GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH
&
PERSEKUTUAN TERBUKA
Oleh:
Romian Nainggolan, S.Ag
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
DAN BUDI PEKERTI
SMA NEGERI 3
MEDAN
ARTI DAN MAKNA GEREJA
Kata “Gereja” berasal dari kata “igreja” (bahasa portugis) dibawa oleh
para misionaris Portugis ke Indonesia. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk
kata Latin “ecclesia”. Ternyata kata tersebut memungut dari bahasa Yunani
“ekklèsia” yang berarti “kumpulan”, atau “pertemuan”, “rapat”. Namun Gereja
atau “ekklèsia” bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang
sangat khusus. Kata Yunani “ekklèsia” berasal dari kata yang berarti “
memanggil” (ex=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Jadi artinya adalah
kumpulan orang yang dipanggil keluar (dari dunia ini). Gereja dalah umat yang
dipanggil Tuhan. Arti Gereja bagi umat Kristen adalah persekutuan orang yang
beriman dalam Kristus, jadi pertama-tama bukan berarti suatu gedung.
Sepanjang sejarah Gereja itu sendiri, dari zaman ke jaman, Gereja “diartikan”
dan dihayati secara kaya, dengan aspek dan penekanan tertentu sesuai dengan
zaman tertentu. Ia begitu kaya, sehingga ia dapat muncul dan memberi arti
(makna) pada posisi secara tepat di segala waktu dan tempat. Paham-paham
Gereja yang mucul di antaranya adalah Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus,
Bait Allah, Misteri dan Sakramen, Persekutuan para Kudus, “Communio”, dan
Umat Allah.
Pada abad ini, lebih dari sebelum-sebelumnya, Gereja sungguh menyadari
kehadiran dan peranannya untuk dunia dewasa ini. Gereja didirikan oleh Yesus
Kristus untuk menyelamatkan dunia. Gereja itu sendiri terbentuk 50 hari setelah
kebangkitan Yesus Kristus pada hari Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang
dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus
(turunnya Roh Kudus atas para rasul). Misi Gereja dewasa ini adalah sesuai
dengan rencana Allah sejak keabadian, yang sekrang mulai sedikit demi sedikit
tersingkap dan mulai memantapkan karya penyelamatannya di tengah
masyarakat luas. Pandangan baru yang muncul bersama Konsili Vatikan II ialah
pandangan Gereja sebagai Umat Allah dan Sakramen Keselamatan. Eklesiologi
prakonsili Vatikan II yang lebih berciri hierarkis piramidal bergeser ke arah
Gereja Umat Allah, di mana semua anggota Gereja terlibat aktif melanjutkan
misi dan karya Yesus.
Pandangan Gereja sebagai umat Allah membawa gagasan baru, antara lain:
Memperlihatkan sifat historis Gereja yang hidup “inter tempora”, yakni
Gereja dilihat menurut perkembangannya dalam sejarah keselamatan; hal
ini berarti menurut perkembangan di bawah dorongan Roh Kudus, segi
organisatoris Gereja tidak terlalu ditekankan lagi, tetapi sebagai gantiya
ditekankan segi kharismatisnya. Gereja berkembang “dari bawah”, dari
kalangan umat sendiri.
Menempatkan hierarki dalam keseluruhan Gereja sebagai fungsi,
sehingga sifat pengabdian hierarki menjadi lebih kentara. Hierarki jelas
mempunyai fungsi pelayanan. Hierarki tidak ditempatkan di atas umat,
tetapi di dalam umat.
Memungkinkan pluriformitas (mempunyai bentuk yang banyak) dalam
hidup Gereja, termasuk pluriformitas dalam corak hidup, ciri-ciri dan
sifat pelayanan dalam Gereja.
A. Gereja Sebagai Umat Allah
1. Arti dan Makna Gereja sebagai Umat Allah
Istilah Umat Allah sebenarnya merupakan istilah yang sudah sangat tua.
