The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by alyandraaiko, 2023-10-04 07:49:04

Gama

Gama

Keywords: Mental Health

Cerpen Hasil Proyek Penguatan Profil Pemuda Pancasila Kelompok 1 X-3 Gama Bapak berpulang kemarin malam, hari di mana kami pantas berbahagia malah harus mandi air mata. Kedatanganku ke kota juga tidak bisa kena tunda lebih lama, dengan berat aku harus melepas bapak yang begitu semangat ingin mengantar sampai depan gedung asrama. Kuikuti pemakamannya, membantu ibu beres-beres rumah setelah tetangga selesai melayat, diiringi sedikit basa-basi, dan berdiri pura-pura tegar. Kerabat terdekat kami kebanyakan sudah pindah, tak ada yang bertahan lama diam di desa setelah kota bertambah modern. Mereka begitu mementingkan kemudahan dan meninggalkan kami yang tak sungkan meninggalkan tanah peninggalan nenek, jadi dengan tiadanya bapak tambah kasihan warga menatap kami bertiga. “Bu, aku bisa minta izin ke kampus, sampai tiga hari ke depan mungkin? Biar Mas Raka yang berangkat duluan, selesaikan tugas-tugasnya yang menumpuk itu. Aku temani Ibu di sini, rapikan kebun. Pekerjaannya gak bisa ditunda-tunda toh??” di teras, dengan balutan sinar rembulan yang sudah lama tak terlihat, kupijati kaki ibu sambil berharap lelahnya selama ini akan terangkat. “Ah buat apa? Kamu berangkat saja, baru juga masuk kamu mau langsung banyak izin?” ibu genggam tanganku erat-erat, entah apa yang ia coba alirkan lewat sentuhan itu. “Mas Raka itu tugasnya gak berat-berat banget, katanya dia cukup bawa berkas penting pulang ke rumah. Kerjakan di sini sampai ibu terbiasa sendiri, kalau kamu… kan gak bisa belajar dari rumah. Besok pagi-pagi pokoknya ibu antar sampai stasiun.” Sudah cukup keluarga kami mendapat cobaan, ibu mungkin sedang mencoba menghiburku. Menghibur dirinya sendiri… Malam ini, kuhabiskan tidur dipangkuan ibu. *** “Gama jangan lagi melamun sambil jalan, ingat nanti tidak ada bapak di sana untuk mengingatkan. Kalau kamu tiba-tiba terantuk batu gimana?” Berminggu-minggu berlalu, aku masih tersenyum kecil kala bayang-bayang bapak tibatiba masuk ke dalam kepala. Berbeda dengan nasihat ibu yang lebih mengkhawatirkan fisik dan tubuhku, bapak selalu ingin menjaga kami dengan cara lain, dan agaknya dari jauh pun ia masih bisa membuatku tersenyum, teringat pesan-pesannya yang dulu terdengar sepele. Di desa, kesehatan mental seringkali di salah artikan, kutukan atau santet, gila dan tak lagi punya akal. Banyak sebutannya, dan aku beruntung tumbuh di keluarga dengan bapak yang punya gelar cukup tinggi dalam pendidikan. Walau kami suka berkebun, berkain batik dan kebaya, bapak mengangkat derajat kami dari rakyat jelata ke keluarga terpandang. Bapak pernah bersekolah di kota, mempelajari banyak hal, sempat terpikirkan olehnya untuk menjadi seorang tenaga kesehatan tapi urung dilakukan. Tapi… oh, bapakku ini dokter kebanggaan warga desa, kenalan-kenalannya yang banyak membuat mereka merasa begitu terbantu.


