya. Aku teringat pada seorang teman sekelasku yang sudah meninggal. Ia mati di usia yang masih sangat muda, saat kami baru 5 bulan memasuki SMA. Aku melihat apa yang terjadi padanya adalah sebuah kematian yang tenang dan damai, keberuntungan dan hadiah dari penyakit jantung. Jauh di dalam hatiku, aku memimpikan hal itu juga, sebuah kehidupan singkat tanpa dosa dan sedikit penderitaan. Pintu kamarku berderit karena seseorang membukanya. “Eh, ayo nanti malam kita ke alun-alun,” suara adik ku terdengar. Tampaknya dia berdiri di depan pintu. “Untuk apa?” “Apa kau ini tidak tahu hari, tentu saja untuk merayakan tahun baru!” “Oh, malam ini malam tahun baru ya,” kataku datar. Aku sama sekali tidak tertarik pada hal seperti ini, aku bahkan sampai lupa. Seseorang pernah berkata kepadaku, “Untuk apa merayakan sesuatu yang kita dapat tanpa berusaha?” “Pergilah sendiri,” kataku mengusirnya. “Di sana akan ada kembang api, konser musik, dan es krim, apa kau tidak tertarik?” “Tidak, aku bisa mati kalau datang ke sana, terlalu ramai, sesak dan panas. Aku melihat kembang api dari atas genting saja. Pak RT sudah menghanguskan www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 70 kas RT dengan membeli kembang api seharga 1 juta rupiah. Aku tidak mau melewatkan saat-saat uang itu dibakar. Lagi pula es krimku di kulkas juga masih ada.” “Sudah kumakan!” “Apa?” Aku bangkit dari tempat tidur, tapi bocah perempuan itu sudah pergi menuruni tangga. Aku kembali membaringkan tubuh di kasur, dan tidak lama kemudian aku tertidur. Ini adalah malam tahun baru kedua yang kulewatkan karena tanpa sengaja tertidur. Hari Minggu malam, pukul 20:20, ponselku berdering nyaring, mengganggu konsentrasiku saat menonton pertandingan sepak bola di TV. Tanpa memalingkan wajah dari layar TV, aku meraba-raba sofa tempatku duduk seperti orang buta, mencari-cari ponsel yang deringnya terasa semakin mengusik telinga. Setelah kudapatkan ponsel itu, aku masih belum menekan tombol yang menyala hijau di layar ponsel itu. Aku tak kuasa memalingkan wajah dari pertandingan penting itu. Baru setelah Wayne Rooney melepaskan tembakan yang melesat jauh dari gawang, aku melihat ke layar ponsel. Tidak ada nama dan hanya ada nomor dari si penelepon. Tanpa berpikir panjang, aku pun menerima telepon itu. www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 71 “Halo,” kataku kepada seseorang yang entah siapa. “Apa hari Selasa malam kau ada acara?” tanyanya tiba-tiba. “Sepertinya tidak,” jawabku setelah berpikir sejenak. “Apa kau mau menemaniku untuk mencari udara malam? Sekadar untuk refreshing, belakangan ini aku banyak pekerjaan, jadi sedikit stres,” keluh pria itu. Dari suara yang kudengar sepertinya dia adalah seseorang yang kukenal, mungkin kenalan lama. Tapi aku tidak bisa mengingat siapa kenalanku yang memiliki suara berat dan mantap itu, suara yang biasanya dimiliki oleh para penyanyi sopran. “Ke mana?” tanyaku. “Ke mana saja, terserah padamu.” “Baiklah, di mana kita akan bertemu?” kataku sambil masih fokus pada pertandingan sepak bola. “Kita bertemu di plaza sebelah barat alun-alun, pukul 7 petang.” Rooney hampir mencetak gol, tapi tendangannya berhasil digagalkan bek lawan. “Sial!” teriakku sambil membanding ponsel ke sofa. Lalu kupungut lagi ponsel itu dan menempelkannya di pipi. “Halo... kau masih di sana? Halo...” pria itu memanggil-manggil, seperti anak kecil yang takut ditinggal pergi orang tuanya. “Ya, ya, aku masih di sini.” “Aku akan mengajak beberapa temanku,” katanya. www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 72 “Tapi sepertinya, aku berubah pikiran.” “Berubah pikiran? Kenapa cepat sekali kau berubah pikiran?” “Itulah manusia.” “Ya, memang, tapi menurutku manusia tidak berubah pikiran secepat itu.” “Untukku itu pengecualian. Lagi pula, aku pikir tidak ada gunanya aku keluar dari rumah. Ada banyak hal yang masih harus kulakukan.” “Seperti apa misalnya?” Pria itu terus mengajakku berbicara, aku seperti terhipnotis, dan aku pun mulai tidak fokus pada pertandingan yang sedang kutonton. “Melukis.” “Ayolah, sekali-kali kau perlu keluar dari rumah dan menghirup udara segar. Bukankah kau sudah lama tidak melakukannya.” Mendengar apa yang dikatakannya, orang ini pasti