Batik Lawa Nenek Ijah
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang nenek tua yang tinggal di tengah kampung
yang jauh dari perkotaan. Nenek itu bernama Nenek Ijah yang tinggal sebatang kara di
gubuk kecil. Nenek Ijah seringkali pergi ke hutan untuk mencari bahan makanan dan kayu
bakar. Nenek Ijah memiliki 5 ekor domba peliharaan yang sehat dan gemuk di halaman
rumahnya. Nenek Ijah sering menggembala domba – dombanya ke padang rumput yang
letaknya di seberang hutan. Selain itu, Nenek Ijah senang merajut, menyulam dan
membatik. Nenek Ijah kerap kali memberikan hasil rajutan atau hasil sulamnya kepada
orang di kampung. Hal itu membuat penduduk di kampung menyukai Nenek Ijah karena
kebaikan dan kemurahan hati Nenek Ijah.
Beberapa anak di kampung juga sering bermain ke gubuk kecil milik Nenek Ijah
saat siang hari hanya untuk mendengar cerita dongeng dari Nenek Ijah. Nenek Ijah sangat
dikenal akan kebaikan, keramahan, serta kebijaksanaannya. Banyak juga penduduk di
kampung yang sedang memiliki kesulitan datang meminta nasihat pada Nenek Ijah.
Penduduk di kampung juga sangat menghormati Nenek Ijah.
Suatu hari Nenek Ijah pergi untuk mencari bahan makanan dan kayu bakar untuk
memasak. Setelah dirasa apa yang ia perlukan cukup, Nenek Ijah kembali ke gubuk
kecilnya. Selama perjalanan pulang Nenek Ijah berpapasan dengan penduduk lain. Orang
– orang yang melewati tersenyum pada Nenek Ijah yang dibalas juga dengan senyum
yang masih tetap terlihat manis walau dengan keriput yang sudah ada di wajahnya.
Beberapa anak – anak yang berpapasan juga menyapa dan menyalami Nenek Ijah.
Sesampainya di rumahnya Nenek Ijah baru ingat kalau belum mengajak domba -
dombanya ke padang rumput. Sebelum hari menjadi petang Nenek Ijah langsung menuju
kandang domba yang ada di halaman rumahnya. Nenek Ijah membuka pintu kandang
dombanya dan menggiring kelima dombanya keluar untuk menuju padang rumput. Jarak
kampung ke padang rumput cukup jauh, harus menyusuri hutan terlebih dahulu. Nenek
Ijah lanjut menggiring dombanya menyusuri hutan dengan memilih jalan yang biasa
digunakan penduduk kampung ke padang rumput. Sebab jika memilih jalan lain walau
itu lebih dekat akan memungkinkan bertemu binatang buas atau lebih parahnya tersesat.
2
Sesampainya di padang rumput, Nenek Ijah melepaskan bebas kelima dombanya
untuk memilih tempat dimana rumput favorit para dombanya. Nenek Ijah menunggu
dombanya makan rumput di gubuk kecil bawah pohon besar di tepi padang rumput. Angin
sore hari yang bertiup semilir membuat Nenek Ijah sedikit mengantuk. Ia mengintip para
dombanya yang masih asyik menyantap rumput favorit mereka. Tak terasa kedua mata
tua Nenek Ijah menutup dan Nenek Ijah tertidur nyenyak di gubuk itu.
Saat Nenek Ijah terbangun ternyata hari sudah hampir gelap. Nenek Ijah harus
segera membawa dombanya kembali ke kandang sebelum malam tiba. Namun, langit
menjadi gelap lebih cepat. Nenek Ijah masih berada di tengah hutan menggiring kelima
dombanya. Semakin jauh berjalan Nenek Ijah merasa asing dengan sekitarnya apalagi
hari mulai gelap tidak ada cahaya kecuali dari lentera kecil yang sudah ia siapkan. Nenek
Ijah tetap berjalan sambal menggiring dombanya secara perlahan.
