The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara Hikayat dan Sejarah bagian 3

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SD NO. 1 KEROBOKAN, 2023-08-12 02:00:47

Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara Hikayat dan Sejarah bagian 3

Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara Hikayat dan Sejarah bagian 3

138 Munaseli telah dilengkapi dengan istana dan benteng. Raja-raja Munaseli yang terkenal antara lain Sirang Babu, Pasombala, dan Taliwara. Ketiganya merupakan putra Klepo Mahi. Panglima perang kerajaan yang terkemuka di Munaseli bernama Mau Parra dan Pito Parra. Menurut legenda, mereka memiliki dua ekor anjing yang masing-masing dinamai Angkola dan Timur Rasung. X. PANDAI Menurut legeda, kerajaan Pandai didirikan oleh keturunan Majapahit bernama Lata Mauwolang. Selanjutnya, rangkaian raja-raja yang memerintah Pandai adalah Bapa Boka, Pela Boka, Salama Boka (1848–1877), dan Beng Hukung (Benhoekoe atau Benhuku, 1878–1901). Ia bersama fetor (kepala kampung) Pandai bernama Poeinarang (Puinarang) menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial pada 5 Februari 1878. Sepeninggal Beng Hukung, pemerintahan di Pandai diwakili oleh Sinoe (Sinu atau Sinung Maleng). Ia menandatangani kontrak pada 3 April 1902. Selanjutnya memerintah Raja Koliamang Wono (1911–1918), yang kelak menjadi Raja Pantar Matahari Naik. Pemerintahan di Pandai dipegang oleh seorang rajang (raja) dan dibantu wakil raja bergelar tawaka. Jabatan-jabatan lainnya adalah marang tawaka yang mengurusi pemerintahan keluar; tabi tawaka mengurusi kesenian; diing tawaka menangani masalah pertanian; magang lamuli bertanggung jawab atas urusan keamanan; hukung bertanggung jawab atas pengadilan; dan beng menangani masalah kesehatan. Pada 1918, Belagar dan Pandai disatukan menjadi Kerajaan Pantar Matahari Naik di bawah pemerintahan Koliamang Wono. XI. PANTAR MATAHARI NAIK Kerajaan Pantar Matahari Naik merupakan hasil penyatuan antara Kerajaan Belagar dan Pandai. Raja Koliamang Wono (1918–1926), yang sebelumnya menjabat sebagai Raja Pandai, tercatat pernah menandatangani Korte Verklaring pada 2 November 1918. Selanjutnya, pemerintahan Pantar Matahari Naik diwakili oleh Raja Alor, Umar Watang Nampira (1927–1956). Dengan demikian, administrasinya disatukan dengan Alor. http://facebook.com/indonesiapustaka


139 XII. PUREMAN Raja-raja yang memerintah Pureman adalah sebagai berikut: Sini Mau I Laka (1480–1500), Tubul Sini Mau (1500–1530), Sini Mau II (1530–1550), Tubulau I (1550–1580), Sini Mau III (1580–1600), Tubulau II (1600–1620), Sini Mau IV (1620–1640), Tubulau III (1640–1660), Lapuimakuni (1660–1680), Tubulau IV (1680–1710), Painteri I (1710–1730), Resibera (1730–1750), Tubulau V (1750– 1770), Painteri II (1770–1800), Malakari I (1800–1820), Tubulau VI (1820–1850), Molana (1850–1870), Tubulau VII (1870–1880), dan Alobana (1880–1890). Pada 30 Oktober 1891, Raja Malakari II (Malaekarie, memerintah antara1890–1918), pengganti Alobana, menandatangani kontrak politik dengan Belanda berupa Timor Verklaring. Berikutnya pada 13 Juni 1900, raja menandatangani Contract Betreffende Mijnrechten dan Verklaring Betreffende Belastingheffing pada 31 Agustus 1901. Warga Maupui yang terletak di Pureman pernah berontak pada 1915 karena menolak membayar pajak dan bekerja rodi. Letnan Croo yang memimpin pasukan Belanda mencoba menyelesaikan masalah itu secara damai, tetapi gagal. Perlawanan yang dipimpin oleh Langsalimau tetap berlanjut karena ia mendapatkan dukungan para kepala kampung. Raja Pureman berikutnya adalah Besi Lakoe (1918– 1927) yang menandatangani Korte Verklaring pada 27 Desember 1918. Kerajaan Pureman kemudian digabungkan dengan Kolana. C. Kerajaan-kerajaan di Pulau Flores I. ENDE Kerajaan ini merupakan salah satu di antara lima negeri di kawasan Ende-Lio. Menurut salah satu legenda yang beredar di kalangan rakyat, leluhur penguasa Ende adalah seorang pria bernama Roru dan wanita bernama Modo yang turun dari langit. Mereka menikah dan dikaruniai tiga orang anak perempuan dan dua orang anak lakilaki. Anak-anak inilah yang selanjutnya melahirkan raja-raja di Ende. Selanjutnya, masih ada mitos lain mengenai Sanga Kula yang dianggap sebagai penduduk pertama Ende. Ia menikah dengan seorang putri dari seberang yang terapung-apung dalam daun lontar.130 Negeri ini pernah diperintah oleh Raja Baba Pandi, yang menandatangani 130. Lihat Lintasan Sejarah Bumi Cendana, halaman 137. http://facebook.com/indonesiapustaka


140 Korte Verklaring pada 16 April 1861. Raja-raja lain yang memerintah Ende adalah Baba Kamapo, Baba Kalaro Dando, dan Pera Ringgo131. Menurut silsilah yang termuat dalam manuskrip Hans Hägerdal, silsilah leluhur raja-raja Ende adalah sebagai berikut: Sanga Indernaga–Sangar Dewa–Jawa–Jari Jawa (raja Ende pertama). Rangkaian penguasa Ende berikutnya adalah Raki Nggera, Marhaba, Ngi-i Ramo, Muli, Arubusman (–1851), Inderdewa, Arubusman (1861– 1895), dan La Usuf Pua Natek (La Usif, La Yusu, atau Pua Notek, 1896–1908). Selanjutnya, pada 1900, Raja La Usuf Pua Natek132 tercatat pernah menandatangani beberapa kontrak politik dengan Belanda, yaitu • Timor Verklaring pada 30 Agustus 1896 • Contract Betreffende Mijnrechten pada 10 Agustus 1900 • Verklaring Betreffende Belastingheffen pada 3 September 1901 Kerajaan Ende pernah diserang secara mendadak oleh Tanarea pada 3 Juli 1907. Dalam serangan tersebut, sekitar 1.000 rumah habis terbakar. Sementara itu, yang tersisa hanya 2 bangunan masjid serta tempat kediaman raja dan raja muda. Korban jiwa yang jatuh sebanyak 50 orang. Sekitar 14.000 orang berlarian mencari tempat perlindungan. Para pedagang asing yang terdiri dari orang China dan Melayu dengan jumlah keseluruhan 90 orang mengungsi ke Waingapu. Akibat serangan itu, toko-toko milik para pedagang China mengalami kerugian sebesar fl.300.000,-. Posthouder (Wakil pemerintah) Belanda yang bernama Rozet selamat dalam serangan itu, demikian pula dengan agen kapal Belanda, Charon. Akibatnya, Belanda memutuskan mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kapten H. Christoffel guna mengamankan Flores. Setelah Raja Pua Notek, yang berkuasa di Ende adalah Harun (1908–1909), Pua Meno Arubusman (1909–1923) yang menandatangani Korte Verklaring pada 31 Mei 1917, Busman Abdurrahman (1925–1947), dan Haji Hasan Arubusman (1949–1962). II. KANGAE Leluhur para penguasa Kangae konon berasal dari Siam Umalaya, yang kemudian berkelana ke Buju Boja Bara Laka, dan Wolon Mapar Gahar133. Ketika itu, terjadi bencana yang menyebabkan Rae Raja mengungsi dari Bangguala ke Bangladesh timur. 131. Lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, halaman 72. 132. Lihat Lintasan Sejarah Bumi Cendana, halaman 273. 133. Lihat Sistem Kemasyarakatan/ Sistem Pemerintahan Tradisional di Kabupaten Sikka, halaman 33. http://facebook.com/indonesiapustaka


141 Rombongan berlayar melalui Kamboja dan Malaka hingga akhirnya tiba di tempat terang benderang, yang ternyata adalah Wolon Mapar Gahar, Pulau Sumatera. Mereka kemudian menetap di sana. Sementara itu, Raja Kangae pertama, Moan Bemu Aja dipercaya sebagai anggota pasukan Raja Balaputradewa dari Sriwijaya yang berniat meluaskan wilayah kerajaannya ke kawasan Indonesia timur. Rombongan yang terdiri dari 70-80 orang itu berlayar ke Binaya Tena Tana Gorang Serang. Namun, mereka mengalami bencana alam di Binaya sehingga harus meninggalkan kawasan tersebut. Bemu Raja dan pengikutnya tiba di Soda Otang Watu Milok. Di sana ia berjumpa dengan Moan Puan Tana Puan Tawa Tana Moan Bogar beserta istrinya, Dua Pale Plapeng. Pasangan penguasa setempat itu memiliki putri tunggal bernama Dua Leha Ganu Ledan, yang dinikahkan dengan Bemu Aja. Selanjutnya, Bemu Aja diangkat sebagai Raja Kangae pertama. Semasa pemerintahannya, dibentuklah 11 wilayah hoak hewer (komunitas adat) yang masingmasing dipimpin oleh Tana Puang Gete, yakni Kringa, Weran, Wigete, Doreng, Hewakloang, Wolokoli, Ili, Wetakura, Nele, Kotin, dan Nita134. Tana Puang Gete merupakan pejabat pemerintahan setempat yang bertanggung jawab mengatur serta menyelesaikan permasalahan adat dan kemasyarakatan. Semenjak zaman Bemu Aja, Kerajaan Kangae telah memiliki pusaka kerajaan, antara lain terdiri dari gajak ahang (geraham gajah), deot (arca Buddha), piring sina tawu laka (piring, mangkuk, dan cangkir buatan China), serta tongkat lambang kekuasaan bernama Gai Koeng Ata Riwun Enak Legen Ata Ngasun. Urutan Raja Kangae berikutnya adalah Godo Eng Gawe, Ria Ian Bangu Tara Bogar, Sira Ria Rapa, Sia Sawu Nata Raga, Dea Manu Moan Lesu, Keu Lalan, Dara Bogar Jeu Jenga, Sasa Lai Gasang, Desa Mau Bago, Leti Gusi Bara Laka, Ehak Wuli Laka, Gesang Pari Neang, Lai Puan Garang Igor, Sugi Sao Bata Warat, Toing Tala, Padu Laju, Koro Kelan Mada Lelo, Pule Plaju Loreng Bala, Nago Raga Iga, Sia Naga, Laju Lodan Gada Goleng, Karung Koda Goleng, Sawu Beo Bapa Goleng, Sia Sona Kakun Goleng, Sua Sia Daru Mada, Sareng Balik, Bewat Bete Baring Bala, Hing Hila Hitong, Keu Iku, Leing Lusi, Rang Bata Sanggolo, Koro Watu Kelan, Mitan Koro, Bapa Li Nutur, Goleng Bapa, Keu Nago (1862–1902), dan Nai (Na’e) Juje (1902–1925). Raja Kangae terakhir, Nai Juje, tercatat menandatangani Korte Verklaring masing-masing 134. Lihat Sistem Kemasyarakatan/ Sistem Pemerintahan Tradisional di Kabupaten Sikka, halaman 37. http://facebook.com/indonesiapustaka


142 pada 9 Desember 1902 dan 8 Agustus 1907. Sewaktu Raja Nai Juje memasuki usia pensiunnya, Kerajaan Kangae dihapuskan pada 1925 dan digabungkan dengan Sikka. III. KEO Keo pernah diperintah oleh Raja Moewa Tanga (1913–1920) yang menandatangani Korte Verklaring pada 2 Maret 1918. Ia digantikan secara berturutan oleh Goa Tunga (1920–1930) dan Dato Bali (1930–1931). Kerajaan Keo kemudian disatukan dengan Nage dan membentuk kerajaan gabungan Nage-Keo. IV. LARANTUKA a. Cikal Bakal dan Perkembangan Kerajaan Larantuka Cikal bakal Kerajaan Larantuka adalah Paji Golo Arakiang yang menikah dengan Watuwele. Menurut salah satu versi cerita, pada zaman dahulu di Gunung Ilemandiri hiduplah dua orang kakak beradik, yakni Lenurat dan saudarinya bernama Watuwele. Anehnya, sekujur tubuh mereka ditumbuhi bulu dan memiliki kuku yang panjang. Konon, Lenurat dilahirkan di Gunung Ilemandiri dan pada rambut di sekujur tubuhnya bersarang ular beserta kadal. Mereka menyambung hidupnya dengan berburu binatang di hutan. Suatu kali, Watuwele pergi ke arah timur dan menetap di Woto, sedangkan saudaranya Lenurat berdiam di Likat Lamaboting Awo Lama Bunung. Pada masa itu, belum ada manusia di kawasan tersebut. Namun, belakangan di daerah pantai muncul dan menetap kaum pendatang yang berasal dari suku Paji. Mereka mulanya belum mengetahui keberadaan Lenurat dan Watuwele. Suatu malam, salah seorang gadis dari suku Paji bernama Hadu Boleng Toniba Duli melihat api di puncak gunung. Ia mengutus saudaranya bernama Paji Golo Arakiang untuk menyelidikinya. Ternyata di sana ia menjumpai tungku api yang telah padam beserta onggokan abu dan arang. Untuk menghindari bahaya, Paji Golo Arakiang memanjat sebatang pohon. Tidak berapa lama kemudian, Watuwele pulang dari berburu. Segera ia menyadari kehadiran orang asing dan melihat Paji Golo Arakiang yang sedang berada di atas pohon. Watuwele berjanji tidak akan menyakiti Paji Golo Arakiang sehingga ia bersedia turun dari pohon itu. Mereka kemudian menyalakan api dan memanggang binatang buruan yang diperoleh Watuwele. Paji Golo Arakiang menyajikan arak yang dibawanya. Karena minum terlalu banyak, Watuwele menjadi mabuk dan tertidur http://facebook.com/indonesiapustaka


143 lelap. Kesempatan ini dipergunakan oleh Paji Golo Arakiang untuk mencukur rambut di sekujur tubuh Watuwele sehingga ketahuan bahwa ia adalah seorang wanita. Mereka akhirnya menikah dan menjadi leluhur raja-raja Larantuka. Sementara itu, Lenurat menikah dengan seorang gadis Paji bernama Hadu Boleng Toniba Duli dan menurunkan penduduk Larantuka. Meskipun demikian, masih ada versi cerita lain yang meriwayatkan bahwa nenek moyang raja-raja Larantuka adalah burung garuda135 dari Gunung Ilemandiri. Paji Golo Arakiang memiliki anak bernama Padu Ile Pook Wolo, Watowele Dole, Kudi Lelenbalu, dan Lopapan Doro Duli. Padu Ile Pook Wolo berputra Sira Demon, yang merupakan Raja Larantuka pertama. Selanjutnya, raja-raja yang memerintah Larantuka adalah Patigolo Lobalu, Mauboli, Sirapain, dan Siranapan. Siranapan memiliki dua orang putra yang bernama Igo dan Enga. Igo menjadi Raja Larantuka keenam. Ia digantikan secara berturut-turut oleh Adowurin dan Adobala136. Raja Larantuka kesembilan yang menggantikan Adobala, Ola Ado Bala, merupakan Raja Larantuka pertama yang menganut agama Katolik dan dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Ado Bala Diaz Vieira de Godinho (1645–1680) pada 1665137. Ia merupakan penguasa Larantuka yang mengawali upacara prosesi peletakan tongkat kerajaan berkepala emas pada patung Bunda Maria Reinha Rosari saat hari Jumat Agung. Upacara ini melambangkan bahwa penguasa Larantuka yang sebenarnya adalah Bunda Maria Reinha Rosari, sedangkan para raja Larantuka hanyalah wakilnya di muka bumi. Meskipun demikian, menurut sumber lainnya, penguasa Larantuka yang pertama dibaptis adalah Constantino Payao (wafat 1661), yang menjadi wakil raja selama Ola Ado Bala belum dewasa. Tongkat kerajaan berkepala emas itu diterima dari Constantino pada 1661. Masih menurut sumber yang sama, Ola Ado Bala dibaptis pada 1635138. Tatkala Raja Usi Nenno mewarisi singgasana dengan gelar Don Lorenzo II (1882–1910) pada 1882, ia memulai lagi upacara yang telah ditetapkan leluhurnya itu sehingga Larantuka secara resmi dikenal sebagai “Kota Reinha Rosari” dan menyatakan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka pada 8 September 1886. Rangkaian raja-raja Larantuka setelah Raja Don Fransisco Ola Ado Bala Diaz Vieira de 135. Garuda merupakan burung mitologis yang penting dalam agama Hindu. Oleh karenanya, cerita rakyat ini mencerminkan pengaruh Hindu yang dalam hal ini kemungkinan diwakili oleh Kerajaan Majapahit. 136. Lihat Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor, halaman 205-206. 137. Menurut buku Lintasan Sejarah Bumi Cendana, halaman 127, raja dibaptis pada 1645 dengan nama baptis Don Constantino. 138. Lihat “Be my Witness to the Ends of the Earth!”, halaman 155. http://facebook.com/indonesiapustaka