mengenalku, karena ia sepertinya tahu kalau aku hanya menghabiskan waktuku selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hanya di dalam rumah tanpa keluar ke mana pun. “Entahlah, aku tidak yakin aku akan menikmati dunia luar. Lagi pula dunia luar kadang-kadang berbahaya.” “Aku bisa mendengarnya tertawa, kau bicara seperti seekor penyu yang baru menetas saja. Hidup ini ada untuk dinikmati.” “Bukan, hidup ini adalah arena untuk pertarungan www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 73 hidup mati.” Aku mulai muak dengan pria ini, beraniberaninya dia menceramahiku, sedang aku sendiri tidak mengetahui identitasnya yang sesungguhnya. “Baiklah, terserah padamu, pastikan saja kau memenuhi undanganku.” Hari Selasa malam, aku berpikir tentang seseorang yang me neleponku tempo hari. Siapa pria itu, kenapa tiba-tiba meneleponku dan memintaku untuk menemani nya mencari hiburan? Apa aku mengenalnya? Karena saat ini aku sedang tidak disibukkan dengan hal lain, aku pun mulai berusaha memanggil kembali beberapa ingatanku. Aku mencoba mengingat beberapa orang yang masih membuat kontak denganku, dan seingatku tidak ada kenalanku yang memiliki suara seperti itu. Dari satu-satunya data yang kumiliki, yakni suara sopran. Aku mencoba membuat sketsa bagaimana rupa dan perawakan pemilik suara itu. Mungkin jika aku bisa menggambarkan wajahnya, maka aku bisa mengingat orang tersebut. Mula-mula aku menggambar tubuhnya, sepertinya orang dengan suara seperti itu pastilah orangnya tinggi, gempal, dan sedikit berisi. Bukan gemuk, tapi berisi, itu dua hal yang berbeda. Tidak mungkin jika orang dengan suara www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 74 seperti itu memiliki tubuh tinggi kurus. Aku pikir itu sudah seperti hukum alam, bahwa orang yang memiliki suara sopran, haruslah orang yang tinggi besar. Setelah menemukan bentuk tubuhnya yang paling tepat, aku kemudian mencoba menggambarkan bagaimana wajahnya. Aku membuat wajah yang bulat dengan jambang sedikit lebat, dan rambut yang agak tipis. Lalu memiliki dagu yang sedikit bergelambir, pasti orang yang bersuara sopran memilikinya. Aku memberinya sepasang mata yang teduh dan ramah dengan mulut yang berbibir penuh. Aku membuat garis-garis detail pada setiap sudut wajahnya hingga ia menjadi sosok yang nyaris benar-benar nyata. Tapi sekeras apa pun aku memandangnya, ingatanku tetap tidak mem berikan informasi apa-apa. Jelas sekali, bahwa pada hari inilah aku pertama kali bertemu dengan pria itu, tepat setelah aku menyelesaikan sketsanya. Karena tidak bisa menemukan identitas pria penelepon itu pada setiap orang yang kukenal, aku sempat ragu, apakah aku akan pergi ke tempat kami janjian kemarin atau tidak. Apa jangan-jangan ini hanyalah modus baru sebuah penculikan. Atau orang yang meneleponku itu adalah pria homo yang sedang mencari mangsa. Pasti akan menjadi sebuah cerita yang sangat memalukan jika aku sampai berhasil termakan oleh modus murahan dari penjahat kelas teri seperti ini. Dengan tangan memegang sebuah buku, aku www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 75 merebahkan diri ke sofa sambil merasakan nyaman dan hangatnya kaos kaki yang baru kubeli. Sekilas aku melirik ke arah jam di dinding, jarum yang pendek menunjuk ruang kosong antara angka 5 dan 6 dan jarum panjang menunjuk angka 10. Pikiranku berubah dengan cepatnya, dan tiba-tiba aku bersemangat untuk pergi ke tempat yang dikatakan pria itu. Dalam situasi tersebut, aku juga tidak tahu, kenapa aku selalu membuat keputusan yang berubah-ubah dalam waktu singkat. Tapi meski begitu, aku juga tidak bisa disebut orang plin-plan. Kondisi ketika aku mem buat keputusan yang berubah-ubah dalam waktu cepat hanya terjadi ketika pikiranku tidak bisa fokus, sehingga dengan seenaknya saja pikiranku bekerja sendiri tanpa kuperintah. Dari balik kaca yang lebar dan bening di sisi utara ruangan, terlihat malam ini cukup cerah untuk ukuran sebuah malam di musim hujan yang biasanya diisi gerimis atau hujan lebat. Bulan memancarkan rona wajahnya yang kebiruan. Aku jadi teringat pada seorang wanita yang kukenal. Wanita itu memiliki aura dan pesona yang sama seperti bulan itu, jika kau memandangnya, kau akan jatuh pada perasaan takluk, tunduk