Nenek Ijah semakin yakin jika ia sudah tersesat. Jalan yang dilalui bukan jalan
yang biasanya.
“Mbekk.… Mbekk….”, salah satu dombanya tiba–tiba terus–terusan mengembik.
Domba itu terlihat seperti sedang resah dan gelisah. Suara salah satu dombanya semakin
keras. Saat Nenek Ijah menoleh dua serigala muncul dari balik semak dan langsung
menerkam domba yang berdiri di barisan belakang sendiri. Hal itu membuat Nenek Ijah
terkejut dan langsung melempar tongkat yang selalu ia bawa ke arah dua serigala yang
menerkam dombanya. Namun, itu membuat serigala ganas itu marah. Nenek Ijah yang
ketakutan langsung berlari membawa keempat dombanya dan merelakan satu dombanya
diterkam serigala buas. Salah satu serigala mengikuti Nenek Ijah dan keempat dombanya.
Serigala mengejar semakin cepat tetapi Nenek Ijah dengan tubuhnya yang sudah tua tidak
bisa berlari dengan cepat. Lentera yang ada di tangannya pun terlepas saat Nenek Ijah
berlari.
Salah satu dombanya yang paling gemuk dan gagah berhenti berlari, domba itu
mencoba melawan serigala. Namun, domba itu tetap belum sepadan dengan satu serigala
buas. Nenek Ijah tidak tega meninggalkan dombanya setelah dia sudah kehilangan salah
satu dombanya. Namun, ia harus segera membawa domba lainnya yang masih selamat
berlari untuk dapat mencari tempat aman. Tanpa membuang waktu lagi akhirnya Nenek
3
Ijah membawa ketiga dombanya yang masih selamat berlari mencari tempat untuk
berlindung sebelum serigala mengejar semakin dekat.
Nenek Ijah menemukan sebuah gua, ia berniat berlari ke gua untuk bersembunyi,
tetapi tiba – tiba dua serigala tadi datang menghadap di pintu gua. Nenek Ijah langsung
menghentikan langkahnya diikuti ketiga dombanya. Nenek Ijah ketakutan dan merasa
bingung. Walaupun ia berbalik dan lari kakinya sudah tidak kuat lagi dan kecepatan
larinya bukan tandingan serigala – serigala buas itu. Nenek Ijah merasa hampir menyerah
saat dua serigala mulai perlahan mendekati dirinya dan ketiga dombanya.
Saat serigala akan lompat menerkam Nenek Ijah dan dombanya tiba – tiba
datanglah sekawanan kelelawar mereka yang datang bergerombol terbang ke arah kedua
serigala yang membuat serigala itu kehilangan pandang dan berlarian tidak terarah.
Mengetahui kedua serigala yang seperti itu, tanpa berpikir panjang Nenek Ijah langsung
mengambil kesempatan masuk ke gua dengan ketiga dombanya.
Saat di dalam gua Nenek Ijah tidak mendengar suara dari luar. Nenek Ijah ingin
memastikan melihat keluar gua tetapi ia saja sekarang tidak dapat melihat dengan jelas
karena gelap. Nenek Ijah mencoba meraba – raba sekelilingnya berharap menemukan
sesuatu. Tangannya menyentuh batu dan ia lanjut mencari batu lainnya. Digesekkan
kedua batu yang Nenek Ijah temukan untuk menciptakan api. Setelah beberapa kali batu
digesekkan api muncul, membuat sekelilingnya menjadi terlihat.
Nenek Ijah melihat dombanya yang tersisa, ia memeluk ketiga dombanya serasa
mereka semua sedang berduka karena telah kehilangan teman lainnya. Nenek Ijah masih
memikirkan dimana sekarang ia dan dombanya berada. Sebab baru kali ini ia menemukan
gua di dalam hutan yang sudah bertahun – tahun ia ketahui. Walaupun Nenek Ijah
mengetahui jalan kembali, keadaan saat ini tidak memungkinkan ia kembali ke rumah
sebab hari sudah malam dan keadaan hutan yang gelap menjadikan banyak bahaya yang
menunggu di luar sana.
