The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by aisumartini.gc, 2021-08-10 21:12:43

SD_Si Kabayan

SD_Si Kabayan

sejak tadi dipegang, dimasukkan ke sela-sela bilik terus
didekatkan ke atas perut Kabayan. Dengan sekuat tenaga,
jeujeur yang tajam itu ditekankan pada perut Kabayan.

Si Kabayan terperanjat dan berteriak, “Hadang di Lebak!
Awas, jangan lolos!”

“Apa, hadang di Lebak teh, hah? Bangun!” Nyi Iteung
membentak.

Dengan malas, si Kabayan bangun, menatap istrinya
yang sedang berdiri sambil membawa jeujeur pancing.

“Hah, menganggu saja! Aku sedang bermimpi
menangkap kancra. Sudah lepas gara-gara kamu, Nyai!
Berisik!”

“Jangan  ngelantur, heh!” istrinya tidak kalah
sengitnya.“Mendingan mencari tutut untuk makan, hayoh!
Nasi sudah matang. Apa mau makan cuma dengan garam?”

“Mencari tutut ke mana, Nyai? Segini sudah siangnya?”
tanya Si Kabayan.

“Mencari ke mana? Tutut biasanya ada di mana? Tidak
ada keinginan amat! Ya, ke sawah! Nanti disayur, ‘kan
bumbunya sudah ada! Aku sudah lapar, sudah bangun dari
subuh.”

Si Kabayan bangun dengan lamban dan malas-malasan,
sambil tangannya menggaruk-garuk rambutnya yang tidak
gatal, lalu keluar meninggalkan rumahnya sambil mengomel.

“Ah, sedang enak-enak mimpi, diganggu!”
“Enggak ke pancuran dulu?” tanya istrinya.

39

“Enggak,” jawab si Kabayan. “Nanti saja mandi di
sawah, biar airnya hangat.”

Nyi Iteung geleng-geleng kepala sambil menatap
kepergian suaminya.

Ia menunggu suaminya sambil menahan perut yang
sejak tadi keroncongan. Ia lalu ke dapur, menyiapkan bumbu
untuk sayur tutut.  Bumbu sudah jadi, tetapi suaminya belum
juga datang.

“Na, ke mana si Borokokok teh? Sekadar mencari tutut,
kok lama sekali?” Nyi Iteung mengomel seorang diri.

Sambil menunggu Kabayan disertai menahan lapar,
Iteung minum teh untuk mengganjal perutnya. Habis segelas
Kabayan belum kelihatan juga. Dua gelas. Tiga gelas hingga
akhirnya sudah habis kesabarannya.

Karena si Kabayan tidak ada tanda-tanda bakal pulang,
Nyi Iteung menyusul ke sawah. Kakinya berjalan cepat-
cepat hingga tak lama kemudian sampailah di pinggir sawah.
Dari jauh tampak suaminya sedang berjongkok saja di atas
pematang sawah sambil memegang bambu yang panjang.

“Kang Kabayan, sedang apa?”
“Lah, ‘kan sedang mencari tutut. Kan Nyai mau nyayur
tutut?”
“Masa dikorek-korek dari atas galengan? Turun ke sana,
gitu!”

40

“Enggak ah, takut tenggelam. Lihat tuh airnya sangat
dalam, langit juga kelihatan dari sini. Apa Nyai mau jadi
janda?”

Nyi Iteung sangat kesal. Tanpa ragu-ragu lagi suaminya
didorongnya ke dalam sawah.

“Kalau hanya dikorek-korek dari atas galengan, mana
bisa dapat tutut...!” Nyi Iteung melotot.

Byur,  si Kabayan jatuh ke sawah yang baru ditanami
padi. Si Kabayan berkata sambil cengar-cengir, “Eh, kok
dangkal, ya? Tadinya Akang kira dalam, soalnya ada bayang-
bayang langit di airnya.”

Nyi Iteung tidak berbicara lagi. Ia berbalik arah
memunggungi Kabayan, pulang, sambil mengomel-ngomel,
“Lain kali, kalau mencari tutut, jangan dikorek-korek dari
atas. Turun! Tangkap dengan saringan atau tangkap dengan
tangan.”

“Beres, Tuan Putri! Sekarang pulanglah! Kanda
berendam dulu!” kata Kabayan kepada istrinya dengan
bercanda.

Nyi Iteung dari jauh masih menjawab, “Tuan Putri, Tuan
Putri! He, jangan lupa tututnya!”

“Jangan terlalu lama berendamnya! Iteung sudah
lapar.” Nyi Iteung menjawab ketus.

Si Kabayan tidak menanggapinya. Ia hanya memandang
punggung istrinya.