144 Godinho hingga Don Lorenzo II adalah sebagai berikut: Don Gaspar I (1680–1750), Don Manuel (1750–1812), Don Andre I (± 1812), Ratu Dona Lorenza Gonsalvi (± 1820), Don Lorenzo I (± 1830–1849), Don Andre II (1849–1861), Don Gaspar II (1861–1877), Don Domingo (1877–1882), dan Don Lorenzo II (Lorenzo Usi, memerintah 1882–1910). Sebagai catatan, Don Gaspar II merupakan Raja Larantuka yang menandatangani Lange Verklaring dan Akte van Bevestiging en Verklaring bersama raja-raja lainnya pada 28 Juni 1861. Raja Don Lorenzo II melakukan perlawanan terhadap Belanda pada 1901. Namun, Belanda berhasil mengalahkannya dan menawan raja serta mengasingkannya ke Yogyakarta, tempat ia wafat pada 1910. Sebagai penggantinya, diangkat kerabat raja yang bernama Don Luis Blantaran de Rozari (1910–1912). Semasa pemerintahannya, Belanda menyodori kontrak politik berupa Contract Betreffende Mijnrechten yang ditandatangani raja pada 16 Desember 1912. Namun, raja ini hanya sempat berkuasa dua tahun saja dan setelah itu meninggal. Oleh karenanya, putra Raja Don Lorenzo yang bernama Don Ohannus Servus Diaz Vieira de Godinho (1912–1919) diangkat sebagai penguasa Larantuka yang baru pada 1912. Ia diwajibkan menandatangani Korte Verklaring pada 17 Januari 1912. Raja-raja Larantuka berikutnya hingga masa era kemerdekaan adalah Don Antonio Blantaran de Rozari (1919–1941) dan Don Lorenzo III (1941–1962). J.J. Hangelbroek yang pernah menjadi kontrolir di Larantuka mencatat bahwa Don Antonio Blantaran de Rozari merupakan pejabat pengganti raja sebelumnya, yang dipaksa turun tahta. Waktu itu, dua orang putra raja masih di bawah umur sehingga Don Antonio yang mengambil alih tampuk pemerintahan. Meskipun demikian, pada 1937–1938 mereka telah dewasa dan Don Antonio bermaksud menyerahkan singgasana pada Don Lorenzo Diaz Vieira de Godinho (Don Lorenzo III), putra tertua raja sebelumnya. Dia mulai memerintah pada 1938. Di tahun yang sama, Don Lorenzo menikahi seorang putri Sikka. Masih berdasarkan catatan Hangelbroek, raja berusia muda itu tidak mempunyai tempat kediaman bagi dirinya dan istrinya. Oleh karenanya, dihimbau agar rakyat dan para penguasa bawahan menyumbangkan tenaga ataupun bahan bangunan139. 139. Lihat Kenang-kenangan Pangrehpraja Belanda 1920–1942, halaman 150–151. http://facebook.com/indonesiapustaka


145 b. Pengungsian Orang-orang Portugis ke Larantuka Ketika Kerajaan Gowa Tallo mengalami kekalahan dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667, Para pedagang Portugis yang beragama Katolik dipaksa meninggalkan Makassar. Mereka memilih Larantuka sebagai tujuan utama pengungsian mereka. Dengan segera terjadilah arus pengungsian besar-besaran ke kawasan tersebut. Di antaranya terdapat seorang pedagang kaya dan berpengaruh bernama Fransisco Vieira de Figueiredo. Ia menjalin persahabatan yang erat dengan Sultan Hasanuddin dari Makassar dan bahkan menikah dengan saudara perempuan sultan yang telah menganut agama Katolik bernama Dona Jasinta da Costa. Setelah istri pertamanya meninggal, ia menikah lagi dengan saudari sultan lainnya yang bernama Dona Catarina de Noronha. Kaum pengungsi keturunan Portugis ini kemudian menikah dengan penduduk asli Larantuka dan membentuk salah satu elemen penting masyarakat di sana. Salah satu jejak bagi pengaruh Portugis di kawasan tersebut adalah dapat dijumpainya nama-nama keluarga Portugis, seperti da Costa, da Hornay, da Silva, da Cunha, da Rosari, Parera, de Santo, da Crus, dan lain sebagainya. Kedatangan kaum pengungsi Portugis ini juga berpengaruh terhadap perkembangan gereja Katolik di Larantuka. c. Sistem Pemerintahan Kerajaan Larantuka Kekuasaan tertinggi berada di tangan seorang raja dengan dibantu oleh wakilnya yang disebut raja bantu. Selain itu, ia masih dibantu pula pejabat bidang kemiliteran yang terdiri dari kepala perang (bertanggung jawab atas angkatan darat) dan kepala laut (bertanggung jawab atas angkatan laut). Ada pula dua pejabat bergelar kapitan, yang berasal dari keluarga dekat raja, dan dua pejabat lagi bergelar kapitein, yang berasal dari keluarga Fernandes. Raja, raja bantu, dua kapitan, dan dua kapitein, ini membentuk suatu dewan kerajaan. Mereka mengambil keputusan setelah mendengarkan masukan dari 5 kepala suku (paoe suku lema). Wilayah Kerajaan Larantuka dibagi atas 10 daerah yang disebut kakang. Sebutannya adalah Demon Lewo Pulo atau Kakang Lewo Pulo, dan terdiri dari: 1. Pamakayo (Lewolein) 2. Lewoingu (Lewolaga) 3. Mudakaputu 4. Lewo Leba 5. Tana Boleng http://facebook.com/indonesiapustaka


146 6. Horowura 7. Lama Lera 8. Wolo 9. Lewo Tobi 10. Lewo Tala Raja Larantuka sendiri bergelar Raja Koten Demon Lewo Pulo. Sementara itu, wakilnya atau raja bantu bergelar Raja Kelen Demon Lewo Pulo. V. LIO dan LISE Merupakan salah satu negeri di kawasan Ende Lio. Di negeri ini, pemerintahan dibagi dalam berbagai tanah persekutuan dengan para mosalaki atau ria bewa sebagai pemimpin tertingginya. Orang-orang Lio hidup di kampung-kampung yang merupakan kelompok kesatuan adat dan kekerabatan serta menjadi inti suatu tanah persekutuan. Mosalaki merupakan para pemimpin yang mengemban kekuasaan dalam bidang politik, sosial, dan keagamaan. Di Lise terdapat lima persekutuan adat, yang disebut Lise Detu, Lise Bora, Lise Gonde, Lise Kura, dan Lise Lande. Lebih jauh lagi, di Lise Detu sendiri masih dibagi pula menjadi lima kunu (persekutuan) yang disebut Lise Kunu Lima, yakni Kunu Lise, Kunu Mbuli (Mbuli Wara Lau dan Mbuli Wara Gela), Kunu Moni, Kunu Wolojita, dan Kunu Nggela140. Pada 1924, Lise Kunu Lima, Ndona, dan Boafeo disatukan di bawah Swapraja Lio yang dipimpin oleh Raja Pius Rasi Wangge. Dia menandatangani Korte Verklaring masing-masing pada 21 Mei 1917 dan 26 Desember 1925. Raja Pius Rasi Wangge pernah dituduh terlibat dalam suatu pembunuhan. Oleh karenanya, ia dijatuhi 10 tahun hukuman pengasingan ke Kupang, namun diam-diam berhasil kembali ke Lio. Perlawanan terhadap Belanda kemudian dilancarkannya dengan dukungan penduduk Kampung Wonolele. Belanda terpaksa mengerahkan beberapa ratus pasukannya guna memadamkan pergolakan ini. Bahkan kepala Pius Rasi Wangge saat itu dihargai fl.100,-. Kampung Wonolele lalu dibakar dan diluluhlantakkan oleh Belanda. Namun, Pius Rasi Wangge dapat meloloskan diri. Dengan licik Belanda menyandera keluarga raja dan melontarkan ancaman bila Pius Rasi Wangge tidak 140. Lihat Lintasan Sejarah Bumi Cendana, halaman 138. http://facebook.com/indonesiapustaka


147 bersedia menyerahkan dirinya, mereka semua akan ditembak mati. Ternyata, tidak lama kemudian Jepang menduduki Lio sehingga Belanda tidak sempat menangkap mantan Raja Lio ini. Setelah Jepang menyerah kalah dan Belanda menduduki Lio kembali dengan membonceng tentara Sekutu, barulah Pius Rasi Wangge dapat ditangkap serta dijatuhi hukuman mati di Kupang. Sepeninggal Raja Pius Rasi Wangge, yang berkuasa di Lio adalah Johan Christiaan Rambing (1940–1942) dan Markus Kunu Nduri (1947–1956). VI. MANGGARAI a. Cikal Bakal Berbagai Kerajaan di Manggarai Kerajaan di kawasan Manggarai, Nusa Tenggara Barat, sebenarnya terdiri dari beberapa kerajaan kecil yang juga disebut adak, seperti Todo, Cibal, Pongkor, Bajo, dan lain sebagainya. Cerita hikayat menghubungkan cikal bakal Kerajaan Todo dengan seorang tokoh dari Minangkabau bernama Dato Mashur (terkadang juga disebut Empo atau Karaeng Mashur). Tokoh ini meninggalkan kampung halamannya di Pagarruyung karena terlibat perselisihan dengan saudara-saudaranya mengenai siapa yang pantas menjadi raja di sana. Akhirnya, saudara mereka yang bungsu dinobatkan menjadi raja sehingga Dato Mashur beserta pengikutnya memutuskan untuk pergi mengembara. Ia disertai oleh saudara lelakinya bernama Mohametali, saudara perempuannya bernama Kembang Emas, juragan perahu bernama Perkita Jermia, dan awak kapal lainnya. Pada mulanya, mereka merantau ke arah timur, menuju ke Kerajaan Majampait (Majapahit) karena Dato Mashur masih kerabat penguasa kerajaan tersebut. Oleh penguasa Majapahit, Dato Mashur diwarisi berbagai pusaka, seperti panji segiempat berwarna kuning dengan gambar kapal layar mengarungi samudera, panji kuning segitiga bergambar bulan bintang, serta dua bilah pedang. Makna penganugerahan pusaka-pusaka itu adalah pemberian restu bagi Dato Mashur untuk menguasai dan mengarungi lautan di timur Majapahit. Rombongan akhirnya mendarat di Wareloka, namun terpaksa mengungsi ke daerah pendalaman karena berjangkitnya wabah penyakit di sana. Belakangan, rombongan ini terpecah menjadi tiga, rombongan pertama pindah ke pemukiman Manong, rombongan Perkita Jermina pindah ke Kilor, dan rombongan Dato Mashur berpindah ke Poco Weri Ata. Rombongan Dato Mashur dengan giat membuka hutan di daerah itu guna dijadikan tempat pemukiman dan areal pertanian. http://facebook.com/indonesiapustaka


148 Dato Mashur jatuh cinta dan menikah dengan gadis setempat bernama Rewung Ngoel. Oleh mertuanya, Mashur diajak pindah dari tempat tersebut, namun dia tolak karena ingin mendirikan tempat pemukimannya sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, Mashur menemukan kawasan yang cocok dengan keinginan hatinya dan menamakannya Todo Koe. Tempat pemukiman ini lalu agak bergeser letaknya ke arah barat dan disebut Todo saja. Inilah asal muasal Kerajaan (Adak) Todo. Mashur mempunyai empat orang putra bernama Kraeng Ra Ratung Masa, Kraeng Wakelaut (Wakelau), Kraeng Hormat, dan Kraeng Selatan. Kraeng Ra Ratung Masa kemudian menjadi raja pertama Todo dengan gelar Kraeng Lolo Bali. Sementara itu, putra-putra Mashur lainnya melakukan ekspansi perluasan wilayah dan berhasil menaklukkan beberapa kerajaan-kerajaan lainnya. Untuk memperkuat pertahanan Todo, dibangunlah berbagai benteng, seperti di Pau Wae, Pa’ang Raci, Wae Kukur, Golo Nawang, dan Pongkor. Kerajaan Todo lalu mengadakan persekutuan dengan Pongkor sehingga terbentuklah kerajaan kembar Todo Pongkor (seperti Kerajaan Gowa Tallo di Sulawesi Selatan). Raja Todo lebih banyak memegang urusan spiritual (magis), sedangkan Raja Pongkor mengurusi masalah pemerintahan kerajaan. Kraeng Ra Ratung Masa digantikan oleh Ilang, putra Kraeng Wakelaut. Ia digantikan oleh Ilang Randut, cucu Kraeng Hormat. Penggantinya adalah Tuluk, putra Ilang Randut. Raja-raja Todo selanjutnya adalah Mbohong (putra Tuluk), Paku (saudara Mbohong), Bale (Pahu, putra Mbohong), Taluk (putra Paku, 1901–1909), dan Tamur (1909–1921). Putra Raja Tamur bernama Aleksander Baruk yang kelak menjadi kepala Swapraja Manggarai tercatat menuntut ilmu di Schakelschool, Endeh141. Pada masa pemerintahan Raja Ilang Randut, tepatnya pada 1729, terjadi pertempuran antara Todo dan Cibal. Ketika itu pasukan Cibal hendak menghancurkan Mbaru Niang Dangka Todo (istana Kerajaan Todo), yang ketika itu masih berbentuk seperti rumah gadang Minangkabau. Raja Ilang Randut melarikan diri dengan tergesa-gesa tanpa sempat membawa serta istrinya, yang ketika itu bersembunyi di bawah palungan babi. Pasukan Cibal hendak membakar Niang Dangka tetapi gagal. Mereka lantas membujuk istri Raja Ilang Randut memberitahukan rahasia bagaimana membakar Niang Dangka dengan janji bahwa dirinya akan dibebaskan. Ternyata cara membakar Niang Dangka adalah dengan membungkusnya menggunakan kain putih. Setelah istana terbakar, istri Raja Ilang Randut malah dilemparkan ke dalam api yang berkobar141. Lihat Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 1915–1950, halaman 261. http://facebook.com/indonesiapustaka


149 kobar. Ia lantas mengutuk pasukan Cibal dan mengatakan bahwa mereka kelak juga akan dikalahkan oleh kerajaan lain. Kutukan ini terpenuhi tiga puluh tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1760, Cibal dikalahkan oleh Papu dengan bantuan Bima142. Leluhur Kerajaan Cibal adalah seorang pendatang dari Turki bernama Tamelo. Ia konon mendarat di Nanga Rawa. Setelah beberapa kali berpindah tempat kediaman, ia menetap di Mando Sawu. Tamelo menikah dengan seorang putri setempat bernama Jelmone dan dikaruniai dua orang anak bernama Tekele dan Tekelau. Tekele menurunkan seorang tokoh bernama Rendong Mataleso, yang menjadi leluhur rajaraja Cibal. Rendong Mataleso memiliki putra-putra bernama Mubla, Ingkal, Paju, Longko, Wucur, Poca, Kamping, dan Maja. Paju menjadi dalu (raja) Cibal berikutnya. Selanjutnya Cibal diperintah oleh empat putra Paju, yakni Paja, Pangge Tande, Gande Ame Rambe, dan Pasat. Kemudian, Cibal diperintah bersama oleh Dapang Lando Kakor Nalo Holes dan Touk Ame Tara. Rangkaian para dalu yang memerintah Cibal selanjutnya adalah Ponjung Ame Gater, Ugal Ame Sumpak, Ngampot, Bako, dan Lambe (±1915). Silsilah Kerajaan Lambaleda merunut kepada seorang tokoh bernama Mbula. Kerajaan Riwu merunut kepada tokoh bernama Ingkal. Longko merupakan cikal bakal Kerajaan Carep. Wucur dianggap sebagai leluhur Kerajaan Ngkaer. Poca merupakan nenek moyang Kerajaan Desu. Kerajaan Sita memiliki leluhur bernama Kamping. Sementara itu, seorang tokoh bernama Maja dianggap sebagai cikal bakal Kerajaan Kolang atau Torok. Demikianlah nama-nama leluhur atau cikal bakal berbagai kerajaan di kawasan Manggarai. Masih ada lagi Kerajaan Bajo yang didirikan oleh para pendatang dari Mamboro, Sumba. Sumber pertama, menyebutkan bahwa Raja Bajo pertama adalah Mesa (Ama Keka), yang digantikan secara berturut-turut oleh Lali, Kota, Bagung, Rappang, Jamaha, Mage (–1926), dan Hasa (1926–1930). Selain itu, masih ada daftar raja-raja Bajo yang agak berbeda, yaitu Raru (pendatang dari Sumbawa), Benda, Keka, Nggesu, Bagung, Gelak, Rapang Jumahan Mage, dan Hassan. b. Perkembangan Kerajaan Manggarai Pada 1626, Kerajaan Gowa Tallo melakukan ekspedisi militer ke kawasan Nusa Tenggara. Dengan kekuatan 400 kapal perang bersenjatakan meriam, Raja Gowa keempat belas, I Mangngarangngi Daeng Manra’bia yang bergelar Sultan Alaudin 142. Lihat Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja, halaman 23. http://facebook.com/indonesiapustaka


