The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Kumpulan Cerpen, Naskah Drama, Puisi, Esai, dan Komik Strip Antikorupsi ( PDFDrive )

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by perpus27kotabekasi, 2022-05-30 23:24:59

Kumpulan Cerpen, Naskah Drama, Puisi, Esai, dan Komik Strip Antikorupsi

Kumpulan Cerpen, Naskah Drama, Puisi, Esai, dan Komik Strip Antikorupsi ( PDFDrive )

92

93

94

95

96

97

98

99

100

101

102

103

104

105

106

107

108

109

110

111

112

Karya
Maruntung Sihombing

Muhammad Istiqlal
Apip Kurniadin
Putri Handayani
Syerif Ali Ahmadi

113

Esai

Oleh: Apip Kurniadin

7ERUS TERANG, kalau ditanya tentang pahlawan favorit, dari sekian banyak nama,
saya tidak ragu untuk memilih Muhammad HMuhammad Hatta atau yang lebih
akrab dipanggil Bung Hatta. Proklamator sekaligus Wakil Presiden RI pertama. Akan tetapi,
bukan itu alasan Bung Hatta saya pilih, melainkan karena kisahnya tentang sepasang sepatu.
Lha, kok bisa?
Seperti dikisahkan sekretaris pribadinya, Iding Wangsa Widjaja, Bung Hatta pernah
menginginkan sepatu Bally. Pada masa itu, Bally merupakan merek sepatu bermutu tinggi
dan tentu saja harganya tidak murah. Begitu kuat keinginan untuk memiliki sepatu tersebut,
sampai-sampai Bung Hatta menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat si penjual dan
berharap suatu saat ia dapat membelinya.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, Bung Hatta berusaha keras menabung dengan
menyisihkan sebagian gaji yang ia terima. Sayang, uang yang ditabung tampaknya tidak
pernah cukup karena kerap terambil untuk keperluan lain. Alhasil, sampai akhir hayatnya,
keinginan Bung Hatta untuk membeli sepatu idamannya tak pernah kesampaian. Bagian
paling mengharukan dari cerita ini, ternyata hingga meninggal, guntingan iklan sepatu Bally
itu masih tersimpan di dalam dompet Sang Proklamator.
Sebagai seorang wakil presiden, sebenarnya kalau mau, dengan mudah Bung Hatta dapat
memiliki sepatu tersebut. Ia tinggal minta pada duta besar atau kenalan-kenalannya yang
tentu dengan senang hati akan memberinya secara cuma-cuma. Di sinilah keistimewaan Bung
Hatta, ia tidak mau memperoleh sesuatu untuk kepentingan sendiri dengan memanfaatkan
kekuasaan yang ada padanya.
Bagi saya, sikap yang ditunjukkan Bung Hatta mencerminkan bahwa ia tidak hanya
sederhana dan jujur, tetapi juga tidak terkorupsikan (uncorruptable). Kejujuran hati yang
dimiliki, membuat Bung Hatta tidak mau menodai diri dengan melakukan tindak korupsi
yang dapat merusak integritasnya.  Sebagai ekonom andal, Bung Hatta tentu paham betul
bahwa korupsi merupakan penyakit menular yang amat berbahaya dan mematikan.

***
Korupsi atau rasuah berasal dari bahasa Latin, corruptio (dari kata kerja corrumpere),
yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, atau memutar balik. Seperti makna kata dasarnya,
korupsi merupakan suatu perbuatan yang merusak atau menyebabkan kerusakan. Seumpama

114

115

ikan busuk yang ditempatkan di antara ikan-ikan segar, maka secara otomatis ikan-ikan segar
tersebut perlahan-lahan akan berubah menjadi busuk pula.

Korupsi muncul akibat need of achievement atau motivasi berprestasi dari manusia yang
terlalu berlebihan. Sederhananya, secara naluri kita biasanya ingin melebihi orang lain. Lebih
kaya, lebih tampan atau cantik, lebih populer, lebih keren, lebih hebat, lebih pintar, dan lebih-
lebih lainnya. Keinginan-keinginan inilah yang mendorong seseorang melakukan korupsi.
Sebaliknya, pribadi sportif yang mau membatasi dan menerima kekurangan diri merupakan
wujud dari need of achievement yang ideal.

Perilaku korupsi sendiri sebenarnya bermula dari tindakan-tindakan yang dianggap
remeh atau sepele. Biasanya perilaku ini dilakukan oleh remaja, misalnya menyontek
(cheating) saat ulangan, menjiplak tugas sekolah, membohongi guru atau orang tua, dan
sebagainya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku tidak jujur tersebut apabila
dilakukan secara terus-menerus berhubungan erat dengan sikap yang mengarah pada
perilaku korupsi. Dengan demikian, perilaku korupsi sesungguhnya terbentuk sejak kecil
dan berpeluang berlanjut sampai dewasa kelak.

Korupsi amat berbahaya karena daya rusaknya yang sangat kuat. Cara kerja korupsi
mirip rayap. Binatang ini akan memakan bagian dalam bangunan dan membiarkan bagian
luarnya tampak utuh sehingga kita baru tersadar apabila bangunan tersebut telah benar-
benar roboh, rata dengan tanah.

Karena cara kerjanya yang diam-diam, samar, dan di bawah permukaan, seseorang
kadang tidak menyadari kalau perbuatannya termasuk atau mengarah korupsi. Misalnya,
karena kurang percaya diri, meskipun telah belajar keras, seorang siswa menyontek saat
ulangan. Contoh lain, karena sering dikirim bingkisan, seorang guru sengaja menaikkan nilai
siswanya. Perbuatan-perbuatan semacam itu acapkali dianggap wajar sehingga dibiarkan terus
berlangsung. Pembiaran akan menimbulkan kebiasaan. Kebiasaan lambat laun membentuk
watak dan kepribadian seseorang.

”Pikiranmu akan menjadi ucapanmu. Ucapanmu akan menjadi perilakumu. Perilakumu
akan menjadi kebiasaanmu. Kebiasaanmu akan menjadi karaktermu. Karaktermu akan
menjadi takdirmu,” begitulah petuah sang bijak dari Hindustan, Mahatma Gandhi.