41

42

“Silakan saja, Nyai pulang. Aku sekalian berendam dulu!
Nanti tutut pasti aku bawa untuk lauk makan!”

***

43

5
Kabayan dalam Karung

Pada suatu malam, si Kabayan diajak memanen nangka
oleh mertuanya. Buah nangka itu harus segera dipetik agar
tidak didahului pencuri. Mertuanya menyuruh Kabayan
mempersiapkan golok dan karung untuk ditaruh di balai
sehingga besok tidak repot lagi.

Esoknya, dari balik dinding telah menerobos cahaya
matahari pagi. Ayam-ayam pun telah berkokok. Abah sudah
menunggu menantunya, “Ambu! Ambu! Mana Kabayan?
Belum bangun?”

Di kamar, si Kabayan masih pulas tidur.
“Ya Allah, Kabayan, benar-benar keterlaluan,” seru
Ambu. “Kabayan! Kabayan! Bangun! Itu Abah sudah
menunggu sejak tadi.”
Seperti tersengat lebah Si Kabayan terperanjat bangun,
“Ya, Ambu. Kabayan mau cuci muka dulu”
Malam tadi Kabayan tidur agak larut karena siangnya
sudah tidur cukup lama. Ditambah lagi Nyi Iteung minta
dikerok pakai bawang merah karena masuk angin. Sehabis
dikerok Nyi Iteung mengingatkan Kabayan agar besok tidak
kesiangan. Nyi Iteung menanyakan apakah peralatan untuk
memanen sudah disiapkan dan Kabayan menjawab sudah. Nyi

44

Iteung juga meminta Kabayan agar membantu Abah karena
buah nangka yang mau dipanen cukup banyak. “Kasihan
Abah kalau memanen sendirian,” kata Nyi Iteung.

Setengah mengantuk si Kabayan menghampiri Abah.
Abah hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Maaf, Bah, semalam saya kurang tidur, jadi bangun
kesiangan.” Kabayan memberi alasan.

“Ayo! Kabayan! Sudah siang nih!”
Menantu dan mertua itu pergi ke kebun nangka. Kebun
itu agak jauh dari rumah. Pohon-pohon nangka itu sudah
kali kedua masa panen. Pada masa panen pertama hasilnya
lebih dari cukup sehingga Abah dapat menyisihkan uang dari
hasil penjualan nangka.
Dalam perjalanan tidak ada yang berbicara, apalagi
Kabayan maklum masih mengantuk. Sudah tradisi bagi
Kabayan tidur sampai siang. Hari ini, istri dan mertuanya
sudah ribut membangunkan.
“Tidak ngerti sama mertua,” pikirnya. “Umur sudah
bau tanah, tetapi masih serakah pada harta dunia. Buat apa
harta dunia itu? Bukankah untuk memanjakan badan? Ini
malah diperbudak harta. Mengapa tidak diberikan ke orang?”
Sampai kebun mereka terus metik nangka. Abah, mertua
Kabayan sangat getol, sedangkan Kabayan sebentar-bentar
istirahat. Naga-naganya si Kabayan hari itu enggan bekerja.
Si Kabayan tengok sana tengok sini, terlihat karung tempat

45

nangka. Tiba-tiba terbayang sesuatu yang menyenangkan,
si Kabayan senyum-senyum.

“Bah, Abah.” Kabayan memanggil-manggil mertuanya.
“Hei, Kabayan, ada apa?”
“Bah, saya ke air dulu. Perut mulas. Kalau lama,
tinggalkan saja mungkin terus pulang.”
“Ya,” jawab Abah pendek.
Abah bekerja terus tanpa menengok ke mana-mana.
Si Kabayan membuka karung terus masuk ke dalam karung
sampai tubuhnya tidak kelihatan. Abah mengangkat nangka
satu per satu lalu dimasukkan ke dalam karung. Karung cepat

46

penuh, dicakupkan, dipocong, dan ditali ujung-ujungnya
sampai kencang.

