LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG
MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN DI PROVINSI NTT DAN
MANAJEMEN PELAYANAN PUSAT KESEHATAN HEWAN
OLEH
AYU YULIANA TONGHAEL
NIM: 182386005
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya
Veteriner (Amd.Vet) Kesehatan Hewan Pada Politeknik Pertanian Negeri
Kupang
PROGRAM STUDI KESEHATAN HEWAN
JURUSAN PETERNAKAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI KUPANG
2021
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG
MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN DI PROVINSI NTT DAN
MANAJEMEN PELAYANAN PUSAT KESEHATAN HEWAN
OLEH
AYU YULIANA TONGHAEL
NIM: 182386005
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya
Veteriner (Amd.Vet) Kesehatan Hewan Pada Politeknik Pertanian Negeri
Kupang
PROGRAM STUDI KESEHATAN HEWAN
JURUSAN PETERNAKAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI KUPANG
2021
i
MOTTO
HAL APAPUN ITU, SELAGI TUHAN YESUS
SERTAI: “MAJU SAJA”
ii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Laporan ini dipersembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, Karena atas Berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan Praktik Kerja Lapangn (PKL).
2. Orang tua Terkasih: Bapak Osemi Imanuel Tonghael, Alm. Mama Agustina
Koilul, dan Oma Paulina Plaikol, Mama Adi, Bapak Adi.
3. Keluarga Terkasih : Bapak Dedy Tonghael, Mama Diana Malaibel Bapak
Robinson Tonghael, Mama Anita Sitanggang, Bapak Lasarus Mabilape,
Mama Stany Syahilatua, Bapak Yusak Mabilape, Mama Sophia Henuk,
Bapak David Plaikol, Mama Desy N. Liubana
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan proses penulisan Laporan Praktek Kerja Lapang
dengan judul “MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN DI PROVINSI NTT DAN
MANAJEMEN PELAYANAN PUSAT KESEHATAN HEWAN”.
Laporan ini tidak akan bisa diselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, karena itulah pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Kupang
2. Ketua Jurusan Peternakan beserta staf
3. Ketua Program Studi Kesehatan Hewan beserta staf
4. Orang tua Terkasih: Bapak Osemi Imanuel Tonghael, Alm. Mama Agustina
Koilul, dan Oma Paulina Plaikol, Mama Adi, Bapak Adi.
5. drh. Hermilinda Parera, M.Sc selaku pembimbing I dan Dr. drh. Petrus Malo
Bulu, MVSc selaku pembimbing II yang selama ini telah meluangkan waktu,
tenaga serta pikiran demi perbaikan laporan ini.
6. drh. Novianti N. Toelle M.Sc selaku penguji I dan Dr. drh. Andrijanto Hauferson
Angi, M.Si selaku penguji II yang telah menguji dan memberikan masukan demi
penyempurnaan laporan ini.
7. Para Dosen dan Teknisi yang telah mengajari saya selama masa perkuliahan di
Program Studi Kesehatan Hewan.
8. Keluarga yang mendukung dalam doa, motivasi, dan material hingga saat ini
9. Teman-teman seperjuangan angkatan XIV yang telah bersama menyukseskan
praktik kerja lapang dan penulisan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan yang dibuat ini, sangat jauh dari kata
sempurna sehingga dengan rendah hati mohon masukan berupa kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan laporan ini.
Kupang………….2021
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………
LEMBAR PENGESAHAN .......................................... Error! Bookmark not defined.
MOTTO .......................................................................................................................ii
LEMBAR PERSEMBAHAN ....................................................................................iii
KATA PENGANTAR................................................................................................iv
DAFTAR ISI................................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Manfaat............................................................................................. 2
1.3 Waktu dan Tempat .............................................................................................. 2
1.4 Metode................................................................................................................. 3
BAB II KEADAAN UMUM LOKASI ...................................................................... 4
2.1 Keadaan Umum Lokasi Peternakan Ayam Broiler Bapak Ferdy Konis ............. 4
2.1.1 Sejarah Umum Lokasi .................................................................................. 4
2.1.2 Organisasi Peternakan Ayam Broiler Bapak Ferdy Konis ........................... 4
2.1.3 Kondisi Lingkungan ..................................................................................... 5
BAB III MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN DI PROVINSI NTT DAN
MANAJEMEN PELAYANAN PUSAT KESEHATAN HEWAN ......................... 7
3.1 Manajemen Kesehatan Hewan Kesayangan........................................................ 7
3.1.1 Anamnesa dan Signalement.......................................................................... 7
3.1.2 Pemeriksaan Fisik dan Gejala Klinis ............................................................ 7
3.1.3 Pemeriksaan Laboratorium ........................................................................... 9
3.1.4 Penanganan dan Pengobatan....................................................................... 10
3.1.5. Pembahasan ............................................................................................... 11
3.1.6. Sistem Pemeliharaan Anjing dan Pemberian Pakan .................................. 13
3.2 Manajemen Kesehatan Ayam Broiler ............................................................... 15
v
3.2.1 Manajemen Persiapan Kandang Sebelum Penerimaan DOC .................... 15
3.2.2 Manajemen Perkandangan.......................................................................... 15
3.2.3 Sanitasi Tempat Pakan dan minum............................................................. 16
3.2.4 Sanitasi dan Desinfektan Kandang ............................................................. 17
3.2.5 Persiapan Tempat DOC(Day Old Chick) ................................................... 18
3.3 Manajemen Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan .............................................. 21
3.3.1 Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Puskeswan .................................... 21
3.3.2 Tugas dan Fungsi Puskeswan ..................................................................... 21
3.3.3 Struktur Organisasi Puskeswan ................................................................. 22
3.3.4 Jenis-Jenis Pelayanan Puskeswan.............................................................. 24
3.3.5 Jenis-Jenis Tindakan Kesehatan Di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan)
............................................................................................................................. 25
3.4. Manajemen penanganan dan pencegahan Penyakit Fasciolosis dan Penyakit
Septicemia Epizootica Pada Sapi Potong ................................................................ 29
3.4.1 PenyakitFasciolosis..................................................................................... 29
3.4.2 Penyakit Septisaemia Epizootica ................................................................ 32
BAB IV KESIMPULAN ........................................................................................... 34
4.1 Kesimpulan........................................................................................................ 34
4.2 Saran .................................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 35
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur organisasi dipeternakan ayam broiler Bapak Ferdy Konis ……..4
Gambar 2. Gejala klinis berupa leleran mata, dan leleran hidung………………….…8
Gambar 3. Pengambilan samel feses dengan cara di swab……………………………9
Gambar 4. Telur Toxocara Canis………………………………...………………….10
Gambar 5. Anjing Yano setelah 1 minggu pemberian obat cacing wormectin®…….10
Gambar 6. Lingkungan rumah ……………………………………………………....13
Gambar 7. Tempat makan dan tempat minum ……………………………………....14
Gambar 8. Pencampuran air 5 liter, deterjen dan formades 3 tutup botol…………...16
Gambar 9. Penaburan sekam padi …………………………………………………..18
Gambar 10. Tripleks sebagai pembatas ……………………………………………..19
Gambar 11. Struktur organisasi Puskeswan ………………………………………...22
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anjing adalah hewan kesayangan yang dipelihara manusia dengan maksud
sebagai teman atau sahabat. Anjing sendiri dipelihara dengan tujuan sebagai teman
sehari- hari manusia. Namun hewan ini juga dapat terserang penyakit, baik penyakit
yang disebabkan oleh virus, parasit, jamur maupun bakteri. Parasit yang dapat
menyebabkan penyakit yaitu ektoparasit maupun endoparasit. Endoparasit merupakan
parasit yang hidupnya berparasit dalam tubuh hewan tersebut, misalnya adalah
Toxocara canis.
Ayam broiler merupakan ternak penghasil pangan daging yang baik sehingga
para peternak ayam ini sangat mengutamakan produksi dagingnya. Untuk
menghasilkan produk daging yang baik, dibutuhkan ayam broiler yang baik dalam hal
kesehatannya. Dalam proses pemeliharaan ayam broiler ini terdapat fase starter
dimana fase inilah masa bermulanya perkembangan dan pertumbuhan bagi ayam
broiler. Dalam fase starter, ayam broiler membutuhkan tempat yang nyaman agar
dapat bertahan hidup sehingga persiapan kandang yang baik sangatlah penting untuk
kenyamanan ayam tersebut.
Pusat kesehatan hewan yang selanjutnya disingkat Puskeswan adalah Pos
Kesehatan Hewan yang memberikan pelayanan dibidang kesehatan hewan
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 690/Kpts/TN.510/10/1993 dan Nomor 88 Tahun 1993 Tentang
Pos Kesehatan Hewan.
Sapi merupakan hewan ternak yang dipelihara untuk kepentingan pemenuhan
pangan berupa daging dan susu. Sapi potong adalah sapi yang dipelihara dengan
tujuan utama penggemukan. Proses penggemukan sapi ini dapat gagal apabila sapi
terserang penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, maupun jamur. Septicemia
epizootica dan Fasciolosis merupakan penyakit yang dapat menurunkan produksi
1
sapi. Oleh karena itulah dibutuhkan penanganan agar sapi dapat berproduksi dengan
baik.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari kegiatan praktek kerja lapang secara mandiri(PKL mandiri)
yaitu :
1. Mahasiswa dapat mengetahui teknik pemeriksaan feses anjing untuk
mengetahui parasit internal yang menginfeksi hewan kesayangan.
2. Mahasiswa dapat memperoleh pengalaman mengenai teknik persiapan
kandang sebelum penerimaan DOC.
3. Mahasiswa dapat mengetahui tugas dan bentuk pelayanan puskeswan.
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara penanganan penyakit fasciolosis dan
septisemia epizootica pada sapi potong.
Manfaat dari kegiatan Praktek Kerja Lapang secara mandiri yaitu:
1. Mahasiswa dapat menambah pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
dari lapangan serta menerapkan ilmu atau pengetahuan yang diperoleh
dibangku kuliah.