Istilah itu sudah dipakai sejak dalam Perjanjian Lama (terdapat dalam Kitab
Suci Perjanjian Lama, misalnya dalam Kel. 6: 6; 33: 13; Yeh. 36: 28; Ul. 7: 6,
26: 15). Istilah tersebut kemudian dihidupkan lagi oleh Konsili Vatikan II
sebagai paham yang baru. Paham Gereja sebagai umat Allah dianggap sebagai
paham yang cocok atau relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Paham ini dinilai memiliki nilai historis dengan umat Allah Perjanjian Lama
karena Gereja menganggap diri sebagai Israel Baru, kelanjutan dari Israel yang
lama.
Bertitik tolak dari Umat Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat
Allah dalam paham Gereja sekarang ini juga mempunyai ciri khas sebagai
berikut:
Ciri Khas Gereja Sebagai Umat Allah :
Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri.
Umat Allah adalah bangsa terpanggil, bangsa terpilih.
Umat Allah dipanggil dan dipilih Allah untuk misi tertentu, yaitu
menyelamatkan dunia.
Hubungan antara Allah dengan umat-Nya dimeteraikan oleh suatu
perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan
selalu menepati janji-janjiNya
Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati padang pasir, menuju
Tanah Terjanji.
Gereja sungguh merupakan umat Allah yang sedang dalam perjalanan
menuju rumah Bapa. Pengerian Gereja sebagai Umat Allah dimunculkan karena
Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan struktur piramidal. Gereja
pertama-tama bukan organisasi manusiawi, melainkan perwujudan karya Allah
yang konkret (LG 9). Gereja adalah kelompok dinamis yang keluar dari sejarah
Allah dengan manusia. Gereja mengalami dirinya sungguh erat dengan umat
manusia serta sejarahnya (GS 1). Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah
keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Namun hal itu
bukan berarti Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus
memberi arti yang baru kepada Umat Allah. Sekarang kita sudah kembali
kepada Kitab Suci, di mana Gereja sungguh merupakan satu umat Allah yang
sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Perdana, yang imannya kita
anut sampai sekarang (lih. Kis 2:41-47). Gereja harus merupakan seluruh umat,
bukan hanya hierarki saja dan awam hanya seolah-olah merupakan tambahan,
pendengar, dan pelaksana. Gereja hendaknya MENGUMAT. Gereja sebagai
umat Allah merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang
dipanggil oleh Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus
dan hidup dari Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja
mempunyai martabat yang sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja
sebagai umat Allah adalah paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa,
Putra, Roh Kudus, satu iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama
derajatnya.
2. Dasar dan Konsekuensi Gereja yang Mengumat
Setiap pribadi dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam
kehidupan Umat Allah, karena:
Hidup mengumat pada dasarnya merupakan hakikat Gereja itu sendiri,
sebab hakikat Gereja adalah persaudaraan cinta kasih seperti yang
dicerminkan oleh hidup Umat Perdana (lih. Kis 2:41-47)
Dalam hidup mengumat banyak kharisma dan rupa-rupa karunia dapat
dilihat, diterima, dan digunakan untuk kekayaan seluruh Gereja. Hidup
Gereja selalu menampilkan segi organisatoris dan struktural dapat
mematikan banyak kharisma dan karunia yang muncul dari bawah (lih. 1
Kor 12:7-10)
Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasa menghayati martabat
yang sama akan tanggungjawab secara aktif dalam fungsinya masing-
masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia
(lih. Ef 4:11-13; 1Kor 12:12-18; 26-27).