150 (1593–1639) beserta perdana menterinya, Karaeng Matoaya (merangkap sebagai Raja Tallo), berhasil menanamkan hegemoninya di kawasan Manggarai. Ekspedisi ini juga disertai dengan penyebaran agama Islam di bawah pimpinan ulama terkenal bernama Dato ri Bandang asal Minangkabau. Peristiwa ini merupakan awal mula pengaruh Makassar di Manggarai. Kerajaan Gowa menempatkan wakilnya di Reo, sedangkan Raja Tallo yang menjadi perdana menteri Raja Gowa mengendalikan langsung pemerintahan yang berada di bawah pimpinan para dalu di Manggarai. Bukti lain pengaruh Makassar ini adalah pendirian Kerajaan Sepang oleh seorang pangeran dari Gowa. Kerajaan ini berpusat di desa tua Jemali dan Langke Ngandong. Seorang saudagar keturunan Makassar bernama Ankoda Salee berhasil memonopoli perdagangan budak di Manggarai. Bahkan, ia mengharuskan penduduk asli menyerahkan budak kepadanya. Setelah pudarnya pamor Kerajaan Gowa Tallo akibat kekalahannya terhadap VOC pada 1667, Kerajaan Bima dari Sumbawa Timur bangkit menguasai Manggarai utara dan menempatkan beberapa pejabat sebagai wakil sultan di Reo. Para pejabat Bima yang ditempatkan di Reo, pusat kekuasaan Bima di kawasan Manggarai, mencatat mengenai wilayah kekuasaan Bima di pulau tersebut dalam bahasa Melayu. Berdasarkan laporan itu, diketahui keberadaan suatu kerajaan pribumi Manggarai yang beribu kota di Cibal, Flores Barat bagian tengah. Mereka melaporkan pula bahwa pada kurang lebih pada 1666, Makassar mencoba menguasai bagian selatan Flores Barat. Penduduk di sana dikatakan telah banyak menganut agama Islam berkat kehadiran pada pendatang Minangkabau. Pada 1762, Kerajaan Bima berhasil mengusir orang Makassar dari Bima bagian selatan dan menaklukkan pula Kerajaan Manggarai asli yang berpusat di Cibal. Saat itu, Sultan Abdul Kadim (1751–1773) dari Bima memimpin sendiri ekspedisi militer yang dilancarkan pada 26 Oktober 1762 guna menegakkan hegemoni Bima di sana. Pada kesempatan itu, berhasil ditaklukkan beberapa pembesar dan petinggi Manggarai, seperti Kraeng Baloe, Daeng Makuli, Daeng Memorul, Papu Daeng Mangimbang, dan Daeng Melajar. Kendati demikian, Bima tidak pernah menjadikan Manggarai sebagai jajahannya secara langsung. Setelah penaklukan usai, sultan mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan aturan adat. Sebagai tindak lanjut, pada 1783 diadakan perjanjian antara Bima dengan para dalu di Manggarai, yakni Todo, Cibal, http://facebook.com/indonesiapustaka


151 Lelak, Leda, Riwu, Ranggatui, Rangga Kuta, Sita, Ruteng, Danggia, Ragu, Bajo, Munti, Wuntu, Longgo, dan Kampu. Agar kekuasaan Bima makin kokoh di Manggarai, Sultan Abdul Hamid dari Bima menetapkan aturan-aturan sebagai berikut pada 17 April 1789: • Dalu Cibal dan Leda dilarang melakukan hubungan perniagaan dengan pihak manapun selain Bima. • Seluruh pemimpin dalu di Manggarai tak diperkenankan menjatuhkan hukuman tanpa sepengetahuan wakil Sultan Bima di Reo. • Seluruh dalu tak boleh mengistimewakan orang-orang Bugis dan Makassar. • Rakyat Manggarai dilarang membuat senjata berat. • Rakyat Manggarai tidak diperkenankan berlaku tidak hormat atau menghina putra Sultan Bima ataupun pejabat Bima yang ditempatkan di sana. • Orang Bima, Bugis, dan Makassar yang telah menikah dengan penduduk asli tidak diperkenankan tinggal di pedalaman, melainkan diwajibkan pindah ke daerah pesisir, seperti Reo, Pota, Bari, dan lain sebagainya. Semenjak permulaan abad 19, kekuasaan Bima di Flores mulai mengalami kemunduran, terutama akibat letusan Gunung Tambora pada 1815. Kekuasaan Bima atas Manggarai tidak sepenuhnya diterima dengan tangan terbuka oleh para pemimpin Manggarai. Kerap terjadi perlawanan terhadap Bima yang dilakukan para dalu, seperti Todo, Bajo, dan Leda. Bahkan dalam salah satu perlawanan, seorang pejabat Bima terbunuh dan dimakamkan di Riung. Akhirnya dengan bantuan Belanda, Manggarai berhasil menghalau seluruh orang-orang Bima dari negerinya. Tentu saja, bantuan yang diberikan terhadap Manggarai itu tidaklah cuma-cuma dan harus dibayar dengan penandatanganan kontrak politik antara raja-rajanya dengan Belanda yang berarti pengakuan kedaulatan Belanda atas negeri mereka. Demikianlah, mulai tahun 1907, Manggarai menjadi bagian Hindia Belanda. c. Perlawanan Terhadap Belanda di Manggarai Bersamaan dengan masuknya pengaruh Belanda itu, timbul perlawanan yang dipimpin oleh Kraeng Motang Rua. Untuk memadamkan pemberontakan, pada 18 Oktober 1907 pemerintah kolonial mengutus Kapten H Christoffel dan Letnan G.D. Spander dengan dibantu oleh Letnan Saragouw serta Saymina memimpin pasukan yang berjumlah kurang lebih 50 orang. Mereka berangkat dari markas pasukan Belanda http://facebook.com/indonesiapustaka


152 di Ende. Pasukan mendarat di Mborong dan pada 19 Oktober 1907 dan melanjutkan perjalanannya ke Ruteng, ibukota Manggarai. Tujuan ekspedisi militer adalah menangkap Kraeng Beo Ame Enggong dan Kraeng Wanggur yang dianggap sebagai tokoh pemberontakan. Karena serangan Belanda yang mendadak ini, Kraeng Beo Ame Enggong berhasil ditangkap oleh Belanda. Namun, karena terbukti tidak bersalah, tokoh ini dilepaskan kembali. Pasukan Belanda yang sudah dikirimkan ke Manggarai kemudian melanjutkan tugasnya menangkap Kraeng Motang Rua yang masih melakukan perlawanan. Kendati demikian, pasukan Belanda yang dipimpin Manafe Tallo mengalami kekalahan. Karenanya, Belanda mengirimkan ekspedisi kedua pada 15 Juni 1908 dengan kekuatan 120 orang yang didukung oleh 60 orang tahanan. Pada pertempuran yang terjadi di Copu, pasukan Kraeng Motang Rua giliran mengalami kekalahan. Kendati demikian, Kraeng Motang Rua masih tidak sudi menyerah kepada Belanda dan meneruskan perlawanan. Karena itu, Belanda menggunakan akal licik dan berhasil menangkapnya. Kraeng Motang Rua lalu diasingkan ke Kupang pada 1908, dan selanjutnya dipindahkan ke Bima dan Nusakambangan. Ia dipindahkan lagi secara berturut-turut ke penjara Cipinang–Jakarta (1912), Palembang (1919), dan Aceh (1923). d. Pembentukan Kerajaan atau Swapraja Manggarai Agar tatanan pemerintahan di Manggarai berjalan lebih efektif, Belanda mengeluarkan keputusan berupa besluit no.19 tertanggal 2 Mei 1924, yang isinya terkait pembentukan suatu swapraja di kawasan Manggarai dengan Karaeng Bagung, putra sulung adak Pongkor Karaeng Wanggur Laki Tekek Laki Mangir, sebagai rajanya yang pertama (1924–1930). Karaeng Bagung kemudian menandatangani Korte Verklaring pada 20 Desember 1928143. Berdirinya Swapraja Manggarai tak terlepas pula dari aspirasi rakyat Manggarai yang ingin memiliki rajanya sendiri. Kerajaan yang baru dibentuk ini membawahi 38 dalu, yakni144 Bajo, Matawae, Lo’ok, Mboerak, Kempo, Nggerang, Boleng, Pacar, Bar, Rembong, Todo, Pongkor, Wontong, Welak, Lelak, Kolang, Ndesse, Rahong, Rego, Nggalak, Pasat, Roeis, Reo, Cibal, Lambaleda, Pota, Congkar, Biting, Roeteng, Ndehes, Pocoleok, Torok Golo, Sita, Riwu, Manoes, Ronggakoe, Kepo, dan Rajong. Raja Bagung berjasa memajukan perkembunan kopi arabika di Manggarai. Berkatnya, kopi Manggarai mendapatkan tempat di pasaran 143. Lihat Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 1915–1950, halaman 166. 144. Lihat Lintasan Sejarah Bumi Cendana, halaman 316–317. http://facebook.com/indonesiapustaka


153 dunia dan dikenal sebagai Flores coffee145. Berikutnya, semasa Jepang menduduki Manggarai, yang menjadi raja di swapraja ini adalah Aleksander Baruk146 (1930–1949). Jasa Raja Aleksander Baruk adalah meningkatkan pertanian di Manggarai sehingga teknologinya tidak lagi kalah dengan Bali dan Jawa. Dia membawa dan memimpin para dalu mengunjungi serta mempelajari teknik pertanian di Bima, Lombok, dan Bali147. Ia kemudian digantikan oleh Konstantinus Ngambut (1949–1960). e. Struktur Pemerintahan Dalam menjalankan pemerintahannya, para penguasa Kerajaan Todo Pongkor dibantu oleh dewan kerajaan yang disebut Kraeng Niang Adak Panga Alo dan beranggotakan Niang Nowang, Niang Lodok, Niang Keka, Niang Rato, Niang Asi, Niang Mongko, Niang Toto Bicar, serta Niang Dopo. Selain itu masih ada lagi Niang Supe yang mengurusi rumah tangga kerajaan dan Niang Teruk dengan tugasnya menangani koordinasi antara satuan wilayah kerajaan yang disebut dalu dan glarang. Wilayah Kerajaan Todo Pongkor dibagi menjadi 13 dalu dan 11 glarang. Pembagian ini dikenal dengan istilah dalu campulu telu gelarang campulu ca. Raja Todo lebih menitikberatkan pemerintahan 6 dalu di sebelah barat Manggarai, yakni Lelak, Wontong, Welak, Kolang, Ndoso, serta Rahong, dan demikian pula dengan tujuh glarang, yakni Popo, Kole, Gulung, Renda, Muku Tee, Denge, dan Kende. Sedangkan Raja Pongkor memusatkan perhatiannya pada 7 dalu di sebelah timur Manggarai, yaitu Pocoleok, Torok Golo, Riwu, Ndehes, Manus, Sita, dan Ruteng beserta empat glarang, yakni Nao, Papang, Wewo, dan Nggorop. Sebagai tambahan, dalu Manus masih dibagi menjadi empat dalu lagi, yakni Kepo, Rajong, Rongga, dan Koe. Kerajaan Manggarai yang berpusat di Cibal masih terbagi menjadi dua bagian, yakni Reo dan Patta. Selain itu, masih ada pembagian lagi menjadi 39 daerah kecil yang disebut dalu. Lima dalu besar dan tujuh dalu kecil tergabung dalam Reo; sementara itu, tiga dalu besar dan tujuh dalu kecil bergabung dengan Patta. Sisanya tidak tergabung dengan keduanya. Masing-masing dalu dibagi menjadi beberapa glarang yang terbagi kembali menjadi sejumlah desa atau beo. Tiap dalu dikuasai oleh suatu klan atau keluarga tertentu yang disebut wau, dimana mereka menganggap dirinya sebagai bangsawan. Klan-klan yang berkuasa tersebut mengadakan perkawinan dengan klan di dalu lainnya. Oleh karena itu, mereka memandang satu sama lain sebagai kawan 145. Lihat Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja, halaman 26. 146. Lihat Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945 s/d 1949) Daerah Nusa Tenggara Timur, halaman 29. 147. Lihat Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja, halaman 27. http://facebook.com/indonesiapustaka


154 atau saudara menurut adat. Seperti dalu, glarang juga diperintah oleh suatu klan yang berkuasa. Kendati berada di bawah kekuasaan dalu, namun dalam hal pertanahan glarang bersifat otonom. Dengan kata lain, dalu tidak berhak mencampuri masalah pertanahan glarang. Klan bangsawan penguasa glarang tidak mempunyai hubungan dengan penguasa dalu. Meskipun demikian, terkadang ada juga hubungan kekerabatan melalui pernikahan. Semasa Bima masih menguasai Manggarai, ada beberapa dalu yang tunduk pada Kerajaan Bima. Namun, setelah Belanda berkuasa di sana, salah seorang kepala dalu, yakni penguasa dalu Todo, diangkat sebagai raja bagi seluruh Manggarai. Kepala dalu digelari kraeng atau kraeng adak. Sementara itu, penguasa dalu yang terpenting, seperti kepala dalu Todo, digelari sangaji atau raja. Pejabat-pejabat kerajaan yang terpenting antara lain tu’a tana (arti harfiah: tuan tanah). Ia adalah ahli mengenai tanah secara adat sehingga harus memiliki pengetahuan luas mengenai bidang-bidang tanah masing-masing klan. Kendati demikian, jabatan ini diwariskan turun temurun sehingga akhirnya ada tu’a tana yang hanya menyadang gelar saja tanpa mempunyai pengetahuan memadai. Pejabat penting lainnya adalah raja bicara. Ia bertugas sebagai juru bicara atau ahli diplomasi. Tugasnya menjadi perantara antara masing-masing klan; umpamanya dalam merundingkan mas kawin (paca wina) bila hendak dilangsungkan perkawinan di antara mereka. Kedua pejabat kerajaan ini ada pada tingkatan kerajaan, dalu, maupun glarang. f. Sosial Kemasyarakatan Masyarakat Manggarai dibagi menjadi tiga golongan, yakni bangsawan (kraeng), rakyat kebanyakan (ata lehe), dan budak. Kaum bangsawan adalah penguasa dalu dan glarang. Mereka adalah kaum atau klan yang dianggap telah menguasai suatu tanah atau kawasan semenjak zaman dahulu berdasarkan catatan sejarah, mitologi, atau legenda sehingga dianggap lebih tua. Rakyat kebanyakan adalah mereka yang bukan keturunan klan bangsawan dan biasanya bermata pencaharian sebagai petani, pekerja, dan pedagang. Meskipun demikian, ada pula keturunan bangsawan yang dalam kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai petani. Golongan budak adalah mereka yang ditangkap dalam peperangan, baik berasal dalu-nya sendiri atau dalu dan pulau lain. Orang yang terjerat hutang dan tak sanggup membayar juga dapat terjerumus ke dalam perbudakan. Mereka yang dianggap melanggar adat mungkin pula dijatuhi hukuman dengan menjadi budak. Tentu saja pada zaman sekarang, golongan budak sudah tidak ada lagi. Perbedaan gaya hidup antara ketiga golongan itu boleh dikatakan http://facebook.com/indonesiapustaka


155 tidak ada dan hanya berlaku dalam tata cara atau sopan santun dalam pergaulan. Kaum bangsawan mempunyai hak-hak istimewa dalam upacara-upacara adat saja. g. Kepercayaan Warga Manggarai ada yang telah menganut agama Islam, terutama di kawasan utara, barat, dan selatan. Sementara itu, di kawasan sebelah timur banyak yang memeluk agama Katolik, seperti penduduk Flores umumnya. Kendati demikian, masih ada penduduk di dalu-dalu besar, seperti Todo, Cibal, dan Pongkor yang mempertahankan kepercayaan leluhurnya. Warga yang menganut agama Katolik sekalipun ada juga yang tetap mempertahankan religi dan adat istiadat leluhurnya. Agama asli Manggarai percaya pada roh-roh nenek moyang, yang disebut empo atau andung, sedangkan roh orang-orang yang telah meninggal pada umumnya disebut poti’. Mereka meyakini bahwa roh-roh ini berdiam dan menempati lingkungan di sekitar kediaman manusia. Ada roh yang menempati tiang rumah, perigi, persimpangan jalan, pohon besar, dan lain sebagainya. Selain roh orang-orang yang telah meninggal, mereka meyakini pula keberadaan makhluk-makhluk halus lainnya selaku penjaga rumah, pekarangan, naga tana (tanah pertanian), atau naga golo (desa). Golongan makhluk halus ini disebut ata pelesina (makhluk-makhluk yang ada di dunia lain). Kelompok makhluk halus berikutnya yang menguasai hutan, sungai, sumber-sumber mata air, dan lain sebagainya, secara keseluruhan disebut darat. Baik ata pelesina maupun darat ini diundang dalam upacara-upacara adat guna memohon kesuburan atau mencegah mara bahaya. Menurut agama asli Manggarai, mereka tidak hanya mendatangkan kebaikan, tetapi juga keburukan, terutama bila diabadikan saat upacara-upacara persembahan. Orang Manggarai memercayai adanya dewa tertinggi yang disebut Mori Karaeng. Ia dikatakan telah menciptakan bumi, manusia, dunia roh, binatang, tumbuhtumbuhan, dan seisi bumi lainnya. Ada pula mitologi yang mengisahkan mengapa ia menciptakan angin, menyebabkan gempa bumi, menghukum bulan dengan gerhana, menggunakan petir untuk menghukum para makhluk halus jahat, serta menolong mereka yang melanggar adat atau melakukan dosa. Mori Karaeng dianggap telah mengajarkan manusia seni bertenun, adat istiadat, dan membuat tuak. Upacara adat Manggarai dipimpin oleh seorang yang disebut ata mbeko. Jabatan sebagai pemimpin upacara itu tidak didapat berdasarkan keturunan, melainkan dengan belajar pada seorang mbeko yang sudah ahli. Pria atau wanita sama-sama memiliki http://facebook.com/indonesiapustaka