2. Mahasiswa mendapatkan tambahan informasi ilmiah melalui referensi-
referensi terkait komoditi PKL.
1.3 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan kegiatan Praktek Kerja Lapang mandiri(PKL mandiri) selama 3
bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dimulai dari tanggal 22 Februari sampai
22 Mei 2021, adapun rincian waktu kegiatan yang dilaksanakan selama PKL yaitu
sebagai berikut:
A. Manajemen Kesehatan Hewan Kesayangan
PKL komoditi hewan kesayangan dengan mencari kasus pada hewan
kesayangan dan mengobati di Klinik Hewan Politeknik Pertanian Negegeri Kupang
pada tanggal 01 Maret 2021 - 08 Maret 2021.
2
B. Manajemen Kesehatana Ayam Broiler
PKL komoditi ayam broiler dengan mencari kasus pada peternakan ayam
broiler di lakukan di peternakan milik Bapak Ferdy Konis pada tanggal 20 Maret
2021 – 3 Mei 2021.
C. Manajemen Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan
PKL komoditi Puskeswan dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi
literatur pada tanggal 22 Februari – 22 Mei 2021.
D. Manajemen Kesehatan Sapi Potong
PKL Sapi Potong dilaksanakan dengan melakukan studi kepustakaan dan
studi literatur pada tanggal 22 Februari – 22 Mei 2021.
1.4 Metode
Metode yang digunakan dalam Kegiatan Praktek Kerja Lapang(PKL) yaitu
sebagai berikut:
1. Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan
tinjauan pustaka ke perpustakaan dan pengumpulan buku-buku, bahan-
bahan tertulis serta referensi-referensi yang relevan dengan penelitian
yang sedang dilakukan.
2. Observasi adalah kegiatan melihat langsung cara pemeliharaan anjing
Yano milik Bapak Yosep Tassi dan cara persiapan kandang untuk
penerimaan DOC.
3. Partisipasi adalah kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan diri
langsung dalam menangani endoparasit pada Anjing Yano dan
persiapan kandang untuk penerimaan DOC.
4. Studi literatur adalah cara yang dilakukan dengan membandingkan
kegiatan yang dilakukan dengan literatur yang berkaitan.
3
BAB II
KEADAAN UMUM LOKASI
2.1 Keadaan Umum Lokasi Peternakan Ayam Broiler Bapak Ferdy Konis
2.1.1 Sejarah Umum Lokasi
Peternakan Bapak Ferdy Konis adalah milik pribadi yang berlokasi di Desa
Tanah Merah, RT.015 RW.008. Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang,
dirintis pada tahun 2015 dengan membangun membangun satu unit kandang panging
dengan ukuran 30x7 m2 pada lahan seluas 50x75 m2 . Setelah kandang dibangun,
kandang tersebut belum digunakan karena kendala modal yang tidak cukup untuk
pembelian bibit, peralatan kandang, pakan, dan obat-obatan. Pada tahun 2016 barulah
pemeliharaan dilakukan oleh Bapak Ferdy dengan jumlah populasi awal adalah 2.000
ekor dengan strain CP 707. Dua periode pemeliharaan pada tahun 2016, dikelola
sendiri oleh Bapak Ferdy Konis, dan pada periode ketiga Bapak Ferdy dibantu oleh
dua orang karyawan. Pada tahun 2020 populasi ayam broiler ditambah menjadi 2.500
ekor dengan rencana kedepan untuk membangun satu kandang lagi.
2.1.2 Organisasi Peternakan Ayam Broiler Bapak Ferdy Konis
2.1.2.1 Struktur Organisasi dan Ketenaga Kerjaan
Adanya struktur organisasi ini bertujuan agar proses pemeliharaan dapat
berjalan dengan baik. Adapun struktur organisasi dapat dilihat pada Gambar 1
Pemilik kandang
Ferdy Konis
Karyawan
Irwan Andre
Gambar .1 Struktur Organisasi di Peternakan Ayam Broiler Bapak Ferdy Konis
4
Untuk membangun usaha peternakan ayam broiler dibutuhkan karyawan
sebagai tenaga kerja yang berperan dalam melakukan usaha peternakan, karena itulah
Bapak Ferdy Konis mempekerjakan dua orang tenaga kerja untuk membantunya
dalam mengelola peternakan tersebut. Para pekerja ini adalah warga sekitar yang
memiliki latar belankang pendidikan SMP dan SMA.
2.1.2.2 Jaminan Sosial
Dipeternakan ayam broiler milik Bapak Ferdy Konis memiliki jaminan sosial
untuk karyawannya dengan gaji atau upah sebesar Rp.1.000.000.00 untuk satu orang
dalam masa kerja satu bulan.
2.1.2.3 Fungsi Sosial
Dibidang peternakan, fungsi sosial dari peternakan milik Bapak Ferdy Konis
bagi masyarakat sekitar yaitu:
1. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa/mahasiswi untuk melakukan
kegiatan berupa Praktek Kerja Lapang seperti mahasiswa dari kampus
Politeknik Pertanian Negeri Kupang.
2. Menyediakan penjualan ayam broiler bagi masyarakat.
3. Menyediakan lapangan kerja bagi warga sekitar.
2.1.3 Kondisi Lingkungan
2.1.3.1 Kondisi Fisik
Peternakan ayam broiler milik Bapak Ferdy Konis ini terletak di Desa Tanah
Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Peternakan ini terletak sekitar 2000 meter dari permukaan laut dan sekitar 500
meter dari perumahan warga. Peternakan ini juga berada pada lahan seluas 50x75 m2
yang digunakan untuk bangunan rumah yang ditempati oleh karyawan, kandang
ayam, serta gudang penyimpanan pakan yang mempermudah para karyawan dalam
proses pemeliharaan ternak ayam broiler dan sisanya untuk lahan pertanian.
5
2.1.3.2 Kondisi Non Fisik
Peternakan ayam broiler milik Bapak Fedy Konis ini diterima secara sosial
oleh masyarakat setempat. Mata pencarian masyarakat setempat adalah petani dan
peternak. Peningkatan kebutuhan daging di Kabupaten Kupang dan sekitarnya
semakin meningkat dari hari ke hari, sehingga kapasitas pemeliharaan terus
ditingkatkan. Sarana transportasi yang cukup memadai merupakan faktor pendukung
sehingga peternak dipermudah dalam mendistribusikan hasil usahanya.
6
BAB III
MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN DI PROVINSI NTT DAN
MANAJEMEN PELAYANAN PUSAT KESEHATAN HEWAN
3.1 Manajemen Kesehatan Hewan Kesayangan
Praktek Kerja Lapang Komoditi Manajemen Kesehatan Hewan Kesayangan
dilaksanakan di Klinik Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Penulis
memperoleh kasus penyakit pada seekor anak anjing berumur kurang lebih 8 minggu.
Anjing tersebut milik Bapak Yosep Tassi, dengan laporan dari pemilik berupa nafsu
makan menurun dan pada feses ditemukan cacing dewasa.
3.1.1 Anamnesa dan Signalement
Anjing yang ditangani bernama Yano, memiliki bulu berwarna cokelat, pada
bagian wajah berwarna putih bercampur hitam, dan pada ujung jari-jari kaki berwarna
putih. Anjing Yano ini berjenis kelamin jantan, berumur kurang lebih 8 minggu,
dengan berat badan 3 kg. Anjing Yano memiliki tingkah yang kurang lincah dari
biasanya dan dilepas disekitar rumah. Pemilik anjing Yano bernama Bapak Yosep
Tassi yang beralamat di Kelurahan Sikumana, RT 21, RW 008. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan langsung bersama Bapak Yosep, Yano mengalami gejala
dengan tidak mau makan, setiap kali defekasi selalu ada cacing dewasa pada feses,
anjing Yano juga tidak lincah bermain seperti sebelumnya.
3.1.2 Pemeriksaan Fisik dan Gejala Klinis
Pemeriksaan fisik meliputi pengukuran temperatur, dan pemeriksaan mukosa
dengan prosedur berupa:
1. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan berupa thermometer digital,
dan anjing.
2. Kemudian anjing ditempatkan pada posisi yang nyaman.
3. Thermometer dimasukan pada rectum anjing, kemudian ditunggu hingga
thermometer berbunyi sebagai tanda sudah siap dibaca hasilnya.
4. Mata dan hidung anjing tersebut diamati apakah berlendir yang banyak atau
tidak.
7
5. Bagian abdomen anjing juga diamati apakah membesar seperti balon atau
tidak.
Dari prosedur pemeriksaan yang dilakukan pada anjing Yano didapatkan hasil
sebagai berikut, suhu 37,3oC, Suhu tubuh dari anjing Yano ini masih tergolong
normal, hal ini sesuai dengan pendapat Widodo dkk., (2017) bahwa suhu normal
anjing kecil rata-rata 38.5-39.5oC. Pemeriksaan fisik lain seperti adanya leleran mata
dan leleran hidung (Gambar 2). Selain itu anjing ini sering batuk.
Gambar 2. Gejala klinis berupa leleran mata, dan leleran hidung.
Gejala klinis yang terlihat dari anjing Yano adalah adanya leleran mata,
leleran hidung, dan anjing terlihat kurus sedangkan abdomennya membesar.
Rahmadani (2015), menyatakan bahwa perut pada anjing muda yang terinfeksi
Toxocara sp. memperlihatkan pembesaran dan tampak menggantung karena
banyaknya jumlah cacing yang berada dalam usus. Adanya batuk pada anjing Yano
seperti ingin mengeluarkan sesuatu juga merupakan indikasi adanya parasit internal
hal ini sesuai dengan pendapat Estuningsih, (2005) bahwa pada anak anjing yang
terinfeksi Toxocara terlihat adanya pneumonia akibat migrasi larva ke trakea. Anjing
Yano juga terlihat mengalami penurunan aktivitas dan lebih sering berbaring hal ini
sesuai dengan pendapat Murniata dkk.(2016) bahwa anjing yang terinfeksi Toxocara
canis memperlihatkan gejala kelemahan terutama disebabkan oleh anemia yang
diderita.