Nenek Ijah bangun dari duduknya dan berjalan berhati – hati melihat keluar
menuju ke mulut gua. Sudah tidak ada suara serigala maupun kelelawar.
Nenek Ijah terkejut sekali saat ia mendapati seluruh bagian mulut gua dipenuhi
kelelawar. Kelelawar itu menggantung seperti sedang membuat gerbang untuk gua.
4
Nenek Ijah tidak sengaja menginjak dahan yang membuat suara cukup keras, ia sempat
terkejut dan khawatir kelelawar menyerangnya seperti menyerang serigala tadi. Tetapi
kelelawar itu diam saja tidak bergerak, membuat Nenek Ijah menghela nafasnya
bersyukur. Nenek Ijah berbalik kembali ke dalam gua bersama domba – dombanya.
Karena hari semakin larut Nenek Ijah memutuskan untuk tetap di gua sampai
siang datang. Nenek Ijah juga merasa lebih aman ia dan dombanya di dalam gua saja.
Nenek Ijah dan dombanya pun akhirnya tertidur di dalam gua yang dingin dan sempit.
Nenek Ijah membuka mata ternyata hari sudah siang dan sinar matahari dari luar
masuk ke dalam gua. Nenek Ijah terbangun dan melihat mulut gua sudah tidak ditutupi
kelelawar seperti tadi malam. Nenek Ijah menggiring dombanya untuk kembali pulang.
Sesampainya di rumahnya beberapa penduduk di kampung ternyata sedang
menunggu. Raut wajah orang – orang terlihat khawatir.
“Nek, darimana saja? Dari kemarin Nek Ijah tidak terlihat. Suami saya bilang ia
lihat Nenek menggiring domba ke arah padang rumput.”
“Nek dombanya kok hanya tiga? Kemana lainnya. Yang paling gemuk dan gagah
juga tidak ada.”
“Nek Ijah sehat kan, Nek? Apa ada yang terluka? Nenek Ijah bikin kami khawatir
loh?”
Belum sempat menjawab satu pertanyaan orang menanyakan pertanyaan lainnya
secara beruntun. Nenek Ijah hanya tersenyum sambal melihat satu per satu penduduk
kampung bertanya.
“Loh Nenek Ijah malah senyum – senyum saja. Jawab, Nek.”, ucap salah satu Ibu
yang berdiri di samping Nenek Ijah.
“Bagaimaan saya mau jawab, baru tarik nafas mau menjawab kalian sudah ada
yang bertanya lagi.”, jawab Nenek Ijah yang membuat orang – orang yang tadi bertanya
salah tingkah.
5
“Begini yang jelas saya tidak apa – apa. Ini saya mau ngandangin domba saya
dulu.”, “Sini saya bantu, Nek. Saya saja yang memasukkan domba ke kandang.”, celetuk
salah satu pemuda.
Nenek Ijah pun masuk ke dalam rumah dengan ditemani beberapa ibu – ibu
kampung dan anaknya. Nenek Ijah duduk dan meneguk segelas air, lalu ia menceritakan
peristiwa yang semalam terjadi pada dirinya. Orang yang mendengarkan bingung.
Bagaimana bisa ada kelelawar yang bisa mengusir serigala buas. Tapi bagaimanapun
itulah yang terjadi.
“Tapi saya tetap tidak suka sama kelelawar. Mereka suka nyolong buah di kebun
saya, bikin kotor yang repot jadi saya juga.”, ucap salah satu ibu yang duduk di samping
Nenek Ijah.
“Mereka kan juga sedang cari makan, namanya makhluk hidup itu perlu makan”,
jawab Nenek Ijah.
