Analisis Historiografi Buku “Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830” Karya Peter Carey dan Farish A. Noor Azzahra Wenda Azizah Syams Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa e-mail: [email protected] PENDAHULUAN Persoalan mengenai ras atau etnis telah diperkenalkan di Indonesia sejak masa Orde Baru (1966-1998) yang termasuk sebagai persoalan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) yang hingga saat ini masih terus menjadi polemik di Indonesia. Banyak sekali kajian yang membahas mengenai etnisitas, begitu pula dari bidang sejarah yang telah banyak melakukan pengkajian. Buku ini tersaji dengan cover berwarna hijau pudar bagian atasnya dan ilustrasi perang di bagian bawah yang membuat saya tertarik untuk meminjam dari lemari teman. Saat membaca bagian paling depan, diketahui makna dari gambar ilustrasi sampul tersebut merupakan lukisan cat air perwira Angkatan Laut Belanda, Komodor Quirijn Maurits Rudolph Ver Huell (1787-1860), yang mengisahkan tindakan teruna (adelborst) berusia 17 tahun, Francois X.R. ‘t Hooft (1799-1860), yang sedang menyelamatkan bendera Belanda saat kekalahan telak pasukan Belanda di pantai Waisisil, Saparua, oleh pejuang Maluku yang dipimpin pahlawan Indonesia, Pattimura (Thomas Matulessy, 1783-1817), pada 20 Mei 1817. Dari 177 pasukan Belanda namun hanya 18 yang selamat. Dalam buku ini, penulis tidak hanya ingin menambah banyak pembahasan mengenai topik yang dikaji melainkan berniat membawa pembaca pada ranah yang selama ini jarang disentuh yaitu mengenai epistemologi kolonial. Epistemologi kolonial sendiri merujuk pada kerangka pemahaman, pengetahuan, serta cara pandang yang muncul selama era kolonialisme di mana pengetahuan, kebenaran, dan otoritas seringkali dikendalikan oleh kekuasaan kolonial.
PEMBAHASAN Resensi Sepanjang abad ke-19 hingga ke-20 menjadi masa yang penuh penderitaan dan kekerasan. Saat itu banyak dari negara-negara Barat melakukan penjajahan di wilayah-wilayah dunia ketiga, utamanya Asia dan Afrika. Mereka berlomba menguasai wilayah tersebut dengan tujuan untuk memberadabkan warga pribumi yang dianggap orang Barat sebagai kaum terbelakang. Keadaan inilah yang terjadi juga pada Hindia Belanda sejak awal abad 19. Pada abad ke-18, orang Barat yang datang ke Nusantara merupakan para pedagang yang diwakili perusahaan dagang Belanda bernama VOC. Mereka datang ke hindia untuk melakukan perdagangan, sehingga hubungan yang terjadi antara orang Barat dan pribumi saat itu adalah pembeli dan penjual. Namun, sejak VOC bubar pada 1799 dan digantikan oleh pemerintah otoritas Belanda di Batavia, keadaan di Hindia berubah. Orang-orang Barat mulai menancapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah Nusantara dan membangun pemerintahan kolonial. Pandangan orang Barat pun berubah dan menganggap orang pribumi harus diberadabkan karena memiliki kebudayaan yang tertinggal dari Barat. Perubahan keadaan inilah yang coba dijelaskan oleh Peter Carey dan Farish A. Noor, dalam bukunya yg berjudul "Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808-1830" (KPG, 2022). Kedua penulis tersebut merunut perubahan sikap orang Barat ketika melakukan penjajahan di Jawa khususnya. Bahkan, dalam salah satu tulisan Peter Carey di buku ini memperlihatkan tindakan rasial orang Barat saat itu juga menjadi faktor terjadinya Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro. Resensi oleh: Martinus Danang Pratama Wicaksana, via Kompas.id, 2 Oktober 2022 Buku ini memiliki keunggulan dalam memilih topik-topik yang disajikan. Selain itu, kita juga tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa buku ini ditulis oleh dua sejarawan terkenal di bidang Asia Tenggara yang berarti penulisan ini telah diteliti dengan baik dan telah menjadi pemeriksaan akademisi. Kehadiran buku ini tidak
