The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Yosep Akun Ke 2, 2024-01-15 19:57:28

Khianat Cinta

Khianat Cinta

Sampai Batas D ENNY BOY


Vera, yang bukan nama sebenarnya. Seorang mahasiswi baru di sebuah kampus. Ia disenangi oleh Biyan yang mahasiswa senior. Hubungan mereka baik-baik saja, tidak ada yang aneh-aneh. Cinta itu tumbuh alamiah dan dibiarkan mekar begitu saja. Tidak ingin mereka mengoyak kelopak cinta yang sedang tumbuh, apalagi Vera. Namun siapa sangka... segala sesuatunya itu harus percaya pada takdir. Sebagus dan seindah apapun rencana kita sebagai manusia, tetaplah rencana Tuhan yang baik. Biyan... apakah sanggup meneerima kenyataan pahit itu? Apakah Biyan menyaalahkan rasa cinta yang tumbuh dan ia pupuk dengan baik? Kepala Sekolah SMAN 66 Jakarta, telah banyak menulis. Karya-karyanya dipublish di media sosial. DENNY BOY Barcode Pendidikan S2 Akuntansi Pemerintah Contact: Universitas Gunadarma Phone 082112750316 Email [email protected] Sampai Batas Sampai Batas


Semburat merah jingga di ufuk langit, petanda siang akan berganti malam. Ditambah lagi kumandang adzan yang dilantunkan mesjid kampung sebelah. Segera ku parkirkan motor bututku di tempat parkir masjid. Setelah memastikan stang motorku terkunci sempurna dan kunci tambahanpun sudah terpasang, aku melangkah menuju kamar kecil untuk bersuci dan kemudian mengambil air wudhuk. Usai menunaikan shalat sunat, aku bersiap melaksanakan shalat maghrib berjamaah di Masjid ini. Aku tepat berada di shaf yang kedua. Tidak banyak memang jamaah shalat maghrib, hanya empat setengah shaf lebih. Imam sudah memulai takbiratul ihram, aku dan jamaah lainnya mengikuti di belakangnya, hingga salam. Selepas melaksanakan shalat maghrib dan shalat sunat, aku duduk bersimpuh. Dzikir aku lantunkan, karena aku tahu dengan berdzikir Allah akan selalu menjaga umatNya. Kutadahkan tangan dengan menundukkan kepala, aku bermunajat kepada Allah Subhanahuwataala, meminta ampunan dosa kedua orang tuaku, kakak-kakakku, kaum muslimin dan muslimat. Tidak lupa doa untuk bangsaku Indonesia yang kini sedang berada dalam kondisi dilemma. Doa kupanjatkan juga untuk kaum muslimin dan muslimat yang ada di Palestina. Tak terasa sebutir air mataku menetes mengenai telapak tanganku, segera kuusap mataku agar tidak terlihat jamaah lain.


Kujalankan motor bututku menuju rumah yang sedari sore tadi kuniatkan. Rumah tua sederhana, halamannya tertata apik, ditumbuhi beberapa tanaman hias. Aku melangkah ke tombel bel yang terpasang di kusen pintu. Ku pencet bel sekali, terdengar bunyi “Ding… dong” dari arah dalam. Tak menunggu lama, bunyi langkah dari dalam rumah kudengar. Daun pintu terbuka, seorang ibu setengah baya melongok keluar. “Assalammualaikum, bu ada Vera?” Sapaku sambil bertanya. “Waalaikumsalam, oh ada. Silakan masuk”. Ramah jawaban yang kuterima, aku masuk dan duduk di kursi tamu. Ibu setengah baya tadi masuk ke dalam sambil setengah berteriak. “Vera, ada tamu di depan”. “Siapa bu?” kudengar suara Vera bertanya. “Temanmu mungkin, laki-laki”. Jawab ibu sekenannya. “Assalammualaikum Vera. Apa khabar?” Sapaku ketika Vera sudah muncul di ruang tamu. “Oh… kak Biyan, Waalaikumsalam. Baik. Tumben nih datang bertamu?” Ujar Vera sembari menyodorkan tangan untuk salaman. Aku sambut salamnya, dan kami sama-sama duduk. Bangku kami saling berhadapan. “Maaf ya aku bertamu nggak ngasih tahu dulu sebelumnya. Kalau ngasih tahu, ntar Veranya malah nggak ada di rumah”. Sambungku memecah suasana. “Ah enggak lah. Justru kalau ngasih tahu, khan bisa disiapkan cemilan kesukaan kak Biyan”. Elaknya.