dan pasrah. Sebuah kondisi yang begitu membuat candu, karena entah bagaimana hormon kebahagiaan dan ketenangan di dalam tubuhku seperti meluap begitu saja dan memenuhi diriku, mendekapku dengan jeruji ketenteraman dan rasa aman, tak ada kekhawatiran sama sekali, tak ada rasa cemas dan www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 76 dunia yang berbahaya. Begitu terangnya sinar bulan malam itu, hingga setiap tanaman di halaman dan setiap benda di rumah ku mampu memiliki bayangannya sendiri, yang akan menemani mereka sepanjang malam. Betapa bahagianya. Andai saja aku juga bisa memiliki bayangan, pasti aku tidak akan kesepian dan menghabiskan sepanjang waktu di dalam rumah ini sendirian. Tapi sayangnya aku tidak pernah bisa memiliki bayangan, aku adalah aku, aku hidup sendiri di dunia ini, bahkan selembar bayangan pun aku tidak punya. Jika aku memiliki bayangan, dia akan kuajak berbicara tentang apa saja yang aku ingin bicarakan. Tentang betapa damainya dan hangatnya lukisanlukisan van Gogh, tapi juga betapa kesepian dan men deritanya pelukis satu itu. Bagaimana ia menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk melukis, dan menghadapi kanvas kosong sendirian. Dalam hati aku pernah memiliki keinginan untuk bisa menjadi kuat sepertinya. Tapi kekuatan yang seperti itu akan dengan mudahnya memudarkan jiwa. Ia seperti radio analog lama yang menyerap dan menyedot banyak daya baterai tanpa kita sadari, dan tahu-tahu radio itu tidak bersuara—baterai-baterai itu sudah habis begitu saja. Setelah aku merenung dan berpikir sejenak, Sepertinya sekali-kali keluar dari rumah dan menghirup udara segar ada baiknya juga untukku, www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 77 seperti yang dikatakan pria itu di telepon. Masih dengan posisi yang sama, aku menyalakan ponsel lalu memesan taksi, seorang wanita dengan suara ringan melayaniku dengan sabar dan lembut. Setelah menyampaikan rangkaian kata-kata yang selalu diucapkan operator taksi yang entah sudah berapa ratus atau berapa ribu kali ia ucapkan, wanita itu diam menunggu responsku. “Tolong jemput saya tepat pukul 7 petang.” “Baik, pak. Bisa informasikan alamat Anda?” Aku memberinya alamat lengkap, tanpa ada satu pun kesalahan dalam penyebutan angka atau huruf di dalam alamat itu. Dan sebelum aku menutup telepon, aku menawarinya untuk sekali-kali mampir ke rumahku jika ada waktu luang. Aku juga mengatakan kepadanya, bahwa jika ia menyempatkan diri me ngunjungiku, aku mau meminjaminya buku apa pun yang ia inginkan atau memberinya lukisanku. Ia hanya tertawa kecil, lalu mengucapkan terima kasih atas tawaran yang menyenangkan itu, lalu menutup telepon. Aku pergi dari rumah pukul 19.00, saat taksi yang kupesan datang. Aku menyuruh sopir untuk bergegas setelah mengatakan tempat tujuanku. Seperti yang kuduga, jalanan malam itu sangat padat. Taksi yang kunaiki hanya bisa melaju dengan kecepatan tidak lebih dari 10 km/jam. “Aduh, sial sekali, kenapa macet seperti ini,” keluh si sopir taksi. Aku hanya diam tidak menanggapi, aku tidak mau repot-repot berbincang-bincang masalah www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 78 jalanan yang tidak ada habisnya. Kusandarkan tubuh di jok mobil itu dalam posisi miring ke kanan, hingga aku bisa melihat semua lalu-lalang para pejalan kaki di trotoar. Di trotoar sana, ada banyak orang saling berebut jalan, tak kusangka di hari Selasa pun pusat kota begitu ramai seperti ini. Seorang wanita dengan mantel berwarna cokelat pudar dicopet oleh pemuda berjaket baseball berwarna biru dan putih. Pemuda itu berlari kencang saat korbannya berteriak-teriak minta tolong. Meski pencopet itu menabrak beberapa orang dan sekali-kali terjatuh karena tersandung, tapi tidak ada seorang pun yang mau menghentikannya, ia terus berlari hingga pandanganku tidak bisa mengikutinya. Benar apa yang dikatakan Einstein, dunia ini tempat yang buruk untuk didiami, bukan karena orang-orangnya jahat, melainkan karena orang-orangnya tidak peduli. “Apa Anda sedang buru-buru, Tuan,” tanya sopir itu. “Oh, tidak,” jawabku dengan malas. “Bagus kalau begitu, karena sepertinya kita akan sedikit terlambat sampai di tempat tujuan sekitar 10 sampai 15 menit. Apa Anda akan makan