Gereja sungguh merupakan umat Allah, maka konsekuensi bagi Gereja itu
sendiri:
a. Konsekuensi bagi pimpinan Gereja (hierarki)
Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan, pimpinan bukan di
atas umat, tetapi di tengah umat
Harus peka untuk melihat dan mendengar kharisma dan karunia-karunia
yang tumbuh di kalangan umat.
b. Konsekuensi bagi setiap anggota umat
Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tidak
dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala kharisma,
karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan misi
Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggungjawab dalam hidup dan
misi Gereja.
c. Konsekuensi bagi hubungan awam dan hierarki
Paham Gereja sebagai umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam
hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi menjadi
pelengkap penyerta, melainkan patner hierarki. Awam dan hierarki memiliki
martabat yang sama meskipun menjalankan fungsi yang berbeda-beda.
B. Gereja Sebagai Persekutuan Terbuka
Konsili Vatikan II tidak mengabaikan apa yang ditekankan dalam Gereja
prakonsili, namun mulai menyeimbangkan hal-hal yang menjadi keprihatinan
Gereja sebagai persekutuan “Umat Allah”. Konstitusi dogmatis tentang Gereja
(Lumen Gentium Bab II), umat Allah dilukiskan sebagai persekutuan Roh
Kudus, sebagai persekutuan hidup, cinta kasih, dan kebenaran. Roh Kudus
mendapat tempat utama yang menghidupi dan memimpin seluruh Gereja. Umat
dilengkapi dengan upaya-upaya kesatuan yang kelihatan dan bersifat
kemasyarakatan (LG 9).
1. Model Gereja
Ada dua hal yang ditekankan tentang paham gereja sebagai persekutuan
terbuka, yakni segi persekutuannya dan keterbukaannya (persekutuan yang tidak
tertutup)Munculnya paham Gereja sebagai persekutuan Umat Allah disebabkan
antara lain oleh paham dan penghayatan Gereja institusional yang berkembang
sebelum Konsili Vatikan II, di mana lebih menekankan segi organisatoris dan
struktural hierarki piramidal.
a. Gereja institusional, sangat menonjol dalam hal:
Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal: tertata rapi
Kepemimpinan tertahbis atau hierarki: hierarki hamper identik dengan
Gereja sendiri. Suatu institusi, apalagi institusi besar seperti Gereja, tentu
membutuhkan pemimpin yang kuat
Hukum dan peraturan: untuk menata dan menjaga kelangsungan suatu
institusi, apalgi yang berskala besar, tentu saja dibutuhkan hukum dan
peraturan yang jelas
Sikap yang agak triumpalistik dan tertutup: gereja merasa sebagai satu-
satunya penjamin kebenaran dan keselamatan. “Extra eclesiam nulla
salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan)
b. Gereja sebagai persekutuan umat, mau menonjolkan:
Hidup persaudaraan karena iman dan harapan yang sama: persaudaraan
adalah persaudaraan kasih
Keikutsertaan semua umat dalam hidup bergereja: bukan saja hierarki dan
biarawan/biarawati yang harus aktif dalam menggereja, tetapi seluruh
umat
Hukum dan peraturan memang perlu, tetapi dibutuhkan pula peranan hati
nurani dan tanggung jawab pribadi
Sikap miskin, sederhana, dan terbuka: rela berdialog dengan pihak mana
pun, sebab Gereja yakin bahwa di luar Gereja Katolik terdapat pula
kebenaran dan keselamatan
2. Keanggotaan dalam Gereja sebagai Persekutuan Umat
Gereja adalah persekutuan Umat Allah untuk membangun Kerajaan Allah
di bumi ini. Dalam persekutuan ini, semua anggota mempunyai martabat yang
sama, namun dari segi fungsinya dapat berbeda.
a. Golongan Hierarki
Hierarki dalah orang-orang yang ditahbiskan untuk tugas kegembalaan.