“Emang Vera tahu cemilan kesukaanku?” Tanyaku sedikit heran. Padahal aku nggak punya cemilan favorit. “Tahulah” , jawab Vera cepat. “Apa hayo?” sergahku pengen tahu. “kasih tahu nggak ya?” Vera menjawab sambil berdiri dan melangkah ke dalam rumah dengan ketawa pelan. Pukul setengah Sembilan, aku pamit untuk pulang. Itu adalah awal kunjunganku ke rumah Vera. Vera adalah seorang gadis yang ku kenal saat dia mendaftar sebagai mahasiswa baru di kampusku. Entah mengapa, aku tertarik saja memandang wajahnya. Dia memang bukan gadis yang cantik, yang selalu di kejar-kejar para senior saat-saat seperti ini. Dia gadis biasabiasa saja, tapi aku tertarik dengan penampilannya yang seadanya, tidak berlebihan. Hari kedua kegiatan perkenalan kampus, kuberanikan diri menghampirinya, dan coba untuk mengenalnya. “Halo dik, boleh tahu siapa namanya?” Sapaku agak sedikit pelan, khawatir ini dilihat senior-senior lain. Kalau saja terlihat, maka yang didekati pasti akan diperlakukan seenaknya, sampai ia menangis. “Vera kak”. Jawabnya singkat, pandangan matanya tetap kepada senior yang sedang memberikan pengarahan. Aku berdiri dan melangkah meninggalkannya yang duduk di lantai aula, setelah mengucapkan terimakasih. Dari jauh kulihat, matanya seperti mencari-cari seseorang. Kepalanya entah beerapa kali berputar ke kiri dan ke kanan. Dan… hap. Mata itu tertuju kepadaku yang dari tadi duduk di lantai dua aula. Kemudian kepalanya menunduk. Aku yakin dia pasti mencari-cari posisiku dimana.


Jam istirahat untuk kegiatan sholat dan makan siang sudah dimulai. Kulihat Vera duduk bersama dengan teman-teman sekelasnya. Ada yang sedang menyapu keringat di wajahnya, ada juga yang menggoyang-goyangkan kakinya untuk sedikit lebih lega. Vera asyik mendengarkan teman-temannya bercerita. Dia menggerakan pinggangnya ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Pandangan mata kami bertemu, ia melemparkan senyum, akupun membalasnya. Kuhampiri rombongan yang tengah bercerita, kemudian menyapa Vera. “Hei Vera, nggak sholat?” Tanyaku. Dia menoleh dan menjawab dengan anggukan. Kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya menuju mushola kampus. Kuiringi langkahnya dengan berjalan di sampingnya. “Udah makan?” Tanyaku sekenanya. “Belom, kakak?” Jawabnya, kali ini ia berani menatap mataku. “Juga belom.” Jawabku singkat. “Aku bawa bekal, kakak mau?” Vera menawarkan makanan yang dia bawa dari rumah. “Oke, ntar habis sholat ya.” Sambungku. Kami berpisah di tempat wudhuk. Selesai melaksanakan sholat Dhuhur, aku dan Vera menuju kantin. Kulihat Vera menenteng tasnya. Kami mengambil tempat duduk di pojok luar kantin. Vera sibuk membuka tas dan mengeluarkan bekalnya, aku memesan dua gelas the manis ke kantin. Wow… nasi putih dengan lauk dendeng balado, ada sayur nangka. Vera menyapaku pelan “Kak boleh pinjam sendok satu lagi nggak di kantin?” Ternyata dia bawa sendok hanya satu, karena memang tidak direncanakan mengajakku makan. Aku datang membawa sendok yang kupinjam di kantin.