malam dengan seseorang atau semacamnya?” Aku tidak tahu harus menjawabnya bagaimana, karena terus terang saja, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan sesampainya di plaza nanti. Aku bahkan tidak tahu siapa orang yang mengajakku ke tempat itu. “Ya sesuatu semacam itu,” hanya itu yang bisa www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 79 kusampaikan pada sopir. “Saya cukup jarang makan malam di luar rumah. Karena istri saya selalu memasak makanan di rumah, jadi...” “Bisakah Anda menyalakan radio atau memutar musik?” kataku kepada si sopir, hanya supaya ia berhenti bicara dan tidak mengusikku dengan kisah masakan buatan istrinya. Lagi pula siapa juga yang mau mendengarkan cerita seperti itu, siapa yang peduli masakan istrinya enak atau tidak, aku bahkan tidak mengenal istrinya. Tidak lama setelah itu, lagu Helena yang dibawakan My Chemical Romance berhasil membuat si sopir berhenti mengajakku bicara. Mobil saling berebut lajur jalan sebelah kanan karena sedikit longgar. Tapi untungnya aku bisa sampai pada pukul 20 kurang 10 menit di tempat aku dan seseorang yang entah siapa janjian bertemu. Aku keluar dari taksi dan menelepon pria yang entah siapa, untuk menanyakan apakah ia sudah sampai atau belum. Dan jika sudah sampai di mana posisinya sekarang. Teleponku tidak diangkat-angkat. Aku mencoba meneleponnya sepuluh kali, tapi yang terdengar hanya suara nada tunggu yang membuat telingaku sakit. Mungkin dia sedang ada di jalan dan tidak bisa mengangkat telepon. Aku pun memutuskan untuk menunggu saja sambil berdiri di trotoar dekat dengan jalan masuk ke area plaza. Jalanan di depanku sangat www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 80 ramai, kendaraan keluar masuk dari dalam plaza. Ada mobil pribadi, ada taksi, ada orang yang berjalan kaki. Mereka semua masuk dengan tangan kosong dan keluar dengan tangan yang penuh barang belanjaan. Di samping trotoar tempat aku berdiri, ada pohon akasia besar yang tumbuh di sepanjang trotoar itu. Daunnya berwarna hitam legam dengan semburat kemerahan terkena cahaya lampu jalan. Angin yang bertiup dan menabrak wajahku bercampur dengan asap mobil yang berbau solar. Aku menggigil dan sekaligus agak mual. Bau solar selalu mengingatkan aku pada sebuah bus bobrok yang pernah kunaiki beberapa tahun lalu. Aku melihat jam tangan, waktu sudah lewat 25 menit dari pukul 20. Sudah kuhitung, ada sekitar 10 orang yang keluar dari taksi, melangkah ke trotoar, berdiri di dekatku selama 5-6 menit. Lalu bertemu dengan beberapa temannya dan pergi bersama-sama. Sementara aku harus berdiri di trotoar sendirian seperti gembel yang menunggu diberi recehan. Seorang pengemudi taksi yang sedari tadi bersandar di pintu taksinya, buru-buru mematikan rokok yang tengah diisapnya ketika seorang wanita yang memakai blus tunik datang dengan setengah ber lari kemudian masuk ke dalam taksi. Sebelum wanita itu menutup pintu taksi, ia sempat melihat ke arahku sejenak seolah berkata, “Ayo masuk, aku menunggumu.” Matanya bersinar redup di kegelapan, tak kutemui hasrat hidup di kedalaman mata bulat www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 81 dan sedikit berair itu. Ia memalingkan muka dariku, rambut kecokelatan dan pendek sebahu bergerak sigap mengikut gerakan kepalanya. Seperti ada sebuah tali yang menarik leherku, kepalaku condong ke depan seolah hendak melangkah, tapi tiba-tiba pintu taksi itu ditutup dengan keras dan melaju pergi. Kugerakkan kakiku menuju tempat taksi yang beberapa saat tadi ada di sana. Di samping bekas ban yang berwarna hitam dan terlihat seperti sapuan kuas berukuran besar, aku berjongkok. Lalu seperti seorang ahli pencari jejak dari suku Indian, aku meraba bekas ban di atas aspal selama beberapa saat, kemudian mengambil secarik kertas yang dijatuhkan wanita penumpang taksi tadi. Dengan bantuan lampu kota, kulihat sekilas kertas itu, yang ternyata adalah sebuah tiket bioskop dengan tanggal 10, yang secara kebetulan adalah hari ini. Di sana juga tertulis waktu pemutaran i lm pada pukul 20.00 dengan kursi bernomor 29. Aku kembali ke trotoar tempat aku berdiri menunggu, sambil memasukkan tiket itu ke dalam saku celana, kupikir mungkin nanti aku bisa mengembalikan tiket itu jika