156 kesempatan menjadi mbeko. Seorang mbeko dibutuhkan jasanya dalam memimpin rangkaian upacara yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari manusia, seperti saat jambat (hamil lima bulan) dan upacara wega mio (masa ketika pasangan pengantin baru tinggal lima hari di rumah orang tua mempelai wanita). Upacara lain yang penting adalah peresmian balai desa, memohon kesuburan, dan perkabungan. Orang Manggarai percaya bahwa setelah meninggal, almarhum menjadi roh yang selama beberapa hari masih berkeliaran di sekeliling rumahnya, terutama di tempat ia biasa tidur. Lima hari setelah kematian, biasanya diadakan upacara kelas, dimana saat itu roh orang yang telah meninggal berubah menjadi poti. Ia telah siap meninggalkan dunia dan pergi ke alam baka guna menyatu dengan Mori Karaeng. Pada kesempatan ini, dipotonglah seekor hewan korban. Mbeko juga berfungsi sebagai dukun tatkala diminta menyembuhkan orang sakit, meramalkan nasib, memberikan jimat, atau mengguna-guna orang yang dibenci. VII. NAGE & NAGE KEO Silsilah raja-raja Nage adalah sebagai berikut: Dhosa Deu (Dhosa Wea)–Righe Bata–Roga Doa–Mite Dede–Dapa Gu. Raja Roga Ngole (1917–1928), putra Dapa Gu, pernah menandatangani Korte Verklaring pada 2 Maret 1918 dan 14 Januari 1927. Belakangan Kerajaan Keo disatukan dengan Nage, membentuk kerajaan gabungan Nage Keo. Rajanya adalah Joseph Juwa Dobe Ngole (1928–1962). VIII. NDONA Kerajaan Ndona merupakan salah satu di antara lima kerajaan di kawasan Ende Lio. Silsilah awal para penguasa Ndona adalah sebagai berikut: Mbani–Baro–Rangga– Jau–Ndosi–Mbani–Bara–Ara–Nggau–Mbani–Waru–Titu–Raja–Tuga–Manggu– Mbani. Raja Baki Bani (1909–1922), putra Mbani, kemudian memerintah di kerajaan ini148. Selanjutnya, Raja Pius Rasi Wangge diangkat sebagai penguasa bagi Ndona antara 1922–1924. 148. Lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, halaman 72. http://facebook.com/indonesiapustaka


157 IX. NGADA Leluhur suku Ngada adalah seorang tokoh bernama Ata Gai. Rakyat Ngada yang tinggal di Rowa, Sara, Mengulewa. Rakalaba, Langa, dan kawasan lainnya pernah bangkit melawan Belanda pada sekitar tahun 1907. Dua tahun kemudian (1909), rakyat Soa giliran melakukan perlawanan, tetapi dapat dipatahkan oleh pemerintah kolonial. Meskipun demikian, api perlawanan tidak juga padam karena pada 1909 pecah lagi pemberontakan di Raja. Pergolakan rakyat Ngada mencapai puncaknya pada 1910 akibat beratnya pajak yang dibebankan kepada mereka. Sebagai contoh di Lejo pecah pemberontakan yang dipimpin Lewa Wula. Perlawanan ini berlangsung hingga tahun 1913. Setelah Belanda berhasil memadamkannya, pada 1916–1917 berkobar kembali pemberontakan di Watuapi yang dipimpin oleh Nipa Do. Sama seperti pemberontakan-pemberontakan lain sezamannya, perlawanan ini pada akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah kolonial Belanda. Raja-raja yang pernah berkuasa di Ngada adalah Jawa Tai (1915–1918), Pajo Eso (1918–1920), dan Pea Mole (1920–1951). Raja Pea Mole tercatat pernah menandatangani Korte Verklaring pada 12 Januari 1921. X. NITA Leluhur raja-raja Nita konon berasal dari sebuah kampung bernama Uma Lili149. Rakyatnya hidup sejahtera dan makmur. Mata pencaharian mereka adalah bertani, berkebun, menyadap tuak, dan berburu. Di antara orang-orang terkaya di Uma Lili, terdapatlah dua orang kakak beradik bernama Sisa Mitan dan Hila Bura150. Kekayaan rakyat Uma Lili ini membangkitkan rasa iri dalam hati Raja Sikka. Ia berniat mengirimkan angkatan perangnya menaklukkan Uma Lili. Rakyat Uma Lili mencium niat Raja Sikka ini dan mengutus Hila Bura memohon bala bantuan dari Solor. Orangorang Solor menyetujuinya dan mengirimkan sepasukan tentara di bawah pimpinan Jawa Palang Ama. Kendati demikian, Raja Sikka mengetahui hal ini dan menyuap Jawa Palang Ama agar tidak menolong Uma Lili. Akibatnya, Uma Lili mengalami kekalahan dan penduduknya tercerai berai. Bahkan sebagian di antara mereka ditawan oleh Raja Sikka. Hila Bura dan Sisa 149. Lihat Pengaruh Majapahit atas Kebudayaan Nusa Tenggara Timur, halaman 24. 150. Menurut silsilah dalam manuskrip Kerajaan2 Indonesia karya Hans Hägerdal, halaman 179, disebutkan bahwa kakek Sisa Mitan dan Hila Bura bernama Moang Raga, sedangkan ayah mereka Desa Nita. http://facebook.com/indonesiapustaka


158 Mitan berhasil melarikan diri ke kampung Guru, sebelah utara Ledalero sekarang. Mereka terus bekerja keras dan berhasil mengumpulkan kekayaannya lagi. Hila Bura kemudian pindah ke kampung Romanduru, sedangkan Sisa Mitan tetap berdiam di Guru. Suatu kali Sisa Mitan beserta anaknya, Lolo Jong, berburu babi hutan dengan disertai anjing-anjing mereka. Ketika melihat seekor babi hutan, mereka melepaskan anak panahnya dan menurut penglihatan mereka telah mengenai jantung hewan tersebut. Babi hutan tergeletak di tanah dan mereka berlari menangkapnya. Ternyata setelah didekati, bukan babi hutan yang mereka jumpai, melainkan sebongkah batu berbentuk babi. Sisa Mitan beserta Lolo Jong pulang ke rumahnya tanpa membawa seekor hasil buruan pun. Kendati demikian, Lolo Jong merasa bahwa peristiwa aneh itu merupakan pertanda bahwa dirinya harus menetap dekat sebongkah batu ajaib yang terletak di desa Nita tersebut. Di dekat batu berbentuk babi itu tumbuh pohon beringin dan Lolo Jong lantas pindah ke sana. Ia mendirikan rumahnya dekat pohon nan rindang itu. Lolo Jong menjadi raja setempat dan kemudian menamai keluarganya Orin Bao, yang berarti “Rumah Beringin.” Marga Orin Bao ini merupakan cikal bakal raja-raja Nita. Setelah kedatangan Portugis barulah mereka mengganti marga mereka dengan da Silva. Raja-raja yang berkuasa di Nita setelah Sisa Mitan dan Hila Bura adalah Lolojong, Maujong, Manuel, dan Moang Noko. Nita pada abad 19 dan 20 diperintah oleh Raja Don Fransisco da Silva (Don Frans Digung da Silva atau Moang Digung, memerintah 1885–1891), Don Salipi da Silva151 (Moang Nong, 1893–1909), dan Don Juan (Johan) da Silva (1909–1926). Raja Don Frans Digung da Silva mangkat pada 5 November 1891. Menurut tradisi yang berlaku, seseorang tak boleh dimakamkan sebelum kedatangan anggota keluarganya. Jenazah almarhum baru dapat dikebumikan pada 25 November 1891. Waktu itu yang menghadiri acara pemakaman adalah Raja Andreas Jati da Silva dari Sikka, Commandanti Johanes Iking da Cunha dari Maumere, Mo’ang Pulu dari Sikka Maumere, beserta para pemuka dan masyarakat Nita. Karena tak memiliki keturunan, ia digantikan oleh kemenakannya, Don Salipi da Silva atau Philipus da Silva. Dia mangkat pada 1909 tatkala sedang berobat di Makassar dan sebagai pewarisnya diangkat putranya bernama Don Johan da Silva (Yuan da Silva). Pada 1926, Raja Don Johan da Silva dipensiunkan oleh pemerintah kolonial dan kerajaannya digabungkan 151. Lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, halaman 72. http://facebook.com/indonesiapustaka


159 dengan Sikka. Dengan demikian, berakhirlah Nita sebagai suatu kerajaan. Pada mulanya, Raja Don Johan da Silva merasa berkeberatan dengan penyatuan tersebut. Namun, akhirnya penandatanganan penyatuan antara Sikka, Nita, dan Kangae dilangsungkan pada 14 November 1925 dalam upacara penuh persaudaraan. Turut menyaksikan peristiwa tersebut adalah residen Kupang, asisten residen Flores, dan kontrolir Maumere, H. M. Mennes152. XI. RIUNG Raja Riung yang bernama Dondo Poea Ringgo menandatangani kontrak politik dengan Belanda berupa Akte van Bevestiging pada 17 November 1890. Raja berikutnya, Sila Poe Petor menandatangani Timor Verklaring pada 8 Juli 1894 dan Verklaring Betreffende Belastingheffing pada 17 Agustus 1901. Selanjutnya, Raja Pua Mamek (Poe Mimak), menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada 2 Maret 1918. XII. SIKKA a. Cikal Bakal Kerajaan Sikka Menurut legenda, cikal bakal Kerajaan Sikka adalah pasangan suami istri bernama Sao dan Sika yang berdiam di puncak Gunung Bekor. Konon, Sao terlahir dari tanah. Ajaibnya, bersamaan dengan kelahirannya itu muncul tujuh buah piring besar dan kecil. Selain itu, keluar pula enam orang lelaki; Lesu dan Leso dengan membawa tempurung berisi nasi dan daging; Koli dan Engan dengan membawa kapak dan parang; serta dua orang pemberani bernama Ria dan Raga. Sao sendiri tidak perlu melakukan apa-apa karena semua urusan telah ditangani oleh enam orang pelayannya itu. Keperluan makan dan minum diurus oleh Lesu dan Leso. Sementara itu, Kolin dan Engan mengerjakan ladang demi kepentingan Sao. Demi keamanan Sao, Ria dan Raga dengan setia menjadi pengawalnya. Sao menjadi tana puang (penguasa) Sikka yang pertama. Selanjutnya terdapat 11 generasi hingga tana puang bernama Bago. Ia mempunyai seorang putra bernama Don Alesu. Suatu kali, ia merenungkan mengenai betapa banyak rakyatnya yang meninggal dan berniat mengembara mencari keabadian. Pengembaraan ini konon membawanya ke Malaka dan di sanalah ia berjumpa dengan Raja Malaka bernama Worilla beserta putranya Jogo Worilla. Mereka memperkenalkan Don Alesu pada agama Katolik. 152. Lihat Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun, halaman 12. http://facebook.com/indonesiapustaka


160 Hikayat lain mengisahkan mengenai seorang tokoh bernama Rae Raja bersama istrinya, Rubang Sina, dan putra mereka Sugit Zund atau Sugi Sao, yang berlayar dari Siam153. Perahu mereka terdampar di Wutung Ni’i dekat kampung Sikka. Bersama mereka turut pula 20 orang laki-laki dan perempuan. Karena perahu mereka mengalami kerusakan parah dan tak dapat diperbaiki lagi, diputuskanlah mencari tempat kediaman yang baik di kawasan tersebut. Setelah berdiam beberapa lama, mereka mengalami kekurangan air minum. Rae Raja yang merupakan nakhoda kapal memerintahkan anak buahnya pergi mencari air minum. Akhirnya, rombongan yang diperintahkan mencari air menemukan sebuah mata air yang mereka namai Wair Topo Poret Loba. Penemuan mata air itu dilaporkan pada Rae Raja, yang segera memerintahkan para pengikutnya berkemas-kemas dan pindah ke dekat mata air itu. Pondok-pondok didirikan di tempat kediaman baru mereka. Sugi Sao (Mo’ang Sugi) diperintahkan ayahnya naik ke puncak gunung guna mengetahui apakah ada kapal yang lalu lalang di perairan dekat kawasan itu. Ternyata Sugi Sao tak menjumpai satu kapal pun, malahan dia bertemu dengan wanita penduduk asli yang masih mengenakan kulit kayu154. Rombongan kemudian pindah ke Gunung Ili Gai, tempat mereka berjumpa dengan penduduk setempat tersebut. Sugi Sao menikah dengan gadis penduduk asli bernama Du'a Sikka yang merupakan asal muasal nama Sikka. Setahun kemudian istrinya melahirkan seorang putra bernama La'i Sao (Mo'ang Sao). Sugi Sao beserta anaknya mengembara menyusuri tempat itu dan menamai berbagai kawasan. Sebagai contoh, sewaktu tiba di tempat yang curam di kaki Gunung Newa, agar tak tersesat mereka menggantungkan sehelai daun putih. Karena itu, tempat tersebut lantas dinamai Lela Bura (Gantungan Putih). Beberapa waktu berjalan, tiba-tiba tercium oleh mereka bau manis sehingga dinamakanlah tempat itu Uma Huré yang berarti Kebun Manis. Mereka juga menjumpai tempat yang lebat ditumbuhi alang-alang, mereka menamainya Klo'ang Rotat (Kampung Alang-alang). Akhirnya, tibalah mereka di Natar Gahar, yang menurut hemat Sugi Sao merupakan lokasi kediaman ideal baginya serta keluarganya. Niat ini disampaikan pada Du'a Sikka, namun istrinya itu menentang rencana kepindahannya ke Natar Gahar 153. Lihat Hikayat Kerajaan Sikka, halaman 10. 154. Lihat Hikayat Kerajaan Sikka, halaman 14. http://facebook.com/indonesiapustaka


161 dan menyarankan lebih baik mereka pindah dulu Ke Léla Bura. Apabila mengalami kesulitan barulah berpindah lagi ke Natar Gahar. Demikianlah, Sugi Sao menuruti usul istrinya dan pindah ke Léla Bura. Di sana mereka menetapkan upacara pemujaan bagi rembulan, matahari, para dewa, dan arwah leluhur. Mo'ang Sao bertambah dewasa dan sudah saatnya menikah. Oleh karena itu, ayahnya meminang seorang gadis bernama Du'a Go'it dan menikahkannya dengan Mo'ang Sao. Kampung tempat kediaman mereka makin bertambah ramai dan warga menganggap Mo'ang Sao sebagai pemuka mereka. Setiap kali ada permasalahan, penduduk akan menyampaikannya kepada Mo'ang Sao guna meminta nasihat atau saran. Pernikahan Mo'ang Sao dikaruniai seorang putra bernama Mo'ang Saru. Selanjutnya keturunan-keturunan mereka secara berturut-turut adalah Mo'ang Weling, Mo'ang Mada, Mo'ang Pedong, Mo'ang Herong, Mo'ang Mage, Mo'ang Béwat, dan Mo'ang Bata Jati Jawa. Pada zaman Mo’ang Bata Jati Jawa, dikarenakan penduduk makin bertambah banyak, sebagian penduduk pindah ke Hubing Tarung Gawang dan Puho Wutik Tak. Pada saat bersamaan, gunung berapi di Hokor mengamuk dengan dashyat hingga mengakibatkan korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya. Mo’ang Bata Jati Jawa gemar berlayar ke sana kemari dan membeli piring-piring besar, yang dibagikannya kepada segenap wilayah jajahannya. Ia memerintahkan agar piring-piring tersebut dipergunakan sebagai tempat persembahan saat melakukan pemujaan terhadap makhluk-makhluk suci. Dari bidang pemerintahan, ia menetapkan pengangkatan para tana pu’ang (kepala wilayah setempat). Kurang lebih pada 1571, datanglah orang-orang Bugis serta Makassar ke pelabuhan Wuring dan Kewa Pantai guna membeli rempah-rempah. Karena itulah mereka mencari pemuka masyarakat yang disegani, yakni Mo’ang Bata Jati Jawa sendiri. Para pedagang Sulawesi Selatan itu ingin membeli kayu manis, kayu kuning, lada, dan kulit soga sehingga semenjak itu Mo’ang Bata Jati Jawa kerap mengumpulkan komoditas-komoditas tersebut. Menurut silsilah raja-raja Sikka, Mo’ang Bata Jati Jawa menikah dengan Supung Sipi Laju Bati155. Pernikahan ini dikaruniai seorang putra bernama Mo’ang Igor. Ia menikah dengan Du’a Plu’e dari Wolomotong dan menurunkan Mo’ang Baga Ngang. 155. Lihat Hikayat Kerajaan Sikka, halaman xix. http://facebook.com/indonesiapustaka


