The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by rinisetyo756, 2022-04-23 10:21:58

Andrea Hirata-Mimpi-mimpi-Lintang

Andrea Hirata-Mimpi-mimpi-Lintang

penjuru. Aku dapat merasa sangat senang hanya
lantaran melihat peneng sebuah sepeda, tak tahu
sepeda siapa, yang tahunnya sama dengan tahun
peneng sepeda A Ling. Pelajaran moral nomor sembilan
belas dari dua kejadian di atas: cinta, bisa saja
berbanding terbalik dengan waktu, tapi pasti berbanding
lurus dengan gila.

Yang paling mengesankan adalah mencatut uang
belanja 3xi, lalu membeli kupon atensi @ Rp500,00 di
radio dangdut AM Suara Pengejawantahan. Saking
banyak yang minta diputarkan lagu, radio itu memasang
harga Rp500,00 per lagu. Kuponnya pun harus dipesan
paling tidak tiga hari sebelumnya. Aku selalu mengirim
lagu lama nan aduhai Bunga Seroja untuk seseorang
yang telah punya nama udara Putri Tiongkok.

"Tembang inih..." kata Mahmud Corong dengan gaya
khasnya.

"Dipersembahkan dengan segenaph jiwah pada Putri
Tiongkok nun di pasar ikan. Terlampir salam manis deg-
degan dari pendengar setia karnih sepanjang masah ....
Pendekhar Ikal, bukan begituh, Pendekhar Ikal?"

Oh, syahdu sekali. Hatiku mengembang Bunga
Seroja mengalir pelan. Aku serta-merta menyita kursi
malas Ayah, duduk di situ bergoyang-goyang seirama
lagu. Kubayangkan A Ling, mendengarkan kiriman
laguku untuknya. Apakah ia tersenyum? Apakah ia, yang
sedang menyiangi genjer mungkin, berdiri sebentar untuk
mendekati radio? Apakah mengatakan pada dirinya
sendiri betapa ia merin-dukanku? Semua pikiran itu
adalah cara yang amat memesona untuk melewatkan
hari, dan segera kupahami, racun terindah dari cinta
adalah imajinasi, tak lain imajinasi.

401

Hari berganti-ganti. Ramadhan pun tiba. Orang-orang
tua yang mengerutkan keningnya melihat tingkah polah
anak-anak muda Melayu yang pulang dari rantau untuk
merayakan Lebaran segera menegakkan disiplin yang
keras agar anak-anak itu kembali ke jalan yang benar.

Adalah ide ibuku agar tarawih sebelas rakaat
dinaikkan menjadi dua puluh tiga rakaat. Mendekati
rakaat kedua puluh, pemuda-pemuda yang imannya
makin tipis digerus kota besar, termasuk aku tentu saja,
mulai berkeluh kesah. Kepala pening sebab kebanyakan
rukuk dan sujud. Makin menderita lantaran Taikong
Hamim tak pernah membaca ayat-ayat pendek. Yang
paling membuatku gelisah, setiap

pukul sembilan malam aku berjanji berjumpa dengan
A Lg di pekarangan kelenteng. Masalahnya, Ibu sendiri
yang memerintahkanku agar berdiri di saf lelaki paling
belakang sehingga ia dapat mengawasiku dengan ketat.
Berhari-hari aku tak berkutik, terkunci di masjid, tarawih
dua puluh tiga rakaat.

Kuminta pendapat Mahar dan ia memberikan ide
vang sangat brilian. Kami membelikan Harun sahabat
lama Laskar Pelangi sarung dan pakaian yang sama
persis dengan sarung dan baju takwaku. Harun senang
tak kepalang. Menjelang tiga rakaat witir terakhir, Harun
menggantikan posisiku. Mata ibu yang tak awas karena
usia tak menduga siasat ini. Aku kabur lewat jendela,
menunda witirku dan melesat lintang pukang naik sepeda
menuju kelenteng Hanya untuk menemui A Ling
beberapa menit saja. Love will find a way, kata para
lirikus, aku setuju tanpa syarat

Sabtu sore, bak sejoli camar, aku dan A Ling
bersampan dari bawah jembatan Linggang sampai ke
muara. Malamnya kami mengunjungi pasar malam: tong

402

setan dan komidi putar dari Indramayu di Padang Bulan.
Kami membeli belasan karcis agar tak turun dari benda
ajaib itu. Minggu siang kami bersepeda. Aku
memboncengkannya menerabas sabana dan gulma-
gulma, hanya kami berdua dalam lautan irama alam
Melalui tanjakan Bukit Selumar bertanya "Haruskah aku
turun, Ikal?

ia pun menjawab "Tidak perlu„, A ling, tidak perlu
sama sekali!