sekedar memperpanjang literatur, tetapi hendak membawa pembaca pada ranah yang jarang disentuh yaitu epistemologi kolonial. Buku karya Peter Carey dan Farish A. Noor ini memiliki fokus pada periode penting dalam sejarah kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Saat orang Eropa kebanyakan menjauhkan diri dari segala macam takhayul dan sejenisnya, namun ternyata sebagiannya lagi memindahkan kepercayaan tersebut kepada negara-negara yang dijajahnya. Carey dan Noor mencoba memperlihatkan sesuatu yang disembunyikan di balik nilai-nilai alamiah dan ilmiah sejarah. Dari isi buku, Carey mencoba memahami sudut pandang pengalaman berbagai kelompok yang terlibat dalam peristiwa sejarah yang ditelitinya. Metode Historis Buku ini ditulis oleh dua sejarawan terkenal pada bidang studi Asia Tenggara. Gaya penulisan Carey seringkali dianggap nyentrik, inventif, dan berani mengambil resiko. Dan Noor sendiri dalam hasil karya tulisnya sering menggunakan pendekatan yang tidak konvensional dan kritis. Dari isi buku, Carey menggunakan pendekatan Multi-perspektif yang mana ia mencoba memahami sudut pandang pengalaman berbagai kelompok yang terlibat dalam peristiwa sejarah yang ditelitinya. Profil Penulis Peter Carey lahir di Rangoon, Birma (kini Myanmar), 30 April 1948, adalah Emeritus Fellow di Trinity College, Oxford, dan Adjunct Profesor (Guru Besar Tamu) di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Ia mendapat gelar BA pada 1969 dari Oxford University, serta pertama kali memiliki ketertarikan pada Asia Tenggara, khususnya Indonesia, saat belajar satu tahun di Cornell University (1969-1970). Ia pernah mengadakan penelitian lapangan selama empat tahun di Indonesia (1971-1973, 1976-1978) dan mengajar sejarah modern sebagai dosen dan fellow (anggota staf akademik) di Trinity College, Oxford, pada 1979-2008. Karya utamanya adalah The British in Java, 1811-1816: A Javanese Account (Oxford University Press, 1992) dan The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and
the End of an Old, Order in Java,1785-1855 (KITLV Press, 2007). Ia juga menulis tentang Birma (Myanmar) dan Timor-Leste. Bukunya yang paling mutakhir adalah sebuah karya yang disunting bersama Farish A Noor berjudul Racial Difference and the Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia (Amsterdam University Press, 2021). Dr. Farish A. Noor adalah Professor of History pada Faculty of Arts and Social Sciences, University Malaya. Fokus kajian nya adalah Asia Tenggara masa kolonial, dan beberapa karya terbarunya adalah The Long Shadow of the 19th Century: Critical Essays on Colonial Orientalism in Southeast Asia (Matahari Books, 2021); Data-Collecting in 19th Century Colonial Southeast Asia: Framing the Other (Amsterdam University Press, 2020); America's Encounters with Southeast Asia 1800-1900: Before the Pivot (Amsterdam University Press, 2018); The Discursive Construction of Southeast Asia in the Discourse of 19th Century Colonial-Capitalism (Amsterdam University Press, 2016); and The Malaysian Islamic Party 1951-2013: Islamism in a Mottled Nation (Amsterdam University Press, 2014). Informasi Singkat Buku Judul : Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830 Penulis : Peter Carey dan Farish A. Noor Penerjemah : Christopher Reinhart dan Feureau Himawan Sutanto Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Tahun terbit : 2022 Tempat terbit : Jakarta Jumlah halaman: 279 halaman ISBN Cetak : 978-602-481-656-8 Penjajahan di Indonesia meninggalkan jejak panjang dan penuh kekerasan. Masa antara kedatangan Marsekal Daendels dan akhir Perang Jawa, yaitu antara 1808 dan 1830, adalah masa yang penuh dengan darah. Peralihan kekuasaan yang singkat dari rezim Prancis-Belanda Daendels (1808-1811) ke pemerintahan Inggris di bawah Raffles (1811-1816) dan pasca-1816 ketika pemerintahan jajahan Belanda
