The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by rinisetyo756, 2022-05-04 19:54:11

Ahmad Fuadi - Rantau 1 Muara

Ahmad Fuadi - Rantau 1 Muara

”Bang, tapi bukannya kemarin kita sudah salat? Sudah
capek diskusi panjang? Jadi sekarang kita pulang atau pindah
ke London?” tanyanya, menuntut aku mengambil keputusan.

Aku menghela napas. Aku benci jadi peragu.

Aku menarik ujung syal mempererat bebatan di leherku.
Udara dingin melecut aku untuk melangkah lebih cepat. Pintu
hotel itu dibukakan seorang door man dengan jas menjuntai se-
perti ekor kucing. Hotel St. Regis yang bergaya kolonial megah
ini berada di lokasi mahal, 16th dan K Street, hanya dua blok
dari White House. Di sinilah pebisnis dan diplomat penting
menginap dan berbincang tentang hal besar dan remeh-temeh
sambil menyeruput teh atau kopi. Hari ini aku datang untuk
hal yang besar, setidaknya untuk hidupku dan Dinara.

Di lobby aku melihat laki-laki itu duduk di ujung sofa berla-
pis kulit hitam. Dia memakai rompi bercorak kotak-kotak hijau
dan biru. Jas hitamnya tersampir di tangan sofa. Lampu kristal
yang gemerlap menggantung di langit-langit, memperjelas ke-
rutan di mukanya.

”Good morning, Mr. Owen...,” sapaku. Dia langsung berdiri
dan menjabat tanganku erat. ”Mr. Fikri. Nice to meet you again.
Please sit down. Would you like to have coffee or tea?” katanya sam-
bil melambaikan tangan ke seorang waiter. Ditemani teh ha-
ngat earl grey kami mengobrol basa-basi beberapa menit. Aku
terkesan dengan aksen British-nya yang bertekanan dan meng-
ayun. Terdengar simpatik dan tulus. Mungkin dia bisa jadi atas-
an yang menyenangkan.

388

Lalu dia mulai berbicara tentang peran posisiku nanti. ”Ini
posisi yang strategis. Anda akan ikut menentukan arah dan
irama berita EBC. Anda juga nanti akan bertugas tidak hanya
di London. Tapi juga meliput ke berbagai tempat termasuk ke
Amerika, Timur Tengah, bahkan juga Indonesia. Kami punya
beberapa kandidat untuk posisi ini, tapi Anda pilihan pertama
kami. Untuk itu kami siap bernegosiasi untuk paket remunerasi
yang cocok dengan Anda,” katanya dengan pelan tapi jelas.

Aku mengangguk-angguk.

”So, what would you say about our offer?” akhirnya dia bertanya.

Aku memperbaiki posisi dudukku di sofa empuk yang mem-
buat badanku terbenam. Aku menegakkan punggung bersiap
menyampaikan jawaban yang sudah aku siapkan bersama Di-
nara. Sudah ada di ujung lidahku. Aku menunda jawaban se-
bentar dengan menyeruput tehku yang mulai dingin. Sambil
menghirup teh, aku memprotes diriku sendiri yang mudah
goyah. Ayo, sampaikan dengan tegas! Ambil keputusan. Aku
semangati diriku sendiri.

”Mr. Owen, once again, thank you very much for your kind offer.
After further deliberation with my wife, I am afraid to say that I could
not take your generous offer. It is not about the remuneration package.
We have decided that we will go back to Indonesia for good.”

Dia menatapku sekilas. Mungkin dia tidak mengira aku
akan tetap menolak tawarannya. Setelah meneguk tehnya, dia
melihat mataku lalu berbicara, ”I appreciate your decision. Tapi
cobalah Anda pikirkan lagi. Sleep on it. And you can get back to
me with your final decision tomorrow.” Dia masih belum menyerah.
Dan aku menolak untuk tergoda lagi.

