The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

TUGAS PBAK CONTOH BENTUK KORUPSI (1)-dikonversi

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mutiaraaksara10, 2021-05-03 12:12:51

TUGAS PBAK CONTOH BENTUK KORUPSI (1)-dikonversi

TUGAS PBAK CONTOH BENTUK KORUPSI (1)-dikonversi

CONTOH-CONTOH BENTUK KORUPSI SESUAI DENGAN JENIS-
JENIS KORUPSI

DOSEN PENGAMPUH : SITI CHOIRUL DWI ASTUTI, M.Tr.Keb

DI SUSUN OLEH :

NAMA : SITI NURAINA TULIABU
NIM : 751540120064
KELAS : 1B KEBIDANAN

POLTEKES KEMENKES GORONTALO
PRODI D-III KEBIDANAN
T.A : 2021/2022

A. SUAP MENYUAP

KPK Panggil 4 Anggota DPRD Jabar Terkait Kasus Suap di
Indramayu

Merdeka.com - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menjadwalkan memeriksa empat anggota DPRD Jawa Barat 2019-2024, Selasa
(27/4). Keempatnya akan diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan suap di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tahun anggaran
2019.

Empat anggota DPRD Jawa Barat tersebut yakni Yod Mintaraga, Eryani Sulam,
Dadang Kurniawan, dan Lina Ruslinawati. Mereka akan dimintai keterangan
untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka ABS (Ade Barkah Surahman-
mantan Ketua DPD Golkar Jabar sekaligus anggota DPRD Provinsi Jabar).

"Keempat orang saksi diperiksa untuk tersangka ABS (Ade Barkah
Surahman)," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa
(27/4).

Diberitakan, KPK menetapkan anggota DPRD Jawa Barat Ade Barkah
Surahman dan mantan anggota DPRD Jawa Barat Siti Aisyah Tuti Handayani
sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan dana bantuan provinsi
kepada Kabupaten Indramayu Tahun Anggaran 2017-2019.

Diketahui Ade Barkah juga merupakan mantan Ketua DPD Golkar Jawa Barat.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat
mantan Bupati Indramayu Supendi.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dengan adanya keterlibatan
pihak lain sehingga KPK kembali melakukan penyelidikan dan meningkatkan
status perkata ke penyidikan," ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli dalam jumpa
pers di Gedung KPK, Kamis (15/4).

Ade Barkah diduga menerima Rp 750 juta dari seorang pihak swasta bernama
Carsa ES. Carsa sendiri telah divonis 2 tahun penjara pada 2020 dalam perkara
inu karena terbukti menyuap Supendi.

Sementara itu, Siti diduga menerima uang Rp 1,05 miliar dari Abdul Rozak
Muslim yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Abdul Rozak
tengah menjalani persidangan sebagai terdakwa. Uang Rp 1,05 miliar itu
merupakan bagian dari Rp 9,2 miliar yang diterima Rozak dari Carsa.

Uang itu diberikan agar Ade dan Siti memastikan proposal pengajuan dana
bantuan keuangan provinsi Jawa Barat untuk kegiatan peningkatan jalan kepada
pihak Dinas PUPR Kabupaten Indramayu diperjuangkan oleh Ade selaku Wakil
Ketua DPRD Jawa Barat dan Rozak selaku anggota DPRD Provinsi Jawa
Barat.

Ade dan Siti beberapa kali menghubungi BAPPEDA Provinsi Jawa Barat
memastikan atas usulan-usulan pekerjaan jalan yang Carsa ES ajukan di
Kabupaten Indramayu.

"Carsa ES mendapatkan beberapa pekerjaan peningkatan dan rehabilitasi jalan
dari anggaran Tahun Anggaran 2017 - 2019 yang bersumber dari bantuan
Provinsi Jawa Barat dengan nilai seluruhnya sekitar Rp 160,9 Miliar," kata Lili.

Llili mengatakan, untuk kepentingan penyidikan, dua tersangka tersebut
langsung ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak 15 April 2021 hingga 4
Mei 2021.