Indonesia sendiri merupakan negara darurat korupsi. Berdasarkan Corruption
Perseptions Index (CPI) yang dirilis Transparency International pada 2014, Indonesia
menempati peringkat ke-107. Jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Filipina,
Thailand, Malaysia, dan Singapura. Artinya, dalam hal korupsi, negara kita termasuk
“juaranya”. Tentu saja ini bukan prestasi yang membanggakan. Apalagi sejarah kemudian
mencatat bahwa korupsi telah menyebabkan banyak negara di dunia terpaksa gulung tikar.
Jika tidak segera berbenah, tidak mustahil bangsa kita akan mengalami hal serupa di masa
yang akan datang.

Upaya pemberantasan korupsi sebenarnya dapat dilakukan dengan cara yang sederhana.
Gunnar Myrdal, ahli ekonomi sekaligus peraih Nobel asal Swedia, mengemukakan bahwa
salah satu cara memberantas praktik korupsi ialah adanya keteladanan dan komitmen yang

116

kuat. Orang Jawa bilang sabda pandito ratu. Artinya, perkataan seorang raja mestinya juga
perkataan seorang pandita (penjaga moral). Keteladanan akan menjadi imun yang berguna
menghadang laju pertumbuhan korupsi di dalam tubuh masyarakat kita.

Melihat kondisi saat ini, Indonesia sepertinya membutuhkan banyak teladan seperti
Bung Hatta. Negarawan yang jujur, sederhana, dan cinta tanah air. Pemimpin yang tidak suka
menanam tebu di bibir. Satria Pandita Reki Ngambara Kalayung-layung, Makutha Tan Ratu,
seorang pemimpin yang berhasrat kuat melayani bangsa, negara, dan rakyatnya.

Itulah alasan sebenarnya saya memilih Bung Hatta sebagai pahlawan favorit. Bung
Hatta merupakan sosok teladan besar. Darinya kita belajar bagaimana sikap menahan diri,
mandiri, bersahaja dan tentu juga uncorruptable. Nah, kalau Bung Hatta saja yang pernah
jadi wakil presiden tidak malu menjalani hidup sederhana tanpa korupsi, mengapa kita harus
takut mengikuti langkahnya.

***

117

Esai

Oleh: Maruntung Sihombing

1amanya Obatius Wenda. Seorang siswa SMA yang tinggal di Pegunungan Tengah
Papua. Tingginya separuh ukuran Michael Jordan. Bajunya kumal. Rambutnya
keriting. Kulitnya hitam. Setiap pagi dia mesti berjalan selama empat jam perjalanan untuk
sampai di sekolahnya yang berada di sebuah perkampungan kecil, persisnya di atas bukit di
Pegunungan Tengah Papua. Tujuh puluh kilometer sebelah timur dari pusat Kota Wamena.
Sebelum pukul delapan pagi waktu Indonesia Timur, sebelum apel pagi dimulai, dia
sudah terlebih dahulu berada di sekolah. Tanpa disuruh, dia akan cepat-cepat meminta kunci
dari rumah gurunya yang bernama Pak Hombing untuk membukakan kantor, ruang kelas,
dan tak kalah penting memasang bendera merah-putih yang ditancapkan di tiang bendera
dari pohon kasuari dengan tinggi dua kali badan “Michael Jordan” itu.
Kendati hidup di “keheningan” dan kesederhanaan, Obatius tetap ke sekolah tanpa
mengenakan seragam putih abu-abu dan alas kaki yang biasa digunakan anak-anak SMA
seusianya di perkotaan. Dia tampaknya senang-senang saja walau hanya bermodalkan baju
sehari-harinya dengan satu buku dan satu pulpen yang tertampung di dalam tas nokennya.
Bahkan, sepotong ubi bakar sudah dipersiapkannya di dalam tas untuk bekal makan siangnya
sepulang sekolah nanti.
Obatius juga dipercaya sebagai Ketua OSIS di sekolahnya. Dia orang kampung
yang memiliki sejuta asa. Persoalannya, dia hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan.
Keterbatasan yang dia miliki tidak serta merta menyurutkan semangatnya untuk datang
menimba ilmu dari para guru-gurunya. Dia salah satu anak Papua yang memiliki harapan
dan cita-cita mulia untuk membangun Indonesia dari Tanah Cendrawasih itu.
Namun persoalannya, siapa yang berhak menyelamatkan cita dan niat mulianya?
Bukankah sudah sejak lama persoalan Obatius ini terus-menerus berlangsung di tanah
Papua? Keterbelakangan, keterbatasan, dan ketertinggalan dan stigma negatif lainnya seolah
identik dengan daerah paling timur Indonesia ini. Betapa malangnya nasibmu, Obatius!
Bagaimana masa depanmu kelak?
Tius, begitu dia dipanggil teman-temannya di sekolah. Tentu, sebagai anak yang
tinggal di pedalaman Papua, kemampuan akademiknya tidaklah semaju dengan anak-anak
yang tinggal di perkotaan. Tanpa gadget, tanpa telepon seluler, bahkan alat canggih lainnya.
Kendati demikian, bukan berarti dia menjadi tertinggal dalam segala bidang. Meskipun
kemampuan akademiknya masih di tingka baca, tulis, dan hitung, namun ada bidang-bidang
tertentu yang membuat dirinya unggul dan memiliki kelebihan.

118

119

Karakter. Ya, karakter! Dia masih menjaga betul tradisi lokal yang ada di daerahnya.
Kearifan lokal masih terpelihara. Dia tampak masih putih dan belum dihitami oleh kebencian
dan ketidakbenaran duniawi yang “memabukkan” itu. Belum tergerus oleh modernisasi dan
globalisasi. Waktunya tidak banyak terkuras bermain HP atau malah duduk seharian di depan
layar komputer atau Playstation seperti anak-anak yang ada di pusat kota. Yang ada malah,
sehabis sekolah dia akan pulang ke rumah dan membantu orang tuanya bekerja di kebun
atau mencari makanan kelinci dan babi, ternak peliharaan mereka. Begitu tiap harinya. Tapi
sekali lagi, sampai kapan begini? Dia juga pengen sejajar dengan teman-temannya yang ada
di Jawa dan Sumatera.