8
3.1.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan mikroskop yaitu pemeriksaan
telur cacing dengan metode natif, tujuannya untuk mengetahui jenis cacing yang
menginfeksi anjing tersebut dan jenis obat yang akan diberikan. Prosedur
pemeriksaan dengan menggunakan metode natif adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan berupa catton bud, pipet tetes,
cover glass, objek glass, microskop, dan aquades.
2. Feses diambil dengan cara swab pada rectum anjing dengan menggunakan catton
bud (Gambar 3).
3. Selanjutnya hasil swab rectum ditempatkan diatas objek glass dan dilarutkan
dalam 1 tetes aquades kemudian ditutup dengan cover glass.
4. Periksa dibawah microskop dengan perbesaran 10x untuk menemukan telur
cacing.
Gambar 3. Pengambilan sampel feses dengan cara di swab
Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis telur cacing yang di temukan adalah
telur caccing Toxocara Canis (gambar 4). Telur cacing Toxocara memiliki ciri-ciri
berbentuk oval dan dinding telur memiliki permukaan yang tidak rata, berwarna
cokelat muda berdinding tebal, hal ini sesuai dengan pendapat Widiastuti dkk.,
(2018) yang menyatakan bahwa telur Toxocara Canis memiliki ciri-ciri berbentuk
oval, permukaan bergerigi, berwarna cokelat muda, dan berdinding tebal (Gambar 4).
9
Gambar 4. Telur Toxocara Canis
3.1.4 Penanganan dan Pengobatan
Berdasarkan hasil laboratorium dan gejala klinis, maka anjing tersebut diterapi
dengan anti parasit Wormectin® sebanyak 0,1 ml secara subkutan dan pemberian
vitamin livron B-Plex sebanyak 1 tablet dalam 1 hari selama 1 minggu secara oral.
Setelah satu minggu pemberian Wormectin® anjing Yano memperlihatkan
keadaan yang baik, dimana abdomen yang awalnya membesar seperti balon telah
mengecil seperti normalnya, feses yang dikelurkan saat defekasi tidak terdapat cacing
dewasa yang hidup tetapi cacing dewasa yang telah mati, nafsu makannya telah
kembali normal, dan lincah saat bermain (Gambar 5).
Gambar 5. Anjing Yano setelah 1 minggu pemberian obat cacing wormectin®
Wormectin®(Ivermectin) merupakan obat anti parasit, baik endoparasit
maupun ektoparasit pada ternak maupun hewan kesayangan. Wormectin® merupakan
campuran dari dua avermectin yang dimodifikasi secara kimia dengan kandungan
22,23-dihydroavermectin B1a dan 22,23-dihydroavermectin B1b sebesar 1%. Obat ini
sifatnya sangat lipofilik yang menyebabkan obat ini dapat terdistribusi secara luas,
dalam jaringan lemak yang berfungsi sebagai reservoir obat sehingga konsentrasi
10
tertinggi terdapat pada hati dan jaringan lemak serta terendah pada otak (Juarez et
al.,2018).
Wormectin®(Ivermectin) bekerja pada sistem saraf dan fungsi otot sehingga
mengakibatkan kelumpuhan dan kematian parasit. Ivermectin akan melepaskan dan
mengikat α subunit sebagai reseptor glutamate-gated chloride channels (GLuCI)
disinapsis saraf tertentu yang mengakibatkan terjadinya penghambatan proses makan,
fekunditas dan motilitas dari endoparasit (Yanuartono, dkk 2020).
3.1.5. Pembahasan
Penyakit cacingan yang umum terjadi pada anjing biasanya disebabkan oleh
cacing dari kelas nematoda, cacing dari kelas nematoda yang paling banyak
menyebabkan kerugian pada anjing adalah Toxocara canis (Janis, dkk.,(2019).
Toxocara canis tidak saja berbahaya bagi hospes, tetapi juga dilaporkan dapat
menginfeksi manusia, sehingga tergolong penyakit zoonosis (Savitri, dkk.,(2020).
Menurut penjelasan Subronto (2006), secara umum siklus hidup Toxocara
canis terdiri atas infeksi langsung, infeksi intra-uterus, infeksi trans-mamaria, infeksi
induk pasca-melahirkan dan infeksi melalui hospes paratenik.
Infeksi Langsung
Rute infeksi langsung bisa terjadi karena infeksi telur infektif dari lingkungan
terhadap anjing. Telur infektif tetap berkembang hingga larva stadium kedua yang
kemudian bermigrasi ke jaringan somatik dalam bentuk kista ( Savitri, dkk.,(2020).
Infeksi Intra-Uterus
Anjing betina yang berumur lebih dari 1 sampai 3 bulan, jika menelan telur
cacing infektif, larva stadium kedua akan berdiam di dalam jaringan somatik dalam
bentuk kista dan tetap infektif. Kista yang bertahan pada jaringan somatik dapat
mengakibatkan infeksi secara intra-uterus pada anjing yang bunting. Larva akan
menembus plasenta dan bermigrasi ke fetus anjing. Saat dilahirkan larva pada anak
anjing berada di paru-paru (Fatmawati, 2014).
11
Infeksi Trans-Mammaria
Infeksi trans-mamaria bermigrasi melalui penyusuan induk anjing kepada
anaknya. Telur Toxocara canis menginfeksi kolostrum sehingga menginfeksi anak
anjing yang sedang menyusui (Supraptini, 2013).
Infeksi Induk Pasca Kelahiran
Infeksi induk pasca kelahiran dapat terjadi saat feses anak anjing saat penyapihan
(4 sampai 6 minggu) akan dimakan oleh induknya, dan larva yang infektif akan
menjadi dewasa dalam usus induk. Dengan demikian induk menjadi terinfeksi dan
mampu memperpanjang keberadaan cacing di sekitar tempat hidupnya (Savitri,
dkk.,(2020).
Infeksi Melalui Hospes Paratenik
Infeksi cacing melalui cara ini terjadi bila anjing memakan daging dari inang
paratenik yang telah terinfeksi larva dorman Toxocara canis misalnya kecoa, unggas,
bahkan domba. Larva dorman tersebut dapat langsung berkembang di dalam usus
anjing tanpa harus melalui migrasi di dalam tubuh anjing lebih dahulu (Savitri,
dkk.,(2020).
Menurut Pertiwi dkk.,(2019) siklus hidup Toxocara Canis merupakan siklus
hidup yang kompleks, karena stadium infektifnya berada pada L2 yang dapat
bermigrasi kedalam jaringan melalui pembuluh darah, anjing dapat terinfeksi larva
Toxocara Canis karena menelan telur cacing pada feses dalam jumlah besar dan
berasal dari lingkungan yang terkontaminasi.
Pada hewan muda, tracheal migration terjadi melalui paru-paru dan trachea
mengalami pembengkakan kemudian larva mengalami pendewasaan didalam usus
halus. Setelah menginfeksi anjing maka larva akan dikeluarkan dan berkembang
didalam saluran usus halus dan menjadi cacing dewasa (Pertiwi dkk.,(2019).
12
3.1.6. Sistem Pemeliharaan Anjing dan Pemberian Pakan
Manfaat anjing dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak perlu diragukan
lagi, karena anjing yang dipelihara secara pribadi biasanya dikaitkan dengan tujuan
menjaga keamanan rumah dan keamanan jiwa pemiliknya. Anjing Yano yang
dipelihara Bapak Yosep Tasi sistem pemeliharaannya dilepas dilingkungan rumah
(Gambar 6).
Gambar 6. Lingkungan rumah
Sistim pemeliharaan anjing Yano ini kurang bagus karena dapat
mempermudah penyebaran penyakit sesuai dengan pendapat Janis dkk.,(2019) bahwa
pola pemeliharaan anjing yang masih ekstensif atau dibiarkan berkeliaran dapat
berakibat buruk bagi kesehatan anjing. Anjing yang dilepas dapat terinfeksi bibit
penyakit yang terdapat dilingkungan itu sendiri ataupun dari anjing lain.
13
Sebagaimana makhluk hidup lainnya, anjing memerlukan makanan untuk
kelangsungan hidupnya. Anjing Yano sehari-hari memakan makanan yang dibuat
sendiri oleh pemiliknya yaitu campuran nasi, ikan dan tambahan penyedap rasa.
Makanan diberikan 2 kali dalam satu hari yaitu pagi dan sore, sedangkan minumnya
selalu tersedia (Gambar 7A dan 7B).
7A 7B
Gambar 7. tempat makan dan tempat minum
Pakan yang diberikan memiliki kandungan nutrisi yang kurang karena
hanyalah berbahan utama nasi (Gambar 7A). Hal ini dapat mempengaruhi berat
badan anjing karena kurangnya kandungan nutrisi, sesuai dengan pendapat Janis
dkk.,(2019) bahwa kondisi berat badan anjing juga dipengaruhi oleh jenis pakan yang
diberikan.
14
3.2 Manajemen Kesehatan Ayam Broiler
3.2.1 Manajemen Persiapan Kandang Sebelum Penerimaan DOC
Praktek Kerja Lapang Komoditi Manajemen Kesehatan Ayam Broiler
dilaksanakan di kandang ayam broiler milik bapak Ferdy Konis yang beralamat di
Desa Tanah Merah, RT.015 RW.008. Penulis mengambil kasus yaitu manajemen
persiapan kandang sebelum Penerimaan DOC.
3.2.2 Manajemen Perkandangan
Dalam usaha peternakan kandang sangat dibutuhkan karena kandang
merupakan tempat ternak melangsungkan kehidupan, sehingga kenyamanan ternak
sangatlah diutamakan.
A. Tipe dan Ukuran Kandang
Bapak Ferdy memiliki 1 unit kandang bertipe panggung terbuka (open house).