162 Ia merupakan pemuka masyarakat yang terkenal pandai berperang sehingga dijuluki Baga Ngang (Baga Perkasa). Wilayah kekuasaan Sikka diperluasnya, hingga ke arah barat dan timur. Semenjak saat itu, daerah yang dikuasai Mo’ang Baga Ngang meluas hingga Manggarai di sebelah baratnya dan Larantuka di timurnya. Manggarai sendiri merupakan daerah pengaruh Gowa serta Bima. b. Perkembangan Kerajaan Sikka Sepeninggal Mo'ang Baga Ngang, putranya bernama Alésu Mo'ang Kéu menggantikannya sebagai pemuka masyarakat. Ketika itu, para pemimpin masyarakat Sikka belum bergelar raja. Alésu mengupayakan agar negerinya menjadi aman sentosa dan makmur dengan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang bersalah. Suatu ketika bangkitlah pemikiran dalam benak Mo'ang Alésu mengenai ketidakkekalan hidup manusia. Ia merasa gelisah menyaksikan kematian yang dialami umat manusia. Oleh karenanya, timbul keinginan mencari suatu negeri yang terbebas dari kematian. Tatkala sedang mengunjungi Wuring, Alésu melihat sebuah kapal yang dinakhodai oleh Jogo Parera. Konon ia merupakan putra Raja Worilla dari Malaka. Pada kurun waktu ini, Malaka telah jatuh ke tangan Portugis sehingga Raja Worilla tentunya merupakan wakil pemerintah Portugis di Malaka. Demikianlah, Mo'ang Alésu bersama-sama dengan Jogo Parera berlayar ke Malaka. Setibanya di sana, Alésu menjumpai Raja Worilla dan menyampaikan niatnya mencari negeri yang terbebas dari kematian. Raja Worilla menjawab bahwa di dunia tidak mungkin dijumpai tempat seperti itu. Namun, terdapat negeri bernama Surga, tempat umat manusia tak akan mengalami kematian lagi. Alésu sangat gembira mendengarnya dan bersedia menghadiahkan emas dalam jumlah besar bagi siapa saja yang sanggup mengantarnya ke sana. Raja Worilla mengatakan bahwa Surga itu tak dapat dijumpai sekarang, tetapi ia tidak keberatan mengajarkan bagaimana jalan menuju tempat tersebut. Pertama-tama, Alésu hendaknya dibaptis menjadi seorang Katolik. Lantas ia harus mendirikan156: • Gereja • Irimida (tempat-tempat perhentian saat jalan salib) • Salib Kristus • Popa meninu (patung Yesus saat masih kanak-kanak dan lain sebagainya) • Bendera terbelah dua yang bergambar orang-orang suci (santo dan santa) 156. Hikayat Kerajaan Sikka, halaman 109. http://facebook.com/indonesiapustaka


163 Berdasarkan penuturan Raja Worilla, dengan melakukan semua itu barulah seseorang dapat beroleh keselamatan di Surga. Alésu menjawab bahwa ia dan rakyatnya masih bodoh dan belum mengerti dengan baik bagaimana menjalankan semua yang diajarkan Raja Worilla. Penguasa Malaka itu menyanggupi bahwa ia akan mengutus putranya yang lain bernama Augustina da Gama menyertai Alésu pulang ke kampung halamannya. Setelah itu, ia akan menjelaskan perihal agama Katolik pada rakyat Alésu. Raja Worilla menanyakan apakah Alésu merupakan raja di negerinya. Dijawab oleh Alésu bahwa di Sikka belum ada raja, yang ada hanyalah seorang mo’ang gete (kepala besar). Dahulu yang menjabat sebagai mo’ang gete adalah ayahnya. Tetapi sepeninggal ayahnya kedudukan itu diwariskan padanya. Mendengar jawaban itu, Raja Worilla sangat senang dan mengatakan bahwa Alésu sesungguhnya adalah raja di negerinya. Sebagai tanda persahabatan, Alésu menghadiahkan Raja Worilla berbagai barang berharga yang dibawanya dari Sikka. Tiga tahun lamanya, ia belajar di Malaka. Sementara itu, Agustina da Gama diutus berlayar ke Sikka terlebih dahulu dengan dibekali tanda pengenal oleh Alésu guna menyebarkan agama Katolik di sana. Setelah menyelesaikan pelajarannya, Alésu kembali ke Sikka dengan membawa tanda-tanda kebesaran seorang raja pemberian Raja Worilla. Semenjak itu, tersebarlah agama Katolik di Sikka. Alésu merupakan penguasa Sikka pertama yang bergelar raja. Negerinya makin bertambah maju. Dia kemudian digantikan putranya bernama Kapitang atau Mo'ang Pitang. Sepeninggal Mo''ang Pitang, yang menggantikannya adalah saudarinya yang bernama Dona Maria. Ratu Sikka ini menetapkan tata cara pelamaran seorang gadis demi menghindarkan perilaku sewenang-wenang kepada kaum wanita. Dia mangkat tanpa suami dan digantikan oleh kemenakannya yang bernama Mo''ang Samao (Samadu) atau Oriwis da Silva. Pada 1563, para perompak menyerang masyarakat Katolik yang berada di Solor (Lamahala dan Lamakera). Sikka mengirimkan bantuannya guna menghalau mereka. Sepeninggal Raja Oriwis da Silva, singgasana Sikka beralih pada saudarinya, Ratu Dona Ines (Agnes) da Silva. Ratu Dona Ines da Silva dikenal sebagai penguasa yang adil dan tegas. Perilakunya halus, tetapi tajam bicaranya. Jikalau timbul persoalan dan perselisihan di kalangan rakyatnya, Dia tidak segan-segan turun tangan mendamaikannya. Dia menerapkan peraturan mengenai mahar yang lebih tegas lagi. Warga Sikka masa itu telah mengenal teknik pelayaran yang cukup maju hingga sanggup berlayar ke Jawa dan Singapura. Mereka berjumpa dengan berbagai http://facebook.com/indonesiapustaka


164 bangsa, seperti China dan lain sebagainya. Sepulangnya dari pengembaraan, mereka menggunakan adat istiadat yang lebih halus. Karena itu, orang-orang yang berdiam di daerah pegunungan tertarik meniru dan mengadopsi adat istiadat tersebut. Kepemimpinan Ratu Dona Ines da Silva dilanjutkan oleh Raja Jujé Juaniku da Silva. Penggantinya adalah Raja Mbako I Kikir Hiwa. Saat itu, Sikka memiliki angkatan perang yang disegani. Pada zamannya, timbul perselisihan antara rakyat Sikka dan Wolo Koli. Pemicunya adalah pembunuhan orang-orang Sikka oleh warga Wolo Koli saat mereka sedang membeli periuk. Sikka mengirimkan pasukannya dan mengundang warga kampung setempat yang berada dalam daerah kekuasannya turut serta memerangi Wolo Koli. Kendati demikian, mereka menolak apabila Raja Sikka tidak hadir sendiri. Raja Mbako I Kikir Hiwa akhirnya datang sendiri dengan disertai sejumlah pengikutnya. Ia memerintahkan agar pengikutnya mengepung kampung Wolo Koli keesokan harinya saat fajar menyingsing. Bersama dengan raja, ikut pula dua orang pasukan dari Timor membawa perisai yang ditempeli tujuh cermin serta berhiaskan bulu ayam dan kambing. Esoknya, raja dengan pasukannya berangkat mengepung Wolo Koli. Sementara itu, perisai dengan tujuh cerminnya dihadapkan ke matahari dan sinarnya diarahkan pada rakyat Wolo Koli. Menyaksikan hal itu, rakyat Wolo Koli menjadi ketakutan dan mundur tercerai berai. Meskipun demikian, perselisihan ini pada akhirnya dapat diselesaikan secara damai. Pulau Flores diserahkan oleh Portugis kepada Belanda pada 20 April 1859 sehingga kerajaan-kerajaan di sana, termasuk Sikka, berada di bawah payung kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Ketika penyerahan itu berlangsung, Raja Mbako I Kikir Hiwa sedang berada di Dili guna menghadap wakil pemerintah Portugis. Ketika dia kembali ke negerinya, kekuasaan telah mengalami peralihan. Pemerintah Belanda yang kini menguasai Flores mengeluarkan larangan berdagang candu, budak, senjata, dan mesiu. Seluruh ketetapan ini dilaksanakan oleh Raja Mbako I Kikir Hiwa. Suatu kali, Raja Mbako I Kikir Hiwa berada dalam perjalanan pulang dari pelayarannya mengunjungi Tana Ai. Tatkala dia sedang singgah di Kewa Pantai, datanglah tiga orang nakhoda Bugis yang menawarkan segumpal candu sebesar buah kelapa pada raja. Dijawab oleh raja bahwa ia baru pulang dari perjalanannya dan tidak membawa uang. Pedagang-pedagang Bugis yang terdiri dari Daeng Magesing, Daeng Mangawi, serta Daeng Jea mengatakan bahwa tidak apa-apa raja membawa barangnya terlebih dulu dan baru membayarnya belakangan. Raja menanyakan berapa harganya http://facebook.com/indonesiapustaka


165 yang dijawab oleh mereka 400 Rupiah157. Akhirnya, dijanjikan bahwa candu itu akan dibayar setibanya raja di Maumere, ibukota Kerajaan Sikka. Dalam perjalanan pulang, raja menjelaskan pada anak buahnya bahwa ia sebenarnya tak hendak membeli candu itu. Tetapi pemerintah Hindia Belanda telah melarang perdagangan candu sehingga ia wajib merampasnya. Akan tetapi, jika dia terang-terangan mengatakan hendak merampasnya, tentu akan diserang oleh para pedagang Bugis bersenjata lengkap tersebut. Oleh karena itu, ia mengatakan tak akan membayar harga candu tersebut. Tiga orang pedagang Bugis datang menagih candu mereka, namun tak berhasil menjumpai raja karena ia lebih banyak berdiam di selatan Sikka. Demikianlah selama bertahun-tahun hingga wafatnya Raja Mbako I Kikir Hiwa, mereka tidak berjumpa dengannya. Raja Mbako I Kikir Hiwa digantikan oleh Prispin da Cunha (Mo’ang Prispin). Para pedagang Bugis menagih lagi candunya, tetapi Mo’ang Prispin menjawab bahwa ia tak mengetahui ujung pangkal persoalan tersebut dan menolak membayarnya. Orang-orang Bugis menjadi marah dan berniat menyerang Maumere. Raja Prispin meminta bantuan Larantuka menghadapi serangan para pedagang Bugis itu. Utusan dikirim menghadap Raja Larantuka sambil membawa hadiah berupa gading dan menyampaikan bahwa Larantuka diperbolehkan memungut cukai di Pelabuhan Kewa Pantai selama tiga tahun. Angkatan perang Larantuka bergabung dengan pasukan Sikka di Geliting. Namun, alih-alih berperang, pihak-pihak yang bertikai malah mengadakan perundingan saja. Raja Larantuka menjelaskan bahwa almarhum Raja Mbako I Kikir Hiwa sebenarnya berniat menyita candu itu karena merupakan barang larangan menurut aturan pemerintah Hindia Belanda. Apabila masih bersikeras menagihnya lebih baik mereka meminta keputusan pemerintah kolonial. Akhirnya, perdamaian dicapai antara kedua belah pihak. Kendati pertempuran tidak terjadi, Larantuka tetap diizinkan memungut bea di Kewa Pantai. Sepeninggal Raja Prispin da Cunha, singgasana Sikka diwarisi oleh Don Luis da Silva (Mo''ang Bia). Sesudah dia mangkat yang menggantikannya adalah Raja Thomas Mo''ang Bo da Silva. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, almarhum Raja Prispin da Cunha pernah berjanji menyerahkan Kewa Pantai selama tiga tahun kepada Larantuka. Meskipun demikian, setelah lewat masa tiga tahun, Larantuka tak bersedia mengembalikan Pelabuhan Kewa Pantai dan bahkan menancapkan benderanya di sana 157. Lihat Hikayat Kerajaan Sikka, halaman 167. http://facebook.com/indonesiapustaka


166 sebagai tanda bahwa kawasan tersebut merupakan wilayah jajahan Larantuka. Mo''ang Jujé, pemuka Habi Gahar, melaporkan persoalan itu pada Raja Thomas Mo''ang Bo yang memerintahkan agar bendera Larantuka dicabut saja. Peristiwa ini mengakibatkan kemarahan Larantuka yang mengirim pasukannya. Pertempuran terjadi antara kedua belah pihak, tetapi Larantuka berhasil dikalahkan. Pada zaman Raja Andreas Jati da Silva yang menggantikan Thomas Mo’ang Bo da Silva, Posthouder van Siek selaku wakil pemerintah Belanda mengadakan sensus penduduk di Sikka dan Nitta. Ketika itu terjadi beberapa perselisihan dan pergolakan di kalangan rakyat. Salah satu pergolakan dipicu oleh tidak turunnya hujan. Orang-orang yang masih percaya takhayul meyakini bahwa atap seng gereja merupakan penyebabnya. Mereka menduga hujan yang jatuh akan mengeluarkan suara keras sehingga hujan takut datang lagi. Oleh karenanya, mereka bermaksud merusak gereja. Selain itu, masih banyak pula rakyat yang beristri lebih dari satu, dimana hal ini ditentang oleh gereja. Dengan demikian, timbul kebencian terhadap gereja Katolik. Ketika seorang pastur bernama Yseldyk ditugaskan di Koting, terjadi serangan hama tikus, ulat, belalang dan lain sebagainya. Selain itu, berlaku pula musim kering berkepanjangan. Karena itu, rakyat berniat mengusirnya. Pergolakan lain pecah di Tana Ai dan Bola, yang dipicu oleh pertikaian dan pembunuhan di tengah masyarakat. Raja Andreas Jati da Silva berhasil mengakhiri semua permasalahan di atas dengan cara damai. Kejahatan terhadap kaum pendatang masih marak di Sikka menjelang akhir abad 19. Pada 16 Juli 1895, raja mendengar perihal pembunuhan dan perampokan yang menimpa seorang keturunan China bernama Tan Lao. Pagi harinya, istri dan anaknya menjumpai Tan Lao tewas dengan kepala hampir terpotong. Barang-barang berharga telah raib. Ketika berita ini sampai ke telinga Raja Sikka, dia memutuskan mencari dan menangkap pelakunya. Untuk itulah dia bersama Raja Nita, Don Salipi, merancang suatu siasat dengan mengadakan acara sabung ayam pada 22 Agustus. Barangsiapa yang berani bertaruh dalam jumlah besar, patutlah ia dicurigai. Ternyata pada kesempatan tersebut, seseorang bernama Hobang asal Rané, bertaruh dengan Raja Sikka dalam jumlah besar selama beberapa kali. Hobang akhirnya ditangkap dan mengakui perbuatannya. Berdasarkan penuturannya, anggota gerombolan lainnya berhasil dijebloskan dalam penjara. Di antara mereka ada yang dijatuhi hukuman pengasingan 10 dan 20 tahun. http://facebook.com/indonesiapustaka


167 Larantuka masih menganggap masalah Kewa Pantai di Tana Ai belum selesai. Oleh sebab itu, Raja Don Lorenzo II (Lorenzo Usi) mengirimkan 500 pasukannya ke Kewa Pantai pada 30 September 1894. Masalah ini dapat didamaikan dan mereka mengikat suatu perjanjian guna menetapkan batas daerah masing-masing. Bahkan kedua orang raja bertukar hadiah. Raja Andreas Jati da Silva menghadiahkan cincin bermata emas, sedangkan Raja Lorenzo Usi menyerahkan sebuah arloji beserta rantainya. Menyadari bahwa permainan sabung ayam lebih banyak mendatangkan keburukan ketimbang kebaikan, Raja Andreas Jati da Silva beserta posthouder sepakat melarangnya terhitung mulai 2 Januari 1896. Kekalahan satu pihak dapat memicu kericuhan sehingga kondisi kerajaan tak pernah tenteram. Andreas Jati da Silva wafat pada 7 Mei 1898. Karena menunggu kehadiran para kerabatnya, jenazahnya baru dapat dimakamkan pada 23 Mei 1898. Sebagai penggantinya ditetapkanlah Raja Don Josephus Ximenes da Silva (Don Joseph Mo’ang Mbako da Silva). Dia tercatat pernah menandatangani beberapa kontrak dengan Belanda seperti: • Contract Betreffende Mijnrechten pada 6 Desember 1898. • Verklaring Betreffende Belastingheffing pada 17 Maret 1902. • Korte Verklaring pada 16 Mei 1908. • Korte Verklaring pada 19 Oktober 1916. Pemberontakan pecah lagi di Sikka pada masa pemerintahan Raja Don Josephus Ximenes da Silva, dimana Raja Larantuka ikut terlibat. Keadaan Sikka pada masa itu boleh dikatakan kacau. Raja Don Josephus Ximenes da Silva jatuh sakit dan meninggal pada 29 November 1902 karena penyakit kolera. Pemuka masyarakat Sikka berniat mengangkat putra sepupu almarhum Raja Sikka bernama Alésu sebagai raja mereka yang baru. Tetapi posthouder Belanda menyarankan bahwa Alésu yang baru berusia 16 tahun kurang cocok memangku jabatan tersebut, tanggung jawab yang dipikulnya terlalu berat. Oleh karena itu, berdasarkan hasil rapat pada 26 Februari 1903, Nong Méak atau Josef da Silva terpilih sebagai Raja Sikka. Kondisi Sikka bertambah kacau dengan meletusnya pergolakan yang dipicu oleh Mo'ang Teka. Berkat bantuan Belanda, huru-hara ini dapat diatasi. Pembangunan jalan-jalan mulai dilaksanakan di Sikka. Pada 1913 dibuka perkebunan kapas di Maumere. Perombakan pemerintahan dilakukan pada 1910 dengan menggabungkan beberapa tanah-tanah persekutuan pimpinan para mo’ang (kepala adat) menjadi satu http://facebook.com/indonesiapustaka