Hal ini tentu begitu kontras dengan tanah kelahiran saya di Provinsi Sumatera Utara,
Kabupaten Tapanuli Utara, Desa Aekraja. Remaja SMA di kampung halaman saya sudah
memiliki sepeda motor, gadget, bahkan kemampuan akademik yang sudah memadai. Padahal
bisa dikatakan kampung halaman saya salah satu daerah terpelosok. Tidak satu pun sekolah
tingkat SMA di kampung halaman saya yang berkutat pada persoalan calistung. Semua
terfokus pada kurikulum nasional. Coba kita bayangkan saja Obatius dengan kemampuan
yang dia miliki bila suatu saat bertandang ke Jawa atau Sumatera. Obatius jelas kelabakan
dan akan susah bersaing dengan anak-anak yang di Jawa. Alangkah menyedihkan, bukan?

Oh, Obatius, sampai kapan terus begitu? Sudahlah. Sekolahlah! Belajarlah! Berubahlah!
Teruslah jadi dirimu sendiri, Obatius. Selain itu, dia juga rajin berdoa, beribadah dan ke gereja.
Dia malah menjadi kakak pengasuh anak sekolah minggu di salah satu gereja yang dekat
dengan rumahnya. Dia betul-betul berbeda dibandingkan dengan orang-orang seumuran
dia. Pernah suatu waktu, pas ujian semester berlangsung di tahun 2014, dia terang-terangan
menyebutkan temannya yang menyontek dan melaporkannya kepada guru.

Baginya, sesuatu yang ganjil dan berlawanan dengan kebenaran mesti dilawan walau
menerima banyak tantangan dan risiko. Dia betul-betul berlandaskan pada kebenaran firman
Tuhan yang dia percayai dalam agamanya, “Jangan berbohong. Hiduplah dalam kasih dan
kebenaran. Mesti hidup dalam keterusterangan dan keterbukaan”. Begitu prinsipnya.

Memang gurunya yang bernama Pak Hombing itu merupakan guru bantu yang
diperbantukan di sekolahnya sejak 2013 setelah sejak lama mereka betul-betul kekurangan
polesan seorang guru. Kondisi dan akses yang sangat terbatas di lingkungan sekolahnya
menjadikan sekolah Obatius menjadi sekolah yang selalu terbelakang. Ironisnya, dari lima
puluhan siswa, masih ada beberapa siswa yang belum bisa membaca dan berhitung. Konon,
sebelum kedatangan gurunya itu, jumlah guru di sekolahnya hanya berjumlah tiga orang,
termasuk kepala sekolah. Maka, sebelum kedatangan gurunya itu, mereka antara belajar dan
tidak.

Kegiatan belajar-mengajar mandek dan sering tidak terlaksana. Makanya tak heran bila
kemampuan para siswa di sekolah Obatius benar-benar memprihatinkan. Kendati demikian,
Obatius dan teman-temannya yang lain selalu menghormati dan menghargai guru-gurunya.
Dijaga dan dilindungi.

Hal senada juga disampaikan Bapak Matius Tabuni, Kepala Distrik di kecamatan

120

Obatius. Bagi Pak Matius, guru itu ibarat “Tuhan”. “Guru itu seperti Yesus sudah. Karena dulu
Yesus ketika datang ke dunia, tugas pertamanya adalah mengajar, toh,” katanya.

Tak heran hampir sebagian besar warga di Papua, khususnya Papua Pegunungan Tengah,
meyakini guru adalah utusan Tuhan, seperti rasul, tak peduli agamanya apa, budayanya
apa. Bagi mereka, guru adalah utusan Allah yang harus dihormati. Karena itu, orang tua
menasihati anaknya, termasuk Obatius, agar menghormati guru-guru tanpa terkecuali,
bahkan lebih dari wakil rakyat, lebih dari yang lain.

Misi pencerahan yang dibawa guru, seakan menjawab kebutuhan masyarakat di Papua
yang masih hidup dalam bayang-bayang kegelapan. Hidup di jalan aksara menjadi sebuah
mercusuar bagi Papua. Tak ayal, guru adalah pelita. Guru adalah sinar. Ketika sinar itu hadir,
dan berkilau di Papua, tampaklah warna-warni karakter Papua. Karakter penuh warna itu
tersembunyi berabad-abad karena Papua didera kegelapan aksara. Ironis sekali, bukan?
Padahal, Indonesia sudah merdeka selama enam puluh tahun lamanya. Betulkah memang
benar-benar merdeka?

Dalam data Kemendikbud tahun 2014 terekam secara jelas menyatakan bahwa jumlah
penduduk buta aksara tertinggi terdapat di Provinsi Papua sebesar 30,93 persen. Lebih jauh,
berdasarkan hasil riset Bappenas pada 2012, predikat daerah termiskin di Indonesia masih
dipegang oleh Papua. Tingkat kemiskinan di daerah Papua sebesar 31, 11 persen. Ditambah
lagi, fakta menunjukkan bahwa 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru, termasuk
Papua. Sedangkan secara nasional, 34% sekolah Indonesia masih kekurangan guru (Munif
Chatib, dalam bukunya Gurunya Manusia, Hal XIV).

Padahal, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, sudah meluncurkan
Gerakan Literasi Sekolah “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”. Memang masih terbilang baru,
tetapi pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepatutnya
sudah sejak dulu melakukan gerakan-gerakan masif dalam memberantas buta aksara dan
kemiskinan yang meililit tanah Papua itu. Kita tak memungkiri usaha yang sudah diperbuat,
tapi harusnya dilakukan secara total.

Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua tahun 2014 menyatakan,
angka buta aksara di Provinsi Papua mencapai 900.000 orang. Selain rendahnya sumber
daya manusia, menurut Badan Pusat Statistik tahun 2013, sebanyak 965.000 warga terjerat
masalah kemiskinan (Kompas, 10/06/2014). Padahal Papua dikelilingi sumber daya alam
yang melimpah. Emas yang melimpah.

Sejak beroperasi hingga sekarang, PT. Freeport telah menjual 915.000 ons atau setara
28,6 ton emas dan 716 juta pon (358 ribu ton) tembaga dari tambang Grasberg di Papua. Laba
Freeport naik sekitar 16 persen pada kuartal keempat tahun lalu menjadi USD743 juta (Rp7,2
triliun). Total pendapatan juga meningkat menjadi USD4,51 miliar dari USD4,16 miliar pada
periode sama tahun sebelumnya (www.kompasforum.com).