"Masing-masing tersangka ditahan di Rutan cabang KPK Gedung Merah
Putih," kata Lili.

Atas perbuatannya, Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a
atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

B. PENYALAHGUNAAN JABATAN

Demokrat Nilai Ada Penyalahgunaan Jabatan Publik dalam
Upaya Kudeta

JAKARTA - Upaya pengambilalihan paksa ( kudeta) Partai

Demokrat dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ) patut

menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat sipil. Persoalan ini bukan

semata-mata persoalan internal partai.

“Ini masalah integritas karena menyangkut suatu jabatan publik yang
diamanahkan rakyat, tetapi ada dugaan disalahgunakan,” tegas Wasekjen

DPP Partai Demokrat Jovan Latuconsina dalam keterangannya, Selasa
(2/2/2020).

Jovan menuturkan upaya pengambilalihan paksa ini bukan isapan jempol
belaka. “Kita punya berita acara perkara berdasakan laporan lebih dari

delapan orang kader kita, hasil dari pertemuan mereka dengan sejumlah
mantan kader, yang ternyata di situ juga dihadiri oleh KSP Moeldoko,”

ungkap Jovan.

“Terhadap oknum kader internal, tentu akan kita proses sesuai konstitusi
(AD/ART) partai. Biarlah ini menjadi urusan internal partai kami. Sudah
ada aturannya,” sambungnya.

Tetapi terkait nama tokoh publik yang dikenal dekat dengan Presiden Joko

Widodo (Jokowi), Jovan mengingatkan ini yang perlu diklarifikasi oleh
Presiden. “Dalam pembicaraan dengan kader kami, terucap bahwa KSP
Moeldoko sudah mendapat restu dari Presiden,” papar Jovan.

Karena itulah mengapa Ketum Partai Demokrat AHY bersurat kepada
Presiden Jokowi untuk mendapatkan klarifikasi. Pasalnya, pihaknya
meyakini ini hanya pencatutan nama.

Dia melanjutkan langkah-langkah ini dilakukan karena seluruh Ketua DPC
dan Ketua DPD Partai Demokrat di daerah marah. Mereka tidak terima
kalau kepemimpinan yang sah, hasil aklamasi Kongres V Partai Demokrat
tanggal 15 Maret 2020 yang lalu, diobrak abrik oleh oknum kader dan
mantan kader, bahkan melibatkan pihak eksternal yang ada di lingkar

kekuasaan.

“Bukanlah sifat seorang kesatria, jika hanya mau mengambil jalan pintas
untuk mencapai keinginannya,” tandas Jovan yang juga lulusan Sekolah
Staf dan Komando di Nanjing Army Command College, Tiongkok.

Kalau negara punya UU, lanjutnya, maka Partai punya AD/ART sebagai
landasan konstitusi untuk dipedomani. “Jika KSP Moeldoko benar-benar
mencintai Demokrat, sebagaimana yang dikatakan beliau dalam konferensi
pers Senin (1/2) malam, ya monggo mendaftar sebagai kader Partai
Demokrat. Tapi enggak bisa ujug-ujug menjadi ketua umum," tandasnya.

"Saya salut dan bangga dengan Ketum AHY. Ketika seluruh kader meminta
agar Ketum membongkar saja nama KSP Moeldoko ke hadapan publik,
beliau memilih untuk tidak menyebutkan nama KSP Moeldoko. AHY
bilang apapun kesalahannya, KSP Moeldoko itu senior saya di almamater,"
sambungnya.

AHY dan Moeldoko memang sama-sama lulusan terbaik Akademi Militer
dan sama-sama meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa. "Dalam
situasi seperti ini, Ketum AHY tetap mengedepankan kehormatan dan jiwa
kesatria sebagai landasan dasar. He is an officer and a gentleman," pungkas
Jovan.