“Duh, berat sekali,” katanya.
Abah duduk menunggu Kabayan. Namun, yang ditunggu-
tunggu tidak datang, sedangkan hari sudah menjelang sore.
“Ke mana si Kabayan? Mengapa belum tampak batang
hidungnya,” kata mertuanya berbicara sendiri. “Jangan-
jangan pulang? Itu jeleknya Kabayan, harusnya memberi
tahu orang tua kalau hendak pulang. Ini malah mengeluyur.”
Tanpa menunggu lagi, karung diangkat, dipikul di atas
bahu, “Sangat berat,” pikirnya. “Tadi terlalu ditumpuk,
tetapi mengapa keras?” tangannya meraba-raba karung.
Karena berat, Abah berkali-kali istirahat sambil membanting
karung yang berat. Si Kabayan menahan sakit, tetapi tidak
berani bersuara karena takut. Si Kabayan sedikit sakit di
dalam karung, tetapi selebihnya terasa nikmat karena lebih
banyak dibawa di punggung mertuanya.
Abah akhirnya sampai juga di rumah, karung yang terasa
berat langsung dilempar ke lantai. Sekilas terdengar suara
yang mengaduh. Abah sempat terperangah, tetapi tampak
tidak ada siapa-siapa. Ketika Abah ke air, si Kabayan buru-
buru keluar dari karung. Tubuhnya agak lunglai, tulangnya
sedikit ngilu, dan kakinya tidak dapat berdiri dengan benar
karena terlalu lama dalam karung. Tertatih-tatih ia berjalan
ke dalam rumah.

47

“Bah, nangka hanya segini?” kata Ambu sambil
memeriksa karung nangka.

“Belum kepetik semua. Bagaimana Kabayan? Tadi
mengeluh sakit perut!”

“Hah? Sakit? Ambu mah tidak tahu. Bukannya tadi
dengan Abah?”

“Iya tadi pagi, tetapi siang pulang. Katanya mulas.”
“Oh, begitu?”
“Abah, Ambu! Ini Kabayan,” sambil tertatih-tatih
menghampiri mertuanya.
Abah sorot matanya tajam memeriksa Kabayan seperti
terdakwa. Abah marah dan ingin membalas kelakuan
menantunya. Akhirnya dia tahu kelakuan menantunya.
Kabayan sudah berbohong, Abah dikerjainya juga. Menantu
seperti ini harus diberi pelajaran supaya kapok. Berani-
beraninya dia terhadap mertua. Besok Abah berencana akan
menasihati Kabayan.
“Besok tuntaskan panen nangkanya, Kabayan!
Bekerjalah dengan benar, jangan seperti itu kepada orang
tua. Pamali. Dosa!” kata Ambu.
“Ya, Ambu!”
Esok harinya, Kabayan dan Abah pergi lagi ke kebun.
Datang-datang Kabayan memeriksa nangka. Dia sangat
getol. Abah sebentar-sebentar melirik Kabayan dengan ujung
matanya. Si Kabayan asyik memetik nangka. Tampaknya ia
ingat pesan Ambu. Hari ini ia benar-benar bekerja. Ketika

48

melihat Kabayan asyik metik nangka, Abah diam-diam
menyelinap ke balik pohon, lalu terus menghilang. Si Kabayan
terus saja memetik nangka sampai karung itu penuh. Setelah
penuh ujung-ujung karung disimpul terus diikat.

Ketika akan pulang, si Kabayan mencari-cari mertuanya,
“Ke mana ya Abah? Tidak salah pasti Abah pulang. Rupanya
masih kesal sisa kemarin. Biar ah, aku juga mau pulang.
Aku seret sajalah karungnya. Terasa berat kalau dipikul,“
katanya seraya menurunkan karung dengan keras.

“Durugdug” Karung digusur.
“Kabayan! Kabayan!” kata suara dalam karung. “Ini
Abah, mertuamu. Karung jangan diseret!”
Si Kabayan berhenti sejenak, “Ah, jelas ini nangka,
nangka!” sambil dipukul-pukulnya karung itu. Lalu, karung
diseretnya lagi.
“Kabayan! Lihat ini mertuamu, bukan nangka!”
“Nangka! Nangka,” ujar Kabayan sambil terus-menyeret
karung.
“Bruk!” Begitu sampai rumah, karung itu dibanting pada
tempatnya. “Ek!” Ada bunyi suara orang yang tertimpa.
“Ambu! Ambu! Ini nangka sekarung!” kata Kabayan
sambil pergi ke air hendak bersih-bersih.
Ambu ke belakang menghampiri karung. Pelan-pelan
membuka ikatannya. Begitu isinya dikeluarkan, “gurubug”
Abah jatuh sambil mengaduh-aduh. Di sekujur tubuhnya
banyak goresan dan penuh luka bekas diseret tadi. Ambu

49

tidak terkira kaget campur panik, “Abah! Abah! Mengapa
hal ini sampai terjadi?”

“Ambu! Jangan banyak tanya dulu. Tolong obati lukaku!
Obati dengan air abu.”