Mimpi untuk mendatangkan sinar itu pula sebetulnya yang mengantarkan Obatius
selalu giat datang ke sekolah. Mereka percaya bahwa guru adalah jembatan perubahan yang
kelak bisa melahirkan mutiara-mutiara Timur untuk membangunkan Tanah Cendrawasih

121

dari segala ketertinggalannya. Makanya, bila ada anak yang tidak sekolah, Obatius menjadi
orang yang kedua setelah gurunya, Pak Hombing, untuk memberikan nasihat. Tak percuma
memang peran dia sebagai pengasuh di Gereja Baptis yang ada di dekat rumahnya. Meskipun
hanya makan ubi untuk mengenyangkan perutnya, tetapi kepedulian dia akan nasib teman-
temannya menjadi agenda paling mendasar. Dia sering dijadikan sebagai teladan buat teman-
teman di sekitarnya.

Obatius kini lahir sebagai generasi emas pembawa perubahan. Dia bernapaskan
kesederhanaan, kepedulian, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Meskipun pengetahuan
akademiknya yang terbilang rendah, Obatius hadir sebagai pendongkrak semangat dan
pemberi suri teladan untuk orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dia tidak peduli berapa harga yang harus dibayar. Dia tidak berpikir dengan risiko
yang akan terjadi. Semangatnya hanya satu, mengobarkan api keteladanan untuk lingkungan
sekitarnya. Baginya, kepintaran tidak segala-galanya. Kepintaran tanpa karakter adalah
nihil. Dia percaya, di mana pun dia berada nanti akan tetap menjadi mutiara-mutiara yang
berharga yang akan dicari dan dibeli orang.

***

122

123

Esai

Oleh: Muhammad Istiqlal

“Korupsi kanker suatu bangsa.” (Jusuf Kalla)

Hasan melakukan rutinitas harian sebagaimana biasanya. Berangkat pukul enam pagi
menuju SMA Disiplin di salah satu pusat kota budaya. Lazimnya seorang guru yang
menjadikan sekolah menjadi ladang amal di samping menjadi tempat untuk menyandang
status sosial, ia sangat menikmati rutinitas itu.
Tak ada yang aneh, tak ada firasat apapun hingga pada saat asyik bercengkerama dengan
murid, telepon genggamnya bergetar cukup panjang. Hasan dengan setengah berlari keluar
kelas untuk menjawab telepon.
Seperti dugaan Hasan, teleponnya berasal dari orang yang memang sudah kerap
meneleponnya di jam-jam pelajaran. Meskipun tebakannya betul soal siapa yang menelepon
namun kali ini tebakannya salah tentang kabar yang ingin disampaikan. Memang benar
pesan yang disampaikan soal pekerjaan, namun pekerjaan ini membuat perasaan Hasan
campur aduk.
Bagaimana tidak, Hasan memiliki sisi lain dalam kehidupannya. Cita-cita menjadi
seorang wirausaha handal merupakan cita-cita yang terselip dalam rutinitas profesinya
sebagai guru. Hasan memang sudah satu tahun terakhir menggeluti dunia wirausaha. Dan
namanya semakin menggema sebagai seorang enterpreneur muda di tengah gairahnya
menjadi seorang guru.
Kabar tadi segera direspons cepat oleh Hasan. Naluri wirausahanya yang masih
seumur jagung mengesampingkan akal sehat maupun akal sakitnya. Dia menerapkan
ilmu optimisme tinggi dan pantang menolak rejeki yang ia peroleh dari para seniornya di
komunitas wirausaha.
Tak butuh waktu lama pesanan diselesaikannya dan segera ia kirim ke sekolah. Di
tengah negosiasi, Hasan merasa terganggu dengan pertanyaan harga. Hasan sangat mantap
menjawab harga yang diberikannya sudah nett alias tidak ada diskon.
Keluar dari ruangan itu, Hasan membawa kegundahan yang cukup memengaruhi
kualitas mengajarnya di kelas. Sejenak Hasan duduk kemudian tangannya bergegas membuka
gadget yang sudah menemaninya dalam mengarungi kehidupan beberapa tahun terakhir.
Dicarilah dengan cepat kontak nomor yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Bergegaslah Hasan mengambil keputusan. “Pak, ini ke saya 72.500 saja.” Dibacanya berulang-
ulang sebelum ia tekan tombol di pojok kanan atas. Tak berapa lama balasan pun datang

124

125

dengan pertanda mengiyakan dan terimakasih. Bagaikan meminum segelas limun di bawah
terik matahari. Begitulah perasaan Hasan saat selesai membaca pesan itu.
Hadiah

Ini bukan hal baru bagi dunia usaha. Ucapan terimakasih dalam berbagai bentuk
merupakan bentuk usaha dalam menjaga pelanggan agar puas dengan pelayanan
perusahaannya. Dalam ilmu marketing, hadiah atau bonus menjadi hal penting dalam
mempertahankan bisnis. Ini yang membuat Hasan membenarkan perbuatannya. Bahkan
ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki, seperti dilansir portal berita detik.com tegas mengatakan
gratifikasi dalam bisnis itu wajar tapi ada batasnya. Hasan semakin yakin dengan tindakannya.

Bagi seorang pegawai negeri, ada salah satu pasal yang melarang seorang pegawai negeri
tidak boleh berbisnis. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1974 yang membatasi kegiatan
pegawai negeri dalam usaha swasta. Pegawai negeri dilarang dilarang untuk memiliki seluruh
atau sebagian perusahaan swasta, atau melakukan kegiatan dagang, baik secara resmi maupun
sambilan. Untungnya, Hasan bukanlah seorang pegawai negeri sehingga membuat pasal ini
menjadi tidak mempan untuknya.

Merasa sudah beres, tiba-tiba Hasan teringat pesan beberapa hari lalu dari salah seorang
temannya yang menyebut dirinya menjadi mediator suksesnya bisnis ini. Hasan tidak dapat
menutupi kejawaannya. Nasihat orang tuanya mengajarkan untuk pandai berterima kasih. Itu
yang menguatkan hati Hasan untuk ikhlas memberikan ucapan terima kasih dalam bentuk
hadiah. Hasan tak mau dicap sebagai orang yang tak tahu terima kasih. Dan, tentu tidak ada
yang salah karena Hasan dan temannya tersebut sama-sama sepakat dalam transaksi itu.