Kami makan bersama dalam satu tempat makan. Seakan-akan perkenalan kami sudah berlangsung lama. Sesekali kami tertawa dan kemudian melanjutkan makan. Aku tak ingin Vera jadi kelaparan karena makanannya ikut ku makan, maka secepatnya aku berhenti. “Lho kok udahan kak, nii masih ada lho”. Sergah Vera menatap mataku. “Aku udah kenyang, Vera lanjutkan aja makannya, aku temenin kok. Santai aja”. Jawabku. Pertemuan demi pertemuan, akhirnya membuahkan rasa. Rasa yang selama ini selalu kubunuh jika itu muncul. Entah mengapa sekali ini, rasa itu muncul dan aku tidak ingin untuk membunuhnya. Bahkan rasa itu semakin kupupuk setiap hari. Setiap hari aku semangat berangkat ke kampus, semangatku melebihi semangat juang para ojek online yang mencari penumpang. Teman-temanku sudah tahu kalau aku dan Vera punya hubungan special, begitu juga dengan teman-teman Vera. Hubungan dekat itu sudah berjalan satu semester. Sekalipun aku belum berani mengucapkan kata “cinta” padanya. Setiap keinginan itu muncul, diiring juga dengan ketakutanku untuk kandas. Kubiarkan saja mengalir bagai air di sungai Andalas. Setelah kunjunganku untuk yang pertama ke rumahnya, aku semakin yakin kalau Vera pasti menerima cintaku. Hampir setiap malam Sabtu aku mengunjunginya. Lho kok malam Sabtu? Bukan malam Minggu? Itulah yang membedakanku dengan laki-laki lain. Karena malam minggu itu, aku pulang kampung.


Pada kunjungan yang entah keberapa, ku ingin menemui Vera. Aku coba memberanikan diri menyatakan isi hatiku. Setelah kami duduk di teras depan rumahnya. Kupandangi wajah Vera, ada segurat kecantikan yang tersimpan. Bola matanya membuatku semakin terpesona. “Vera…”. Sapaku pelan. “Ya ada apa kak?” Vera menjawab tanpa reaksi. “Ng… hm..”. Aku tercekat. Kalimat yang sedari siang sudah kusiapkan hilang begitu saja. Aku gugup. Baru kali ini aku tidak kuasa untuk berkata-kata. Baru kali ini aku begitu gugup untuk berucap. “Kak… kenapa?” Vera membuyarkan lamunanku. Keringat dingin kurasakan membasahi punggungku, mengalir begitu deras. Butiran keringat juga menempel di ujung hidungku, mataku tak sanggup menatap matanya. Kuambil sebatang rokok yang terselip di saku bajuku, lalu menempelkannya di antara bibirku. “Kakak meroko?” Huaahh…. Aku terkejut. “Enggak, aku hanya grogi saja. Aku belum pernah merokok”. Jawabku. Temanteman pernah bercerita, jika kita gugup, hisaplah rokok, maka kegugupan itu akan hilang. Aku menyampaikan alasanku membeli sebatang rokok. “Tapi itu nggak benar kak, karena rokok itu tidak menyehatkan”. Vera menjelaskan. Iya aku tahu itu. “Sebenarnya ada apa kak, kok gugup begitu?” Tanya Vera begitu lembut, kelembutan itu dapat menghilangkan rasa gugup diriku. “Aku, hm aku sebenarnya suka kamu Vera. Apa kamu menerima cintaku?”. Dueeerrr….. Petir disiang bolong aja kalah. Longgar sudah apa yang menyesak di dada selama ini. Kalimat itu keluar seperti meletusnya gunung Agung yang kawahnya tersumbat bebatuan besar.


“Kakak yakin?” Tanya Vera masih tanpa ekspresi. Aku berharap dia sedikit terkejut, tapi harapanku sia-sia, dia menanggapinya dingin. “Iya yakin sekali”. Jawabku penuh harap. Keringat semakin deras mengucur di balik punggungku, mengalir terus ke pinggang. Kepalaku serasa gatal karena keringat di kepala juga ikut-ikutan keluar. “Begini kak, kita jalani aja seperti ini, dengan semua kepolosan kita, tanpa kemunafikan”. Kalau Tuhan mengijinkan, hubungan ini bias dilanjutkan”. Vera begitu bijaknya menjawab. Inilah yang membuatku semakin menyukainya. “Tapi… selama ini khan kita belum pacaran?” Tanyaku ingin lebih jelas lagi. “Kak, kakak itu baik banget. Kakak saying sama aku, aku juga saying sama kakak. Itu yang selama ini kita jalani. Apakah itu perlu di proklamirkan?”. Aku terdiam mendengar penjelasan Vera. Memang selama ini kami sudah jalani, seperti yang ia sampaikan. Tidak ada kebohongan, tidak ada kepalsuan, tidak ada yang tersakiti. Ternyata itu cukup membuat Vera yakin dekat denganku. “Vera izinkan aku memegang tanganmu dan mencium punggung tanganmu”. Pintaku dalam. “Apakah itu yang akan membuat kakak yakin akan penjelasanku?” Tanya Vera pelan. “Iya”. Jawabku singkat. Vera menyodorkan tangan kanannya, tangan itu kuraih, kugenggam dan kucium punggung tangannya. “Terimakasih ya Allah, engkau telah hadiahkan seorang bidadari yang baik hati untukku”. Aku memanjatkan do’a syukur kepada Allah seraya melepaskan genggaman tanganku.