389

”Saya sangat berterima kasih atas tawaran Anda. Tapi saat ini
keputusan kami sudah bulat. Kami ingin pulang ke Indonesia,”
kataku sambil bangkit dari tempat duduk dan mengulurkan ta-
ngan untuk pamit.

Dia menggangguk sambil tersenyum. ”All right. Apparently
nothing can change your decision. I wish you good luck Mr. Fikri. I
believe our path will cross again someday.”

”Farewell for now,” kataku. Aku anggukkan kepala dan berlalu
dengan langkah percaya diri. Ketak-ketuk langkahku di pualam
putih tiba-tiba terasa begitu nyaring. Dari balik kaca lobi hotel
ini aku bisa melihat ujung Washington Monument. Berdiri
kaku seperti pensil yang baru diraut, seperti menyaksikan aku
membuat keputusan besar.

EBC bagai pintu yang terbuka lebar untuk aku masuki. Tapi
aku memilih untuk menutup pintu itu. Dan berjalan menuju
pintu lain yang entah ada apa di baliknya. Keputusanku ha-
ri ini mungkin akan aku sesali sepanjang sisa hidupku. Tapi
tidak apa, seperti kata Kiai Rais, seorang laki-laki harus berani
memutuskan hidup. Membuat keputusan itu lebih baik daripa-
da pasrah menunggu orang lain memutuskan hidupku.

Doorman yang berpakaian jas hitam dengan buntut panjang
menjuntai itu menganggukkan kepalanya dengan hormat kepa-
daku. Tangannya yang dilapisi sarung tangan putih itu menarik
door knob pintu kaca berlekuk-lekuk, membiarkan aku lewat. Di
belakang punggungku, pintu itu pasti telah ditutup kembali.
Tapi aku haqqul yakin, itu bukan pintu terakhir dalam hidupku.
Ketika sebuah pintu tertutup, pintu-pintu lain akan terbuka
buatku. Di suatu masa, di suatu tempat.

390

46

Muara di Atas Muara

Baru saja kami menguakkan pintu kantor pagi itu, kami
sudah disambut semprotan Diana. ”Heh, ngapain sih da-
tang kepagian!” katanya dengan nada menekan. Gadis ramah
ini entah kenapa tumben menjelma menjadi judes. Mungkin
dia sedang menderita bad hair day. ”Tunggu dulu tuh di lobi luar
setengah jam.” Dia mengangkat kedua tangannya menghalau
kami kembali ke luar.

Tapi larangannya terlambat. Aku dan Dinara telanjur melihat
kehebohan yang sedang berlangsung di balik pintu newsroom.

”Demi kalian berdua nih, gue hampir tidak tidur karena
semalaman nginap di dapur,” kata Rio tersenyum sambil mena-
ting tiga mangkuk besar berbahan Pyrex. Masing-masing berisi
green curry ala Thailand, gado-gado, dan ayam rica-rica. Diana
akhirnya melengos karena tidak bisa juga menghalangi kami
dan dia kembali sibuk mengecek sound system. Arum dan Tere
berjinjit di atas tangga lipat, menempelkan segerumbul balon,
kertas krep bertali-tali, dan spanduk besar ”Till we meet again.
Farewell Alif and Dinara.” Sedangkan Tom duduk-duduk sambil
tunjuk sana-tunjuk sini, mengawasi semua persiapan. Sayang,
mereka membuat surprise party yang tidak surprise lagi.

”Kita berkumpul di sini untuk melepas dua anggota keluarga
besar kita pulang kampung. Saya harap ini bukan sebuah ‘good

391

bye’ tapi cukuplah sebagai sebuah ‘see you’,” kata Tom mem-
buka acara di kepala meja yang penuh makanan. Setelah itu
bergiliran setiap awak redaksi menyampaikan kesan dan pe-
sannya buat kami, bercampur antara canda dan sedih. Ketika
giliran kami bicara, suaraku bergetar dan mata Dinara tampak
basah mengenang persahabatan yang kami bina di ABN.