Sampai rumah Hasan langsung mencari pembenaran atas perbuatannya dengan
menceritakan kejadian tadi pagi kepada istrinya. Sesuai dugaan, istrinya mengiyakan
perbuatan Hasan. Beberapa saat Hasan bisa melupakan kejadian tadi pagi. Namun, tak
berselang lama perasaan lain muncul lagi, perasaan yang muncul ketika belum cukup
mendapat pembenaran dari teman hidupnya. Cukup lama termenung. Hasan mencoba
mengusik ketenangan pikirannya untuk meraih ketenangan hatinya. Ia mulai mencari
akar masalah munculnya perasaan gundah yang dirasakannya. Ternyata Hasan masih ragu
dengan perbuatan yang dilakukannya tadi pagi. Pengetahuan yang diperoleh Hasan sebagai
seorang guru maupun seorang awam membuatnya setengah yakin bahwa yang dia lakukan
merupakan salah satu contoh gratifikasi.
Gratifikasi

Ingatan tersebut membuat Hasan semakin terusik. Mulailah ia membuka gadget-
nya untuk mencari arti sesungguhnya dari gratifikasi. Ternyata pengertian gratifikasi yang
terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun
2001, adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima

126

di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Namun, Hasan yakin bahwa hadiah yang diberikannya itu sudah merupakan watak
orang jawa yang pandai berterima kasih, dan memang sudah bukan lagi menjadi rahasia
umum. Bahkan, jika ia tidak melakukannya tentu dia menyalahi “norma” sosial. Dan, sanksi
sosial sudah siap menghadangnya.

Masih kurang puas, Hasan mengerakkan jarinya untuk mencari pembenaran lain
tentang tindakannya. Dia membaca komentar Gubernur Jakarta, Ahok, dimuat oleh CNN
Indonesia (www.cnnindonesia.com), bahwa gratifikasi sudah dilakukan oleh anak-anak usia
10-12 tahun. Pada kesempatan itu Ahok menceritakan ketidaksengajaan seorang anak dalam
melakukan perbuatan gratifikasi.

Seorang anak meminta kepada orang tuanya untuk memberikan hadiah kepada seluruh
gurunya, tak lupa juga kepada satpam dan petugas kebersihan di sekolahnya. Orangtuanya
mengiyakan, karena ini merupakan hal yang baik, yang diajarkan oleh nenek moyang agar
membiasakan tangan di atas. Pada suatu saat si anak bangun terlambat dan orangtuanya
sangat khawatir. Namun yang terjadi sebaliknya tidak nampak waut wajah ketergesaan dari si
anak. Ketika ditanya kenapa dia terlihat santai. Si anak menjawab dengan tenangnya “Tenang
saja Bu, setiap tahun saya kasih hadiah, kalau saya yang terlambat pasti bisa masuk”. Menurut
Ahok, si anak telah melakukan gratifikasi yang tak disengaja. Sangat berbahaya jika anak
seusia 10 tahun sudah melakukan tindakan gratifikasi.

Masih belum puas juga, Hasan kembali melanjutkan pencariannya dengan masih
mengusung misi pertama yaitu mencari pembenaran atas apa yang dia lakukan bukan
mencari kebenaran atas apa yang dia lakukan. Ia berhenti pada sebuah makalah tentang
gratifikasi yang ditulis oleh Eka Periaman Zai dalam blognya ekazai.wordpress.com. Dalam
tulisannya dilukiskan dua wajah gratifikasi, yaitu gratifikasi positif dan gratifikasi negatif.

Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari
seseorang kepada orang lain tanpa pamrih. Sedangkan gratifikasi negatif adalah pemberian
hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih. Hasan menyimpulkan bahwa dua wajah gratifkasi
ini sangat tipis sekali batasnya.

Kemudian di akhir rasa penasarannya, Hasan ingin melihat gratifikasi dari kacamata
agama. Kembali ia memainkan gadgetnya untuk mencari sudut pandang agama terhadap
gratifikasi. Hukum asal memberikan hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi, “Sebaik-
baik sesuatu adalah hadiah. Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki
pun pasti tertawa”. Sah-sah saja seseorang memberikan hadiah pada siapapun.

Hasan tertarik dengan sebuah tulisan yang dimuat kompas.com ditulis oleh Said Agil
Siradj. Ia tak perlu lagi mepertanyakan keluasan ilmu agama si penulis. Dalam tulisannya,
Said mengungkapkan hukum gratifikasi bisa menjadi haram dikarenakan beberapa sebab,
diantaranya jika hadiah diberikan kepada seorang atasan, hadiah diberikan kepada pejabat
negara/PNS dan jika hadiah diberikan dengan maksud tertentu. Hadiah seperti ini yang
tergolong gratifikasi negatif, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, semua orang harus

127

meniggalkan perbuatan ini.
Hasan tampak puas dengan pencariannya tentang gratifikasi. Ia mulai berani

menyimpulkan bahwa perbuatannya tadi pagi sangatlah keliru dan tergolong dalam perilaku
korup. Betapa nistanya ia ketika tahu bahwa dirinya terjerembab dalam pusaran korupsi. Tak
lama setelah Hasan mendapatkan kebenaran, bukan lagi pembenaran. Hasan memutuskan
untuk tidak melakukan hal yang sama. Namun, untuk bergerak ke arah perubahan, ia harus
mengambil banyak risiko. Risiko jika tidak lagi melakukan perbuatan gratifikasi.

Risiko terasing dari lingkungannya. Risiko tidak mendapatkan proyek lagi. Dan masih
banyak risiko lain yang tentu membuat Hasan merasa dirinya pasti akan terbuang, bahkan
dibuang. Ia mengambil jalan itu. Ia berkaca seorang Nabi pun dibenci banyak orang ketika
menyampaikan kebenaran.

Ya, memang kebenaran itu pahit. Pahitnya melebihi kopi tanpa gula. Pahitnya melebihi
pil dosis tinggi. Pahit memang. Namun, yakinlah bahwa pahit di awal lebih baik dari pada
pahit di ujung. Meminjam kalimat Jusuf Kalla, korupsi kanker suatu bangsa. Obatnya pastilah
pahit dan mahal.