168 distrik yang diperintah seorang kapitan. Hukum diterapkan dengan tegas di Sikka, rakyat dilarang keras berjudi atau menyabung ayam. Perjuangan Thomas da Silva, yang kelak menjadi Raja Sikka berikutnya, tidaklah ringan. Sebenarnya, Raja Josef da Silva telah menyiapkan putranya yang bernama Don P.P. Dindus da Silva sebagai penggantinya. Oleh karenanya, ia lantas disekolahkan di kweekschool (sekolah pendidikan guru) Muntilan, Jawa Tengah. Kendati demikian, ia kembali sebelum menyelesaikan pendidikannya. Sementara itu, Thomas da Silva, yang berhak atas singgasana Sikka, berupaya memperjuangkan haknya. Dengan dukungan D. D. Kondi Pareira dan keluarga lainnya, Thomas da Silva mengirim surat pada residen Kupang. Berkat bantuan keuangan mertuanya, Mo’ang Subu Sadipun, serta perantaraan dua orang pastor Yesuit yang pernah bekerja di Lela bernama P. J. Engbers dan P. P. Muller, Don Thomas sempat berjumpa dengan gubernur jenderal guna menghadang pengangkatan Don P.P. Dindus da Silva sebagai Raja Sikka. Kontrolir A. Oranye, Posthouder Maumere (1920–1922), melaporkan bahwa Don Thomas layak diangkat sebagai Raja Sikka158. Raja Josef da Silva (Yoseph Nong Meak da Silva) dipensiunkan oleh pemerintah Belanda pada 1920. Karena kecakapannya dalam menunaikan tugas, berdasarkan besluit residen Timor nomor 494 tanggal 6 September 1921, Don Thomas diangkat sebagai pejabat atau wakil Raja Sikka. Akhirnya diangkatlah Mo’ang Mbo II Thomas da Silva sebagai Raja Sikka berikutnya. Dia menandatangani Korte Verklaring pada 17 Februari 1922. Upacara penobatannya menurut adat Sikka baru dilaksanakan tahun 1923. Arak-arakannya berangkat dengan penuh kehormatan dari Maumere ke Sikka pada 19 November 1923. Raja Thomas da Silva sendiri pernah bersekolah di Standaard School, Lela. Tatkala usianya menginjak 15 tahun, diangkatlah ia sebagai guru bantu di sekolah tersebut. Dia berkarier sebagai juru tulis di kantor Gezaghebber pada 1912 dan kemudian diserahi jabatan Menteri Belasting (Perpajakan) Sikka. Tanpa jemu dia mengusahakan kemajuan Sikka. Demi melancarkan arus transportasi di daerahnya, Raja Thomas da Silva mendesak pemerintah Belanda membangun jembatan besi di Naga Géte, yang pembangunannya diawali pada 1925. Tatkala menyaksikan warganya kekurangan air minum, Thomas da Silva mengupayakan pembangunan sumur-sumur di Geliting (Kewa Pantai), Wair Wetak, Wai Oti, Wair Hubing, Kampung Beru, dan Maumere. Karena jembatan yang berada 158. Lihat Don Thomas: Peletak Dasar Sikka Membangun, halaman 6. http://facebook.com/indonesiapustaka


169 di Kali Wajo kerap rusak akibat banjir, dia memprakarsai penggantiannya dengan jembatan besi hingga perhubungan antara Maumere dan Ende makin lancar. Dalam bidang kesehatan, Raja Thomas da Silva mengadakan pembicaraan dengan misi Katolik guna membangun rumah sakit yang megah di Lela pada 1930. Pembangunnya selesai pada 1934. Rumah sakit ini kemudian dinamai St. Elizabeth159. Dia juga memerhatikan bidang pendidikan dengan didirikannya Yayasan Pendidikan Thomas (Yapenthom) pada 1 Mei 1947160. Dia dipercaya oleh pemerintah kolonial merangkap jabatan sebagai Hoofd van Plaatselijke Bestuur (HPB/Kepala Daerah) yang sebelumnya diduduki orang Belanda. Berkat pengabdiannya yang luar biasa bagi kemajuan negerinya, gubernur jenderal Hindia Belanda menganugerahinya bintang penghargaan Trouw en Verdienste (Kesetiaan dan Pengabdian)pada 27 Desember 1934. Demi memajukan perkebunan di daerahnya, dia memerintahkan para kapitan agar mendorong warga meningkatkan penanaman kelapa, bambu, kopi, pisang, dan lain sebagainya. Sewaktu Bung Karno diasingkan ke Ende, Raja Thomas da Silva turut pula menjumpai calon proklamator tersebut dan kerap berunding mengenai kepentingan masyarakat serta bagaimana memajukan Sikka. Ketika berobat di Surabaya pada 1937, dia bertemu dengan tokoh pergerakan nasional tersohor, Dr. Sutomo, dan membicarakan banyak hal mengenai perbaikan nasib rakyat. Sekembalinya dari Surabaya, dia mendirikan lembaga pendidikan guna memajukan pengetahuan kaum wanita. Gurunya dia datangkan dan gaji sendiri. Setelah kemerdekaan, Raja Thomas da Silva dipilih sebagai kepala daerah Flores pada 1948 karena kapasitasnya. Oleh sebab itu, dia lantas pindah ke Ende, sedangkan pemerintahan Sikka diwakilkan kepada saudarinya, Ratu Centis da Silva. Kesehatan Raja Sikka ini mulai terganggu pada 1952 sehingga dia terpaksa meletakkan jabatannya. Kendati kondisinya belum memungkinkan, tatkala mendengar kedatangan Bung Karno ke Ende pada 1953, dia memutuskan segera berangkat ke sana guna menyambut tokoh yang dikaguminya itu. Dengan mengemudikan sendiri mobilnya, dia berangkat ke Ende. Setelah berjabat tangan dengan Bung Karno, dia mengunjungi beberapa kenalannya di Ende serta beristirahat di Hotel Endeh. Namun, takdir menentukan bahwa dia harus berpulang sore harinya. Jenazah Raja 159. Lihat Don Thomas: Peletak Dasar Sikka Membangun, halaman 27. 160. Lihat Don Thomas: Peletak Dasar Sikka Membangun, halaman 43. http://facebook.com/indonesiapustaka


170 Sikka yang banyak berjuang demi kemajuan rakyatnya ini dibawa ke Maumere pada 19 Mei 1953 dan dikebumikan di sana. Semasa hidupnya, Raja Thomas da Silva dikenal memiliki perangai yang ramah dan tidak senang bermusuhan dengan orang lain. Dia pandai mengambil hati orang dan tidak segan pula mengisahkan hal-hal yang lucu. Dalam pergaulan, dia tidak membeda-bedakan antara tinggi dan rendah. Pendapat orang lain selalu dia perhatikan dan tak jarang pula ia membantu mereka yang dilanda kesusahan. Sebagai seorang tokoh yang tidak acuh terhadap masalah pendidikan, dia menyekolahkan anaknya di Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk anak pribumi dan timur asing) di Makassar161. c. Sistem Pemerintahan Kerajaan Sikka Kerajaan Sikka dibagi menjadi 10 hoak hewer (wilayah) yang diperintah oleh mo’ang pulu (tua-tua). Mereka harus menyelesaikan segenap pertikaian yang telah ditangani oleh tana puang, tetapi hasilnya belum diterima atau disepakati semua pihak. Sepuluh orang mo’ang pulu itu tinggal di ibukota Sikka dan hanya sesekali saja mengunjungi wilayah kekuasaan mereka. Raja masih mempunyai lima kapitan yang disebut mor, sala, guarda, alaperis (alvares), dan pontera. Tugas-tugas mereka adalah sebagai berikut. • Mor bertugas menerima keluhan-keluhan dari rakyat yang perlu diteruskan pada raja. • Sala berlaku sebagai penerima upeti dan pajak. • Guarda bertugas mengawal raja. • Alparis mengurusi masalah peperangan dan pertahanan kerajaan. • Pontera menangani masalah perbekalan. Di samping itu, masih ada lagi jabatan moang tukeng selaku wakil raja. Ia menggantikan raja selaku wakil yang berkuasa penuh bila raja berhalangan. Sebagai pembawa pesan atau perintah raja terdapat para gai (harfiah: rotan). Mereka merupakan petugas yang membawa tongkat rotan dalam menyampaikan berita bagi rakyat. Seorang gai tidak perlu mengucapkan sepatah katapun dalam mengemban tugasnya. Ia cukup mengangkat tongkat rotannya saja dan pesan yang hendak disampaikan dapat dibaca pada secarik kain atau benda yang tertempel pada tongkat tersebut. Sebagai 161. Lihat Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 1915–1960, halaman 261. http://facebook.com/indonesiapustaka


171 contoh, bila yang tertempel adalah kain merah maka hal itu dapat diartikan sebagai adanya perang, sedangkan kain putih berarti akan diadakan perdamaian. Kain hitam berarti raja meninggal. Wilayah tugas seorang gai ini meliputi beberapa kampung, dimana ia juga berfungsi seperti polisi pada zaman sekarang. Pembuatan tenun ikat Sikka Sumber: http://www.inimaumere.com/2009/12/lebih-dekat-dengan-tenun-ikat-sikka.html Tarian adat Sikka Sumber: http://www.inimaumere.com/search/label/BuDaYa. XIII. TANAREA (TANAJEA) Tanarea merupakan salah satu di antara lima kerajaan di kawasan Ende-Lio. Cerita rakyat menuturkan bahwa nama Tanarea (Tanajea) berasal dari nama leluhur mereka: Rea atau Jea. Rea atau Jea merupakan pemimpin suku pengembara yang berasal dari India Muka dan sebelumnya pernah singgah di Tanah Malaka. Mereka lalu mengarungi lautan dan akhirnya tiba di Flores. Lama kelamaan terbentuklah persekutuan adat Tanarea (Tanajea), yang belakangan berkembang menjadi suatu http://facebook.com/indonesiapustaka


172 kerajaan atau swapraja pada 1907. Sebagai rajanya, Belanda mengangkat Kakadupa atau Uwa Dambo (1907–1915). Pada 3 Juli 1907, sekonyong-konyong Tanarea menyerang Ende yang menimbulkan korban jiwa serta kerugian besar. Akibatnya, Belanda menurunkan pasukan yang dipimpin Kapten H. Christoffel untuk mengamankan kawasan tersebut. Pada 9 Agustus 1907, pasukan Belanda tiba di Ende, yang tinggal puing-puing belaka, dan melanjutkan ekspedisi militernya memasuki Tanarea serta menaklukkan daerahdaerah lain yang masih memusuhi Belanda. Raja Kakadupa digantikan oleh Iju Uwa (1915–1917). Pada masa pemerintahannya, Belanda memaksa rakyat bekerja paksa membangun jalan dan jembatan. Akibatnya, perlawanan terhadap Belanda pecah pada Agustus 1916–Februari 1917, yang dipimpin oleh Nipa Do. Pada mulanya, tokoh ini mendapat perintah Raja Tanarea memimpin rakyatnya bekerja rodi membuat jalan raya Ende–Bajawa. Namun, medan yang terjal sungguh memberatkan rakyat. Selain itu, para mandor yang ditunjuk Belanda kerap bertindak kejam. Belanda berhasil mematahkan perlawanan ini dan Nipa Do dijatuhi hukum tembak. Sementara itu, pembantunya yang bernama Rae Sape menyerahkan diri dan diasingkan ke Kupang. Singgasana Tanarea kemudian beralih pada Josef Ute (1917–1923). Belakangan, Tanarea disatukan dengan Kerajaan Ende oleh pemerintah kolonial Belanda. D. Sistem pemerintahan di Pulau Flores secara umum Sebelum kedatangan Belanda, masyarakat Flores hidup dalam kesatuan adat yang dipimpin oleh seorang mosalaki. Ia bertanggung jawab sebagai pelaksana upacaraupacara adat di tengah masyarakat negeri tersebut. Selain itu, masih dikenal pula jabatan ria bewa selaku hakim adat. Mosalaki tertinggi disebut mosalaki puu ine ame, yang masih dibantu oleh para mosalaki dengan tingkatan lebih rendah, seperti mosalaki tu tego taga mido. Setelah Belanda memasuki kawasan ini, para mosalaki yang menandatangani kontrak politik dengan Belanda diberi gelar raja. Para mosalaki yang lebih rendah tingkatannya berganti sebutannya menjadi kapitan dan penggawa. Sementara itu, di bawah mereka terdapat para kepala kampung yang langsung berhubungan dengan rakyat. http://facebook.com/indonesiapustaka


173 E. Kerajaan-kerajaan di Pulau Rote dan Ndao Di Pulau Rote terdapat 15 kerajaan (nusak) dan pada abad 18–19 bertambah jumlahnya menjadi 18. Sistem pemerintahan yang umum di masing-masing nusak adalah membagi kekuasaan menjadi dua, yakni yang bersifat mistik atau spiritual dan duniawi. Mane atau manek (raja) merupakan penguasa yang memegang kekuasaan spiritual dan dianggap lebih tinggi kedudukannya. Sementara itu, feto atau fetor yang juga berlaku sebagai wakil raja mengurusi urusan pemerintahan dan dianggap mengemban kekuasaan bersifat duniawi. Selain itu, masih terdapat lagi suatu dewan pemerintahan yang beranggotakan sembilan orang dan disebut mane sio (bangsawan sembilan). Nama lainnya adalah sio ai (sembilan pohon) dan manelutu (sembilan bangsawan batu halus). Pejabat kerajaan lain yang disebut manedope atau mandombe bertugas membawa pedang beserta keris raja dan tempat sirihnya. Ia juga memberikan saran dan pertimbangan bagi kebijaksanaan yang hendak ditetapkan raja. Manesongo adalah pejabat yang berkaitan dengan upacara kerajaan. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Portugis dan Belanda, kerajaankerajaan di Pulau Rote juga terbagi menjadi dua kubu. Kerajaan-kerajaan yang berada di sebelah timur dan tenggara memihak Belanda, sedangkan Kerajaan Dengka, Baa, Loleh, dan Bo Dale (Pau Dale) berpihak kepada Portugis. Belanda kemudian menyerang kerajaan-kerajaan yang berpihak pada musuhnya tersebut hingga akhirnya seluruh Pulau Rote jatuh ke tangan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda melakukan penataan administrasi pemerintahan di Rote. Pada 1892, Loleh, Keka, Talae, dan Bokai disatukan membentuk Kerajaan Empat162. Delha dan Oenale disatukan menjadi Swapraja Bolahulu (Dipersatukan Secara Paksa) pada 1919. Lebih jauh lagi, Dengka dan Lelain disatukan menjadi Swapraja Loaholu (Dipersatukan Secara Suka Rela). Belanda menggabungkan pula Ringgou dan Oepao menjadi Swapraja Nusa Lai. Termanu dan Baa digabungkan menjadi Lamakoli. Diu dan Landu bergabung menjadi Daedulu. Lamakoli, Kerajaan Empat, dan Korbafo disatukan membentuk Swapraja Rote Talada. Pada 1919, Lelenuk bergabung dengan swapraja ini. Akhirnya, seluruh kerajaan yang ada digabungkan menjadi satu swapraja pada 1928, yakni Swapraja Rote di bawah pimpinan Y.S. Kedoh. 162. Lihat Perlawanan Ndaumanu Sinlae Terhadak Kekuasaan Kolonial Belanda di Termanu, halaman 46. http://facebook.com/indonesiapustaka


174 I. BAA Para raja yang pernah memerintah Baa adalah Lilo Dutamma (± abad 17) dan Tou Dengga Hua (± 1700–± 1734). Penggantinya adalah Tou Donggalilo (Teuw Denka Lilo), yang menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Rangkaian penguasa Baa berikutnya adalah Izak Kuamain, Muskanan, Muskanan Pane ( –1854), Johannes Muskanan (1854–1862), Alexander (1862–1873), Dun Muskanan (1873–1883), Lusi Detaq (1883–1887), Jesaja Dae Pane (1887–1895), Paulus Dae Pane (1895–1905), Sadrach Mandala (1905), Arnoldus Tule, Muskanan Tule, Dae Pane (–1938), Solemon Stephanus Detaq (1938–1951), Izak Dae Pane (1951–1960), dan Tobias Mandala (1960–1963). II. BILBA Manek Bilba yang pertama adalah Mangarai (± 1660–1662)163. Rangkaian rajaraja selanjutnya adalah Reti (± 1673–1677), Lase Reti (1677–± 1680), Theon Mangarai (± 1691–1698), Balok Theon (± 1712–1749), dan Solu Tupa (± 1727). Raja Daniel Jeuw (Iyu Solu, 1749–1768) tercatat pernah menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Sebelumnya, kerajaan ini merupakan salah satu di antara empat nusak (kerajaan) di Rote yang menyatakan kesetiaannya kepada Belanda (diwakili oleh Ter Horst) pada 1653. Para penerus Daniel Jeuw adalah David Solu Tupa (1768– 1783), Theon Balok (± 1800–± 1801), Lenggu Saba (1830–1868), Pieter Lenggu (1868–1870, pemerintahan pertama), David Lenggu (1870–1874), Pieter Lenggu (1874–1884, pemerintahan kedua), Alexander Nero Lenggu (Manafe Ao, 1884–1886, pemerintahan pertama), Pedama Mangalai Saba (1886–1895), Alexander Nero Lenggu (1895–1908, pemerintahan kedua), Soleman Pedama Mangalai Saba (1908–1925), Yusuf Saba (1925–1926), Abraham S. Therik (1926–1936), dan Mathias Alexander Lenggu (1937–1945). III. BOKAI Pelo Ey, kepala orang Mardeyker di Bokai, pernah menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Rangkaian manek yang berkuasa selanjutnya di Bokai adalah 163. Menurut manuskrip karya Hans Hägerdal berjudul Kerajaan-kerajaan Indonesia, halaman 47; silsilah Mangarai adalah sebagai berikut Fefido Ne–Poy Fefido–Lay Poy–Ngala Lay–Misa Ngela–Dane Mesa–Hay Dane–Alo Hay–Memo Alo–I Memo–Idu I–Nelu Idu–Mangalia–Nelu–Mangarai. http://facebook.com/indonesiapustaka