Setelah dipikirkan di kampung ini akhir – akhir ini memang sedang banyak sekali
kelelawar. Kelelawar itu pergi ke kebun penduduk kampung untuk memakan buah di
kebun termasuk di kebun milik Nenek Ijah. Kelelawar yang suka merusak buah di kebun
penduduk kampung saat ini juga sering menjadi perbincangan. Namun, Nenek Ijah tidak
begitu peduli, sebab kelelawar itu tidak mengganggu Nenek Ijah. Kelelawar hanya datang
makan buah di pohon miliknya dan itu tidak membuat Nenek Ijah terganggu. Nenek Ijah
malah membiarkan begitu saja dan malah merasa senang kelelawar itu dapat menemukan
makanannya.
Tak terasa sore hari tiba, orang kampung yang sejak tadi pagi berdatangan
menjenguk Nenek Ijah sudah pulang ke rumah masing – masing. Nenek Ijah pun
beristirahat.
Esok paginya Nenek Ijah berjalan – jalan berkeliling kampung. Ia melihat warga
yang sedang ramai – ramai berkumpul. Nenek Ijah yang penasaran datang menghampiri
kerumunan. Ternyata mereka sedang menangkap kelelawar yang semalam memakan
buah – buah di salah satu kebun penduduk. Nenek Ijah merasa kasihan dengan kelelawar
yang diikat dan di bungkus di dalam karung.
6
“Akan kalian apakan kelelawar ini?”, tanya Nenek Ijah pada salah satu pemuda
yang sedang mengikat karung.
“Kita bawa ke tempat jauh, nek”. “Kenapa tidak kalian kembalikan saja kelelawar
itu ke hutan? Itu habitat mereka.”.
“Waduh, kalau kita kembalikan ke hutan, mereka akan tetap bisa kembali ke
kebun ini atau kebun penduduk lainnya dan merusak buah di kebun.”
“Mereka merusak buah di kebun seperti ini kan sebenarnya hanya karena mereka
memerlukan makanan, kelelawar juga makhluk hidup sama seperti kita. Mereka datang
ke kebun juga karena makanan di hutan yang sudah hampir habis.”, kata Nenek Ijah.
“Kalian seharusnya juga tahu kalau hutan itu menjadi rusak dan bahan makanan
disana habis karena ulah kita manusia. Habitat kelelawar dan hewan serta tumbuhan
lainnya di hutan juga sudah dirusak karena ulah tangan manusia.”
Semua orang yang sedang berkumpul hanya diam saja mendengarkan Nenek Ijah.
Nenek Ijah hanya tersenyum setelah menyelesaikan kalimat akhirnya, lalu ia berpamitan
untuk pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah Nenek Ijah masih terpikirkan dengan kelelawar yang para
penduduk tangkap. Nenek Ijah merasa bersalah, sebab kelelawar itu telah menolong ia
dan dombanya malam itu. Namun, Nenek Ijah tidak bisa memaksa para penduduk untuk
menuruti perkataannya. Sebab ia juga sangat tahu perihal kelelawar yang akhir – akhir
merusak beberapa kebun milik penduduk kampung.
Nenek Ijah pergi duduk di halaman rumahnya sambal masih memikirkan
bagaimana nasib kelelawar yang ditangkap para penduduk kampung. Nenek Ijah hanya
duduk sambal menatap kosong sekeliling halamannya. Ia melihat kain mori yang biasa ia
gunakan untuk membatik tergeletak di sudut halaman rumahnya.
“Sudah lama aku tidak membatik”, gumam Nenek Ijah sambal bangkit dari
duduknya. Ia mengambil kain mori lalu duduk di kursi kecil dan mulai menggambar motif
di atas kain tadi. Tiba – tiba satu ide terlintas dalam pikiran Nenek Ijah. Nenek Ijah mulai
asik fokus membuat motif batiknya.
7
Akhirnya Nenek Ijah selesai membatik. Ternyata ia membuat batik kelelawar
yang kemudian ia beri judul dengan “Batik Lawa”.
-TAMAT-
8
9