***

128

129

Esai

Oleh: Putri Handayani

%erani itu sikap yang luar biasa. Berani itu harus dilakukan oleh siapa saja. Kita
pernah mendengar sejarah R. A Kartini. Dengan keberaniannya ia memperoleh
hasil yang luar biasa.
Avin adalah seorang anak yang awalnya penakut. Peristiwa demi peristiwa yang dia
alami membuat dia menjadi pemberani. Menjadi seorang pemberani memang tidak mudah,
butuh suatu keyakinan dan proses.
Sepulang sekolah, Avin kelihatan sangat kacau. Pulang sekolah ia langsung masuk
kamar dan waktu makan siang pun dia lewatkan dengan diam di kamar. Ibu Avin mulai
curiga dan berusaha untuk mendekatinya, seperti kalau Avin sedang mengalami masalah.
Dari kejauhan terlihat seorang ibu agak tergesa-gesa menuju ke pos satpam sekolah itu.
Seorang ibu yang masih tergolong muda berbincang-bincang dengan seorang satpam yang
ada di pos penjagaan. Pembicaraan mereka terlihat cukup serius. Kemudian, ibu itu berjalan
mengikuti langkah kaki satpam menuju ruang BK. Sekolah di Kediri itu sangat luas,sehingga
dari tempat satpam cukup jauh.
Mereka disambut guru BK dengan penuh ramah,kemudian ibu itu dipersilakan masuk
dan duduk di tempat yang telah disediakan untuk tamu. Ibu itu bercerita tentang anaknya
yang masih kelas tujuh itu tidak mau masuk sekolah karena dipalak kakak kelasnya. Guru BK
dengan penuh kesabaran mendengarkan semua cerita yang dipaparkan oleh ibu itu.
Hari Senin, seminggu yang lalu Avin menunggu jemputan ibunya untuk pulang sekolah.
Tiba-tiba Dargo, kakak kelasnya, mendekati Avin untuk meminta uang dua ribu rupiah
kepada Avin, tetapi Avin bilang tidak punya uang. Dargo mengancamnya sambil memegang
kerah baju Avin. Kalau besok pagi Avin tidak menyerahkan uang, dia akan memukulnya.
Keesokan paginya, Dargo yang bertubuh tinggi dan baju seragam atasan yang tidak
dimasukkan, sudah duduk di pintu depan gerbang sekolah. Melihat Avin datang dengan
sepedanya memasuki gerbang sekolah, Dargo mengikuti Avin dengan cara membonceng di
sepeda Avin. Dengan sedikit gemetaran, Avin menyerahkan uang yang diminta oleh Dargo
ketika mereka sampai di parkiran belakang. Avin betul-betul takut luar biasa. Sebelum Dargo
pergi meninggalkan Avin, dia memegang kepala Avin dan sedikit menekannya.
Peristiwa itu ternyata tidak hanya sekali. Dargo mengulangi dan mengulanginya
hingga Avin tidak lagi bertahan dengan ketidaknyamanannya belajar di sekolah itu. Dengan
tekanan-tekanan yang diterima, akhirnya Avin mengumpulkan segala kekuatannya untuk
memberanikan diri bercerita kepada ibunya tentang peristiwa yang dialaminya di sekolah.

130

131

Avin memutuskan untuk tidak masuk sekolah.
Ibu Avin menyampaikan cerita itu dengan sedikit tidak terima. Dia kecewa dengan

perlakuan yang telah diterima oleh anaknya selama dua minggu terakhir ini. Seorang ibu
tentu sangat menyayangi putranya, sudah selayaknya ibu akan berusaha menjaga kenyamanan
putranya.

Semua cerita ibu Avin ditanggapi dengan serius oleh guru BK. Setelah permasalahan
sudah terkomunikasi dengan jelas, guru BK memanggil Dargo. Dengan keahlian seorang
guru BK, Dargo dipanggil dan diajak menuju ke ruang yang berbeda. Dengan beberapa
pertanyaan yang diberikan kepada Dargo, akhirnya lahirlah pengakuan-pengakuan yang tak
terduga. Guru BK berjanji kepada ibu Avin untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik
dan mengatur rencana untuk mengadakan pertemuan dengan orangtua Dargo di sekolah
esok harinya. Ibu Avin pulang dengan perasaan lega.

Dargo awalnya tidak mengakui perbuatannya. Tapi dengan bujukan guru BK dengan
mengatakannya kepada Dargo bahwa perbuatan yang sekecil apapun, baik dari yang
menyakiti, membuat orang lain sengsara, juga menolong orang lain, maupun membuat
orang lain bahagia akan mendapatkan balasan-NYA. Guru BK mengatakan jika Dargo jujur,
suatu saat ia akan mendapatkan balasan kebaikan juga. Jika Dargo mau mengaku dan mau
meminta maaf kepada Avin, orangtua Avin akan memaafkan perbuatannya dan tidak akan
memberikan hukuman kepada Dargo. Guru BK memberikan banyak nasihat kepadanya.

Dargo kelihatan termenung dan menundukkan kepalanya. Hidup tidak hanya hari ini,
masih panjang perjalanan yang akan dilalui oleh Dargo. Jika hidup dari kecil sudah dimulai
dengan ketidakjujuran, apa yang akan terjadi di kelak kehidupan seterusnya. Nasihat guru
BK terus bergulir. Dargo hanya terdiam, tidak seperti di awal pembicaraan tadi. Ia selalu
menjawab pertanyaan guru BK dengan penyanggahan.

Akhirnya penyanggahan Dargo berubah dengan pengakuannya. Ia mengaku memalak
Avin karena ia ingin main Playstation di warnet. Uang saku yang diberikan orangtuanya telah
habis untuk beli jajan. Dargo juga mengaku telah memalak dua adik kelasnya yang lain, tetapi
tidak berhasil. Ini sangat mengejutkan guru BK sehingga guru BK mengembangkan kasus ini
dengan memanggil dua anak lagi sesuai informasi yang diberikan olah Dargo.

Guru BK melanjutkan tugasnya dengan memanggil dua anak lagi, David dan Mahe,
yang juga siswa kelas tujuh. David dan Mahe menjawab semua pertanyaan guru dengan jujur.
Guru BK merasa masalah ini telah berhenti sampai pada dua anak tersebut. Hal yang dikatakan
Dargo telah terbukti dengan pengakuan David dan Mahe. Guru BK telah mempunyai jalan
terang untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Guru BK telah menyusun rencana
untuk membuat keluarganya Avin merasa anaknya akan aman-aman saja di sekolah ini.

Keesokan harinya, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, di ruang BK telah hadir
orangtua Avin dan Avin sendiri. Avin akhirnya mau dibujuk ibunya untuk masuk sekolah
dengan memberikan harapan bahwa guru BK menjamin tidak akan terjadi apa-apa lagi di
sekolah. Tidak lama kemudian, orangtua Dargo pun juga datang. Guru BK menyiapkan
ruangan khusus untuk mempertemukan dua keluarga itu.