wanita tadi kembali ke sini untuk mencarinya. Tapi kenyataan bahwa wanita tadi meninggalkan plaza saat i lm itu sedang diputar dan masuk ke dalam taksi dengan mata berkubang genangan, membuatku memiliki hipotesa bahwa wanita itu tidak akan repotrepot meminta si sopir taksi untuk berbalik arah hanya untuk mencari secarik tiket bioskop, yang mungkin www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 82 memang sengaja ia buang. Aku merogoh saku jaketku, lalu mengeluarkan sebungkus Marlboro. Entah kenapa setelah lebih dari setengah jam menunggu aku baru kepikiran untuk merokok. Mungkin lalu-lalang orang-orang dan kendaraan yang tiada habisnya ini agak membuat pikiranku menjadi kacau dan linglung. Tiga kali aku menyalakan korek api kayu, dan tiga kali juga ia padam tertiup angin kencang sebelum sempat membakar ujung rokokku. Ketika aku berhasil menyulut rokok itu, aku merasa sangat puas, seperti sebuah sensasi saat aku sudah melunasi sebuah utang yang sudah lama kutanggung. Sebuah mobil box berwarna putih tiba-tiba berhenti tepat di depanku, lalu seorang pria kurus berkulit coklat keluar dari dalam mobil dan berlari kecil ke arahku. Sambil memegang secarik kertas di tangan kanannya ia bertanya. “Apa Anda tahu di mana jalan Jasmine?” “Jalan Yamin?” Kataku mengulangi pertanyaannya. “Bukan,” ia berbicara dengan agak keras, kemudian mengeja nama jalan yang ia maksud, “Jalan J-A-SM-I-N-E.” “Oh... maaf, suara jalanan ini sangat bising jadi saya tidak bisa mendengar Anda dengan baik...” katakataku dipotong. “Ya, ya, katakan saja di mana jalan yang saya maksud!” “Saya sudah berada di sini hampir satu jam, www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 83 dan teman saya yang brengsek belum datang juga,” aku berbicara berbelit-belit dan tidak menjawab pertanyaannya secara langsung hanya untuk melampias kan kekesalanku saja. “Kau tahu atau tidak lokasi jalan itu!” “Oh, ya, ya, maaf. Kalau tidak salah, Anda lurus saja dari sini, ke arah utara sekitar 2 km,” kataku sambil menunjuk ke arah utara. “Lalu belok kanan, 200 meter kemudian ada persimpangan, Anda belok kiri,” kataku dengan sangat meyakinkan. Padahal arah yang kutunjukkan tadi seratus persen hanyalah karangan saja. Aku tidak tahu kenapa aku berbohong, mungkin kebosanan dan rasa frustrasi yang menyerangku membuatku melakukan hal-hal tidak bermoral ini. Lelaki itu kemudian memasukkan kertas ke dalam saku celananya, masuk ke dalam mobil dan pergi. Ia tidak meninggalkan bekas apa pun di tempat aku berdiri selain asap hitam dan berbau solar yang keluar dari knalpot mobilnya. Aku kembali merasa mual. Ponselku berdering, kulihat nomor milik pria misterius itu muncul di layar. “Kau ada di mana?” sergahku. “Maaf aku tidak bisa.” “Tidak bisa bagaimana?” “Aku tidak bisa datang.” “Apa? kau sudah gila, aku sudah menunggu di sini selama satu jam. Dan kau sekarang bilang tidak bisa datang!” www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 84 “Ada kejadian yang tidak terduga terjadi di sini.” “Apa, apa yang terjadi, katakan padaku?” aku mem bentaknya. “Begini...” dia kemudian memulai cerita, “Saat aku selesai berpakaian, dan hendak mengambil kunci mobil, tiba-tiba tetanggaku menggedor-gedor pintu rumahku sambil berteriak-teriak seperti dikejar-kejar maniak. Aku pun bergegas membuka pintu, dan mendapati Maya menangis tersedu-sedu. Bayangkan betapa menakutkannya hal itu. Aku bahkan juga sampai gemetaran.” Aku tidak tahu apa lagi yang hendak ia katakan kepadaku, lagi pula aku juga tidak kenal dengan orang bernama Maya itu. Aku sama sekali tidak memahami apa yang ia katakan, pria itu masih terus berbicara. “Tapi aku berusaha tetap tenang, agar tidak membuat wanita itu semakin kacau. Sambil memegang kedua lengannya, aku bertanya, ‘Ada apa? apa kau baik-baik saja?’ ‘Ayahku...’ katanya. ‘Ayahku, ayahku sedang kejangkejang. Dia... dia... ayo ikut aku dan lihatlah sendiri keadaannya.’ ‘Baik, baik, ayo kita ke rumahmu,’” kataku. Dari ujung ponsel, bisa kurasakan kalau ia sedang gemetar. “Aku kemudian berlari ke rumahnya. Dan saat masuk ke ruang tamu, aku melihat Tony, pria tua dan angkuh itu tergeletak di lantai dengan tubuh bergetar-getar hebat. Aku pikir dia terserang epilepsi. www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 85 Dengan susah payah aku dan Stefani mengangkatnya ke atas sofa panjang yang ada di ruangan itu. Tubuh Tony masih menggelepar-gelepar tidak keruan, seolaholah setiap bagian tubuhnya akan lepas dan terlempar satu persatu. Karena aku dulu pernah membaca novel yang salah seorang tokohnya terserang epilepsi, jadi aku tahu beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menolong nya. Aku kemudian menyuruh Maya mengambil sendok. Ia segera pergi ke dapur untuk mengambil sendok, tanpa banyak bertanya. Kemudian aku memasukkan sendok itu ke mulutnya.” “Kenapa kau melakukan itu?” tanyaku. “Untuk mencegah agar dia tidak menggigit lidahnya sendiri,” jawab pria itu dengan bangga. Sepertinya dia tipe orang yang sangat senang jika dia lebih tahu dari orang lain. Sekitar 2-3 detik, tidak terdengar suara apa pun dari ponsel. “Oh, tidak! Dia kembali kejang-kejang. Oh kawan, mulutnya mengeluarkan busa...” kata pria bersuara sopran itu dengan nada panik. Samar-samar aku mendengar suara sangat gaduh di ujung telepon. Seperti erangan, seperti jeritan, seperti isak tangis, seperti suara ketakutan dan entah suara apa lagi. “Apa yang harus aku lakukan? Oh Tuhan...” “Apa kau sudah menelepon ambulans?” tanyaku dengan suara datar. www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 86 “Belum.” “Oh Tuhan... kenapa kau tidak menelepon ambulans, tapi malah meneleponku!” aku membentaknya. Lalu kumatikan ponselku. Dasar idiot. Aku kemudian berjalan menuju bioskop yang ada di dalam plaza. Di tempat pembelian tiket, terdapat banyak pernak-pernik mencolok, tempat itu dihiasi lampion merah, serta hiasan perayaan dari kertas berwarna merah dan kuning, simbol kekayaan dan kejayaan. Aku baru sadar kalau hari ini tahun baru. Seorang wanita penjual tiket menyambutku dengan wajah kelelahan dan tanpa senyuman. “Anda ingin menonton i lm apa?” tanyanya. “Maaf?” tanyaku balik, aku tadi tidak memerhatikan pertanyaannya dengan baik. “Anda ingin menonton i lm apa, bukankah Anda kemari untuk membeli tiket?” tanyanya dengan nada kesal. Saat itu aku baru ingat kalau aku memiliki tiket milik wanita berambut pendek dan bermata hampir menangis yang kupungut di pinggir jalan. “Tidak, saya ke sini tidak untuk membeli tiket, saya sudah memilikinya,” kataku kepada wanita itu sambil menunjukkan tiket milikku. “Baik, lalu apa yang Anda inginkan?” tanyanya. Setelah kulihat-lihat ternyata wanita penjual tiket itu memiliki model potongan rambut yang sama dengan wanita pemilik tiket yang kupegang ini. www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 87 “Saya hanya ingin bertanya di mana ruangan tempat i lm ini diputar?” tanyaku sambil menunjukkan tiket kepadanya. “Anda berjalan saja lurus ke sana, kemudian naik tangga, di lantai itu Anda akan menemukan ruangan bertuliskan nomor 5.” “Baik, terima kasih banyak.” Ruangan nomor 5 itu ada di lantai dua. Aku berjalan melewati ruangan-ruangan yang mengeluarkan suara dengan samar-samar dan nyaris tidak terdengar. Kemudian aku menaiki tangga berkarpet merah. Langit-langit lorong yang kulewati dihiasi oleh lampu yang berwarna merah, kuning, hijau, biru. Cahaya lampu-lampu itu semburat ke sepanjang lorong, berkerlap-kerlip dan berputar-putar dengan cepat dan tampak riang. Aku ingin menjadi seperti mereka, seperti lampu-lampu itu, penuh warna. Kulihat tiket di tanganku, sepertinya i lm yang akan kutonton berjudul Il Mare. Aku tidak tahu i lm tentang apa itu. Setelah menyerahkan tiket kepada penjaga pintu, aku masuk ke dalam ruangan nomor 5 yang dinginnya setengah beku. Sempat kukira bioskop itu kosong, tapi setelah melihat-lihat ke arah kursi penonton dengan lebih saksama, ternyata ada lima penonton yang duduk di kursi paling belakang. Film sudah berjalan sekitar setengah jam lebih saat aku berhasil menemukan tempat dudukku. Sekitar 1 jam berlalu, aku sudah merasa bosan dan sama sekali tidak bergairah untuk terus duduk www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 88 di sana. Aku mengambil ponsel di dalam saku, pria aneh itu kembali menelepon. “Ambulans baru saja datang. Tapi aku masih tidak bisa pergi. Aku tidak mungkin meninggalkan Maya mengurus semua malapetaka ini sendirian. Oh iya, jangan khawatir, aku