Nah Kawan, tanjakan Bukit Selumar ini bukan
sembarang. Jalanan ini bak naik gunung saja.
Sebenarnya aku lelah sekati, sampai pening kepalaku.
Tapi, stang sepeda kurengkuh kuat-kuat, tubuh
kurundukkan dan kutumpuk-kan ke kanan jika aku
mengayuh pedal kanan dan sebaliknya ke kiri jika
mengayuh pedal kiri. Bergoyang-goyang seperti
pendayung kayak. A Ling membonceng di tempat duduk
belakang sepeda dan berkali-kali menanyakan apakah
aku masih kuat. Aku pun tak tahu, bagaimana aku bisa
sekuat itu. Sampai di Pasar Manggar, keringatku
bercucuran. Ia memandangku sambil tersenyum dan
mengucapkan sesuatu yang membuat dunia ini rasanya
berputar dan matahari berpijar-pijar.

"Curi aku dari pamanku," katanya,

403

MozaIK 73

KOMIDI PUTAR

LAMA bergaul dengan orang-orang Ho Pho, aku
sedikit banyak paham metafor mereka. Jika seorang
perempuan Ho Pho meminta seorang lelaki mencuri
dirinya dari keluarganya, itu artinya ia bersedia dipinang.

Langsung kusampaikan pada Chung Fa. Ia senang.
Katanya, ia tak kan menghalangiku. Sepanjang malam
tak dapat kupicingkan mata untuk tidur. Karena untuk kafi
pertamanya dalam hidupku, aku disergap oleh satu kata
sakti mandraguna yang tak terbilang banyaknya
mengubah hidup orang di muka bumi. Dadaku berubah
menjadi kaleng, dan kata itu menjelma menjadi tawon
yang terjebak berdengung-dengung dalam kaleng itu.
Kata nan sakti itu adalah: menikah.

Terlalu cepatkah ini?

Tidak, bukankah aku telah mencintai perempuan Ho
Pho itu seumur hidupku? Terlalu besarkah rencana ini
sehingga aku tak mampu menanganinya? Tapi aku telah
mengalami demikian banyak hal besar dalam hidupku,
tak pernah aku sampai tak bisa menggambarkan
perasaanku seperti sekarang Ketika ia hilang tak tahu
rimbanya, aku juga telah mencarinya seakan seumur
hidupku. Kata menikah benar-benar membuatku gugup.
Karena terlalu besar cinta, demikian besar, sehingga sulit
kupercaya kata ajaib itu akhirnya menghampiriku.

Aku dilanda perasaan senang yang tak terjelaskan.
Khayalan-khayalan fantastik tentang menikah dan rumah
tangga menyerbuku. Aku telah jadi orang yang berbeda.
Sungguh clahsyat akibat dari ide menikah ini. Di dalam
kepalaku sekarang ada gambar-gambar, misalnya foto

404

keluarga, beranda rumah, perempuan hamil, suara anak
kecil, cangkir teh, orang sedang menyiram bunga, aneh,
lucu, tapi indah.

Aku menatap mata A Ling dalam-dalam. Ia melihatku
dengan cara bahwa ia tahu aku tak mungkin kehilangan
dirinya, dan ia tahu, bahwa dalam matanya itu, aku telah
menemukan diriku sendiri, seorang lain yang pula telah
kucari-cari sepanjang hidupku. Sekarang aku sampai
pada satu titik pemahaman bahwa dari seluruh lika-liku
hidupku, untuk perempuan inilah aku telah dilahirkan.
Jarak antara kedua matanya adalah bentangan titik zenit
dan nadir ekspedisi hidupku. Di dalam kedua mata itu,
petualanganku menempuh benua demi benua,
menyeberangi samudra,

mengarungi padang, dan melawan angin, setelah
mencapai tujuanya,aku jatuh cinta,sungguh jatuh cinta.
Kini tak ada hal lain yang kuinginkan selain mencari
nafkah dekat-dekat rumah saja, lalu segera pulang untuk
perempuan ini, seseorang yang aku ingin memakai
namaku di belakang namanya, seseorang yang ingin
kulihat kali terakhir jika aku berangkat tidur dan kulihat
kali pertama jika aku bangun.

Seperti.

Seperti puisi yang kautuHskan

Seperti nyanyi yang kaulantunkan

Seperti senyum yang kausunggingkan

Seperti pandang yang kaukerKngkan

Seperti cinta yang kauberikan

Aku tak pernah, tak pernah merasa cukup

BERHARI -hari baru dapat kuendapkan letupan

405

perasaan yang melambungkan itu.

Aku kemudian menjumpai kerabat-kerabat terdekat.
Semuanya sepakat dan mengatakan bahwa aku akan
sebahagia sepupu jauhku Arai sekarang.

"Sudah tiba waktumu, Bujang, menetaplah, mencari
nafkah, berkeluarga, mulia sekali," ujar bibiku yang
terharu sampai berurai-urai air matanya.

Seminggu setelah A Ling mengatakan agar aku
mencurinya dari pamannya, malam itu, kami berjanji
berjumpa di pasar malam untuk naik komidi putar. Malam
itu pula aku akan menyampaikan rencanaku pada
ayahku. Aku berjanji untuk menyampaikan kabar gembira
pada A Ling nanti jika kami bertemu di pasar malam.