175 Geo Sude (± 1832), Dupe Geo (–1851), Dule Dupe (1851–1868), Sima Sude Kappa (1868–1873), Salomon Dule (1873–1877), Marcus Daluh Dupe (1877–1887), Paoh Ndolu Dupe (1887–1892), Tazi Fodik (1892), Tae Taka (Mika Taka), dan Messak Dupe (1931–1969). IV. DELHA Delha merupakan salah satu di antara ketiga nusak yang berdiri belakangan atau merupakan tambahan bagi 15 kerajaan yang telah ada sebelumnya di Pulau Rote. Delha memisahkan diri dari Oenale pada 1800–1840. Menurut catatan Regeerings Almanak, Raja Delha, Daniel Ndun, menerima pengukuhan dari pemerintah kolonial pada 4 Desember 1886. V. DENGKA Raja Dengka pertama adalah Tullia (± 1662–± 1676). Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh fetor-fetor bernama Luse Tullia dan Moni Lusi. Dengka kemudian diperintah oleh Raja Henuk Kane (± 1691–1727) yang digantikan oleh Manafe Henoek (Manafe Henuk, 1727–1779). Ia menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Sepeninggal Manafe Henuk, Dengka secara berurutan diperintah oleh Andries Henuk Pah Manafe (1779–± 1800), Doki Pah Manafe (± 1803), Bauk (± 1832), Tungga Koten (1854–1858), Adu Tungga (1859–1890), Paulus Adu Tungga (Kote Adu, 1891–1903), Alexander Adu Tungga (1904–1906), dan Alexander Paulus Tungga (1907–1911). VI. DIU Raja-raja yang memerintah Diu secara berturut-turut adalah Noi Bessu (± abad 17), Manafe Boleh (± abad 18), dan Duri Teti (Doeri Tety). Ia tercatat menandatangani Kontrak Paravicini pada 1756. Para penggantinya yang duduk di atas singgasana Diu adalah Jacobus Manafe (± 1832–1851), Detan Manafe (1851–1879), Poli Lio (1879–1884), Jacobus Paulus Manafe (1884–1887), Soleman Manafe (1887–± 1900), Paulus David Manafe (± 1905), S. Ch. Manafe (1937–1938), David Paulus Manafe, dan Albertus Paulus Manafe. http://facebook.com/indonesiapustaka


176 VII. KEKA Keka merupakan nusak tambahan kelima belas nusak yang sebelumnya telah ada. Berdiri pada 1770 setelah memisahkan diri dari Termanu. Raja Josef Malelakh dikukuhkan kedudukannya tanggal 9 Desember 1876. Penguasa berikutnya, Laazar Malelakh menandatangani kontrak pada 8 Juli 1888. VIII. KORBAFO Kerajaan ini pernah diserang oleh Belanda pada 1654 dalam suatu ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ter Horst karena memihak Portugis, musuh bebuyutan Belanda. Para manek yang pernah memerintah Korbafo adalah Pelau (± 1660), Ndun (± 1662), Sadok (±1690–± 1694), Pikatik (± 1692–± 1740/43), Leuana Leuana (± 1740/43–1781), Lodong Dozain (1781–± 1800), Pelo Lodong (± 1800), Leuana (± 1832), Koliaman Bibikate (±1841–1852), Lukas Pakuleu (1853–1859), Jessak Manubulu (1860–1873), Soleman Izaak Manubulu (1876–1922), Cornelis Izaak (1922–1926), dan Christiaan Paulus (1926–1989). IX. LANDU Kerajaan Landu merupakan salah satu di antara empat nusak di Pulau Rote yang menyatakan dukungannya terhadap Belanda pada 1653. Raja-raja yang pernah berkuasa di Landu adalah: Meno Balo (± 1673–1703/ 05), Belkamo (1703/ 05–1725/ 27), Dale Meno (1725/ 27–1732) dan Angi Meno (1732–1736/ 39). Baik Dale Meno maupun Angi Meno merupakan putra Meno Balo. Semasa Raja Geolima Belkamo (Geo Lima Balakama, 1736/ 39–1756) yang menggantikan Angi Meno, hubungan dengan Belanda makin diperkuat melalui penandatanganan Perjanjian Paravicini pada 1756. Para penguasa Landu berikutnya adalah Bane Dale (1757–1775), Bane Dailafa (1775–?), Nai Lasa Bane (± 1784), Ba Bane (± 1790), Suzas Bane (± 1792), Adi Bane (± 1803), Ndun Adi (± 1832), Bane Suza, Dai Lafa Ba, Bane Dai Lafa, Yusuf Willem Johannis (Dale Bane, 1883–1905), Daud Willem Johannis (1906–1908), Lasarus Yusuf Willem Johannis (1908–1916), Matheos Yusuf Willem Johannis (1916–1960), dan Marthen Matheos Johannis (1960–1966). http://facebook.com/indonesiapustaka


177 X. LELUNUK Lelunuk adalah salah satu nusak yang berdiri belakangan, dan merupakan pemisahan dari Kerajaan Bokai. Raja Hendrik Toka menandatangani Perjanjian Paravicini pada 7 September 1877. Pada perkembangan selanjutnya, ia digantikan oleh Soleman Daik yang menerima pengukuhan kedudukan pada 4 Desember 1886. XI. LOLEH Raja Loleh bernama Daniel Ndaomanu pernah menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Raja-raja yang pernah berkuasa di Loleh adalah Jacobus Zakarias (disahkan 16 Oktober 1860) dan Daniel Petrus Zakarias (menerima pengukuhan kedudukan tanggal 27 Juni 1884). XII. NDAO Raja-raja yang memerintah di Ndao adalah Bungga Bauw (± 1753), Dulli Tetti (± 1755/6), Ledekke (± 1832), Lollei Kotten (1851–1870), Abraham Mingga (1870–1876), Hendrik Kotten (1876–1905), Zadrack Kotten (1905–1925), Frans Kotten (1925–1940), dan Ferdinand Baun (1940–1968). XIII. OENALE Leluhur nusak Oenale konon berasal dari Maluku selatan. Raja-raja yang pernah memerintah Oenale adalah Limbe Longga (± abad 16), M'Boro Mesa (abad 17), Fanggi M'Boro (± 1691–± 1720), dan Nafi Fanggi (± 1720–± 1756). Ia digantikan oleh Raja Sande Naie (Sande Nafi, ± 1756–± 1832) yang menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Para penguasa berikutnya adalah Daon Delthan (± 1832), Dethan Messa (–± 1843), Messah Giri (1844–1868), Jacob Messah Giri (1868–1895), Soleman Messah Giri (1895–1900), Tobias Messah Giri (1900–1918), Hanok Lenggu (1918– 1927), Simon Messah Giri (1927–1939), dan Hendrik Hanok Lenggu (1939–1961). XIV. OEPAO (OESIPOLA atau OSSIPOKO) Awalnya, Oepao terdiri dari delapan wilayah disebut leo yang berdiri sendirisendiri. Belakangan, atas anjuran Portugis diangkat seorang raja bagi kedelapan leo tersebut, yakni Lere Mera yang berasal dari Leo Ina Ai. Pemimpin baru tersebut diangkat dari leo terkuat saat itu dan selanjutnya ia diberi gelar manek, sedangkan http://facebook.com/indonesiapustaka


178 pemimpin leo lainnya yang lebih lemah bergelar fetor. Pada perkembangan selanjutnya, Raja Oepao pada 1653 berbalik menyatakan dukungannya kepada Belanda yang diwakili oleh Ter Horst. Raja Wolterus Namo dari Oepao pernah menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Manek-manek selanjutnya yang pernah berkuasa di Oepao adalah: Kurus (± 1832), Markus Meoh (–1855), Sangu Resi (1855–1868), Tomas Marek Dungun (1868–1877), Tesa Dungun (1877–1879), Besi Sangu (1879– 1889), Tobias Martinus Dungun (1889–1895), Dunggu Tesa Aek (1898–1905), Simon Besi, Amos Besi, dan Junus Besi. XV. RINGGOU Christian Bacoma merupakan Raja Ringgou yang tercatat pernah menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Sebelumnya, pada 1653, Raja Ringgou merupakan salah satu di antara empat penguasa Pulau Rote yang menyatakan sumpah setianya kepada Belanda. Saat itu, Belanda diwakili oleh Ter Horst. Dengan demikian, Ringgou menjadi musuh Portugis. Raja-raja lain yang berkuasa di Ringgou adalah Talima Daud (disahkan kedudukannya pada 5 Februari 1878) dan Petrus Nahum Lelie (disahkan kedudukannya pada 10 Juli 1889). XVI. TERMANU Leluhur Kerajaan Termanu adalah Ma Bulan. Urutan para penggantinya adalah sebagai berikut: Muskanan Mak, Kila Muskanan, Kelu Kila, Leki Kelu, Amalo Leki, Tola Manu Amalo, Seni Tola, Kila Seni (1660–1678), Pelo Kila (1678–1699), Sinlae Kila (1699–1717), dan Ndaumanu Sinlae (1717–1745). Semasa pemerintahan Raja Kila Seni mulai berlangsung hubungan politik dan militer dengan Belanda164. Hubungan dengan Belanda mulai memburuk sejak seorang bangsawan bernama Baa Mai dituduh melakukan kejahatan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan adat di Termanu. Tetapi Baa Mai ingin menyelamatkan dirinya dan mencari perlindungan pada VOC. Kendati Ndaumanu Sinlae melakukan protes, VOC tak bersedia menyerahkan kembali Baa Mai. Belanda kembali ikut campur dalam urusan internal Termanu pada 1724, yakni ketika Ingufao dan Hoi Ledo ingin melepaskan dirinya dari Termanu. Keinginan kedua kawasan tersebut mendapatkan dukungan VOC. Oleh karenanya, 164. Lihat Perlawanan Ndaumanu Sinlae Terhadap Kekuasaan Kolonial Belanda di Termanu, halaman 55. http://facebook.com/indonesiapustaka


179 kekecewaan Ndaumanu Sinlae terhadap VOC makin besar. Kondisi makin memanas karena salah seorang adik raja bernama Fola Sinlae mengincar tahta. Ia diam-diam menghasut kakaknya melakukan perlawanan terhadap Belanda. Apabila Termanu kalah, Ndaumanu Sinlae sudah pasti akan disingkirkan dan Fola Sinlae mengharap dirinya diangkat sebagai penggantinya. Raja Ndaumanu Sinlae akhirnya melakukan perlawanan terhadap VOC yang menewaskan Opperhofd J.A. Meulenbeek beserta hampir seluruh anggota rombongannya pada 1746. Di antara mereka hanya seorang saja yang selamat. Sedianya, Ndaumanu Sinlae berencana mengundang dan membunuh raja-raja Baa, Loleh, dan Thie. Kendati demikian, hanya Raja Baa yang lolos dari mara bahaya. Raja Thie, Benyamin Messakh Foembura, dan Raja Loleh, Ndii Hua, bernasib sial. Mereka terbunuh oleh laksar Termanu yang diperintahkan mengejar mereka. Pembunuhan yang dilakukan oleh Ndaumanu Sinlae ini tidak dibiarkan oleh Belanda. Bala bantuan didatangkan guna menghukum Termanu. Raja Ndaumana Sinlae yang terdesak melarikan diri, tetapi dapat ditangkap setelah ditipu dengan ajakan berunding oleh Belanda; memberi kebebasan kepada Ndaumanu Sinlae. Namun, begitu tiba di tempat perundingan, ia ditangkap dan diasingkan ke Kupang. Sumber lain menyebutkan bahwa Ndaumanu Sinlae diceburkan ke laut dalam perjalanannya ke tempat pengasingan, sedangkan sumber yang lainnya lagi mencatat bahwa Raja Termanu ini diasingkan ke Tanjung Harapan. Sebagaimana yang diharapkannya, Fola Sinlae (1745–1771) ditunjuk oleh Belanda menggantikan kakaknya dan ia tercatat menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Belakangan, pada 1770, Keka memisahkan diri dari Termanu dan membentuk nusak sendiri. Para raja Termanu yang menggantikan Fola Sinlae hingga era kemerdekaan adalah Sadok Ndaomanu (1776–1786), Amalo Muda (1786–1817), Mauk Amalo (1817–1832), Kiuk Pelo (1832–1851), Fangidae Kiuk (1851–1859), Pelo Keluanan (1860–1875), Stepanus Paulus Amalo (1876–1887), Salmon Pela (1888–1892), Johannis Jeremias Michel Amalo (1894–1912), Christoffel Jeremias Michel Amalo (1912–1942), Chr. J. M. Amalo (1942–1943), Albert Chr. J. M. Amalo (1944–1946), dan Ernest Johanis Jeremias Michel Amalo (1947–1966)165. Putra Raja Ch. Amalo bernama Jacob Amalo yang kelak menggantikan ayahnya 165. Lihat Perlawanan Ndaumanu Sinlae Terhadap Kekuasaan Kolonial Belanda di Termanu, halaman 55-57. http://facebook.com/indonesiapustaka


180 pernah menuntut ilmu di MULO (eer Uitgebreid Lager Onderwijs) Weltevreden (Kota baru), Batavia166. XVII. THIE Raja pertama Thie adalah seorang tokoh bernama Pande yang memerintah kurang lebih pada abad 17, yang selanjutnya digantikan oleh Messakh Mbura (± 1678–1694), Moy Messsakh (± 1697), Nale Messakh (1697–1717), Mbura Messakh (1718–1728), dan Benyamin Messakh Foembura (1728–1746). Foembura pernah mengunjungi Batavia dan mempelajari perihal agama Kristen. Dalam kunjungannya itu, ia datang bersama tiga orang raja Rote lainnya, yakni Ndii Hua dari Loleh, Ndara Naong dari Lelain, dan Tou Donggalilo dari Baa. Setelah dibaptis dengan nama Benyamin pada 1732167, ia berniat kembali ke Rote dan mendirikan sekolah di sana. Oleh gubernur jenderal VOC, ia dihadiahi sebatang tongkat berkepala emas berukirkan namanya, beberapa jilid Alkitab, dan lain sebagainya. Pada 1734, sekolah yang pertama didirikan di Fiulain. Setiap orang diperkenankan memasuki sekolah ini, termasuk anak raja-raja dari Baa, Lelain, Oenale, Korbafo, Oepao, Bilba, Talae, dan Loleh. Benyamin Messakh Foembura sendiri bertindak sebagai raja, guru, dan sekaligus pendeta. Adapun mata pelajaran yang diberikan di sekolah itu adalah menulis, membaca, berhitung, serta agama Kristen. Setamatnya mengikuti pelajaran, para siswa diwajibkan membuka sekolah semacam itu di daerahnya masing-masing. Pengganti Foembura adalah Daniel Foukay Pah (1746–1749) dan Alexander Messakh Pah (Yohanes Mesa, 1749–1771). Raja Yohanes Mesa dari Thie tercatat menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Raja-raja Thie berikutnya adalah Bastian Mbura Messakh (1771–1783), Paulus Pah Mbesialu (1783–1811), Kobi Pah (1811–1816), Gandi For (1816), Baba Henu (1816–1841), Ndu Kobi (1841–1861), Paulus Messakh (Urai Ndu, 1861–1882), Jonas Nicolaas Messakh (Helo Ndu, 1882–1907), Salmon Messakh (Modo Helo, 1907–1918), David Jacobis Messakh (Lani Helo, 1918–1921), Foe Moy (1921–1927), Tobias Arnoldus Messakh (Ndu Helu, 1927–1931), Jeremias Wilhelmus Messakh (1931–1948, pemerintahan pertama), Wilhelmus Moy (1948), Saudale (1948–1949), Jusuf Messakh (1949–1951), Jeremias Wilhelmus Messakh (1951–1953, pemerintahan kedua), Hermanus Haning 166. Lihat Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 1915–1950, halaman 260. 167.Ada sumber lain yang menyebutkan bahwa sebelum berlayar ke Batavia, Foembura telah menganut agama Kristen. Lihat Perlawanan Ndaumanu Sinlae Terhadap Kekuasaan Kolonial Belanda di Termanu, halaman 65. http://facebook.com/indonesiapustaka