sudah menelepon dua temanku, mereka akan datang menemanimu. Katakan padaku di mana kau sekarang?” Aku memberikan jawaban. “Baik, aku akan memberitahu mereka di mana posisi mu. Baiklah aku harus pergi, mereka sudah menaik kan Tony ke dalam ambulans, aku harus menemani Maya. Semoga malammu menyenangkan, kawan.” Dalam suasana gelap yang bercampur semburat samar dari cahaya pantulan proyektor di layar, aku di serang perasaan sedih. Tapi sebenarnya apa yang ku rasakan bukanlah sedih. Aku hanya tak tahu apa sebutannya dan tidak tahu bagaimana mengungkapkannya lewat tulisan. Aku hanya bisa mendeskripsikan bahwa apa yang kurasakan itu adalah sebuah perasaan di mana hatimu terasa seperti digerogoti oleh sesuatu yang kecil dan sangat banyak. Seperti ada ribuan ulat di dalam dadaku. Dan perasaan itu seolah-olah bisa membuatmu gila karena tertekan, cemas dan khawatir. Keseimbangan pikiran dan mentalku mulai goyah. Aku menunggu kedua teman pria misterius itu selama setengah jam di ruangan itu setelah film selesai. Tapi mereka tak kunjung tiba. Aku pun keluar www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 89 dari ruangan sebelum diusir oleh petugas bioskop. Aku berjalan gontai saat menuruni tangga, dan tanpa sengaja menabrak bahu seorang wanita yang memakai setelan beledu biru gelap. Rambutnya yang pendek bergoyang ringan karena benturan itu. Ia berhenti melangkah, memandangku, kemudian tersenyum dan meminta maaf dengan suara sendu. Tapi aku malah berlari, seperti orang yang baru saja melihat hantu. Ada apa dengan diriku ini? Aku tidak tahu. Malam yang aneh, kenapa aku terus-terusan bertemu dengan wanita berambut pendek sebahu. Aku berdiri di depan plaza, merasakan tetesan gerimis yang lembut sambil mengumpulkan sesuatu yang tercecer akibat bertabrakan dengan wanita tadi. Tapi tidak seperti mengumpulkan ceceran kertas di lantai, aku mengumpulkan ceceran itu di dalam kepalaku dengan bantuan kunang-kunang yang kerlapkerlip seperti lampu di lorong tadi. Kunyalakan rokok dengan tenang. Aku berjalan menyusuri deretan pertokoan dan kafe sambil dinaungi gerimis yang terus turun dengan tetesan yang kecil-kecil dan tidak kunjung berubah menjadi hujan yang lebat. Pukul 1 tengah malam aku terbangun setelah menyelesaikan mimpi itu, keringatku bercucuran. Aku www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 90 mengambil segelas air di meja belajar lalu meneguknya hingga gelas jadi licin. Apa-apaan ini, kenapa aku mendapat mimpi yang sangat aneh seperti ini, batinku. Apa Tuhan sudah kehabisan stok mimpi indah untuk diberikan kepadaku. Atau Dia memang tidak mau memberikan itu padaku? Bahkan di dalam mimpi saja, aku juga lupa kalau hari ini tahun baru. Tapi entah kenapa aku merasa mimpi itu begitu nyata, seolah-olah aku tadi tidak sedang bermimpi, melainkan tengah ditunjukkan suatu kejadian yang ada di masa depan, kejadian yang suatu hari akan kualami. Suara letusan kembang api terdengar sangat keras, hingga telingaku sakit. Pasti kembang api itu dinyalakan di rumah Pak RT yang tidak jauh dari sini. Aku membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Langit yang hitam dihiasi oleh kembang api beraneka warna dan bentuk. Di tengah keriuhan itu, aku masih terjebak pada keheningan mimpiku tadi. Setelah merenung sejenak, agaknya aku harus berterima kasih pada mimpi itu, karena berkatnya aku bisa merayakan malam tahun baru ini, dari lantai dua rumahku, lewat jendela kecil sebuah kamar. Sendirian. www.facebook.com/indonesiapustaka
91 3 Ini adalah hari pertama di kelas dua. Selama perjalanan menuju sekolah, wajah semua orang terlihat bahagia, dengan senyuman yang mengembang seperti perahu di lautan. Pepohonan bermandikan cahaya mentari. Kulewati semua itu dengan tatapan tajam. Pagi setelah malam yang panjang, terlihat seperti sudah melahirkan semua hal dalam keadaan yang baru, seolah kemarin mereka masih belum ada di dunia, tidak tahu apa pun yang terjadi di dunia ini, tidak ada penyesalan, tidak ada masalah, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi tiba-tiba orang-orang di sekitarku seolah bisa memahami apa yang kurasakan saat melihat tatapan mataku yang tak senang. Mereka semua menyingkir dan mengabaikanku. Hanya sinar mentari dan pagi yang