Usai magrib yang senyap, Ayah duduk di kursi
malasnya. Sepi. Aku menghampirinya. Ia bangkit dari
kursinya. Hanya kami berdua di ruangan yang diterangi
cahaya lampu minyak. Dengan hati-hati kusampaikan
pada Ayah bahwa aku sudah berbicara dengan keluarga
perempuan Ho Pho itu. Dengan amat cermat pula kumo-'
hon agar Ayah sudi mengizinkanku meminangnya. Kami
berdiri mematung dalam jarak beberapa depa. Tiba-tiba
senyap menyergap ruangan dan tubuhku dingin melihat
Ayah memandangku penuh kesedihan. Ayah bergetar-
ge-tar. Ia seperti tak mampu menanggungkan
perasaannya. Air matanya mengalir pelan. Napasku
tercekat dan aku seolah akan runtuh karena dari
pantulan cahaya lampu minyak aku melihat wajah
ayahku. Matanya kosong, wajah-

nya pias, aku tahu, aku tahu makna wajah Ayah,
bahwa ia mengatakan tidak.

Aku terkesiap. Ayah yang tak pernah mengatakan
tidak untuk apa pun yang kuminta, Ayah, yang mau

406

meme-tikkan buah delima di bulan untukku, telah
mengatakan tidak, untuk sesuatu yang paling kumginkan
melebihi apa pun. Ayah mengepalkan tangannya erat-
erat untuk menguatkan dirinya. Air matanya mengalir
deras sampai berjatuhan ke lantai. Tak pernah seumur
hidupku melihatnya menangis. Aku tak mampu berkata-
kata. Ruh seperti tercabut dari jasadku. Aku terkulai.

AKU membawa apa pun yang dapat kubawa dalam
sebuah karung kecampang. Lapangan Padang Bulan
telah kosong ketika aku riba. Pasar malam telah redup,
komidi tak lagi berputar, lampu-lampunya telah
dimatikan. Yang terdengar hanya suit angin.

Di tengah hamparan ilalang, A Ling berdiri sendirian
menungguku. Kami hanya diam, tapi A Ling tahu apa
yang telah terjadi. Ia terpaku lalu luruh. Ia bersimpuh dan
memeluk lututnya. Matanya semerah saga. Ia
sesenggukan sambil meremas ilalang tajam. Seakan tak
ia rasakan darah mengucur di telapaknya. Ia menarik
putus kalungnya, menggulung lengan bajunya, dan
memperlihatkan rajah kupu-kupu hitam di bawah sinar
bulan. Kukatakan padanya bahwa aku tak kan menyerah
pada apa pun untuknya dan akan ada lagi perahu
berangkat ke Batuan. Kukatakan padanya, aku akan
mencurinya dari pamannya dan melarikannya. Aku akan
membawanya naik perahu itu dan kami akan melintasi
Selat Singapura.

Perlahan awan kelabu di langit turun menjadi titik
gerimis. Butirnya yang lembut serupa tabir putih
menyelimuti tubuh kami.

Tetralogi Laskar Pelangi di Mata Saya

Oleh: Gangsar Sukrisno (CEO Bentang Pustaka, Co-
Producer Film Laskar Pelangi)

407

Andrea Hirata lahir di Belitong.Melalui

beasiswa, Andrea menempuh pendidikan master di
Inggris dan Prancis pada bidang

economics science. Dia telah menyelesaikan empat
buku tetralogi Laskar pelangi yang merupakan
sumbangan

terpenting bagi khazanah sastra Indonesia.
Maryamah Karpov adalah karya Pamungkasnya setelah
Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Dengan

tetraloginya itu, Andrea menyajikan sebuah genre
yang kami sebut sebagai cultural literary non fiction, yaitu
sebuah karya nonfiksi yang digarap secara sastra
berdasarkan pendekatan budaya.

Penulisan dengan pendekatan ini jarang terjadi dalam
khazanah sastra Indonesia dan tidak pernah
dibayangkan akan berhasil dalam industri perbukuan.
Namun, tetralogi Laskar Pelangi ternyata berhasil
merobohkan mitos di dalam ranah sastra maupun industri
buku karena terbukti mampu meraih prestasi sebagai
buku yang fenomenal. Bahkan, film Laskar Pelangi yang
kami sebut sebagai cultural movie, berhasil mencapai
box office. Baik novel maupun film Laskar Pelangi telah
mencatat pencapaian yang belum pernah terjadi dalam
sejarah buku dan film di Indonesia.

Melalui tetralogi Laskar Pelangi, kita bisa melihat
bahwa karya-karya ini tidak hanya berhasil dalam
memadukan aspek sains, sosiologi orang Melayu, dan
edukasi, tetapi kita juga bisa menemukan seorang
penulis unik yang berevolusi dari Laskar Pelangi hingga
Maryamah Karpov. Kita juga bisa merasakan betapa
setiap kalimat yang diclptakan memiliki kekuatannya
sendiri. Oleh karena Itu, tetralogi Laskar Pelangi

408

merupakan koleksi yang amat berharga untuk dimiliki dan
merupakan legacy Andrea Hirata yang amat penting tidak
hanya bagi sastra, dunia pendidikan, tetapi juga budaya
Indonesia.

409


Click to View FlipBook Version