Malam ini, memang agak larut aku meninggalkan rumah Vera, tepatnya jam sembian lewat. Setelah berpamitan kepada ibunya, aku menjalankan meotor bututku menuju tempat kost ku dengan perasaan yang berbunga-bunga. Malam ini, ingin kuhabiskan berbincang-bincang dengan rembulan dan bintang-bintan di langit. Aku tak ingin tidur. Kantukku telah hilang. Senyum indah selalu terpancar di bibirku. Teman-teman kost sudah pada tidur. Aku ditemani gitar duduk di teras rumah kost, menatap langit. Di sana ada rembulan, seolaholah tersenyum padaku. Bintang-bintang berkelap-kelip menghiasi malam, ikut menemaniku. Kusampaikan semuanya pada mereka. Akhirnya, entah pukul berapa, dengan mata lelah aku tertidur di kursi panjang teras rumah kost. Dingin malam membangunkanku. Segera aku sholat malam, dan kemudian menuju kamar untuk menyambung tidurku agar mimpi indah bersama Vera. Pagi ini, Sabtu. Aku memang tidak mengambil mata kuliah di hari ini. Biasanya hari ini aku enggan ke kampus. Kegiatanku biasanya mencuci, dan menggosok pakaian. Tapi keceriaanku tadi malam mengalahkan semua kebiasaanku. Aku ingin semua orang tahu, apa yang membuat aku bahagia saat ini. Usai mandi, aku berdandan seperti biasanya. Kemudian menyalakan motor bututku. Aku ingin sarapan di kantin saja. “Hey… Yan. Tumben berangkat hari ini?” Sapa Najib sahabatku. “Iya, aku ada perlu ke kampus”. Jawabku enteng. “Ah kau pasti ingin ketemu Vera khan?” Ledek Najib lagi sambil membawa kain cuciannya ke belakang. Aku hanya membalas dengan senyum.


Perlahan motor ku jalankan. Perut yang biasanya sudah diisi, kali ini mulai berontak minta diisi. Kuparkir motor ditempat biasanya. Lalu langkahku langsung menuju kantin yang agak sepi, karena nggak banyak yang ambil kuliah Sabtu. Lontong sayur makanan yang biasa kupesan datang, segelas teh manis hangat ikut menemaninya. Lahap sekali makanku karena lapar. Beberapa mahasiswa sudah berdatangan, suasana agak sedikit berisik, karena suara-suara mahasiswa yang berciloteh, enggak jelas. Seeerrr, lho kok mereka menyebut-nyebut nama Vera? Atau aku yang salah dengar. Ku dekatkan kupingku, aku berhenti mengunyah lontong sayur. Jelas, jelas sekali ia menyebut nama Vera. Tapi aku kurang paham kenapa Vera jadi objek pembicaraan. Apakah ada yang tersakiti malam tadi dengan aku menyatakan cinta kepadanya? Apakah ada yang intip kehadiranku di rumahnya? Atau ada seseorang membatalkan datang bertamu disaat aku sedang duduk di rumahnya? Berbagai macam pertanyaan bergelimang di kepalaku. Segera aku bangkit dan membayar di kasir kantin. Kemudian berjalan ke arah dimana para mahasiswa fakultasku duduk ngobrol. Oh iya, di bawah pohon rindang bundaran merah. Aku segera menuju ke sana. Sepi… Tidak ada orang yang duduk-duduk di sana. Biasanya banyak mahasiswa duduk ngobrol santai di sini, sambil menunggu kuliah berikutnya.