”Udahan dulu tangis-tangisannya, sekarang saatnya makan-
makan!” teriak Rio membagi-bagikan piring kertas. Hampir
semua orang menyumbang makanan dan minuman. Bahkan
Tom saja sampai membawa sepiring cookies yang masih hangat
hasil panggangan istrinya. ”Ayo siap-siap, kita foto bareng sama
buruh pabrik cokelat ini. Siapa tahu kebagian cokelat gratis,”
ledek Arum. Di sebelahnya Tere mengakak dan sudah siap
mengokang kamera manualnya. Acara foto-foto yang awalnya
bergaya rapi lama-lama menjadi bergaya narsis yang tidak habis-
habisnya.

Ketika Rio sibuk mengumpulkan mangkuk-mangkuknya se-
mentara Arum dan Tere menurunkan balon dan spanduk, Tom
mendekati kami. ”Let’s have some more cookies in my office.” Aku
sebetulnya sudah kenyang, tapi belum sempat aku menjawab,
Tom sudah mengayun-ayunkan tangan mempersilakan kami
masuk ruangannya.

Sambil mengunyah cookies, Tom duduk menghadap kami
berdua dengan kedua tapak tangan disatukan di bawah dagu
brewoknya. ”Saya mungkin yang paling bersedih kalian pergi.
Kalian berdua itu dynamic duo, aset buat tim saya. Indispensable.
Entah bagaimana mencari pengganti seperti kalian.”

392

Kami mengangguk-angguk tersipu, sambil mengucapkan te-
rima kasih telah dipuji.

”We are lucky to have a great boss like you,” balasku.
”Saya tidak mau kalian melenggang pergi begitu saja. Karena
itu, beberapa hari lalu saya berunding dengan Asia Pacific Divi-
sion Chief. Dia juga sangat terkesan dengan pekerjaan kalian.
Intinya ada kabar baik....”
Ini mau ada kejutan apa lagi? Cukuplah Gary yang merayu
kami.
”Kami ingin kalian berdua mau menjadi special representative
ABN di Jakarta. Detailnya akan kita bicarakan lebih lanjut. Na-
mun kompensasi yang kami tawarkan akan sama dengan yang
kalian dapat di sini.”
Aku dan Dinara berpandangan sejenak dengan mulut ter-
nganga.
”So, what do you think?”
Sebuah pintu besar bagai dihamparkan terbuka untuk kami.
Baru tadi malam aku dan Dinara mempercakapkan hidup
macam apa yang akan kami arungi di Jakarta dan bagaimana
kami harus siap berhemat. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Baru saja kami bicara, jawaban dari-Nya bersegera datang. Dari
tempat yang tidak kami sangka-sangka. Alhamdulillah....
Kerja di Jakarta. Gaji Amerika. Apa lagi yang mau diminta?

393

Sinar keemasan matahari sore menembus jendela lonjong
pesawat Boeing ini dan pelan-pelan menjilat muka dan badan
kami. Kami tidak berkata-kata sejak pesawat mengudara dari
Reagan Washington Airport semenit lalu. Kami hanya saling
menggenggam tangan dalam diam, sambil tidak lepas meman-
dang ke luar jendela. Di kepalaku berputar segala macam film
kehidupan yang pernah kami rasakan di kota di bawah sana.
Wajah-wajah yang pernah aku kenal berkelebat-kelebat bagai
film diputar fast forward: Mas Garuda, Dinara, Mas Nanda
dan Mbak Hilda, Ustad Fariz, Tom Watson, Michael Jordan,
Mas Rama, dan juga Mama Mona.... Kejadian besar lima ta-
hun terakhir muncul silih berganti, pernikahanku, wisuda, 11
September, kehilanganku, reuni di London, kegamanganku...
senang dan getir hadir silih berganti. Aku menolak untuk me-
ngeluh tentang kegetiran, aku tidak mau mabuk dengan kese-
nangan. Getir dan senang, keduanya telah melengkapi racikan
hidup ini.