Kandang pangung memiliki sirkulasi udara yang baik apabila dibandingkan dengan
kandang postal (Dharmawan dkk.,2016) kandang tersebut berkapasitas 2.500 ekor
ayam broiler, lantai kandang terbuat dari bambu, dinding kandang terbuat dari bambu
dan kawat, tirai kandang terbuat dari terpal, atap kandang terbuat dari seng. Sesuai
dengan pendapat Agri (2011) menyatakan bahwa kandang yang baik dan dilengkapi
dengan perlengkapan dan fasilitas yang dibutuhkan akan menjadikan proses
pemeliharaan sehari-harinya menjadi mudah dijalankan. Kandang yang baik juga
akan menciptakan suasana yang nyaman sehingga mampu meningkatakan konversi
makanan, meningkatkan pertumbuhan dan kesehatannya secara optimal.
Kandang milik Bapak Ferdy ini berbentuk persegi panjang dengan tinggi dari
tanah ke atap kandang 5 m, tinggi dari tanah ke lantai kandang 2 m, dan tinggi dari
lantai kandang ke atap kandang 3 m. Lantai kandang terbuat dari belahan bambu,
dinding kandang terbuat dari kawat dan bambu. Arah kandang menghadap dari timur
ke barat bertujuan agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk kedalam kandang
dengan baik.
15
3.2.3 Sanitasi Tempat Pakan dan minum
Sanitasi didefinisikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara
menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai
perpindahan penyakit tersebut (Mappanganro dkk.,2018). Pada periode pemeliharaan
ayam broiler sebelumnya, tempat pakan dan minum ini telah terkontaminasi oleh
mikroorganisme penyebab penyakit. Sehingga perlu dilakukan sanitasi dan
desinfektan. Sanitasi dilakukan dengan mencuci peralatan kandang menggunakan
campuran air, deterjen, dan formades®, dengan prosedur sebagai berikut :
1. Siapakan alat dan bahan yang digunakan berupa ember, formades®, tempat
pakan, tempat minum, besi penggosok, dan air.
2. Siapkan air sebanyak 5 liter, deterjen, dan formades®.
3. Tambahkan desinfektan formades® sebanyak 3 tutup botol (Gambar 8).
Gambar 8. Pencampuran air 5 liter, deterjen dan formades® 3 tutup botol
4. Cuci tempat pakan, tempat minum dan tali penggantungnya dengan campuran
air dan formades® lalu bilas dengan air bersih, setelah itu gantung dan biarkan
mengering.
Pada perlakuan sanitasi tempat pakan dan minum ini sudah cukup baik
dikarenakan menggunakan deterjen dan formades®. Deterjen sendiri digunakan
dengan tujuan menghilangkan bakteri dan kotoran yang melekat pada tempat pakan
dan minum (Salma dkk., 2018). Formades® memiliki kandungan formalin,
glutaraldehyde, benzalkonium chloride, dan bahan pembantu. Formaldehid atau
formalin yang terkandung dalam formades ini merupakan desinfektan yang efektif
16
melawan bakteri vagetatif, jamur, atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora
bakteri (Nababan dkk.,2018).
3.2.4 Sanitasi dan Desinfektan Kandang
Sanitasi kandang dilakukan dengan tujuan agar kandang terbebas dari
mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Sanitasi dan desinfektan
kandang dimulai dari pembersihan lantai kandang, dan desinfektan seluruh bagian
kandang. Dengan prosedur sebagai berikut:
3.2.4.1 Sanitasi Kandang
1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan berupa air, sikat pakaian.
2. Basahi lantai kandang dengan air berkecepatan tinggi, kemudian disikat
hingga bersih menggunakan sikat pakaian. Dilakukan pada seluruh lantai
kandang.
3. Biarkan mengering selama 14 hari.
3.2.4.2 Desinfektan Kandang
1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan berupa tangki spray, formades®,
dan air.
2. Campurkan air sebanyak 30 liter dan formades® 16 tutup botol.
3. Didesinfeksikan pada seluruh kandang menggunakan tangki spray.
Setelah kandang dibiarkan mengering, selanjutnya kandang didesinfeksi dengan
formades sebagai desinfektan. Desinfeksi kandang dilakukan dengan menggunakan
campuran air sebanyak 20 liter dengan formades® sebanyak 16 tutup botol dengan
menggunakan alat bantu tengki spray. Desinfeksi ini dilakukan pada seluruh bagian
kandang.
Formades® mengandung formalin, glutaraldehyde, benzalkonium chloride,
dan bahan pembantu. Formalin berfungsi sebagai antimikroba yang dapat membunuh
bakteri, jamur bahkan virus (Giri dkk.,2020). Glutaraldehyde merupakan desinfektan
golongan aldehyde, termasuk desinfektan yang kuat, spektrum aplikasi luas, dapat
membunuh mikroorganisme dan virus (Leksanawati dkk.,2020).
17
3.2.5 Persiapan Tempat DOC (Day Old Chick)
Sebelum DOC datang, peternak harus melakukan persiapan tempat untuk
DOC agar ketika DOC datang bisa langsung mendapatkan pemeliharaan yang layak,
tidak stres, dan merasa nyaman dengan suasana kandang. Kandang indukan
merupakan serangkaian sistem yang terdiri dari alat pemanas dan sekat yang
dilengkapi tempat pakan dan air minum, litter, dan pencahayaan (Risnajati, 2011).
Persiapan tempat DOC ini adalah sebagai berikut:
1. Pembentangan karung dan pemasangan litter
Lantai kandang terbuat dari bambu sehingga terdapat cela karena
itulah pembentangan karung sebagai alas litter dilakukan agar menutupi cela
dari lantai kandang tersebut. Karung yang digunakan yaitu karung bekas yang
telah dijahit memanjang. Litter yang digunakan adalah sekam padi kering,
namun pada peternakan Bapak Ferdy ini sekam yang digunakan masih basah
sehingga dibiarkan mengering selama dua hari. Litter merupakan alas
kandang yang berfungsi untuk menyerap air, menyerap ammonia, isolasi
panas, dan meminimalkan ayam kontak langsung dengan kandang (Najibulloh
dkk.,2020). Pada peternakan Bapak Fery Konis ini, litter yang digunakan yaitu
sekam padi kering. Penaburan sekam padi ini dilakukan setelah pembentangan
karung sebagai alas litter (Gambar 9). Sekam padi yang ditabur memiliki
ketebalan 3-5 cm (Gambar 9).
Gambar 9. Penaburan sekam padi
18
2. Pembagian petak
Pembagian petak yang dilakukan yaitu menggunakan tripleks, tripleks
ini ditempatkan memanjang sehingga kandang terbagi menjadi dua bagian.
Bagian yang terdapat litter kemudian dibagi menjadi 7 petak dengan masing-
masing petak berukuran 4x3 cm.
Gambar 10. Tripleks sebagai pembatas
Tujuan dari pembagian petak ini adalah untuk mempermudah kontrol
suhu (Nadzir dkk.,2015). Sekat ini juga berfungsi menghindari penumpukan
anak ayam pada sudut brooding dan fungsi lainnya yaitu melindungi DOC
dari terpaan angin dan hewan liar (Zumrotun, 2012).
3. Pembentangan Koran
Terdapat 7 petak yang dibagi namun pada peternakan Bapak Ferdy ini
hanyalah 4 petak yang dibentangkan koran, sedangkan 3 petak lain tidak di
bentangkan koran dengan tujuan pelebaran petak saat ayam broiler berumur
13 hari. Pembentangan koran ini bertujuan agar DOC tidak memakan alas
litter (Agri, 2011).
19
4. Pemasangan lampu pemanas atau Indukan
Suhu dan kelembapan kandang yang seragam pada saat masa
brooding akan menghasilkan performa ayam pedaging yang baik
(Fatmaningsih dkk.,2016). Setelah pembentangan Koran, kemudian yang
dilakukan adalah pemasangan lampu pemanas atau indukan. Lampu pemanas
yang digunakan yaitu lampu merek Mercuri 250 watt sebanyak 4 buah dan
masing-masing lampu pemanas dipasang pada petak yang telah dibentangkan
koran.
5. Penempatan tempat pakan dan minum
Setelah lampu pemanas terpasang, selanjutnya tempat pakan diletakan
dengan masing-masing petak berisi 8 buah tempat pakan . Tempat pakan yang
digunakan adalah baby chick feeder. Tempat pakan baby chick feeder ini
memiliki kelebihan yaitu dapat meningkatkan konsumsi pakan per hari per
ekor ayam karena dengan menggunakan BCF mampu menekan angka
kontaminasi pakan akibat tercampur dengan sekam dan kotoran ayam,
sehingga dapat meningkatkan nafsu makan ayam yang lebih menyukai pakan
bersih dan kering (Iwan dkk.,2018).
20
3.3 Manajemen Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan
Pusat kesehatan hewan yang selanjutnya disingkat Puskeswan adalah Pos
Kesehatan Hewan yang memberikan pelayanan dibidang kesehatan hewan
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 690/Kpts/TN.510/10/1993 dan Nomor 88 Tahun 1993 Tentang
Pos Kesehatan Hewan.
3.3.1 Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Puskeswan
Berdasarakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
64/permentan/OT.140/9/2007 Puskeswan merupakan unit kerja yang berkedudukan
dibawah dan bertangung jawab kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Puskeswan
dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai latar belakang pendidikan dan
berijazah dokter hewan. Kepala puskeswan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas
Kabupaten/Kota. Kepala puskeswan berada dibawah dan bertangung jawab kepada
Bupati/Walikota melalui Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
3.3.2 Tugas dan Fungsi Puskeswan
Berdasarakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
64/permentan/OT.140/9/2007 Puskeswan mempunyai tugas yaitu melakukan
kegiatan pelayanan kesehatan hewan diwilayah kerjanya, melakukan konsultasi
veteriner dan penyuluhan dibidang kesehatan hewan, dan memberikan surat
keterangan dokter hewan.