kembali menguasai Nusantara diwarnai dengan pertempuran militer yang kadang sengit dan digerakkan oleh prasangka rasialis. Masyarakat Jawa yang dipandang sebagai kaum yang “terpuruk” (dari masa keemasan-nya sebelum penjajahan) dan “terbelakang”, sudah selayaknya diberadab-kan, bukan hanya dengan cara-cara militeristik tetapi juga dengan perangkat pemerintahan jajahan yang baru. Pada masa ini, terbentuklah suatu panoptikon atau Pemerintahan Bung Besar Orwellian di bawah Raffles yang merancang peta tentang sumber-sumber alam dan infrastruktur Pulau Jawa. Di sisi lain, muncul juga suara-suara kritis yang mengecam praktik penjajahan, seperti disuarakan oleh seorang jurnalis dan politikus yang radikal, William Cobbett (1763-1835). Buku ini merupakan kumpulan tujuh esai yang memusatkan pembahasannya pada konstruksi kolonial atas ras dan identitas, dan bagaimana pemerintahan kolonial pada awal abad ke-19 di Jawa bersandar pada teori-teori rasial untuk mengobjektifkan perbedaan ras sebagai batu penjuru yang kokoh dalam mengelola masyarakat jajahan pada abad ke-19. GAYA PENULISAN Peter Carey dan Dr. Farish A. Noor merupakan dua sejarawan yang terkenal pada bidang studi Asia Tenggara. Peter Carey memiliki gelar Emeritus Fellow atau gelar yang diberikan kepada seorang akademisi yang memiliki prestasi luar biasa. Sebagai alumni yang memiliki gelar Emeritus Fellow, Peter Carey masih terus berkontribusi dengan mengabdi dan juga masih dapat mengakses ke fasilitas dan sumber daya universitas. Peter Carey memperumpamakan proses risetnya seperti dengan membuat minuman anggur yang bagus (vintage wine). Dan menurutnya hal yang paling penting dalam proses riset dan menulis ialah kesabaran dan kerelaan untuk membiarkan sumber berbicara daripada membuat tafsir sendiri sebagai seorang sejarawan. Sejak menjadi sejarawan peneliti (research student) pada 1970 pasca lulus S1 di Oxford dan setahun di Cornell (1960-1970), Peter Carey sudah lama mengumpulkan bahan arsip seperti Nationaal Archief di Belanda dan Anri Indonesia. Hal menarik yang pernah diucapkan Peter Carey adalah pandangan Peter Carey terhadap sejarah. Menurutnya, ada tiga pertanyaan dasar yang perlu dijawab untuk menavigasi hidup manusia. Yang pertama adalah “Siapakah saya?”, kedua “Mau
kemana?”, dan ketiga “Berasal dari mana?” itulah jawaban mengenai mengapa sejarah sangat menarik di matanya. KESIMPULAN Ras dan pemahaman tentang ras bukanlah sebuah kenyataan yang tidak berubah. Ketika kapten pelaut Cornelis de Houtman (1565-1599) mendarat di Banten, Jawa Barat, pada Juni 1596 sebagai seorang perwakilan dari salah satu pendahulu Perserikatan Dagang Hindia Belanda (VOC), orang Belanda datang sebagai pedagang dan bukan penakluk. Hingga akhirnya VOC bangkrut dan mulai dinasionalisasi oleh negara Belanda pada 1796. Kemenangan Belanda di penghujung Perang Jawa menjadi pembuka babak penjajahan Belanda selama 112 tahun dimana sebuah sistem perbudakan secara de facto diterapkan menjadi Sistem Tanam Paksa (1830-1870) juga melalui sistem kendali masyarakat yang berdasarkan ras. Sistem kendali masyarakat berdasarkan ras ini diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah tahun 1854, yang membagi populasi Hindia Belanda menjadi tiga “etnis”: Orang Eropa, Inlanders (pribumi), dan Vreemde Oosterlingen (Orang Timur Asing), yang masing-masing diberi status hukum dan politik. Orang Timur Asing ini mencakup orang Arab, India, dan yang memegang peranan penting dalam bidang ekonomi, yakni keturunan Tionghoa. Pembagian tiga kelompok ini terus diterapkan hingga jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang pada 8 Maret 1942. DAFTAR PUSTAKA Noor, A. F dan Carey, P. (2022). Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). HESTIAISTIVIANI. (2021, Juni 15). PETER CAREY MENJAWAB NGOBROL #15. Retrieved from https://buku.kompas.id/2021/06/15/peter-carey-menjawab-ngobrol-15/ WICAKSANA, M. D. (2022, Okt 2). Praktik Rasisme Kolonial Memicu Perang Jawa. Retrieved from
https://www.kompas.id/baca/buku/2022/10/01/praktik-rasisme-yang-memicu-pe rang-jawa