181 (1953–1956), Jeremias Arnoldus Messakh (Kobi Pah, 1956–1962), Thobias Arnoldus Messakh (1962–1970). F. Kerajaan-kerajaan di Pulau Sabu (Sawu) Orang Sabu meyakini bahwa nenek moyang mereka bernama Kika Ga, yang konon datang dari Hurat (Surat) di pantai utara Bombay, India, dengan mengendarai seekor kuda betina abu-abu hitam168. Pada mulanya, ia singgah di Pulau Jawa dan setelah itu melanjutkan perjalanannya ke Pulau Raijua (Jawa Wawa). Di sana, ia menikahi seorang wanita bernama Muji Rau dan dikaruniai seorang anak bernama Hu Kika. Mereka kemudian pindah ke Teriwu. Sumber lain meriwayatkan bahwa Kika Ga yang berasal dari tempat yang jauh pada mulanya tinggal di Wadu Mea, yakni sebuah batu di tengah laut. Waktu itu Pulau Sabu belum ada dan masih berupa tonjolan dua gunung saja yang disebut Merabu dan Kebubu. Suatu kali, seorang dewa bernama Luji Liru sedang memancing. Kika Ga terkait oleh pancing itu dan dibawa pada Liru Bala, ayah Luji Liru. Kika Ga diangkat anak oleh Liru Bala dan dinikahkan dengan Lia Ra. Luji Liru menempatkan Kika Ga beserta istrinya ke puncak Merabu. Selanjutnya, Luji Liru pergi ke Ketita, tempat kediaman dewa bernama Mone Weo beserta istrinya, Bei Weo guna mengambil segumpal tanah di bawah rumah kedua dewa tersebut. Tanah itu ditaburkan di sekeliling gunung tadi dan berubah menjadi daratan. Dengan demikian, terbentuklah Pulau Sabu. Kika Ga selanjutnya menjadi leluhur orang-orang Sabu beserta rajanya masing-masing. Belakangan terbentuklah kerajaan-kerajaan Seba, Timu, Mesara, Liae, Teriwu (Raijua), dan Menia. Kerajaankerajaan ini disatukan menjadi Swapraja Sabu di bawah pemerintahan Raja Samuel Thomas Jawa pada 1918. Masing-masing kerajaan di Sawu dan Raijua terdapat suatu dewan adat yang disebut Mone Ama. Dewan adat tersebut beranggotakan169: 1. Pulodo yang bertugas mengurusi bidang politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan. 2. Deo rai yang bertugas mengurusi bidang ekonomi dan upacara adat. 3. Dohe Leo selaku wakil Deo Rai. 168. Lihat Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu, halaman 7. 169. Lihat Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu, halaman 19. http://facebook.com/indonesiapustaka


182 4. Maukia yang bertugas menangani masalah pertahanan dan peperangan (di Timu disebut Tenaba). 5. RuE bertugas menangani upacara-upacara adat guna menyucikan sesuatu yang telah tercemar. Dengan demikian, di kawasan ini telah terdapat sistem pemerintahan yang teratur. Dibuat berdasarkan Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu. Catatan: Pada halaman lain, Unu Hu disebut Ungu Hu; Ae Unu disebut Ge Ungu; dan Rai Ae disebut Rai Ge. I. LIAE Raja Liae pertama yang diakui oleh VOC adalah Kale Lodo. Rangkaian para pengganti Kale Lodo adalah Riwu Manu, Jami Riwu Manu (± 1721), Mone Bengu (± 1726), Mone Bengu (± 1740), Kore Rohi (1752–1756), Kore Lone (1758– 1760), Manu Kore (± 1767–± 1794), Ama Moye Keloa (± 1832), Ama Iye Yote (± 1852–1859), dan Ama Baki Bela (1859–1868), yang pada masa pemerintahannya wabah cacar mengganas di Sawu dan dia merupakan salah seorang korbannya. Raja Liae selanjutnya adalah Hendrik Ratu Manu (Ama Amu), dia merupakan Raja Liae terakhir sebelum kerajaannya digabungkan dengan Seba membentuk Swapraja http://facebook.com/indonesiapustaka


183 Sawu. Sementara itu menurut sumber lainnya terdapat silsilah sebagai berikut: Riwu Manu-Rohi Riwu-Kore Rohi-Manu Kore-Riwu Manu-Manu Riwu-Ratu Manu-Riwu Ratu170. II. MENIA Tero Weo adalah reja Menia pertama yang diakui oleh VOC. Para penggantinya adalah Ama Gaja Bengu Tagi (± 1760–± 1790), Gaja Bengu (–± 1794), Rehi Bengu (± 1794–), Ama Piga Tagi (± 1832), Tagi Rehi Ama Gaya (1842–1868), dan Ama Lena Rihi (1868–1873). Pada 1874, Menia digabungkan dengan Seba. III. MESARA Leluhur raja-raja Mesara adalah Kika Ga, Hu Kika, Ungu Hu, Ge Ungu, Rai Ge, Ngara Rai, Miha Ngara, Ie Miha, Mona Ie, Aba Mone, Kebo Aba, Huba Kebo, Waka Huba, Wai Waka, Kole Wai, Horo Kole, Wila Horo, Lele Wila, Tana Lele, Rai Tana, Lobo Rai, Hau Lobo, Titu Hau, Lulu Titu, Riwu Lulu, Jami Riwu, Weo Jami, Weo Jami, Lay Wei, Haba Lay, Mone Haba, Riwu Mone, dan Jami Riwu. Sementara itu, pada sumber lainnya terdapat silsilah sebagai berikut: Wele Djami-Kore Wele-Dimu Kore-Buki Dimu-Uli Buki-Dju Uli-Kore Dju-Bore Kole atau Benjamin Buki171. Raja-raja yang pernah memerintah Mesara secara berturut-turut adalah Wele Jami (± 1717–1721, raja pertama), Kore Wele (± 1752), Ama Loni Dimu Kore (± 1756–1760), Rugi Dimu (1760–) dan Jaga Biwu (1761–1781), Buki Dimu (1781–± 1794), Ama Bisi Ulu Buku (1832–1868), Ama Lebe Ju Uli (1868–1893), dan Ama Tengo Doko Ju (Domingoes Buki, 1893–1914). IV. SEBA & SWAPRAJA SAWU Seba merupakan kerajaan yang paling berpengaruh di Pulau Sawu. Leluhur raja-raja Seba adalah sebagai berikut: Kika Ga (pendatang pertama di Sabu), Hu Kika, Ungu Hu, Ge Ungu, Rai Ge, Ngara Rai, Miha Ngara, Ie Miha, Mona Ie, Aba Mone, Kebo Aba, Huba Kebo, Waka Huba, Wai Waka, Dara Wai, dan Hila Dara. Setelah tujuh belas generasi, lahirlah Kore Rohi yang merupakan Raja Seba pertama. 170. Lihat Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu, halaman 58, bagian silsilah Liae. 171. Lihat Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu, halaman 57, bagian silsilah Mesara. http://facebook.com/indonesiapustaka


184 Keturunan Kore Rohi yang menduduki singgasana Seba adalah Ojami Kore, Haba Ojaba172 (Haba Jami), Lay Haba, Bire Lay, Riwu Bire, Lomi Riwu, dan Jara Lomi. Lomi Jara, Raja Sabu yang selanjutnya, tercatat pernah menandatangani Perjanjian Paravicini pada 1756. Penggantinya adalah Wadu Lay, Jara Wadu, Ama Doko Lomi Jara, Doko Lomi (± 1790–1794), Ama Lomi Jara (1830–1859), dan Ama Dima Talo (1859–1863). Raja Ama Nia Jawa (1863–1868) pernah mengusulkan kepada residen pada 1862 agar 400 orang Sabu dipindahkan ke Kadumbulu supaya mereka memperoleh penghidupan yang lebih baik serta dapat menjadi pengawas atau memata-matai gerak-gerik orang Ende di Sumba. Residen menyetujui gagasan tersebut walaupun mendapat tentangan dari orang Ende. Pengganti Raja Ama Nia Jawa adalah Ama Doko Kaho (1868–1881), Lazarus Rosi Jawa (1882–1889), Aleksandar Rihi Jawa (1890–1901), Elias Luji Raja Pono (1901–1906), dan Samuel Thomas Jawa (1907–1935). Pada perkembangan selanjutnya, Belanda membentuk Swapraja Sawu yang merupakan penggabungan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Pulau Sawu (Seba, Timu, Mesara, Liae, Teriwu (Raijua), dan Menia). Raja Samuel Thomas Jawa diangkat sebagai kepala swapraja tersebut semenjak 1915. Dia kemudian digantikan oleh saudaranya, Paulus Charles Jawa, yang memerintah hingga 1963. V. TERIWU (RAIJUA) Raja-raja yang memerintah Teriwu adalah Lomi Tulu (wafat 1794), Raja Tulu (1794–?), B’aku Ruha-raja pertama yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda-, Messe Tari (Ama Mehe Tarie. 1830–1868), Ama Loni Kuji (1868–1915), dan Ama Meda Lay (1915–1918), raja pertama yang memeluk agama Kristen dan dibaptis dengan nama Paulus. Setelah itu Raijua digabungkan dengan Seba membentuk Swapraja Sawu. Para raja Raijua lalu diturunkan tingkatannya menjadi fetor. Sumber lainnya mencantumkan silsilah sebagai berikut: Baku Ruha, Haba Baku, Njebbe Haba, Laij Njebbe, Kore Laij, Dima Kore, Laij Dima, Kudji Laij, Laij Kudji, dan Pia Laij173. 172. Lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, halaman 53. 173. Lihat Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu, halaman 62-63, bagian silsilah Raijua. http://facebook.com/indonesiapustaka


185 VI. TIMU (DIMU) Raja-raja yang pernah memerintah Timu adalah Talo (± 1672), Ama Rohi (Ama Rosi, ± 1676), Luji (± 1696), dan Rohi Rano (Rasi Rano, 1710–1731), yang semasa pemerintahannya, pecah pemberontakan dua orang temukung (kepala desa) bernama Ama Rati dan Leba. Pergolakan ini dipicu oleh niat Rohi Rano yang mewariskan singgasananya kepada cucunya bernama Hili (Sili) Haba. Ama Rati sendiri merasa berhak atas tahta Dimu sehingga dengan dukungan Seba beserta Liau mengadakan perlawanan terhadap Rohi Rano. Pada 11 Maret 173, Hili Haba dilarikan ke Kupang. Belanda turun tangan dan mendukung Hili Haba (1731–1798) sebagai Raja Timu. Para penggantinya adalah Elias Jara Hili (Sili) (1798–± 1805), Rewa Daga (± 1832), Ama Hili Haba (± 1851–?), Ama Lai Daga (±1858–?), Eduard Jara Luji, dan Ama Piga Jara (1868–1911). Selanjutnya, pemerintahan Timu diambil alih oleh garis keturunan fetor-nya, yakni Saul We Tanya (1911–1918). Semenjak 1918, Timu digabungkan dengan kerajaan-kerajaan lainnya membentuk Swapraja Sawu. Sumber lainnya memberikan keterangan bahwa Hili Haba merupakan cucu Djami Dai dan putra Haba Djami. Sementara itu silsilah Jara Luji (Djara Ludji) berisikan nama-nama yang berbeda dengan sumber di atas, yaitu Dida Miha, Hue Miha, Dake Hue, Hama Dole, Paha Hama, Laij Paha, Muri Laij, Kebi Muri, Dowu Kebi, Uli Dowu, Kore Uli, Koli Kore, Dai Koli, Paha Dai, Nuka Paha, Rohi Nuka, Tuka Rohi, Lobo Tuka, Djami Lobo, Haba Djami, Talo Haba, Maru Talo, Lobo Maru, Ludji Lobo, dan Djara Ludji. Sedangkan sisilah Hili Haba adalah Dida Miha, Hue Miha, Dake Hue, Hama Dole, Paha Hama, Laij Paha, Muri Laij, Kebi Muri, Dowu Kebi, Uli Dowu, Kore Uli, Koli Kore, Dai Koli, Djami Dai, Haba Djami, dan Hili Haba174. G. Kerajaan-kerajaan di Pulau Sumba Salah satu legenda yang tersebar di kalangan masyarakat Sumba menyatakan bahwa leluhur mereka berasal dari suatu tempat yang disebut Malaka Tanabara (diidentikkan dengan Semenanjung Malaka), dan sampai ke Sumba setelah menyinggahi berbagai tempat seperti Kapa Riu, Ndua Riu, Kapa Njawa, Ndua Njawa, Pikuku Mbali, Ndima, Makaharu, Ende, Amurai, Ndau, Haba, Rau Jua, dan akhirnya tiba di Pulau Sumba. Nama-nama tempat yang baru saja disebutkan itu tampaknya mengacu pada kawasan174. Lihat Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu, halaman 60-61, bagian silsilah Timu. http://facebook.com/indonesiapustaka


186 kawasan di Sumatera, Jawa (Kapa Njawa dan Ndua Jawa), Bali (Pikuku Mbali), dan pulau-pulau lainnya. Mereka datang secara berkelompok dengan menggunakan perahu sebelum akhirnya mendarat di Haharu Lendewatu, yang sekarang dikenal sebagai Tanjung Sasar di sebelah utara Pulau Sumba bagian barat. Haharu Lendewatu sendiri dalam legenda Sumba berarti "Jembatan Batu" yang menghubungkan Sumba, Bima (di Pulau Sumbawa), dan Manggarai (di Pulau Flores). Karena kekuatan alam, jembatan yang menghubungkan pulau-pulau tersebut kemudian hancur sehingga ketiga wilayah tersebut terpisah. Kelompok yang berdiam di Pulau Sumba makin bertambah banyak. Oleh karenanya, para leluhur bermusyawarah untuk menentukan nama kelompok masingmasing. Masing-masing kelompok itu merupakan kesatuan adat secara genealogis yang berasal dari keturunan leluhur tertentu dan dinamakan kabisu. Istilah ini dapat disetarakan dengan marga, suku atau klan. Setelah berikrar untuk tetap bersatu dalam persekutuan atau persaudaraan adat masing-masing, berpisahlah berbagai kelompok tersebut untuk menemukan tempat kediaman baru. Mereka adalah cikal bakal kerajaan-kerajaan di Pulau Sumba. Sumba merupakan kawasan yang banyak ditumbuhi cendana. Karenanya, salah seorang wakil VOC di Kupang bernama Engelbert melaporkan pada gubernur jenderal bahwa Belanda akan memperoleh keuntungan besar apabila berdagang di sana. Namun, laporan ini kurang ditidak lanjuti Belanda karena musuh besarnya, Portugis, masih bercokol di sana. Pada 1749, D.J. van den Burg, wakil Belanda di Kupang, melaporkan bahwa Umbu Yoka Awangu, Raja Mbatakapidu, meminta bantuan Belanda. Karena tak ingin melewatkan kesempatan ini, Belanda mngirimkan utusannya pada 1750 guna mengadakan perjanjian atau kontrak politik dengan para raja Sumba. Secara keseluruhan terdapat delapan kerajaan di Sumba yang bersedia menandatangani kontrak, yakni Mbatakapidu, Mangili, Patawangu, Kanatang, Kapunduk, Napu, Napa, dan Lewa. Kedelapan kerajaan tersebut mengakui kedaulatan VOC dan berjanji tak akan menjual hasil bumi di daerahnya pada pihak lain terkecuali Belanda. VOC mengirim surat ucapan terima kasih pada raja-raja tersebut disertai hadiah berupa senapan, perkakas, tempat arak, hiasan, dan lain sebagainya. Sebagai hadiah balasannya, raja-raja Sumba menghadiahkan sepasang budak pada VOC. Pada 1756, J. A. Paravicini memperbaharui lagi perjanjian dengan para raja di Timor, Sumba, Rote, Sabu, dan Solor, yang kali ini dilakukan secara tertulis. Saat http://facebook.com/indonesiapustaka


187 penandatanganan dilangsungkan di Kupang, kebetulan Raja Mangili sedang berada di sana sehingga ia diminta mewakilli ketujuh raja Pulau Sumba lainnya. Raja-raja Sumba pada abad 18 masih kerap terlibat perselisihan satu sama lain. Sebagai contoh, pada 1773 Raja Mangili dilaporkan berseteru dengan Raja Umalulu, yang bersekutu dengan orang-orang Portugis di Larantuka. I. ANAKALANG atau ANAKALANGU Menurut legenda, leluhur warga Anakalang turun langsung dari langit ke suatu tempat bernama Fahi di bagian utara Anakalang175. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Raja Umbu Dongu Ubini Mesa. Dia digantikan oleh putranya bernama Raja Umbu Ngailu Dedi (Oemboe Ngailu Diddoe, 1913–1927) yang berkedudukan di Makatakiri. Raja bantu-nya bernama Umbu Babu Marambanjara (Martambajara) yang berkedudukan di Parawatana (Parewatana). Raja Umbu Ngailu Dedi menandatangani Korte Verklaring pada 30 Juni 1913. Raja Umbu Ngailu Dede mangkat pada 1927 dan digantikan oleh Umbu Sapi Pateduku176 (1927–1953), yang menjadi raja hingga era kemerdekaan. Dia digantikan oleh putranya, Umbu Remu Samapati (1953–1962). Ia kemudian terpilih sebagai anggota Majelis Pemerintahan Harian Daerah Kabupaten Sumba Barat. Sementara itu, tugas-tugasnya sebagai Raja Anakalang diemban oleh iparnya, Umbu Sulkungi Ibilona. Ketika Lende Kalumbang, Raja Laura, yang menjabat sebagai bupati pertama Sumba Barat meninggal dunia, dia dipilih sebagai bupati kedua kabupaten tersebut hingga 1973. II.KADUMBULU Umbu Hiwa, Raja Kadumbulu, pernah menandatangani perjanjian yang diperbaharui dengan Belanda (diwakili Residen WLH Brocx) pada 20 Juni 1860. Ketika terjadi serangan orang-orang Ende, Raja Umbu Hiwa Kambuku terpaksa melarikan diri ke pegunungan, peristiwa ini menandai akhir Kerajaan Kadumbulu. Kekosongan ini dimanfaatkan oleh Raja Taralandu dari Lewa Kambera untuk 175. Lihat Sejarah Kerajaan-kerajaan di Sumba Barat, halaman 65. 176. Lihat Lintasan Sejarah Bumi Cendana, halaman 321; tetapi buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945 s/d 1949) Daerah Nusa Tenggara Timur, halaman 29, mencantumkan namanya sebagai Umbu Sapi Pakduka. http://facebook.com/indonesiapustaka


Click to View FlipBook Version