Dalam melaksanakan tugasnya, puskeswan menyelenggarakan fungsi menurut
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 64/permentan/OT.140/9/2007 yaitu pelaksanaan
penyehatan hewan, pemberian pelayanan kesehatan masyarakat veteriner,
pelaksanaan epidemiologik, pelaksanaan informasi veteriner dan kesiagaan darurat
wabah, dan pemberian pelayanan jasa veteriner.
21
3.3.3 Struktur Organisasi Puskeswan
Puskeswan merupakan unit kerja yang dipimpin oleh seorang kepala dengan
latar belakang pendidikan dan berijazah dokter hewan. Institusi ini berkedudukan
dibawah dan bertangung jawab kepada Bupati/Walikota melalui kepala dinas
Kabupaten/Kota setempat. Dibawah ini adalah struktur organisasi dari puskeswan.
Kepala Puskeswan
Tata Usaha
Urusan Pelayanan Keswan, Urusan epidemiologi dan
Kesmavet, dan Reproduksi informasi Keswan
Kelompok jabatan fungsional
Gambar 11. Struktur Organisasi Puskeswan (sumber: 64/Permentan/OT.140/9/2007).
Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Puskeswan menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan
diwilayah kerjanya. Penangung jawab yang membidangi tata usaha mempunyai
tugas melakukan urusan ketata usahaan yang meliputi perencanaan keuangan,
kepegawaian, rumah tangga, dan perlengkapan serta administrasi pelaporan
(64/Permentan/OT.140/9/2007).
22
Penangung jawab yang membidangi kesehatan hewan, kesehatan masyarakat
veteriner dan reproduksi mempunyai tugas melakukan urusan meliputi pembinaan,
pengembangan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan hewan, kesehatan
masyarakat veteriner dan reproduksi serta pembuatan rekam medik dan pelaporan
kasus penyakit hewan. Penangung jawab yang membidangi epidemiologi dan
informasi veteriner mempunyai tugas melakukan urusan meliputi surveilans dan
pemetaan penyakit hewan, pegumpulan dan analisa data yang meliputi kejadian
penyakit, kasus kematian, jumlah koban, wilayah yang tertular, pengambilan
spesimen dalam rangka peneguhan diagnosa penyakit hewan menular(PHM),
pengamatan dan pemeriksaan penyakit hewan menular (PHM) secara klinik,
epidemiologik dan laboratorik serta melaporkan kejadian wabah penyakit hewan
(64/Permentan/OT.140/9/2007).
Kelompok jabatan fungsional terdiri dari jabatan fungsional medik veteriner,
paramedik veteriner dan jabatan fungsional lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan
sesuai jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Masing-masing kelompok jabatan fungsional dikoordinasikan oleh seorang tenaga
fungsional senior yang ditunjuk oleh kepala puskeswan. Jumlah tenaga fungsional
ditentukan berdasarkan pada kebutuhan dan beban
kerja(64/Permentan/OT.140/9/2007).
23
3.3.4 Jenis-Jenis Pelayanan Puskeswan
Kegiatan pelayanan Puskeswan dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar
Puskeswan, dimana pelayanan di luar Puskeswan dilaksanakan oleh petugas
Puskeswan dengan menguji tempat/lokasi yang memerlukan pelayanan kesehatan
hewan, pelayanan Puskeswan dapat dilaksanakan melalui pelayanan keliling di
wilayah kerjanya (64/Permentan/OT.140/9/2007).
3.3.4.1 Pelayanan Aktif
Pelayanan aktif adalah metode pelayanan yang dilakukan secara langsung
oleh petugas puskeswan ke lapangan untuk mengetahui kondisi dan keadaan ternak
diwilayah kerjanya secara rutin dan terjadwal (64/Permentan/OT.140/9/2007).
3.3.4.2 Pelayanan Semi Aktif
Pelayanan semi aktif adalah metode pelayanan yang akan diberikan apabila
ada permintaan atau dari peternak mengenai hewan yang diberi vaksinasi atau obat
(64/Permentan/OT.140/9/2007).
3.3.4.3 Pelayanan Pasif
Pelayanan pasif adalah metode pelayanan yang dilakukan apabila peternak
membawa ternaknya ke puskeswan untuk diperiksa dan diobati
(64/Permentan/OT.140/9/2007).
24
3.3.5 Jenis-Jenis Tindakan Kesehatan Di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya puskeswan melaksanakan kegiatan
penyehatan hewan yang meliputi :
3.3.5.1 Tindakan Promotif
Tindakan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan hewan dari kondisi
yang sudah ada yaitu pemberian suplemen, vitamin, dan bahan aditif lainnya yang
aman dan menyehatkan, juga pemberian gizi seimbang untuk peningkatan produksi
dan produktifitas hewan (64/Permentan/OT.140/9/2007). Vitamin merupakan
substansi aktif dan sangat dibutuhkan oleh manusia mapun hewan, karena vitamin
memiliki kandungan yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kesehatan yang
optimal, sama halnya dengan fungsi fisiologis yaitu tumbuh dan berkembang,
mempertahankan hidup dan berproduksi (Setiawan dkk.,2013).
Vitamin adalah nutrienorganik yang dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk
berbagai fungsi biokimiawi dan yang umumnya tidak disintesis oleh tubuh sehingga
harus dipasok dari makanan (Triana, 2006). Vitamin livron b-plex untuk membantu
proses penyembuhan setelah sakit. Pemberian dilakukan sebanyak satu tablet untuk
satu hari selama satu minggu. Livron b-plex merupakan multivitamin yang kaya akan
kandungan vitamin B, seperti vitamin B1, B2, B6 dan B12 yang membantu dalam
produksi sel darah merah, livron b-plex ini merupakan obat suportif untuk membantu
memelihara kesehatan anjing sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan
(Sukma dkk.,2019).
Pemberian gizi seimbang untuk meningkatkan produksi ternak yang biasanya
dilakukan oleh para peternak babi. Contohnya pakan yang diberikan pada pembibitan
ternak babi adalah campuran dedak padi dan konsentrat jenis Charoen Phokphan 157
serta mineral 10, formulasi dan jumlah ransum yang diberikan untuk babi induk dara
dan babi pejantan adalah sama akan tetapi untuk babi bunting dengan umur yang
sudah tua diberikan ransum dengan formulasi yang sama dan jumlah yang berbeda
(Sulastri dkk.,2018).
25
3.3.5.2 Tindakan Preventif
Tindakan preventif merupakan upaya mencegah agar hewan tidak sakit yaitu
melakukan vaksinasi dan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka pencegahan
penyakit hewan menular, melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka
pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular, melakukan
isolasi dan observasi hewan untuk membatasi penyebaran penyakit, dan pengawasan
lalu lintas hewan dan produk hewan diwilayah kerjanya.
(64/Permentan/OT.140/9/2007).
Vaksin adalah olahan patogen yang mati atau yang lemah, atau produknya
yang saat diperkenalkan kedalam tubuh, merangsang produksi antibody tanpa
menyebabkan penyakit (Mualifah, 2017). Contoh vaksin yang diberikan pada anjing
yaitu vaksin parvovirus. Vaksinasi parvovirus pada anjing dapat menggunakan vaksin
modified live virus (MLV) yaitu vaksin yang menggunakan virus parvo highly
antigenic yang telah dilemahkan (Suartini dkk.,2015).
Newcastle disease (ND) atau penyakit tetelo merupakan penyakit unggas yang
sangat menular dan merugikan ekonomi dan peternakan unggas (Rozi dkk.,2020).
Vaksinasi yang dilakukan yaitu menggunkan sediaan virus ND tahan panas galur
RIVS2, vaksin dilakukan secara langsung melalui tetes mata dengan dosis 108EID50
untuk setiap ekor ayam (Badruzzaman dkk.,2020).
3.3.5.3 Tindakan Kuratif
Tindakan kuratif merupakan upaya melakukan penyembuhan terhadap
penyakit baik secara medikamentosa atau menggunakan obat-obatan maupun secara
tindakan medik bedah dan tindakan lainnya yaitu melakukan pemeriksaan dan
penegakan diagnosa, melakukan tindakan memastikan diagnosa dengan pemeriksaan
laboratorium setempat ataupun rujukan, melakukan pengobatan terhadap hewan sakit,
dan melakukan tindakan bedah hewan dalam rangka penyembuhan penyakit
(64/Permentan/OT.140/9/2007).
26
Dalam melakukan pengobatan pada hewan sakit, dapat dilakukan dengan
pemberian obat- obatan. Antibiotik adalah obat yang berasal dari seluruh atau bagian
tertentu mikroorganisme dan digunakan untuk mengobati infeksi bakteri (Fernandez,
2013). Kambing yang menderita myiasis dan diperparah adanya infeksi bakteri,
kambing selanjutnya diterapi sebagai berikut: langkah pertama, dilakukan
pembersihan larva lalat pada bagian kaki yang terinfeksi menggunakan pinset
anatomis. Langkah kedua, dilakukan penyemprotan dichlofenthion 1% pada luka
(Gusanex®) kemudian larva-larva yang keluar dari luka diambil menggunakan
larutan penicillin dan dihydrostreptomycin (Interchemie®) sebanyak 3 mL. Langkah
ketiga, pemberian 1 mg/kg berat badan diphenhydramine HCL secara injeksi
intramuscular (Vetadryl®). Serta satu kali pemberian oxytetracycline (Limoxin-200
LA®) dengan dosis 20 mg/kbb (Fahma dkk.,2020).