C. PEMERASAN

Perjalanan Kasus Pemerasan Puluhan Kepala Sekolah di
Indragiri Hulu hingga Vonis Hakim

Liputan6.com, Pekanbaru - Mantan Kepala Kejari Indragiri Hulu Hayin Suhikto
divonis 5 tahun penjara di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri
Pekanbaru. Majelis hakim menyatakan jaksa itu terbukti memeras puluhan
kepala sekolah menengah pertama di kabupaten tersebut.

Vonis kasus jaksa peras kepala sekolah ini lebih tinggi dari Jaksa Penuntut
Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung Eliksander Siagian. Sebelumnya, Hayin
dituntut 3 tahun penjara oleh JPU.

Ketua Majelis Hakim Saut Maruli Tua Pasaribu menyatakan Hayin terbukti
melanggar Pasal 23 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.

"Menyatakan terdakwa Hayin Suhikto terbukti bersalah melakukan tindak
pidana. Menghukum terdakwa dengan pidana 5 tahun penjara, dipotong masa
tahanan," ujar Saut, Selasa petang, 16 Maret 2021.

Selain penjara, majelis hakim juga mewajibkan Hayin membayar denda sebesar
Rp200 juta. Denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan badan selama 3
bulan.

Selain Hayin, majelis hakim juga menghukum terdakwa lainnya, Ostar
Alpansari. Mantan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Indragiri Hulu itu
bersama Rionald Febri Rinaldo mantan Kasubsi Barang Rampasan di Kejari

tersebut divonis 4 tahun penjara dan denda Rp300 juta atau subsider 3 bulan
kurungan badan.

Hukuman terhadap Ostar dan Rionald juga lebih tinggi dari tuntutan JPU.
Sebelumnya, kedua terdakwa dituntut 2 tahun penjara dan membayar denda
masing-masing Rp50 juta atau diganti kurungan badan selama 1 bulan.

Majelis hakim juga memerintahkan barang bukti Rp1,5 miliar hasil pemerasan
terdakwa dikembalikan kepada guru melalui Ketua Musyawarah Kerja Kepala
Sekolah (MKKS) SMP di Kabupaten Indragiri Hulu, Eka Satria.

Berawal dari BOS

Sebelumnya, JPU mendakwa ketiganya menerima Rp1,5 miliar dari 61 kepala
sekolah. Uang itu berkaitan dengan pengelolaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) tahun 2016 hingga 2018 yang diusut para terdakwa ketika
masih menjabat.

Pengusutan itu tak berjalan karena para terdakwa meminta uang agar kasus
tidak dilanjutkan. Tindakan para terdakwa bertentangan dengan Pasal 5 angka 4
dan 6 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selanjutnya, Pasal 10 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal
23 huruf d, e dan f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara.

Berikutnya, Pasal 4 angka 1 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 4 huruf d, Peraturan Jaksa Agung

RI Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007 perihal Kode Etik
Perilaku Jaksa, Peraturan Jaksa Agung Nomor 006/A/JA/07/2017 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.

Terdakwa juga melanggar Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-
039/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi
dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus tentang Tata Kelola
Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.

Perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan Surat Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus Nomor : B-845/F/Fjp/05/2018 tanggal 04 Mei 2018 perihal
Petunjuk Teknis Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang
Berkualitas.

D. KERUGIAN NEGARA

Kerugian Negara Kasus Dugaan Korupsi PT Pos Finansial
Indonesia Capai Rp 68,5 M

Bandung - Kasus dugaan korupsi terjadi di PT Pos Finansial Indonesia. Potensi
kerugian negara ditaksir mencapai Rp 68,5 miliar.

"Di dalam dugaan tindak korupsi ini, terdapat potensi kerugian negara PT Pos
Indonesia dalam pengadaan pelayanan Pos Pay yang dilaksanakan oleh PT Pos
Finansial Indonesia sebesar kurang lebih 68 miliar, 500 juta lebih," kata Plt
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar Armansyah Lubiskatanya disela
penggeledahan, Senin (5/4/2021).

Dalam penggeledahan ini, pihaknya mengamankan barang bukti berupa
dokumen dan alat-alat elektronik terkait dalam dugaan korupsi tersebut.