Mereka menjadi pemimpin dan pemersatu umat, sebagai tanda efektif yang
nyata dari otoritas Kristus sebagai kepala umat. Hierarki adalah tanda nyata
bahwa umat tidak dapat membentuk dan membina diri atas kuasanya sendiri,
tetapi tergantung dari Kristus. Otoritas Kristus atas gereja-Nya ditandai oleh
hierarki:
Tugas-tugas hierarki adalah:
1) Hierarki menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman
Hierarki mempersatukan umat dalam iman, tidak hanya dengan petunjuk,
nasehat, dan teladan, tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan
kudus (LG 27)
2) Hierarki menalankan tugas gerejani, seperti merayakan sakramen,
mewartakan sabda, dan sebagainya
b. Biarawan/wati
Seorang biarawan/wati adalah anggota umat yang dengan mengucapkan
kaul kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan (kemurnian) selalu bersatu dengan
Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal. Dengan
demikian, mereka menjadi tanda nyata dari hidup dalam Kerajaan Allah. Jadi
kaul ketaatan, kemiskinan, dan keperawanan adala sesuatu yang khas dalam
kehidupan membiara. Kekhasan itu terletak dalam radikalisetnya menghayati
kemiskinan, ketaatan, dan hidup wadat. Harta dan kekayaan, kuasa dan
kedudukan, perkawinan dan hidup berkeluarga adalah sesuatu yang baik dan
sangat bernilai dalam hidup ini. Namun, semua nilai itu relative, tidak absolut,
dan tidak abadi sifatnya. Dengan menghayati kaul-kalul kebiaraan, para
biarawan dan biarawati menjadi “tanda” bahwa:
Kekayaan, kekuasaan, dan hidup berkeluarga walapun sangat bernilai,
tetapi tidaklah absolut dan abadi. Maka, kita tidak boleh mendewa-
dewakannya
Kaul kebiaraan itu mengarahkan kita pada Kerajaan Allah dalam
kepenuhannya kelak. Kita adalah umat musyafir
c. Kaum Awam
Maksud dari “kaum awam” di sini adalah semua orang beriman Kristen
yang tidak termasuk golongan tertahbis dan biarawan/wati. Mereka adalah
orang-orang yang dengan pembabtisan menjadi anggota Gereja dan dengan
caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, raja, dan
nabi. Dengan demikian , mereka menjalankan perutusan seluruh Gereja dalam
umat dan masyarakat. Bagi kaum awam, ciri keduniaan adalah khas dan khusus.
Mereka mengemban kerasulan dalam tata dunia, baik dalam keluarga mapun
masyarakat, entah sebagai ayah-ibu, sebagai petani, guru,pedagang, polisi, dan
sebagainya. Kerasulan tata dunia atau kerasulan eksternal ini sangat penting,
karena sangat strategis dalam rangka membangun Kerajaan Allah di dunia ini.
Kerasulan tata dunia sama pentingnya dengan kerasulan ke dalam Gereja itu
sendiri, walaupun sering kali kurang disadari. Dalam kerasulan tata dunia ini
pula, kaum awam menghayati spritualitasnya yang khas. Spiritualitas awam
sangat sederhana dapat diartikan sebagai cara seorang awam menjawab
panggilan Allah dalam tugasnya sehari-hari di tengah dunia nyata dewasa ini.
3. Gereja sebagai Persekutuan Umat dalam Terang Kitab Suci
Gereja sebagai persekutuan sangat jelas ditampakkan dalam kehidupan
jemaat perdana (Gereja Purba). Kis 2:41-47 mengungkapkan ciri-ciri jemaat
perdana, yaitu:
a. Bertekun dalam pengajaran para rasul dan dalam persekutuan (ay. 42)
b. Segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama (ay. 44)
c. Dengan tekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap hari dalam Bait
Allah (ay. 46 )
d. Memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran (ay. 46)
e. Makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati (ay. 46)
Santo Lukas menegaskan lagi mengenai gambaran yang ideal terhadap
komunitas/jemaat perdana dalam Kis 4:32-37. Kebersamaan dan menganggap
semua dalah milik bersama mengungkapkan persahabatan yang idela pada
waktu itu. Yang pokok adalah semua naggota jemaat dicukupi kebutuhannya
dan tidak seorangpun menyimpan kekayaan bagi dirinya sendiri sementara yang
lain berkekurangan. Cara hidup Jemaat Perdana tersebut tetap relevan bagi kita
hingga sekarang. Mungkin saja kita tidak dapat menirunya secara harafiah,
sebab situasi sosial-ekonomi kita sudah sangat berbeda. Namun semangat
dasarnya dapat ditiru, yaitu kepekaan terhadap situasi social-ekonomis sesama
saudara dalam persekutuan umat. Kebersamaan kita dalam hidup menggereja
tidak boleh terbatas pada hal-hal rohani seperti doa, perayaan ibadah, kegiatan-
kegiatan pembinaan iman, tetapi juga menyentuh kehidupan social, ekonomi,
politik, dan budaya seperti yang digalakkan dalam Komunitas Basis Gereja.