“Hoi… Yan, Kau nggak ikut?” Sebuah suara memanggil namaku dari arah belakang. “Hey, kau rupanya Amri. Ikut kemana, aku kurang paham”. Jawabku sambil menyodorkan tangan untuk salaman, itu memang kebiasaanku. “Nah lho ! Kau belum tahu rupanya?” Amri mendahului langkahku dan berhenti tepat di depanku. “Iya aku blom tahu”. Jawabku dengan mengerinyitkan dahi. “Tadi pagi, pukul setengah tiga, adik tingkat kita di larikan ke rumah sakit”. Amri menjelaskan, namun aku masih tidak mengerti. “Siapa?” Tanyaku mendesak. “Itu si Vera, Adik tingkat yang suka dekat dengan kau”. Gledek di sian bolong kembali menggelegar. Aku tidak percaya dengan pendengaranku. “Si Vera yang anak jurusan Administrasi?” Tanyaku lebih jelas. “Benar sekali Sob. Tadi pagi ia mendadak dilarikan ke rumah sakit, sekarang mungkin masih di rumah sakit, aku tidak dapat khabar lagi”. Sambung Amri. “Rumah Sakit mana?” Desakku lagi. “Rumah Sakit Andalas”. Belum lagi Amri menyelesaikan ucapannya, aku segera kabur ke tempat parker, menstarter motor bututku dan melaju menuju rumah sakit yang dimaksud. “Parkiran motor di rumah sakit, terletak di ujung belakang. Kusandarkan saja motorku di dinding rumah sakit, dan segera berlari kedalam. Kulihat beberapa sahabat Vera dan dan teman kuliahku, sudah ada di sana, mereka bergerombol. Aku dicegat sahabatku. “Yan. Sini, jangan ke sana dulu”. Vendri memegang lenganku. Aku berhenti, dan bertanya. “Apa yang terjadi Vendri?” “Tenang, tenang. Ambil nafas dulu kawan”. Saran Vendri untuk menarik nafas kuikuti, agar aku sedikit tenang.


Beberapa orang menghampiriku. “Biyan… kamu harus sabar ya, harus ikhlas.” Salah satu dari mereka mengusap-usap punggungku. Aku semakin tidak mengerti. “Tadi pagi sekitar pukul tiga dini hari. Ponsel Dira berbunyi, ternyata dari ibunya Vera. Dira dikhabarkan kalau Vera dibawa ke rumah sakit. Dira menelponku, dan mengajak aku ikut bersamanya ke rumah sakit”. Rusman si ketua kelasnya Vera menjelaskan. “Aku dan Dira berangkat menujur rumah sakit, sesampainya di sini, ibunya Vera menangis, dan member tahu kalau Vera harus di operasi malam itu juga”. Sambungnya. “Operasi apa?” tanyaku. “Dia sudah lama mengidap kanker di otaknya, selama ini memang dia tidak pernah memberi tahukan siapapun. Hanya dia dan Ibunya saja yang tahu”. Lanjut Rusman. “Operasi berjalan. Harapan tinggal harapan, keputusan tetap berada pada Allah. Pukul empat tiga puluh tadi Vera menghadap yang kuasa. Dia pergi meninggalkan kita semua”. Aku terpukul, entah beban apa yang menghimpitku seberat ini. “Boleh aku melihatnya?” Aku bertanya, air mataku tidak terbendung lagi. “Silakan, tapi kau jangan mengangis di jasadnya, kasihan dia”. Ujar Rusman lagi.


Dengan diantarkan teman-teman aku menuju kamar dimana jenazah Vera di diamkan. Ku peluk erat ibunya. Kemudian aku melangkah masuk. Kulihat jenazah Vera ditutupi kain putih, ku buka kain itu, terlihat seulas senyum dingin dari bibirnya. Wajahnya pasrah. Aku terkulai lemas, perlahan kutinggalkan jasad itu, dan kembali ke samping ibunya. “Nak Biyan, ikhlaskan Vera ya. Ibu tahu tadi malam kamu baru menyatakan cinta padanya, dan dia menerimanya. Selama ini dia banyak cerita tentang nak Biyan. Dia begitu saying sama nak Biyan. Biarkanlah dia pergi membawa cinta sejatinya. Ikhlaskan ya nak?” Ibunya Vera merangkulku. Aku nggak tahan mendengar ucapannya. Tangisku meledak, aku nggak peduli sekelilingku mentertawakanku menangis. Aku hanya ingin menumpahkan rasa rindu ini, rasa yang selama ini kami pupuk, rasa yang selama ini kami jalani. Tiba-tiba terhenti seketika. Aku mencoba untuk ikhlas, tapi belum bisa. “Vera… Vera… denganmu rasa itu tidak kubunuh, bersamamu rasa itu kupupuk, bersamamu rasa itu kusiram, bersamamu rasa itu kita wujudkan. Kini kau sudah menjawab semuanya, kita sudah berjalan sampai bataanya Vera”.


Click to View FlipBook Version