Ambu buru-buru merebus abu sampai mendidih. Abu
disaring didiamkan beberapa saat. Setelah hangat, Ambu
pelan-pelan mengoles luka-luka itu dengan air abu. Abah

50

meringis. Luka itu terasa perih. Ambu memapah suaminya
ke kamar. Sekilas Abah menceritakan peristiwa yang telah
terjadi. Ambu mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Abah juga sih! Kabayan ‘kan sudah menuruti kata
Ambu. Abah jangan berbuat hal seperti yang dilakukan
Kabayan. Jadinya seperti ini.”

Abah diam saja. Ia hanya menyuruh istrinya keluar.
“Sudahlah, Ambu! Urus saja nangka-nangka itu, mungkin
besok akan dibawa ke pasar. Abah ingin istirahat.”

Setelah melihat kondisi suaminya, Ambu kasihan juga.
Akhirnya, dia membiarkan Abah tidur. Ditutupnya pintu
kamar agar Abah lebih tenang beristirahat.

Abah benar-benar beristirahat. Sampai dua hari ia tidak
bangun-bangun dari tempat tidurnya.

***

51



Biodata Penulis

Nama lengkap : Mohammad Rizqi, S.S.

Telp kantor/ponsel : (022) 4205468/081321815008

Pos-el : [email protected]

Akun Facebook : Icky Kiliningan

Alamat kantor : Jalan Sumbawa 11, Kecamatan

Sumur Bandung, Bandung 40113

Bidang keahlian : Linguistik

Riwayat pekerjaan/profesi (10 tahun terakhir):
1. 2011–2016: Peneliti di Balai Bahasa Jabar
2. 2001–2010: Pembantu Pimpinan di Balai Bahasa Aceh

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1. S-1: Fakultas Sastra Unpad Jurusan Bahasa Inggris

Penerjemahan (1994--1997)
2. D-3: Fakultas Sastra Bahasa Inggris (1989--1993)

Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1. Kamus Dwibahasa: Bahasa Indonesia-Bahasa Aceh (Tim,

53

2011)
2. Everyday Acehnese (Tim, 2010)

Judul Penelitian dan Tahun Terbit (10 tahun terakhir):
1. Syair Kasih Sayang untuk Syahid (2015)
2. Mempertahankan Kesatuan dalam Keberagaman: Upaya

Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia
(2014)
3. Padanan Kata Indonesia dan Inggris (2013)
4. Konjungtor dalam Bahasa Aceh (2009)
5. Kata Pengingkar dalam Bahasa Gayo (2008)
6. Kata Tugas Bahasa Aceh: Suatu Tinjauan Sintaktis dan
Semantis (2007)
7. Struktur dan Pemarkah Kalimat Imperatif Bahasa
Inggris (2006)
8. Kata Majemuk Bahasa Inggris ketika Menjadi Bahasa
Indonesia (2005)

Informasi Lain:
Lahir di Bandung, 15 September 1969. Menikah dan
dikaruniai dua anak. Saat ini menetap di Bandung. Aktif
sebagai peneliti bidang bahasa di Balai Bahasa Jabar.
Beberapa kali menjadi pembicara pada kegiatan musikalisasi
puisi di Aceh. Mengajar BIPA di NGO asing (UNICEF) di
Aceh tahun 2006—2009. Terlibat di berbagai kegiatan di
Balai Bahasa Jabar.

54

Biodata Penyunting

Nama lengkap : Drs. Sutejo

Pos-el : [email protected]

Bidang keahlian: Bahasa dan sastra

Riwayat pekerjaan/profesi (10 tahun terakhir):
1. 1993, Bidang perkamusan dan peristilahan, Pusat

Bahasa
2. 2013—sekarang Kepala Subbidang Pengendalian,

Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1. S-1 Program Studi Bahasa Indonesia Universitas

Jember

Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1. Tim Penyusun KBBI edisi III
2. Penggunaan istilah politik dalam propaganda politik

(Seminar nasional DPR di UMS tahun 1995)
3. Penulis buku Bahasa Indonesia SMP kelas 7—9

kurikulum 2013.

Informasi Lain:
Dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 30 November
1965

55

Biodata Ilustrator

Nama : Maria Martha Parman

Pos-el : [email protected]

Bidang Keahlian: Ilustrasi

Riwayat Pendidikan
1. USYD Sydney (2009)
2. UniversitasTarumanagara (2000)

Judul Buku
1. Ensiklopedi Rumah Adat (BIP)
2. 100 Cerita Rakyat Nusantara (BIP)
3. Merry Christmas Everyone (Capricorn)
4. I Love You by GOD (Concept Kids)
5. Seri Puisi Satwa (TiraPustaka)
6. Menelisik Kata (KomunitasPutri Sion)
7. Seri Buku Pelajaran Agama Katolik SD (Grasindo)

56


Click to View FlipBook Version