Mereka percaya pada bapak seperti percaya pada diri sendiri, jelas mereka berharap lebih padaku dan Mas Raka setelah ini. Desa mulai dilirik untuk pembangunan, memang tak membuatnya lebih baik dari kota tapi lumayanlah buat kami yang menunggangi kuda ke mana-mana. “Sudah dapat itu bukunya Gam?” Dian menyembulkan kepalanya di antara rak. “Di atas kah? Itu tanganmu mau ambil yang mana?” Kami sedang mencari-cari buku untuk bahan tugas, minggu ini tugas bagai menghujani mahasiswa, tenggat waktu sana-sini membuat kami pusing tak kepalang. Dian baik sekali mau temaniku mengerjakan tugas belakangan ini, padahal aku tahu tugasnya juga bisa jadi lebih banyak. “Hah? Ohh, iya itu bukunya yang di atas, gak nyampe aku. Kalau aja ada Mas Raka di sini dia bahkan gak perlu jinjit, Din” aku menggeser tangga, menginjakkan kaki di atasnya. “Makin kau sebut, makin penasaran tahu. Kayaknya kakakmu itu setinggi tiang listrik depan asrama, kekuatannya setara seribu kuda.” Aku tertawa. “Seribu kuda apanya?? Kamu suka aneh, hahahha.” “Itu kamu! Semua deskripsi Mas Raka yang keluar dari mulutmu kayak khayalan doang.” “Itu namanya majas hiperbola, Mas Raka itu raganya senyata kamu dan aku, mana ada khayalan.” Kami berjalan kembali ke asrama dengan santai sambil sedikit bercanda, Dian memandangi ke berbagai arah, menikmati udara sore yang segar walau terlihat agak gelisah. Memang selama seminggu ini ada yang aneh dengan gerak-geriknya, selalu terburu-buru, bicaranya keras, kalau jalan juga nempel sekali. Masa iya karena takut ketabrak motor. “Kamu gak rasa capek akhir-akhir ini, Gama? Tugas-tugas itu banyak banget, belum lagi ibumu sering telepon minta pulang, Mas Raka juga jarang ngabarin ya kan?” Dian berhenti di depan pintu asrama, tangannya terletak pas di atas gagang pintu. “Kamu boleh lho cerita sama aku, kita sudah dua semester bareng-bareng, kamu belum cerita apa-apa sejak bapakmu…” “Memangnya apa yang harus aku ceritakan? Lancar aja Din, jangan kebanyakan khawatir.” Tangan Dian merangkul erat bahuku, tapi… tidak terasa. Bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu tapi tidak ada yang terdengar. Segala-galanya mengabur, menjadi tambah redup, dan wajah Dian digantikan remang-remang lampu bangunan kota di malam hari. Pemandangan yang biasanya kulihat dari balkon kamar sambil mengerjakan tugas ditemani secangkir kopi atau the agar tidak mengantuk. Cantik sekali, langit malam dengan bintangbintang menyala terang tanpa bulan yang terlihat, dan di bawah naungannya lampu kota menyala-nyala. Saat bapak meninggal dulu, keadaannya sama seperti ini, sibuk dan ribut, tanpa bulan di langit. Tidak ada yang tahu bapak sedang apa dan kenapa.


Sama seperti sekarang, di jalanan orang-orang berlari lalu lalang mengejar sesuatu yang ingin mereka gapai. Kalau aku, sedang apa? Di atas meja ada secangkir kopi yang airnya sudah tandas, menyisakan noda kering di sana. Tidak ada laptop atau lembaran tugas di meja, tapia da bapak sedang duduk bersandar. “Gama kenapa?” “Sakit Pak.” “Turun ke kamu rupanya, maaf ya Nak…” Gama mau peluk bapak, belajar di sini tak sama rasanya kalau gak ada bapak. Pak… “GAMA!” Mas Raka lari pontang-panting macam kesetanan, pintu didobrak olehnya dengan keras, lalu ter obrak-abriklah kamar asrama itu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar, ada kepanikan tergambar di wajah Mas Raka. Dari balik pintu, Dian memeluk ibu yang sudah hampir pingsan, wajahnya tak kalah kusut. Dan di antara gerak sembarang Mas Raka, tubuh itu tiba-tiba mematung, lalu bergerak cepat saat matanya menangkap sesuatu di sebelah ranjang. Seseorang yang selama ini dicaricari, seseorang yang sudah tidak lagi mereka kenali. Kecil, meringkuk memeluk dirinya sendiri, yang entah sedang menangisi apa, bahkan air matanya tidak lagi keluar. Mungkin sudah lebih dari satu hari ia diam di sana. Dipeluknya tubuh rapuh itu oleh Mas Raka, dibelai-belai hangat, dan ibu rela menangis keras untuknya. Gama, sudah berapa lama hilang? Saat tersadar, aku terbaring di atas kasur empuk dalam ruangan putih yang besar, dengan lengan digenggam erat oleh ibu. Yang ini halusinasi mana lagi?


Click to View FlipBook Version