Washington DC makin lama makin menjauh dari pandang-
an. Di ujung jendela aku menangkap pucuk Washington Mo-
nument yang mengerlip disiram sinar matahari. Aku pandang
menara itu baik-baik untuk terakhir kalinya, sampai kerlipan
itu hilang ketika pesawat kami berputar arah menembus langit
menuju Jakarta. Menara impianku ini telah aku pagut, saatnya
sekarang mencari menara lain, menuntut ilmu yang baru.

Hidupku kini ibarat mengayuh biduk membelah samudra
hidup. Selamanya akan naik-turun dilamun gelombang dan
ditampar badai. Tapi aku tidak akan merengek pada air, pada
angin, dan pada tanah. Yang membuat aku kukuh adalah aku

394

tahu ke mana tujuan akhirku di ujung cakrawala. Dan aku tahu
aku tidak sendiri. Di atas sana, ada Tuhan yang menjadi tempat
jiwa ragaku sepenuhnya bertumpu. Di sampingku ada Dinara.
Temanku merengkuh dayung menuju muara. Muara di atas
muara. Muara segala muara.

Seperti nasihat Kiai Rais dulu, muara manusia adalah men-
jadi hamba sekaligus khalifah di muka Bumi. Sebagai hamba,
tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat.
Hidup adalah pengabdian. Dan kebermanfaatan.

Aku kuakkan syal batik peninggalan Mas Garuda yang da-
ri tadi aku genggam. Aku peluk bahu Dinara erat-erat. Aku
bisikkan, ”Terima kasih sudah menjadi kawan merengkuh da-
yung yang tangguh.”

Mata indahnya tersenyum terang.

395



Epilog

Di langit pagi, di atas Samudra Atlantik...
Alhamdulillah, hari ini telah aku tunaikan teladan dan petuah para
pengembara besar dunia seperti Imam Syafii, Ibnu Batutah dan Marco Polo.
Bertualang sejauh mata memandang, mengayuh sejauh lautan terbentang,
dan berguru sejauh alam terkembang. Aku ajarkan badanku untuk berani
berjalan melintas daratan dan lautan, mencicip rupa-rupa musim, mengenal
ragam manusia. Aku bujuk jiwaku untuk tidak pernah kenyang berguru dan
terus memahami tanda-tanda yang bertebaran di bawah tudung langit.

Akulah si perantau ragawi. Akulah si pengembara rohani.
Akulah si pencari yang terus menderapkan langkah, berjalan dan berjalan
terus, karena aku yakin suatu saat akan sampai.

Sejauh mana pun aku mengembara, keseluruhan hidup pada hakikatnya
adalah perantauan. Suatu saat aku akan kembali berjalan pulang ke asal.
Kembali ke yang satu, yang esensial, yang awal.
Yaitu menghamba dan mengabdi. Kepada Sang Pencipta.

Hari ini pula, di atas pesawat yang menerbangkan aku dari Washington DC
ke Jakarta, aku rosok ujung lipatan dompetku dan aku tarik sehelai kertas
tua berlipat-lipat kecil. Tiga barisan tulisan tangan itu masih jelas tertera di
kertas yang menguning ini. Tiga baris yang menjadi dayung-dayung hidupku
selama ini.

Man jadda wajada.
Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.

Man shabara zhafira.
Siapa yang bersabar akan beruntung.

Man saara ala darbi washala.
Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.



Tentang Penulis

Dari Wartawan ke Novelis, Dari Sumatra ke Amerika

Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau
Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka.
Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk
masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu
dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan
ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang mengajarkan
kepadanya ”mantra” sederhana yang sangat kuat, man jadda wa­
jada, siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.

Lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi
wartawan majalah Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani
dalam tugas-tugas reportase di bawah bimbingan para wartawan
senior Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright
untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George
Washington University, USA. Merantau ke Washington DC
bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mim-
pi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mere-
ka menjadi koresponden Tempo dan wartawan Voice of America

399

(VOA). Berita bersejarah seperti tragedi 11 September dilapor-
kan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan
Capitol Hill.

Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia
mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal
Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter.
Seorang scholarship hunter, Fuadi selalu bersemangat melanjutkan
sekolah dengan mencari beasiswa. Sampai sekarang, Fuadi telah
mendapatkan 9 beasiswa untuk belajar di luar negeri. Dia
telah mendapat kesempatan tinggal dan belajar di Kanada,
Singapura, Amerika Serikat, Italia, dan Inggris.

Negeri 5 Menara telah diangkat ke layar lebar tahun 2011
dan buku ini mendapatkan beberapa penghargaan: Nominasi
Khatulistiwa Award 2010 dan Penulis dan Buku Fiksi Terfavorit
2010 versi Anugerah Pembaca Indonesia, sedangkan tahun
2011, Fuadi dianugerahi Liputan6 Award, SCTV untuk kate-
gori motivasi dan pendidikan, Penulis Terbaik IKAPI dan Juara
1 Karya Fiksi Terbaik Perpusnas. Tahun 2012, Fuadi terpilih
sebagai resident di Bellagio Center, Italia dan tahun 2013
mendapat penghargaan dari DJKHI Kemenkumham untuk
kategori Karya Cipta Novel.

Fuadi telah diundang jadi pembicara di berbagai acara inter-
nasional seperti Frankfurt Book Fair, Ubud Writers Festival,
Singapore Writers Festival, Salihara Literary Biennale, Makassar
Writers Festival, serta Byron Bay Writers Festival di Australia.

Penyuka fotografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi
The Nature Conservancy, sebuah NGO konservasi internasional.
Kini, Fuadi sibuk menulis, menjadi public speaker, serta memba-

400

ngun yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak usia
dini yang kurang mampu—Komunitas Menara.
Fuadi bisa dikontak di:
E-mail penulis: [email protected]
Twitter: @fuadi1 (pakai angka 1)
Facebook fanpage: Negeri 5 Menara. www.facebook.com/n5menara
Website: www.negeri5menara.com

401

Pengumuman PenTing!

Terima kasih untuk para pembaca dan masyarakat
yang telah mengapresiasi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna,

dan penulis A. Fuadi (Bang Fuadi). Selama ini banyak
pembaca yang bertanya bagaimana cara mengundang

dan menghubungi Bang Fuadi untuk kepentingan
bicara, talkshow, seminar, dan pelatihan.

Untuk memudahkan kontak dan pengaturan jadwal,
silakan hubungi Manajemen Negeri 5 Menara melalui:

087881667985

atau e-mail [email protected]

403



Yuk membangun Sekolah Bebas Biaya
bersama

KOmuniTaS menaRa

Komunitas Menara (KM) adalah yayasan sosial untuk membantu
pendidikan pada anak usia dini, terutama untuk masyarakat
yang kurang mampu. KM berawal dari niat untuk melaksanakan
nilai-nilai di novel Negeri 5 Menara dalam gerakan sosial yang
nyata. Mari ikut bergabung menyemai generasi baru Indonesia
yang lebih baik, berkarakter kuat, dan bermental antikorupsi.