132

Perbincangan yang cukup kondusif itu berjalan dengan lancar. Guru BK yang berfungsi
sebagai penghubung berhasil menjadi jembatan yang maksimal untuk mencapai kesepakatan.
Di depan orangtua Avin dan orangtuanya, Dargo meminta maaf kepada Avin. Dargo berjanji
tidak akan mengulanginya lagi, bahkan orangtua Dargo ingin mengganti uang yang sudah
diambil oleh Dargo, tapi keluarga Avin sudah mengikhlaskan uangnya.

Semua keluarga merasa bahagia. Keluarga Avin merasa lega karena Avin yang tadinya
takut berada di atas tekanan, akhirnya berani menyampaikan keinginannya dan berani
menanggung akibatnya jika ancaman dari Dargo betul-betul dilaksanakan.

***
Umar bin Al-Kattab adalah tokoh yang pemberani dalam sejarah penyebaran agama
Islam. Keberaniaannya sudah sangat dikenal oleh seluruh dunia. Bahkan keperkasaan dan
kekuatan setan untuk merayu manusia agar menjadi penghuni neraka Jahanam bersamanya
bertekuk lutut dan tidak berdaya di hadapan Umar bin Al-Khattab.
Membicarakan keutamaan Umar bin Al-Khattab merupakan dorongan dan motivasi
besar bagi kita agar dapat meniru dan meneladaninya dalam segala hal aspek dunia dan
akhirat. Allah menganugerahkan kepada Umar bin Al-Khattab banyak keutamaan dan
kelebihan yang dimiliki oleh hamba-hamba Allah yang lain.
Sungguh hal ini merupakan keagungan dan ketinggian dari kedudukan Umar bin Al-
Khattab. Di waktu ia masih hidup, diberitakan sebuah kabar gembira bahwa kelak ia akan
memasuki surga Allah. Yang sangat menakjubkan, berita itu bersumber dari lisan Rasulullah
sendiri yang perkataannya tak pernah didustakan sedikit pun.
Merujuk KBBI, kata berani/be•ra•ni/ a mempunyai arti hati yang mantap dan rasa
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya; tidak takut
(gentar, kecut. Dilihat dari arti kata, keberanian memang membutuhkan suatu keyakinan
yang cukup lama untuk memperolehnya. Keberanian membutuhkan proses seperti yang
dialami tokoh Islam, yaitu Umar bin Al-Kattab. Keberaniaan untuk memperjuangkan agama
Islam telah dibuktikannya dalam mendampingi perjalanan beliau.
Keberanian di negara kita ini banyak kita jumpai. Tokoh-tokoh yang ada dalam
lingkungan kita kadang malah tersisih. Sungguh memang dibutuhkan penyebaran virus-
virus keberanian di Indonesia. Dengan berbagai cara kita harus usahakan, Apalagi kami
sebagai guru mempunyai lingkungan yang sangat dekat dengan generasi penerus bangsa.

***

133

Esai

Oleh: Syerif Ali Ahmady

“Berani jujur itu nikmat. Katakanlah yang benar walaupun pahit”
(al-hadist)

3ada masa sekarang, berani dan jujur merupakan dua kata yang tergantung tinggi di
langit. Hanya orang-orang besarlah yang mampu berani dan jujur.
Terkejut

Amaq Pengarep meluruskan kakinya sambil memijat betis hitamnya yang tampak
semakin keriput. Beberapa saat lamanya ia bersila di berugaq, di depan rumahnya. Ia lalu
mengambil selembar koran bekas yang terletak di sudut. Matanya memperhatikan foto
seseorang mengenakan rompi oranye dikelilingi wartawan. Ia melihat orang itu tersenyum
sambil melambaikan tangannya.

Tiba-tiba beberapa pemuda datang kepadanya dan menceritakan tentang si Bolaq,
teman mereka yang dikeroyok oleh preman tak dikenal hingga babak belur di sekujur
tubuhnya. Beberapa hari sebelumnya si Bolak menanyakan ke kepala dusun tentang tanah
pecatu (bengkok) masjid yang semakin tak jelas rimbanya.

Sepenggal kisah di atas mungkin bukan hal baru yang kita dengar, sebutlah kasus Munir,
yang hingga saat ini juga tak jelas ujungnya. Baru-baru ini kasus Salim Kancil di Lumajang
yang menghebohkan negeri ini.

Beratus-ratus Munir, Salim Kancil, dan juga Bolaq-Bolaq lain mungkin ada di
tempat yang tak terjangkau oleh berita. Haruskah semua ini berulang dan berulang terus?
Apakah orang yang mengungkapkan hal yang dilihat di depan mata kepalanya sendiri akan
dikucilkan? Haruskah orang-orang yang berusaha mengungkapkan sebuah kebenaran akan
berujung kesengsaraan dan kematian? Setiap manusia yang masih memiliki nurani tentu
akan berkata, “Tidak!”
Renungan

Amaq Singarep termenung, pikirannya melayang menembus batas cakrawala. Ia yakin
kebenaran akan tumbuh dari setiap sanubari. Semakin lama akan mamancarkan kekuatannya
apabila ada stimulus dari lingkungan. Terlebih lagi dari dalam diri seseorang yang selalu
berkaca kapada hatinya.

134

135

Komitmen/ Niat
Orang yang memiliki komitmen adalah orang yang bersedia melibatkan diri dalam

organisasi dan sekaligus bersedia mengorbankan tenaga dan waktu secara relatif lebih banyak
dari dari apa yang ditetapkan baginya.

Berdasarkan pendapat di atas komitmen dapat diartikan sebagai kemauan seorang
untuk berbuat lebih banyak lagi dalam suatu hal yang dikerjakannya. Komitmen tersebut
dapat digambarkan dalam suatu gerakan kontinum dari tingkat rendah sampai tinggi:

(1) Seseorang yang mempunyai komitmen rendah, fokus perhatiannya pada apa yang
dikerjakannya hanya sedikit. Sedangkan seseorang yang mempunyai komitmen
tinggi akan memberikan perhatian tinggi kepada hal yang dikerjakannya dan
lingkungan sekitarnya.