4. Gereja sebagai Persekutuan Umat Bersifat Terbuka
Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri. Gereja hadir dan berada
dalam dunia. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang
jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita,
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari murid-murid
Kristus (Gereja). Sebab persekutuan murid-murid Kristus terdiri dari orang-
orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing oleh oh Kudus dalam
peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Semua murid Kristus telah menerima warta
keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka, persekutuan
mereka itu mengalami dirinya sungguh erat dalam hubungannya dengan umat
manusia serta sejarahnya (GS 1)
Singkatnya Gereja harus menjadi Sakramen (tanda) keselamatan bagi dunia.
Untuk itu, Gereja tidak lagi bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka).
Berikut ini disebutkan beberapa cara keterbukaan Gereja terhadap dunia:
a. Gereja harus selalu siap untuk berdialog dengan agama dan budaya
manapun juga Sesudah Konsili Vatikan II, Gereja sungguh menyadari
bahwa dalam agama dan budaya lain, terdapat pula benih-benih
kebenaran dan keselamatan. Maka dari itu, dibutuhkan dialog untuk
salng mengenal, menghargai, dan memperkaya. Dialog pengalaman
iman lintas agama dapat saling memperkaya Dialog kehidupan
merupakan level dialog yang paling mendasar, sebab ciri kehidupan
bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling umum dan
mendasar adalah dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari, aneka
pengalaman menyusahkan dan menggembirakan dialami bersama-
sama. Tiap-tiap orang dengan pengalaman hidupnya yang khas
senantiasa tergerak untuk membagikan pengalamannya, saling
membantu dalam hidup sehari-hari.
b. Kerja sama atau dialog karya
Gereja harus membangun kerja sama yang lebih intens dan mendalam
dengan pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih harus
jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat
manusia. Bentuk kerja sama semacam ini kerapkali berlangsung dalam
kerangka kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional, di
mana organisasi-organisai Kristen dan para pengikut agama-agama lain
bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia (bdk. DM 31)
c. Berpartisipasi secara aktif dan mau bekerja sama dengan siap saja
dalam membangun mayarakat yang adil, damai, dan sejahtera
Gereja membuka diri dan bekerja sama dengan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan bersama. Gereja harus melaksanakan tugas
misi dengan sikap yang positif dan aktif terhadap semua orang. Bukan
dunia yang ada bagi Gereja, melainkan Gereja berada bagi dunia.
Hubungan di antara Gereja dan dunia tidak bisa terpisah.
Perhatian Gereja terhadap dunia bisa dibagikan dengan empat unsur, yaitu:
1) Dorongan bagi perdamaian dunia
2) Penjelmaan keadilan bagi orang-orang dan negara-negara miskin
3) Perhatian tentang krisis ekologi
4) Demokrasi sebagai partisipasi masa
Gereja harus mempunyai empat perhatian tersebut dengan berjuang,
berusaha, dan berdoa untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Usaha-usaha tersebut bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga secara global
dan universal. Gereja harus belajar dari berbagai segi secara global untuk
mencari suatu model yang ideal dengan tujuan untuk mencapai• menjadikan
dunia yang saling tolong-menolong dan hidup bersama.