3.3.5.4 Tindakan Rehabilitatif
Tindakan rehabilitatif adalah upaya pemulihan kesehatan pasca sakit yaitu
melakukan istirahat kandang, rawat inap, berobat jalan dan kunjungan pasien, dan
melakukan pemberian alat-alat bantu kesembuhan seperti pembalutan, fiksasi dan lain
sebagainya (64/Permentan/OT.140/9/2007). Dehidrasi didefinisikan sebagai
kekurangan cairan tubuh yang diikuti oleh kehilangan elektrolit, dan perubahan
keseimbangan asam-basa (Suartha, 2010). Pemberian infus glukosa 5% digunakan
untuk menyuplai air sehingga mengurangi dehidrasi pada anjing yang muntah dan
diare, cairan ini bekerja dengan cara menarik cairan dari rongga interstitial dan intra
seluler (Suartha, 2010). Contoh tindakan rehabilitatif yang dilakukan yaitu rawat
jalan pada Anjing Yano dengan pemberian vitamin livron b-plex sebanyak 1 tablet
dalam 1 hari selama 1 minggu.
27
3.3.5.5 Pelayanan Medik Reproduksi
Pelayanan medik reproduksi merupakan kegiatan dalam menangani kasus
hewan yang berkaitan dengan reproduksi yaitu melakukan diagnosa kebuntingan,
menolong kelahiran, melaksanakan inseminasi buatan, melakukan diagnosa dan
pengobatan ganguan reproduksi dan melakukan tindakan ahli janin (Embrio transfer)
(64/Permentan/OT.140/9/2007). Tujuan dalam pemeriksaan kebuntingan adalah
menentukan status kebuntingan dengan ketepatan 100%, dan kebuntingan lebih awal,
usia kebuntingan, keberlangsungan kebuntingan, jenis kelamin fetus (Fathan
dkk.,2018). Pelayanan medik reproduksi seperti deteksi kebuntingan pada sapi dengan
menggunakan bahan asam sulfat (H2SO4) memiliki presentase kebuntingan 100% hal
ini dilihat dari munculnya gelembung gas fluorenscence dan warna yang berubah
menjadi pink keunguan (Fathan dkk.,2018).
Ovulasi tertunda (Delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang
tertunda/tidak tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/IB tidak tepat
waktu, sehingga fertilisasi (Pembuahan) tidak terjadi dan akhirnya gagal,
penyebabnya adalah rendahnya LH dalam darah. Terapi yang dapat dilakukan yaitu
dengan injeksi GnRH (100-250 µg gonadorelin) saat IB (Ratnawati dkk.,2007).
28
3.4. Manajemen penanganan dan pencegahan Penyakit Fasciolosis dan Penyakit
Septicemia Epizootica Pada Sapi Potong
3.4.1. PenyakitFasciolosis
Fasciolosis merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi cacing
family Trematoda, yaitu Fasciola sp. (Purwaningsih.dkk (2017). Cacing ini
menyerang jaringan hati, usus, dan lambung ternak, cacing ini juga dapat tumbuh dan
berkembang di jaringan lain misalnya paru-paru, otak, dan limpa (Rozi dkk., 2015).
Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit cacing trematoda
Fasciola gigantica maupun Fasciola hepatica, termasuk kelas Trematoda, filum
Platyhelmintes, dan genus Fasciola (Majawati dkk.,2018).
Menurut Martindah dkk. (2005) daur hidup cacing Fasciola spp adalah cacing
dewasa memproduksi telur dan keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok telur
cacing menetas dan mengeluarkan mirasidium. Telur cacing F.hepaticaakan menetas
dalam 14-12 hari pada suhu 260C, sedangkan telur cacing F.gigantica akan menetas
dalam 14-17 hari pada suhu 280C. Mirasidium memiliki cilia (rambut getar) dan aktif
berenang untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp.,
yang kemudian akan menembus kedalam tubuh siput.
Dalam waktu 24 jam didalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi
sporosis dan 8 hari kemudian akan berkembang menjadi redia, 1 sporosis tumbuh
menjadi 1-6 redia. Redia kemudian siap keluar dari siput, bernama serkaria yang
dilengkapi ekor untuk berenang, dan akan menempel pada benda yang terendan air
seperti jerami, rumput atau tumbuhan air lainnya. Tidak lama kemudian serkaria akan
mengeluarkan ekornya dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Metaserkaria
adalah bentuk infektif dari cacing Fasciola spp bila metaserkaria ini termakan oleh
ternak, di dalam usus metaserkaria tersebut akan keluar dari kista menembus dinding
usus menuju ke hati dan dalam waktu 16 minggu akan tumbuh menjadi dewasa dan
mulai memproduksi telur (Martindah dkk.,2005).
29
3.4.1.1 Gejala Klinis dan patologi Penyakit Fasciolosis Pada Sapi
Sapi yang terserang Fasciola sp akan tampak pucat, lesu, mata membengkak,
membran mukosa pucat, diare, tubuh kurus, pembengkakan dibawah rahang, perut
busung dan bulu kusam atau berdiri (Sumarmata dkk.,2019). Perubahan anatomi yang
terjadi adalah hati sapi yang terinfeksi fasciola gigantica menunjukan perubahan
anatomi antara lain konsistensi hati tampak mengeras, permukaan tepi hati tumpul,
hepatomegaly (hepar membesar) serta pada mukosa empedu terjadi penyumbatan
saluran empedu karena adanya pengerasan dinding empedu (Apritya dkk.,2021).
Kelainan patologis yang ditimbulkan oleh fasciolosis biasanya tergantung
jumlah metaserkaria yang tertelan pada suatu periode tertentu dan kerentanan hewan,
migrasi cacing muda dalam jumlah yang sedikit hanya menimbulkan kelainan
patologis yang ringan dan jarang menampakkan gejala klinis (Balqis dkk.,2013).
3.4.1.2 Situasi Penyakit Fasciolosis Pada Sapi di NTT
Pada tahun 2007, Dinas Peternakan Provinsi NTT mencatat bahwa telah
terjadi 734 kasus fasciolosis yang menyerang sapi, kerbau dan babi di beberapa
Kabupaten seperti kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Rote
Ndao, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, dan Sumba Timur. Kasus tertinggi terjadi
pada sapi di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan jumlah 306 kasus
(Damayanti dkk.,2019).
3.4.1.3 Jumlah Kasus Kesakitan dan Kematian
Berdasarkan hasil surveilans parasit internal di laboratorium parasitologi UPT
Veteriner 2017 dari 948 sampel feses sapi terdapat 16 sampel positif Fasciola sp dan
prevalensi tertinggi di Kabupaten TTU (5,71%), Kabupaten Sumba Barat Daya
(4,88%) dan Kabupaten Malaka (4,35%), secara keseluruhan tingkat prevalensi
fasciola sp di 22 Kabupaten/Kota se-NTT adalah 1,69%.
30
3.4.1.4 Penyebaran Penyakit Fasciolosis di NTT
Sistim pemeliharaan sapi di wilayah Nusa Tenggara Timur yang masih
menggunakan sistim pemeliharaan tradisional yakni pemeliharaan secara semi
intensif dan ekstensif dimana ternak dipelihara di padang penggembalaan sehingga
rentan terkena berbagai macam penyakit (Matutina, 2017). Fasciolosis pada sapi
mempunyai prevalensi yang tinggi pada sapi yang dipelihara secara ekstensif, dimana
untuk mendapatkan makanan sapi mencari sendiri sehingga tidak menjamin kuantitas
dan kualitas makanan sapi tersebut sesuai dengan kebutuhannya (Purwanta
dkk.,2006).
3.4.1.5 Kerugian Ekonomi
Diantara penyakit parasiter, fasciolosis adalah penyebab kerugian ekonomi
terbesar kedua setelah Surra pada ternak sapi dan kerbau (Wibisono dkk.,2015).
Infeksi cacing hati ini menyebabkan terjadinya laju pertumbuhan dan berat badan
ternak, penurunan efisiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang tinggi terutama
pada pedet maupun sapi usia produktif, daya tahan tubuh akibat anemia yang
ditimbulkan, serta kerusakan jaringan hati dan saluran empedu (Hambal dkk.,2013).
Anemia yang ditimbulkan ini akibat dari cacing Fasciola sp memakan
jaringan hati dan darah pada saat masih muda, dan makanan utama setelah dewasa
adalah darah (Martindah dkk.,2005).
3.4.1.6 Cara Pencegahan Penyakit Fasciolosis Pada Sapi
Menurut Darmono (1992) pencegahan terhadap cacing ini dapat dilakukan
dengan membunuh siput yang menjadi inangnya dengan obat moluskisida. Untuk
menanggulangi infeksi cacing pada ternak yang digembalakan sebaiknya dilakukan
rotasi padang penggembalaan dan pemberian suplementasi nutrisi dan untuk sapi
yang dikandangkan upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan rumput yang dipotong pada siang hari, karena apabila dipotong pada
pagi hari larva cacing masih berada di bagian atas (pucuk) rumput sehingga pada
31
waktu rumput disabit larva tersebut dapat terbawa ke kandang dan termakan oleh sapi
(Zalizar, 2017).
3.4.1.7 Cara Pengobatan Penyakit Fasciolosis Pada Sapi
Pengobatan Fasciolosis pada ternak menggunakan Nitroxinil dengan dosis 10
mg/kg BB sangat efektif dengan daya bunuh 100% pada infeksi setelah 6 minggu dan
perlu diulangi 8-12 minggu setelah pengobatan pertama ( Samarang dkk.,2020).
3.4.2 Penyakit Septisaemia Epizootica
Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS) di
indonesia dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri
Pasteurellamultocida B:2 (Kementan No. 4026 Tahun 2013). Infeksi oleh kuman
tersebut disebut pasteurellosis atau Septichaemia epizootica (SE) yang penyakitnya
dapat berjalan secara subklinis atau bergabung dengan pneumonia septicemia dari
beberapa perubahan yang akan mengakibatkan kematian, dan kondisi tubuh menurun
(Besung dkk.,2017). P. multocida adalah bakteri gram’s negatif, ovoid, pendek,
berpolar yang sering dilihat coccoid (Dartini, 2018). Kuman pasteurella dapat
bertindak sebagai flora normal dalam saluran pernapasan sapi dan kerbau terutama di
daerah trakhea (Besung dkk.,2017).