Mengapa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)?
• 65 persen anak Indonesia belum mendapat pendidikan
dini. Dari 30 juta anak di Indonesia, baru 10 juta anak
yang mendapat pendidikan usia dini.
• Sekitar 30.000 desa belum punya sekolah PAUD dari
dari 77.000 desa di Indonesia
• Saat ini Indonesia memerlukan 15.000 PAUD
• Usia emas (golden age) antara 4-6 tahun waktu yang
paling subur untuk menyemai karakter

405

Program

 1000 PAUD Komunitas Menara se-Indonesia

Program 1000 PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) KM gratis
se-Indonesia bertujuan menanamkan karakter luhur, jujur,
bersungguh-sungguh (man jadda wajada), percaya diri dan
antikorupsi serta perilaku yang baik lainnya kepada anak-anak
usia 4-6 tahun ketika mereka berada di usia emas (golden
age). Program ini difokuskan untuk masyarakat yang kurang
mampu dengan harapan bisa memutus rantai keterbelakangan,
lemahnya karakter serta kemiskinan ilmu dan materi. Saat ini
Komunitas Menara telah punya jejaring 5 PAUD yang tersebar
di Provinsi Banten, Sumatra Barat, dan Jawa Barat.

 Taman Baca dan Perpustakaan Komunitas Menara
Indonesia kekurangan taman baca yang menyediakan bacaan
bermutu untuk anak usia dini di Indonesia. Taman Baca
Komunitas Menara ingin memberikan akses, fasilitas bacaan
dan informasi bagi anak-anak pra-sejahtera. Akses ini diharapkan
bisa membukakan cakrawala mereka untuk berani punya cita-
cita dan membela impiannya dengan kesungguhan.

Donasi Anda untuk ikut serta membangun sekolah, menjadi
orang tua asuh dan membangun taman baca buat kalangan
tidak mampu, bisa disalurkan ke:

406

Nomor Rekening
Bank Mandiri, Pondok Cabe Mutiara
Nomor rekening 164000 00 41600
a.n. Yayasan Komunitas Menara

BRI Syariah, Abdul Muis
Nomor Rekening 100.225.6599
a.n. Yayasan Komunitas Menara

Sekretariat Komunitas Menara
Jl. Bintaro Puspita II A Blok C 34 RT 011/08
Bumi Bintaro Permai, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 12330
Telepon: 021-7357897

Ingin tahu lebih banyak tentang Komunitas Menara, kami bisa

dikontak di

E-mail : [email protected]

Website : www.negeri5menara.com/komunitas

FB : Facebook fanpage ”Komunitas Menara”

Twitter : @k_menara

407



Kepercayaan diri Alif sedang menggelegak. Sudah separuh dunia dia kelilingi, tulisannya
tersebar di banyak media, dan dia diwisuda dengan nilai terbaik. Perusahaan mana yang
tidak tergiur merekrutnya?

Namun Alif lulus di saat yang salah. Akhir ‘90-an, Indonesia dicekik krisis ekonomi dan
dihoyak reformasi. Lowongan pekerjaan sulit dicari. Kepercayaan dirinya goyah, bagaimana
dia bisa menggapai impiannya?

Secercah harapan muncul ketika Alif diterima menjadi wartawan di Ibu Kota. Di
sana, hatinya tertambat pada seorang gadis yang dulu pernah dia curigai. Ke mana arah
hubungan mereka?

Takdir menerbangkan Alif ke Washington DC. Life is perfect, sampai terjadi tragedi 11
September 2001 di NewYork yang menggoyahkan jiwanya. Kenapa orang dekatnya harus
pergi? Alif dipaksa memikirkan ulang misi hidupnya. Dari mana dia bermula dan ke mana
dia akhirnya akan bermuara?

‘Mantra’ ketiga “man saara ala darbi washala” (siapa yang berjalan di jalannya akan sampai
di tujuan) menuntun pencarian misi hidup Alif. Hidup hakikatnya adalah perantauan. Suatu
masa akan kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal. Muara segala muara.

Rantau 1 Muara adalah kisah pencarian tempat berkarya, pencarian belahan jiwa, dan
pencarian di mana hidup akan bermuara.

Novel ini adalah buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis A. Fuadi, novelis
asal Minang yang pernah tinggal di Washington DC, London, Quebec, dan Singapura.

Bertualanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang.
Bergurulah sejauh alam terkembang.

Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29–37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com


Click to View FlipBook Version