menyapaku, seperti biasanya. Dunia yang tidak kupercaya ini, hidup yang tak pernah melihatku, aku mendapatkannya lagi pagi ini. Dunia menawarkan banyak hal saat pagi menjelang, jika www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 92 itu adalah kematian, aku akan menerimanya dengan senang. Hari ini aku sedikit mengantuk. Kemarin malam aku tidak bisa tidur, karena sering kali saat hendak tidur, aku malah tiba-tiba berpikir tentang hal konyol dan memalukan yang pernah aku lakukan, atau tentang kenangan buruk di masa lalu. Aku tidak tahu kenapa hal itu selalu saja datang secara tibatiba di pikiranku. Aku akan berpikir dengan keras, kenapa dulu aku bisa sampai melakukan hal itu, atau kenapa hal itu bisa sampai terjadi, sambil merasakan penyesalan yang menakutkan, meski semua itu sudah terlewat. Dan hal itu sering kali membuatku kesulitan untuk tidur. Setiap pagi sebelum pergi ke sekolah, aku selalu bertanya-tanya, apalagi yang akan terjadi padaku hari ini? Hal-hal apa yang akan menimpaku. Kadang aku juga memikirkan sebuah rencana, di mana aku ingin pergi ke suatu tempat yang jauh, tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengenalku dan aku juga sama sekali tidak mengenal mereka. Tempat yang tenang dan jauh, sangat jauh hingga mungkin segala kenangan buruk yang pernah terjadi padaku tidak bisa mengikuti ke mana aku pergi. Aku membayangkan sebuah tempat di mana aku bisa bernapas dengan lega tanpa merasakan sesak di dalam dada. Muncullah bayangan dari pantai berpasir putih dengan air berwarna biru yang sangat bening dan transparan. Atau danau-danau di puncak gunung- www.facebook.com/indonesiapustaka
Introver 93 gunung yang sejuk dan hijau dipenuhi pepohonan. Akankah aku bisa pergi ke tempat-tempat seperti itu? Meninggalkan segalanya di belakang tanpa penyesalan. Kepalaku masih juga digelantungi oleh buah-buah pertanyaan yang terus tumbuh dan tidak pernah busuk. Aku mulai kembali memikirkan perihal masalah “teman” ini. Aku mulai memberikan pertanyaanpertanyaan kepada diriku sendiri. Apakah hakikat teman itu? Apakah aku benar-benar membutuhkan seorang teman? Apa manfaat memiliki teman bagiku? Apakah memiliki teman akan membuat hidupku menjadi lebih baik? Dan jika tidak memiliki teman, apa pengaruhnya untukku? Apakah ada hal buruk yang terjadi? Selesai pelajaran, aku mampir ke perpustakaan sekolah. Perpustakaan di SMA-ku ini berada di ruangan yang cukup luas, ukurannya sekitar 30 meter persegi. Tapi sayangnya koleksi bukunya tidak sebanyak perpustakaan yang ada di SMP-ku dulu. Yang menjadi petugas di perpustakaan itu ada dua orang. Yang pertama adalah seorang pria dengan kepala botak, culas, dan memiliki karakter yang sangat tidak menyenang kan. Ia tidak pernah tersenyum ramah kepada pengunjung perpustakaan. Malahan ia sering kali marah-marah dan tidak jarang menggunakan pukulan tangan untuk mengingatkan siswa yang www.facebook.com/indonesiapustaka
M.F. Hazim 94 sedikit berisik saat di perpustakaan. Karena itu para siswa memanggilnya dengan sebutan Bobi, Botak Biadab. Karena panggilan itu sudah mendarah daging, sampai-sampai aku sendiri lupa siapa nama sesungguhnya. Setiap kali aku ke perpustakaan aku hanya me manggilnya dengan panggilan “Pak”. Tanpa ada embel-embel nama di belakangnya. Menurut kabar burung yang beredar di sekolah, dia bisa bekerja di sekolah kami, itu karena dia adalah adik dari kepala sekolah kami. Aku pikir itu memang alasan yang bisa dibenarkan, karena dengan hasil kerjanya selama ini, jika orang itu tidak punya orang yang membeking di belakangnya, dia pasti sudah ditendang dari sekolah. Sering kali saat di perpustakaan aku mendengar siswa lain berbisik-bisik di balik rak-rak buku lalu mentertawakan pria malang itu. “Lihat si Bobi itu, aku sangat ingin memukul botak mengkilapnya itu dengan kamus besar ini.” “Haha, jangan bro, kasihan, mending kita berbuat baik saja sama dia.” “Apa?” “Kita gosok botaknya itu pakai kertas gosok, biar mengkilap kayak batu akik.” “Terus kita jual di pasar.” Mereka berdua kemudian cekikikan sambil memegangi perut, seolah isi usus dan lambung mereka bisa keluar dari dalam perut saat mereka tertawa. Ya, aku juga sering tertawa saat melihatnya, terutama www.facebook.com/indonesiapustaka