3.4.21. Gejala Klinis Dan Patologi Penyakit Septicaemia Epizootica
Pada kondisi sapi yang menurun, kuman pasteurella ini dapat berubah
menjadi pathogen dengan menimbulkan gejala klinis seperti sesak napas, oedem
bahkan berakibat kematian (Besung dkk.,2017). Pada kasus yang ringan ditandai
dengan bulu berdiri, pertumbuhan terhambat dan adanya oedem disekitar mandibular
(Besung dkk.,2017).
32
3.4.2.2 Situasi Penyakit Septicaemia Epizootica di NTT
Situasi penyakit septicaemia epizootica ini secara umum dibeberapa Negara
Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang
mewabah (Dartini, 2018). Kota Kupang yang merupakan bagian dari Provinsi NTT,
merupakan wilayah endemis SE kecuali Kabupaten Lembata, setiap tahun kasus SE
terjadi secara klinis di seluruh wilayah NTT (Agustini dkk.,2014).
3.4.2.3 Jumlah Kasus Kesakitan dan Kematian
Di provinsi TTU jumlah kasus kematian akibat SE pada tahun 2014 adalah
sebanyak 45 ekor, hal ini dilaporkan oleh Dinas Peternakan TTU (Agustini
dkk.,2014).
3.4.2.4 Penyebaran Penyakit Septicaemia Epizootica di NTT
Kota Kupang yang merupakan bagian dari Provinsi NTT, merupakan wilayah
endemis SE kecuali Kabupaten Lembata, setiap tahun kasus SE terjadi secara klinis di
seluruh wilayah NTT (Agustini dkk.,2014).
3.4.2.5 Kerugian Ekonomi
Kerugian ekonomi yang timbul akibat penyakit Septicaemia Epizootica ini
adalah kematian ternak, pengadaan obat-obatan dan vaksinasi (Dartini, 2018).
3.4.2.6 Penanganan Penyakit Septicaemia Epizootica
Pencegahan SE dilakukan dengan vaksinasi dan vaksin yang beredar dalam
bentuk adjuvant minyak dan alluminium precipitat yang diberikan setahun sekali (
Berek dkk.,2015). Jika pada satu wilayah sedang terjangkit penyakit SE, hal pertama
yang harus dilakukan adalah vaksinasi terhadap ternak yang sehat dengan oil
adjuvant, sedangkan untuk wilayah yang pernah terkena wajib divaksinasi ulang
(setidaknya setahun sekali), dengan dosis 3 ml secara intramuscular (Yuliani
dkk.,2016). Pengobatan dapat dilakukan dengan Limoxin 200 LA (Agustini
dkk.,2014).
33
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Setelah kegiatan PKL dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
a. Teknik pemeriksaan feses anjing yaitu dengan menggunakan metode
native dan jenis parasit internal yang menginfeksi anjing Yano adalah
Toxocara canis.
b. Teknik persiapan kandang sebelum penerimaan DOC meliputi sanitasi
kandang dan peralatan kandang, pemasangan litter, pemasangan
pemanas, dan pembagian petak.
c. Tugas Puskeswan yaitu pelaksanaan penyehatan hewan, pemberian
pelayanan kesehatan masyarakat veteriner, pelaksanaan epideniologik,
pelaksanaan informasi veteriner, dan kesiagaan darurat wabah, dan
pemberian jasa veteriner.
d. Penanganan Fasciolosis pada sapi potong dapat menggunakan
Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg BB dan penanganan penyakit
Septichaemia epizootica adalah vaksinasi terhadap ternak yang sehat
dengan oil adjuvant dengan dosis 3 ml secara intramuscular.
4.2 Saran
a. Sebaiknya anjing yang dipelihara dikandangkan dan dijaga sanitasinya agar
terhindar dari rantai penyebaran Toxocara canis.
b. Sebaiknya ketebalan sekam padi sebagai litter harus ditambahkan dari 3-5 cm
menjadi 10 cm. Agar dapat menyerap air dengan baik dan memperkecil
kemungkinan DOC bersentuhan langsung dengan lantai kandang.
34
DAFTAR PUSTAKA
A. Manajemen Kesehatan Hewan Kesayangan
Estuningsih.E.S. (2005). Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya Pada
Manusia.Warta Zoa.Vol.15 No.3 Hal.136-142.
Fatmawati.D. (2014).Identifikasi Toxocara canis pada anak anjing di Makasar pet
clinic. [Skripsi]. Makasar, Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran, Universitas Hasanuddin.Hal 7-11.
Janis.N.W.D.,H.U.Deta.,Aji.W.(2019). Perubahan bobot badan anjing local terinfeksi
Toxocara Canis setelah pemberian pyrantel pamoat di Kota Kupang. Jurnal
Veteriner Nusantara. Vol.2 No.2.
Pertiwi.R.V.,Kusnoto.,S.Koesdarto.,N.D.R.Lastuti.,Lucia.T.S.,Mufasirin.(2019).
Perbedaan Larva Stadium kedua dan L2 Toxocara Canis Pada Jaringan Mencit
Menggunakan Scanning Electron Microscopy. Jurnal Veteriner. Vol.20 No.3
: 390-396.
Prajanto.,Agus.A.(2003). Membuat Anjing Sehat dan Pintar. Agromedia Pustaka:
Jakarta
Rahmadani.S.(2015).Evaluasi Helmintiasis Pada Anjing Penderita Diare Di Klinik
Hewan Makasar.Skripsi.Makasar:Fakultas Kedokteran.Universitas
Hasanuddin.
Savitri,C.R.(2020).Infeksi Tocxocara canis pada anjing lokal di Banyuwangi.Jurnal
medic veteriner. Vol.3. No.1. Hal. 127-131.
Supraptini,J.(2013).Kasus Toxocariasis Pada Anjing Di Rumah Sakit Hewan
Pendidikan Universitas Airlangga. Media Vetmedika J.Klin.Vet.,2(1),18-24.
Widiastuti.A.w.,I.G.Soma.,I.Putu.G.Y.A.(2018). Studi Kasus: Pneumonia Karena
Migrasi Larva Toxocara Sp. Pada anjing Basset Hound.Indonesia Medicus
Veterinus.7(6):675-688
Widodo,Setyo,D.Sajuthi,Choliq.C.,W.Agus.,RP.l.Agus.(2017).Diagnostik Klinik
Hewan Kecil.edisi 1.IPB press. Institute Pertanian Bogor:Bogor.
Yanuartono.,S.I.,A.N.,S.R.,H.P.(2020) . Penggunaan Antiparasit Ivermectin pada
Ternak: Antara Manfaat dan Resiko. Jurnal Sains Peternakan Indonesia.
Volume. 15 Nomor 1
35
B. Manajemen persiapan kandang sebelum penerimaan DOC
Agri.F.(2011). Panduan lengkap Meraup Untung dari Peternakan Ayam Broiler.
Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma.
Dharmawan.R.,H.S.Prayogi.,V.M.A.Nurgiartiningsih.(2016).Penampilan Produksi
Ayam Pedaging yang Dipelihara Pada Lantai Atas dan Lantai Bawah. Jurnal
Ilmu - Ilmu Peternakan. 26(3): 27 – 37.
Forum.A(.2011).Paduan lengkap meraup untung dari peternakan ayam
broiler.penerbit Cahaya Atma: Yogyakarta.
Giri.V.Y.G.I.,Pande.G.S.J.,Ni.P.P.W.,Bedjo.S.(2020).Optimasi Dosis Formalin
Sebagai Desinfektan Dalam Media Pemeliharaan Terhadap Kelangsungan
Hidup Dan Pertumbuhan Larva Lobster Pasir(Panulirus homarus). Current
Trends in Aquatic Science. III(1): 106-112
Iwan.,Herawati.M.,Rastosari.A. (2018). Pengaruh Media Pakan Baki (CFT) dan Baby
Chick Feeder (BCF) Terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Berat Badan
Harian dan Konversi Pakan pada Ayam Ras Pedaging. Jurnal Wahana
Peternakan. Vol.2 No. 2
Leksanawati.F.I.,Budiyono.,Suhartono.(2020). Glutaraldehid Sebagai Alternatif
Untuk Bahan Sterilisasi Alat Medis Di Rumah Sakit. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal). Volume 8, Nomor 6
Mappanganro.R.,Jumriah.S.,Chaedar.A.(2018). Tingkat Penerapan Biosekuriti Pada
Peternakan Ayam Petelur Di Kecamatan Panca Rijang Kabupaten Sidrap.
Jurnal Ilmu Dan Industri Peternakan. Volume 4 Nomor 1: 60-73
Nababan.D.,Ramadhanita.I.,Roslenni.S.(2018). Analisis Kandungan Formaldehid
Pada Tahu Yang Dijual Di Pasar Kota Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat
dan Lingkungan Hidup. ISSN: 2528-4002
Nadzir.,Ahmad.T.,Agus.H.(2015).Evaluasi Desain Kandang Ayam Broiler di Desa
Rejo Binangun, Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur.Jurnal
Teknik Pertanian Lampung. Vol 4, No 4: 255-266
Najibulloh.M.,Niken.U.,salundik.(2020). Pengaruh Daur Ulang Litter Terhadap
Kualitas Litter dan Udara Dalam Pemeliharaan Broiler. Livestock And Animal
Research. 18(2): 107-115
Raule.H.J.(2018). Pengetahuan perawat gigi tentang metode sterilisasi dengan
pencegahan infeksi silang di poli gigi puskesmas ranotana weru di kota
Manado. Jurnal Ilmiah Gigi dan Mulut.1(1),44-51
36
Risnajati.D.(2011). Pengaruh Jenis Alat Pemanas Kandang Indukan Terhadap
Performa Layer Periode Starter. Sains Peternakan. Vol. 9(1):20-24
Salma.C.Y.,Maisuranti.(2018). Penggunaan Bungkil Kelapa Fermentasi Dengan
Trichoderma Harzianum Dalam Ransum Untuk Performa Broiler. Journal of
Livestock and Animal Health. Vol. 1 No. 1 015-019
Setiawati.T.,R.Afnan.,N.Ulupi.(2016).Performa Produksi dan kualitas telur ayam
petelur pada system litter dan cage dengan suhu kandang berbeda. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan.Volume 4. No. 1 Hal 197-203
Zumrotum.(2012).Manajemen Brooding Pada Ayam Broiler.Widyaiswara PPPPTK
Pertanian.VDCA.