(2) Bagi seseorang yang berkomitmen rendah, melakukan sesuatu adalah pekerjaan
bukan panggilan. Jadi, waktu dan energi yang disediakan pun sedikit. Orang yang
berkomitmen tinggi menyediakan waktu dan energi lebih banyak sebagai akibat
dari keterpanggilannya itu.

(3) Perhatian utama hanya pada satu macam tugas/pekerjaan. Pemikiran ini dimiliki
oleh seseorang yang berkomitmen rendah. Orang yang berkomitmen tinggi,
perhatian utamanya adalah dengan berbuat lebih banyak bagi orang lain.

(4) Komitmen akan menjadi sangat penting sebagai landasan berpijak dalam
melakukan tindakan apapun. Karena ia akan mampu menstimulasi kekuatan
seluruh organ dalam tubuh manusia untuk mulai bergerak. Dalam bahasa agama
komitmen itu adalah niat.

Kebenaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “kebenaran” didefinisikan sebagai

kejujuran; ketulusan hati. Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan objek bisa
juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yangg sesuai dengan (atau tidak
ditolak oleh) orang lain dan tidak merugikan diri sendiri.

Kebenaran menjadi arah pedoman untuk kehidupan. Mau tidak mau seseorang harus
mempunyai pedoman dalam tindakan atau perilaku di dalam kehidupannya. Hal ini didapat
melalui pendidikan dan pengalaman dalam perkembangan kehidupan dari anak sampai
dewasa. Mengubah pedoman kehidupan akan dilalui dari waktu ke waktu dalam pergolakan
pemikiran. Pedoman kebenaran kadang membawa kehidupan yang menyenangkan dan
kadang menyusahkan diri dan orang di sekitar kita.

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya, sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
(human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:
(1) Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama

yang dialami manusia.

136

(2) Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan di samping melalui
indra, diolah pula dengan rasio.

(3) Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya.

(4) Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa
dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.

Manusia selalu mencari kebenaran jika mengerti dan memahami kebenaran. Sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya, pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan manusia,
sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya
dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang selalu
ditunjukkan oleh kebenaran.
Kejujuran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “kejujuran” berarti sifat (keadaan) jujur;
ketulusan (hati); kelurusan (hati). Kejujuran adalah bagian dari sifat bawaan (fitrah) manusia
yang harus ditumbuh kembangkan dalam setiap tingkah laku kehidupan manusia.

Imam Al-Ghazali menyebut ada lima bentuk kejujuran, yaitu:
(1) Jujur dalam ucapan: Tiap kata yang meluncur dari bibir dan lisan seseorang

wajib memuat dan mengandung kebenaran. Bukan gunjingan, gosip, dan fitnah.
Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR.
Bukhari-Muslim)
(2) Jujur dalam berniat: Tanda niat yang benar, salah satu tandanya, berbanding
lurus dengan perbuatan di lapangan kehidupan. Niat saja belum cukup jika tidak
diiringi dengan kemauan dan kejujuran bahwa dirinya akan berupaya sekuat
tenaga mewujudkan niatnya tersebut.
(3) Jujur dalam kemauan: Jujur dalam kemauan merupakan usaha agar terhindar dari
kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan kebenaran. Berpikir masak sebelum
bertindak, menimbang baik-buruk dengan ‘kacamata’ Allah adalah tanda jujur
dalam kemauan ini. Pada saat seseorang telah jujur dalam kemauan, tidak ada
hal yang ingin ia gapai selain melakukan perkara yang dibenarkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
(4) Jujur dalam menepati janji: Janji adalah utang. Demikian kalimat yang sering
terngiang. Utang wajib untuk dibayar sesuai dengan nilainya. Menepati janji bukan
sembarang sikap. Menepati janji berarti mempertaruhkan harkat dan martabat
dirinya di hadapan orang lain demi memberi keyakinan pada orang tersebut
bahwa ia sanggup untuk membayarnya. Dengan sikap jujur, janji akan tertunai

137

dan amanah akan dijalankan.
(5) Jujur dalam perbuatan: Sebagaimana Al-Ghazali menyatakan makna jujur dalam

niat dan perkataan. Pada praktik bentuk kejujuran yang kelima ini, Al-Ghazali
menggarisbawahi agar kita melengkapi diri dengan jujur dalam perbuatan.
Pendusta
Kokok ayam jago menyadarkan Amaq Pengarep dari renungannya. Seraya bangkit, ia
berucap, “Manusia... manusiaa... Mengapa mereka selalu bersembunyi di balik pernyataan
bahwa manusia tempat lupa dan salah sehingga mereka melupakan juga nikmat-nikmat
Tuhan yang telah mereka terima dalam setiap hembusan napas, setiap gerak dalam kehidupan
mereka?”
“Fabiayyi’alaa irabbikuma tukadzibaan (Maka nikmat Tuhan yang manakah kamu
dustakan)” (Al-Quran: 55: 13)
Amaq Singarep melangkahkan kaki perlahan di sela-sela lembayung sinar mentari,
sambil mendorong pintu rumah bambunya, Ia pun memasukinya.

138

Karya
Bara Pattiraja
Eka Nurul Hayat
Khairul Umam
Natalia Rumanti

Rizyanti

139

Puisi

Oleh: Bara Pattiraja

kukku ruyyuuuk
kukkuu ruyyuuk

cicicit
cicicit

mbeeeeeeek
mbeeeeeeek

gouk gouk
gouk gouk

dari puncak lembang
dari kutub yang dingin
aku mencari bahasa
yang tak lagi pulang
ke lidah koruptor

cicicit cicicit

disini aku tak lagi terluka

seperti burung merak

seperti chairil, rumi atau rabin ranath tagore

aku tak lagi terluka

tapi menggigil oleh sunyi

maka bersama guru bangsa

yang soleh

aku mengayun lembing sajak

ke lambung langit

tangkuban perahu

sangkuriang, sangkuriang

beri aku satu tetes saja air mata ibu

untuk mencairkan batu

140

di dada koruptor
meong meong….meong meong
akulah kawah kawah darahmu

cicicit cicicit
dari puncak lembang
ada udang di balik batu
ada uang di balik saku
ada fatonah berkalang tanah
karena kerling mata nina

kukku ruyyuuuk kukkuu ruyyuuk cicicit
cicicit gouk gouk
mbeeeeeeek mbeeeeeeek
gouk gouk

Lembang, 03-11-2015

141


Click to View FlipBook Version