"Tim Penyidik Pidsus Kejati Jabar masih dalam penyidikan, untuk tahap
selanjutnya ada tahapnya lagi. Saat ini melakukan penyitaan dokumen, alat
elektronik yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut," ujarnya.

Meski sudah diketahui yang melakukan dugaan tindak pidana korupsi itu
merupakan pejabat PT Pos Finansial Indonesia, belum ada yang ditangkap
terkait kasus ini.

"Belum, kita masih dalam penyidikan, orangnya belum, itu nanti akan kita
sampaikan," tambahnya.

Sementara itu, berdasarkan pantauan sekitar pukul 16.15 WIB, penyidik Pidsus
Kejati Jabar mengamankan satu box plastik barang bukti yang berisikan
dokumen dan langsung dimasukkan kedalaman mobil.

Plt Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar Armansyah Lubis
mengatakan, penggeledahan yang dilakukan berkaitan dengan dugaan korupsi.

"Hari ini, Tim Pidsus Kejati Jabar melakukan penggeledahan PT Pos Finansial
Indonesia. Penggeledahan ini terkait tindak pidana korupsi," kata Armansyah
disela penggeledahan.

Dugaan korupsi itu, berkaitan penyimpangan penggunaan keuangan PT Pos
Finansial Indonesia.

"Penyimpangan dalam penggunaan keuangan secara tidak sah di PT Pos
Finansial Indonesia, selaku anak perusahaan PT Pos Indonesia sejak Tahun
2018-2020," ujarnya.

Armansyah menyebut, kasus dugaan korupsi ini dilakukan oleh pejabat PT Pos
Finansial Indonesia. "Diduga dilakukan oleh oknum pejabat PT Pos Finansial
Indonesia," tambahnya.

Armansyah menuturkan, selain dokumen pihaknya juga mengamankan alat-alat
elektronik. "Penyidik mengamankan beberapa dokumen, alat-alat elektronik
terkait dugaan tindak pidana korupsi tersebut," pungkasnya.

E. GRATIFIKASI

KPK Sita Dokumen Kasus Gratifikasi dari Rumah Dinas Wali Kota Batu

Merdeka.com - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menggeledah rumah dinas Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko dan rumah staf

pribadi mantan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko Kamis (14/1). Penggeledahan
berkaitan dengan kasus dugaan penerimaan gratifikasi di Pemerintahan Kota
Batu 2011-2017.

"Adapun yang sudah diamankan, diantaranya berbagai dokumen yang terkait
dengan perkara ini yang selanjutnya akan dilakukan verifikasi dan analisa,"
kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (15/1).

Dia mengatakan, dokumen yang disita tengah diverifikasi dan dianalisa oleh
tim penyidik. Dokumen-dokumen tersebut rencananya akan dijadikan barang
bukti untuk pembuktian adanya tindak pidana korupsi berupa gratifikasi.

"Setelahnya akan dilakukan penyitaan sebagai barang bukti dalam perkara
tersebut," ujarnya.

Pada Jumat, 8 Januari tim penyidik menggeledah Kantor Dinas Wali Kota
Dewanti Rumpoko.

Dua hari sebelumnya, Rabu 6 Januari 2021 tim penyidik menggeledah tiga
kantor dinas di Kota Batu, Jawa Timur. Tiga kantor dinas yang digeledah tim
penyidik lembaga antirasuah yakni kantor Dinas PUPR, Kantor Dinas
Pendidikan, dan Kantor Dinas Pariwisata. Dalam penggeledahan, tim penyidik
menemukan sejumlah dokumen berkaitan dengan kasus.

"Penyidik menemukan dan mengamankan sejumlah dokumen terkait kegiatan
proyek-proyek pekerjaan dan juga dokumen perizinan-perizinan tempat wisata

pada Dinas Pariwisata kota Batu kurun waktu tahun 2011-2017," ujar Plt Juru
Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (7/1/2021).