C. Manajemen pelayanan pusat kesehatan hewan
Badruzzaman.Z.M.,Mochamad.A.S.,Agus.S.(2020). Vaksinasi Newcastle disease
pada peternakan ayam buras di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Jurnal
PusatInovasi Masyarakat. Vol. 2 No. 2: 240-245
Erawan.K.M.G.I.,I.Nyoman.S.,E.S.B.,Diana.M.,I.W.B.(2009). Analisis Faktor Resiko
Penyakit Distemper pada Anjing di Denpasar. Jurnal Veteriner. Vol. 10 No.
3: 173-177
Fathan.S.,Fahrul.I.,Indah.I.(2018). Deteksi Dini Kebuntingan Pada Sapi Bali
Menggunakan Asam Sulfat (H2SO4). Jambura Jounal of Animal Science.
Volume 1 No 1.
Fahma.N.N.,Suhiryanto.,Indarjulianto.S.,Y.,A.N.,Hary.P.,Salamet.R.(2020).
Diagnosis and Treatment of myiasis in goat. Journal og applied veterinary
science and technology. Vol. 1 :29-33
Fernandez.M.A.B.(2013).Studi penggunaan antibiotic tanpa resep di Kabupaten
Manggarai dan Manggarai Barat- NTT. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya. Vol. 2 No. 2
Iqbal.M.(2011).Strategi Penguatan Kinerja Pelayanan Kesehatan Hewan Dalam
Mendukung Sistem Kesehatan Hewan Nasioanal. Analisis Kebijakan
Pertanian. Volume 9 No.1. Hal 53-71
Mualifah.Y.A.(2017). Mengurai hadis tahnik dan gerakan anti vaksin. Jurnal Living
Hadis. 2(2), 253-269
37
Peraturan Bupati Pesisir Selatan Nomor : 11 Tahun 2016 Tentang Pusat Kesehatan
Hewan Terpadu
Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 64/Permentan/OT.140/9/2007. Pedoman
Pelayanan Kesehatan Hewan(Puskeswan)
Ratnawati.D.,Wulan.C.P.,Lukman.A.S.,Grati.(2007). Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Penerbit Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan: Bogor
Rozi.F.,Jola.R.,Muhammad.T.E.P.,Iwan.S.H.,Aditya.Y.,Ratih.N.P.(2020).
Seroprevalensi antibody Newcastle disease (ND) pada itik di Desa Temuasri,
Sempu, Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner. Vol. 3 No. 1, 108-113
Setiawan.E.,Koen.P.,Siti.M.M. Pengaruh Pemberian Vitamin A,B12, C dan
kombinasinketiganya memulai Drinking water terhadap panjang dan bobot
tulang femur, tibia dan tarsometatarsus puyuh (coturnix coturnix japonica L.).
Buletin anatomi dan Fisiologi. Volume XXI, Nomor 1.
Suartha.N.I.(2010). Terapi cairan pada anjing dan kucing. Buletin Veteriner Udayana.
Vol. 2 No. 2:69-83
Suartini.A.A.G.I.,I.Sendow.(2015). Prospek Pemanfaatan Imunoglobulin Y untuk
Terapi Infeksi Canine Parvovirus pada Anjing.WARTAZOA.Vol. 25 No. 2
Sukma.M.A.K.N.,I Gusti.N.S.,I Gusti.A.G.P.P.(2019). Laporan Kasus: penanganan
hernia umbilikalis pada anjing jantan keturunan shih-tzu umur satu tahun.
Indonesia Medicus Veterinus. 8(5): 695-705
Sulastri.,N.N.,I.M.M.,I.W.,Sukanata.(2018). Managemen Pakan Pada Peternakan
Babi Pembibitan Milik Bapak I Made Sukarata Dib R. Batu Paras, Desa
Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar. Jurnal
Peternakan Tropika. Vol. 6 No. 2 450-457
Triana.V.(2006)Macam-macam Vitamin dan Fungsinya Dalam Tubuh
Manusia.Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1 No. 1
Yusdja.Y.,Ilham.N.(2006).Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No.1,Hal 18-38
38
D. Manajemen Kesehatan Sapi Potong
Agustini.,N,L,P.,Supartika.,I.K.E.,Joni Uliantara.,I.G.A.(2014). Laporan Kasus
Septicaemia Epizootica Pada Sapi Bali Di Kabupaten Timor Tengah Utara
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014. Buletin Veteriner. Vol.XXVI No.
85.
Apritya.D.,Sheila.M.Y.,Intan.P.H.(2021).Deteksi Kasus Fasciolosis dan
Eurytrematosis Pada Pemeriksaan antemortem dan Postmortem Hewan
Qurban Saat Masa Pandemi Covid 19 di Surabaya. Jurnal Ilmiah Fillia
Cendekia. Vol.6 No. 1
Berek.D.S.H.,Widagdo.S.N.,Agnesia.E.T.H.W.(2015). Protektivitas Sapi di
Kabupaten Kupang Terhadap Penyakit Ngorok (Septicaemia Epizootica).
Jurnal Veteriner. Vol. 16 No. 2 :167-173.
Besung.K.N.I.,I.Gusti.K.S.,Ketut.T.PG.,Ni.K.S.(2017). Seroepidemiologi
Septichaemia Epizootica Berdasarkan Jenis Kelamin pada Sapi Bali di
Sumbawa. Buletin Veteriner Udayana. Volume 9 No.1.:42-46.
Bilqis.U.,Darmawi.,Siti.A.,Muhammadd.H.(2013).Perubahan Patologi Anatomi hati
dan Saluran Empedu Sapi Aceh yang Terinfeksi Fasciola
gigantic.Agripet.Vol. 13, No. 1.
Cantona.H.M.,Maxs.U.E.S.,Tri.U.,Tarsius.C.T.,antin.Y.N.W.(2020). Evaluasi Titer
Antibodi Pasca Vaksinasi Septicaemia epizootica Pada Sapi Bali Di Kota
Kupang. Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 8 No.1 : 69-80.
Damayanti.E.P.l.,Julyanti.a.,Annytha.I.R.D.(2019).Deteksi dan Prevalensi Fasciolosis
Pada Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba Kota Kupang. Jurnal
Veteriner Nusantara.Vol.2 No.1
Darmono.(1992).Tatalaksana Usaha Sapi Kereman.Penerbit Kanisius(Anggota
IKAPI):Yogyakarta.
Dartini.L.N.(2018). Identifikasi P.Multocida Type B Penyebab Septicaemia
Epizootica Dengan Polymerase Chain Reaction(Polymerase Chain Reaction
Identification Of P.Multocida Type B The Causal Agen Of Haemorrhagic
Septicemia).Buletin Veteriner. Vol. XXX, No. 93.
Hambal.M.,Arman.S.,Agus.D.(20130.Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica Pada
Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Jurnal
Medika Veteriner.Vol. 7, No.1
39
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang Penetapan
jenis Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS). 10 Januari 2013.
Kementrian Pertanian. Jakarta
Majawati.S.E.,Ardianti.E.M.(2018). Identifikasi Telur Cacing Fasciola hepatica Pada
Sapi di Peternakan Sapi Daerah Tangerang. Jurnal Kedokteran Meditek.
Volume 24,No.68
Martindah.E.,S.W.,S.E.E.,Suhardono.(2005).Meningkatkan Kesadaran dan
Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit Zoonosis.
Wartazoa. Vol.15 No. 3
Matutinah.V.(2017).Prevalensi Fasciolosis Pada Sapi Bali di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2017.Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan
Ilmiah(RATEKPIL).UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi Nusa
Tenggara Timur
Purwaningsih.,Noviyanti.,Rizki.P.P.(2017).Distribusi dan Faktor Risiko Fasciolosis
Pada Sapi Bali di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Acta Veterinaria Indonesia.Vol. 5,No. 2:120-126.
Purwanta.,Ismaya.,n.R.p.,Burhan.(2006).Penyakit Cacing Hati(Fasciolosis) Pada Sapi
Bali Di Daerah Perusahaan Rumah Potong Hewan(RPH) Kota Makasar.
Jurnal Agrisistem.Vol. 2, No. 2
Rozi.F.,Jully.H.,Rahmi.F.(2015).Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing
Lambung(Paramphistomum sp.) Pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan
Tenayan Raya Kota Pekanbaru.Jurnal Sain Veteriner.33(1)
Samarang.,Muchlis.S.,Junus.W.,Phetisya.P.F.S.,Leonardo.T.L.(2020).Fasciolosis
Pada Sapi Sebagai Resiko Zoonosis Di Desa Maranatha, Kabupaten Sigi
Sulawesi Tengah.Prosiding Seminar nasional Biologi FMIPA UNM
Simarmata.R.M.R.T.Y.,Lidya.A.T.,Yovita.F.B.S.(2019).Laporan Kasus Fasciolosis
Pada Sapi Bali Di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten
Kupang. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana.
Wibisono.J.F.,Rondius.S.(2015). Insiden Hewan Qurban Sebagai Vektor Penular
Penyakit Cacing Hati (Fasciolosis) Di Surabaya. Jurnal Kajian Veteriner.
Vol. 3 No. 2 :139-145
Yuliani.S.N.,Gerson.Y.I.S.(2016). Pelayanan Kesehatan Hewan Didesa Penfui Timur
Kecamatan Kupang Tengah. Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan.
Vol. 1 No. 2.
Zalizar.L.(2017). Helminthiasis Saluran Cerna Pada Sapi Perah. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. 27(2):1-7
40