Kasus gratifikasi ini merupakan pengembangan dari kasus suap yang menjerat
mantan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko. Eddy telah divonis bersalah
menerima suap senilai Rp 295 juta dan satu unit mobil Toyota Alphard senilai
Rp 1,6 miliar dari pengusaha Filiput Djap.

Atas perbuatannya itu, Eddy telah dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara
dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis kasasi
Mahkamah Agung pada 2019 lalu.

F. BENTURAN KEPENTINGAN

KPK Ungkap Potensi Kerugian Negara dan Benturan
Kepentingan Pengadaan Vaksin

Merdeka.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili
Pintauli Siregar mengungkap adanya potensi kerugian keuangan negara dalam
program pengadaan vaksin virus Corona Covid-19. Selain potensi kerugian
keuangan negara, menurutnya, terjadi juga potensi benturan kepentingan.

Dia mengatakan, dua hal tersebut sempat dibahas dalam pertemuan antara
komisioner dan Deputi Pencegahan KPK dengan Menteri Kesehatan (Menkes)
Budi Gunadi bersama Menteri BUMN Erick Thohir pada Jumat, 8 Januari
2021 lalu.

Lili mengatakan, adanya potensi kerugian keuangan negara berdasarkan kajian
yang dilakukan pihaknya. Dia menyampaikan hal tersebut dalam webinar
yang diselenggarakan Kamis, 15 Januari 2021 kemarin.

"Kajian yang kita lakukan adalah, ada beberapa catatan kita kalau kemudian
potensi permasalahan ditemukan. Nah, potensi kerugian negara, tentu itu
pertama sekali karena kita bicara tentang tindak pidana korupsi," katanya.

Namun Lili belum bersedia merinci potensi kerugian keuangan negara yang
dia maksud tersebut. Dia hanya menyebut, vaksin yang dibeli masih ada
kemungkinan gagal uji klinis dan tidak dapat digunakan.

Selain itu, ada kemungkinan terjadinya banyak persoalan dalam pengadaan
vaksin ini. Salah satunya adalah soal distribusi. Lili mengatakan, berdasarkan
keterangan yang dia terima, vaksin dimasukkan ke dalam cooler lalu dibawa
ke tingkat provinsi.

"Kalau keluar dari cooler itu, dia sudah maksimal bertahan enam jam, lewat
enam jam dia tidak laku, dia tidak bisa digunakan apa pun," ujarnya.

"Nah seperti apa mendistribusikan ini, dengan wilayah jarak tempuh yang
berbeda-beda, kita tau geografi Indonesia ini sangat luar biasa unik dan
indahnya. Tetapi juga belum semua punya sarana dan prasarana yang baik,"
Lili menambahkan.

Sementara terkait potensi benturan kepentingan, kata Lili yakni terkait
penunjukan langsung pengadaan alat pendukung vaksin covid19. Kemudian
terkait penetapan jenis dan harga vaksin.

"Nah penunjukan langsung untuk pengadaan alat pendukung vaksin Covid-19
itu berpotensi menyebabkan benturan kepentingan dan tidak sesuai dengan
harga yang ada di pasaran," jelasnya.

"Karena, misalnya harga sebuah vaksin tentu juga dihargai dengan alat
tambahnya ketika mau vaksin, misalnya alat suntik, misalnya tisu, misalnya
tenaga honornya. Sehingga ketika diakumulasi mungkin satu vaksin nilainya
sekitar Rp 50 ribu kah, Rp 100 ribu kah, Rp 200 ribu kah," tambah Lili.

Atas temuan-temuan tersebut, KPK meminta pemerintah mengatur dan terus
memantau agar potensi persoalan itu tak terjadi. Demi mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi, KPK menyarankan agar pemerintah melibatkan ahli
dan pihak independen dalam menentukan harga vaksin.

"Lalu tentu saja kita minta ada pelibatan ahli, kemudian pelibatan akademisi,
kemudian ada organisasi yang kredibel untuk itu dan tentu harus independen
dalam menentukan itu vaksin dan juga bagaimana menetapkan harganya,"
tutupnya.




Click to View FlipBook Version